Chapter 3
Pada hari biasa, pagi ini
aku bangun sedikit lebih awal dari biasanya. Mungkin karena semalam aku tidur
lebih awal.
Biasanya aku akan tidur
lagi sampai alarm berbunyi, tetapi hari ini aku tidak merasa mengantuk lagi dan
ingin langsung bangun saja.
Setelah meregangkan tubuh
di atas tempat tidur, aku langsung pergi ke kamar mandi. Karena lebih pagi dari
biasanya, mungkin Reina ada di sana, jadi aku mengetuk pintunya pelan. Setelah
memastikan tidak ada jawaban, aku masuk, menyikat gigi, dan mencuci muka. Hanya
perbedaan waktu, pagi ini sama seperti biasa.
(Tapi, barang-barangnya
banyak sekali ya)
Barang-barang milik Takeru
di kamar mandi hanya sikat gigi, pasta gigi, sabun wajah, dan air pembersih.
Sedangkan milik Reina, meskipun sikat gigi dan pasta giginya sama, sisanya
banyak sekali.
Bukan hanya banyak botol,
tapi juga ada alat-alat aneh yang tidak Takeru ketahui fungsinya. Takeru
berpikir gerakan Reina yang halus adalah hasil jerih payahnya, rupanya
penampilannya juga demikian. Membuat Takeru merasa insecure.
Meski sedikit tertekan,
setelah menggosok gigi dan mencuci muka lalu berganti pakaian, Takeru menuju ke
ruang tamu dan mendapati Reina yang sudah mengenakan seragam sedang sarapan.
Begitu melihat Takeru, dia terlihat terkejut tapi kemudian tersenyum lembut.
"Selamat pagi,
Takeru-san."
"Ah, pagi...
Reina."
Saat Takeru membalas
salamnya, Reina menyipitkan matanya yang bulat dengan lembut, dia semakin
melengkungkan senyumnya.
"...Tunggu sebentar,
aku akan menyiapkan sarapan untukmu."
"Ah tidak usah. Aku
bisa menyiapkannya sendiri."
Takeru terburu-buru
menghentikan Reina yang hendak berdiri. Menyiapkan sarapan hanya dengan
menuangkan sup dan salad yang sudah jadi, lalu memanggang roti.
"Di buatin sarapan
oleh dirimu saja, aku sudah cukup bersyukur."
Sambil mengangkat bahu,
Takeru memasukkan roti ke pemanggang dan menyiapkan minuman.
"Takeru-san, apa kamu
mimpi indah semalam?"
"...Meski tidak mimpi
indah, aku selalu begini."
Sepertinya Reina memiliki
persepsi buruk tentang Takeru. Takeru berpikir begitu melihat Reina tertawa
kecil, tetapi Reina kemudian menggelengkan kepalanya perlahan, rambut kastanyenya
sedikit bergoyang.
"Bukan begitu, tapi
aku merasa suasana hati kamu baik hari ini."
"Bukannya sama
seperti pagi biasanya?"
Sampai bangun dan pergi ke
kamar mandi memang sama. Yang berbeda adalah setelahnya.
"Benar juga."
Meskipun Reina setuju,
senyumannya yang lembut sepertinya menyadari sesuatu. Ah, tentu saja karena
barisan botol-botol yang rapi itu.
Sementara perbincangan itu
berlangsung, roti telah matang. Takeru lalu duduk di seberang Reina.
"Ittadakimasu."
"Silakan
dinikmati."
Sarapan yang dibuatkan
Reina pada dasarnya terdiri dari roti, sup, dan salad. Hal ini karena ketika
ditanya tentang sarapan, Takeru menjawab "Pagi hari aku biasanya hanya
makan roti." Maksudnya adalah karena merepotkan membuat yang lainnya, jadi
dia membeli dan memakan roti saja. Tapi Takeru tidak mengatakannya secara
gamblang.
Reina bilang dia lebih
mahir memasak masakan Jepang daripada masakan Barat, tetapi untuk roti seperti
roti panggang atau baguette, jenisnya selalu berganti setiap hari. Begitu pula
dengan sup dan saladnya. Meski kriterianya tidak jelas, kadang-kadang disertai
olahan telur, menyesuaikan roti dan lauk lainnya. Saat ini hal itu menjadi
salah satu kesenangan Takeru sehari-hari.
Hari ini adalah roti
panggang, sup konsomé, dan salad dengan kol sebagai bahan utama. Takeru
mengoleskan mentega pada rotinya sebelum menyuapkan sup ke mulutnya.
(Tln: “Sup konsome” adalah
ejaan alternatif dari “sup konsumé”, yang merupakan hidangan sup yang disajikan
dalam mangkuk khusus bernama consommé. Biasanya, sup konsumé adalah sup kaldu
yang sangat jernih yang telah disaring dengan teliti untuk menghilangkan segala
endapan dan partikel, sehingga hasilnya sangat transparan dan jernih.)
"Takeru-san hanya
makan roti dengan mentega saja? Sepertinya selainya tidak pernah
berkurang."
"Begitulah. Bukan
selalu sih, tetapi memang sering merasa ingin mentega saja."
"Begitu ya."
"Apakah Reina suka
selai jeruk?"
Karena di atas piring
Reina juga ada roti dengan selai jeruk, dan mengingat di kulkas, sepertinya
selai jeruk yang paling cepat habis di antara selai-selai yang lain.
Ternyata ada hal-hal baru
yang kuremukan karena ini adalah kali
pertama aku sarapan bersamanya.
"Ya, benar."
"Jadi kamu suka rasa
jeruk?"
"Kamu benar-benar
memahaminya."
"Yah, kira-kira
begitu."
Takeru masih ingat saat
pertama kali Reina mengunjungi rumah ini, ada aroma jeruk menguar saat dia
mendekat. Mungkin inilah alasan di balik 'kira-kira begitu' itu.
“Entah bagaimana, memang
begitu ya.”
Reina menyipitkan matanya,
menutupi mulutnya, dan terkekeh “Fufun”.
“Ada apa?”
“Tidak, tidak ada apa-apa.”
“Begitu.”
Reina terkekeh lagi
“Fufun”.
“Cepat makan atau kita
akan terlambat.”
“Ya, benar.”
Meski aku sendiri berpikir
‘Dari mulut siapa kata itu keluar’, Reina tersenyum ceria dan mengangkat
cangkir ke bibirnya.
Namun, aku menyadari
kecepatanku makan lebih lambat dari biasanya. Bukan hanya karena kami mengobrol
atau karena aku punya banyak waktu, tapi karena waktu ini terasa menyenangkan.
Makanan buatan Reina
selalu lezat setiap pagi, tapi hari ini rasanya lebih istimewa, dan meja makan
terasa lebih cerah dari biasa.
(Ah, benarkah lebih
cerah?)
Aku menyadari gorden
beranda yang biasanya tertutup, terbuka pagi ini. Mungkin Reina membukanya
sebelum pergi, jadi saat aku makan pagi, biasanya tertutup.
Aku tidak pernah membuka
gorden sebelum berangkat sekolah. Karena bakalan ditutup lagi. Apa yang
dilakukan Reina seharusnya bukan hal istimewa. Tapi kehangatan yang kurasakan
bukan hanya dari sinar matahari saja.
Tiba-tiba aku menoleh ke
arah Reina dan pandangan kami bertemu. Meskipun dia hampir menghabiskan
makanannya sementara aku baru memulai, dia tidak langsung melanjutkan makannya.
“Kamu tidak perlu menungguku.”
“Bukan begitu, tapi karena
ini pertama kalinya kita sarapan bersama, jadi aku ingin menunggu sampai
akhir.”
Reina sedikit
membungkukkan kepalanya dengan malu-malu.
“Ah, maaf. Aku jadi
membuatmu terburu-buru ya.”
Dengan panik dia berkata
begitu, tapi tetap dengan gerakan anggun dia melanjutkan makan sisanya.
“Ah tidak, aku juga
berpikir begitu, jadi tidak usah dipikirkan.”
“Takeru-san...”
“Tapi, besok kita bisa
bicara ‘ittadakimasu’ bersama-sama, jadi hari ini kamu duluan saja.”
“...Ya. Aku
menantikannya.”
Aku juga menantikannya.
Batinku menambahkan saat melihat ekspresi menggemaskan Reina yang tersenyum.
◇ ◇ ◇
“Reina, mau main dulu
sebelum pulang?”
“Maaf. Aku senang diajak,
tapi aku harus menyiapkan makan malam.”
Saat makan siang berempat,
Mana membuka percakapan dengan nada ringan “Oh iya”. Reina menundukkan
kepalanya meminta maaf.
Sejauh yang kutahu, dia
selalu menolak ajakan main sepulang sekolah dengan alasan yang sama. Tapi
kupikir itu karena dia tidak terlalu dekat dengan anak laki-laki yang
mengajaknya. “Kamu tinggal sendiri, jadi sesekali makan di luar juga tidak
apa-apa kan? Ah, bukan berarti aku menyuruhmu begitu hari ini ya.”
“Memang benar, tapi...”
Reina yang duduk di
hadapanku mengerutkan alisnya dan nada bicaranya menjadi ragu.
“Kenapa tidak?”
“Eh?”
Reina yang sedari tadi
tidak menatapbTakeru, membelalakkan matanya ke arahku. Ryouma di sampingnya
bergumam “Hnn?” dan Mana di seberangnya bergumam “Hah?”
“Yah...”
Aku kira mereka akan
dengan mudah mengabaikannya, tapi malah menjadi pusat perhatian, jadi aku
kehilangan kata-kata.
“Seperti yang dikatakan
Sakaki-san, Reina tidak perlu selalu memasak sendiri setiap hari kan?”
Jika Reina benar-benar
tinggal sendiri, seharusnya dia melakukan seperti yang dikatakan Mana. Artinya,
yang menjadi beban bagi Reina saat ini adalah aku. Sejak topik ini keluar, dia
terus mengalihkan pandangannya dariku, jadi itu juga mudah dipahami.
Ungkapan penolakannya
mungkin sama seperti kepada yang lain, tapi ekspresi dan nada bicaranya berbeda
dari sebelumnya. Jelas sekali bahwa sebenarnya Reina ingin menerima ajakan
Mana.
Aku senang bisa menikmati
masakan Reina, tapi aku tidak ingin mengikat kehidupan masa mudanya.
“Aku sendiri bahkan tidak
pernah memasak sama sekali.”
“Takeru-san...”
Meskipun aku menggunakan
istilah ‘memasak sendiri’, sepertinya Reina menangkap maksudku dengan baik.
“Kamu juga sesekali harus
memasak sendiri.”
Sambil mengejek, Ryouma
menyikut Takeru. Lalu dengan sengaja dia mengangkat kacamatanya yang tidak pas
dan memasang senyum sinis.
“Bisa jadi Amaniya-san
tidak ingin bermain dengan Sakaki, jadi tidak baik mengambil alasannya untuk
menolak.”
“Tentu saja tidak begitu!”
Disertai suara kering,
Mana menggerakkan nampan di atas meja dan menatap Reina, “Iya kan?”
“...Ya. Aku juga ingin
pergi dengan Mana-san.”
Meskipun seperti dipaksa
mengatakannya, senyum masam Reina bukan pertanda menyerah, melainkan penuh
harapan.
“Oke, diputuskan! Kapan
kita melakukannya? Hari ini? Atau hari ini? Iya, hari ini kan?”
Sementara Ryouma bergumam
heran “Kamu terlalu bersemangat”, Reina yang kebingungan menatapku seolah
bertanya, “Apakah tidak masalah jika hari ini?”
Jika Reina tidak
keberatan, kapan pun tidak masalah bagiku. Aku mengangguk kecil dan wajahnya
sedikit rileks.
“Baiklah. Kalau begitu
hari ini, aku akan ikut dengan kalian.”
“Yay!”
Mana membuat gaya semangat
dan kemudian entah kenapa menatapku. “Iriya-kun, jangan buat jadwal lain
sepulang sekolah nanti ya.”
“Kenapa aku?”
Seharusnya tidak
mengasumsikan aku sudah punya rencana lain, tapi karena memang tidak punya
jadwal lain, aku hanya bertanya sembari tersenyum seperti sedang merencanakan
sesuatu kepada Mana.
“Eh? Karena kita akan
pergi bersama-sama.”
“Kenapa begitu? Kalau kamu
butuh orang lain, kamu bisa mengajak teman sekelas perempuan kan?”
