Muboubi kawaii pajama sugata no bishoujo to heya de futarikiri chap 10 v2

Ndrii
0

Bab 10.

Piyama di Bawah Cahaya Senja




Ada kekhawatiran besar dalam rencana kali ini yang tidak bisa aku kendalikan. 


Hal ini tak dapat dipastikan hingga hari pelaksanaannya tiba, dan aku hanya bisa berharap pada keberuntungan.


“Pagi yang cerah, ya,” kata Makura-san sambil membuka tirai kamar dan menatap keluar.


“Benar, syukurlah. Meskipun aku sudah cek radar cuaca dan terlihat baik-baik saja, tadi pagi sempat gerimis, dan itu membuatku cemas,” jawabku.


Kekhawatiran terbesar yang tersisa hingga detik terakhir adalah soal cuaca.


Ketika aku keluar rumah tadi siang dan melihat hujan turun, rasanya aku hampir putus asa. 


Aku segera memeriksa situs prakiraan cuaca di ponselku dan menemukan bahwa itu hanya hujan sebentar. Namun, aku tetap gelisah sampai hujan benar-benar berhenti.


Tapi, jika cuaca sudah cerah, mungkin hujan tadi justru akan membantu kelancaran rencana ini.


“Baiklah, ayo kita berangkat,” kataku.


Makura-san yang berdiri di dekat jendela, meregangkan tubuhnya dengan kedua tangan terangkat ke depan. Dan setelah mendengar kata-kataku, dia segera menghentikan peregangannya. Dia menutup resleting jaket olahraga sekolahnya hingga ke atas.


“Baik! Ayo kita pergi,” katanya sambil tersenyum ringan.


Dia tampak siap sepenuhnya. Kami berdua lalu berangkat menuju sekolah.


“Gakudou-kun, kemarin ada ujian simulasi, kan? Bagaimana hasilnya?” tanya Makura-san.


“Ah, aku sudah berusaha sebaik mungkin,” jawabku.


“Oh! Terimakasih atas kerja kerasnya. Aku tahu kamu benar-benar mempersiapkan diri untuk ujian itu,” tambahnya.


“Ya, bisa dibilang itu adalah usaha terbaikku selama ini.”


Makura-san tampak terkejut dan memandangku dengan matanya yang lebar.


“Usaha terbaik selama ini?”


“Benar.”


Dia pasti bertanya-tanya mengapa aku berusaha keras untuk ujian simulasi kali ini. 


Namun, ada alasan tersendiri di baliknya, dan selain itu, aku juga sekalian belajar tentang mengedit video, jadi, dalam banyak hal, ini adalah yang paling berat.


“Bagaimana denganmu? Sudah siap?” tanyaku balik, memotong apa yang mungkin ingin dia tanyakan lebih lanjut.


“Tentu saja! Hanya satu lagu kali ini, dan aku sudah menghafal liriknya dengan sempurna. Sekarang tinggal melakukannya saja.”


“Bagus. Kamu yakin bisa melakukannya?”


“Ya! Aku percaya pada Gakudou-kun. Jadi, buatlah video yang keren, ya!”


◆   ✧ ₊ ✦ ₊ ✧   ◆


Untungnya, hanya ada sedikit guru yang terlihat ruang guru pada hari libur.


Dengan berpura-pura menjadi siswa yang menggunakan ruang khusus untuk kegiatan klub, aku dengan santai berjalan menuju kotak kunci dan mengambil kunci pintu untuk ke atap sekolah.


Aku berlari menaiki tangga gedung utara, menuju tangga yang mengarah ke pintu atap, tempat Makura-san sudah menunggu. Dia lebih dulu naik agar tidak terlihat di lorong depan ruang guru yang masih cukup ramai.


“Gimana, dapat kuncinya? Tunggu, kamu kelihatan seperti kehabisan napas begitu!” kata Makura-san.


“Aku cemas meninggalkanmu sendirian... Takutnya kamu bertemu seseorang di sekolah,” jawabku sambil terengah-engah.


“Jadi kamu berlari ke sini hanya karena itu? Tidak apa-apa, sungguh. Aku sering bertemu orang-orang seperti itu saat aku pergi ke ruang kesehatan, jadi aku sudah terbiasa, tidak perlu khawatir,” kata Makura-san dengan nada santai.


“Benarkah? Yah, yang penting tidak terjadi masalah,” jawabku sambil menunjukkan kunci atap yang sudah kuambil.


“Terima kasih banyak,” Makura-san tersenyum lembut.


Aku berjalan mendekati pintu atap dan memasukkan kunci. Dengan sedikit tekanan, kunci itu berputar dengan lancar. 


Perlahan, aku membuka pintu, dan sinar terang langsung masuk ke dalam ruangan tangga yang sebelumnya gelap.


Kami melangkah keluar ke atap dan memandangi sekeliling.


“Wah, matahari terbenamnya indah sekali,” ucap Makura-san kagum.


“Iya, benar-benar indah,” jawabku.


Atap itu dikelilingi pagar kawat setinggi bahu, dan pemandangan di luar terlihat terbuka, tanpa ada yang menghalangi. Kami bisa melihat kota yang disinari cahaya matahari terbenam yang menakjubkan. 


Atap sekolah yang akan menjadi panggung utama kami juga berwarna oranye lembut akibat cahaya matahari terbenam.


Aku tersenyum dalam hati. 


Sempurna!


Tujuanku adalah menampilkan Makura-san yang bersinar seperti saat dia menjadi idol, dan memperlihatkannya kepada Uyama-san. 


Namun, hanya menunjukkan video penampilan Makura-san kepada Uyama-san tidaklah cukup. Aku ingin menunjukkan bahwa Makura-san benar-benar bersinar, dan untuk itu, video tersebut harus menarik perhatian banyak orang. 


Aku tidak bisa hanya membuat video sederhana. Itu harus memiliki komposisi yang menarik, sesuatu yang akan membuat orang-orang ingin menontonnya. Karena itu, aku meneliti berbagai video populer di media sosial dan situs berbagi video.


Aku menemukan bahwa video nyanyian penyanyi amatir yang sukses bukan hanya karena penampilan fisik atau kualitas suara, tapi juga karena kesan nostalgik dan melankolis—sesuatu yang dikenal sebagai emo di kalangan anak muda.


Karena itu, aku sangat memperhatikan pemilihan lokasi. Meskipun aku tidak akan menunjukkan pemandangan luar untuk menjaga kerahasiaan sekolah, atap sekolah tetap akan terlihat jelas, memberikan kesan gadis SMA yang kuat. 


Dengan menambahkan matahari terbenam sebagai latar belakang, suasana emo akan semakin terasa.


Dan, ada satu elemen penting lagi yang membuat panggung ini istimewa.


“Sudah waktunya. Ayo, kita persiapkan semuanya,” kataku.


“Ya,” jawab Makura-san.


Kami menurunkan barang-barang kami di tengah atap sekolah. Sementara aku mengambil kamera video yang kupinjam dari Yako-san, Makura-san mulai mengaduk-aduk tas yang ia bawa. Dia kemudian mengeluarkan sesuatu, mengangkatnya dengan kedua tangan ke arah matahari terbenam.


Itu adalah piyama.


“Eh, kamu benar-benar membawa itu?”


“Ya! Aku akan memakainya untuk rekaman video nanti,” jawabnya dengan penuh semangat.


“Tunggu, tunggu. Aku sudah bilang kan, wajahmu mungkin terlihat, tapi sebaiknya tubuhmu jangan sampai terlihat juga.”


“Tidak apa-apa! Piyama ini adalah pakaian keberuntunganku. Mungkin orang yang menonton akan bisa menebak sedikit, tapi tidak masalah. Lagipula...”


Makura-san berhenti sejenak, menatap piyama di tangannya.


“Kamu bilang aku harus merasa seperti menjadi diriku yang baru. Jadi, karena itu aku memutuskan untuk melupakan masa laluku sebagai idol dan tampil dengan gaya yang benar-benar mencerminkan diriku yang sekarang.”


“Begitu. Kalau begitu, tak masalah. Lagipula, aku tidak masalah dengan apa pun yang kamu kenakan,” jawabku.


Gaya dirinya yang sekarang—bernyanyi dan menari dengan mengenakan piyama. Mungkin, dengan melakukan itu, ia berusaha untuk melepaskan masa lalunya. Jika demikian, aku juga turut senang.


Namun, meski aku bilang itu tidak masalah, mungkin itu adalah kesalahan.


Mendengar jawabanku, Makura-san tersenyum bahagia, membawa piyama dan berjalan sekitar tiga meter menjauh. Lalu, dengan cepat ia mulai melepas jaket olahraga yang sedang dipakainya.


“T-tunggu sebentar!”


Aku dengan panik berseru. Masalah besar baru saja muncul.


“Ada apa!?” tanya Makura-san, terlihat terkejut sambil meluruskan punggungnya. 


Namun, dia sudah dalam posisi hendak melepas T-shirt yang dipakainya di bawah jaket, sehingga bagian perutnya terlihat sedikit.


“K-kamu mau ganti baju di sini?”


“Oh, iya ya. Maaf. Aku pikir aku bisa ganti dengan cepat di sini saja. Saat jadi idol underground dulu, sudah menjadi hal yang biasa untuk mengganti kostum dengan cepat di ruang sempit di balik panggung...”


Makura-san menurunkan bajunya dan mulai melihat sekeliling dengan gugup. Meskipun diterangi sinar matahari terbenam, aku bisa melihat wajahnya memerah.



Namun, meminta Makura-san untuk pindah hanya demi berganti pakaian juga terasa tidak nyaman. Meski menyuruhnya berganti di ruang tangga, ada risiko seseorang kebetulan lewat di koridor lantai empat, yang bisa menyebabkan masalah jika mereka menyadari ada orang di sana.

“Aku akan membelakangimu, jadi kamu bisa ganti pakaian di sini. Jangan khawatir.”

“Terima kasih. Kalau begitu...”

Begitu aku berbalik, suara kain bergesekan terdengar saat Makura-san mulai berganti pakaian.

Aku tidak boleh menoleh. Aku fokus pada kamera video di tanganku. Jika aku menekan tombol ini, lalu mengatur layar sesuai cahaya, aku bisa mendapatkan fokus yang bagus pada pusar yang begitu indah—tapi aku tidak bisa berkonsentrasi!

Bayangan Makura-san yang sedang melepas bajunya terus-menerus muncul dalam pikiranku.

“Sudah selesai.”

Saat aku menoleh, Makura-san sudah selesai berganti pakaian dan berdiri di bawah sinar matahari terbenam. Ia mengenakan piyama dengan kain tipis dan longgar berwarna biru navy, sebuah setelan piyama yang klasik.

“Oh, piyama yang biasa kamu pakai.”

“Ini yang paling nyaman. Piyama andalan.”

“Begitu ya. Cocok banget denganmu.”

Mendengar pujianku, Makura-san tersenyum malu-malu sambil tertawa kecil.

Di saat itu, sinar matahari terbenam semakin kuat. Aku memeriksa waktu di ponselku. Pukul 17:15. Sudah waktunya.

“Ayo kita mulai.”

Atas ucapanku, Makura-san mengangguk sambil tersenyum penuh percaya diri.

◆   ✧ ₊ ✦ ₊ ✧   ◆

Aku tidak ingin wajah Makura-san terlihat jelas. Tapi, menambahkan efek blur akan merusak suasana yang ingin kami ciptakan dalam video ini.

Menyuruhnya bernyanyi membelakangi kamera terasa sia-sia. 

Menutup wajahnya dengan kacamata hitam atau masker juga terasa terlalu umum.

Jadi, aku merancang konsep pengambilan video kali ini.

Dengan sinar matahari terbenam di belakangnya, bayangan Makura-san akan tampak gelap dan tidak terlihat jelas di video.

Kami menunggu waktu yang tepat, saat matahari berada di sudut yang paling rendah, sehingga sinar matahari terbenam yang paling terang dapat tercipta.

Setelah hujan, atmosfer menjadi lebih bersih karena partikel kotor di udara berkurang, membuat cahaya matahari terasa lebih menyilaukan. Kondisinya sangat mendukung.

Makura-san berdiri di tempat yang sudah aku tentukan, sementara aku mengatur sudut kamera dari jarak sekitar lima meter. Di dalam lensa, seperti yang aku harapkan, bayangan tubuhnya tampak gelap, nyaris tak terlihat.

“Gimana?”

Makura-san bertanya sambil memegang ponselnya di depan perutnya.

“Bagus sekali. Kita bisa mulai kapan pun kamu siap.”

Setelah mendengarku, Makura-san sedikit menggerakkan kakinya untuk memastikan posisinya. Ia mengambil napas dalam-dalam, lalu menghadap ke depan.

“Aku mulai.”

Ia mengucapkannya dengan tenang.

Makura-san sudah menyiapkan speaker kecil yang terhubung ke ponselku lewat Bluetooth. Aku mengetuk layar dan memutar versi karaoke dari lagu yang sudah kami pilih.

Intro lagu dimulai dengan petikan gitar yang cepat. Saat melodi masuk, Makura-san mulai menggoyangkan tubuhnya seirama dengan lagunya. 

Lagu yang dipilihnya adalah lagu populer, yang baru-baru ini menjadi soundtrack sebuah film yang banyak didengar orang. Di bawah sinar matahari terbenam, rambut hitamnya tampak begitu dinamis dan menonjol.

Sebelum bagian A-melodi dimulai, Makura-san mengangkat ponsel yang dipegangnya, seperti mikrofon, ke dekat mulutnya. Lalu ia mulai bernyanyi.

Suara yang jernih itu seolah-olah menyebar luas menembus udara di sekitarnya. Aku langsung terpikat. Suaranya begitu merdu dan kuat. Meskipun awalnya aku khawatir apakah kamera video bisa menangkap suara di atap yang terbuka ini, ternyata tidak ada masalah.

Suaranya sangat indah. Sambil merekam video, aku terus mendengarkan dengan seksama.

Di akhir A-melodi, suaranya beralih ke falsetto di bagian akhir. Awalnya, aku pikir dia membuat kesalahan, tapi ternyata bukan begitu.

Di B-melodi, temponya meningkat, dan Makura-san mulai menyanyikan lirik dengan penuh emosi, menambahkan getaran pada suaranya. 

Aku baru sadar bahwa lagu ini menggambarkan penderitaan seorang gadis. Dia mengacungkan tangannya ke depan, lalu dengan keras melambaikannya ke samping. Dia membungkukkan tubuhnya sedikit, dan mengakhiri B-melodi dengan penuh tenaga.

Kemudian, di bagian chorus, kemarahan gadis dalam lagu itu meledak.

Lagu berubah menjadi lebih rock dengan tempo cepat, dan Makura-san menyanyikannya dengan suara yang serak dan bergemuruh. Kata-kata yang ia ucapkan terdengar dengan aksen lidah yang menggelitik, dan vibrato yang tak stabil terus terngiang di telingaku.

Ini pertama kalinya aku mendengarkan lagu seseorang hingga membuat bulu kudukku merinding.

Seolah-olah dia mengalirkan perasaannya yang sebenarnya ke dalam lagu, menyanyikannya dengan sepenuh jiwa.

Bayangan Makura-san menghadap langit, dan sinar matahari terbenam bersinar melalui celah-celah rambutnya yang tergerai.

Awalnya, kami hanya berencana untuk merekam hingga bagian pertama lagu. Namun, sebelum sadar, aku masih merekam terus.

Di A-melodi bagian kedua, Makura-san menyanyikannya dengan penuh kelembutan sambil merapikan rambut dan meletakkan punggung tangannya di dahi. Namun, di tengah nyanyiannya, ada momen ketika suaranya pecah seolah menangis, menciptakan sensasi yang tajam.

Aku bahkan lupa untuk bernapas, terhipnotis oleh penampilannya.

Aku tahu bahwa dia telah melatih dasar-dasarnya dengan keras untuk menjadi idol. Bahkan Uyama-san, penggemarnya, mengakui bahwa Makura-san adalah salah satu idol terbaik dalam hal penampilan. Aku sendiri pernah menonton video konser lamanya.

Namun, aku tidak pernah menyangka bahwa kemampuannya sejauh ini.

Dengan tangan terangkat, ia meraih udara kosong. Gerakan jarinya pun terlihat begitu indah. Suaranya yang penuh emosi membuatku ingin terus mendengarkannya.

Setelah chorus bagian kedua berakhir, lagu masuk ke bagian bridge.

Dengan suara serak, dia menyanyikan tiap kata seolah-olah dia sedang berteriak.

Di chorus terakhir yang naik setengah nada, dia menunjukkan kemampuan vokalnya yang luar biasa. Dengan suara yang tak pernah berkurang volumenya, dia membuat nyanyiannya terdengar hingga jauh. 

Dengan kepalan tangan yang terangkat tinggi ke udara, dia menyelesaikan frasa terakhir, lalu menunduk dan menunggu musik berakhir.

Rasanya seperti menyaksikan konser langsung yang sangat memukau.

Tak ada sedikit pun bayangan dari idol Kamakura Koyuna yang lama. Di sisi lain, juga jelas bahwa dia bukan hanya sekadar siswi SMA yang pandai bernyanyi. Siapa dia sebenarnya? Apakah dia seorang profesional? Pasti orang yang menonton video ini akan merasa sangat penasaran.

Aku yakin ini akan menjadi video yang luar biasa.

Saat lagu berakhir, Makura-san mengendurkan tubuhnya dan mengangkat wajahnya. Kemudian, dengan perubahan sikap yang tiba-tiba, dia tersenyum cerah.

Melihat itu, aku pun tiba-tiba tersadar dan merasa seperti kembali ke dunia nyata.

“Hehe, bagaimana? Kayaknya aku agak tegang, ya?”

“Serius, itu benar-benar luar biasa. Aku sama sekali nggak membayangkan ini sebelumnya.”

“Benarkah? Aku belum pernah menyanyi seperti itu saat jadi idol, jadi mungkin nggak akan ada yang tahu.”

“Suaramu penuh tenaga... Aku bahkan nggak bisa berkata-kata selain itu luar biasa. Semua kerja kerasmu selama ini terasa begitu nyata.”

“Haha. Kalau Gakudo-kun bilang begitu, rasanya semua kerja kerasku benar-benar terbayar. Terima kasih, sudah menyaksikannya.”

“Nggak, nggak, nggak, justru aku yang berterima kasih—”

Di saat kami tengah berbincang, terdengar suara pintu atap yang terbuka di belakang kami.

Jantungku seketika seperti berhenti sejenak. Di sebelahku, bahu Makura-san terangkat karena terkejut.

Tentu saja, dengan suara yang begitu nyaring, pasti ada orang di dalam sekolah yang mendengarnya. Untungnya, video sudah selesai direkam.

Dengan hati-hati, aku menoleh ke belakang.

“Aku menerima laporan kalau seseorang sedang di atap sekolah, tapi... sepertinya tidak ada siapa pun,” kata Kumada-sensei, berdiri di sana. Dia memandang kami berdua, lalu tersenyum kecil.

“Eh, apa-apaan sih, Satomi-chan, jangan ngagetin gitu dong!” Makura-san melepas ketegangannya dan menundukkan kepala sambil tertawa lelah.

Aku juga menarik napas panjang dan dalam.

“Ada laporan dari siswa di lapangan bahwa ada seseorang sedang di atap sekolah. Aku yang pertama kali menanggapinya dan datang ke sini. Bagaimana? Sudah selesai urusannya di sini?” Kumada-sensei menjelaskan.

Ternyata, dia membantu kami keluar dari situasi yang bisa saja berbahaya.

“Iya, sudah selesai. Terima kasih banyak,” jawabku.

“Maaf dan terima kasih, Satomi-chan,” sambung Makura-san.

“Tidak masalah sama sekali. Sebagai gantinya, nanti kasih tahu ya, hasilnya bagaimana.”

“Pasti!” Makura-san mengangguk dengan semangat, dan Kumada-sensei tersenyum sebelum mengulurkan tangannya padaku.

“Negoro-kun, tolong serahkan kuncinya. Aku akan bilang bahwa aku yang membawanya ke sini, nanti aku kembalikan ke kotak kunci.”

“Maaf, mohon bantuannya.”

Aku mengeluarkan kunci dari saku dan menyerahkannya pada Kumada-sensei.

“Baiklah, mungkin ada orang lain yang akan mengecek, jadi kalian harus segera pergi dari sini.”

“Ya, baik!”

Dengan terburu-buru, aku dan Makura-san segera membereskan barang-barang kami dan meninggalkan atap. 

Meski tidak ada waktu untuk meresapi momen itu lebih lama, kehangatan dari penampilan tadi masih terasa, seperti api kecil yang terus menyala di dalam tubuhku. Tak bisa menahan perasaan yang muncul, aku berbalik saat kami turun tangga.

“Makura-san!”

Makura-san berhenti dan menoleh, bertanya dengan heran, “Ada apa?”

Aku mengulurkan kepalan tangan di depannya.

Itu adalah gestur fist bump yang pernah kami lakukan sebelumnya. Dulu Makura-san yang memulai, tapi kali ini giliran aku. Makura-san menatapnya sejenak, lalu dengan lembut menyambut tinjuku.

“Kerja bagus, Makura-san.”

“Kamu juga pasti capek, kan? Terima kasih, Gakudo-kun.”

Kami berdua tersenyum kecil dan segera melanjutkan turun tangga bersama.














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !