Muboubi kawaii pajama sugata no bishoujo to heya de futarikiri chap 3 v2

Ndrii
0

Bab 3

Rasa Kenangan yang Diperbarui




Sejak pertama kali berangkat ke sekolah bersama, kami juga mulai sering pulang bersama selesai sekolah.

 

Hari itu, sebelum para siswa lain keluar dari sekolah, aku dan Makura-san sudah bertemu di depan gerbang sekolah, lalu berjalan pulang melewati jalan pintas yang biasa kami gunakan.

 

Dalam suasana sore yang hangat dengan sinar matahari terbenam mewarnai pemandangan, Makura-san yang berjalan ringan di depanku tiba-tiba menoleh dan menatapku.

 

“Nee, gimana kalau kita melakukan sesuatu yang terasa seperti aktivitas anak SMA?”

 

“Oh? Seperti apa contohnya?”

 

“Jajan di jalan!”

 

Sepertinya dia sudah memikirkan jawabannya sebelumnya. Dia langsung menjawab tanpa ragu.

 

“Jajan di jalan, maksudnya berhenti di suatu tempat dan makan sesuatu?”

 

“Betul! Entah itu di minimarket, kios takoyaki, taiyaki, atau mungkin kios crepes, pokoknya apa saja. Kan anak-anak sekolah sering melakukan itu, ya kan?”

 

“Entahlah kalau semua anak sekolah melakukannya... Tapi, ya, aku sering lihat anak-anak yang habis dari kegiatan klub mampir dulu sebelum pulang. Bahkan mungkin anak SMP pun sudah mulai melakukan itu.”

 

“Benarkah? Hmm, soalnya aku jarang pergi ke sekolah waktu SMP...”

 

“Ah, iya...”

 

Aku tahu situasi Makura-san. Waktu itu, dia sibuk dengan kegiatan idol nya.

 

Sekarang, setelah dia bisa kembali ke sekolah, mungkin dia ingin mencoba hal-hal yang dulu tidak sempat dilakukannya.

 

“Baiklah, ayo kita pergi.”

 

“Yay!”

 

Mendengar jawabanku, Makura-san melompat kecil dengan riang. Kegembiraannya terasa jelas.

 

“Tapi, mau ke mana? Ada sesuatu yang kamu inginkan?”

 

Saat aku bertanya begitu, Makura-san menatap ke atas dengan berpikir sejenak, lalu tersenyum lebar dan menatapku.

 

“Aku mau rekomendasi dari Gakudou-kun!”

 

“Rekomendasi dariku?”

 

“Ya! Soalnya, aku baru pindah ke sini sekitar setengah tahun, dan jarang keluar rumah, jadi aku nggak tahu banyak tempat di sini. Apalagi di jalan pintas ini, yang hampir nggak pernah aku lewati.”

 

“Begitu, ya...”

 

Kalau begitu, wajar saja kalau dia mengandalkanku. Tapi—

 

“Ngomong-ngomong, kamu mau makanan yang seperti apa?”

 

“Hmm, terserah kamu deh!”

 

Ini sedikit rumit.

 

Karena aku sendiri sebenarnya belum pernah jajan di jalan sepulang sekolah. Paling-paling aku hanya mampir ke minimarket untuk beli roti jika lapar saat perjalanan ke tempat les.

 

Aku tidak punya referensi untuk tempat yang tepat untuk mengajaknya. Tapi, di satu sisi, aku tidak ingin mengecewakannya.

 

Tadi dia sempat menyebut takoyaki dan crepes, kan? Aku memejamkan mata, mencoba mengingat-ingat jika ada tempat yang cocok di sekitar sini.

 

“…Ah.”

 

Tiba-tiba, sebuah ingatan muncul di benakku.

 

Mendengar gumamanku, Makura-san segera menoleh dan menatapku penasaran.

 

“Ada tempat bagus, ya?”

 

“Bagaimana kalau sesuatu yang dingin? Kita sedikit memutar jalan, tapi ada tempat bagus yang agak jauh dari jalan besar,”

 

“Bagus sekali, sesuatu yang dingin. Aku sudah tidak sabar, terima kasih,” jawab Makura-san dengan antusias.

 

“Aku juga menantikannya,” balasku sambil tersenyum.

 

Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku ke tempat itu.

 

Kami berjalan melewati pematang sawah, hingga sebuah kolam kecil terlihat di depan. Jika ingin menuju rumah Makura-san, biasanya kami akan berbelok menuju area perumahan di sini, tetapi kali ini, kami terus berjalan di sepanjang kolam. Di bawah langit senja, banyak capung terbang rendah, berputar-putar di udara.