“Ini yang pertama, jadi
aku tidak mau terlalu banyak orang dulu. Lagipula banyak yang ingin pergi
dengan Reina, jadi bisa terjadi pertengkaran memilih siapa yang diajak.”
Memang benar, jika terlalu
banyak orang mungkin akan membuat Reina lebih kaku.
“Kalau begitu kenapa tidak
pergi berdua saja?”
“Pasti Reina akan lebih
tenang jika ada teman lama. Juga untuk menghindar dari pria hidung belang. Atau
kamu ingin membiarkan sesuatu terjadi terhadap kami berdua?”
“Ancaman macam apa itu.”
Setidaknya aku tidak
menganggap Mana sebagai orang yang akan mencelakai Reina. Meski tidak menutup
kemungkinan dia akan mengajarkan hal yang tidak baik.
Namun, aku menyadari Reina
sekilas melirikku. Sepertinya dia mengharapkan aku ikut.
“...Baiklah.”
Setelah menghela nafas
panjang dan menyetujui, Reina tersenyum lebih lebar ketika Mana mengangguk
bersemangat.
Reina pasti menganggap
Mana sebagai teman, tapi rasanya dia sedikit gugup jika hanya berdua saja
dengannya. Mengingat Reina bersekolah di sekolah khusus putri, Mana pasti teman
dengan tipe yang sangat baru baginya.
“Jadi kita berempat akan
pergi bersama begitu?”
“Berempat? Orang cuman
bertiga.”
“Hei, jangan
mengecualikanku dengan natural begitu.”
Ryouma langsung menyela
Mana yang dengan sengaja mencondongkan kepalanya dengan ekspresi menggoda.
Mereka lalu bercanda satu sama lain. Melihat itu, Reina tersenyum lembut.
“Pasti akan menyenangkan.”
“Ya, begitulah.”
“Ya.”
Setelah mengangguk dengan
wajah ceria penuh harapan, Reina berbisik pelan, “Terima kasih banyak.”
Suaranya kecil tapi menyiratkan kebahagiaannya.
“Jadi, kita mau ke mana?”
Setelah berjalan beberapa
menit dari gerbang sekolah karena khawatir menarik perhatian, Ryouma menanyakan
itu ketika kami berkumpul.
“Nah, ke mana Sakaki?”
“Hmm, karaoke mungkin?
Kafe atau restoran keluarga atau window shopping mungkin oke kalau hanya anak
perempuan, tapi daripada hanya mengobrol lebih baik ke tempat yang bisa buat
main.”
“Ya, ide bagus. Kenapa
tidak?”
“Eh, Apa-apaan nada arogan
itu?”
“Aku memujimu tadi.”
Saat mereka
bercakap-cakap, entah sejak kapan Reina sudah berdiri di samping Takeru dan
terkikik geli sambil menutupi mulutnya.
“Bagaimana kalau karaoke?”
“Aku tidak punya
pengalaman, tetapi bukan berarti aku tidak bisa menyanyikan lagu apa pun, jadi
mungkin tidak masalah.”
Seperti dugaanku, Reina
tidak punya pengalaman ke karaoke. Meskipun begitu, karena dia tetap tersenyum,
kurasa tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya. Tapi aku penasaran apakah dia
bisa menyanyikan lagu-lagu terbaru. Mungkin bukan masalah besar bagiku yang
repertoarnya terbatas.
“Karena keadaan rumah, aku
jarang bertemu dengan orang-orang dari industri hiburan. Jadi sebelum bertemu,
aku akan meneliti sedikit tentang mereka.”
“Begitu rupanya.”
Aku mengerti
penjelasannya, tapi sepertinya itu gaya orang dewasa bukan? Sudah lama aku
menjauh dari pergaulan sosial, tapi Reina masih terus berada di dalamnya, aku
menyadari itu lagi.
“Takeru-san.”
“Ya?”
Memanggil Takeru yang
sedang melamun, Reina sedikit mengerutkan alisnya memandangiku, bibirnya
sedikit mengerucut.
Aku tahu dia hanya
pura-pura marah, tapi Reina yang tadi terlihat sangat dewasa, kini kembali
seperti anak seusianya dengan pipi yang sedikit menggembung.
“Sebelumnya mohon maaf, jangan-jangan
kamu mengira aku hanya bisa menyanyikan lagu-lagu enka saja?”
“Ah tidak, aku tidak
berpikir sejauh itu.”
“’Sejauh itu’ ya...”
“...Ya.”
Karena memang sempat
terpikir begitu, aku mengangguk dengan enggan dan Reina sedikit melepas
ekspresinya sambil terkekeh.
“Aku tahu kamu pasti
berpikir begitu.”
“Apa-“
“Iriya-kun, jangan
monopoli Reina dan menyingkirkan Oosaki ya.”
Saat aku hendak bertanya
alasannya, Reina sudah tersenyum dan menghampiri Mana yang cemberut. Sementara
Ryouma datang kepadaku dengan wajah kesal, “Dia mengabaikanku.”
“Bukannya mengabaikan,
kalian kan langsung menempel seperti magnet begitu bertemu.”
“Kamu ini, sudah jelas
kita bukan N dan N.”
“Ya ya.”
Ryouma sepertinya pandai
mengamati orang lain tapi tidak pada dirinya sendiri. Meninggalkannya, Takeru
memutuskan mengejar Reina dan Mana yang sudah berjalan cukup jauh.
“Jangan tinggalkan aku.”
Tapi Ryouma segera
menyusul dan berjalan di sampingku.
“Kamu benar-benar tidak
sopan pada temanmu yang sedikit.”
“Justru kamu yang tidak
sopan bilang ‘temanmu yang sedikit.”
Bukan berarti Takeru
memang punya sedikit teman, hanya Ryouma yang punya terlalu banyak.
Sepertinya.
“Kualitas teman lebih
penting daripada kuantitas, tenang saja.”
Ryouma mengacungkan jempol
kepada dirinya sendiri, aku menatapnya dengan pandangan dingin.
“Jadi, kita mau ke mana?
Tempat biasa?”
“Kapan kamu sering ke
sana...padahal aku yang mengajakmu. Yah, memang ke sana sih.”
“Begitu. Kalau begitu kita
kejar kedua orang itu. Kita juga ditugaskan mengamankan mereka dari pria hidung
belang kan?”
“Ya. Tentu saja
Amaniya-san, tapi Sakaki juga lumayan cantik.”
“...Ayo lari.”
“Jangan tiba-tiha
bersemangat...”
Kali ini Takeru yang
meninggalkan Ryouma di belakang.
Sesampai di tempat
karaoke, saat Mana dan Ryouma berdebat memilih ruangan, Reina celingukan
memperhatikan sekelilingnya. Meski tidak sampai berseri-seri, sepertinya dia
tertarik melihat banyak hal baru di tempat itu.
“Itu... itu namanya drink
bar ya.”
Sepertinya dia juga belum
pernah ke restoran keluarga.
“Alat musik itu...
tamborin dan marakas ya. Meski gampang di mainkan oleh amatir, tapi aku
penasaran apa persamaan di antara keduanya sehingga diletakkan bersama?”
“Yah, yang menjadi
persamaannya adalah karena keduanya mudah mainkan saja.”
“Maksudnya bagaimana ya?”
Meskipun dia sepertinya
tidak bertanya kepadaku, aku spontan menjawab melihat Reina dengan banyak tanda
tanya di atas kepalanya.
“Itu untuk memeriahkan
suasana. Bisa juga pakai tepuk tangan sih, tapi jadi semacam penggantinya
begitu.”
Reina memiringkan
kepalanya dengan ekspresi serius seperti benar-benar heran. Terlihat lucu dan
menggemaskan.
“Bukan, bukan hal yang wajib
kok. Terserah mau digunakan atau tidak saja. Ada juga yang tidak suka diganggu
saat bernyanyi.”
“Jadi bukan sekedar
kompak, tapi ternyata ada banyak aturan mainnya ya...”
“Tidak... yah, kamu benar.
Setidaknya untuk hari ini, kita bisa mengambil contoh dari dua orang itu,
bukan?”
(Daripada menjelaskan
dengan kata-kata, melihat contoh nyatanya akan lebih cepat bagi Reina yang
polos dan jujur. Begitulah pikirku....)
“Hai hai hai hai!”
Mana menyanyikan dengan
sempurna, lengkap dengan koreografi, menyanyikan sebuah lagu idol yang
baru-baru ini populer di SNS video, sementara Ryouma memberikan paduan suara
dan tepuk tangan yang semangat. Biasanya mereka berdua bersikap seperti anjing
dan monyet, tapi dalam situasi seperti ini, mereka sepertinya memusatkan pada
menciptakan suasana yang tepat.
Duduk di sofa yang
membentuk huruf U mengelilingi meja di tengah, Takeru dan Ryouma di sisi dekat
pintu, Reina dan Mana di sisi dekat dinding. Duduk di samping Mana, Reina
melemparkan pandangan memohon kepada Takeru.
Haruskah aku melakukan hal
yang sama? Matanya yang seperti batu amber sedikit berair seperti mengatakan
demikian. Aku merasa sangat bersalah melihatnya gemetaran seperti anak anjing
kecil.
Ketika Takeru
menggelengkan kepalanya kuat-kuat dan mengucapkan “Maaf,” dari gerakan anggun
bahunya, aku bisa melihat Reina menghembuskan napas lega.
Walaupun mengajaknya ke
tempat karaoke sendiri mungkin ide yang bagus, aku mulai merasa membawa
orang-orang ini mungkin sedikit terlalu berlebihan. Aku setengah serius
memikirkan hal itu, tapi Reina sudah mulai bertepuk tangan kecil mengikuti
nyanyian Mana.
(Sepertinya dia bukan tipe
gadis yang terlalu serius)
Meskipun alisnya sedikit
berkerut seperti kebingungan, dari senyumnya yang melengkung lembut dan gerakan
tubuhnya yang mengikuti irama, tak ada kesan bahwa dia sedang berusaha terlalu
keras.
“Yah, capek juga ya.
Bagaimana? Aku manis kan?”
“Ya. Nyanyian dan tarianmu
sangat bagus, dan yang terpenting kamu terlihat sangat menikmatinya dan
bersinar.”
“A-ah, terima
kasih...”
Mana yang baru saja selesai
menyanyi terlihat sangat percaya diri, tapi sepertinya dia tetap lemah terhadap
pujian Reina yang tulus. Wajahnya memerah, entah karena nyanyi sambil menari
atau bukan, rasanya tidak pantas untuk menanyakannya.
“Wajahmu merah, Sakaki.
Kalau malu, jangan tanya aneh-aneh dong.”
Apa sebenarnya arti
kelembutan hati?
“Berisik! Putar lagu
berikutnya.”
“Oke.”
Biasanya saat seperti ini
mereka akan bercanda, tapi kali ini Ryouma langsung memasukkan lagu berikutnya
dan mengambil mic.
Kali ini keadaannya
terbalik, Ryouma tidak mengikuti koreografi tapi tetap bernyanyi dengan gaya yang
berlebihan. Untuk bagian paduan suaranya, Mana yang menanganinya. Reina di
sampingnya sepertinya sudah mulai terbiasa tapi masih tersenyum dengan ekspresi
bingung.
“Tetap saja capek juga
ya.”
“Ya, capek. Memang
melelahkan kalau serius seperti itu.”
Dengan tepuk tangan
ringan, Ryouma mengangkat bahunya. Saat datang kemari dengan Takeru sebelumnya,
dia bernyanyi dengan normal, jadi sepertinya kali ini dia memang berniat untuk
memeriahkan suasana. “Jadi, habis ini giliran siapa? Takeru atau Amamiya-san?”
“Aku akan mengambil minum
untuk semuanya dulu, jadi silakan mainkan saja lagu selanjutnya. Kalian sudah
bersemangat berlebihan sejak masuk ruangan ini.”
Tak di sangka, Mana
langsung meraih mic, sepertinya sudah memutuskan lagu pertamanya sejak tadi.
Menurut dugaan Takeru, mungkin dia ingin membuat pengalaman karaoke pertama Reina
menjadi menyenangkan. Hampir saja terjadi efek sebaliknya.
Sebagian besar alasan dia
menawarkan diri sebagai yang mengambil minum adalah agar Reina dan yang lain
tidak kelelahan, karena kalau tidak, suasananya tidak akan tenang.
“Oh, terima kasih. Kasihan
kalau Sakaki bersemangat sendiri.”
“Padahal kamu sendiri juga
ingin nyanyi, kan? Tapi terima kasih, Iriya-kun.”
Lalu dia berniat
menanyakan pesanan mereka, tapi Reina tersenyum dan berdiri.
“Aku ikut membantu. Pasti
berat membawa empat minuman sendirian, Takeru-san.”
Aku berniat mengatakan
tidak masalah karena akan membawanya dengan nampan, tapi Reina sudah berdiri di
sampingku.
Setelah bertukar
pandangan, Ryouma dan Mana akhirnya juga memesan minuman untuk Reina, jadi aku
dan dia pun meninggalkan ruangan bersama-sama.
“Yakin tidak apa-apa? Aku
bisa membawanya sendiri.”
“Ya. Mana-san dan
Oosaki-san sudah berusaha membuat suasana seru, tapi aku masih belum punya
keberanian untuk bernyanyi setelah penampilan mereka.”
Setelah menutup pintu dan
bertanya, Reina sedikit mengerutkan alisnya dan tersipu malu.
“Apa kamu tidak keberatan,
Takeru-san?”
“Aku juga kurang lebih
sama.”
“Ternyata Takeru-san juga
ya.”
Sambil mengatakan itu,
Reina tertawa kecil dengan tangan di depan mulutnya, lalu mulai berjalan.
“Lagipula aku juga ingin
minum.”
“Ya benar... Dan juga,
aku...”
“Hm?”
Ketika Takeru berjalan di
sampingnya, pipi Reina sedikit memerah dan menatapku malu-malu.
“Aku ingin mencoba
menggunakan drink bar-nya.”
“Ah... begitu
rupanya.”
“Jangan tertawa.”
“Aku tidak tertawa kok.”
Meski aku pikir itu
menggemaskan, aku tidak tertawa. Namun, Reina sedikit mengerutkan bibirnya.
“Meski tidak tertawa
mengejek, tatapan Takeru-san seperti melihat anak kecil.”
“...Mungkin hanya
perasaanmu saja.”
Aku mencoba menyangkalnya
karena itu benar, tapi sepertinya Reina yakin. Dia menggeleng pelan,
mengibaskan rambut kastanyenya dan tersenyum lembut.
“Takeru-san itu mudah
ditebak.”
“Jarang ada yang bilang
begitu sih.”
Aku sadar ekspresi wajahku
bisa terbaca jika sedang senang atau tidak, tapi jarang ada yang mengungkit
perubahan sekecil itu.
“Benarkah? Menurutku
Takeru-san itu mudah ditebak.”
Reina menelengkan
kepalanya dengan ekspresi kurang puas, tapi sepertinya meninggalkan keraguan
itu ketika kami tiba di drink bar.
“Seperti yang kulihat
tadi, mengagumkan sekali satu mesin bisa menyediakan begitu banyak pilihan.”
“Kalau dipikir-pikir lagi,
memang benar.”
“Dan yang ini untuk
minuman panas...bahkan ada sup juga ya.”
Melihat mata Reina yang
berbinar-binar lalu menyipit sedikit, aku sadar pipiku mengendur dan tanpa
sadar menyentuhnya. Tapi aku terlambat.
“Takeru-san?”
“...Bukan apa-apa.”
Reina memanggilku dengan
nada datar sambil berpaling. Wajahnya mirip saat pertama kali melihat kamarku,
tapi kesan yang ditimbulkan sangat berbeda. Dari pipinya yang merona merah,
jelas itu ekspresi yang sengaja dibuat-buat untuk menyembunyikan rasa malunya.
Tidak ada kesan
menyeramkan seperti waktu itu, tapi aku merasa sangat bersalah. Aku mengusik
kesenangannya yang sedang menikmati suasana.
“Aku tidak bermaksud
mengejek kok, aku hanya merasa itu lucu. Jangan tersinggung ya.”
“Eh?”
Reina membelalakkan
matanya terkejut, berkedip beberapa kali, lalu kembali menghadap drink bar
sambil bergumam “Mou.”
(Tln: kalo di indo mungkin
kek “Ihh”)
“Maaf ya.”
“...Aku tidak marah kok. Aku tahu kamu tidak
berbohong.”
“Baguslah kalau begitu.”
Saat aku lega karena kemudahan pemahamannya yang
membuat ke arah yang positif, Reina berkata dengan suara lembut, “Takeru-san
curang,” dan menoleh ke arahku lagi.
Wajahnya menjadi lebih merah dari sebelumnya, mungkin karena dia masih
malu.
“Ajari aku cara menggunakannya, dan aku akan
memaafkanmu.”
“Ah, iya.”
Sedikit tergelitik oleh
senyum jahil Reina, aku melangkah mendekat.
“Meski kubilang begitu,
kamu hanya perlu meletakkan gelas di sana dan menekan tombol. Jus akan keluar
selama tombol ditekan, jadi jangan lepaskan jarimu sampai gelasnya penuh.”
“Aku mengerti. Begini ya?”
Reina meletakkan gelas di
tempat yang ditunjuk, lalu dengan sedikit ragu menekan tombolnya. Dia sedikit
membungkuk untuk menyamakan garis pandangan dan menatap gelas dengan serius.
Ekspresinya yang begitu fokus terlihat menggemaskan.
“Berhasil. Bagaimana,
Takeru-san?”
Meski ekspresi manisnya
terlihat lebih muda dari usianya, gerakannya saat menyodorkan gelas dengan
kedua tangan di depanku terlihat anggun dan tidak menyebabkan permukaan
minumannya bergerak sama sekali.
“Hebat sekali.”
“Aku cuman menekan tombol doang
kok?”
Reina menggelengkan
kepalanya, tapi sepertinya dia senang dipuji olehku karena pipinya sedikit
merona dan tersipu malu.
“Yah memang begitu
sih...tapi isi lagi ya.”
“Baik, serahkan padaku.”
Seolah menyembunyikan
kegugupannya, Reina memberiku gelas berikutnya sambil tersenyum dan meletakkan
tangan di dadanya.
“Oh, terima kasih, Amamiya-san.”
“Sama-sama.”
Setelah kembali ke
ruangan, dari nampan yang dibawa Takeru, Reina memberikan minum ke setiap
kursi. Mana yang sedang bernyanyi hanya melambai dan membuat gestur ‘terima
kasih’ dengan tangannya.
“Lagunya Sakaki sebentar
lagi selesai, siapa yang mau nyanyi selanjutnya?”
“Hmm... Kalau begitu Reina
saja dulu sebagai tamu kehormatan.”
Mana bernyanyi balada, dan
kali ini Ryouma juga tidak bertepuk tangan atau memberi paduan suara, jadi
suasananya tenang. Kurasa akan cocok untuk Reina, jadi aku memberikan remote
padanya.
“Kamu tahu cara
menggunakannya?”
“Ya, Mana-san sudah
mengajariku tadi.”
Entah sejak kapan, Mana
bernyanyi dengan gaya dibuat-buat yang sangat imut sambil memegang mic dengan
kedua tangannya. Ketika aku menatapnya, dia mengedipkan mata padaku. Secara
objektif dia memang terlihat imut, tapi aku merasa aneh kenapa aku tidak
merasakan apa-apa.
“Kalau kamu risih, bilang
saja risih. Hei, Takeru.”
“Sepertinya kamu yang
ingin aku mengatakannya. Aku tidak merasa begitu kok.”
“Kamu terlalu memanjakan
Sakaki.”
“Benarkah?”
Kurasa kepribadiannya
memang baik, dan dia juga pernah menolongku. Tapi yang terpenting, di balik
sikap Mana, aku bisa melihat bahwa dia punya kepedulian dan perhatian, meski
sangat samar.
Lagipula, meskipun mereka
menyangkalnya, dia dan Ryouma sepertinya akrab juga. Bahkan Reina juga merasa
nyaman di dekat Mana. Saat ini, ekspresi Reina yang bertepuk tangan untuk Mana
setelah selesai bernyanyi terlihat sangat lembut.
“Reina mau nyanyi lagu
apa?”
“Um, ah. Sudah muncul di
layar.”
“Aku suka lagu itu!”
“Kalau begitu bagus.”
Aku juga mengenali lagu
yang muncul di layar. Itu lagu utama dari sebuah film hits beberapa waktu
lalu.
“Kurasa lagu itu cocok
dengan suasana Amamiya-san”
“Ya, begitulah.”
Bagian reffnya memang
menyenangkan, tapi secara keseluruhan lagunya terdengar santai. Memang
sepertinya cocok dengan aura dan suara Reina.
“Aku akan berusaha.”
Memegang mic yang diterima
dari Mana di depan dadanya dengan kedua tangan, Reina mengubah ekspresinya
sedikit. Tidak seperti Mana yang sengaja membuat kesan imut, Reina memberikan
kesan anggun yang muncul secara alami.
Meskipun tidak
direncanakan, waktu dimana aku ingin bertepuk tangan sama dengan saat Ryouma
dan Mana mulai bertepuk tangan untuk memeriahkan suasana.
Reina yang bahkan belum
mulai bernyanyi sudah disambut tepuk tangan, berkedip beberapa kali, lalu
tersenyum malu-malu dan memberi penghormatan anggun.
Begitu intro lagu
terdengar, Reina memasang ekspresi serius pada layar meski sedikit tegang, tapi
mulai bernyanyi agak terlambat. Namun, dia segera pulih dan menyanyikan dengan
suara yang indah dan jernih.
Dari keterlambatannya
tadi, aku bisa menebak bahwa Reina hanya sekedar mengenal lagu ini, tapi tidak
terbiasa menyanyikannya, bahkan mungkin ini pertama kalinya. Nadanya pas, tapi
gayanya agak kaku. Meski begitu...
“Suaranya indah sekali.”
“Ya.”
Ryouma bergumam pelan, dan
aku setuju dengannya.
Meskipun aku selalu
menganggap suaranya tenang, suara nyanyiannya yang tinggi dan ringan semakin
menonjolkan kelebihannya.
Bahkan saat memasuki
bagian reff, hal itu tidak berubah. Meskipun tidak sekuat penyanyi aslinya,
suaranya yang jernih tetap terdengar menyenangkan, dan aku terpana hingga
bertepuk tangan terlambat saat nyanyiannya usai.
Dalam perjalanan pulang
setelah menikmati waktu hingga matahari terbenam sambil makan ringan di bilik,
Reina yang berjalan di sampingku menutupi mulutnya dan terbatuk kecil.
“Tenggorokanmu tidak
apa-apa? Kamu cukup banyak bernyanyi hari ini.”
“Ya. Selama aku bisa
merawatnya dengan baik, aku rasa tidak akan jadi masalah.”
“Kalau begitu baguslah.
Mau kubelikan sesuatu di toko obat? Ada toko obat dekat rumah kita.”
“Aku sudah menyiapkan
semuanya, terima kasih atas perhatianmu.”
Reina menyipitkan matanya
dan tertawa kecil, lalu melanjutkan, “Hari ini...”
“...Sangat menyenangkan.
Jadi jangan terlalu dipikirkan, Takeru-san.”
Reina mengatakan itu
sambil sedikit memiringkan kepalanya dan tersenyum lembut, “Wajahmu
mengatakannya.”
“Yah, aku memang meminta
kalian bernyanyi.”
Sambil menyentuh pipiku
sendiri, aku teringat kejadian sebelumnya. Yang paling banyak bernyanyi tentu
saja Mana, diikuti mungkin Reina. Karena aku melewatkan beberapa giliran, Reina
jadi lebih sering bernyanyi.
“Benar juga ya.”
Reina tertawa kecil sambil
menutupi mulutnya, lalu sengaja mengerutkan bibirnya.
“Tapi aku ingin lebih
sering mendengar Takeru-san bernyanyi.”
“Tak ada yang seru dari
mendengarku bernyanyi. Tidak seperti suara indahmu, Reina.”
“Eh?”
“Hm?”
Ketika aku menoleh karena
Reina yang berjalan di sampingku menghilang dari pandangan, dia berdiri dua
langkah di belakangku dengan mata terbelalak.
“Ada apa?”
“Takeru-san bilang...
tidak, tidak apa-apa.”
Reina mengerutkan alisnya,
pipinya sedikit memerah, lalu dia berjalan dengan cepat dan berjalan di
sampingku lagi.
· “Aku
senang mendengar Takeru-san bernyanyi kok.”
Segera setelah mulai
berjalan beriringan, Reina yang merona menatapku.
“Dulu aku tidak pernah
mendapat kesempatan mendengarnya, jadi suara Takeru-san terdengar baru bagiku
dan terampil. Aku benar-benar terpana mendengarnya.”
“...Ah, terima kasih kalau
begitu.”
Ketika aku mengalihkan
pandangan, terdengar tawa lembut darinya.
Yah, itu salah satu
alasanku melewatkan giliran. Saat aku bernyanyi, Reina sedikit mengayun
tubuhnya sambil bertepuk tangan kecil, dan memandangiku dengan penuh antusias.
Aku tidak bisa bernyanyi dengan tenang setelah itu karena merasa malu.
“Aku tidak menyangka akan
ada hari seperti ini.”
“Hm?”
Dengan suara yang lembut
dan tenang. Ketika aku menoleh, Reina berhenti dan memandangi jalan yang sudah
kami lewati. Meski matahari sudah terbenam, lampu jalan dan toko di sepanjang
jalan masih cukup terang, tapi tempat kami menghabiskan waktu tadi sudah tidak
terlihat.
“Aku tidak menyangka bisa
pergi keluar sepulang sekolah bersama teman-teman seperti itu...”
Nada suaranya tidak
berubah. Suara jernihnya yang lembut terdengar tenang. Meski aku tidak bisa
melihat wajahnya, aku ingin percaya bahwa dia sedang tersenyum anggun.
“...Dengan semangat Sakaki-san
sekarang, kurasa kamu akan dapat waktu seperti ini sampai kamu bosan nanti.”
“Kalau sampai bosan, itu
merupakan masalah besar yang menyenangkan.”
Aku menyapa punggungnya
yang anggun, lalu Reina berbalik dan tersenyum kecil sambil menutupi
mulutnya.
“Yah, sebelum bosan
sepertinya tenggorokanmu akan hancur duluan.”
“Itu lebih merepotkan
lagi.”
Reina tertawa kecil lagi,
lalu berjalan di sampingku.
“Maaf membuatmu menunggu.
Ayo pulang.”
“Ya.”
Dalam perjalanan pulang
setelahnya, kami terus membicarakan lagu-lagu yang kami nyanyikan, suasana di
tempat karaoke, dan hal-hal yang terjadi hari itu. Reina sangat ceriwis, dan
mendengarnya membuatku ikut terhibur.
Kurasa kami tidak akan
pernah bosan mengalami hari seperti ini.
◇ ◇ ◇
“Takeru-san. Lusa, apa
boleh kalau aku pergi keluar setelah pulang sekolah?”
Pada saat makan malam,
Reina memulai pembicaraan dengan ekspresi menyesal.
“Hari Jumat ya. Ah, tidak
apa-apa. Dan juga, cukup beritahu aku saja sebelumnya. Ini bukan masalah aku
yang harus memberi izin.”
“Tapi...”
Reina hanya ingin
memberitahu karena dia perlu menyiapkan makan malam sendiri, dan Takeru
sebenarnya mendukung Reina untuk bermain dengan temannya. Namun, Reina terlihat
murung.
Akhir-akhir ini dia sudah
tidak terlalu sungkan, tapi mungkin karena salah satu alasan Reina tinggal
bersama adalah untuk membantu Takeru dalam urusan rumah tangga? Itu terdengar
hanya seperti Reina yang teratur.
“Seperti yang sudah
kukatakan sebelumnya, aku nyaman... tidak keberatan dengan situasi sekarang
ini. Terlepas dari kamu yang memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga.
Jadi Reina, utamakan dirimu sendiri.”
Tentu saja, baik dari
restoran atau masakan rumahan, tidak ada yang menyaingi masakan Reina, jadi
sejujurnya Takeru ingin Reina tetap memasakkan untuknya. Tapi Takeru juga ingin
Reina menikmati waktu dengan temannya, jadi dia menggelengkan kepalanya untuk
mengusir keinginannya itu.
Melihat Takeru seperti
itu, Reina terlihat bingung sejenak lalu tersenyum lembut seperti menyadari
sesuatu.
“Yah pokoknya, hari Jumat
nanti aku akan membeli makan malam di luar, jadi nikmati waktumu sepuasnya.”
“Terima kasih,
Takeru-san.”
Reina membungkukkan
badannya dengan sopan. Takeru sudah sering bilang tidak perlu seperti itu, tapi
mungkin itu sudah menjadi kepribadiannya. Meski terasa canggung, tapi Takeru
merasa itu justru baik.
“Ah. Tapi Takeru-san,
boleh aku meralat sesuatu?”
“Apa itu?”
“Meskipun tidak akan
sampai terlalu malam, tapi aku akan menyiapkan makan malam sebelum berangkat,
jadi tidak perlu membeli makan malam.”
“Tidak tidak, itu pasti
merepotkan. Tidak usah.”
Takeru menyampaikan itu
pada Reina yang tersenyum padanya, namun Reina menggeleng perlahan, membuat
rambutnya yang berwarna kastanye itu bergoyang lembut.
“Tidak terlalu merepotkan
kok. Maaf ya kalau tidak bisa menyajikan masakan yang baru matang.”
“Ah, soal itu aku tidak
masalah kok...”
Reina bilang tidak terlalu
merepotkan, itu artinya ada sedikit merepotkan juga.
“Aku ingin membuatnya
sendiri.”
“Tapi...”
Tentu saja Takeru senang,
tapi kalau Reina melakukan itu setiap kali pergi bermain, itu akan semakin
membebaninya.
“Lagi pula...”
Melihat Takeru yang masih
ragu, Reina tertawa kecil dan dengan sengaja mengerutkan bibirnya.
“Kalau aku tidak
menyiapkan makan malam, siapa yang tahu apa yang akan Takeru-san makan?”
“Ugh...”
Itu benar sekali, Takeru
tidak bisa dipercaya soal itu. Lagipula, Takeru memang berencana hanya makan
mie instan atau frozen food, jadi Reina benar-benar mengenaiku.
“Kalau Takeru-san sudah
bosan dengan masakanku...”
“Itu tidak benar.”
“...Ya. Terima kasih
banyak.”
Reina yang terpotong
ucapannya terbelalak, namun segera menyipitkan matanya dengan lembut dan
membentuk senyum lembut di bibirnya.
“Terima kasih kembali.
Semoga kamu bersenang-senang.”
“Ya.”
◇ ◇ ◇
Hari ketika Reina pergi
keluar dengan teman-teman sekelasnya, selain menyiapkan sarapan, dia juga
menyiapkan makan malam, jadi wajar jika pagi itu dia terlihat sedikit lebih
sibuk dari biasanya.
Reina sendiri tersenyum
dan berkata “Aku sudah menyelesaikan sebagian persiapannya semalam, jadi tidak
terlalu merepotkan,” tetapi sebenarnya pasti cukup melelahkan baginya.
Setelah jam pelajaran
terakhir selesai dan Takeru mengucapkan sampai jumpa pada Reina, Takeru pulang
ke rumah dan melihat ada catatan di atas meja. Di sana tertulis dengan rapi
instruksi pemanasan makanan dan lain-lain, membuatnya tersenyum getir, apakah aku
dianggap sebagai anak kecil? Tapi pada akhirnya, Takeru memang seperti itu
juga.
Di bagian atas catatan,
tertulis “Aku berencana pulang sebelum waktu makan malam, tapi jika terlambat,
silakan gunakan ini sebagai panduan.” Sepertinya Reina membuatnya untuk
jaga-jaga.
Ternyata seperti yang
tertulis di catatan itu, Reina pulang sebelum waktu makan malam, jadi mereka
bisa makan malam seperti biasa.
Hari ini, Reina
menghabiskan waktu di kafe dengan Mana dan teman-teman lainnya. Tidak melakukan
hal khusus, tapi Reina terlihat sangat senang bisa memperdalam hubungannya
dengan teman sekelas.
Lalu keesokan harinya,
Sabtu, ketika Takeru bangun lebih siang daripada hari sekolah dan selesai
bersiap-siap lalu keluar ke ruang tamu, Reina sudah mulai beraktivitas.
Sepertinya dia sedang membersihkan ruang tamu.
“Selamat pagi,
Takeru-san.”
“Ya, selamat pagi Reina.”
“Aku berencana mencuci
sprei dan menjemur futon, jadi setelah selesai sarapan, bisakah kamu membawakamnya
untukku?”
“Terima kasih. Aku yang
akan membawanya nanti.”
“Terima kasih. Sementara
itu aku akan menyiapkan sarapan.”
Dia sampai repot-repot
seperti itu bahkan di hari Sabtu.
Hari itu, Reina
menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga sebelum siang, dan sepanjang siang
hari, selain untuk menjemur cucian dan futon, dia belajar di sebelah Takeru
yang ada di ruang tamu.
Buku soal yang dia
kerjakan jauh lebih tinggi levelnya daripada yang digunakan di SMA mereka, tapi
tentu saja tidak mengherankan bagi seorang jenius seperti Reina, dia
mengerjakannya dengan lancar tanpa kesulitan apapun, dengan postur yang anggun.
“Aku akan mulai menyiapkan
makan malam.”
Ketika sore hari, Reina
berdiri sambil mengatakannya, namun kemudian dia sedikit terhuyung.
Untungnya dia segera
menyandarkan tangannya ke sandaran sofa sehingga tidak sampai terjatuh, tapi
Takeru belum pernah melihat Reina seperti itu sebelumnya.
“Kamu tidak
apa-apa!?”
“Ya, aku tidak apa-apa...
Maaf membuatmu khawatir.”
Reina tersenyum, namun
terlihat sedikit lemah dan sekali lagi terlihat sedikit oleng.
“Sepertinya kamu kurang sehat.
Duduk saja dulu. Aku akan mengambil minum, minuman apa yang kamu inginkan?”
“Tidak usah, aku tidak
apa-apa...”
Karena Reina terlihat
tidak baik-baik saja, Takeru menyentuh bahunya yang kecil dan memintanya duduk
di sofa. Reina tidak melawan sama sekali dan tubuhnya terlihat lemas saat
duduk.
“Bagaimana dengan air
putih?”
“...Ya. Terima
kasih.”
Reina menundukkan alis
seperti menyerah dan mengangguk lemah.
Reina selalu menyediakan
air mineral di kulkas. Takeru membawakan segelas untuknya, dan Reina memegang
gelas itu dengan kedua tangan secara hati-hati lalu meneguknya perlahan.
“Terima kasih. Aku sudah
tidak apa-apa sekarang.”
“Jangan bergerak dulu. Aku
akan mengecek suhu tubuhmu. Termometernya ada di...”
Wajah Reina yang tersenyum
tidak terlihat pucat dan postur tubuhnya sudah kembali seperti biasa rapih dan
anggun. Tapi kenyataannya dia tadi sempat terhuyung.
“Ada di laci ketiga lemari
putih.”
“...Baiklah.”
Meskipun Takeru belum
pernah menggunakannya, dalam waktu kurang dari tiga minggu Reina sudah sangat
memahami rumah ini.
Ketika Takeru memberikan
termometer padanya, Reina memasukkan tangannya ke dalam pakaian melalui kerah
bajunya. Dari kerah yang terbuka, Takeru melihat tulang selangkanya, membuatnya
gugup dan buru-buru mengalihkan pandangan.
(Tln: Tulang selangka
adalah tulang panjang yang terletak di bagian atas dada, menghubungkan tulang
dada dengan lengan atas. Ini penting untuk gerakan bahu dan lengan.)
“Suhu tubuhku
normal.”
Setelah waktu yang terasa
cukup lama menunggu satu menit, suara “pip” elektronik terdengar dan Takeru
menoleh mendengar suara Reina. Layar termometer di tangannya menunjukkan
“36.0”.
“Meskipun tidak demam, apa
kamu merasa ada gejala lain?”
“Tidak ada. Maaf telah
merepotkan.”
Reina tersenyum, lalu
memperbaiki postur tubuhnya dan membungkuk sembari mengerutkan alisnya.
“Mungkin aku hanya sedikit
lelah.”
Wajar jika dia lelah.
Mengurus hampir semua pekerjaan rumah tangga untuk mereka berdua seorang diri
dengan sempurna, juga fokus pada pendidikannya. Apalagi di lingkungan baru ini,
sementara tetap memperhatikan dan mengkhawatirkan Takeru dalam berbagai hal.
“Ini semua kelalaianku
karena tidak memperhatikan kondisi tubuhku sendiri. Maaf sudah merepotkan.”
“Tidak, bukan begitu...”
Kelalaiannya justru ada
pada Takeru, Reina sama sekali tidak perlu menyesalinya. Takeru mengepalkan
tangannya hingga kukunya menancap.
“Takeru-san?”
Mendengar panggilan Reina
yang terdengar khawatir, Takeru tersadar dan menggeleng pelan. “Tidak, bukan
apa-apa.”
“Pokoknya, untuk hari ini
istirahatlah. Untuk makan malam dan lainnya, biar aku yang urus. Apa kamu bisa
berjalan ke kamarmu sendiri? Atau perlu aku gendong?”
“Ah, aku bisa berjalan.
Jangan repot-repot menggendongku karena aku berat.”
“Mustahil kamu berat...”
Meskipun Reina tidak
mengenakan pakaian ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, dari wajah, leher,
tangan, dan kakinya yang terlihat dari rok seragam, Takeru tidak melihat
tanda-tanda bahwa Reina berat. Namun Reina tidak mau mengalah. “Aku berat.”
Wajah Reina memerah saat
dia menolak dengan tegas sambil menengadahkan telapak tangannya. Tatapan
sinisnya pada Takeru terlihat menggemaskan meski dalam situasi seperti ini
seharusnya Takeru tidak merasa begitu.
“Ah, sudahlah. Pokoknya
istirahatlah di kamarmu.”
“Baik, aku mengerti.”
“Aku akan membawa ponselku
hari ini, jadi jangan sungkan untuk memanggilku jika kamu butuh sesuatu.”
“Ya, terima kasih.”
“Oke. Ayo kuantar ke
kamarmu.”
“Kamu terlalu berlebihan.”
Reina yang tadi tersenyum
tipis kini mengerutkan alisnya dan tertawa kecil sambil menutupi mulutnya.
“Tapi karena kamu sudah
repot-repot, aku akan memanfaatkan kebaikanmu.”
“Ya. Ayo.”
“Baik.”
Takeru membimbing Reina
yang menyambut uluran tangannya untuk berdiri, lalu mengantar Reina sampai ke
kamarnya. Jari-jari lentik Reina tidak menggenggam erat, dan langkahnya pun
pelan.
“Kamu tidak apa-apa kan
kalau berjalan?”
“...Ah, ya. Aku tidak
apa-apa.”
Meski agak khawatir dengan
respon Reina yang terlihat lambat, tidak ada pilihan lain selain membiarkannya
beristirahat.
“Istirahat yang cukup
ya.”
“Ya. Terima kasih banyak.”
Reina membungkukkan
tubuhnya dengan anggun, lalu masuk ke dalam kamarnya. Melihat tubuhnya yang
lemas beberapa saat lalu, sepertinya kondisinya sudah membaik. Sekarang yang
bisa dilakukan hanyalah berharap agar dia tidak semakin memburuk.
“Baiklah...”
[Takeru: Kamu sudah
bangun?]
[Reina: Ya]
Setelah mengantar Reina ke
kamarnya, Takeru mengiriminya pesan dan menerima balasan beberapa menit
kemudian. Lalu Takeru mengetuk pintu.
“Boleh aku masuk?”
“Tunggu sebentar...
Silakan masuk.”
Suara Reina dari balik
pintu terdengar pelan, tapi dia tidak terdengar seperti sedang sakit, membuat
Takeru lega.
“Maaf mengganggu waktu
istirahatmu...”
Takeru membuka pintu
perlahan, dan aroma jeruk segar menguar memenuhi ruangan. Aromanya lebih segar
dibanding parfum tubuh milik Reina.
“Ada apa?”
Ketika Takeru membuka
pintu sepenuhnya, Reina berdiri di hadapannya. Dia mengenakan piyama putih
dengan kardigannya, dengan rambut yang biasanya diikat setengah kini tergerai,
memperlihatkannya dalam penampilan yang belum pernah Takeru lihat sebelumnya.
Meskipun ini bukan pertama
kali, namun melihat sisi Reina yang belum pernah terlihat selama tinggal
bersama membuatnya merasa aneh. Mengingat Reina sempat kurang sehat,
penampilannya yang seperti gadis cantik yang rapuh itu mungkin juga
mempengaruhi impresi Takeru.
Reina menyadari tatapan
Takeru lalu menunduk melihat penampilannya sendiri dan merona merah.
“...Maaf dengan penampilan
seperti ini.”
Reina menarik sedikit
kardigannya untuk menutupi bagian depan tubuhnya, namun sepertinya menyerah dan
malah menyentuh poninya, menampakkan ekspresi yang menggemaskan.
“...Tidak, justru aku yang
seharusnya minta maaf mengganggu waktu istirahatmu.”
Sisi selimut di atas
tempat tidur sedikit berantakan, menunjukkan bahwa Reina telah berbaring di
sana sebelumnya.
Ketika mengamati keadaan
ruangan, Takeru tidak mendapat kesan ruangan gadis yang serba merah muda
seperti yang dibayangkannya. Furnitur kayu berwarna cokelat gelap mendominasi, dan
tidak ada boneka. Ini hanya ruangan antik dan sederhana. Satu-satunya yang
menandakan bahwa ini adalah ruangan wanita hanyalah adanya meja rias.
“Tolong jangan terlalu
melihatnya karena berantakan.”
“Ma-Maaf.”
Takeru membungkukkan badan
kepada Reina yang wajahnya merona merah karena kebingungan. Jika ini sudah
dianggap berantakan, maka kamar Takeru pastilah seperti tempat pembuangan
sampah. Tetapi, mengamati dengan saksama kamar lawan jenis memang tidak sopan.
“Etto, aku membelikan
minuman olahraga dan jeli, mau?”
“Untukku?”
“Tentu saja.”
Takeru menunjukkan isi
kantong belanjaannya kepada Reina yang membelalakkan matanya. Dua botol
minuman, enam buah jeli, puding dan yogurt.
Takeru sebenarnya ingin
menanyakan dulu apa yang Reina inginkan sebelum membelinya. Tetapi ia yakin
Reina pasti akan menolak. Jadi ia langsung membeli banyak.
“Aku minta maaf karena
meninggalkanmu sendirian di rumah. Tetapi aku hanya pergi lima menit, jadi
maafkan aku.”
“Tidak apa-apa, aku sama
sekali tidak keberatan... tapi kamu repot-repot membelikanku...”
“Aku sekalian membeli
makan malamku untukku, itu yang utama.”
“Takeru-san... Terima
kasih.” Reina mengatakan itu sembari mengerutkan alisnya dan tersenyum lembut.
“Nah, mau yang mana?”
“Emm, bisa aku minta
minuman olahraganya dulu? Yang lain mungkin nanti.”
“Oke. Yang lain akan
kumasukkan ke kulkas, panggil aku kalau kamu mau. Maaf sudah mengganggu.”
“Ah... Takeru-san.”
Reina menarik ujung baju
Takeru yang memunggunginya.
Ketika Takeru berbalik,
Reina yang wajahnya tambah merona menatapnya dengan mata sedikit berkaca-kaca.
Penampilannya yang rapuh itu membuat jantung Takeru berdegup kencang.
“Ada apa?”
“Maaf... bisakah kamu
menyiapkan segelas air untukku?”
“Ah...Aku yang seharusnya
peka.”
“Tidak apa-apa, justru aku
yang minta maaf karena merepotkanmu yang sudah baik hati.”
Reina tampak malu sekali.
Jika Takeru lebih peka,
Reina tidak perlu meminta hal tersebut.
“Tidak apa-apa. Kamu
sedang sakit, kan?”
“Suhu tubuhku normal, aku
tidak sakit.”
Reina memiringkan
kepalanya sedikit.
“Kamu mirip seperti orang
sakit. Sudah, istirahatlah di tempat tidur. Kalau tidak, aku akan
menggendongmu.”
“Ah, meski itu Takeru-san,
aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi.” Reina membuat gerakan mencibir,
memeluk tubuh rampingnya dengan lengan sebagai perlindungan. Seperti itulah
seharusnya. Takeru tidak perlu terlalu baik bahkan di saat-saat seperti ini.
“Mou...”
Takeru menghela napas
pelan dan melembutkan ekspresi wajahnya. Reina tersenyum seperti mengisyaratkan
tidak ada pilihan lain.
“Hari ini saja, izinkan
aku untuk dimanja.”
“Baiklah, serahkan
padaku.”
Takeru mengacungkan jempol
dan tersenyum kecil kepada Reina yang balas tersenyum, lalu berjalan ke dapur.
Ia mengambil segelas air dan nampan, kemudian kembali ke kamar Reina. Sang tuan
rumah sudah berbaring di tempat tidur. Meski bagian atasannya tegak, namun
sikapnya yang tenang dan khidmat membuatnya tampak seperti gadis cantik yang
rapuh di tempat tidur.
“Terima kasih banyak.”
“Sama-sama. Nah,
istirahatlah dengan tenang... ah, nanti akan kubuatkan bubur untuk makan
malammu.”
“Tidak, biar aku yang me—“
“Kamu sedang sakit. Kamu pengen
dimanja, kan?”
Takeru menghentikan Reina
yang hendak bangkit dari tempat tidur dengan telapak tangan. Reina
membelalakkan matanya sejenak lalu tersenyum dengan alis sedikit berkerut.
“... Benar juga. Kalau
begitu, mohon bantuannya.”
“Baiklah. Aku minta maaf
sekali lagi. Istirahatlah dengan tenang.”
“Melihat wajah Takeru-san
justru membuatku merasa lebih baik, jadi tidak usah sungkan.”
Takeru hanya bisa
tersenyum getir mendengar ini. Sepertinya Reina merasa harus berjuang demi
Takeru yang seperti anak nakal. Mengingat keadaan Reina saat ini, memang
seperti itulah adanya. Oleh karena itu, sebelum meninggalkan ruangan, Takeru
hanya melambaikan tangan sekilas sebagai salam perpisahan.
Reina tetap dalam posisi
duduk di atas tempat tidur dengan tubuh bagian atas tegak, lalu memberi hormat
dengan sopan. Ekspresinya lembut, kesan rapuhnya memudar.
“Kamu sudah bangun?”
“Ya.”
Setelah berdialog singkat
seperti tadi, Takeru mengetuk pintu kamar Reina dan masuk setelah dipersilakan.
“Kamu sudah beristirahat?”
“Ya, berkat kamu.
Keadaanku sudah pulih sepenuhnya.”
Reina yang di atas tempat
tidur tersenyum ramah sembari mengatakannya.
Di sisi tempat tidur, ada
buku kecil yang sebelumnya tidak ada, dan Reina mengenakan kardigan di atas
piyamanya. Meski Takeru ingin dia beristirahat, di sisi lain itu juga berarti
Reina tidak mengalami kelelahan parah yang membuatnya tertidur.
“Meski begitu, untuk
jaga-jaga, hari ini kamu istirahat saja.”
“Baik, aku akan menuruti
perkataanmu.”
Jika Reina mengerjakan
pekerjaan rumah tangga, dia mungkin akan memaksakan diri. Tetapi selama di
kamar, dia akan baik-baik saja.
“Bagaimana kalau segera
makan malam?”
“Tentu. Aku akan memakannya.”
“Mau kubawakan?”
“Terima kasih. Tapi, aku
akan ke ruang makan.”
“Baiklah. Kamu bisa
bangun?”
Ketika Takeru melangkah
mendekati tempat tidur, Reina tertawa kecil sambil menutup mulutnya dan
mengangguk sedikit seraya berkata, “Aku baik-baik saja.” Lalu dia bangkit dan
merapikan selimutnya dengan rapi. Sepertinya sifat aslinya sudah kembali.
“Takeru-san terlalu
khawatir.”
“Bukan begitu...”
Takeru menjadi salah
tingkah melihat Reina tersenyum, sehingga tidak bisa menanyakan apakah dia bisa
berjalan. Dia hanya berkata, “Kalau begitu, ayo pergi.”
“Ah, Takeru-san.”
Ketika hendak meninggalkan
kamar, Reina memanggilnya. Takeru berbalik dan melihat Reina mengulurkan
tangannya, seperti hendak menahan.
Reina seperti terkejut
dengan tindakannya sendiri, membelalakkan mata dan dengan tangan yang semula
terangkat itu, dia menyentuh poninya sambil tersipu malu.
“Ah...tidak, bukan
apa-apa.”
“Wajahmu agak merah. Kamu
baik-baik saja? Mau kuukur suhu tubuhmu sekali lagi?”
“Aku baik-baik saja. Maaf
telah menahanmu. Ayo kita pergi.”
“Hm? Ah, ya tentu.”
Meski Takeru merasa ada
yang aneh, cara berjalan Reina yang mendahuluinya ke luar kamar terlihat normal
seperti biasanya, anggun dan cantik. Sepertinya kondisi Reina saat ini tidak
ada masalah, jadi Takeru mengikutinya.
“Bubur telur atau bubur
plum, kamu mau yang mana?”
Setelah mendudukkan Reina
di meja makan dan menaruh dua kotak bubur di depannya dengan sedikit canggung,
Reina terkejut dan berkata “Eh?”
“Maaf, ini aku beli dari
minimarket... Bubur buatanku gagal.”
“Gagal?”
Reina menoleh ke panci
yang ditinggalkan di dapur, mengikuti arah pandangan Takeru.
“Ya, terlalu keras.”
Sayangnya, Takeru tidak
bisa membuat bubur dengan benar. Bubur telur yang dia buat terlalu padat, tidak
jauh berbeda dengan nasi yang airnya kebanyakan.
Bahkan setelah itu, Takeru
mengetahui ada fitur untuk membuat bubur di rice cooker. Waktu itu dia tidak
mencobanya lagi karena kekurangan waktu, padahal seharusnya dari awal dia
menggunakan rice cooker saja. Dengan begitu dia tidak akan gagal dan bisa
menyajikan bubur yang layak untuk Reina.
“Jadi, kamu mau yang
mana?”
“Aku ingin memakan bubur
buatan Takeru-san.”
Padahal Takeru bertanya
apakah Reina ingin bubur di kotak kanan atau kiri, tetapi dengan senyum lembut,
Reina malah menyebutkan pilihan ketiga.
“Bukankah kamu dengar
kalau aku gagal membuatnya?”
“Ya, aku dengar kalau
buburnya terlalu keras.”
“Ah, begitu...”
“Kalau begitu tidak
masalah. Aku tidak punya masalah dengan pencernaan, jadi sebenarnya tidak harus
bubur.”
“Ah...”
Meski Reina tersenyum,
Takeru bahkan tidak memikirkan hal itu. Karena kondisi Reina kurang sehat,
secara sederhana Takeru berpikir harus menyediakan bubur untuknya.
“Tetapi karena Takeru-san
yang membuatnya, aku menantikannya loh? Jangan insecure hanya karena sedikit
keras.”
“Kalau tidak enak jangan
protes ya.”
Reina sengaja mencibir
bibirnya dengan cara yang terlihat dibuat-buat, dan dengan nada mengejek, aku
membalasnya, “Aku tidak akan protes kok.”
“Ah. Bukankah Reina tahu
cara biar rasanya tambah enak?”
“Aku tidak tahu.”
“Kamu berbohong. Aku tahu
yang tadi itu bohong.”
Reina menoleh ke samping
dengan ekspresi bersalah, seolah mengatakan bahwa dia tidak tidak tahu, tapi
tidak ingin mengatakannya.
“Aku tidak akan
mengatakannya.”
Akhirnya dia
mengatakannya.
“Karena jika aku
mengatakannya, aku akan mengubah makanan yang sudah di buat susah payah oleh
Takeru-san.”
Reina menoleh kearahku dan
menyipitkan matanya dengan lembut, “Jadi, aku tidak tahu,” katanya sambil
tersenyum.
“...Biar kuhangatkan dulu,
tunggu sebentar.”
“Baik.”
Masih dengan gestur
membuang muka, aku membalikkan tubuh dan memanaskan panci panas di kompor.
Karena masih hangat, mungkin tidak akan membutuhkan waktu lama, tetapi yang
menjadi pertanyaan adalah apakah aku bisa menenangkan diri dalam waktu itu.
“Silakan...”
“Terima kasih.”
Aku menyiapkan panci
panas, piring, dan sumpit, serta minuman, dan meletakkannya di depan Reina.
Ngomong-ngomong, aku baru
melihat di mana semuanya berada setelah mengantarkan minuman olahraga untuk
Reina. Ada banyak barang di sini dibandingkan sebelum dia pindah, tapi semuanya
tertata rapi, jauh lebih indah daripada ruangan yang kosong. Bahkan seorang
pemula sepertiku pun bisa bergerak dengan mudah karena segalanya diatur dengan
mempertimbangkan kegunaan.
(Tln: konteks di sini itu
di dapur)
“Ittadakimasu.”
“...Silakan.”
Setelah memberi salam,
Reina mengambil bubur dari panci panas ke piringnya, menyendok dengan sumpit
dan meniupnya pelan. Karena gaya rambutnya berbeda dari biasanya, saat dia
menyibakkan rambut yang jatuh di pipinya ke belakang telinga, membuatnya terlihat
sedikit sensual.
(Tln: inget ya, buburnya
keras :v)
“Takeru-san, kalai kamu
menatapku seperti itu, aku jadi malu.”
Reina mengerutkan alisnya
dan tersenyum malu, jadi aku buru-buru mengalihkan pandangan. “Maaf.”
“Tapi, aku mengerti.
Setiap kali seseorang menyantap makanan buatanmu, kamu pasti selalu merasa
cemas.”
“Bahkan untuk orang yang
memiliki kemampuan sepertimu, Reina?”
“Ya.”
Meskipun ini mengejutkan,
Reina mengangguk dengan sungguh-sungguh sambil tersenyum malu-malu.
“Tentu saja aku percaya
diri. Tapi tidak ada yang bisa disebut ‘pasti’.”
“Begitu rupanya.”
“Ya. Tapi...”
Reina menghentikan kata-katanya
di situ, membawa sumpitnya ke mulut.
“Ini enak. Bukan pujian
kosong, tapi sungguh enak.”
Reina menelan bubur
buatanku dan tersenyum lebar.
“Benarkah?”
Meski ekspresi Reina
menunjukkan bahwa dia tidak berbohong, aku tetap bertanya.
“Benar. Telurnya dimasak
sempurna dan takaran garamnya pas. Terlihat jelas bahwa Takeru-san memasaknya
dengan hati-hati.”
“Tapi apakah tidak terlalu
kental?”
“Ya, memang sedikit lebih
kental daripada bubur biasanya, tapi mengontrol api dan air membutuhkan
pengalaman tertentu, dan untuk kemampuanmu sekarang, tingkat kekentalan ini
sudah pas.”
“Begitu... Kalau begitu,
anggap saja hasilnya lumayan.”
“Ya, anggap saja begitu.”
Reina tersenyum lembut dan
mengambil suapan kedua. Lalu dia memperlihatkan ekspresi lembut lagi.
Meski mungkin dia sedikit
menahan diri, setidaknya aku lega.
“Takeru-san.”
“Ya?”
Entah sejak kapan, aku
menyadari pipi Reina sedikit merona dan dia menatapku dengan mata sayu. Kukira
mungkin ada sesuatu yang kurang, tapi –
“Tolong jangan berpikir
kalau aku makan terlalu banyak, ya?”
“Eh?”
“Jadi... meski aku
menghabiskannya, tolong jangan berpikir begitu.”
Setelah sedikit
keterlambatan memahami apa yang dikatakan Reina sambil membasahi matanya yang berwarna
seperti batu akik, aku tertawa terbahak-bahak.
“Jangan tertawa!”
“Maaf. Tapi benarkah itu
yang kamu khawatirkan?”
“Ini masalah penting, tahu?”
Dengan rona merah
menghiasi pipinya, Reina menatap Takeru dengan pandangan yang tampak malu tapi
lucu, membuat Takeru mengangkat bahunya dan menggelengkan kepalanya.
“Aku tidak akan berpikir
begitu, jadi makanlah yang banyak dan semoga kamu menjadi sehat.”
“Baik. Terima kasih.”
Melihat Reina dengan wajah
memerah dan senyum lebar, aku membalas dalam hati, seolah telah mendapat pujian
tertinggi.
“Terimakasih atas
hidangannya.”
“Maaf karena masakannya
sederhana.”
Sesuai janjinya, Reina
menghabiskan makanannya dan membungkukkan kepala dengan sopan.
“Ini sangat lezat.”
“Terimakasih kalau begitu.”
Meski ada banyak hal yang
perlu diperbaiki, biarkan saja dulu karena Reina terlihat senang.
“Aku akan membersihkan
panci dan piring, lalu bagaimana dengan jelly dan lainnya?”
“Ah...”
Reina membelalakkan
matanya, seolah baru mengingatnya, dan tampak bingung sambil menyentuh perutnya
yang ramping.
“Meskipun kamu sudah
membelikannya untukku, boleh tidak kalau di makan besok saja?”
“Ah ya, kapan saja tidak
masalah.”
Sepertinya dia tidak punya
ruang untuk makanan manis.
“Kalau begitu aku akan
memasukkannya ke mesin pencuci piring, kamu santai aja dulu di kamar, ya.”
“Baik.”
Memandangi Reina yang
berdiri meninggalkan meja, Takeru menyiapkan mesin pencuci piring dan
membersihkan meja dengan hati-hati seperti yang biasa dilakukan Reina. Jika
sendirian, dia pasti akan melakukannya dengan terburu-buru. Reina tidak pernah
mengabaikan hal-hal kecil seperti ini.
Hari ini yang dimasak
Takeru hanya bubur, dan gagal. Persiapan dan pembersihan tidak sebanding dengan
kerja keras yang biasa dilakukan Reina. Reina melakukan semua itu setiap pagi
dan malam, ditambah pekerjaan rumah tangga lainnya dan belajar, dengan sempurna.
Sudah sewajarnya jika dia merasa lelah.
Jika ditanya siapa
penyebabnya, hanya ada satu jawaban.
Benar-benar memalukan...
“Takeru-san.”
“Ah...bukankah kamu
seharusnya sudah kembali ke kamar?”
Reina yang sebelumnya
menjauh, entah sejak kapan sudah berdiri di sana. Penampilannya begitu anggun
hingga membuat Takeru terpana, tapi Reina sedikit mengerutkan alisnya, mungkin
karena terkejut melihat ekspresi Takeru sambil memberikan senyum lembutnya.
“Maaf membuatmu terkejut.
Aku habis menggosok gigi.”
“Oh begitu. Tapi kalau
begitu, seharusnya kamu langsung istirahat saja di kamar. Jangan pikirkan aku.”
“Aku belum berterimakasih
padamu untuk hari ini.”
“...Kamu sudah banyak
berterimakasih, lagipula aku tidak melakukan apaoun yang pantas diucapkan
terimakasih.”
Aku belum pernah merasa
sekuat ini sebelumnya. Tapi Reina hanya tersenyum lembut dan menggelengkan
kepalanya, membuat rambut cokelat kemerahannya yang lebih banyak dari biasanya
bergoyang di dada piyama putihnya.
“Aku akan mengantarmu ke
kamar, jadi istirahatlah hari ini.”
Takeru tidak ingin
mendengar kata-kata selanjutnya, jadi dia menyentuh bahu Reina untuk membawanya
kembali ke kamar. Reina sama sekali tidak melawan dan segera tiba di depan
kamarnya.
“Kalau begitu—“
“Bisakah kita mengobrol
sebentar?”
Ketika Takeru hendak
berbalik, Reina menahan ujung bajunya dan tersenyum sambil sedikit memiringkan
kepalanya.
“Tidak baik langsung
berbaring setelah makan.”
“Yah...kalau begitu...”
Dipaksa dengan cara yang
sedikit lebih tegas dari biasanya, Takeru kembali masuk ke kamar Reina.
“Setidaknya berbaringlah
di tempat tidur agar bisa langsung beristirahat nanti.”
“Baiklah. Jika dipaksa,
aku akan menurut saja.”
Agak mengejutkan melihat
Reina memasang wajah masam, tapi dia tersenyum geli dan melepas kardigannya ke
gantungan baju sebelum naik ke tempat tidur dalam posisi setengah duduk.
“Kamu bisa duduk di kursi
itu, Takeru-san.”
“Ah, ya.”
Takeru meminjam kursi di
depan meja dan membawanya ke samping tempat tidur Reina untuk didudukinya.
Kursi kulit hitam ini sepertinya berkualitas bagus dengan sandaran yang nyaman.
Ketika mata mereka
bertemu, Reina malu-malu menyentuh poninya sambil sedikit mengerutkan alisnya.
“Takeru-san, terima kasih
untuk hari ini.”
“Itu bukan masalah besar.”
Itu benar. Dibandingkan
dengan apa yang biasanya Reina lakukan untukku, membuatnya berterima kasih
untuk hal sekecil ini membuatku merasa tidak enak hati.
“Aku senang melakukannya.”
Reina mengucapkan
kata-kata yang sama seperti biasanya dan tersenyum lembut. Sementara itu,
Takeru merasa tenaganya seperti meninggalkan punggungnya.
“Tapi... Aku sama sekali
tidak melakukan apa-apa.”
Aku benar-benar membiarkan
Reina menangani semuanya sendiri, dan bahkan tidak menyadari kalau dia
kelelahan. Aku bahkan tidak cukup perhatian untuk menyiapkan segelas minuman
untuknya, aku tidak bisa membuat bubur dengan benar. Sudah lama aku tidak merasa
sebegitu menyedihkannya diriku sendiri.
“Itu tidak benar. Hari ini
aku bahagia.”
Saat mengangkat wajahnya,
Reina tersenyum. Sebuah senyuman lembut, hangat, penuh cinta.
“Aku minta maaf sudah
membuatmu khawatir, tapi kamu begitu perhatian padaku. Ini mungkin terdengar
lancang, tapi aku bahkan berpikir mungkin ‘baguslah aku jatuh sakit’.”
Reina tersenyum seolah
merasa malu, kemudian membungkukkan kepalanya sedikit, “Maaf.”
“Tidak... Tidak usah
dipikirkan.”
“Terima kasih.”
Reina membungkuk sekali
lagi, kemudian terkekeh pelan.
“Kamu langsung menyuruhku
istirahat begitu tahu aku tidak enak badan, menggandeng tanganku ke kamar,
pergi berbelanja untukku, membuat bubur untukku, dan sekarang mengobrol
denganku seperti ini. Itu semua benar-benar membuatku bahagia.”
“Itu bukan masalah besar
kok.”
“Tapi bagiku iya.”
Semua itu hal-hal yang
wajar dilakukan. Siapa pun akan melakukan hal seperti itu jika teman serumahnya
jatuh sakit. Tapi Reina terlihat begitu bahagia, seolah itu hal yang
spesial.
“Dan karena aku jatuh
sakit, aku jadi menyadari sesuatu.”
“...Apa itu?”
“Aku senang kamu begitu
perhatian padaku, tapi di sisi lain, aku juga merasa sedikit tidak enak kalau
kamu terlalu berlebihan mengkhawatirkanku.”
“...Maaf.”
Karena Takeru yang tidak
terbiasa, apakah Reina tidak bisa benar-benar santai?
Reina tersenyum masam dan
menundukkan kepalanya, lalu tersenyum kecil.
“Maaf, aku tidak bermaksud
membuatmu salah paham. Aku tidak menyalahkanmu, aku justru senang bisa
menyadarinya.”
“Maksudnya?”
Takeru mengerutkan
dahinya, tidak mengerti mengapa Reina tersenyum masam dan menunduk sebelum
wajahnya menjadi cerah.
“Takeru-san, yang kayak
hari ini, selalu mencari alasan lain saat mengkhawatirkanku. Aku tahu itu
karena kamu begitu baik dan tidak ingin aku terlalu memikirkannya. Tapi hari
ini, aku benar-benar mengerti maksudnya.”
“...Aku tidak bermaksud
begitu.”
“Seperti kata-katamu
barusan.”
Reina tersenyum lembut
sambil menyentuh bibirnya. Melihat Takeru yang terdiam, Reina terkekeh pelan
lagi.
“Jadi, hari ini aku
benar-benar bahagia. Kamu tidak perlu terlalu memikirkannya.”
Senyum lembutnya yang
terlihat penuh kasih menenangkan hati Takeru. Mungkin Reina sengaja membuat
momen ini setelah menyadari perasaannya.
“Ah... Terima kasih.”
Perasaan menyedihkan itu
masih ada, tapi kemarahannya pada diri sendiri perlahan menghilang.
Ia menyadari kata “terima
kasih” yang dengan alami keluar dari mulutnya adalah untuk menyampaikan rasa
bahagianya seperti yang Reina katakan.
Reina menyipitkan matanya
dan terkekeh, lalu berkata dengan suara lembut.
“Dan Takeru-san.”
“Ya?”
“Punggungmu membungkuk.
Padahal belakangan ini kamu terlihat gagah, jadi sayang sekali.”
“...Begini sudah benar?”
“Ya. Kamu terlihat sangat
tampan.”
Meski masih merasa sedikit
menyedihkan, ia memutuskan untuk tidak menunjukkan wajah itu lagi di depan
Reina yang memujinya seperti ini.
Takeru menegakkan
punggungnya, menghela napas, dan memandang Reina. Reina meresponnya dengan
senyuman puas.
“Aku juga menyadari
sesuatu hari ini.”
“Apa itu?”
“Yah, meskipun rasanya
mirip, tapi walau hanya sebentar, aku benar-benar menyadari seberapa banyak hal
yang Reina lakukan untukku, seberapa banyak perhatian yang dia berikan meskipun
aku tidak melihatnya. Terima kasih banyak untuk hari ini. Dan maafkan aku.”
Dia meletakkan tangannya
di lutut dan membungkuk dalam-dalam. Tidak, tubuhnya membungkuk dengan
sendirinya.
“Tolong angkat kepalamu,
Takeru-san. Aku melakukannya karena aku mau.”
“Tetapi aku merasa
berterima kasih dan merasa harus minta maaf, itu adalah fakta, jadi biarkan aku
mengatakannya.”
“...Kalau kau
mengatakannya seperti itu, aku jadi bingung.”
Reina tersenyum masam,
mungkin karena kata-katanya dilemparkan kembali padanya.
“Mulai sekarang aku juga
akan melakukan banyak hal agar tidak memberatkanmu. Aku mungkin akan sedikit
mengacau pada awalnya...”
“Tidak. Jika begitu, tidak
ada artinya bagiku untuk tinggal bersamamu—“
“Ada artinya.”
“Eh?”
“Cukup dengan Reina ada di
sisiku.”
Kata-kata yang memotong
ucapan Reina yang telah mengubah ekspresinya itu membuat mata besarnya yang
memang sudah besar menjadi lebih besar dan bulat.
“Aku sudah mengatakannya
berkali-kali, tapi aku tidak merasa kehidupanku sekarang buruk...tidak, aku
malah merasa menyenangkan. Jadi cukup dengan Reina ada di sisiku.”
Ekspresi Reina tidak
berubah, matanya yang bulat seperti batu akik amber menatap Takeru lekat-lekat.
Karena tidak ada reaksi, Takeru sedikit mendapatkan kembali ketenangan hatinya
setelah mengucapkan kata-kata yang agak memalukan itu.
“Ah tidak, itu terlalu
berlebihan. Fakta bahwa aku menantikan makanan buatanmu setiap hari tidak bisa
diganggu gugat.”
Takeru yang bahkan tidak
bisa memasak bubur dengan benar, jika dia yang memasak sebagai gantinya,
kualitas hidup Reina pasti akan menurun. Dalam hal itu, apakah yang bisa
dikurangi adalah pekerjaan membersihkan rumah? Atau sesekali makan di luar juga
diperbolehkan? Pemikiran itu singgah di benaknya.
Sementara dia memikirkan
hal itu, Reina mengedipkan matanya sekali, lalu sekali lagi. Bulu matanya yang
panjang dan berkilau sedikit bergetar.
“Apa itu hal yang begitu
mengejutkan?”
Karena tidak mendapat
tanggapan lagi, rasa malu Takeru semakin bertambah hingga dia tidak tahan dan
bertanya, alis Reina sedikit berkerut ke bawah.
“...Ini pertama kalinya
aku mendengar hal seperti itu.”
Reina tersenyum dengan
ekspresi sedikit muram, bukan sekadar senyum masam.
“Tentu saja begitu. Jika
tidak pernah punya pengalaman tinggal bersama sebelumnya, kamu tidak akan
mendengar hal seperti itu.”
“Memang benar, tapi bukan
itu maksudku.”
Kali ini hanya senyum
masam biasa. Reina menempelkan telapak tangannya di mulut dengan ekspresi geli.
“Aku tidak pernah merasa
diriku memiliki nilai seperti itu.”
“Apa maksudmu?”
Dari sudut pandang Takeru,
Reina tampak seperti gabungan dari nilai sempurna. Dia merasa kata-kata ‘cantik
dan berbakat’ saja tidak cukup menggambarkan Reina.
“Reina bisa melakukan apa
saja dan kamu sangat bernilai, jadi wajar kalau para pria mengerumunin kamu,
kan?”
“Itu hanya penilaian pada
penampilan luarku saja. Mereka tidak peduli pada diriku yang sebenarnya.”
Jika dipikir-pikir, memang
benar. Yang mereka cari hanyalah siswa pindahan cantik, bukan isi dari Reina
sendiri. Tapi—
“Penampilan luar juga
tetap perlu dirawat agar tidak rusak, jadi itu merupakan nilai yang patut
dibanggakan. Dan kecantikan Reina bukan hanya soal tampilan luar saja, kan?”
“Eh?”
“Caramu menjaga postur
tubuh, gerakan dan gestur kecilmu, semuanya terlihat sangat indah. Kecantikan
yang diperoleh dari upaya dan latihan itu juga ada padamu. Aku juga ingin
meluruskan punggungku seperti Reina. Seharusnya kamu bangga pada hal-hal
seperti itu.”
Alasan Takeru terpana
adalah karena hal-hal seperti itu, dan karena itulah usia Reina yang masih muda
terlihat begitu menggemaskan. Tidak mungkin dia tidak berharga.
“Ta-Takeru-san?”
“Ya?”
Ketika diperhatikan
baik-baik, wajah Reina sangat merah.
“Kamu baik-baik saja? Apa
kau demam?”
“Ti-Tidak. Aku baik-baik
saja...Takeru-san mengatakan hal yang aneh.”
Reina menyentuh pipinya
dengan ujung jari, mengerutkan bibirnya. Kontras dengan jari putihnya itu
membuatnya jelas terlihat seberapa berbeda warna pipi Reina dari biasanya.
“Apa yang aneh? Aku hanya
mengatakan fakta.”
Di mana letak hal anehnya,
dia juga tidak dapat memikirkannya.
Dia mengamati Reina,
berharap dia akan memberitahunya apa yang aneh, tetapi ketika menerima tatapan
Takeru dan membuka mulut seperti ingin mengatakan sesuatu, Reina hanya
menggerakkan bibirnya sedikit saja pada akhirnya.
Tatapan malu-malu yang
dilemparkan kepadanya tampak sedikit bergairah, dan Takeru merasa dirinya juga menjadi
panas.
“Umm... mungkinkah kamu
sudah mengantuk?”
“Ah... iya sepertinya
begitu.”
Seolah menyembunyikan
kebingungannya, Takeru bertanya dan sepertinya mengenai sasaran, karena Reina
yang membelalakkan matanya dengan terkejut lalu mengangguk pelan.
“Aku akan pergi mandi
terlebih dahulu sebelum tidur. Maaf memanggilmu kemari.”
“Tidak, tidak apa-apa.
Justru aku yang harus berterima kasih karena kamu mau menemani aku mengobrol.”
“Bukankah akulah yang
seharusnya berterima kasih karena kamu yang mau nemenin?”
Reina tersenyum lembut
sambil menyipitkan matanya setelah menertawakan dirinya sendiri dengan
menempelkan tangannya di mulutnya. Takeru membalasnya dengan “Ah iya benar” dan
Reina tertawa lagi dengan ekspresi geli.
“Yah tapi, terima kasih.”
“Sama-sama. Terima kasih
juga, Takeru-san.”
Mereka sedikit
membungkukkan kepala bersamaan, lalu saling melempar senyum. Takeru tersenyum
untuk menyembunyikan rasa geli, tapi entah bagaimana dengan Reina.
“Kalau ada apa-apa, jangan
sungkan untuk memanggilku. Selamat malam.”
“Baik. Selamat malam,
Takeru-san.” Takeru keluar dari kamar Reina lalu menutup pintunya dengan
perlahan.
Dia sedikit menggigit
lidahnya untuk menahan senyuman yang hampir muncul.
Ia senang dengan apa yang
dikatakan Reina. Namun, dia sangat menyesali telah membebani Reina dan bahkan
tidak menyadarinya.
Agar tidak tenggelam dalam
perasaan negatif, tapi juga agar tidak melupakannya, Takeru dengan sadar
meluruskan punggungnya.
◇ ◇ ◇
Keesokan harinya, Takeru
terbangun lebih awal dari hari kerja biasanya dan menuju ke ruang tamu, dia
melihat Reina menyiapkan sarapan.
“Selamat pagi, Reina.”
“Ah... selamat pagi,
Takeru-san.”
Mungkin karena Takeru
menyapanya dari belakang, Reina nampak sangat terkejut sampai-sampai bahunya
yang indah itu berguncang, lalu dia berbalik perlahan. Sepertinya dia merasa
malu karena ekspresinya sedikit tersipu.
“Hari ini kamu bangun pagi.”
“Harusnya aku yang berkata
begitu.”
Saat Takeru membalas
seperti itu, Reina sedikit memiringkan kepalanya seolah ada tanda tanya di atas
kepalanya.
“Kamu pasti masih lelah,
seharusnya beristirahat lebih lama kan?”
“Tidak apa-apa kok. Aku
sudah cukup beristirahat.”
Reina tersenyum kecil
sambil sedikit mengerutkan alisnya, lalu menambahkan dengan suara pelan “Berkat
Takeru-san” dengan ekspresi yang entah kenapa terlihat sedikit jengkel.
“Tapi...”
Meski begitu, mengingat
kejadian kemarin, Takeru ingin Reina beristirahat hingga besok Senin sebelum
kembali bersekolah—
“Takeru-san orangnya
terlalu khawatiran, ya?”
Reina menyipitkan matanya
dan berkata dengan nada lembut, lalu tertawa kecil sembari merona tipis di
pipinya.
“Bukankah Takeru-san
mengatakan ingin makan masakanku setiap hari dan tidak akan bosan?”
“Ah, ya...”
Takeru memang
mengingatnya, tapi rasanya ada sedikit perbedaan nuansa. Namun karena Reina
terlihat sangat senang dan tersenyum lebar, Takeru hanya mengangguk dengan
tulus.
“Selain itu, jika aku
tidak melakukan aktivitas seperti biasa, aku justru akan merasa tidak
bersemangat dan malah memburuk.”
“Yah, kalau begitu tidak
apa-apa. Tapi segera katakan padaku kalau kamu merasa tidak enak badan
sedikitpun ya. Lalu, apa ada yang bisa kubantu?”
“Terima kasih. Tapi
tinggal sedikit lagi, jadi Takeru-san tunggu saja.”
“Baik.”
Meski Takeru menurut dan
duduk, dia jadi tidak tahu harus berbuat apa. Dia disuruh tidak perlu membantu,
dan jika dipikir-pikir, dia hanya akan mengganggu jika membantu. Jadi dia tidak
melakukan apa-apa.
(Aku hanya perlu mengamati
cara Reina beraktivitas)
Memang belum sampai ke
tahap melihat dan mencurinya, tetapi aku rasa bisa sedikit menjadikannya
sebagai referensi...segera aku menyadari bahwa itu hanyalah pemikiran sombong.
Memang benar tangannya tidak bergerak dengan cepat sehingga tidak bisa
terlihat, tetapi meski melihat Reina melakukan beberapa pekerjaan sekaligus
dengan gerakan yang begitu terampil, aku sama sekali tidak mengerti apa yang
sedang dia lakukan.
Menyadari bahwa orang yang
tersandung pada matematika SD mencoba memecahkan matematika SMA, Takeru
menyerah untuk sementara waktu. Dia memutuskan untuk melihat Reina yang
mengenakan celemek dengan tulus.
Reina yang biasanya
tersenyum lembut, kali ini memiliki ekspresi serius. Meskipun bukan seorang
profesional, sepertinya itulah wajah seorang koki. Dan memang, itu sangat
cantik.
Aku bisa melihatnya
selamanya. Tentu saja karena aku berpikir begitu, jika terus melihatnya, pada
saat pandangan kami bertemu, mata kami akan bertemu. Seperti saat ini.
"Ta-Takeru-san"
"Hm?"
Seolah baru menyelesaikan
satu paragraph, Reina menghentikan tangannya sejenak dan membelalakkan matanya,
tidak bergerak sama sekali untuk sesaat.
"...Apa kamu terus melihatku?"
"Ya. Aku melihatmu
karena aku pikir itu menakjubkan."
"Ja-Jangan
begitu."
"Kenapa?"
Reina, yang wajahnya
memerah seketika, menggelengkan kepalanya. Karena tidak dilakukan dengan
gerakan lembut seperti biasanya, rambut panjangnya yang terikat pun berayun
besar.
"Aku tidak bisa
tenang kalau diliatin, duduklah di sofa."
"...Yah,
baiklah."
"Aku akan memanggilmu
kalau sudah selesai."
Meski merasa tidak puas,
karena Reina tetap terlihat anggun meski dengan gerak-gerik terburu-buru,
Takeru memutuskan untuk menurut saja.
Akhirnya beberapa menit
setelah berpindah, Reina memanggilnya untuk duduk di meja makan, dan Takeru
merasa dia mungkin bisa tetap di sana sejak tadi. Tapi tidak apalah, makanan
buatan Reina yang tersaji di depannya mengisi pikirannya.
Sambil mengucapkan "Ittadakimasu"
bersama, sesekali pandangan Takeru dan Reina bertemu selama makan. Setiap kali
itu terjadi, Reina mengalihkan pandangannya, sepertinya benar bahwa dia tidak
bisa tenang jika diperhatikan.
Mungkin karena Reina
terlihat menggemaskan saat diam-diam melirik ke arahnya, sepertinya detak
jantung Takeru sedikit lebih cepat dari biasanya.
"Apa kamu punya
sesuatu yang harus diselesaikan hari ini?"
"Hampir semuanya
sudah kuselesaikan kemarin, tinggal mencuci dan membersihkan area basah
saja."
"Kalau begitu biar
aku yang melakukannya, kamu istirahat saja."
Dia tidak menggunakan
dapur jadi tidak perlu dibersihkan, dan pekerjaan lainnya adalah yang biasa
Takeru lakukan sebelum tinggal bersama. Dia harus lebih rajin dibanding saat
itu, tapi seharusnya tidak masalah...mungkin.
"Tapi..."
"Sudahlah tidak
apa-apa."
"Tidak, maksudku..."
Karena kejadian kemarin,
Takeru ingin Reina membiarkannya istirahat, tapi rupanya Reina masih merasa
sungkan, sampai akhirnya dia berkata:
"Ada pakaian dalamku
jadi...biar aku saja yang nyuci."
"...Maaf."
Melihat Reina yang
wajahnya memerah dan sepertinya sulit mengatakannya, Takeru membungkukkan
kepalanya dalam-dalam. Wajahnya juga mungkin sama merahnya.
Setelah sarapan, Takeru
segera bekerja dan menyelesaikan pembersihannya. Berkat waktu yang dihabiskan
dua kali lebih lama dari biasanya, Reina yang baru selesai menjemur cucian pun
memberikan nilai lulusnya.
Setelah itu Takeru kembali
menghabiskan waktu di ruang tamu seperti biasa, saat Reina datang setelah pergi
sebentar ke kamarnya. Di tangannya ada sebuah buku novel. Jika ingatannya benar, itu adalah buku yang
Reina baca kemarin.
"Permisi."
"Ya."
Meski tidak perlu minta
izin seperti dulu lagi, Reina tetap mengucapkannya saat duduk di sampingnya.
Takeru menjawab dan Reina duduk, tapi hari ini dia tampak enggan duduk di
sampingnya.
"Ada apa?"
"Ti-Tidak ada
apa-apa."
Saat ditanya sambil
ditatap, Reina mengerutkan alis, tersenyum malu-malu, dan akhirnya duduk. Di
ujung sofa, jauh dari Takeru, dua kali lebih jauh dari biasanya.
"...Apa tidak akan
jatuh?"
"...Tidak
apa-apa."
"Begitu ya."
Meski Reina bebas duduk di
mana saja, fakta bahwa dia tidak seperti biasanya membuat Takeru tidak bisa
tenang. Sepertinya Reina juga merasakan hal yang sama, karena halaman bukunya
hampir tidak maju sama sekali. Tapi meski begitu, postur dan cara duduknya
tetaplah begitu anggun dan elegan, memang luar biasa.
Akhirnya, di hari itu
Reina tetap dalam kondisi yang sama, meskipun menghabiskan waktu bersama Takeru
di ruang tamu, entah kenapa jarak di antara mereka terasa lebih jauh dari
biasanya.
◇ ◇ ◇
Sambil mandi dengan air
shower yang sedikit lebih dingin dari biasanya, Reina menghela nafas.
Sulit baginya untuk
bertatap muka dengan Takeru, orang yang tinggal bersama dengannya.
Dia sangat mengerti bahwa
penyebabnya ada pada kejadian semalam. Karena itu juga, meskipun dia sudah
tidur lebih awal, dia tidak bisa langsung tertidur untuk sementara waktu.
“Cukup dengan Reina ada di
sini.”
“Kamu cantik.”
Hanya dengan mengingatnya,
jantungnya berdebar dan wajahnya terasa panas.
Kata-kata sebelumnya yang
belum pernah diucapkan padanya memang luar biasa, tetapi bahkan kata-kata
terakhir yang seharusnya sudah biasa didengarnya pun mampu mengacaukan hati
Reina seperti ini.
Dia merasa seolah semua
yang sudah diraihnya selama ini diakui. Dan fakta bahwa dia sekedar dipuji
cantik, itu sendiri sudah membanjiri dada Reina dengan kebahagiaan. Rasanya
begitu hangat hingga seperti akan membuatnya pingsan.
Meskipun sudah satu malam
dan dia mengira sudah tenang, begitu Takeru menyapanya pagi ini dan melihat
wajahnya, ketenangan hatinya sudah hancur lagi. Saat menyadari Takeru
memerhatikannya saat memasak, dia gelisah dan menjauhkan Takeru.
(Apakah dia tidak berpikir
kalau aku bersikap aneh?)
Takeru tidak terlihat
curiga sama sekali, tetapi Reina tetap merasa tidak tenang.
Dia mempercepat waktu
mandinya dari biasanya karena merasa malu berada bersama Takeru. Bukan berarti
dia tidak ingin bersama Takeru, justru dia ingin, tetapi dia merasa tidak bisa
menjaga ketenangannya lebih lama lagi.
Namun, dia pikir bisa merasa
sedikit lebih tenang setelah mandi, ternyata dia belum sepenuhnya bisa
memulihkan ketenangan dirinya.
Begitu keluar dari ruang
ganti setelah mandinya, dia berpapasan dengan Takeru. Karena kamar Takeru tepat
di depannya dan waktu mandinya tidak seperti biasanya, seharusnya dia lebih
waspada, tapi dia sama sekali tidak sadar.
“Ah...Takeru-san”
“Istirahatlah dengan baik
ya.”
Takeru menatap Reina dari
atas ke bawah, lalu tersenyum lembut seperti mengkhawatirkannya. Dia pasti
mengira Reina mandi lebih awal untuk tidur lebih awal.
Namun, melihat dirinya
dengan penampilan sehabis mandi, bahkan dalam pakaian tidur yang seharusnya
sudah dilihat Takeru semalam, membuat Reina merasa sangat malu dan wajahnya
semakin memanas.
“Baik. Terima kasih.
Selamat malam.”
Setelah mengucapkannya
agak terburu-buru, Reina membungkuk lalu berlari masuk ke kamarnya seperti
melarikan diri.
“Apakah dia tidak berpikir
kalau aku bersikap aneh?”
Pertanyaan itu membuatnya
khawatir, tetapi dia sama sekali tidak punya keberanian untuk
mengonfirmasinya.
Bagaimanapun, mulai besok
dia harus bersikap seperti biasa. Dengan pemikiran itu, Reina masuk ke futon
lebih awal seperti yang dikatakannya pada Takeru. Tetapi malam itu pun, dia
masih sulit untuk tertidur.
Copyright Archive Novel All Right Reserved ©
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.