Prolog
“Orang ini kelihatannya seperti tipe yang suka memukul perempuan, ya...”
Di sudut ruang kelas yang disinari cahaya matahari pagi yang hangat, aku melihat bayanganku sendiri di kaca jendela yang bersih. Melihat wajahku yang terpantul di sana, aku hanya bisa tertawa getir.
Dengan potongan rambut gaya mash yang menutupi sebagian besar dahiku, tatapan mata lesu yang dihiasi tahi lalat air mata, deretan anting dan cincin yang tak terhitung, serta senyuman yang tampak licik, ditambah wajah pucat dan dingin, dan seragam yang sengaja dikenakan dengan malas, tak salah lagi, dari manapun orang melihatku, aku pasti dikira laki-laki yang suka memukul perempuan.
Ringan, dingin, penuh nafsu, narsis, terlalu bersih, playboy, berbangga diri, egois, dan selalu merendahkan orang lain.
Ditambah, jika ada sesuatu yang tidak sesuai dengan keinginannya, dia akan melampiaskan kekesalannya dengan memukul perempuan—itulah yang orang-orang pikirkan tentangku.
Keji.
Sungguh cerita yang keji.
Tentu saja, aku bukan tipe pria yang suka memukul perempuan. Jangankan perempuan, aku bahkan tidak pernah memukul laki-laki. Seumur hidupku yang baru 15 tahun ini, aku tidak pernah melakukan kekerasan. Apalagi minum alkohol, merokok, atau berhubungan dengan cara yang tidak pantas—itu semua jelas tidak pernah aku lakukan.
Aku yakin bahwa aku adalah orang yang sehat dan biasa-biasa saja. Aku bahkan sering memungut sampah yang berserakan dan memberanikan diri membantu orang yang sedang kesulitan.
Secara umum, aku merasa telah melakukan cukup banyak kebaikan. Namun, semua itu tidak ada artinya ketika orang-orang hanya melihat penampilanku dan langsung memberikan prasangka yang kejam, membuatku dibenci seolah aku adalah ular berbisa.
Aku juga bukan dengan sengaja ingin tampil seperti ini, seperti pria yang tampak memukul perempuan. Ini hanyalah hasil dari mengikuti gaya rambut dan pakaian yang aku suka.
Mungkin, kesamaan wajahku dengan seorang influencer yang pernah terlibat dalam kasus kekerasan dan menjadi viral beberapa waktu lalu juga mempengaruhi hal ini.
Meskipun kami sama sekali tidak ada hubungan, reputasiku ikut terkena dampaknya.
Tentu, aku sudah mencoba banyak hal untuk mengubah persepsi orang-orang tentangku. Mulai dari mengganti gaya rambut, mengubah cara berpakaian, hingga melakukan hal-hal yang tidak mungkin dilakukan oleh pria yang dianggap suka memukul perempuan.
Namun, semua itu sia-sia. Malah, orang-orang semakin membenciku, berkata, “Itu hanya membuatnya terlihat semakin mirip pria yang memukul perempuan.”
Setelah berkali-kali mencoba dan gagal, aku akhirnya menyerah dan memutuskan untuk tampil sesuai keinginanku saja.
Aku sudah terbiasa dibenci.
Saking seringnya dibenci, hatiku sudah mati rasa.
Sejak kecil, di SD, SMP, dan bahkan sekarang di SMA, aku selalu menjadi orang yang paling dibenci di kelas. Bahkan, sejak hari pertama masuk sekolah, aku langsung dibenci. Tak heran jika akhirnya aku terbiasa dengan kebencian ini.
Aku menghela napas pelan dan meletakkan kepalaku di atas meja.
“Ayo! Hari ini, kita akan mengadakan rapat membahas betapa mempesonanya Furukawa-san!”
Sambil berpura-pura tidur, aku mendengarkan obrolan para cowok di sebelahku yang sedang asyik membahas sesuatu. Saat itu juga, ingatan tentang kejadian semalam tiba-tiba melintas di kepalaku, membuatku sedikit pusing.
“Biarkan aku yang mulai! Pesona Furukawa-san memang tidak terhitung, tapi yang paling menonjol adalah sifat anggun dan noraknya! Dia berbicara dengan rendah hati kepada siapa saja, termasuk kepada kita! Sikapnya yang pemalu dan penuh kelembutan... sungguh memikat!”
Seorang cowok berkacamata dengan potongan rambut rapi berbicara dengan penuh semangat, sementara dua cowok lainnya, yang satu berambut cokelat dan yang satu lagi berkepala plontos, mengangguk setuju dengan antusias.
Mereka membahasnya seolah-olah sedang membicarakan idola favorit mereka, padahal yang mereka bicarakan bukanlah selebriti, influencer, atau karakter dari dunia dua dimensi. Yang mereka bicarakan adalah seorang gadis di kelas ini.
Furukawa Hazakura.
Berbeda jauh dengan diriku, dia adalah gadis yang sangat populer di kelas... seorang gadis sastra.
Ya, gadis sastra. Seorang gadis cantik yang tenang, mencintai sastra dengan sepenuh hati. Di era Reiwa sekarang, karakter seperti ini bahkan jarang muncul dalam anime atau manga.
Namun, di dunia nyata, gadis seperti itu ada di sini, di kelas ini, bagaikan spesies yang terancam punah.
Bukan hanya itu, dia juga memiliki gaya klasik yang kental—kacamata tanpa hiasan, rambut dikepang sederhana, dan rok panjang yang menjuntai, hampir tampak kuno.
Furukawa Hazakura, gadis ini, dengan segala keunikannya, sangat dikagumi oleh seluruh teman-teman di kelas, baik laki-laki maupun perempuan. Meskipun begitu, dia bukan tipe yang dikelilingi banyak teman atau dielu-elukan secara langsung.
Sebaliknya, dia sering terlihat sendirian, tenggelam dalam buku-buku yang dibacanya.
Banyak teman sekelas yang diam-diam mengaguminya dari jauh, seperti para cowok yang duduk di sebelahku ini.
“Aku suka karena dia makannya sedikit,” kata salah satu dari mereka dengan rambut cokelat.
“Benar sekali!” si cowok berkacamata dengan rambut rapi menanggapi dengan penuh semangat.
“Kotak makanannya kecil sekali, sampai aku berpikir, ‘Apa itu cukup untuk mengenyangkan perutnya?’ Tapi dia makan dengan perlahan seperti hewan kecil. Lucu sekali, dan cara dia menggunakan sumpit pun sangat rapi.”
Aku merasa terkejut dengan betapa detailnya mereka memperhatikan bahkan cara Furukawa-san makan. Sementara, kalau aku yang melakukannya, orang-orang pasti akan berpikir, “Pasti dia tipe cowok yang suka memukul perempuan,” dan memandangku dengan jijik.
“Anggun, mungil, manis, dan polos. Gadis sastra yang sempurna! Tapi... sebenarnya, ukuran dadanya luar biasa besar! Aduh, kenapa aku memikirkan hal ini sejak pagi!”
Si cowok berkacamata dengan gaya rambut rapi langsung menutupi wajahnya, mengeluh bahwa pikirannya telah mencemari kesucian Furukawa-san.
Kemudian, dia bersama teman-temannya mulai menggumamkan kata-kata penyesalan.
Ketika percakapan mereka mereda, aku mulai mendengar obrolan para gadis yang duduk di belakangku.
“Nanti aku mau minta rekomendasi novel dari Furukawa-san, deh.”
“Serius? Kamu baca buku? Ada apa?”
“Aku bertengkar sama pacarku, jadi kupikir aku harus lebih anggun, seperti Furukawa-san. Aku ingin menjadi gadis sastra kedua!”
“Hahaha! Nggak mungkin itu terjadi. Kamu sudah punya pengalaman pacaran, jadi sudah gagal jadi gadis sastra!”
Baik para cowok maupun cewek di kelas, semuanya sepakat bahwa Furukawa Hazakura adalah sosok yang suci. Dia dianggap tak berpengalaman dalam hal percintaan, canggung dengan laki-laki, dan benar-benar polos. Singkatnya, mereka menuntut semacam kesucian darinya, bagaikan citra ideal yang dibuat-buat.
Aku hanya bisa menghela napas dan menggerutu dalam hati saat tiba-tiba kegaduhan menyelimuti seluruh kelas.
“Apa-apaan itu...?”
“Serius?”
“Hari ini April Mops... kan?”
“Bukan salah orang, kan?”
“Tolong bilang ini cuma mimpi buruk...”
“Kenapa... bisa begini...?”
“Aaaaah—!”
Suasana pagi yang damai mendadak hancur, dan kelas berubah menjadi kekacauan total. Para gadis yang tadi tertawa riang langsung berubah pucat, dan para cowok yang tadi asyik bicara kini terdiam dengan ekspresi terkejut. Bahkan si cowok berkacamata yang bersemangat tadi, saking terkejutnya, sampai kacamatanya melorot.
Merasa penasaran dengan apa yang terjadi, aku pun berhenti berpura-pura tidur dan mengangkat kepala, lalu mengarahkan pandangan ke titik yang menjadi pusat perhatian semua orang. Di sana, berdiri seorang gadis dengan senyuman percaya diri, seolah-olah tidak peduli dengan kegaduhan di sekitarnya.
Aku melihat wajah gadis itu, dan tanpa sadar aku memiringkan kepala. Aku tidak mengenalnya. Apakah dia murid pindahan? Atau mungkin dari kelas lain? Sementara aku terus mencoba memikirkan siapa dia, perasaan tak nyaman mulai merayapi pikiranku.
Lalu, dalam sekejap, aku menyadari sesuatu.
Aku tahu siapa dia.
Sebenarnya, dia adalah orang yang sudah berkali-kali muncul dalam pikiranku sejak tadi.
Anggun, seperti hewan kecil yang polos, dan cantik. Tidak punya pengalaman cinta, canggung dengan laki-laki, dan benar-benar suci.
Furukawa Hazakura, gadis sastra yang dengan segala keunikannya berhasil meraih popularitas luar biasa di antara teman-teman sekelas, baik laki-laki maupun perempuan.
Namun.
Namun, sungguh.
Furukawa Hazakura yang kini berdiri di depan kelas bukanlah sosok yang aku—atau kami—kenal.
Kacamata tanpa hiasannya sudah hilang, dan kini ia hanya menggunakan mata telanjangnya. Rambut kepang sederhana yang biasa ia pakai terurai, memperlihatkan rambut hitamnya yang lembut berayun-ayun. Dan yang paling mengejutkan, rok panjangnya yang sebelumnya sangat menutupi kini berubah menjadi begitu pendek, sampai-sampai membuat jantungku berdebar.
Ya. Semua elemen yang menjadikan Furukawa Hazakura sebagai seorang gadis sastra kini hilang, bahkan lebih dari itu, semua ciri tersebut berbalik sepenuhnya, berubah menjadi kebalikan dari sosok gadis sastra yang kita kenal.
Dengan kata lain, Furukawa Hazakura bukan lagi gadis sastra.
“......”
Menyadari tatapan kosong dan wajah kaku penuh keterkejutan dariku, Furukawa Hazakura membuka matanya lebar-lebar. Kemudian, dengan senyum ceria yang jauh dari bayangan anggunnya sebagai gadis sastra, ia menyapa dengan suara yang penuh energi.
“Rihito-kun!”
Bagaikan petir di siang bolong, Furukawa Hazakura menyebut namaku.
“Terima kasih untuk tadi malam, Rihito-kun! Berkatmu, aku sudah menjadi dewasa!”
Dengan pipi sedikit memerah, kata-kata yang penuh dengan makna ambigu itu keluar dari mulut Furukawa Hazakura, dan segera saja kelas ini pun tenggelam dalam kekacauan yang tak terkendali.
Kemarahan dan kekecewaan teman-teman sekelasku bercampur menjadi satu, membuat suasana yang tadinya penuh keheranan berubah menjadi kekacauan total.
Namun, aku tidak punya cukup tenaga untuk peduli dengan semua kegaduhan itu.
Yang ada di kepalaku hanyalah ingatan tentang malam tadi, yang terus berputar bagaikan kilas balik yang tidak bisa kuhentikan.
Aku tidak menyangka, dia benar-benar memendekkan roknya...
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.