 

Setelah melewati trotoar di tepi kolam, kami berhenti sejenak di lampu lalu lintas. Meski jalanan sepi, kami menunggu lampu hijau menyala dengan sabar.

 

“Setelah belok di dekat binatu koin itu, ada pintu masuk ke sebuah pusat perbelanjaan tua. Sebagian besar toko di sana sudah tutup, dan jarang ada orang yang lewat. Kamu pernah kesana?” tanyaku.

 

“Belum pernah. Apa tempat tujuan kita di pusat perbelanjaan itu?”

 

“Yah, lebih tepatnya, itu bukan toko. Ada truk penjual keliling yang biasanya berhenti di dekat pintu masuk.”

 

Tempat itu sudah lama tidak berubah. Aku jarang sekali ke sana, tapi terakhir kali aku melewati daerah itu tahun lalu, truknya masih ada di posisi yang sama seperti dulu.

 

Kata orang-orang, pemilik truk adalah seorang kakek yang menjalankan usaha di depan rumahnya. Aku yakin dia masih ada di sana hari ini...

 

Dan benar saja, saat kami melihat tanda pusat perbelanjaan, Makura-san berseru, “Oh! Warabi mochi?”

 

Dia membaca tulisan di spanduk di samping truk penjual keliling itu.

 

“Ya, benar,” jawabku.

 

“Eh gimana nih, aku jadi sangat ingin mencobanya!” Makura-san berlari kecil menuju truk itu, dan aku mengikutinya.

 

Kakek penjual yang sedang duduk perlahan berdiri ketika melihat kami mendekat.

 

“Mau beli berapa?” tanya kakek itu.

 

Satu bungkus dihargai 300 yen.

 

Aku berbisik pada Makura-san, “Aku pernah makan warabi mochi di sini sebelumnya. Satu bungkus isinya cukup banyak, sepertinya kamu nggak bakal bisa habisin sendiri.”

 

“Kalau begitu, kita bagi dua saja, ya?” usul Makura-san.

 

Aku mengangguk setuju, lalu memesan satu bungkus pada kakek penjual.

 

Kakek itu membuka tutup baskom besar, memperlihatkan warabi mochi yang bening mengambang di air dingin dengan es batu. Dengan saringan logam, kakek itu mengambil warabi mochi dan memasukkannya ke dalam wadah plastik putih. Dia menaburi warabi mochi dengan banyak kinako (tepung kedelai), lalu menutupnya. Setelah itu, dia mengikat bungkusannya dengan karet gelang dan menyelipkan dua tusuk bambu, lalu menyerahkannya padaku sambil berkata, “Ini dia.”

 

Aku menyerahkan beberapa koin yang sudah kusiapkan, lalu menerima bungkusannya.

 

“Nanti aku bayar setengahnya, ya,” kata Makura-san.

 

“Tidak usah. Aku sering main ke rumahmu, anggap saja ini gantinya.”

 

“Kalau begitu, terima kasih banyak! Aku akan menikmati traktiranmu.”

 

Kami mengucapkan terima kasih kepada kakek itu dan mulai berjalan kembali.

 

Ketika kami tiba kembali di dekat kolam, kami menemukan tangga kecil dan duduk di sana.

 

“Ayo, kita makan!” seru Makura-san dengan penuh semangat.

 

Aku memberikan satu tusuk bambu padanya, lalu membuka bungkusannya. Sambil memegang wadah itu, aku menyerahkannya padanya.

 

“Kamu duluan,” kataku.

 

“Terima kasih. Selamat makan!” kata Makura-san sambil menusuk sepotong warabi mochi dengan tusuk bambu dan memasukkannya ke mulutnya.

 

“Ah! Tunggu sebentar, ini enak banget!” serunya dengan antusias.

 

“Benarkah? Syukurlah,” jawabku sambil tersenyum.

 

Aku pun mencoba satu potong. Warabi mochi itu memiliki banyak kandungan air, dingin, lembut, dan begitu dikecap langsung meleleh di mulut. Bersamaan dengan itu, rasa manis dari kinako menyebar memenuhi lidah.

 

“Memang enak.”

 

“Benar! Aku belum pernah makan warabi mochi seperti ini sebelumnya. Rasanya unik.”

 

“Jauh berbeda dari yang dijual di supermarket, kan?”

 

Makura-san mengambil potongan lainnya dan memakannya lagi. Dengan kedua tangan menempel di pipinya, ia menggoyangkan kakinya dengan riang. Aku senang melihat ia begitu menyukainya.

 

“Seperti yang kamu bilang, ini banyak sekali.”

 

“Iya, kan? Ayo makan perlahan-lahan.”

 

“Kinako-nya juga banyak, aku suka sekali.”

 

Kami terus menikmati warabi mochi sambil memandangi kolam di depan kami. Angin sepoi-sepoi berhembus, menggerakkan permukaan air yang diterangi cahaya matahari senja.

 

Dalam beberapa menit lagi, ketika udara semakin dingin, langit sore pasti akan terlihat lebih indah dan jernih. Rasanya aku tak sabar menantikan hari-hari seperti itu.

 

Suasana di sekitar kami sangatlah menenangkan, hampir tak ada orang yang lewat. Waktu pun seakan berjalan lambat dalam kedamaian ini.

 

“Ah, ini menyenangkan sekali, ya. Beli makanan di luar seperti ini,” kata Makura-san tiba-tiba.

 

“Ini yang ingin kamu lakukan, kan?”

 

“Ya! Rasanya sangat seperti anak SMA, aku suka!”

 

Beli makanan sepulang sekolah. Ini juga pertama kalinya aku melakukannya, tapi ternyata, tidak buruk juga. Ada perasaan seperti sedang menikmati masa muda.

 

Makura-san yang mengenakan seragam olahraga, membuat suasana ini bukan hanya terasa seperti anak SMA yang mampir sepulang sekolah, tapi juga seperti seorang siswa yang mengisi perut setelah latihan.

 

...Tapi, benarkah hanya begitu?

 

Aku diam-diam melirik ke arah wajahnya.

 

Wajah mungil dengan mata besar, bulu mata yang melengkung ke atas, dan kulit seputih porselen... setiap detailnya begitu sempurna, sampai-sampai terasa seperti tidak nyata. Seolah-olah kehadirannya di sini adalah hal yang tak mungkin.

 

Tidak ada gadis SMA lain seperti dirinya. Belum pernah aku melihat yang sepertinya.

 

Bersama dengan dia seperti ini, perasaan “seperti anak SMA” justru terasa hilang, digantikan oleh sensasi aneh yang seolah-olah aku tidak sedang berada di dunia nyata.

 

Saat aku tenggelam dalam pikiran-pikiran itu, Makura-san tiba-tiba berbicara lagi, “Tempat ini cukup jauh dari sekolah, ya.”

 

Dia sedikit meluruskan punggungnya sambil menoleh ke belakang, melihat sekeliling.

 

“Ya, benar,” jawabku.

 

“Dan juga jauh dari rumahmu, kan?”

 

Aku mengangguk lagi.

 

Kemudian, Makura-san kembali menatapku dan bertanya, “Kamu sering ke sini, ya?”

 

Sepertinya dia penasaran bagaimana aku bisa tahu tentang warabi mochi ini. Wajar saja, tempat ini memang cukup terpencil, dan tak banyak orang yang melewatinya tanpa alasan.

 

“Dulu, aku sering ke sini,” jawabku.

 

Ketika aku menjawab, Makura-san sedikit menyipitkan matanya.

 

“Begitu ya! ...Sama siapa?”

 

“Sama siapa, maksudmu? Bisa saja aku datang sendiri, kan?”

 

“Warabi mochi di sini, katanya tidak bisa dihabiskan sendiri, kan? Kalau tahu tidak bisa habis sendiri, apa mungkin kamu datang ke sini berkali-kali sendirian?”

 

Makura-san ternyata cukup tajam. Memang benar, setiap kali aku datang ke penjual warabi mochi ini, aku tidak pernah datang sendirian.

 

Bukan berarti aku ingin menyembunyikannya. Terutama kepada Makura-san, aku tidak masalah untuk bercerita.

 

“Ya... Setiap kali aku ke sini, biasanya aku selalu datang bersama ibuku.”

 

“Oh, ibumu ya.”

 

Entah mengapa, suaranya terdengar seperti lega, membuatku sedikit mengernyitkan dahi. Namun, sebelum aku sempat bertanya, dia cepat-cepat menambahkan, “Ah, begitu. Jadi itu alasannya!”

 

“Benar. Tadi aku bilang dulu sering datang ke sini, itu karena ini cerita dari masa kecilku. Dari saat aku masih di TK sampai awal SD. Di ujung jalan ini, di dalam kawasan pertokoan itu, ada kelas pendidikan khusus untuk anak-anak. Mereka menyebutnya pelatihan pengembangan otak, yang katanya untuk melatih otak kanan dan memaksimalkan potensi anak. Aku mengikuti pelajaran itu seminggu sekali.”

 

“Eh, keren sekali! Seperti yang diharapkan dari Gakudou-kun.”

 

“Yah, tidak ada yang istimewa meskipun aku ikut kelas itu. Hanya saja, setelah pulang dari sana, ibuku sering membelikanku warabi mochi di sini.”

 

“Ah, jadi ini semacam kenangan manis juga, ya? Warabi mochi ini, rasanya penuh nostalgia.”

 

Kenangan manis, ya?

 

Mungkin memang begitu kalau dilihat sekarang.

 

Aku tidak terlalu suka mengikuti kelas itu, tapi setiap kali ibuku membawaku ke penjual warabi mochi setelahnya, aku selalu merasa sangat senang.

 

Sampai hari ini, saat aku datang ke sini bersama Makura-san, aku tidak pernah terpikirkan tentang hal itu—.

 

“Tinggal satu lagi,” suara Makura-san menyadarkanku dari lamunan. Ketika aku melihat ke bawah, benar saja, hanya ada satu potong warabi mochi tersisa. Makura-san, dengan gaya mengisyaratkan “Silahkan,” memberikannya padaku.

 

“Tidak, kamu saja.”

 

“Tidak, tidak. Aku sudah makan lebih banyak tadi.”

 

“Tapi kamu suka, kan? Ayo, makan yang terakhir juga.”

 

“Ah, aku merasa tidak enak. Sebenarnya aku sering makan dua potong sementara kamu baru makan satu. Dan aku juga menambahkan lebih banyak kinako, lho.”

 

“Benarkah? Tapi, aku tidak mempermasalahkannya kok. Aku malah ingin kamu yang menghabiskannya.”

 

“Ah, tidak, tidak. Ini adalah kenangan masa kecilmu, kamu yang harus menikmati bagian terakhirnya.”

 

Untuk pertama kalinya, Makura-san tampak bersikeras, dan kami saling mendorong potongan terakhir itu. Mungkin karena aku baru saja menceritakan kisah masa kecilku, jadi dia bersikap seperti ini.

 

Akhirnya, Makura-san mengulurkan tusuk bambunya ke arah piringku. Aku berpikir dia akhirnya mau mengalah, tapi—.

 

Dia mengambil potongan terakhir warabi mochi dengan tusuk itu dan tiba-tiba menyodorkannya ke mulutku.

 

Sensasi dingin dan kenyal dari warabi mochi menyentuh bibirku.

 

Saat aku masih bingung, Makura-san dengan singkat berkata, “Aaaah...”

 

Aku sudah terlanjur menyentuhnya, jadi tak ada pilihan lain selain memakannya. Dengan terpaksa, aku menggigit warabi mochi itu. Tusuk bambu sedikit menyentuh bibirku, membuat jantungku berdetak kencang.

 

“Bagaimana? Enak, kan?”

 

Makura-san menatapku dengan senyum nakal, menunggu reaksiku. Aku mengangguk pelan, dan dia terkikik pelan, “Fufufu.”

 

...Sepertinya, rasa kenangan juga bisa diperbarui.

 

Meskipun warabi mochi yang dingin sudah turun melewati tenggorokanku, rasa manis yang lembut masih tersisa di mulutku cukup lama.



     

 

“—Tapi, enak sekali, ya.”

 

Setelah istirahat sejenak, aku berdiri dan meregangkan tubuhku. Suara ketegangan dalam tubuhku terasa melepaskan.

 

“Itu benar-benar enak! Terima kasih telah memberitahuku,” Makura-san juga ikut berdiri.

 

Rasanya sudah waktunya untuk pulang. Sampah dari warabi mochi bisa dibuang di rumah nanti.

 

Sambil memikirkan hal itu, tanpa sengaja aku menyebutkan, “Tempat itu, kalau sudah sedikit lebih dingin, akan berubah jadi penjual ubi bakar.”

 

Tiba-tiba, Makura-san menoleh dengan semangat. “Serius? Benarkah!? Ubi bakar!?”

 

Aku terkejut dengan semangatnya dan hanya bisa menjawab, “W-Wah, apa-apaan ini?”

 

“Kamu tidak tahu? Pertanyaan, Jawablah perasaan seorang gadis ketika diberitahu bahwa akan ada penjual ubi bakar.”

 

“Ini dalam bentuk kuis!?”

 

“Ini format soal. Ini akan muncul dalam ujian, lho?”

 

“Akan ada dalam ujian!? Tak kusangka aku kurang persiapan.”

 

“Oh iya, ini sastra jepang. Petunjuknya adalah, musim gugur yang menggugah selera.”

 

...Meskipun tanpa petunjuk, aku sudah bisa menebaknya.

 

“Apa kita akan datang ke sini lagi?”

 

Mendengar kata-kataku, Makura-san tersenyum puas dan tertawa kecil, “Hehehe.”















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !