Genjitsubanare shita bishōjo tenkōsei ga Chap 3

Ndrii
0

 Chapter 3




Pada hari biasa, pagi ini aku bangun sedikit lebih awal dari biasanya. Mungkin karena semalam aku tidur lebih awal.

 

Biasanya aku akan tidur lagi sampai alarm berbunyi, tetapi hari ini aku tidak merasa mengantuk lagi dan ingin langsung bangun saja.

 

Setelah meregangkan tubuh di atas tempat tidur, aku langsung pergi ke kamar mandi. Karena lebih pagi dari biasanya, mungkin Reina ada di sana, jadi aku mengetuk pintunya pelan. Setelah memastikan tidak ada jawaban, aku masuk, menyikat gigi, dan mencuci muka. Hanya perbedaan waktu, pagi ini sama seperti biasa.

 

(Tapi, barang-barangnya banyak sekali ya)

 

Barang-barang milik Takeru di kamar mandi hanya sikat gigi, pasta gigi, sabun wajah, dan air pembersih. Sedangkan milik Reina, meskipun sikat gigi dan pasta giginya sama, sisanya banyak sekali. 

 

Bukan hanya banyak botol, tapi juga ada alat-alat aneh yang tidak Takeru ketahui fungsinya. Takeru berpikir gerakan Reina yang halus adalah hasil jerih payahnya, rupanya penampilannya juga demikian. Membuat Takeru merasa insecure.

 

Meski sedikit tertekan, setelah menggosok gigi dan mencuci muka lalu berganti pakaian, Takeru menuju ke ruang tamu dan mendapati Reina yang sudah mengenakan seragam sedang sarapan. Begitu melihat Takeru, dia terlihat terkejut tapi kemudian tersenyum lembut.

 

"Selamat pagi, Takeru-san."

 

"Ah, pagi... Reina." 

 

Saat Takeru membalas salamnya, Reina menyipitkan matanya yang bulat dengan lembut, dia semakin melengkungkan senyumnya.

 

"...Tunggu sebentar, aku akan menyiapkan sarapan untukmu."

 

"Ah tidak usah. Aku bisa menyiapkannya sendiri."

 

Takeru terburu-buru menghentikan Reina yang hendak berdiri. Menyiapkan sarapan hanya dengan menuangkan sup dan salad yang sudah jadi, lalu memanggang roti.

 

"Di buatin sarapan oleh dirimu saja, aku sudah cukup bersyukur." 

 

Sambil mengangkat bahu, Takeru memasukkan roti ke pemanggang dan menyiapkan minuman.

 

"Takeru-san, apa kamu mimpi indah semalam?"

 

"...Meski tidak mimpi indah, aku selalu begini."

 

Sepertinya Reina memiliki persepsi buruk tentang Takeru. Takeru berpikir begitu melihat Reina tertawa kecil, tetapi Reina kemudian menggelengkan kepalanya perlahan, rambut kastanyenya sedikit bergoyang.

 

"Bukan begitu, tapi aku merasa suasana hati kamu baik hari ini."

 

"Bukannya sama seperti pagi biasanya?"

 

Sampai bangun dan pergi ke kamar mandi memang sama. Yang berbeda adalah setelahnya. 

 

"Benar juga."

 

Meskipun Reina setuju, senyumannya yang lembut sepertinya menyadari sesuatu. Ah, tentu saja karena barisan botol-botol yang rapi itu.

 

Sementara perbincangan itu berlangsung, roti telah matang. Takeru lalu duduk di seberang Reina.

 

"Ittadakimasu."

 

"Silakan dinikmati." 

 

Sarapan yang dibuatkan Reina pada dasarnya terdiri dari roti, sup, dan salad. Hal ini karena ketika ditanya tentang sarapan, Takeru menjawab "Pagi hari aku biasanya hanya makan roti." Maksudnya adalah karena merepotkan membuat yang lainnya, jadi dia membeli dan memakan roti saja. Tapi Takeru tidak mengatakannya secara gamblang.

 

Reina bilang dia lebih mahir memasak masakan Jepang daripada masakan Barat, tetapi untuk roti seperti roti panggang atau baguette, jenisnya selalu berganti setiap hari. Begitu pula dengan sup dan saladnya. Meski kriterianya tidak jelas, kadang-kadang disertai olahan telur, menyesuaikan roti dan lauk lainnya. Saat ini hal itu menjadi salah satu kesenangan Takeru sehari-hari.

 

Hari ini adalah roti panggang, sup konsomé, dan salad dengan kol sebagai bahan utama. Takeru mengoleskan mentega pada rotinya sebelum menyuapkan sup ke mulutnya. 

(Tln: “Sup konsome” adalah ejaan alternatif dari “sup konsumé”, yang merupakan hidangan sup yang disajikan dalam mangkuk khusus bernama consommé. Biasanya, sup konsumé adalah sup kaldu yang sangat jernih yang telah disaring dengan teliti untuk menghilangkan segala endapan dan partikel, sehingga hasilnya sangat transparan dan jernih.)

 

"Takeru-san hanya makan roti dengan mentega saja? Sepertinya selainya tidak pernah berkurang."

 

"Begitulah. Bukan selalu sih, tetapi memang sering merasa ingin mentega saja."

 

"Begitu ya."

 

"Apakah Reina suka selai jeruk?"

 

Karena di atas piring Reina juga ada roti dengan selai jeruk, dan mengingat di kulkas, sepertinya selai jeruk yang paling cepat habis di antara selai-selai yang lain.

 

Ternyata ada hal-hal baru yang  kuremukan karena ini adalah kali pertama aku sarapan bersamanya. 

 

"Ya, benar."

 

"Jadi kamu suka rasa jeruk?"

 

"Kamu benar-benar memahaminya."

 

"Yah, kira-kira begitu." 

 

Takeru masih ingat saat pertama kali Reina mengunjungi rumah ini, ada aroma jeruk menguar saat dia mendekat. Mungkin inilah alasan di balik 'kira-kira begitu' itu.

 

“Entah bagaimana, memang begitu ya.”

 

Reina menyipitkan matanya, menutupi mulutnya, dan terkekeh “Fufun”.

 

“Ada apa?”

 

“Tidak, tidak ada apa-apa.”

 

“Begitu.”

 

Reina terkekeh lagi “Fufun”.

 

“Cepat makan atau kita akan terlambat.”

 

“Ya, benar.”

 

Meski aku sendiri berpikir ‘Dari mulut siapa kata itu keluar’, Reina tersenyum ceria dan mengangkat cangkir ke bibirnya.

 

Namun, aku menyadari kecepatanku makan lebih lambat dari biasanya. Bukan hanya karena kami mengobrol atau karena aku punya banyak waktu, tapi karena waktu ini terasa menyenangkan.

 

Makanan buatan Reina selalu lezat setiap pagi, tapi hari ini rasanya lebih istimewa, dan meja makan terasa lebih cerah dari biasa.

 

(Ah, benarkah lebih cerah?)

 

Aku menyadari gorden beranda yang biasanya tertutup, terbuka pagi ini. Mungkin Reina membukanya sebelum pergi, jadi saat aku makan pagi, biasanya tertutup.

 

Aku tidak pernah membuka gorden sebelum berangkat sekolah. Karena bakalan ditutup lagi. Apa yang dilakukan Reina seharusnya bukan hal istimewa. Tapi kehangatan yang kurasakan bukan hanya dari sinar matahari saja.

 

Tiba-tiba aku menoleh ke arah Reina dan pandangan kami bertemu. Meskipun dia hampir menghabiskan makanannya sementara aku baru memulai, dia tidak langsung melanjutkan makannya. “Kamu tidak perlu menungguku.”

 

“Bukan begitu, tapi karena ini pertama kalinya kita sarapan bersama, jadi aku ingin menunggu sampai akhir.”

 

Reina sedikit membungkukkan kepalanya dengan malu-malu.

 

“Ah, maaf. Aku jadi membuatmu terburu-buru ya.”

 

Dengan panik dia berkata begitu, tapi tetap dengan gerakan anggun dia melanjutkan makan sisanya.

 

“Ah tidak, aku juga berpikir begitu, jadi tidak usah dipikirkan.” 

 

“Takeru-san...”

 

“Tapi, besok kita bisa bicara ‘ittadakimasu’ bersama-sama, jadi hari ini kamu duluan saja.”

 

“...Ya. Aku menantikannya.”

 

Aku juga menantikannya. Batinku menambahkan saat melihat ekspresi menggemaskan Reina yang tersenyum.

 

 

“Reina, mau main dulu sebelum pulang?”

 

“Maaf. Aku senang diajak, tapi aku harus menyiapkan makan malam.”

 

Saat makan siang berempat, Mana membuka percakapan dengan nada ringan “Oh iya”. Reina menundukkan kepalanya meminta maaf.

 

Sejauh yang kutahu, dia selalu menolak ajakan main sepulang sekolah dengan alasan yang sama. Tapi kupikir itu karena dia tidak terlalu dekat dengan anak laki-laki yang mengajaknya. “Kamu tinggal sendiri, jadi sesekali makan di luar juga tidak apa-apa kan? Ah, bukan berarti aku menyuruhmu begitu hari ini ya.”

 

“Memang benar, tapi...”

 

Reina yang duduk di hadapanku mengerutkan alisnya dan nada bicaranya menjadi ragu.

 

“Kenapa tidak?”

 

“Eh?”

 

Reina yang sedari tadi tidak menatapbTakeru, membelalakkan matanya ke arahku. Ryouma di sampingnya bergumam “Hnn?” dan Mana di seberangnya bergumam “Hah?”

 

“Yah...” 

 

Aku kira mereka akan dengan mudah mengabaikannya, tapi malah menjadi pusat perhatian, jadi aku kehilangan kata-kata.

 

“Seperti yang dikatakan Sakaki-san, Reina tidak perlu selalu memasak sendiri setiap hari kan?”

 

Jika Reina benar-benar tinggal sendiri, seharusnya dia melakukan seperti yang dikatakan Mana. Artinya, yang menjadi beban bagi Reina saat ini adalah aku. Sejak topik ini keluar, dia terus mengalihkan pandangannya dariku, jadi itu juga mudah dipahami.

 

Ungkapan penolakannya mungkin sama seperti kepada yang lain, tapi ekspresi dan nada bicaranya berbeda dari sebelumnya. Jelas sekali bahwa sebenarnya Reina ingin menerima ajakan Mana.

 

Aku senang bisa menikmati masakan Reina, tapi aku tidak ingin mengikat kehidupan masa mudanya.

 

“Aku sendiri bahkan tidak pernah memasak sama sekali.” 

 

“Takeru-san...”

 

Meskipun aku menggunakan istilah ‘memasak sendiri’, sepertinya Reina menangkap maksudku dengan baik.

 

“Kamu juga sesekali harus memasak sendiri.” 

 

Sambil mengejek, Ryouma menyikut Takeru. Lalu dengan sengaja dia mengangkat kacamatanya yang tidak pas dan memasang senyum sinis.

 

“Bisa jadi Amaniya-san tidak ingin bermain dengan Sakaki, jadi tidak baik mengambil alasannya untuk menolak.”

 

“Tentu saja tidak begitu!”

 

Disertai suara kering, Mana menggerakkan nampan di atas meja dan menatap Reina, “Iya kan?”

 

“...Ya. Aku juga ingin pergi dengan Mana-san.”

 

Meskipun seperti dipaksa mengatakannya, senyum masam Reina bukan pertanda menyerah, melainkan penuh harapan.

 

“Oke, diputuskan! Kapan kita melakukannya? Hari ini? Atau hari ini? Iya, hari ini kan?”

 

Sementara Ryouma bergumam heran “Kamu terlalu bersemangat”, Reina yang kebingungan menatapku seolah bertanya, “Apakah tidak masalah jika hari ini?” 

 

Jika Reina tidak keberatan, kapan pun tidak masalah bagiku. Aku mengangguk kecil dan wajahnya sedikit rileks.

 

“Baiklah. Kalau begitu hari ini, aku akan ikut dengan kalian.”

 

“Yay!”

 

Mana membuat gaya semangat dan kemudian entah kenapa menatapku. “Iriya-kun, jangan buat jadwal lain sepulang sekolah nanti ya.”

 

“Kenapa aku?”

 

Seharusnya tidak mengasumsikan aku sudah punya rencana lain, tapi karena memang tidak punya jadwal lain, aku hanya bertanya sembari tersenyum seperti sedang merencanakan sesuatu kepada Mana.

 

“Eh? Karena kita akan pergi bersama-sama.”

 

“Kenapa begitu? Kalau kamu butuh orang lain, kamu bisa mengajak teman sekelas perempuan kan?” 

 

“Ini yang pertama, jadi aku tidak mau terlalu banyak orang dulu. Lagipula banyak yang ingin pergi dengan Reina, jadi bisa terjadi pertengkaran memilih siapa yang diajak.”

 

Memang benar, jika terlalu banyak orang mungkin akan membuat Reina lebih kaku.

 

“Kalau begitu kenapa tidak pergi berdua saja?”

 

“Pasti Reina akan lebih tenang jika ada teman lama. Juga untuk menghindar dari pria hidung belang. Atau kamu ingin membiarkan sesuatu terjadi terhadap kami berdua?” 

 

“Ancaman macam apa itu.”

 

Setidaknya aku tidak menganggap Mana sebagai orang yang akan mencelakai Reina. Meski tidak menutup kemungkinan dia akan mengajarkan hal yang tidak baik.

 

Namun, aku menyadari Reina sekilas melirikku. Sepertinya dia mengharapkan aku ikut.

 

“...Baiklah.” 

 

Setelah menghela nafas panjang dan menyetujui, Reina tersenyum lebih lebar ketika Mana mengangguk bersemangat.

 

Reina pasti menganggap Mana sebagai teman, tapi rasanya dia sedikit gugup jika hanya berdua saja dengannya. Mengingat Reina bersekolah di sekolah khusus putri, Mana pasti teman dengan tipe yang sangat baru baginya.

 

“Jadi kita berempat akan pergi bersama begitu?”

 

“Berempat? Orang cuman bertiga.”

 

“Hei, jangan mengecualikanku dengan natural begitu.” 

 

Ryouma langsung menyela Mana yang dengan sengaja mencondongkan kepalanya dengan ekspresi menggoda. Mereka lalu bercanda satu sama lain. Melihat itu, Reina tersenyum lembut.

 

“Pasti akan menyenangkan.”

 

“Ya, begitulah.” 

 

“Ya.”

 

Setelah mengangguk dengan wajah ceria penuh harapan, Reina berbisik pelan, “Terima kasih banyak.” Suaranya kecil tapi menyiratkan kebahagiaannya. 

 

“Jadi, kita mau ke mana?”

 

Setelah berjalan beberapa menit dari gerbang sekolah karena khawatir menarik perhatian, Ryouma menanyakan itu ketika kami berkumpul.

 

“Nah, ke mana Sakaki?”

 

“Hmm, karaoke mungkin? Kafe atau restoran keluarga atau window shopping mungkin oke kalau hanya anak perempuan, tapi daripada hanya mengobrol lebih baik ke tempat yang bisa buat main.”

 

“Ya, ide bagus. Kenapa tidak?”

 

“Eh, Apa-apaan nada arogan itu?”

 

“Aku memujimu tadi.”

 

Saat mereka bercakap-cakap, entah sejak kapan Reina sudah berdiri di samping Takeru dan terkikik geli sambil menutupi mulutnya.

 

“Bagaimana kalau karaoke?”

 

“Aku tidak punya pengalaman, tetapi bukan berarti aku tidak bisa menyanyikan lagu apa pun, jadi mungkin tidak masalah.”

 

Seperti dugaanku, Reina tidak punya pengalaman ke karaoke. Meskipun begitu, karena dia tetap tersenyum, kurasa tidak perlu terlalu mengkhawatirkannya. Tapi aku penasaran apakah dia bisa menyanyikan lagu-lagu terbaru. Mungkin bukan masalah besar bagiku yang repertoarnya terbatas. 

 

“Karena keadaan rumah, aku jarang bertemu dengan orang-orang dari industri hiburan. Jadi sebelum bertemu, aku akan meneliti sedikit tentang mereka.”

 

“Begitu rupanya.”

 

Aku mengerti penjelasannya, tapi sepertinya itu gaya orang dewasa bukan? Sudah lama aku menjauh dari pergaulan sosial, tapi Reina masih terus berada di dalamnya, aku menyadari itu lagi.

 

“Takeru-san.” 

 

“Ya?”

 

Memanggil Takeru yang sedang melamun, Reina sedikit mengerutkan alisnya memandangiku, bibirnya sedikit mengerucut.

 

Aku tahu dia hanya pura-pura marah, tapi Reina yang tadi terlihat sangat dewasa, kini kembali seperti anak seusianya dengan pipi yang sedikit menggembung.

 

“Sebelumnya mohon maaf, jangan-jangan kamu mengira aku hanya bisa menyanyikan lagu-lagu enka saja?”

 

“Ah tidak, aku tidak berpikir sejauh itu.” 

 

“’Sejauh itu’ ya...”

 

“...Ya.”

 

Karena memang sempat terpikir begitu, aku mengangguk dengan enggan dan Reina sedikit melepas ekspresinya sambil terkekeh.

 

“Aku tahu kamu pasti berpikir begitu.”

 

“Apa-“

 

“Iriya-kun, jangan monopoli Reina dan menyingkirkan Oosaki ya.” 

 

Saat aku hendak bertanya alasannya, Reina sudah tersenyum dan menghampiri Mana yang cemberut. Sementara Ryouma datang kepadaku dengan wajah kesal, “Dia mengabaikanku.”

 

“Bukannya mengabaikan, kalian kan langsung menempel seperti magnet begitu bertemu.”

 

“Kamu ini, sudah jelas kita bukan N dan N.” 

 

“Ya ya.”

 

Ryouma sepertinya pandai mengamati orang lain tapi tidak pada dirinya sendiri. Meninggalkannya, Takeru memutuskan mengejar Reina dan Mana yang sudah berjalan cukup jauh.

 

“Jangan tinggalkan aku.”

 

Tapi Ryouma segera menyusul dan berjalan di sampingku.

 

“Kamu benar-benar tidak sopan pada temanmu yang sedikit.”

 

“Justru kamu yang tidak sopan bilang ‘temanmu yang sedikit.”

 

Bukan berarti Takeru memang punya sedikit teman, hanya Ryouma yang punya terlalu banyak. Sepertinya. 

 

“Kualitas teman lebih penting daripada kuantitas, tenang saja.”

 

Ryouma mengacungkan jempol kepada dirinya sendiri, aku menatapnya dengan pandangan dingin.

 

“Jadi, kita mau ke mana? Tempat biasa?”

 

“Kapan kamu sering ke sana...padahal aku yang mengajakmu. Yah, memang ke sana sih.” 

 

“Begitu. Kalau begitu kita kejar kedua orang itu. Kita juga ditugaskan mengamankan mereka dari pria hidung belang kan?”

 

“Ya. Tentu saja Amaniya-san, tapi Sakaki juga lumayan cantik.” 

 

“...Ayo lari.”

 

“Jangan tiba-tiha bersemangat...”

 

Kali ini Takeru yang meninggalkan Ryouma di belakang.

 

Sesampai di tempat karaoke, saat Mana dan Ryouma berdebat memilih ruangan, Reina celingukan memperhatikan sekelilingnya. Meski tidak sampai berseri-seri, sepertinya dia tertarik melihat banyak hal baru di tempat itu.

 

“Itu... itu namanya drink bar ya.” 

 

Sepertinya dia juga belum pernah ke restoran keluarga.

 

“Alat musik itu... tamborin dan marakas ya. Meski gampang di mainkan oleh amatir, tapi aku penasaran apa persamaan di antara keduanya sehingga diletakkan bersama?”

 

“Yah, yang menjadi persamaannya adalah karena keduanya mudah mainkan saja.”

 

“Maksudnya bagaimana ya?”

 

Meskipun dia sepertinya tidak bertanya kepadaku, aku spontan menjawab melihat Reina dengan banyak tanda tanya di atas kepalanya. 

 

“Itu untuk memeriahkan suasana. Bisa juga pakai tepuk tangan sih, tapi jadi semacam penggantinya begitu.”

 

Reina memiringkan kepalanya dengan ekspresi serius seperti benar-benar heran. Terlihat lucu dan menggemaskan.

 

“Bukan, bukan hal yang wajib kok. Terserah mau digunakan atau tidak saja. Ada juga yang tidak suka diganggu saat bernyanyi.”

 

“Jadi bukan sekedar kompak, tapi ternyata ada banyak aturan mainnya ya...”

 

“Tidak... yah, kamu benar. Setidaknya untuk hari ini, kita bisa mengambil contoh dari dua orang itu, bukan?”

 

(Daripada menjelaskan dengan kata-kata, melihat contoh nyatanya akan lebih cepat bagi Reina yang polos dan jujur. Begitulah pikirku....)

 

“Hai hai hai hai!”

 

Mana menyanyikan dengan sempurna, lengkap dengan koreografi, menyanyikan sebuah lagu idol yang baru-baru ini populer di SNS video, sementara Ryouma memberikan paduan suara dan tepuk tangan yang semangat. Biasanya mereka berdua bersikap seperti anjing dan monyet, tapi dalam situasi seperti ini, mereka sepertinya memusatkan pada menciptakan suasana yang tepat. 

 

Duduk di sofa yang membentuk huruf U mengelilingi meja di tengah, Takeru dan Ryouma di sisi dekat pintu, Reina dan Mana di sisi dekat dinding. Duduk di samping Mana, Reina melemparkan pandangan memohon kepada Takeru.

 

Haruskah aku melakukan hal yang sama? Matanya yang seperti batu amber sedikit berair seperti mengatakan demikian. Aku merasa sangat bersalah melihatnya gemetaran seperti anak anjing kecil.

 

Ketika Takeru menggelengkan kepalanya kuat-kuat dan mengucapkan “Maaf,” dari gerakan anggun bahunya, aku bisa melihat Reina menghembuskan napas lega.

 

Walaupun mengajaknya ke tempat karaoke sendiri mungkin ide yang bagus, aku mulai merasa membawa orang-orang ini mungkin sedikit terlalu berlebihan. Aku setengah serius memikirkan hal itu, tapi Reina sudah mulai bertepuk tangan kecil mengikuti nyanyian Mana.

 

(Sepertinya dia bukan tipe gadis yang terlalu serius)

 

Meskipun alisnya sedikit berkerut seperti kebingungan, dari senyumnya yang melengkung lembut dan gerakan tubuhnya yang mengikuti irama, tak ada kesan bahwa dia sedang berusaha terlalu keras.

 

“Yah, capek juga ya. Bagaimana? Aku manis kan?”

 

“Ya. Nyanyian dan tarianmu sangat bagus, dan yang terpenting kamu terlihat sangat menikmatinya dan bersinar.”

 

“A-ah, terima kasih...” 

 

Mana yang baru saja selesai menyanyi terlihat sangat percaya diri, tapi sepertinya dia tetap lemah terhadap pujian Reina yang tulus. Wajahnya memerah, entah karena nyanyi sambil menari atau bukan, rasanya tidak pantas untuk menanyakannya.

 

“Wajahmu merah, Sakaki. Kalau malu, jangan tanya aneh-aneh dong.”

 

Apa sebenarnya arti kelembutan hati?

 

“Berisik! Putar lagu berikutnya.” 

 

“Oke.”

 

Biasanya saat seperti ini mereka akan bercanda, tapi kali ini Ryouma langsung memasukkan lagu berikutnya dan mengambil mic.

 

Kali ini keadaannya terbalik, Ryouma tidak mengikuti koreografi tapi tetap bernyanyi dengan gaya yang berlebihan. Untuk bagian paduan suaranya, Mana yang menanganinya. Reina di sampingnya sepertinya sudah mulai terbiasa tapi masih tersenyum dengan ekspresi bingung.

 

“Tetap saja capek juga ya.”

 

“Ya, capek. Memang melelahkan kalau serius seperti itu.”

 

Dengan tepuk tangan ringan, Ryouma mengangkat bahunya. Saat datang kemari dengan Takeru sebelumnya, dia bernyanyi dengan normal, jadi sepertinya kali ini dia memang berniat untuk memeriahkan suasana. “Jadi, habis ini giliran siapa? Takeru atau Amamiya-san?”

 

“Aku akan mengambil minum untuk semuanya dulu, jadi silakan mainkan saja lagu selanjutnya. Kalian sudah bersemangat berlebihan sejak masuk ruangan ini.”

 

Tak di sangka, Mana langsung meraih mic, sepertinya sudah memutuskan lagu pertamanya sejak tadi. Menurut dugaan Takeru, mungkin dia ingin membuat pengalaman karaoke pertama Reina menjadi menyenangkan. Hampir saja terjadi efek sebaliknya.

 

Sebagian besar alasan dia menawarkan diri sebagai yang mengambil minum adalah agar Reina dan yang lain tidak kelelahan, karena kalau tidak, suasananya tidak akan tenang.

 

“Oh, terima kasih. Kasihan kalau Sakaki bersemangat sendiri.”

 

“Padahal kamu sendiri juga ingin nyanyi, kan? Tapi terima kasih, Iriya-kun.” 

 

Lalu dia berniat menanyakan pesanan mereka, tapi Reina tersenyum dan berdiri.

 

“Aku ikut membantu. Pasti berat membawa empat minuman sendirian, Takeru-san.” 

 

Aku berniat mengatakan tidak masalah karena akan membawanya dengan nampan, tapi Reina sudah berdiri di sampingku.

 

Setelah bertukar pandangan, Ryouma dan Mana akhirnya juga memesan minuman untuk Reina, jadi aku dan dia pun meninggalkan ruangan bersama-sama. 

 

“Yakin tidak apa-apa? Aku bisa membawanya sendiri.”

 

“Ya. Mana-san dan Oosaki-san sudah berusaha membuat suasana seru, tapi aku masih belum punya keberanian untuk bernyanyi setelah penampilan mereka.”

 

Setelah menutup pintu dan bertanya, Reina sedikit mengerutkan alisnya dan tersipu malu.

 

“Apa kamu tidak keberatan, Takeru-san?”

 

“Aku juga kurang lebih sama.”

 

“Ternyata Takeru-san juga ya.” 

 

Sambil mengatakan itu, Reina tertawa kecil dengan tangan di depan mulutnya, lalu mulai berjalan.

 

“Lagipula aku juga ingin minum.”

 

“Ya benar... Dan juga, aku...”

 

“Hm?”

 

Ketika Takeru berjalan di sampingnya, pipi Reina sedikit memerah dan menatapku malu-malu.

 

“Aku ingin mencoba menggunakan drink bar-nya.”

 

“Ah... begitu rupanya.” 

 

“Jangan tertawa.”

 

“Aku tidak tertawa kok.”

 

Meski aku pikir itu menggemaskan, aku tidak tertawa. Namun, Reina sedikit mengerutkan bibirnya.

 

“Meski tidak tertawa mengejek, tatapan Takeru-san seperti melihat anak kecil.”

 

“...Mungkin hanya perasaanmu saja.”

 

Aku mencoba menyangkalnya karena itu benar, tapi sepertinya Reina yakin. Dia menggeleng pelan, mengibaskan rambut kastanyenya dan tersenyum lembut. 

 

“Takeru-san itu mudah ditebak.”

 

“Jarang ada yang bilang begitu sih.”

 

Aku sadar ekspresi wajahku bisa terbaca jika sedang senang atau tidak, tapi jarang ada yang mengungkit perubahan sekecil itu.

 

“Benarkah? Menurutku Takeru-san itu mudah ditebak.”

 

Reina menelengkan kepalanya dengan ekspresi kurang puas, tapi sepertinya meninggalkan keraguan itu ketika kami tiba di drink bar.

 

“Seperti yang kulihat tadi, mengagumkan sekali satu mesin bisa menyediakan begitu banyak pilihan.”

 

“Kalau dipikir-pikir lagi, memang benar.” 

 

“Dan yang ini untuk minuman panas...bahkan ada sup juga ya.”

 

Melihat mata Reina yang berbinar-binar lalu menyipit sedikit, aku sadar pipiku mengendur dan tanpa sadar menyentuhnya. Tapi aku terlambat.

 

“Takeru-san?”

 

“...Bukan apa-apa.” 

 

Reina memanggilku dengan nada datar sambil berpaling. Wajahnya mirip saat pertama kali melihat kamarku, tapi kesan yang ditimbulkan sangat berbeda. Dari pipinya yang merona merah, jelas itu ekspresi yang sengaja dibuat-buat untuk menyembunyikan rasa malunya.

 

Tidak ada kesan menyeramkan seperti waktu itu, tapi aku merasa sangat bersalah. Aku mengusik kesenangannya yang sedang menikmati suasana.

 

“Aku tidak bermaksud mengejek kok, aku hanya merasa itu lucu. Jangan tersinggung ya.”

 

“Eh?”

 

Reina membelalakkan matanya terkejut, berkedip beberapa kali, lalu kembali menghadap drink bar sambil bergumam “Mou.”

(Tln: kalo di indo mungkin kek “Ihh”)


Arch Project

“Maaf ya.”

 

 “...Aku tidak marah kok. Aku tahu kamu tidak berbohong.”

 

 “Baguslah kalau begitu.”

 

  Saat aku lega karena kemudahan pemahamannya yang membuat ke arah yang positif, Reina berkata dengan suara lembut, “Takeru-san curang,” dan menoleh ke arahku lagi.  Wajahnya menjadi lebih merah dari sebelumnya, mungkin karena dia masih malu.

 

 “Ajari aku cara menggunakannya, dan aku akan memaafkanmu.”

 

“Ah, iya.”

 

Sedikit tergelitik oleh senyum jahil Reina, aku melangkah mendekat. 

 

“Meski kubilang begitu, kamu hanya perlu meletakkan gelas di sana dan menekan tombol. Jus akan keluar selama tombol ditekan, jadi jangan lepaskan jarimu sampai gelasnya penuh.”

 

“Aku mengerti. Begini ya?”

 

Reina meletakkan gelas di tempat yang ditunjuk, lalu dengan sedikit ragu menekan tombolnya. Dia sedikit membungkuk untuk menyamakan garis pandangan dan menatap gelas dengan serius. Ekspresinya yang begitu fokus terlihat menggemaskan.

 

“Berhasil. Bagaimana, Takeru-san?”

 

Meski ekspresi manisnya terlihat lebih muda dari usianya, gerakannya saat menyodorkan gelas dengan kedua tangan di depanku terlihat anggun dan tidak menyebabkan permukaan minumannya bergerak sama sekali.

 

“Hebat sekali.”

 

“Aku cuman menekan tombol doang kok?” 

 

Reina menggelengkan kepalanya, tapi sepertinya dia senang dipuji olehku karena pipinya sedikit merona dan tersipu malu.

 

“Yah memang begitu sih...tapi isi lagi ya.”

 

“Baik, serahkan padaku.”

 

Seolah menyembunyikan kegugupannya, Reina memberiku gelas berikutnya sambil tersenyum dan meletakkan tangan di dadanya.

 

“Oh, terima kasih, Amamiya-san.”

 

“Sama-sama.”

 

Setelah kembali ke ruangan, dari nampan yang dibawa Takeru, Reina memberikan minum ke setiap kursi. Mana yang sedang bernyanyi hanya melambai dan membuat gestur ‘terima kasih’ dengan tangannya.

 

“Lagunya Sakaki sebentar lagi selesai, siapa yang mau nyanyi selanjutnya?”

 

“Hmm... Kalau begitu Reina saja dulu sebagai tamu kehormatan.”

 

Mana bernyanyi balada, dan kali ini Ryouma juga tidak bertepuk tangan atau memberi paduan suara, jadi suasananya tenang. Kurasa akan cocok untuk Reina, jadi aku memberikan remote padanya.

 

“Kamu tahu cara menggunakannya?” 

 

“Ya, Mana-san sudah mengajariku tadi.”

 

Entah sejak kapan, Mana bernyanyi dengan gaya dibuat-buat yang sangat imut sambil memegang mic dengan kedua tangannya. Ketika aku menatapnya, dia mengedipkan mata padaku. Secara objektif dia memang terlihat imut, tapi aku merasa aneh kenapa aku tidak merasakan apa-apa.

 

“Kalau kamu risih, bilang saja risih. Hei, Takeru.”

 

“Sepertinya kamu yang ingin aku mengatakannya. Aku tidak merasa begitu kok.” 

 

“Kamu terlalu memanjakan Sakaki.”

 

“Benarkah?” 

 

Kurasa kepribadiannya memang baik, dan dia juga pernah menolongku. Tapi yang terpenting, di balik sikap Mana, aku bisa melihat bahwa dia punya kepedulian dan perhatian, meski sangat samar.

 

Lagipula, meskipun mereka menyangkalnya, dia dan Ryouma sepertinya akrab juga. Bahkan Reina juga merasa nyaman di dekat Mana. Saat ini, ekspresi Reina yang bertepuk tangan untuk Mana setelah selesai bernyanyi terlihat sangat lembut.

 

“Reina mau nyanyi lagu apa?” 

 

“Um, ah. Sudah muncul di layar.”

 

“Aku suka lagu itu!”

 

“Kalau begitu bagus.”

 

Aku juga mengenali lagu yang muncul di layar. Itu lagu utama dari sebuah film hits beberapa waktu lalu. 

 

“Kurasa lagu itu cocok dengan suasana Amamiya-san”

 

“Ya, begitulah.”

 

Bagian reffnya memang menyenangkan, tapi secara keseluruhan lagunya terdengar santai. Memang sepertinya cocok dengan aura dan suara Reina. 

 

“Aku akan berusaha.”

 

Memegang mic yang diterima dari Mana di depan dadanya dengan kedua tangan, Reina mengubah ekspresinya sedikit. Tidak seperti Mana yang sengaja membuat kesan imut, Reina memberikan kesan anggun yang muncul secara alami.

 

Meskipun tidak direncanakan, waktu dimana aku ingin bertepuk tangan sama dengan saat Ryouma dan Mana mulai bertepuk tangan untuk memeriahkan suasana.

 

Reina yang bahkan belum mulai bernyanyi sudah disambut tepuk tangan, berkedip beberapa kali, lalu tersenyum malu-malu dan memberi penghormatan anggun.

 

Begitu intro lagu terdengar, Reina memasang ekspresi serius pada layar meski sedikit tegang, tapi mulai bernyanyi agak terlambat. Namun, dia segera pulih dan menyanyikan dengan suara yang indah dan jernih.

 

Dari keterlambatannya tadi, aku bisa menebak bahwa Reina hanya sekedar mengenal lagu ini, tapi tidak terbiasa menyanyikannya, bahkan mungkin ini pertama kalinya. Nadanya pas, tapi gayanya agak kaku. Meski begitu...

 

“Suaranya indah sekali.”

 

“Ya.”

 

Ryouma bergumam pelan, dan aku setuju dengannya.

 

Meskipun aku selalu menganggap suaranya tenang, suara nyanyiannya yang tinggi dan ringan semakin menonjolkan kelebihannya. 

 

Bahkan saat memasuki bagian reff, hal itu tidak berubah. Meskipun tidak sekuat penyanyi aslinya, suaranya yang jernih tetap terdengar menyenangkan, dan aku terpana hingga bertepuk tangan terlambat saat nyanyiannya usai.

 

Dalam perjalanan pulang setelah menikmati waktu hingga matahari terbenam sambil makan ringan di bilik, Reina yang berjalan di sampingku menutupi mulutnya dan terbatuk kecil.

 

“Tenggorokanmu tidak apa-apa? Kamu cukup banyak bernyanyi hari ini.” 

 

“Ya. Selama aku bisa merawatnya dengan baik, aku rasa tidak akan jadi masalah.”

 

“Kalau begitu baguslah. Mau kubelikan sesuatu di toko obat? Ada toko obat dekat rumah kita.”

 

“Aku sudah menyiapkan semuanya, terima kasih atas perhatianmu.”

 

Reina menyipitkan matanya dan tertawa kecil, lalu melanjutkan, “Hari ini...”

 

“...Sangat menyenangkan. Jadi jangan terlalu dipikirkan, Takeru-san.”

 

Reina mengatakan itu sambil sedikit memiringkan kepalanya dan tersenyum lembut, “Wajahmu mengatakannya.” 

 

“Yah, aku memang meminta kalian bernyanyi.”

 

Sambil menyentuh pipiku sendiri, aku teringat kejadian sebelumnya. Yang paling banyak bernyanyi tentu saja Mana, diikuti mungkin Reina. Karena aku melewatkan beberapa giliran, Reina jadi lebih sering bernyanyi.

 

“Benar juga ya.”

 

Reina tertawa kecil sambil menutupi mulutnya, lalu sengaja mengerutkan bibirnya.

 

“Tapi aku ingin lebih sering mendengar Takeru-san bernyanyi.” 

 

“Tak ada yang seru dari mendengarku bernyanyi. Tidak seperti suara indahmu, Reina.”

 

“Eh?”

 

“Hm?” 

 

Ketika aku menoleh karena Reina yang berjalan di sampingku menghilang dari pandangan, dia berdiri dua langkah di belakangku dengan mata terbelalak. 

 

“Ada apa?”

 

“Takeru-san bilang... tidak, tidak apa-apa.”

 

Reina mengerutkan alisnya, pipinya sedikit memerah, lalu dia berjalan dengan cepat dan berjalan di sampingku lagi.

 

·       “Aku senang mendengar Takeru-san bernyanyi kok.”

 

Segera setelah mulai berjalan beriringan, Reina yang merona menatapku.

 

“Dulu aku tidak pernah mendapat kesempatan mendengarnya, jadi suara Takeru-san terdengar baru bagiku dan terampil. Aku benar-benar terpana mendengarnya.”

 

“...Ah, terima kasih kalau begitu.”

 

Ketika aku mengalihkan pandangan, terdengar tawa lembut darinya. 

 

Yah, itu salah satu alasanku melewatkan giliran. Saat aku bernyanyi, Reina sedikit mengayun tubuhnya sambil bertepuk tangan kecil, dan memandangiku dengan penuh antusias. Aku tidak bisa bernyanyi dengan tenang setelah itu karena merasa malu.

 

“Aku tidak menyangka akan ada hari seperti ini.” 

 

“Hm?”

 

Dengan suara yang lembut dan tenang. Ketika aku menoleh, Reina berhenti dan memandangi jalan yang sudah kami lewati. Meski matahari sudah terbenam, lampu jalan dan toko di sepanjang jalan masih cukup terang, tapi tempat kami menghabiskan waktu tadi sudah tidak terlihat.

 

“Aku tidak menyangka bisa pergi keluar sepulang sekolah bersama teman-teman seperti itu...” 

 

Nada suaranya tidak berubah. Suara jernihnya yang lembut terdengar tenang. Meski aku tidak bisa melihat wajahnya, aku ingin percaya bahwa dia sedang tersenyum anggun.

 

“...Dengan semangat Sakaki-san sekarang, kurasa kamu akan dapat waktu seperti ini sampai kamu bosan nanti.”

 

“Kalau sampai bosan, itu merupakan masalah besar yang menyenangkan.”

 

Aku menyapa punggungnya yang anggun, lalu Reina berbalik dan tersenyum kecil sambil menutupi mulutnya. 

 

“Yah, sebelum bosan sepertinya tenggorokanmu akan hancur duluan.”

 

“Itu lebih merepotkan lagi.”

 

Reina tertawa kecil lagi, lalu berjalan di sampingku.

 

“Maaf membuatmu menunggu. Ayo pulang.”

 

“Ya.”

 

Dalam perjalanan pulang setelahnya, kami terus membicarakan lagu-lagu yang kami nyanyikan, suasana di tempat karaoke, dan hal-hal yang terjadi hari itu. Reina sangat ceriwis, dan mendengarnya membuatku ikut terhibur.

 

Kurasa kami tidak akan pernah bosan mengalami hari seperti ini. 

 

 

“Takeru-san. Lusa, apa boleh kalau aku pergi keluar setelah pulang sekolah?”

 

Pada saat makan malam, Reina memulai pembicaraan dengan ekspresi menyesal.

 

“Hari Jumat ya. Ah, tidak apa-apa. Dan juga, cukup beritahu aku saja sebelumnya. Ini bukan masalah aku yang harus memberi izin.”

 

“Tapi...” 

 

Reina hanya ingin memberitahu karena dia perlu menyiapkan makan malam sendiri, dan Takeru sebenarnya mendukung Reina untuk bermain dengan temannya. Namun, Reina terlihat murung. 

 

Akhir-akhir ini dia sudah tidak terlalu sungkan, tapi mungkin karena salah satu alasan Reina tinggal bersama adalah untuk membantu Takeru dalam urusan rumah tangga? Itu terdengar hanya seperti Reina yang teratur.

 

“Seperti yang sudah kukatakan sebelumnya, aku nyaman... tidak keberatan dengan situasi sekarang ini. Terlepas dari kamu yang memasak atau mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Jadi Reina, utamakan dirimu sendiri.” 

 

Tentu saja, baik dari restoran atau masakan rumahan, tidak ada yang menyaingi masakan Reina, jadi sejujurnya Takeru ingin Reina tetap memasakkan untuknya. Tapi Takeru juga ingin Reina menikmati waktu dengan temannya, jadi dia menggelengkan kepalanya untuk mengusir keinginannya itu.

 

Melihat Takeru seperti itu, Reina terlihat bingung sejenak lalu tersenyum lembut seperti menyadari sesuatu.

 

“Yah pokoknya, hari Jumat nanti aku akan membeli makan malam di luar, jadi nikmati waktumu sepuasnya.”

 

“Terima kasih, Takeru-san.” 

 

Reina membungkukkan badannya dengan sopan. Takeru sudah sering bilang tidak perlu seperti itu, tapi mungkin itu sudah menjadi kepribadiannya. Meski terasa canggung, tapi Takeru merasa itu justru baik.

 

“Ah. Tapi Takeru-san, boleh aku meralat sesuatu?”

 

“Apa itu?”

 

“Meskipun tidak akan sampai terlalu malam, tapi aku akan menyiapkan makan malam sebelum berangkat, jadi tidak perlu membeli makan malam.” 

 

“Tidak tidak, itu pasti merepotkan. Tidak usah.”

 

Takeru menyampaikan itu pada Reina yang tersenyum padanya, namun Reina menggeleng perlahan, membuat rambutnya yang berwarna kastanye itu bergoyang lembut.

 

“Tidak terlalu merepotkan kok. Maaf ya kalau tidak bisa menyajikan masakan yang baru matang.” 

 

“Ah, soal itu aku tidak masalah kok...”

 

Reina bilang tidak terlalu merepotkan, itu artinya ada sedikit merepotkan juga.

 

“Aku ingin membuatnya sendiri.” 

 

“Tapi...”

 

Tentu saja Takeru senang, tapi kalau Reina melakukan itu setiap kali pergi bermain, itu akan semakin membebaninya. 

 

“Lagi pula...”

 

Melihat Takeru yang masih ragu, Reina tertawa kecil dan dengan sengaja mengerutkan bibirnya.

 

“Kalau aku tidak menyiapkan makan malam, siapa yang tahu apa yang akan Takeru-san makan?”

 

“Ugh...”

 

Itu benar sekali, Takeru tidak bisa dipercaya soal itu. Lagipula, Takeru memang berencana hanya makan mie instan atau frozen food, jadi Reina benar-benar mengenaiku.

 

“Kalau Takeru-san sudah bosan dengan masakanku...”

 

“Itu tidak benar.”

 

“...Ya. Terima kasih banyak.”

 

Reina yang terpotong ucapannya terbelalak, namun segera menyipitkan matanya dengan lembut dan membentuk senyum lembut di bibirnya. 

 

“Terima kasih kembali. Semoga kamu bersenang-senang.”

 

“Ya.”

 

 

Hari ketika Reina pergi keluar dengan teman-teman sekelasnya, selain menyiapkan sarapan, dia juga menyiapkan makan malam, jadi wajar jika pagi itu dia terlihat sedikit lebih sibuk dari biasanya. 

 

Reina sendiri tersenyum dan berkata “Aku sudah menyelesaikan sebagian persiapannya semalam, jadi tidak terlalu merepotkan,” tetapi sebenarnya pasti cukup melelahkan baginya.

 

Setelah jam pelajaran terakhir selesai dan Takeru mengucapkan sampai jumpa pada Reina, Takeru pulang ke rumah dan melihat ada catatan di atas meja. Di sana tertulis dengan rapi instruksi pemanasan makanan dan lain-lain, membuatnya tersenyum getir, apakah aku dianggap sebagai anak kecil? Tapi pada akhirnya, Takeru memang seperti itu juga.

 

Di bagian atas catatan, tertulis “Aku berencana pulang sebelum waktu makan malam, tapi jika terlambat, silakan gunakan ini sebagai panduan.” Sepertinya Reina membuatnya untuk jaga-jaga. 

 

Ternyata seperti yang tertulis di catatan itu, Reina pulang sebelum waktu makan malam, jadi mereka bisa makan malam seperti biasa. 

 

Hari ini, Reina menghabiskan waktu di kafe dengan Mana dan teman-teman lainnya. Tidak melakukan hal khusus, tapi Reina terlihat sangat senang bisa memperdalam hubungannya dengan teman sekelas.  

 

Lalu keesokan harinya, Sabtu, ketika Takeru bangun lebih siang daripada hari sekolah dan selesai bersiap-siap lalu keluar ke ruang tamu, Reina sudah mulai beraktivitas. Sepertinya dia sedang membersihkan ruang tamu.

 

“Selamat pagi, Takeru-san.”

 

“Ya, selamat pagi Reina.”

 

“Aku berencana mencuci sprei dan menjemur futon, jadi setelah selesai sarapan, bisakah kamu membawakamnya untukku?”

 

“Terima kasih. Aku yang akan membawanya nanti.”

 

“Terima kasih. Sementara itu aku akan menyiapkan sarapan.”

 

Dia sampai repot-repot seperti itu bahkan di hari Sabtu. 

 

Hari itu, Reina menyelesaikan semua pekerjaan rumah tangga sebelum siang, dan sepanjang siang hari, selain untuk menjemur cucian dan futon, dia belajar di sebelah Takeru yang ada di ruang tamu.

 

Buku soal yang dia kerjakan jauh lebih tinggi levelnya daripada yang digunakan di SMA mereka, tapi tentu saja tidak mengherankan bagi seorang jenius seperti Reina, dia mengerjakannya dengan lancar tanpa kesulitan apapun, dengan postur yang anggun.

 

“Aku akan mulai menyiapkan makan malam.”

 

Ketika sore hari, Reina berdiri sambil mengatakannya, namun kemudian dia sedikit terhuyung.

 

Untungnya dia segera menyandarkan tangannya ke sandaran sofa sehingga tidak sampai terjatuh, tapi Takeru belum pernah melihat Reina seperti itu sebelumnya.

 

“Kamu tidak apa-apa!?” 

 

“Ya, aku tidak apa-apa... Maaf membuatmu khawatir.”

 

Reina tersenyum, namun terlihat sedikit lemah dan sekali lagi terlihat sedikit oleng.

 

“Sepertinya kamu kurang sehat. Duduk saja dulu. Aku akan mengambil minum, minuman apa yang kamu inginkan?”

 

“Tidak usah, aku tidak apa-apa...”

 

Karena Reina terlihat tidak baik-baik saja, Takeru menyentuh bahunya yang kecil dan memintanya duduk di sofa. Reina tidak melawan sama sekali dan tubuhnya terlihat lemas saat duduk.

 

“Bagaimana dengan air putih?”

 

“...Ya. Terima kasih.” 

 

Reina menundukkan alis seperti menyerah dan mengangguk lemah.

 

Reina selalu menyediakan air mineral di kulkas. Takeru membawakan segelas untuknya, dan Reina memegang gelas itu dengan kedua tangan secara hati-hati lalu meneguknya perlahan.

 

“Terima kasih. Aku sudah tidak apa-apa sekarang.” 

 

“Jangan bergerak dulu. Aku akan mengecek suhu tubuhmu. Termometernya ada di...”

 

Wajah Reina yang tersenyum tidak terlihat pucat dan postur tubuhnya sudah kembali seperti biasa rapih dan anggun. Tapi kenyataannya dia tadi sempat terhuyung. 

 

“Ada di laci ketiga lemari putih.”

 

“...Baiklah.”

 

Meskipun Takeru belum pernah menggunakannya, dalam waktu kurang dari tiga minggu Reina sudah sangat memahami rumah ini.

 

Ketika Takeru memberikan termometer padanya, Reina memasukkan tangannya ke dalam pakaian melalui kerah bajunya. Dari kerah yang terbuka, Takeru melihat tulang selangkanya, membuatnya gugup dan buru-buru mengalihkan pandangan.

(Tln: Tulang selangka adalah tulang panjang yang terletak di bagian atas dada, menghubungkan tulang dada dengan lengan atas. Ini penting untuk gerakan bahu dan lengan.)

 

“Suhu tubuhku normal.” 

 

Setelah waktu yang terasa cukup lama menunggu satu menit, suara “pip” elektronik terdengar dan Takeru menoleh mendengar suara Reina. Layar termometer di tangannya menunjukkan “36.0”.

 

“Meskipun tidak demam, apa kamu merasa ada gejala lain?” 

 

“Tidak ada. Maaf telah merepotkan.”

 

Reina tersenyum, lalu memperbaiki postur tubuhnya dan membungkuk sembari mengerutkan alisnya.

 

“Mungkin aku hanya sedikit lelah.” 

 

Wajar jika dia lelah. Mengurus hampir semua pekerjaan rumah tangga untuk mereka berdua seorang diri dengan sempurna, juga fokus pada pendidikannya. Apalagi di lingkungan baru ini, sementara tetap memperhatikan dan mengkhawatirkan Takeru dalam berbagai hal.

 

“Ini semua kelalaianku karena tidak memperhatikan kondisi tubuhku sendiri. Maaf sudah merepotkan.”

 

“Tidak, bukan begitu...”

 

Kelalaiannya justru ada pada Takeru, Reina sama sekali tidak perlu menyesalinya. Takeru mengepalkan tangannya hingga kukunya menancap. 

 

“Takeru-san?”

 

Mendengar panggilan Reina yang terdengar khawatir, Takeru tersadar dan menggeleng pelan. “Tidak, bukan apa-apa.”

 

“Pokoknya, untuk hari ini istirahatlah. Untuk makan malam dan lainnya, biar aku yang urus. Apa kamu bisa berjalan ke kamarmu sendiri? Atau perlu aku gendong?”

 

“Ah, aku bisa berjalan. Jangan repot-repot menggendongku karena aku berat.”

 

“Mustahil kamu berat...”

 

Meskipun Reina tidak mengenakan pakaian ketat yang memperlihatkan lekuk tubuhnya, dari wajah, leher, tangan, dan kakinya yang terlihat dari rok seragam, Takeru tidak melihat tanda-tanda bahwa Reina berat. Namun Reina tidak mau mengalah. “Aku berat.”

 

Wajah Reina memerah saat dia menolak dengan tegas sambil menengadahkan telapak tangannya. Tatapan sinisnya pada Takeru terlihat menggemaskan meski dalam situasi seperti ini seharusnya Takeru tidak merasa begitu. 

 

“Ah, sudahlah. Pokoknya istirahatlah di kamarmu.”

 

“Baik, aku mengerti.” 

 

“Aku akan membawa ponselku hari ini, jadi jangan sungkan untuk memanggilku jika kamu butuh sesuatu.”

 

“Ya, terima kasih.”

 

“Oke. Ayo kuantar ke kamarmu.” 

 

“Kamu terlalu berlebihan.”

 

Reina yang tadi tersenyum tipis kini mengerutkan alisnya dan tertawa kecil sambil menutupi mulutnya.

 

“Tapi karena kamu sudah repot-repot, aku akan memanfaatkan kebaikanmu.”

 

“Ya. Ayo.”

 

“Baik.” 

 

Takeru membimbing Reina yang menyambut uluran tangannya untuk berdiri, lalu mengantar Reina sampai ke kamarnya. Jari-jari lentik Reina tidak menggenggam erat, dan langkahnya pun pelan.

 

“Kamu tidak apa-apa kan kalau berjalan?”

 

“...Ah, ya. Aku tidak apa-apa.” 

 

Meski agak khawatir dengan respon Reina yang terlihat lambat, tidak ada pilihan lain selain membiarkannya beristirahat.

 

“Istirahat yang cukup ya.” 

 

“Ya. Terima kasih banyak.”

 

Reina membungkukkan tubuhnya dengan anggun, lalu masuk ke dalam kamarnya. Melihat tubuhnya yang lemas beberapa saat lalu, sepertinya kondisinya sudah membaik. Sekarang yang bisa dilakukan hanyalah berharap agar dia tidak semakin memburuk. 

 

“Baiklah...”

 

[Takeru: Kamu sudah bangun?] 

 

[Reina: Ya]

 

Setelah mengantar Reina ke kamarnya, Takeru mengiriminya pesan dan menerima balasan beberapa menit kemudian. Lalu Takeru mengetuk pintu.

 

“Boleh aku masuk?”

 

“Tunggu sebentar... Silakan masuk.”

 

Suara Reina dari balik pintu terdengar pelan, tapi dia tidak terdengar seperti sedang sakit, membuat Takeru lega. 

 

“Maaf mengganggu waktu istirahatmu...”

 

Takeru membuka pintu perlahan, dan aroma jeruk segar menguar memenuhi ruangan. Aromanya lebih segar dibanding parfum tubuh milik Reina.

 

“Ada apa?”

 

Ketika Takeru membuka pintu sepenuhnya, Reina berdiri di hadapannya. Dia mengenakan piyama putih dengan kardigannya, dengan rambut yang biasanya diikat setengah kini tergerai, memperlihatkannya dalam penampilan yang belum pernah Takeru lihat sebelumnya.

 

Meskipun ini bukan pertama kali, namun melihat sisi Reina yang belum pernah terlihat selama tinggal bersama membuatnya merasa aneh. Mengingat Reina sempat kurang sehat, penampilannya yang seperti gadis cantik yang rapuh itu mungkin juga mempengaruhi impresi Takeru.

 

Reina menyadari tatapan Takeru lalu menunduk melihat penampilannya sendiri dan merona merah. 

 

“...Maaf dengan penampilan seperti ini.”

 

Reina menarik sedikit kardigannya untuk menutupi bagian depan tubuhnya, namun sepertinya menyerah dan malah menyentuh poninya, menampakkan ekspresi yang menggemaskan.

 

“...Tidak, justru aku yang seharusnya minta maaf mengganggu waktu istirahatmu.”

 

Sisi selimut di atas tempat tidur sedikit berantakan, menunjukkan bahwa Reina telah berbaring di sana sebelumnya.

 

Ketika mengamati keadaan ruangan, Takeru tidak mendapat kesan ruangan gadis yang serba merah muda seperti yang dibayangkannya. Furnitur kayu berwarna cokelat gelap mendominasi, dan tidak ada boneka. Ini hanya ruangan antik dan sederhana. Satu-satunya yang menandakan bahwa ini adalah ruangan wanita hanyalah adanya meja rias.

 

“Tolong jangan terlalu melihatnya karena berantakan.”

 

“Ma-Maaf.”

 

Takeru membungkukkan badan kepada Reina yang wajahnya merona merah karena kebingungan. Jika ini sudah dianggap berantakan, maka kamar Takeru pastilah seperti tempat pembuangan sampah. Tetapi, mengamati dengan saksama kamar lawan jenis memang tidak sopan.

 

“Etto, aku membelikan minuman olahraga dan jeli, mau?”

 

“Untukku?”

 

“Tentu saja.”

 

Takeru menunjukkan isi kantong belanjaannya kepada Reina yang membelalakkan matanya. Dua botol minuman, enam buah jeli, puding dan yogurt.

 

Takeru sebenarnya ingin menanyakan dulu apa yang Reina inginkan sebelum membelinya. Tetapi ia yakin Reina pasti akan menolak. Jadi ia langsung membeli banyak.

 

“Aku minta maaf karena meninggalkanmu sendirian di rumah. Tetapi aku hanya pergi lima menit, jadi maafkan aku.”

 

“Tidak apa-apa, aku sama sekali tidak keberatan... tapi kamu repot-repot membelikanku...”

 

“Aku sekalian membeli makan malamku untukku, itu yang utama.”

 

“Takeru-san... Terima kasih.” Reina mengatakan itu sembari mengerutkan alisnya dan tersenyum lembut.

 

“Nah, mau yang mana?”

 

“Emm, bisa aku minta minuman olahraganya dulu? Yang lain mungkin nanti.”

 

“Oke. Yang lain akan kumasukkan ke kulkas, panggil aku kalau kamu mau. Maaf sudah mengganggu.”

 

“Ah... Takeru-san.”

 

Reina menarik ujung baju Takeru yang memunggunginya. 

 

Ketika Takeru berbalik, Reina yang wajahnya tambah merona menatapnya dengan mata sedikit berkaca-kaca. Penampilannya yang rapuh itu membuat jantung Takeru berdegup kencang.

 

“Ada apa?”

 

“Maaf... bisakah kamu menyiapkan segelas air untukku?”

 

“Ah...Aku yang seharusnya peka.”

 

“Tidak apa-apa, justru aku yang minta maaf karena merepotkanmu yang sudah baik hati.”

 

Reina tampak malu sekali.

 

Jika Takeru lebih peka, Reina tidak perlu meminta hal tersebut.

 

“Tidak apa-apa. Kamu sedang sakit, kan?”

 

“Suhu tubuhku normal, aku tidak sakit.”

 

Reina memiringkan kepalanya sedikit.

 

“Kamu mirip seperti orang sakit. Sudah, istirahatlah di tempat tidur. Kalau tidak, aku akan menggendongmu.”

 

“Ah, meski itu Takeru-san, aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi.” Reina membuat gerakan mencibir, memeluk tubuh rampingnya dengan lengan sebagai perlindungan. Seperti itulah seharusnya. Takeru tidak perlu terlalu baik bahkan di saat-saat seperti ini.

 

“Mou...”

 

Takeru menghela napas pelan dan melembutkan ekspresi wajahnya. Reina tersenyum seperti mengisyaratkan tidak ada pilihan lain.

 

“Hari ini saja, izinkan aku untuk dimanja.”

 

“Baiklah, serahkan padaku.”

 

Takeru mengacungkan jempol dan tersenyum kecil kepada Reina yang balas tersenyum, lalu berjalan ke dapur. Ia mengambil segelas air dan nampan, kemudian kembali ke kamar Reina. Sang tuan rumah sudah berbaring di tempat tidur. Meski bagian atasannya tegak, namun sikapnya yang tenang dan khidmat membuatnya tampak seperti gadis cantik yang rapuh di tempat tidur.

 

“Terima kasih banyak.”

 

“Sama-sama. Nah, istirahatlah dengan tenang... ah, nanti akan kubuatkan bubur untuk makan malammu.”

 

“Tidak, biar aku yang me—“

 

“Kamu sedang sakit. Kamu pengen dimanja, kan?”

 

Takeru menghentikan Reina yang hendak bangkit dari tempat tidur dengan telapak tangan. Reina membelalakkan matanya sejenak lalu tersenyum dengan alis sedikit berkerut.

 

“... Benar juga. Kalau begitu, mohon bantuannya.”

 

“Baiklah. Aku minta maaf sekali lagi. Istirahatlah dengan tenang.” 

 

“Melihat wajah Takeru-san justru membuatku merasa lebih baik, jadi tidak usah sungkan.”

 

Takeru hanya bisa tersenyum getir mendengar ini. Sepertinya Reina merasa harus berjuang demi Takeru yang seperti anak nakal. Mengingat keadaan Reina saat ini, memang seperti itulah adanya. Oleh karena itu, sebelum meninggalkan ruangan, Takeru hanya melambaikan tangan sekilas sebagai salam perpisahan.

 

Reina tetap dalam posisi duduk di atas tempat tidur dengan tubuh bagian atas tegak, lalu memberi hormat dengan sopan. Ekspresinya lembut, kesan rapuhnya memudar. 

 

“Kamu sudah bangun?”

 

“Ya.”

 

Setelah berdialog singkat seperti tadi, Takeru mengetuk pintu kamar Reina dan masuk setelah dipersilakan.

 

“Kamu sudah beristirahat?”

 

“Ya, berkat kamu. Keadaanku sudah pulih sepenuhnya.”

 

Reina yang di atas tempat tidur tersenyum ramah sembari mengatakannya.

 

Di sisi tempat tidur, ada buku kecil yang sebelumnya tidak ada, dan Reina mengenakan kardigan di atas piyamanya. Meski Takeru ingin dia beristirahat, di sisi lain itu juga berarti Reina tidak mengalami kelelahan parah yang membuatnya tertidur.

 

“Meski begitu, untuk jaga-jaga, hari ini kamu istirahat saja.”

 

“Baik, aku akan menuruti perkataanmu.”

 

Jika Reina mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dia mungkin akan memaksakan diri. Tetapi selama di kamar, dia akan baik-baik saja.

 

“Bagaimana kalau segera makan malam?”

 

“Tentu. Aku akan memakannya.”

 

“Mau kubawakan?”

 

“Terima kasih. Tapi, aku akan ke ruang makan.” 

 

“Baiklah. Kamu bisa bangun?”

 

Ketika Takeru melangkah mendekati tempat tidur, Reina tertawa kecil sambil menutup mulutnya dan mengangguk sedikit seraya berkata, “Aku baik-baik saja.” Lalu dia bangkit dan merapikan selimutnya dengan rapi. Sepertinya sifat aslinya sudah kembali.

 

“Takeru-san terlalu khawatir.”

 

“Bukan begitu...”

 

Takeru menjadi salah tingkah melihat Reina tersenyum, sehingga tidak bisa menanyakan apakah dia bisa berjalan. Dia hanya berkata, “Kalau begitu, ayo pergi.”

 

“Ah, Takeru-san.”

 

Ketika hendak meninggalkan kamar, Reina memanggilnya. Takeru berbalik dan melihat Reina mengulurkan tangannya, seperti hendak menahan.

 

Reina seperti terkejut dengan tindakannya sendiri, membelalakkan mata dan dengan tangan yang semula terangkat itu, dia menyentuh poninya sambil tersipu malu.

 

“Ah...tidak, bukan apa-apa.”

 

“Wajahmu agak merah. Kamu baik-baik saja? Mau kuukur suhu tubuhmu sekali lagi?”

 

“Aku baik-baik saja. Maaf telah menahanmu. Ayo kita pergi.”

 

“Hm? Ah, ya tentu.”

 

Meski Takeru merasa ada yang aneh, cara berjalan Reina yang mendahuluinya ke luar kamar terlihat normal seperti biasanya, anggun dan cantik. Sepertinya kondisi Reina saat ini tidak ada masalah, jadi Takeru mengikutinya.

 

“Bubur telur atau bubur plum, kamu mau yang mana?”

 

Setelah mendudukkan Reina di meja makan dan menaruh dua kotak bubur di depannya dengan sedikit canggung, Reina terkejut dan berkata “Eh?”

 

“Maaf, ini aku beli dari minimarket... Bubur buatanku gagal.”

 

“Gagal?” 

 

Reina menoleh ke panci yang ditinggalkan di dapur, mengikuti arah pandangan Takeru.

 

“Ya, terlalu keras.”

 

Sayangnya, Takeru tidak bisa membuat bubur dengan benar. Bubur telur yang dia buat terlalu padat, tidak jauh berbeda dengan nasi yang airnya kebanyakan.

 

Bahkan setelah itu, Takeru mengetahui ada fitur untuk membuat bubur di rice cooker. Waktu itu dia tidak mencobanya lagi karena kekurangan waktu, padahal seharusnya dari awal dia menggunakan rice cooker saja. Dengan begitu dia tidak akan gagal dan bisa menyajikan bubur yang layak untuk Reina.

 

“Jadi, kamu mau yang mana?”

 

“Aku ingin memakan bubur buatan Takeru-san.”

 

Padahal Takeru bertanya apakah Reina ingin bubur di kotak kanan atau kiri, tetapi dengan senyum lembut, Reina malah menyebutkan pilihan ketiga.

 

“Bukankah kamu dengar kalau aku gagal membuatnya?”

 

“Ya, aku dengar kalau buburnya terlalu keras.”

 

“Ah, begitu...”

 

“Kalau begitu tidak masalah. Aku tidak punya masalah dengan pencernaan, jadi sebenarnya tidak harus bubur.”

 

“Ah...”

 

Meski Reina tersenyum, Takeru bahkan tidak memikirkan hal itu. Karena kondisi Reina kurang sehat, secara sederhana Takeru berpikir harus menyediakan bubur untuknya.

 

“Tetapi karena Takeru-san yang membuatnya, aku menantikannya loh? Jangan insecure hanya karena sedikit keras.”

 

“Kalau tidak enak jangan protes ya.”

 

Reina sengaja mencibir bibirnya dengan cara yang terlihat dibuat-buat, dan dengan nada mengejek, aku membalasnya, “Aku tidak akan protes kok.” 

 

“Ah. Bukankah Reina tahu cara biar rasanya tambah enak?”

 

“Aku tidak tahu.”

 

“Kamu berbohong. Aku tahu yang tadi itu bohong.” 

 

Reina menoleh ke samping dengan ekspresi bersalah, seolah mengatakan bahwa dia tidak tidak tahu, tapi tidak ingin mengatakannya.

 

“Aku tidak akan mengatakannya.”

 

Akhirnya dia mengatakannya.

 

“Karena jika aku mengatakannya, aku akan mengubah makanan yang sudah di buat susah payah oleh Takeru-san.”

 

Reina menoleh kearahku dan menyipitkan matanya dengan lembut, “Jadi, aku tidak tahu,” katanya sambil tersenyum.

 

“...Biar kuhangatkan dulu, tunggu sebentar.”

 

“Baik.”

 

Masih dengan gestur membuang muka, aku membalikkan tubuh dan memanaskan panci panas di kompor. Karena masih hangat, mungkin tidak akan membutuhkan waktu lama, tetapi yang menjadi pertanyaan adalah apakah aku bisa menenangkan diri dalam waktu itu. 

 

“Silakan...”

 

“Terima kasih.”

 

Aku menyiapkan panci panas, piring, dan sumpit, serta minuman, dan meletakkannya di depan Reina.

 

Ngomong-ngomong, aku baru melihat di mana semuanya berada setelah mengantarkan minuman olahraga untuk Reina. Ada banyak barang di sini dibandingkan sebelum dia pindah, tapi semuanya tertata rapi, jauh lebih indah daripada ruangan yang kosong. Bahkan seorang pemula sepertiku pun bisa bergerak dengan mudah karena segalanya diatur dengan mempertimbangkan kegunaan.

(Tln: konteks di sini itu di dapur)

 

“Ittadakimasu.” 

 

“...Silakan.”

 

Setelah memberi salam, Reina mengambil bubur dari panci panas ke piringnya, menyendok dengan sumpit dan meniupnya pelan. Karena gaya rambutnya berbeda dari biasanya, saat dia menyibakkan rambut yang jatuh di pipinya ke belakang telinga, membuatnya terlihat sedikit sensual.

(Tln: inget ya, buburnya keras :v)

 

“Takeru-san, kalai kamu menatapku seperti itu, aku jadi malu.”

 

Reina mengerutkan alisnya dan tersenyum malu, jadi aku buru-buru mengalihkan pandangan. “Maaf.”

 

“Tapi, aku mengerti. Setiap kali seseorang menyantap makanan buatanmu, kamu pasti selalu merasa cemas.”

 

“Bahkan untuk orang yang memiliki kemampuan sepertimu, Reina?”

 

“Ya.”

 

Meskipun ini mengejutkan, Reina mengangguk dengan sungguh-sungguh sambil tersenyum malu-malu.

 

“Tentu saja aku percaya diri. Tapi tidak ada yang bisa disebut ‘pasti’.”

 

“Begitu rupanya.”

 

“Ya. Tapi...”

 

Reina menghentikan kata-katanya di situ, membawa sumpitnya ke mulut.

 

“Ini enak. Bukan pujian kosong, tapi sungguh enak.”

 

Reina menelan bubur buatanku dan tersenyum lebar. 

 

“Benarkah?”

 

Meski ekspresi Reina menunjukkan bahwa dia tidak berbohong, aku tetap bertanya.

 

“Benar. Telurnya dimasak sempurna dan takaran garamnya pas. Terlihat jelas bahwa Takeru-san memasaknya dengan hati-hati.”

 

“Tapi apakah tidak terlalu kental?”

 

“Ya, memang sedikit lebih kental daripada bubur biasanya, tapi mengontrol api dan air membutuhkan pengalaman tertentu, dan untuk kemampuanmu sekarang, tingkat kekentalan ini sudah pas.”

 

“Begitu... Kalau begitu, anggap saja hasilnya lumayan.” 

 

“Ya, anggap saja begitu.”

 

Reina tersenyum lembut dan mengambil suapan kedua. Lalu dia memperlihatkan ekspresi lembut lagi. 

 

Meski mungkin dia sedikit menahan diri, setidaknya aku lega.

 

“Takeru-san.”

 

“Ya?”

 

Entah sejak kapan, aku menyadari pipi Reina sedikit merona dan dia menatapku dengan mata sayu. Kukira mungkin ada sesuatu yang kurang, tapi –

 

“Tolong jangan berpikir kalau aku makan terlalu banyak, ya?”

 

“Eh?”

 

“Jadi... meski aku menghabiskannya, tolong jangan berpikir begitu.”

 

Setelah sedikit keterlambatan memahami apa yang dikatakan Reina sambil membasahi matanya yang berwarna seperti batu akik, aku tertawa terbahak-bahak.

 

“Jangan tertawa!”

 

“Maaf. Tapi benarkah itu yang kamu khawatirkan?”

 

“Ini masalah penting, tahu?”

 

Dengan rona merah menghiasi pipinya, Reina menatap Takeru dengan pandangan yang tampak malu tapi lucu, membuat Takeru mengangkat bahunya dan menggelengkan kepalanya.

 

“Aku tidak akan berpikir begitu, jadi makanlah yang banyak dan semoga kamu menjadi sehat.”

 

“Baik. Terima kasih.”

 

Melihat Reina dengan wajah memerah dan senyum lebar, aku membalas dalam hati, seolah telah mendapat pujian tertinggi.

 

“Terimakasih atas hidangannya.”

 

“Maaf karena masakannya sederhana.”

 

Sesuai janjinya, Reina menghabiskan makanannya dan membungkukkan kepala dengan sopan.

 

“Ini sangat lezat.”

 

“Terimakasih kalau begitu.”

 

Meski ada banyak hal yang perlu diperbaiki, biarkan saja dulu karena Reina terlihat senang.

 

“Aku akan membersihkan panci dan piring, lalu bagaimana dengan jelly dan lainnya?”

 

“Ah...”

 

Reina membelalakkan matanya, seolah baru mengingatnya, dan tampak bingung sambil menyentuh perutnya yang ramping.

 

“Meskipun kamu sudah membelikannya untukku, boleh tidak kalau di makan besok saja?”

 

“Ah ya, kapan saja tidak masalah.”

 

Sepertinya dia tidak punya ruang untuk makanan manis.

 

“Kalau begitu aku akan memasukkannya ke mesin pencuci piring, kamu santai aja dulu di kamar, ya.”

 

“Baik.”

 

Memandangi Reina yang berdiri meninggalkan meja, Takeru menyiapkan mesin pencuci piring dan membersihkan meja dengan hati-hati seperti yang biasa dilakukan Reina. Jika sendirian, dia pasti akan melakukannya dengan terburu-buru. Reina tidak pernah mengabaikan hal-hal kecil seperti ini.

 

Hari ini yang dimasak Takeru hanya bubur, dan gagal. Persiapan dan pembersihan tidak sebanding dengan kerja keras yang biasa dilakukan Reina. Reina melakukan semua itu setiap pagi dan malam, ditambah pekerjaan rumah tangga lainnya dan belajar, dengan sempurna. Sudah sewajarnya jika dia merasa lelah. 

 

Jika ditanya siapa penyebabnya, hanya ada satu jawaban.

 

Benar-benar memalukan...

 

“Takeru-san.”

 

“Ah...bukankah kamu seharusnya sudah kembali ke kamar?”

 

Reina yang sebelumnya menjauh, entah sejak kapan sudah berdiri di sana. Penampilannya begitu anggun hingga membuat Takeru terpana, tapi Reina sedikit mengerutkan alisnya, mungkin karena terkejut melihat ekspresi Takeru sambil memberikan senyum lembutnya. 

 

“Maaf membuatmu terkejut. Aku habis menggosok gigi.”

 

“Oh begitu. Tapi kalau begitu, seharusnya kamu langsung istirahat saja di kamar. Jangan pikirkan aku.”

 

“Aku belum berterimakasih padamu untuk hari ini.”

 

“...Kamu sudah banyak berterimakasih, lagipula aku tidak melakukan apaoun yang pantas diucapkan terimakasih.”

 

Aku belum pernah merasa sekuat ini sebelumnya. Tapi Reina hanya tersenyum lembut dan menggelengkan kepalanya, membuat rambut cokelat kemerahannya yang lebih banyak dari biasanya bergoyang di dada piyama putihnya.

 

“Aku akan mengantarmu ke kamar, jadi istirahatlah hari ini.”

 

Takeru tidak ingin mendengar kata-kata selanjutnya, jadi dia menyentuh bahu Reina untuk membawanya kembali ke kamar. Reina sama sekali tidak melawan dan segera tiba di depan kamarnya. 

 

“Kalau begitu—“

 

“Bisakah kita mengobrol sebentar?”

 

Ketika Takeru hendak berbalik, Reina menahan ujung bajunya dan tersenyum sambil sedikit memiringkan kepalanya.

 

“Tidak baik langsung berbaring setelah makan.” 

 

“Yah...kalau begitu...”

 

Dipaksa dengan cara yang sedikit lebih tegas dari biasanya, Takeru kembali masuk ke kamar Reina.

 

“Setidaknya berbaringlah di tempat tidur agar bisa langsung beristirahat nanti.”

 

“Baiklah. Jika dipaksa, aku akan menurut saja.”

 

Agak mengejutkan melihat Reina memasang wajah masam, tapi dia tersenyum geli dan melepas kardigannya ke gantungan baju sebelum naik ke tempat tidur dalam posisi setengah duduk.

 

“Kamu bisa duduk di kursi itu, Takeru-san.”

 

“Ah, ya.”

 

Takeru meminjam kursi di depan meja dan membawanya ke samping tempat tidur Reina untuk didudukinya. Kursi kulit hitam ini sepertinya berkualitas bagus dengan sandaran yang nyaman.

 

Ketika mata mereka bertemu, Reina malu-malu menyentuh poninya sambil sedikit mengerutkan alisnya.

 

“Takeru-san, terima kasih untuk hari ini.”

 

“Itu bukan masalah besar.”

 

Itu benar. Dibandingkan dengan apa yang biasanya Reina lakukan untukku, membuatnya berterima kasih untuk hal sekecil ini membuatku merasa tidak enak hati.

 

“Aku senang melakukannya.”

 

Reina mengucapkan kata-kata yang sama seperti biasanya dan tersenyum lembut. Sementara itu, Takeru merasa tenaganya seperti meninggalkan punggungnya.

 

“Tapi... Aku sama sekali tidak melakukan apa-apa.”

 

Aku benar-benar membiarkan Reina menangani semuanya sendiri, dan bahkan tidak menyadari kalau dia kelelahan. Aku bahkan tidak cukup perhatian untuk menyiapkan segelas minuman untuknya, aku tidak bisa membuat bubur dengan benar. Sudah lama aku tidak merasa sebegitu menyedihkannya diriku sendiri.

 

“Itu tidak benar. Hari ini aku bahagia.”

 

Saat mengangkat wajahnya, Reina tersenyum. Sebuah senyuman lembut, hangat, penuh cinta.

 

“Aku minta maaf sudah membuatmu khawatir, tapi kamu begitu perhatian padaku. Ini mungkin terdengar lancang, tapi aku bahkan berpikir mungkin ‘baguslah aku jatuh sakit’.”

 

Reina tersenyum seolah merasa malu, kemudian membungkukkan kepalanya sedikit, “Maaf.”

 

“Tidak... Tidak usah dipikirkan.”

 

“Terima kasih.”

 

Reina membungkuk sekali lagi, kemudian terkekeh pelan.

 

“Kamu langsung menyuruhku istirahat begitu tahu aku tidak enak badan, menggandeng tanganku ke kamar, pergi berbelanja untukku, membuat bubur untukku, dan sekarang mengobrol denganku seperti ini. Itu semua benar-benar membuatku bahagia.”

 

“Itu bukan masalah besar kok.”

 

“Tapi bagiku iya.”

 

Semua itu hal-hal yang wajar dilakukan. Siapa pun akan melakukan hal seperti itu jika teman serumahnya jatuh sakit. Tapi Reina terlihat begitu bahagia, seolah itu hal yang spesial. 

 

“Dan karena aku jatuh sakit, aku jadi menyadari sesuatu.”

 

“...Apa itu?”

 

“Aku senang kamu begitu perhatian padaku, tapi di sisi lain, aku juga merasa sedikit tidak enak kalau kamu terlalu berlebihan mengkhawatirkanku.”

 

“...Maaf.”

 

Karena Takeru yang tidak terbiasa, apakah Reina tidak bisa benar-benar santai?

 

Reina tersenyum masam dan menundukkan kepalanya, lalu tersenyum kecil.

 

“Maaf, aku tidak bermaksud membuatmu salah paham. Aku tidak menyalahkanmu, aku justru senang bisa menyadarinya.”

 

“Maksudnya?”

 

Takeru mengerutkan dahinya, tidak mengerti mengapa Reina tersenyum masam dan menunduk sebelum wajahnya menjadi cerah.

 

“Takeru-san, yang kayak hari ini, selalu mencari alasan lain saat mengkhawatirkanku. Aku tahu itu karena kamu begitu baik dan tidak ingin aku terlalu memikirkannya. Tapi hari ini, aku benar-benar mengerti maksudnya.” 

 

“...Aku tidak bermaksud begitu.”

 

“Seperti kata-katamu barusan.”

 

Reina tersenyum lembut sambil menyentuh bibirnya. Melihat Takeru yang terdiam, Reina terkekeh pelan lagi.

 

“Jadi, hari ini aku benar-benar bahagia. Kamu tidak perlu terlalu memikirkannya.”

 

Senyum lembutnya yang terlihat penuh kasih menenangkan hati Takeru. Mungkin Reina sengaja membuat momen ini setelah menyadari perasaannya.

 

“Ah... Terima kasih.” 

 

Perasaan menyedihkan itu masih ada, tapi kemarahannya pada diri sendiri perlahan menghilang.

 

Ia menyadari kata “terima kasih” yang dengan alami keluar dari mulutnya adalah untuk menyampaikan rasa bahagianya seperti yang Reina katakan.

 

Reina menyipitkan matanya dan terkekeh, lalu berkata dengan suara lembut.

 

“Dan Takeru-san.”

 

“Ya?”

 

“Punggungmu membungkuk. Padahal belakangan ini kamu terlihat gagah, jadi sayang sekali.”

 

“...Begini sudah benar?”

 

“Ya. Kamu terlihat sangat tampan.”

 

Meski masih merasa sedikit menyedihkan, ia memutuskan untuk tidak menunjukkan wajah itu lagi di depan Reina yang memujinya seperti ini. 

 

Takeru menegakkan punggungnya, menghela napas, dan memandang Reina. Reina meresponnya dengan senyuman puas.

 

“Aku juga menyadari sesuatu hari ini.”

 

“Apa itu?”

 

“Yah, meskipun rasanya mirip, tapi walau hanya sebentar, aku benar-benar menyadari seberapa banyak hal yang Reina lakukan untukku, seberapa banyak perhatian yang dia berikan meskipun aku tidak melihatnya. Terima kasih banyak untuk hari ini. Dan maafkan aku.”

 

Dia meletakkan tangannya di lutut dan membungkuk dalam-dalam. Tidak, tubuhnya membungkuk dengan sendirinya.

 

“Tolong angkat kepalamu, Takeru-san. Aku melakukannya karena aku mau.” 

 

“Tetapi aku merasa berterima kasih dan merasa harus minta maaf, itu adalah fakta, jadi biarkan aku mengatakannya.”

 

“...Kalau kau mengatakannya seperti itu, aku jadi bingung.”

 

Reina tersenyum masam, mungkin karena kata-katanya dilemparkan kembali padanya.

 

“Mulai sekarang aku juga akan melakukan banyak hal agar tidak memberatkanmu. Aku mungkin akan sedikit mengacau pada awalnya...”

 

“Tidak. Jika begitu, tidak ada artinya bagiku untuk tinggal bersamamu—“

 

“Ada artinya.” 

 

“Eh?”

 

“Cukup dengan Reina ada di sisiku.”

 

Kata-kata yang memotong ucapan Reina yang telah mengubah ekspresinya itu membuat mata besarnya yang memang sudah besar menjadi lebih besar dan bulat.

 

“Aku sudah mengatakannya berkali-kali, tapi aku tidak merasa kehidupanku sekarang buruk...tidak, aku malah merasa menyenangkan. Jadi cukup dengan Reina ada di sisiku.”

 

Ekspresi Reina tidak berubah, matanya yang bulat seperti batu akik amber menatap Takeru lekat-lekat. Karena tidak ada reaksi, Takeru sedikit mendapatkan kembali ketenangan hatinya setelah mengucapkan kata-kata yang agak memalukan itu.

 

“Ah tidak, itu terlalu berlebihan. Fakta bahwa aku menantikan makanan buatanmu setiap hari tidak bisa diganggu gugat.” 

 

Takeru yang bahkan tidak bisa memasak bubur dengan benar, jika dia yang memasak sebagai gantinya, kualitas hidup Reina pasti akan menurun. Dalam hal itu, apakah yang bisa dikurangi adalah pekerjaan membersihkan rumah? Atau sesekali makan di luar juga diperbolehkan? Pemikiran itu singgah di benaknya.

 

Sementara dia memikirkan hal itu, Reina mengedipkan matanya sekali, lalu sekali lagi. Bulu matanya yang panjang dan berkilau sedikit bergetar.

 

“Apa itu hal yang begitu mengejutkan?”

 

Karena tidak mendapat tanggapan lagi, rasa malu Takeru semakin bertambah hingga dia tidak tahan dan bertanya, alis Reina sedikit berkerut ke bawah.

 

“...Ini pertama kalinya aku mendengar hal seperti itu.”

 

Reina tersenyum dengan ekspresi sedikit muram, bukan sekadar senyum masam.

 

“Tentu saja begitu. Jika tidak pernah punya pengalaman tinggal bersama sebelumnya, kamu tidak akan mendengar hal seperti itu.”

 

“Memang benar, tapi bukan itu maksudku.”

 

Kali ini hanya senyum masam biasa. Reina menempelkan telapak tangannya di mulut dengan ekspresi geli.

 

“Aku tidak pernah merasa diriku memiliki nilai seperti itu.”

 

“Apa maksudmu?”

 

Dari sudut pandang Takeru, Reina tampak seperti gabungan dari nilai sempurna. Dia merasa kata-kata ‘cantik dan berbakat’ saja tidak cukup menggambarkan Reina.

 

“Reina bisa melakukan apa saja dan kamu sangat bernilai, jadi wajar kalau para pria mengerumunin kamu, kan?”

 

“Itu hanya penilaian pada penampilan luarku saja. Mereka tidak peduli pada diriku yang sebenarnya.”

 

Jika dipikir-pikir, memang benar. Yang mereka cari hanyalah siswa pindahan cantik, bukan isi dari Reina sendiri. Tapi—

 

“Penampilan luar juga tetap perlu dirawat agar tidak rusak, jadi itu merupakan nilai yang patut dibanggakan. Dan kecantikan Reina bukan hanya soal tampilan luar saja, kan?”

 

“Eh?”

 

“Caramu menjaga postur tubuh, gerakan dan gestur kecilmu, semuanya terlihat sangat indah. Kecantikan yang diperoleh dari upaya dan latihan itu juga ada padamu. Aku juga ingin meluruskan punggungku seperti Reina. Seharusnya kamu bangga pada hal-hal seperti itu.”

 

Alasan Takeru terpana adalah karena hal-hal seperti itu, dan karena itulah usia Reina yang masih muda terlihat begitu menggemaskan. Tidak mungkin dia tidak berharga.

 

“Ta-Takeru-san?”

 

“Ya?”

 

Ketika diperhatikan baik-baik, wajah Reina sangat merah.

 

“Kamu baik-baik saja? Apa kau demam?”

 

“Ti-Tidak. Aku baik-baik saja...Takeru-san mengatakan hal yang aneh.”

 

Reina menyentuh pipinya dengan ujung jari, mengerutkan bibirnya. Kontras dengan jari putihnya itu membuatnya jelas terlihat seberapa berbeda warna pipi Reina dari biasanya.

 

“Apa yang aneh? Aku hanya mengatakan fakta.”

 

Di mana letak hal anehnya, dia juga tidak dapat memikirkannya.

 

Dia mengamati Reina, berharap dia akan memberitahunya apa yang aneh, tetapi ketika menerima tatapan Takeru dan membuka mulut seperti ingin mengatakan sesuatu, Reina hanya menggerakkan bibirnya sedikit saja pada akhirnya.

 

Tatapan malu-malu yang dilemparkan kepadanya tampak sedikit bergairah, dan Takeru merasa dirinya juga menjadi panas.

 

“Umm... mungkinkah kamu sudah mengantuk?”

 

“Ah... iya sepertinya begitu.”

 

Seolah menyembunyikan kebingungannya, Takeru bertanya dan sepertinya mengenai sasaran, karena Reina yang membelalakkan matanya dengan terkejut lalu mengangguk pelan.

 

“Aku akan pergi mandi terlebih dahulu sebelum tidur. Maaf memanggilmu kemari.”

 

“Tidak, tidak apa-apa. Justru aku yang harus berterima kasih karena kamu mau menemani aku mengobrol.”

 

“Bukankah akulah yang seharusnya berterima kasih karena kamu yang mau nemenin?”

 

Reina tersenyum lembut sambil menyipitkan matanya setelah menertawakan dirinya sendiri dengan menempelkan tangannya di mulutnya. Takeru membalasnya dengan “Ah iya benar” dan Reina tertawa lagi dengan ekspresi geli.

 

“Yah tapi, terima kasih.”

 

“Sama-sama. Terima kasih juga, Takeru-san.”

 

Mereka sedikit membungkukkan kepala bersamaan, lalu saling melempar senyum. Takeru tersenyum untuk menyembunyikan rasa geli, tapi entah bagaimana dengan Reina.

 

“Kalau ada apa-apa, jangan sungkan untuk memanggilku. Selamat malam.”

 

“Baik. Selamat malam, Takeru-san.” Takeru keluar dari kamar Reina lalu menutup pintunya dengan perlahan. 

 

Dia sedikit menggigit lidahnya untuk menahan senyuman yang hampir muncul.

 

Ia senang dengan apa yang dikatakan Reina. Namun, dia sangat menyesali telah membebani Reina dan bahkan tidak menyadarinya. 

 

Agar tidak tenggelam dalam perasaan negatif, tapi juga agar tidak melupakannya, Takeru dengan sadar meluruskan punggungnya.

 

 

Keesokan harinya, Takeru terbangun lebih awal dari hari kerja biasanya dan menuju ke ruang tamu, dia melihat Reina menyiapkan sarapan.

 

“Selamat pagi, Reina.”

 

“Ah... selamat pagi, Takeru-san.”

 

Mungkin karena Takeru menyapanya dari belakang, Reina nampak sangat terkejut sampai-sampai bahunya yang indah itu berguncang, lalu dia berbalik perlahan. Sepertinya dia merasa malu karena ekspresinya sedikit tersipu.

 

“Hari ini kamu bangun pagi.”

 

“Harusnya aku yang berkata begitu.”

 

Saat Takeru membalas seperti itu, Reina sedikit memiringkan kepalanya seolah ada tanda tanya di atas kepalanya.

 

“Kamu pasti masih lelah, seharusnya beristirahat lebih lama kan?” 

 

“Tidak apa-apa kok. Aku sudah cukup beristirahat.”

 

Reina tersenyum kecil sambil sedikit mengerutkan alisnya, lalu menambahkan dengan suara pelan “Berkat Takeru-san” dengan ekspresi yang entah kenapa terlihat sedikit jengkel.

 

“Tapi...”

 

Meski begitu, mengingat kejadian kemarin, Takeru ingin Reina beristirahat hingga besok Senin sebelum kembali bersekolah—

 

“Takeru-san orangnya terlalu khawatiran, ya?”

 

Reina menyipitkan matanya dan berkata dengan nada lembut, lalu tertawa kecil sembari merona tipis di pipinya.

 

“Bukankah Takeru-san mengatakan ingin makan masakanku setiap hari dan tidak akan bosan?”

 

“Ah, ya...”

 

Takeru memang mengingatnya, tapi rasanya ada sedikit perbedaan nuansa. Namun karena Reina terlihat sangat senang dan tersenyum lebar, Takeru hanya mengangguk dengan tulus.

 

“Selain itu, jika aku tidak melakukan aktivitas seperti biasa, aku justru akan merasa tidak bersemangat dan malah memburuk.” 

 

“Yah, kalau begitu tidak apa-apa. Tapi segera katakan padaku kalau kamu merasa tidak enak badan sedikitpun ya. Lalu, apa ada yang bisa kubantu?”

 

“Terima kasih. Tapi tinggal sedikit lagi, jadi Takeru-san tunggu saja.”

 

“Baik.” 

 

Meski Takeru menurut dan duduk, dia jadi tidak tahu harus berbuat apa. Dia disuruh tidak perlu membantu, dan jika dipikir-pikir, dia hanya akan mengganggu jika membantu. Jadi dia tidak melakukan apa-apa. 

 

(Aku hanya perlu mengamati cara Reina beraktivitas)

 

Memang belum sampai ke tahap melihat dan mencurinya, tetapi aku rasa bisa sedikit menjadikannya sebagai referensi...segera aku menyadari bahwa itu hanyalah pemikiran sombong. Memang benar tangannya tidak bergerak dengan cepat sehingga tidak bisa terlihat, tetapi meski melihat Reina melakukan beberapa pekerjaan sekaligus dengan gerakan yang begitu terampil, aku sama sekali tidak mengerti apa yang sedang dia lakukan. 

 

Menyadari bahwa orang yang tersandung pada matematika SD mencoba memecahkan matematika SMA, Takeru menyerah untuk sementara waktu. Dia memutuskan untuk melihat Reina yang mengenakan celemek dengan tulus.

 

Reina yang biasanya tersenyum lembut, kali ini memiliki ekspresi serius. Meskipun bukan seorang profesional, sepertinya itulah wajah seorang koki. Dan memang, itu sangat cantik. 

 

Aku bisa melihatnya selamanya. Tentu saja karena aku berpikir begitu, jika terus melihatnya, pada saat pandangan kami bertemu, mata kami akan bertemu. Seperti saat ini.

 

"Ta-Takeru-san"

 

"Hm?"

 

Seolah baru menyelesaikan satu paragraph, Reina menghentikan tangannya sejenak dan membelalakkan matanya, tidak bergerak sama sekali untuk sesaat.

 

"...Apa kamu terus melihatku?"

 

"Ya. Aku melihatmu karena aku pikir itu menakjubkan."

 

"Ja-Jangan begitu." 

 

"Kenapa?"

 

Reina, yang wajahnya memerah seketika, menggelengkan kepalanya. Karena tidak dilakukan dengan gerakan lembut seperti biasanya, rambut panjangnya yang terikat pun berayun besar.

 

"Aku tidak bisa tenang kalau diliatin, duduklah di sofa."

 

"...Yah, baiklah."

 

"Aku akan memanggilmu kalau sudah selesai."

 

Meski merasa tidak puas, karena Reina tetap terlihat anggun meski dengan gerak-gerik terburu-buru, Takeru memutuskan untuk menurut saja.

 

Akhirnya beberapa menit setelah berpindah, Reina memanggilnya untuk duduk di meja makan, dan Takeru merasa dia mungkin bisa tetap di sana sejak tadi. Tapi tidak apalah, makanan buatan Reina yang tersaji di depannya mengisi pikirannya.

 

Sambil mengucapkan "Ittadakimasu" bersama, sesekali pandangan Takeru dan Reina bertemu selama makan. Setiap kali itu terjadi, Reina mengalihkan pandangannya, sepertinya benar bahwa dia tidak bisa tenang jika diperhatikan. 

 

Mungkin karena Reina terlihat menggemaskan saat diam-diam melirik ke arahnya, sepertinya detak jantung Takeru sedikit lebih cepat dari biasanya.

 

"Apa kamu punya sesuatu yang harus diselesaikan hari ini?"

 

"Hampir semuanya sudah kuselesaikan kemarin, tinggal mencuci dan membersihkan area basah saja." 

 

"Kalau begitu biar aku yang melakukannya, kamu istirahat saja."

 

Dia tidak menggunakan dapur jadi tidak perlu dibersihkan, dan pekerjaan lainnya adalah yang biasa Takeru lakukan sebelum tinggal bersama. Dia harus lebih rajin dibanding saat itu, tapi seharusnya tidak masalah...mungkin.

 

"Tapi..."

 

"Sudahlah tidak apa-apa." 

 

"Tidak, maksudku..."

 

Karena kejadian kemarin, Takeru ingin Reina membiarkannya istirahat, tapi rupanya Reina masih merasa sungkan, sampai akhirnya dia berkata:

 

"Ada pakaian dalamku jadi...biar aku saja yang nyuci."

 

"...Maaf."

 

Melihat Reina yang wajahnya memerah dan sepertinya sulit mengatakannya, Takeru membungkukkan kepalanya dalam-dalam. Wajahnya juga mungkin sama merahnya.

 

Setelah sarapan, Takeru segera bekerja dan menyelesaikan pembersihannya. Berkat waktu yang dihabiskan dua kali lebih lama dari biasanya, Reina yang baru selesai menjemur cucian pun memberikan nilai lulusnya.

 

Setelah itu Takeru kembali menghabiskan waktu di ruang tamu seperti biasa, saat Reina datang setelah pergi sebentar ke kamarnya. Di tangannya ada sebuah buku novel.  Jika ingatannya benar, itu adalah buku yang Reina baca kemarin.

 

"Permisi."

 

"Ya." 

 

Meski tidak perlu minta izin seperti dulu lagi, Reina tetap mengucapkannya saat duduk di sampingnya. Takeru menjawab dan Reina duduk, tapi hari ini dia tampak enggan duduk di sampingnya.

 

"Ada apa?"

 

"Ti-Tidak ada apa-apa."

 

Saat ditanya sambil ditatap, Reina mengerutkan alis, tersenyum malu-malu, dan akhirnya duduk. Di ujung sofa, jauh dari Takeru, dua kali lebih jauh dari biasanya.  

 

"...Apa tidak akan jatuh?"

 

"...Tidak apa-apa."

 

"Begitu ya."

 

Meski Reina bebas duduk di mana saja, fakta bahwa dia tidak seperti biasanya membuat Takeru tidak bisa tenang. Sepertinya Reina juga merasakan hal yang sama, karena halaman bukunya hampir tidak maju sama sekali. Tapi meski begitu, postur dan cara duduknya tetaplah begitu anggun dan elegan, memang luar biasa.

 

Akhirnya, di hari itu Reina tetap dalam kondisi yang sama, meskipun menghabiskan waktu bersama Takeru di ruang tamu, entah kenapa jarak di antara mereka terasa lebih jauh dari biasanya.

 

 

Sambil mandi dengan air shower yang sedikit lebih dingin dari biasanya, Reina menghela nafas.

 

Sulit baginya untuk bertatap muka dengan Takeru, orang yang tinggal bersama dengannya.

 

 

Dia sangat mengerti bahwa penyebabnya ada pada kejadian semalam. Karena itu juga, meskipun dia sudah tidur lebih awal, dia tidak bisa langsung tertidur untuk sementara waktu.

 

“Cukup dengan Reina ada di sini.”

“Kamu cantik.” 

 

Hanya dengan mengingatnya, jantungnya berdebar dan wajahnya terasa panas.

 

Kata-kata sebelumnya yang belum pernah diucapkan padanya memang luar biasa, tetapi bahkan kata-kata terakhir yang seharusnya sudah biasa didengarnya pun mampu mengacaukan hati Reina seperti ini.

 

Dia merasa seolah semua yang sudah diraihnya selama ini diakui. Dan fakta bahwa dia sekedar dipuji cantik, itu sendiri sudah membanjiri dada Reina dengan kebahagiaan. Rasanya begitu hangat hingga seperti akan membuatnya pingsan.

 

Meskipun sudah satu malam dan dia mengira sudah tenang, begitu Takeru menyapanya pagi ini dan melihat wajahnya, ketenangan hatinya sudah hancur lagi. Saat menyadari Takeru memerhatikannya saat memasak, dia gelisah dan menjauhkan Takeru.


(Apakah dia tidak berpikir kalau aku bersikap aneh?)


Dann/Amai Novel Project

Takeru tidak terlihat curiga sama sekali, tetapi Reina tetap merasa tidak tenang. 

 

Dia mempercepat waktu mandinya dari biasanya karena merasa malu berada bersama Takeru. Bukan berarti dia tidak ingin bersama Takeru, justru dia ingin, tetapi dia merasa tidak bisa menjaga ketenangannya lebih lama lagi.

 

Namun, dia pikir bisa merasa sedikit lebih tenang setelah mandi, ternyata dia belum sepenuhnya bisa memulihkan ketenangan dirinya. 

 

Begitu keluar dari ruang ganti setelah mandinya, dia berpapasan dengan Takeru. Karena kamar Takeru tepat di depannya dan waktu mandinya tidak seperti biasanya, seharusnya dia lebih waspada, tapi dia sama sekali tidak sadar.

 

“Ah...Takeru-san”

 

“Istirahatlah dengan baik ya.”

 

Takeru menatap Reina dari atas ke bawah, lalu tersenyum lembut seperti mengkhawatirkannya. Dia pasti mengira Reina mandi lebih awal untuk tidur lebih awal.

 

Namun, melihat dirinya dengan penampilan sehabis mandi, bahkan dalam pakaian tidur yang seharusnya sudah dilihat Takeru semalam, membuat Reina merasa sangat malu dan wajahnya semakin memanas.

 

“Baik. Terima kasih. Selamat malam.”

 

Setelah mengucapkannya agak terburu-buru, Reina membungkuk lalu berlari masuk ke kamarnya seperti melarikan diri.

 

“Apakah dia tidak berpikir kalau aku bersikap aneh?”

 

Pertanyaan itu membuatnya khawatir, tetapi dia sama sekali tidak punya keberanian untuk mengonfirmasinya. 

 

Bagaimanapun, mulai besok dia harus bersikap seperti biasa. Dengan pemikiran itu, Reina masuk ke futon lebih awal seperti yang dikatakannya pada Takeru. Tetapi malam itu pun, dia masih sulit untuk tertidur.


Copyright Archive Novel All Right Reserved ©













Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !