Bab 2
Setelah pulang sekolah bersama dengan
Makura-san, keesokan harinya, yaitu hari Sabtu, aku pergi ke kamar Makura-san
setelah makan siang di rumah.
Ketika aku menekan bel, terdengar
suara gaduh dari dalam, seolah-olah seseorang sedang tergesa-gesa. Setelah
menunggu beberapa saat, terdengar suara kunci yang terbuka, diikuti oleh suara
pintu yang berderit.
“Ya, selamat siang.”
Makura-san, yang mengintip dari celah
pintu, terlihat terengah-engah.
“Selamat siang. Apa kamu baru saja
bangun?”
“Eh, tidak kok! Aku sudah bangun dari
tadi. Tapi kamarku berantakan, jadi aku buru-buru membereskannya. Maaf ya.”
Sambil berkata begitu, Makura-san
membuka pintu lebar-lebar, dan aku melangkah masuk ke dalam.
Hari ini, Makura-san berdiri di
lorong dengan memakai piyama bergaris hitam-putih tebal. Setelan berbahan
handuk itu terdiri dari jaket hoodie dan celana pendek. Di bawah celana pendek
itu, terlihat kaki putihnya yang panjang dan ramping.
Makura-san memperhatikan bahwa aku
menatapnya yang sedang memakai piyama, lalu ia berkata.
“Fufun, aku masih terus menjalani
hidup dengan piyama!”
Ia mengangkat hidungnya dengan
bangga.
Makura-san memulai kebiasaannya
memakai piyama selama liburan musim panas, dan rupanya, kebiasaan itu masih
berlangsung sampai sekarang.
Meski sedikit aneh melihatnya
mengenakan pakaian olahraga sekolah sebagai piyama saat datang ke sekolah, ini
adalah keputusan yang dia buat sendiri, jadi aku ingin mendukungnya.
Namun, melihatnya lagi dalam piyama
sungguhan setelah sekian lama, meskipun aku tak akan mengatakannya dengan
lantang, jujur saja, dia terlihat sangat imut.
Entah apapun yang dia kenakan,
semuanya terlihat cocok untuknya. Meski sedikit terbuka, berada di dekatnya
terkadang membuat jantungku berdebar.
“Apakah aku boleh masuk?”
“Ya! Silahkan masuk!”
Diundang oleh Makura-san, aku melepas
sepatu di depan pintu dan naik ke lorong.
Biasanya, kamarnya selalu rapi, tapi
kali ini berbagai barang berserakan, mulai dari pakaian musim panas seperti
kaos, hingga jaket dan mantel musim dingin, boneka beruang besar, bingkai foto
dengan logo taman hiburan terkenal, bahkan alat masak seperti panci dan teko.
Sepertinya terlalu berantakan untuk
sekadar disebut berantakan.
“Kamu sedang melakukan pembersihan
besar-besaran, ya?”
Ketika aku bertanya begitu, Makura-san
menggaruk pipinya dan berkata, “Sebenarnya...”
“Aku sedang menjual barang-barang
lama di aplikasi jual-beli. Aku berniat merapikannya sebelum kamu datang, tapi
malah jadi semakin banyak barang yang aku keluarkan. Aku cuma sempat
membersihkan sedikit ruang untuk duduk.”
“Oh, aplikasi jual-beli, ya. Aku
belum pernah coba, tapi apakah benar-benar ada yang terjual?”
“Tentu saja! Aku mulai sejak minggu
lalu, dan sudah mendapat pemasukan loh! Kalau aku ingin menjalani hidup di
dalam kamar saja, aku harus mulai mencari cara menghasilkan uang dari dalam
kamar!”
'Tentu saja, piyama ini tidak akan
aku jual,’ katanya sambil tertawa.
“Pantas saja, kamu berusaha keras,
ya.”
“Benar! Targetku adalah menjadi
pengangguran yang stabil seperti pegawai negeri!”
“Itu... yah, bisa dibilang, kamu jadi
elit di dunia pengangguran.”
“Hahaha! Aku ingin menjadi ratu di
dunia pengangguran!”
Sambil saling melontarkan candaan,
kami duduk berdampingan di tempat biasa, di depan tempat tidur.
“Lho? Itu apa?”
Tiba-tiba, aku tertarik pada kantong
plastik bening yang diletakkan di samping rak televisi. Ukurannya sebesar
kantong sampah, dan di dalamnya terlihat banyak kain berwarna-warni. Aku pun
bertanya.
“Oh, itu kostum lama yang kupakai
saat jadi idol. Aku menemukan banyak pakaian itu di sudut lemari.”
“Hmm. Kamu berniat menjualnya?”
“Tidak, tidak akan kujual. Kalau aku
menjualnya di aplikasi jual-beli, pasti akan ketahuan kalau itu akun milik
Kamakura Koyuna.”
“Ah, ya, benar juga.”
Bagi para penggemar idol sejati,
mereka pasti akan langsung mengenali kostum yang pernah dipakai oleh Kamakura
Koyuna. Jika seorang idol yang menghilang tiba-tiba menjual kostumnya secara
online, itu pasti akan jadi berita besar, terutama bagi idol sekelas Koyuna-san.
“Tapi ya, aku juga belum bisa
membuangnya,” kata Makura-san sambil berdiri dan meraih kantong plastik itu.
Dia menarik salah satu pakaian dari dalamnya.
Itu adalah kostum berwarna biru dan
putih, berupa gaun dengan pinggang yang ramping, rok yang mengembang, dan pita
renda yang menghiasi bagian dada.
Makura-san berlutut dan menyesuaikan
pakaian itu ke tubuhnya, lalu memperlihatkannya kepadaku.
“Bagaimana menurutmu?”
“Wow, aku rasa itu sangat cocok
untukmu.”
“Benarkah? Hahaha, rasanya sedikit
memalukan, ya.”
Walaupun dia sendiri yang menunjukkan
pakaian itu, Makura-san terlihat malu-malu. Dia menurunkan pakaian itu dari
dadanya dan melipatnya dengan rapi.
Padahal, aku sudah sering melihatnya
mengenakan pakaian yang lebih terbuka, seperti piyama, namun hal ini terasa
berbeda. Ada rasa malu yang lain saat melihatnya mengenakan pakaian itu.
“Kamu sering mengenakan kostum itu,
bukan?”
“Iya, benar. Tapi, ini pertama
kalinya aku memperlihatkan kostum ini kepada seorang laki-laki...”
“Oh, begitu...”
Aku tidak tahu apakah itu hal yang
bisa membuat seseorang merasa malu, tapi saat dia mengatakan hal itu dengan
sedikit canggung, aku juga mulai merasa canggung.
Jadi, ini pertama kalinya dia
melakukan ini, ya...
Aku kembali memandang kostum idol
yang telah dilipat rapi oleh Makura-san, memperhatikannya dengan lebih seksama.
“Selain itu,
sekarang aku bukan idol lagi, jadi kalau kupakai, rasanya seperti cosplay,”
ujar Makura-san.
“Ah, ya, benar
juga... Tapi, apa itu yang bikin kamu merasa malu?” tanyaku, masih belum
sepenuhnya paham.
Makura-san
melanjutkan, “Kamu tahu, seperti perempuan yang sudah lulus SMA tapi mencoba
memakai seragam lagi—itu rasanya aneh. Satomi-chan pasti mengerti maksudku.”
“Kumada-sensei
pernah pakai seragam SMA? Jadi dia cosplay juga?”
“Eh, Ah... Mungkin
itu rahasia, ya? Tapi, maksudku itu karena dulu pacarnya yang minta, bukan
karena hobi atau apa gitu.”
“Sepertinya kamu
malah memperjelas hal yang ingin kamu tutupi...”
Tak kusangka,
Kumada-sensei menyimpan rahasia begitu...
Makura-san berdeham,
berusaha mengalihkan pembicaraan.
“Yuk, main game!
Gimana, kamu mau main yang kompetitif atau RPG?” ucapnya sambil memasukkan
kembali kostum idol yang tadi dikeluarkannya ke dalam kantong.
“Hmm, kalau yang
kompetitif, kita punya apa?”
Aku menatap kostum
itu lagi. Meski Makura-san bilang dia tidak akan pernah memakainya lagi, dan
meski ada kenangan pahit di baliknya, sepertinya dia tetap tidak bisa
membuangnya. Mungkin, ada sedikit kenangan baik yang masih melekat.
Sambil terus
berbincang dengannya, pikiran itu terlintas di benakku.
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧
◆
Kami menikmati
bermain game bersama selama sekitar tiga jam.
Kami memilih
permainan party dengan mini-game yang sederhana, serta permainan papan digital
di mana kami berlomba mengumpulkan koin.
Meskipun Makura-san yang
lebih berpengalaman memiliki keterampilan lebih baik, tapi permainan ini juga cukup
mudah untuk pemula seperti ku, jadi aku tetap bisa mengimbanginya. Persaingan
kami pun cukup sengit.
“Fyuuh, selesai
juga!” seru Makura-san saat layar menampilkan hasil akhir dan mulai menayangkan
credit scene.
Dia meletakkan controller
di lantai dan menjatuhkan diri ke atas bantal besar yang terkenal karena bisa
membuat orang malas untuk bangkit.
“Tch, aku hampir
menang,” gerutuku.
“Hahaha, kamu butuh
seratus tahun lagi untuk bisa mengalahkanku. Jadi, sehat-sehat ya, biar bisa
balik lagi nanti!” balasnya, penuh percaya diri.
“Kita benar-benar
berencana bertanding lagi seratus tahun dari sekarang?”
“Mungkin arena
berikutnya di panti jompo,” katanya sambil tertawa.
“Seratus tahun lagi
sih kemungkinan kita bertandingnya di dunia lain... Ayo, mulai kumpulkan pahala
dari sekarang supaya bisa masuk surga.”
Makura-san tertawa,
lalu menoleh kearahku.
“Jadi, mau main game
apa lagi?”
“Hmm, apa ya? Aku
juga ingin main board game sungguhan lagi,” jawabnya sambil tenggelam semakin
dalam ke bantal empuknya.
“Kamu kelihatan
nyaman banget di situ,” kataku.
“Ini benar-benar
surga. Tidak bisa jadi model iklan bantal ini adalah satu-satunya penyesalanku
sebagai mantan idol.”
“Promosi bantal, bukan
menyanyi dan menari... benar-benar bertolak belakang, ya.”
Sambil
menertawakannya, aku bersandar ke tempat tidur.
Hhh... Rasanya
nyaman sekali. Suasana ini mengingatkanku pada hari-hari malas di musim panas.
Padahal, baru
seminggu berlalu sejak masa-masa itu.
Setelah sekolah
dimulai, aku diam-diam merasa senang karena kami masih bisa menghabiskan waktu
santai bersama seperti ini.
“Sepertinya kita
butuh sedikit istirahat,” ujar Makura-san dengan suara yang malas, seakan cocok
dengan suasana tenang yang melingkupi kami.
Setelah jeda
singkat, dia melanjutkan, “Hari ini kita akan main sampai malam, jadi gimana
kalau kita tidur siang sebentar?”
“Ya, kalau kamu mau,
aku juga oke,”
“Pastinya! Tidur
siang yang bebas seperti ini adalah inti dari kemalasan sejati,” katanya sambil
bangkit dan meminum air dari botolnya.
Mengikuti
gerakannya, aku pun menyesap teh yang kubawa.
“Gunakan tempat
tidur saja, Gakudou-kun. Aku sudah sangat nyaman dengan bantal besar ini,”
“Ah, terima kasih,
kalau begitu.”
Mendengar
persetujuanku, Makura-san kembali menjatuhkan tubuhnya ke bantal besar dengan
senyum puas.
“Hahaha. Karena aku
sudah pakai piyama, aku bisa langsung tidur kapan saja. Piyama memang yang
terbaik,” katanya, terdengar puas.
“Memang sih, tidur
dengan baju biasa kadang kurang nyaman... Tapi hati-hati, kalau kamu terlalu
nyaman, bisa-bisa sudah malam saat bangun nanti.”
Makura-san tertawa,
“Kalau sampai begitu, ya sudah, terima saja. Itu pun sudah cukup menyenangkan.”
Namun tiba-tiba, dia
terdiam. Aku menoleh dan melihatnya menatapku dengan raut wajah serius, sedikit
mengangkat kepalanya.
“A, anu...
Gakudou-kun...”
“Ya?”
“Um... se-se-selamat
tidur...”
“Ah... ya, selamat
tidur,”
Makura-san terlihat
seperti ingin mengatakan sesuatu, tapi pada akhirnya, dia hanya bergumam dengan
canggung lalu terdiam.
Rasanya seolah dia
ingin membicarakan sesuatu yang penting, tapi entah kenapa, dia memilih untuk
tidak melanjutkannya. Karena dia sudah mulai bersiap untuk tidur, aku pun
memutuskan untuk tidak menanyakan lebih jauh saat itu.
Yah, kalau itu hal
penting, mungkin dia akan membicarakannya nanti setelah bangun.
“Fwaaah...”
Aku mengikuti
dorongan kantuk yang perlahan datang, dan akhirnya, aku pun berbaring di tempat
tidur Makura-san.
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧
◆
Pov Makura Koiro
Aku bisa mendengar
napas Gakudou-kun yang sudah mulai tertidur. Dengan hati-hati, aku bergeser
sedikit agar tidak membangunkannya.
――Aku terlalu malu
untuk mengatakannya.
Semoga Gakudou-kun
tidak terlalu memikirkannya...
Hari ini, setelah
sekian lama, kami bisa bermain game bersama lagi, dan rasanya sangat
menyenangkan.
Tapi sebenarnya, ada
satu permintaan yang ingin kusampaikan kepadanya.
Namun, dalam
hubungan kami saat ini, permintaan itu terasa aneh, jadi aku tidak bisa
mengatakannya.
Mudah-mudahan, suatu
hari nanti, akan ada kesempatan lagi untukku mengungkapkannya.
Dengan pikiran itu, aku perlahan menutup mata.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.