Muboubi kawaii pajama sugata no bishoujo to heya de futarikiri chap 9 v2

Ndrii
0

Bab 9

Misi Dimulai





Keinginan Uyama-san adalah untuk melihat Makura-san beraksi sekali lagi—melihatnya bersinar seperti dulu.


Namun, tentu saja ada masalah yang menghalangi itu. 


Makura-san telah berhenti dari dunia idol dan bahkan menghindari tampil di depan umum.


Meski begitu, Makura-san juga memiliki keinginan untuk membantu Uyama-san. Jadi, jika aku bisa memikirkan rencana yang bagus, dia pasti akan melaksanakannya.


Aku mulai memikirkan strategi sejak malam itu. Meski begitu, pilihan yang tersedia sangat terbatas, dan ide dasarnya segera terbentuk. 


Untuk merancang rencana tersebut, aku pun mulai menjelajahi situs video dan media sosial yang belum pernah kukenal sebelumnya.


Pada Senin sore, dalam perjalanan pulang seperti biasa, aku melaporkan kepada Makura-san sejauh mana rencana yang sudah kubuat.


“Satu-satunya cara adalah merekam video. Kita akan membuat video di mana wajahmu tidak terlihat. Video itu kemudian akan diunggah ke situs.”


Keinginan Uyama-san adalah melihat Makura-san beraksi. Jadi, tidak cukup jika hanya tampil di hadapan Uyama-san saja.


Namun, Makura-san saat ini tidak bisa tampil di depan banyak orang karena trauma masa lalunya. Sangat sulit baginya untuk tampil di panggung, apalagi pertunjukan jalanan. Maka dari itu, pilihannya pun sangat terbatas.


Dari semua pilihan yang ada, solusi yang paling mungkin adalah membuat video tanpa memperlihatkan wajahnya. 


Setelah aku mencari tahu lebih lanjut, ternyata ada banyak video serupa di mana penyanyi atau penari tidak memperlihatkan wajah mereka. 


Bahkan, beberapa dari mereka menjadi terkenal dengan cara itu, dan banyak dari video-video tersebut memiliki jumlah penonton yang sangat banyak.


“Aku yang akan mengeditnya. Aku pastikan tidak ada yang tahu siapa dirimu. Kamu tidak perlu khawatir, tidak perlu memikirkan apa pun, dan lupakan masa lalumu. Coba nyanyikan dengan perasaan sebagai dirimu yang baru.”


Aku berhenti dan menatap wajah Makura-san.


Makura-san juga berhenti dan melihat ke arahku.


“...Apa aku bisa melakukannya?”


Aku menganggukan kepala ku dalam-dalam.


“Ya, kamu pasti bisa.”


Aku tahu betapa kerasnya perjuangan Makura-san sejak kecil, karena dia sendiri yang menceritakannya padaku. 


Dan kualitas penampilannya sudah dijamin oleh Uyama-san, yang merupakan penggemarnya. Aku juga telah melihat rekaman masa lalunya dan tahu bahwa kemampuannya itu nyata.


Makura-san berpikir sejenak, lalu mengangguk pelan.


“Terima kasih. Aku akan mencobanya!”


Aku merasa senang mendengar kata-kata itu keluar dari mulutnya.


“Sebenarnya, aku juga memikirkan sesuatu,” kata Makura-san sambil kembali berjalan.


“Apa itu?”


“...Aku pikir, aku harus memberi tahu Kuruha-chan alasan sebenarnya kenapa aku berhenti menjadi idol.”


Tanpa sadar aku berdesis pelan, “Oh.”


“Kamu yakin?”


Sebenarnya, sejak malam itu ketika kami berbicara di luar kamar Makura-san, Uyama-san belum pernah muncul lagi di kamarnya.


Mungkin malam itu, Uyama-san hampir menyerah dan mencoba mendekati orang terdekat Makura-san— yaitu aku. Dengan membuka diri dan berbicara padaku, Uyama-san mungkin ingin memahami keadaan Makura-san yang sebenarnya.


Pada akhirnya, yang mungkin Uyama-san dapatkan hanyalah mengetahui bahwa senior yang dia hormati masih diidolakan oleh seseorang.


“Kuruha-chan adalah anggota yang sangat penting bagiku, dia adalah junior yang sangat kusayangi, dan juga penggemar terdekatku. Kali ini, dia bahkan mengejarku sampai sejauh ini... Rasanya tidak pantas jika aku tidak mengatakan yang sebenarnya. Bahkan, saat memutuskan berhenti dari dunia idol, aku sempat berpikir untuk hanya memberitahu dia, karena aku sangat mempercayainya. Dan... aku berharap kami bisa kembali menjalin hubungan yang baik.”


“Begitu, ya... Jika Makura-san menjelaskannya langsung, Uyama-san pasti akan mengerti.”


“Aku harap begitu... Tapi, aku sudah memutuskan, aku akan mengatakannya dengan benar!”


“Baiklah.”


Angin musim gugur berhembus melewati sawah yang luas setelah musim panen padi selesai. Makura-san merentangkan kedua tangannya dan meregangkan tubuhnya, seolah-olah menyerap angin itu sepenuhnya.


“Baiklah! Kalau begitu, setelah pulang, aku akan menghubungi Kuruha-chan.”


“Baik, aku akan mulai menyiapkan rekaman.”


“Terima kasih. Lalu, apa yang harus aku lakukan? Eh, memangnya kamu bisa mengedit video sendirian, Gakudou-kun?”


“Soal video, aku sudah mulai mencari tahu sejak kemarin. Ini tampak lebih mudah dibandingkan belajar sehari-hari.”


“Wah, keren banget ngomongnya santai gitu.”


“Makura-san, yang perlu kamu lakukan adalah memilih satu lagu untuk dinyanyikan dalam video. Kamu sebaiknya tidak menyanyikan lagu dari masa idol-mu untuk menghindari identitas mu terbongkar.”


“Baik, aku akan menyiapkannya.”


Hari itu, semuanya sudah diputuskan. Dan di saat yang sama, misi ini baru saja dimulai.


Makura-san mengacungkan kepalan tangannya ke arahku.


Sedikit canggung, aku pun membalas dengan mengadu kepalanku dengannya.


◆   ✧ ₊ ✦ ₊ ✧   ◆


Aku sudah beberapa kali datang ke apartemen ini, tapi ini pertama kalinya aku masuk ke dalam kamarnya.


Malam hari, pukul 22:00. 


Di waktu ini, seharusnya ia sudah berada di rumah. Aku merasa waktu yang tepat untuk menekan bel... tapi ternyata perkiraanku salah besar.


“Oh? Bukankah ini anak muda? Mau begadang? Mau begadang ya?”


Orang yang membuka pintu adalah Yako-san, wajahnya memerah karena mabuk. Ia mengenakan kaos putih dengan kerah yang longgar sehingga bagian atas dadanya terlihat jelas. Aku buru-buru memalingkan pandangan.


Sial, aku lupa kalau malam bukan waktu yang tepat untuk menemui orang ini. Bahkan pada hari kerja, dia masih saja minum alkohol setiap malam.


Haruskah aku menunggu sampai pagi dan kembali lagi? Tapi aku juga harus sekolah, dan aku tidak tahu jam berapa dia akan keluar rumah.


Dengan pasrah, aku memutuskan untuk berurusan dengan orang mabuk ini.


“Bukan seperti itu. Saya ke sini karena ada yang ingin saya minta.”


“Permintaan? Jadi, kamu benar-benar mau begadang ya? Eh? Tunggu, berapa umurmu sekarang?”


“Saya masih di bawah umur.”


“Oh... jadi malam ini, aku akan melakukan kejahatan.”


“Kenapa kamu tetap ingin melakukannya!?”


“Haha, itu hanya bercanda. Aku tak akan melakukan hal seperti itu pada anak muda seperti kamu. Ya sudah, masuklah. Di luar dingin.”


“Maksudnya Makura-san... saya tidak mengerti, tapi terima kasih. Permisi.”


Diundang masuk oleh Yako-san, aku pun melangkah masuk ke dalam kamarnya.


Aku sebenarnya tidak tahu seperti apa kamar yang ia tinggali, tapi...


“Duduklah di mana saja.”


“Baik... Kamar yang rapi.”


Aku memutuskan untuk mengabaikan kantong sampah di dekat jendela yang dipenuhi kaleng minuman alkohol yang sudah hancur. Selain itu, ruangan ini ternyata lebih rapi dari yang aku bayangkan.


“Aku tidak banyak menaruh barang di sini. Satu-satunya yang kubeli hanya alkohol dan kosmetik. Yah, aku juga menjaga kebersihan di tempat yang terlihat, supaya siap kapan pun kalau ada pria yang datang. Jangan lihat keluar jendela atau di dalam kulkas.”


“Uh... baiklah.”


Apa yang sebenarnya ada di area terlarang itu?


Ada rak TV di dinding kanan, dan di dinding seberangnya ada ranjang yang menempel, sama seperti di kamar Makura-san. Di kamar Yako-san ini, di samping rak TV ada meja rias dengan berbagai kosmetik yang tidak aku mengerti. Di lantai terdapat karpet kasar, dan di atas meja kaca kecil terlihat kaleng minuman plum sour yang mungkin baru saja diminumnya.


“Untuk sementara, temani aku sebentar. Kamu bisa minum chu-hi?”


Saat aku duduk di lantai, Yako-san melirik ke arah kulkas.


“Aku masih di bawah umur.”


“Kamu benar-benar anak yang serius. Apa Koiro-chan tahu kalau kamu datang ke sini?”


Kata Yako-san sambil ikut duduk di dekat meja.


“Iya, tadi aku baru dari kamar Makura-san.”


“Oh, begitu. Jadi, ini bukan hubungan rahasia yang berbahaya antara kamu dan gadis yang kamu sukai. Apa dia mengatakan sesuatu? Seperti, ‘Seorang anak laki-laki datang ke kamar perempuan sendirian!’”


“Dia bilang kalau ada apa-apa, segera keluar dari ruangan.”


“Jadi aku yang dianggap bakal menyerang, ya!?”


Sekarang aku mengerti. Peringatan aneh yang diberikan oleh Makura-san tadi mungkin karena dia tahu Yako-san akan mabuk pada jam ini.


“Sebenarnya, Koiro-chan bisa saja ikut kalau begitu.”


Yako-san melanjutkan kalimatnya sambil menyesap plum sour di atas meja.


“Dia mempercayakan hal ini padaku.”


Setelah aku mengatakan itu, Yako-san mengerutkan matanya dan mendesah kecil.


“Tadi di luar kamu bilang ingin minta sesuatu, kan?”


“Ya, benar.”


“Hm, ceritakanlah.”


Yako-san meletakkan kaleng minumannya dan sedikit menegakkan punggung.


“Terima kasih. Yako-san bekerja di perusahaan iklan, kan? Saya pikir mungkin Anda punya kamera video.”


Yako-san tampak bingung dan mengedip beberapa kali.


“Kamera video?”


“Iya.”


“Apa yang akan kamu lakukan dengan itu?”


“Aku ingin merekam sebuah video. Untuk Makura-san.”


Aku lalu menjelaskan bagaimana aku akhirnya harus merekam penampilan Makura-san karena situasi tertentu.


“Jadi, kamu akan merekam videonya, mengeditnya, dan mengunggahnya ke situs video?”


“Iya.”


“Jadi, Koiro-chan menyetujui semua ini... Tadi kamu bilang kalau dia mempercayakan hal ini padamu.”


“Iya, benar. Karena itu, aku butuh kamera video.”


Yako-san memandangku dengan seksama, lalu tersenyum seolah menemukan sesuatu yang menarik. Dia meneguk sisa plum sour di kalengnya.


“Aku punya kamera video. Itu milik kantor, digunakan untuk merekam video promosi toko-toko klien. Ada beberapa unit, meskipun aku sendiri biasanya hanya menggunakan ponsel. Tapi, aku pernah dengar kalau kualitas video dari kamera itu jauh lebih baik dibandingkan ponsel.”


“Benarkah!? Bisa kupinjam?”


“Tentu saja. Tidak masalah. Setidaknya ada satu yang tidak terpakai. Aku bisa meminjamnya selama dua atau tiga minggu atas namaku.”


“Terima kasih banyak!”


Aku merasa sangat lega. Meminjam kamera video berkualitas seperti ini untuk kebutuhan pribadi tentu tidak mudah. Kalau Yako-san tidak bisa, rencananya mungkin harus beralih ke ponsel sebagai alternatif utama.


“Besok tidak masalah, kan? Aku akan membawanya pulang dan menyerahkannya di kamar Koiro-chan.”


Setelah aku berterima kasih lagi, Yako-san tertawa dan berdiri, berjalan ke arah kulkas di lorong untuk mengambil minuman lain.


Sebenarnya, aku ingin membantu menyajikan minuman atau melakukan sesuatu untuknya, tetapi Yako-san kembali sambil membuka kaleng minuman baru dan meneguknya.


“Ngomong-ngomong, kamu dan Koiro-chan kelihatannya semakin dekat, ya. Sampai sejauh mana hubungan kalian?”


“Sejauh mana? Tidak ada yang khusus sebenarnya...”


Meski begitu, bayangan malam itu di tempat tidur mendadak muncul di pikiranku. Aroma manis, sentuhan lembut, desah nafasnya yang terdengar di telingaku.


“Setidaknya kalian sudah bergandengan tangan, kan?”


“Belum.”


“Tapi kalian sudah saling memanggil dengan nama depan, bukan?”


“Dia yang memanggilku begitu.”


“Hmm... Lalu, apakah kalian sudah membicarakan kisah cinta masa lalu masing-masing?”


“Belum sama sekali.”


“...Kalian benar-benar tinggal di bawah atap yang sama, kan?”


Ini bisa menimbulkan salah paham... Tapi, kami memang bukan pasangan seperti itu. Kami menjalani kehidupan yang sederhana dan sehat. Bahkan saat tidur bersama, itu pun karena ada alasan tertentu...


“Lalu, pelukan? Kalian sudah saling berpelukan?”


Pertanyaan mendadak itu membuat tubuhku terkejut, dan aku refleks bereaksi.


“Eh?”


Yako-san memandangku dengan mata terkejut.


“Eh, tidak, bukan... Tentu saja belum!”


“Oh... Oke. Tapi tadi ada jeda yang aneh di antara kata-katamu.”


“Karena pertanyaan-pertanyaannya tiba-tiba berubah drastis.”


“Benar juga, maaf. Aku hanya berpikir, kalian yang tinggal bersama dalam satu kamar, pasti sudah melangkah lebih jauh. Maaf kalau aku salah.”


Oh... Apakah yang terjadi malam itu termasuk sesuatu yang besar?


Itu hanya pelukan dari belakang, jadi harusnya aman, kan?


...Tanpa sadar, mungkin kami memang sudah melewati batas tertentu.


Saat aku memikirkan semuanya, tiba-tiba ada kehangatan yang menyebar di dalam dadaku.


“Namun, di balik ‘tidak ada apa-apa’, pasti ada sesuatu, kan? Coba ceritakan.”


“Kenapa harus begitu...?”


“Kakak ini cuma mau menikmati masa mudamu sambil minum, itu saja. Anggap saja ini sebagai imbalan untuk kamera video.”


“Haa...”


Yako-san tertawa terbahak-bahak sambil meneguk lagi minumannya. Ketika aku meminta bantuannya, dia terlihat serius mendengarkan sesaat, tetapi sekarang wajahnya kembali memerah. 


Dia meneguk minumannya dengan cepat, sehingga setetes alkohol menetes dari bibirnya, membasahi T-shirt putihnya.


Masa muda dijadikan bahan cerita, ya... Masa muda...


Saat itu, sebuah percakapan yang pernah aku lakukan dengan Makura-san tiba-tiba terlintas di benakku.


“Oh, sebenarnya ada sesuatu yang terjadi!”


“Ada sesuatu?”


“Ya, kami melakukan... tos kepalan tangan.”


“Tos kepalan tangan...?”


Yako-san terlihat bingung sesaat, lalu tertawa lagi dengan riang.


“Ah, tos kepalan tangan, ya. Aku harap kalian tetap melanjutkannya dengan kecepatan itu.”


“Akan kami usahakan. Jadi, tolong pinjamkan kamera videonya. Baiklah, aku permisi.”


Aku segera bangkit berdiri, meninggalkan ruangan sebelum Yako-san dapat menanyakan hal lain. 


Di belakangku, aku bisa mendengar suaranya memanggil, “Hei, tunggu dulu, bocah!”, tetapi aku berhasil keluar sebelum ada pertanyaan lebih lanjut.


Aku menghela napas lega karena berhasil keluar dari kamar orang mabuk dan merasa sedikit puas setelah menyelesaikan satu tugas penting.


◆   ✧ ₊ ✦ ₊ ✧   ◆


Keesokan harinya, setelah berkunjung ke kamar Yako-san, aku pergi ke ruang guru seusai pelajaran untuk menemui Kumada-sensei.


“Negoro-kun, memanggil seorang wanita setelah sekolah... Sepertinya aku belum kehilangan daya tarikku sebagai seorang guru,” katanya dengan nada menggoda.


“Sensei, gaya bicara Anda mirip sekali dengan Yako-san ketika dia mabuk. Sekarang aku tahu kenapa kalian begitu akrab.”


“Be-begitukah? Rasanya aku tidak suka kalau kau berkata begitu.”


Kumada-sensei batuk kecil, seolah mencoba mengubah suasana.


“Ah, ini buruk. Aku terlalu nyaman denganmu, sampai rasanya seperti obrolan di antara teman dekat.”


“Sejak kapan aku jadi bagian dari circle sensei? ..........Aku merasa terhormat.”


Mendengar jawabanku, Kumada-sensei tersenyum kecil.


“Baiklah, mari kita bicara di mejaku.”


Aku mengikuti Kumada-sensei ke dalam ruang guru. Udara hangat yang bercampur aroma kopi langsung menyambutku. Aku sudah sering ke sini, jadi aku tahu di mana meja Kumada-sensei berada—di bagian meja guru kelas tahun pertama, posisi kedua dari belakang.


Seperti biasa, aku menarik kursi putar yang kosong di sebelahnya dan duduk.


Sebenarnya, aku datang ke sini hari ini karena ada sesuatu yang ingin aku minta kepada Kumada-sensei.


Namun, sebelum aku sempat membuka pembicaraan, Kumada-sensei sudah lebih dulu berbicara.


“Aku sudah dengar dari Yako-chan.”


“Apa?”


“Baru kemarin aku di sana. Jadi, apa Yako-san langsung menelepon setelah itu?”


Namun, akan lebih mudah jika dia sudah sedikit tahu tentang hal ini. Meskipun agak terkejut, aku mencoba melanjutkan pembicaraan—


“Tak kusangka, kalian sudah sampai tahap berpelukan. Anak-anak muda zaman sekarang memang bergerak cepat, ya.”


“Tunggu sebentar!”


Jadi, yang dia dengar justru soal itu, bukan soal kamera video untuk Makura-san.


Dan lagi, cerita itu sudah dilebih-lebihkan. Padahal aku sudah menyangkal tentang pelukan itu. Beginilah cara rumor menyebar rupanya... Meskipun, ya, itu memang terjadi.


“Tidak, itu hanya kesalahpahaman dari Yako-san. Kami sama sekali belum sampai tahap pelukan.”


“Benarkah?”


“Benar!”


“Tapi wajahmu memerah...”


“Itu hanya perasaan sensei saja.”


“Kau bilang ‘belum’, jadi mungkin suatu saat nanti?”


“Itu hanya permainan kata-kata!”


Kumada-sensei menanggapi dengan gumaman “Hmmm” sambil tersenyum nakal.


“Lupakan soal itu! Aku datang ke sini untuk meminta sesuatu!”


Untuk mengalihkan pembicaraan, aku memaksa masuk ke topik utama.


“Kudengar kalian sedang membuat sebuah video?”


“Jadi sensei juga sudah tahu?”


“Ya, sebenarnya aku mendengar cerita ini kemarin dari Koiro-chan di ruang kesehatan sebelum Yako-chan. Dia bilang dia sedang mencoba melakukan yang terbaik.”


“Benarkah... Dia bilang begitu?”


Aku sudah tahu bahwa Makura-san sering berbicara dengan Kumada-sensei di ruang kesehatan.


Melakukan yang terbaik, ya... Mendengar itu membuat dadaku terasa berdebar-debar.


Aku benar-benar ingin membuat ini berhasil.


“Lalu, apa yang ingin kau minta?”


“Oh, ya. Untuk pengambilan gambar video itu, aku ingin meminta izin menggunakan atap sekolah pada hari libur.”


Mendengar permintaanku, Kumada-sensei melirik sekelilingnya. Dia terlihat merenung sebentar sambil memandang ke bawah, lalu memajukan kursinya sedikit ke arahku.


“Kau tahu kan, di sebelah kiri pintu masuk ruang guru ada kotak kunci besi? Tempat kunci ruang kelas khusus dan aula olahraga disimpan. Kunci atap sekolah juga ada di sana.”


Dia berbisik pelan.


“Apakah itu berarti aku bisa menggunakannya?”


“Entahlah.”


“Entah?”


Aku tanpa sadar mengulangi pertanyaannya.


Kemudian, Kumada-sensei meletakkan jari telunjuknya di dekat bibir, menatapku dengan tatapan yang penuh arti.


“Atap sekolah itu, sebenarnya pihak sekolah tidak secara khusus melarang siapapun untuk masuk. Tidak ada tanda ‘Dilarang Masuk’ yang tertempel di pintu atap. Itu karena pintunya selalu terkunci dengan baik.”


“Ya.”


“Aku akan berpura-pura tidak mendengar apa yang baru saja kamu katakan. Dan aku juga tidak memberikan izin. Tapi sekarang, kamu tahu di mana letak kuncinya.”


“…Dimengerti.”


Aku menangkap maksud dari kata-kata Kumada-sensei. Melihat reaksiku, Kumada-sensei tersenyum kecil.


Atap sekolah memang tidak secara jelas dilarang untuk dimasuki. Meski tidak ada larangan, pintunya terkunci sehingga orang-orang tidak bisa memasukinya.


Jadi, maksudnya adalah, selama aku bisa membuka kuncinya, aku bebas untuk masuk ke atap.


Jika aku meminta izin secara resmi, pihak sekolah akan terpaksa mengatakan “tidak boleh masuk,” dan jika aku tetap masuk, itu akan dianggap sebagai melanggar aturan.


Oleh karena itu, Kumada-sensei menyiratkan bahwa dia tidak mendengar permintaanku dan memberiku kebebasan untuk masuk ke atap tanpa perlu khawatir.


“Kalau ketahuan, aku akan dimarahi, kan?”


“Ya, tapi kamu hanya perlu berpura-pura menjadi siswa SMA yang tidak tahu apa-apa. Cukup katakan, ‘Oh, tidak boleh masuk ya? Aku baru tahu.’”


Kumada-sensei menarik diri dan menyilangkan tangan di dadanya.


“Rasanya seperti mendengar argumen khas seorang guru bahasa.”


“Aku akan menganggap itu sebagai pujian. Bagaimanapun juga, kalaupun kamu dimarahi, nanti saat kamu dewasa, kamu akan menyadari bahwa itu bukanlah hal yang penting. Kalau hanya dimarahi karena masuk ke atap, berpura-puralah menyesal, dan dalam beberapa menit semuanya akan selesai. Lagipula, mereka hanya marah secara formalitas, bukan benar-benar ingin mempermasalahkannya.”


“Ya, benar juga...”


“Jadi, pesan dariku adalah, hiduplah dengan lebih santai selama kamu masih di SMA.”


Dengan nada ringan di akhir kalimatnya, Kumada-sensei tersenyum.


Mungkin memang benar begitu.


Saat liburan musim panas, ketika aku pertama kali membolos dari tempat les, aku menghabiskan waktu di rumah dengan perasaan cemas. Namun, setelah beberapa hari berlalu, tidak ada yang berubah, dan ketika tiba hari les berikutnya, semuanya berjalan seperti biasa.


Lebih santai... Mungkin aku memang harus memiliki sikap seperti itu.


“Terima kasih banyak.”


Setelah mengucapkan terima kasih, aku berdiri dari kursi dan meninggalkan ruang guru. Aku mulai berjalan di lorong dengan langkah yang terasa ringan.


Video kamera sudah tersedia, dan tempat untuk syuting pun sudah beres.


Persiapan semakin matang.


Namun, masih ada banyak hal yang harus dilakukan. Salah satu misi penting dalam rencana ini masih menantiku.


Pengambilan video direncanakan pada hari Minggu. Aku tidak ingin menyia-nyiakan sedetik pun, jadi tanpa sadar aku mempercepat langkahku.














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !