Chapter 4
"Apakah kamu ingin
aku mengajarimu memasak?"
"Ya"
Ketika Takeru memintanya
seperti itu, Reina memiringkan kepalanya dengan bingung.
Beberapa hari setelah
Reina jatuh sakit pada hari Sabtu dan tampak sedikit aneh pada hari Minggu yang
mungkin karena pengaruh sakitnya, sekarang dia sudah kembali seperti biasanya.
"Aku ingin memintamu
untuk memasak makanan sehari-hari, tapi aku juga ingin belajar sedikit, buat jaga-jaga.
Aku pikir aku harus mempelajarinya juga untuk jaga-jaga kalau kamu jatuh sakit
atau pergi ke suatu tempat."
Sebenarnya, ada keinginan
dalam dirinya untuk menjadi lebih mahir agar bisa sedikit menggantikan Reina.
"Kalau itu yang kamu
maksud, baiklah. Aku tidak keberatan mengajarimu."
"Untuk hal ini, aku
hanya bisa meminta Reina."
Dari segi keahlian,
hubungannya dengan Takeru, dan jarak fisik, Reina adalah pilihan terbaik dari
segala aspek.
"Jadi hanya aku yang
bisa kamu andalkan ya."
Reina tersenyum dengan
pipi yang sedikit merona.
"Ya, begitulah."
"Kalau begitu,
bagaimana kalau kita memasak makan malam bersama hari ini? Untuk permulaan, nanti
sekalian aku ajari hal-hal dasar, seperti praktik memasak. Bagaimana?"
"Aku benar-benar
pemula, jadi aku akan mempercayakan semuanya padamu tentang bagaimana cara belajar
terbaik."
"Baiklah. Kalau
begitu aku akan bersiap-siap dengan niat itu hari ini."
"Terima kasih. Mohon
bantuannya."
Itulah percakapan mereka
saat sarapan pagi ini. Dan sekarang, setelah keduanya pulang, Reina mengenakan
celemek sementara Takeru yang tidak memakai celemek hanya mengenakan kaos.
"Menu hari ini adalah
nasi, sup miso dengan lobak, dan daging babi panggang jahe dengan kol iris
tipis."
Dibandingkan makan malam
yang biasanya dimasak Reina, ini terlihat jauh lebih sederhana. Ini mungkin
karena Takeru yang masih pemula.
"Hari ini aku akan
mengajarimu terutama cara menggunakan pisau yang benar."
"Dimengerti."
Terakhir kali aku memegang
pisau mungkin saat pelajaran memasak di SMP. Aku sedikit gugup.
"Selama kamu
menggunakannya dengan benar, tidak akan berbahaya, jadi tenangkan dirimu dan
rileks."
Reina tersenyum lembut
sambil berkata dengan nada suara yang tenang, sepertinya dia menyadari keadaan
Takeru.
"Cara memegang pisau
dan menahan bahan makanan seperti ini..."
Saat Reina hendak
mengambil tangan Takeru dari belakang, dia tiba-tiba menghentikan gerakannya.
"Reina?"
Ketika Takeru berbalik
setelah meletakkan pisaunya, Reina yang wajahnya memerah mundur selangkah dua
langkah.
"Umm... karena hari
ini yang pertama, sebaiknya kita tidak menggunakan pisau dulu."
"Eh... apakah aku
sebegitu buruknya?"
Aku sendiri merasa aku
akan melukai diriku, tapi apakah kemampuanku terlihat separah itu di mata Reina
yang ahli? Aku tidak menyangka akan dilarang menggunakan pisau di usia seperti
ini, kecuali jika aku masih anak-anak.
"Bukan begitu, tapi
aku merasa akan lebih baik jika kamu hanya mengamati saja untuk yang pertama
kali. Jika aku memikirkannya lagi, aku juga mulai dengan mengamati saja."
Bahkan pengamatan saja
gagal saat terakhir kali, akankah aku berhasil kali ini?
"Aku akan
memperlihatkannya sejelas yang aku bisa, jadi tanyakan padaku jika ada yang
tidak kamu mengerti."
"Kalau begitu,
baiklah. Aku mengandalkanmu."
"Baik. Perhatikan
dengan seksama."
Lalu Reina mulai
menjelaskan cara memegang pisau yang benar dan memperlihatkannya pada Takeru.
Tentu saja Takeru tidak tahu, tapi ternyata cara memegang pisau berbeda-beda
tergantung bahan dan cara memotongnya.
"Pertama, aku akan
memperlihatkan cara mengiris kol. Untuk ini, tidak terlalu perlu kekuatan, tapi
butuh gerakan yang teliti, jadi cara pedangnya seperti ini, dengan jarimu
mengapit bagian pangkal pisau."
"Oh, yang kamu
tunjukkan tadi ya, cara memegang dengan menjepit."
"Ya, benar."
Reina tersenyum memuji
Takeru yang mendongak, membuatnya merasa malu.
"Lalu, hal lain yang
sangat penting bagi pemula adalah cara menggunakan tangan kiri."
"Tangannya mirip kayak
kucing gitu ya?"
"Ya. Atau kamu bisa
menggenggamnya seperti memegang telur dengan lembut. Aku lebih suka cara yang
ini, tapi kamu bisa memilih cara yang paling nyaman untukmu."
"Hee."
Jari-jari lentik Reina membentuk
lingkaran yang menggemaskan. Aku tidak tahu tentang telur, tetapi karena dialah
yang melakukannya, aku berpikir akan mencobanya nanti.
“Kalau begitu, mari kita
mulai memotongnya.”
Sambil berkata demikian,
Reina mulai mencacah kol dengan cepat. Mungkin dia sedikit memperlambat
kecepatannya untuk menunjukkannya, tetapi tetap saja cepat.
Mengabaikan keterkejutan
Takeru, Reina memotong dengan ritmis, memproduksi suara yang menyenangkan
sementara menumpuk potongan kol yang tipis dan merata.
“Indah sekali.”
“Eh?”
Ketika aku bergumam tanpa
sadar, Reina menghentikan tangannya, meletakkan pisaunya, lalu mengangkat
wajahnya.
“Ah... Maksudmu potongan
kecilnya ya? Terima kasih.”
“Bukan hanya itu, tapi
juga tekniknya, cara memegang pisaunya, dan penampilanmu saat memotong, semua
itu sangat menakjubkan.”
Ketika aku menyuarakan
pendapatku dengan jujur, pipi Reina merona.
“Aku sedang
berkonsentrasi, jadi jangan mengatakan hal-hal aneh. Aku sudah merasa malu
karena diliatin.”
“Ah, maaf. Tapi itu benar-benar
membuatku terpesona, jadi aku tidak bisa menahan diri.”
“Makanya... ugh!”
Dengan wajah yang masih
memerah, Reina mengerutkan bibirnya dan entah mengapa mulai mencuci tangannya.
“Ada apa?”
“Takeru-san dilarang mengamati.”
“Kenapa begitu!?”
“Karena mulai sekarang
akulah yang akan memasak untuk Takeru-san selamanya, jadi tidak ada gunanya
Takeru-san belajar memasak.”
“Eh?”
Reina mengangkat alisnya
lebih tinggi dari biasanya, mengelap tangannya, lalu mendekati dan mendorong
punggung Takeru.
“Waktumu teebatas, jadi
sebaiknya digunakan untuk hal yang lebih bermanfaat.”
“Tapi belajar memasak
darimu sangat bermanfaat bagiku.”
Meskipun aku membantah
sementara didorong oleh Reina yang anggun namun kuat, dia tidak mau
mendengarkan.
Sikapnya yang seperti anak
kecil merajuk terlihat langka, dan justru membuatnya terlihat menggemaskan
karena biasanya dia selalu bersikap dewasa.
“Lagipula aku tidak pernah
mengatakan akan membuatmu menjadi koki pria, jadi tolong keluar dari dapur,
Takeru-san. Seperti yang tadi kukatakan, kamu benar-benar dilarang ngeliat.”
“Zaman apa ini!?”
Akhirnya, Takeru dilarang
selamanya memasuki dapur saat Reina sedang memasak.
“Hei.”
“Ada apa?”
Saat sudah mulai makan
malam, penampilan Reina sudah kembali seperti biasa.
“Kalau memasak tidak
boleh, aku ingin menebus kesalahanku dengan cara lain.”
“Menebus kesalahan,
katamu?”
“Aku sudah mengatakannya
sebelumnya, kan? Kenyataannya aku sudah membebanimu selama ini, jadi aku ingin
melakukan sesuatu.”
“Jadi karena itulah kamu
ingin belajar memasak.”
Reina mengangguk seperti
sudah memahaminya, lalu tersenyum kecil.
“Tapi sekarang Takeru-san
juga membantuku dengan pekerjaan rumah tangga, jadi aku hanya akan menerima
niatmu saja.”
“Itu kan hanya kondisi
sekarang? Maksudku sebagai permintaan maaf untuk sebelumnya.”
Sampai saat ini, beban
yang dipikul Reina masih jauh lebih besar.
“Meskipun begitu, aku
tidak merasa perlu permintaan maaf darimu.”
Reina tersenyum masam,
tapi sepertinya itu memang pendapatnya yang sebenarnya.
Namun bagiku, ini adalah
hal yang tidak bisa dikompromi. Meskipun meminta maaf tidak akan menghapus
fakta bahwa aku telah membebaninya selama ini, aku ingin memberinya sedikit balasan.
Kalau tidak, aku merasa tidak pantas hidup bersamanya.
“Kalau begitu ajarkan aku
memasak supaya aku bisa lebih mengurangi bebanmu nanti.”
“Ti-Tidak boleh!”
Reina menggelengkan
kepalanya dengan pipi memerah, lalu menatapku dengan tatapan terkejut dan
sedikit mengerutkan bibirnya.
“Mou, kamu benar-benar memaksa
ya.”
“Yah, begitulah.”
Setelah menghela nafas
seperti sudah pasrah, Reina tetap tersenyum lembut.
“Tapi karena niatmu itu
membuatku senang, apa bolwh buat.”
Melihat caranya menyipitkan
mata dan menutupi mulutnya, kata-katanya sedikit membuatku berdebar. Aku
bermaksud menyampaikan niat permintaan maafku, tetapi jika itu membuat Reina
senang, itu sudah lebih dari cukup bagiku.
“Kalau begitu, pikirkan
apa yang kamu inginkan. Aku akan melakukan apa pun yang bisa kulakukan.”
“Hmm...”
Reina sedikit mengerutkan
alisnya. Meski dia tidak bermaksud memikirkannya di tempat ini sekarang, aku
senang dia langsung mempertimbangkannya.
“Ah.”
“Apa kamu sudah memikirkan
sesuatu?”
“Ya. Aku ingin meminta
waktumu satu hari, tidak apa-apa?”
“Ah, tentu saja.”
Aku mengangguk besar pada
Reina yang masih agak ragu bahkan di saat seperti ini.
“Kalau begitu, aku ingin
kamu mengajakku berkeliling sekitar rumah ini. Sejak pindah, aku belum punya
kesempatan untuk berkeliling, jadi aku hampir tidak tahu apa-apa tentang daerah
ini.”
Reina menurunkan ujung
alisnya dengan sedikit malu.
“Ah, tentu saja boleh.
Libur panjang juga sudah dekat.”
Reina yang sekilas
berseri-seri berkata “Terima kasih banyak” sambil sedikit membungkukkan
kepalanya.
“Aku memang ingin
berkeliling suatu hari, tetapi aku malas melakukannya. Tapi jika bersama
Takeru-san, itu akan sangat menyenangkan dan berarti buatku, dan yang
terpenting aku sangat menantikannya.”
Melihat senyum lebar di
wajah Reina membuatku merasa hangat. Padahal niatku adalah untuk menebus
kesalahanku, tapi sepertinya akulah yang akan mendapatkan lebih banyak hal
baik.
“Apakah ada jenis tempat
tertentu yang ingin kamu lihat? Meskipun kamu mungkin tidak tahu lokasinya,
tapi seperti tempat bermain atau tempat berbelanja, manakah yang paling kamu
sukai?”
“Hmm....” Reina seperti
berpikir sejenak dengan alis yang sedikit menurun.
“Aku ingin menyerahkannya
ini pada Takeru-san, boleh?”
“Padaku?”
“Ya. Aku ingin kamu
menunjukkan padaku tempat-tempat yang biasanya kamu kunjungi atau tempat-tempat
favoritmu.”
“Hmm... baiklah.”
“Terima kasih banyak.”
Sepertinya kita akan
tinggal di sini sampai lulus SMA, jadi aku ingin kamu memiliki kesan yang baik.
Aku akan senang jika ini bisa menambah sedikit kesenangan dalam kehidupan
sehari-hari Reina.
“Bagaimana kalau aku
membuat daftarnya, lalu kamu pilih tempat yang kamu minati?”
“Tidak.”
Reina menggelengkan
kepalanya pelan dan sedikit merilekskan mulutnya.
“Tolong rahasiakan itu
sampai hari kita berangkat. Aku ingin menantikannya dengan gembira.”
“Ini tanggung jawab
besar.”
Aku mengangkat bahu dan
Reina berkata, “Maaf membuatmu mengikuti keegoisanku” sambil menyipitkan
matanya dan tersenyum kecil.
(Rasanya seperti kencan...
Apa sih yang aku pikirkan?)
Membuat rencana agar dia
bisa bersenang-senang, dan itu akan menjadi kejutan di hari itu. Aku jadi
membayangkan hal seperti itu dan dengan panik menggelengkan kepala untuk
mengusir pikiran itu, tapi gagal.
“Takeru-san?”
“Ah, bukan apa-apa... Aku
akan memikirkannya, jadi tunggu saja ya.”
“Baik.”
Reina menjawab dengan nada
riang dan senyum penuh harap, membuatku membayangkan hal yang sama lagi, jadi
aku mengatakan “Aku akan mencuci muka” dan melarikan diri ke kamar mandi.
◇ ◇ ◇
“Ah, Takeru-san.”
Ketika Takeru tiba-tiba
berkata akan mencuci mukanya dan berdiri meninggalkan meja, Reina yang
tertinggal menolehkan kepalanya kebingungan.
Mungkin ada hubungannya
dengan dia yang menggelengkan kepalanya sebelumnya. Dia sempat berpikir untuk
menanyakan alasannya saat Takeru kembali, tetapi dia lebih ingin melanjutkan
pembicaraan mereka.
Saat memikirkan hal itu,
bibirnya melengkung ke atas secara alami. Jika dia tidak menyadarinya,
sepertinya itu akan terus berlanjut, jadi Reina sedikit menekan pipinya.
(Sebenarnya permintaan
maaf itu tidak benar-benar diperlukan)
Semua pekerjaan rumah yang
dia lakukan sejak pindah ke rumah ini adalah karena keinginannya sendiri.
Selain karena dia memang
menyukai memasak, Takeru sebagai orang yang menerima masakannya dan memberikan
tanggapan dengan ekspresi dan kata-katanya adalah pasangan yang sempurna. Tanpa
mengingat bahwa Takeru adalah orang yang selama ini ingin dimasakkan masakan
rumah sejak Reina masih kecil.
Dia tidak terlalu menyukai
pekerjaan seperti membersihkan dan mencuci, tetapi awalnya dia berpikir itu
adalah sesuatu yang harus dia lakukan untuk menepati janjinya dengan Takeru.
Tetapi sekarang, dia merasa menyenangkan bisa merapikan lingkungan hidupnya
sendiri.
Ya, awalnya ketika mulai
tinggal bersama, Reina merasa seperti menumpang di rumah Takeru. Tetapi
sekarang, mereka tinggal bersama. Seperti yang dikatakan Takeru, Reina juga
menyukai gaya hidup mereka saat ini. Jadi dia benar-benar tidak perlu meminta
maaf atau apa pun. Meski begitu--
Sekali lagi senyum
mengembang dengan sendirinya. Kali ini disertai tawa kecil “fufufu”.
Reina senang bahwa Takeru
bersikap sangat tegas, tidak seperti biasanya. Meskipun dia merasa sedikit
bersalah karena itu berarti Takeru merasa sangat bertanggung jawab, lebih dari
apa pun, dia terharu dengan keinginan Takeru untuk melakukan sesuatu untuknya.
Jadi Reina memikirkan
dengan sungguh-sungguh apa yang dia inginkan untuk dilakukan Takeru, dan
tiba-tiba saja sebuah ide terlintas di benaknya.
Apa karena dia ingin lebih
mengenal tunangan, Iriya Takeru? Apa karena ingin mengenal Takeru yang
sepertinya sangat berbeda di permukaan meskipun pada dasarnya sama seperti
dulu? Karena itulah dia ingin tahu kebiasaan Takeru sehari-hari dan
tempat-tempat favoritnya... Tapi ini pasti hanya pemikiran belakangan. Tentu
itu salah satu alasannya, tetapi saat ini dia mungkin hanya ingin pergi
bersamanya.
(Ah... kalau begitu, ini
hampir mirip...)
Dia menyadari wajahnya
merona ketika mengingat kata bersuku tiga itu ditulis dalam katakana.
“Bagaimana ya?”
Karena dia tidak punya
niat seperti itu, dia bermaksud mengenakan pakaian yang mudah digerakan saat
hari itu tiba. Tentu saja sampai sekarang niatnya masih sama, tetapi dia jadi
sadar akan hal itu.
“Meskipun bukan kencan...
tapi tetap saja, aku ingin memberi kesan yang baik...”
Penampilannya, gaya
rambut, dan riasannya, semua itu bertentangan dengan aktivitas yang akan
dilakukannya hari itu dan kesan yang ingin dia sampaikan. Dan semakin dia
memikirkannya, wajahnya semakin terasa panas.
Baru beberapa waktu yang
lalu dia ingin Takeru cepat kembali dan melanjutkan pembicaraan mereka. Tapi
sekarang, dia justru memikirkan hal yang sebaliknya.
“Bagaimana ya?”
Reina bergumam lagi, tidak
bisa menghentikan pikirannya yang terus berkelana.
◇ ◇ ◇
Saat istirahat di sekolah,
ketika Takeru bersandar di dinding koridor sambil melihat ponselnya, seseorang
menepuk pundaknya.
“Wah, tumben Takeru asyik
dengan ponselnya.”
Dia sama sekali tidak
menyadari temannya menghampiri dari samping, tubuhnya tersentak kaget. Orang
yang menamparnya itu tertawa terbahak-bahak, sama sekali tidak merasa bersalah.
“Jadi, sedang lihat apa?
Sampai di koridor begini.”
“Bukan apa-apa.”
Meletakan ponselnya di
saku celananya dan memutar-mutar kacamata palsunya, Ryouma tertawa
mencurigakan.
“Hei hei, jangan bilang
Takeru lihat yang ‘begituan’ di sekolah.”
“Hentikan, bodoh!”
Takeru panik melihat
sekeliling, tapi Ryouma hanya tertawa lagi dan berkata “Hei hei”.
“Aku tidak akan bercanda
seperti itu kalau ada orang lain di sekitar sini.”
“Ya ya, memang begitulah
kamu.”
“Nah, jadi kamu lihat apa?
Tidak bisa diberitahu ya?” “Meskipun tidak bisa diberitahu, aku tetap akan
bertanya.”
Dari balik Ryouma yang
memakai kembali kacamata palsunya, Mana tiba-tiba muncul.
“Kamu muncul dan
menghilang ya?”
“Aku kucing,” kata Mana,
membuat gerakan telinga kucing di kepalanya seperti yang sering dia lakukan
ketika Reina menyebutnya begitu.
“Kamu keras kepala ya,”
kata Ryouma, meskipun tidak berusaha mengusir Mana.
“Jadi ceritanya Iriya-kun
melihat situs bokep begitu?”
“Kamu sih pake bilang
begitu!”
“...Maaf.”
“Biar saja, kan cowok. Aku
mengerti kok,” Mana membuat senyum dibuat-buat dan mengangguk berlebihan.
“Kalau mengerti jangan
dibahas, lagipula itu tidak benar.”
“Benarkah? Kalau begitu
kamu bisa bilang sedang lihat apa kan?”
“Kamu kejam juga ya,”
Tetapi Ryouma juga tidak berusaha menghentikannya. Mungkin karena dia tahu jika
Takeru benar-benar ingin merahasiakannya, Takeru pasti akan segera pergi saja.
“...Ini.”
“Majalah informasi?”
“Mau cari kerja paruh
waktu?”
Akhirnya Takeru menyerah
dan menunjukkan layar ponselnya, membuat dua temannya mengernyitkan dahi saat
melihatnya.
“Bukan, bukan begitu.
Sudah satu tahun sejak pindah, tapi aku merasa tidak terlalu tahu daerah
sekitar sini.”
“Jadi kamu mencari
informasi tentang itu? Apa ada majalah informasi khusus daerah sekitar sini?”
“Sepertinya tidak ada ya.
Ada yang wilayah cakupannya lebih luas sih.”
Daerah sekitar rumah
Takeru tidak ada tempat wisata atau apa pun, itu lebih ke daerah permukiman.
Seperti yang dikatakan Ryouma, sepertinya tidak ada informasi yang berguna.
“Ngomong-ngomong, kenapa
tidak tanya Oosaki saja tentang daerah sini?”
“Hmm, dia bisa memberi
tahu tempat-tempat untuk jalan-jalan, tapi mungkin tidak membantu untuk hal
yang ingin diketahui Takeru.”
“Aku ingin bilang ‘tidak
berguna’, tapi kalau begitu tidak apa-apa.”
“Kenapa kamu bisa bilang
begitu? Lagipula kamu---“
“Karena ini soal perempuan
kan? Iriya-kun lagi galau?”
“Hah?”
Mana tiba-tiba teringat
ungkapan ‘seperti merpati kena angin’ saat melihat ekspresi Takeru.
“Kenapa jadi begitu?”
Mana mengatakannya dengan
sangat percaya diri, tapi Takeru masih mencoba membantah.
“Karena kamu melihat
ponsel di luar kelas.”
“Itu saja tidak cukup
untuk menebak. Mungkin saja dia lagi lihat situs bokep.”
“Dia bukan Osaki, mana
mungkin dia ngeliat itu di sekolah.”
Ryouma juga tidak akan
melakukan hal seperti itu, tapi dengan wajah herannya, Mana seperti menjadi
pembela Takeru, jadi dia diam saja.
“Juga, belakangan ini Iriya-kun
jadi sedikit lebih keren. Itu sih yang kudengar dari gosip kecil di kalangan
perempuan.”
Mana mengacungkan jari
telunjuknya seperti guru dan dengan sempurna memberikan informasi yang tidak
perlu.
“Hah? Takeru sudah keren
sejak dulu tahu.”
“Wow...”
Seharusnya candaan seperti
itu ditanggapi dengan baik, tapi sepertinya Mana memilih untuk mengabaikannya
dan melanjutkan, “Jadi.” Karena itu, Takeru merasa sedikit terluka.
“Jadi sedikit lebih keren.
Pengaruh perempuan. Diam-diam mencari informasi daerah sekitar. Mencari tempat
kencan. Kesimpulan sempurna.”
“Bukannya itu terlalu
ngawur?”
Kali ini Ryouma yang
menatap heran pada Mana yang bangga dengan dirinya sendiri. Memang dugaannya
terlalu meloncat-loncat dan penuh lubang. Tetapi kesimpulan akhirnya cukup
dekat dengan kebenaran, itu yang mengerikan. Memang bukan untuk kencan, tetapi
Takeru ingin informasi untuk mengawal Reina dengan baik.
“Tapi tetap saja
kesimpulannya benar, itu yang membuatku kesal.”
Sementara Mana dengan
sengaja mengeluarkan suara “Fufun” dan membusung dadanya, Ryouma yang melirik
ke arah Takeru hanya menggelengkan kepalanya dan menghela nafas.
“Yah, kalau begitu Takeru,
aku bisa memberi sedikit informasi.”
“Aku juga.”
Tentu saja Ryouma, tapi
bahkan Mana yang keras kepala dan menyudutkan Takeru juga sepertinya tidak akan
mendesaknya lebih jauh, dan sepertinya berniat tulus untuk membantu. Mereka
memang orang-orang baik, dengan sedikit kekurangan tentunya.
“Begitu ya. Kalau
begitu...”
Setelah apa yang ingin
disembunyikannya terbongkar, mungkin lebih baik menerima bantuan mereka dengan
tulus. Ketika Takeru hendak meminta bantuan dengan setengah menyerah dan
setengah berterima kasih, dia teringat percakapannya dengan Reina semalam.
“Tempat-tempat yang biasa
Takeru-san kunjungi, atau tempat yang Takeru-san sukai. Tolong beritahu aku
hal-hal seperti itu.”
Meskipun ini bentuk
permintaan maaf yang dipaksa Takeru setengah jalan, namun itu keinginan Reina.
“Takeru?”
“...Maaf. Aku menghargai
tawaran kalian, tapi biarkan aku memikirkannya sendiri dulu.”
Takeru membungkukkan
kepalanya sekilas, dan meskipun sejenak Ryouma dan Mana melongo, mereka
kemudian tersenyum.
“Oke, semangat ya.”
“Benar-benar jantan ya. Ah, bukan dalam arti mesum lho.”
“Hei.”
“Jangan merusaknya,
Sakaki. Ayo pergi.”
“Maaf maaf. Aku tidak akan
mengganggu, jadi bersenang-senanglah.”
Setelah melihat kepergian
mereka, yang satu dengan lambaian ringan dan yang lain dengan lambaian heboh,
Takeru menutup laman web yang sedang dibukanya.
◇ ◇ ◇
Hari ketika Reina dan
Takeru akan pergi bersama. Setelah sarapan, mereka menghabiskan waktu di ruang
tamu, dan ketika waktunya tiba untuk bersiap-siap, mereka kembali ke kamar
masing-masing. Rencananya setelah siap, mereka akan berkumpul lagi di ruang tamu.
Reina telah memberitahuku
bahwa dia membutuhkan waktu sekitar 30 menit, jadi dia ingin aku menunggunya di
kamar. Namun, setelah berganti pakaian, Takeru tidak bisa tinggal diam dan
meninggalkan kamar.
Berdiri di depan cermin
wastafel, dia merapikan rambutnya yang jarang dirapikan, meluruskan
punggungnya, dan memeriksa penampilannya hari ini. Dengan sengaja menciptakan
kesan yang lebih dewasa, dia mengenakan celana ketat dengan sweater dan blazer
sepanjang paha, serta sedikit menyibakkan poninya.
“Tidak buruk, kan?”
Dengan tidak adanya angka
objektif untuk menilai, evaluasi diri itu menjadi subjektif dan semakin sulit.
Dia ingin mengirimkan fotonya ke Ryouma untuk meminta pendapatnya. Meski sudah
terlambat untuk melakukannya sekarang.
Setelah beberapa saat
berdiri di depan cermin menatap dirinya sendiri, dia merasa malu dan memutuskan
untuk pergi. Dia akan mati jika Reina melihatnya seperti ini.
Dia duduk di sofa ruang
tamu untuk menunggu Reina, tapi waktu menganggur seperti ini tidak baik. Dia
mulai mempertanyakan keputusan rute dan penampilannya hari ini, meski sudah
terlambat untuk mengubahnya.
Bagaimana pendapat Reina
nanti? Sebelumnya dia menantikan hari ini, tapi sekarang kecemasan terus
membesar.
“Maaf membuatmu
menunggu.”
Pada saat itu, terdengar
suara jernih. Namun, nadanya sedikit berbeda dari biasanya.
Takeru buru-buru berdiri
dan berbalik, melihat Reina yang tersipu membenahi poninya.
“Ah tidak, aku juga baru
saja keluar.”
“Begitu ya.”
“Ya...”
Percakapan ini seperti
awal kencan yang dibayangkannya sebelumnya, membuat jantungnya berdebar
kencang. Dan ada satu hal lagi yang mempercepat debaran itu.
(Luar biasa...)
Penampilan Reina yang
muncul sangat memesona, hingga membuatnya tidak bisa mengalihkan pandangan.
“...Berbeda dari biasanya,
tapi sangat cocok untukmu.”
Reina yang Takeru kenal
hanyalah penampilan anggunnya saat pertama kali mengunjungi rumah ini, dengan
seragam sekolah, dan pakaian santai yang dikenakan di dalam kamar. Namun,
penampilannya hari ini berbeda dari itu semua.
Celana jeans ketat
memperlihatkan kaki panjang dan rampingnya, dengan atasan berlengan balon
berenda. Rambutnya yang biasanya disanggul setengah, hari ini disanggul cantik.
Sepertinya karena
berencana berjalan kaki, dia membawa tas kecil di bahunya, memberikan kesan
aktif yang jarang terlihat pada Reina, namun tetap memancarkan aura anggun
khasnya.
“Benarkah? Apa kamu tidak
terlalu memaksakan diri?”
Meski begitu, dengan rona
di pipinya dan alis sedikit berkerut, Reina masih terlihat sedikit tidak
percaya diri.
“Serius. Aku tidak terlalu
paham fashion wanita, tapi kamu sangat cocok dengan penampilan ini. Terlihat
nyaman untuk dipakai dan tetap stylish...Sangat cantik.”
“Ah...Terima kasih
banyak.”
Reina membelalakkan
matanya dan membungkuk dalam-dalam.
“Tidak perlu membungkuk
begitu. Aku hanya mengatakan apa yang kupikirkan.”
“Tidak, aku hampir
memperlihatkan wajah yang tidak pantas.”
Reina mengangkat wajahnya
yang merona dan berkata demikian dengan malu-malu. Kata-katanya dan ekspresi
menggemaskan itu membuat jantung Takeru berdebar lagi.
“Takeru-san juga terlihat
sangat tampan.”
“Benarkah?”
Reina tersenyum dengan
rona merah muda yang masih menghiasi wajahnya.
“Ya. Ada kesan lebih
dewasa dari biasanya, tapi itu...Terlihat menawan.”
“Beneran bener nih?”
“...Mou.”
Reina menghela nafas
dengan tampang geli melihat ekspresi ragu Takeru, meski wajahnya masih tetap
lembut seolah berkata ‘tidak apa-apa’.
“Jika Takeru-san tidak
percaya diri, bagaimana aku bisa mempercayai pujian darimu tadi?”
Memang awalnya Reina juga
terlihat tidak percaya diri, tapi sepertinya bukan itu maksudnya. Senyumnya
seakan berkata ‘Percayalah pada dirimu sendiri’.
Reina melangkah maju,
tersenyum dan sedikit memiringkan kepalanya dengan gerakan menggemaskan. Aroma
jeruk kesukaan Reina tercium samar, segar dan sedikit manis.
“Takeru-san tampan
sekali.”
“Terima kasih. Reina juga
sangat cantik...Manis sekali.”
“T-Terima kasih banyak.”
Percakapan kami terhenti,
saling menatap dari jarak yang terlalu dekat untuk sekedar mengamati penampilan
satu sama lain. Entah bagaimana caranya, kami sudah sangat dekat. Menyadari
itu, Takeru tidak bisa mengalihkan pandangannya dari mata amber Reina.
Dengan rona di pipi yang
semakin merah, Reina juga terus menatap Takeru. Dia mulai merasakan wajahnya
memanas.
“Ba-Bagaimana kalau kita berangkat
sekarang?”
Takeru mengerti mengapa
Reina menundukkan wajahnya.
“Ah ya, tentu saja.”
Reina membuka matanya
lebar, tersenyum malu-malu dan mengangguk kecil.
“Hari ini kita akan pergi
ke-“
“Tolong rahasiakan
tujuannya sampai kita tiba di sana, karena semuanya kuserahkan padamu,
Takeru-san.”
“Itu membuatku merasa
tertekan...”
Sambil mengobrol seperti
itu, mereka berjalan ke pintu depan. Tepat saat tiba di sana, Reina tersenyum
lembut dan berkata, “Maaf.”
“Yah, itu memang
kesepakatan kita hari ini.”
“Ya, aku sudah
menantikannya sejak lama.”
“Itulah mengapa aku merasa
tertekan.”
Sambil mengenakan
sepatunya, Takeru mengangkat bahunya. Reina tertawa kecil dan mengambil
sepatunya dari rak sepatu. Selain sepatu hak tinggi dan sepatu sekolah, ini
pertama kalinya Takeru melihatnya mengenakan sepatu olahraga, yang sangat pas
dengan penampilannya hari ini.
“Ini kali pertama kita
meninggalkan rumah bersama-sama.”
“Kamu benar.”
Meski sudah terbiasa
sarapan bersama, Takeru selalu sengaja berangkat lebih dulu untuk mengatur
waktu.
Mereka mengunci pintu dan
turun dengan lift. Ini pertama kalinya Takeru melakukan prosesi seperti ini
bersama seseorang, terasa sedikit canggung. Ketika dia melirik ke samping,
Reina juga meliriknya dengan malu-malu.
“Rasanya agak aneh.”
“Ya memang.”
Sensasi menyadari bahwa
mereka memang tinggal bersama.
“Kalau begitu, kita ke
arah sini.”
“Bukan ke arah sekolah
rupanya.”
“Ya.”
Takeru memilih jalur yang
tidak melewati rute menuju sekolah agar mengurangi kemungkinan bertemu tempat
yang dikenal Reina. Meski hanya alasan belaka, berkat itu jalur yang ditempuh
bisa lebih diarahkan.
Secara garis besar dari
arah sekolah, rumah Takeru dan Reina terletak di arah barat, sedangkan stasiun
berada di arah selatan. Murid-murid sekolah mereka biasanya pergi ke arah
stasiun untuk bermain. Namun arah yang mereka tempuh sekarang membawa mereka ke
arah barat lagi, ke kawasan perumahan yang relatif baru. Kemungkinan Reina
belum pernah ke daerah ini, terbukti dari caranya mengedarkan pandangan dengan
rasa ingin tahu.
"Ada banyak apartemen
untuk keluarga ya?"
"Ya, begitulah. Tapi
meskipun begitu, karena cukup padat penduduk, ada banyak toko yang menyediakan
kebutuhan sehari-hari seperti minimarket dan supermarket."
"Apa Takeru-san
berbelanja di supermarket?"
Pertanyaan Reina yang agak
memiringkan kepalanya mungkin karena dia tidak percaya kemampuan Takeru dalam
mengurus kehidupan sehari-hari.
"Aku mengerti
maksudmu, tapi ya aku berbelanja sayur-sayuran dan sebagainya."
"Ah, benar
juga."
Reina sedikit mengerutkan
alisnya lalu tertawa kecil sambil menutup mulutnya. Memang benar Takeru jarang
berbelanja, jadi tidak pantas jika dia sok tahu.
"Ngomong-ngomong, di
mana kamu biasa berbelanja untuk keperluan seperti bahan makanan? Aku baru
menyadarinya sekarang."
"Aku menggunakan
layanan pengantaran. Sebenarnya aku juga ingin melihat bahan-bahan itu secara
langsung, tapi aku tidak terbiasa dengan daerah sini. Tetapi jika ada
supermarket di dekat sini, aku ingin mencobanya."
"Meski aku tidak bisa
membantumu berbelanja, setidaknya aku bisa membawakan belanjaanmu. Lagi pula
aku sedang senggang."
"Terima kasih
banyak."
Reina menyipitkan matanya tersenyum,
lalu melanjutkan, "Tapi dengan begitu kamu bisa memberi tahu apa yang
ingin kamu makan, jadi aku bisa berbelanja dengan lebih mudah. Lagipula
berbelanja jauh lebih menyenangkan kalau begitu. Jadi kamu tidak benar-benar
tidak membantu. Aku akan dengan senang hati memintamu menemaniku kapan-kapan
jika kamu punya waktu luang."
"...Ah."
Tidak menyangka Reina akan
mengatakan hal semanis itu, Takeru memalingkan wajahnya dari senyum lebarnya
yang penuh harap. Bahkan jika dia tidak punya waktu luang, rasanya dia bisa
menyempatkan diri.
"Kalau begitu, ayo
kita lihat tempat yang kita tuju dulu."
"Baiklah. Terima
kasih banyak."
Menerima senyum lembut
Reina, Takeru membayangkan peta dalam kepalanya dan sedikit mengubah rute
mereka. Meski sedikit memutar, sepertinya tidak masalah.
"Nah, ini tujuan
pertama kita hari ini."
"Toko buku?"
Saat tiba, papan nama yang
disebut Reina memang terlihat di tempat tujuan pertama mereka hari ini.
"Bukan tempat yang
aneh, sih. Tapi ini tempat yang langsung terpikir saat memikirkan tempat yang
sering kudatangi. Yah, mungkin sekitar seminggu sekali aku ke sini."
Saat merencanakan ini,
Takeru merasa pilihannya sudah tepat. Namun begitu dia melaksanakannya, dia
malah meragukannya. Melihat Reina mengamati toko buku, keraguan merayapi
pikirannya.
Namun, senyum lembut
merekah di wajah cantiknya. Setelah bibirnya membentuk lengkungan manis, Reina
berpaling dengan ekspresi yang sedikit berubah.
"Terima kasih,
Takeru-san."
"Kamu menyukai
pilihannya?"
"Ya, sesuai
permintaanku, aku bisa melihat tempat yang Takeru-san sukai. Bisakah kamu
mengantarkanku ke dalam?"
"Ya, meski ini hanya
toko buku biasa."
"Mereka bisa
tersinggung jika mendengarmu berkata begitu."
Reina tertawa kecil dan
mereka masuk ke dalam toko. Sebelah kanan adalah area komik, sebelah kiri diisi
novel, majalah, dan buku-buku lainnya.
"Apakah buku-buku
yang Takeru-san baca biasanya dibeli di sini?"
"Ya, kebanyakan.
Memang tidak terlalu besar, tapi sepertinya mereka selalu stock buku-buku
baru."
Meski sedang lengang
karena baru buka di pagi hari Minggu, Takeru punya kesan tempat ini ramai pada
sore hari di hari kerja saat kebanyakan orang pulang.
"Kamu kalau beli buku
online, Reina?"
"Ya, sejak saat masih
di rumah terdapat beberapa buku yang belum sempat kubaca. Sepertinya aku akan
lebih sering membutuhkan toko ini sekarang."
"Baguslah kalau
begitu."
Takeru lega melihat Reina
tersenyum, lalu mengajaknya ke area novel.
"Novel-novel baru apa
pun jenisnya disusun di rak ini. Lalu dikelompokkan berdasarkan genre dan
penerbit disana."
Novel-novel terbaru ditata
di rak pusat dan beberapa rak pendek di sekelilingnya. Meskipun tata letaknya
sudah dipikirkan, Takeru merasa agak aneh saat pertama melihat novel ringan
berdampingan dengan novel sejarah.
"Novel seperti apa
yang Reina sukai?"
"Aku suka
misteri."
"Hee~”
Saat berpikir bahwa itu
tidak terduga, Reina mengambil sebuah novel misteri dari rak buku baru dan
dengan senang hati memperlihatkannya kepada Takeru, “Ini buku yang ingin aku
baca.”
“Mau membelinya?”
“Bakalan repot kalau hari
ini banyak membawa barang, kalau sudah selesai membaca buku yang sedang aku
baca sekarang, aku akan datang lagi.”
Reina mengatakan demikian
dan dengan hati-hati mengembalikan buku yang dipegangnya ke tempat semula.
“Aku jarang membaca
misteri, apakah kamu membacanya sambil menebak-nebak?”
“Tidak, aku tidak terlalu
suka membaca dengan cara seperti itu. Terkadang aku berpikir ini itu, tetapi
kebanyakan aku hanya membaca ceritanya saja.”
Sambil berpindah ke rak
buku lama, Reina mengerutkan alisnya, “Mungkin ini tidak normal.”
“Setiap orang memiliki
cara menikmatinya sendiri. Jika hanya ada satu cara yang diperbolehkan, itu
membuat hiburan menjadi membosankan.”
“Kamu benar. Terima
kasih.”
Reina tersenyum dengan
sedikit mengerutkan alisnya.
“Memang, di rak ini banyak
terdapat buku-buku populer.”
“Aku belum pernah membaca
buku ini, tapi aku tahu. Ini yang terkenal dengan trik narasi.”
Saat Takeru memegang
sebuah buku yang tertuliskan ‘Kejutan di 10 halaman terakhir!’ pada sampulnya,
Reina menampakkan ekspresi masam.
“Apakah buku ini tidak
bagus?”
“Bukan begitu... Aku sudah
membacanya dan sangat menarik.”
Meskipun berkata demikian,
Reina melirik Takeru dan menampakkan sedikit ekspresi masam.
“Hanya saja aku... tidak
ingin mengetahui informasi seperti itu sebelumnya. Karena, jika mungkin, aku
ingin membacanya tanpa persiapan apapun. Aku mengerti bahwa blurb seperti itu
dibutuhkan untuk menarik pembaca, tetapi...”
Ini pertama kalinya
melihat Reina seperti ini, atau lebih tepatnya melihatnya menggumamkan
kata-kata seperti mencari-cari alasan. Terlihat jelas bahwa perasaannya
terhadap sesuatu yang disukainya sedang berkonflik dengan sisi rasionalnya.
Aku tertawa tanpa sadar,
dan Reina menatapku dengan ekspresi kesal. Ekspresi seperti itu justru
membuatnya terlihat menggemaskan.
“Maaf. Tapi, bukannya
tidak apa-apa?”
“Apa kamu tidak
menganggapnya kekanakan?”
“Tidak.”
Aku menggelengkan kepala
kepada Reina yang bertanya dengan ragu-ragu.
“Bukankah tadi aku bilang
setiap orang berbeda? Pasti ada juga yang tidak suka ini.”
“Memang benar, tetapi...”
“Kalau begitu tidak
masalah kan? Lagipula...”
Reina yang masih
mengerutkan bibirnya, memiringkan kepalanya ketika mendengar Takeru berkata,
“Lagipula?”
“Justru aku senang
mengetahui. Kalau Reina tidak suka spoiler.”
Aku baru tahu hari ini
bahwa Reina suka misteri. Dalam waktu singkat, aku belajar dua hal baru tentang
Reina.
“Aku ingin mengenal Reina
lebih jauh, jadi aku malah berterima kasih. Hari ini tolong beri tahu aku lebih
banyak lagi hal seperti itu.”
“Takeru-san...”
Pipi Reina sedikit merona.
Mulutnya yang semula mengerucut kini melengkung, lalu mengerucut lagi.
“Hari ini seharusnya aku
yang belajar tentang Takeru-san, jadi aku tidak akan memberitahu apa-apa lagi.”
Reina sengaja memalingkan
wajahnya sambil tertawa kecil, lalu berkata dengan nada riang, “Selain itu...”
“Seorang wanita akan lebih
menarik jika memiliki banyak rahasia, begitu kata Mana-san.”
“Jangan mencontoh dia...”
Tetapi mungkin memang
benar, semakin ingin lebih mengenal Reina setelah mengetahui sedikit
tentangnya. Jadi mungkin tidak sepenuhnya salah.
Setelah berkeliling toko
buku itu sebentar, mereka keluar dan berjalan kaki melewati supermarket menuju
tujuan kedua.
“Selanjutnya toko obat
ya?”
“Ya.”
Jangkauan aktivitas Takeru
tidak terlalu luas, jika hanya di sekitar rumahnya, hampir semua tempat yang
sering dikunjunginya adalah toko untuk berbelanja.
Meski sempat khawatir
apakah tempat seperti ini baik-baik saja, Takeru berpikir pasti ada manfaatnya
juga bagi Reina. Lagipula, Reina bilang hari ini dia yang akan mengenal Takeru,
jadi Takeru ingin memperlihatkan dirinya apa adanya tanpa berpura-pura.
“Apakah Reina biasa
mengunjungi toko obat?”
“Tidak. Aku biasanya
menyerahkan belanja kepada pelayan atau memesan kepada penjual keliling,
sehingga hampir tidak pernah mengunjungi toko di luar. Jika membeli sendiri,
aku beli lewat online.”
“Kalau begitu bagus
dong.”
Takeru sedikit terkejut
dengan lingkungan hidup Reina yang menggunakan jasa penjual keliling, namun
jika memang belum pernah mengunjungi toko seperti ini pasti akan sedikit terasa
baru.
“Aku pikir toko obat itu cuman
apotek besar, ternyata tidak hanya itu ya.”
Setelah masuk ke toko,
Reina memang melihat sekeliling dengan mata terbelalak.
“Bagiku, ini lebih mirip
supermarket.”
Sudut obat-obatannya cukup
luas, dan ada apoteker yang selalu berjaga di resepsionis. Tidak diragukan lagi
ini adalah toko obat besar, tetapi yang lebih luas adalah area lainnya.
“Aku mengerti soal makanan
kesehatan, kosmetik, deterjen dan barang kebutuhan sehari-hari lainnya, tetapi
alat tulis, makanan beku, camilan, minuman, bahkan makanan hewan peliharaan.
Cakupannya sangat luas.”
(Tln: di raw tulisannya
‘yakuhin’ toko obat. Tapi ntah mengapa isinya kayak begini :v)
“Meskipun di sini hanya
ada sedikit, sepertinya ada juga toko obat yang menjual sayuran segar dan
produk segar lainnya.”
Reina kembali
membelalakkan matanya saat melihat sekeliling toko.
“Kalau begitu, untuk
kehidupan sehari-hari, satu toko saja sudah cukup.”
“Benar. Bagiku, bahkan
tanpa semua itu, satu toko sudah cukup.”
Sambil mengangkat bahunya,
Reina menyembunyikan senyumnya lalu dengan sengaja menatapnya dengan pandangan
yang kacau.
“Makanan instan dan
makanan beku, juga roti manis dan roti siap saji. Minuman botol. Semuanya
tersedia di sini.”
Reina menyebutkan
barang-barang yang biasa dibeli Takeru sebelum mereka tinggal bersama sambil
melipat jarinya.
“Ya. Aku juga membeli
barang keperluan sehari-hari dan alat tulis di sini. Oh, dan suplemen juga.”
“Aku tidak bermaksud
menyalahkanmu, lho?” Reina tersenyum dan menggelengkan kepalanya dengan cara
yang menggemaskan. Namun, ada emosi lain yang mengalahkan kegemasan itu yang
tidak aneh.
“Wajahmu mengatakan hal
lain.”
“Beneran kok.”
Reina tersenyum kecil
sambil memegangi pipinya dan memicingkan matanya untuk melihat sekeliling.
“Bagaimanapun bentuknya,
tidak diragukan lagi toko ini telah mendukung kehidupan Takeru-san.”
“Benar, aku sangat
terbantu.”
“Saat kamu mengatakannya
seperti itu, aku sedikit cemburu, lho.”
“...Kenapa begitu?”
“Bercanda doang kok.”
Reina yang sedikit merona
menundukkan kepalanya dan tertawa kecil sebelum mulai berjalan.
“Tentu saja aku mengerti.”
Seolah-olah Reina cemburu
pada mantan pacar, Takeru bergumam pada dirinya sendiri, meyakinkan dirinya
setelah terkejut sesaat, lalu mengikuti Reina.
“Aku rasa sudah waktunya
makan siang, bagaimana?”
Setelah melihat-lihat
tempat ketiga, toko elektronik, Takeru menanyakan kepada Reina apakah sudah
waktunya makan siang.
“Ya, sudah waktunya.”
“Ngomong-ngomong, aku baru
tahu. Apa ada makanan yang kamu tidak suka?”
“Tidak ada yang khusus,
jadi terserah Takeru-san saja mau makan di mana.”
“Oke.”
Meskipun merasa sedikit
tertekan, Takeru tahu Reina yang tersenyum ceria tidak bermaksud memberi
tekanan. Dia hanya ingin pergi ke tempat yang dipilih Takeru.
“Kalau begitu, kita harus
jalan kaki sedikit, tidak apa-apa kan makan burger?”
Daerah ini merupakan
kawasan perumahan yang tenang dan terkesan modis dengan beberapa restoran probadi.
Namun tentu saja Takeru belum pernah ke sana. Di sisi lain, jika berjalan
sedikit lebih jauh, mereka akan sampai di jalan utama yang banyak restoran yang
sudah dikenali Takeru.
Seharusnya lebih baik
mengajak wanita ke restoran pribadi yang lebih berkelas. Tapi ini hanya acara
jalan-jalan, bukan kencan. Jadi tidak perlu berlebihan. Begitu Takeru
mengingatkan dirinya sendiri.
“Ya, tentu saja.”
“Oh, tapi apa tidak
apa-apa? Burger sangat tidak sehat, lho.”
“Kenapa tiba-tiba tidak
percaya diri?”
Reina mengerutkan alisnya
dengan ekspresi heran, tetapi ia tersenyum masam.
“Mungkin karena aku
menyinggung tentang makanan instan tadi.”
“Aku rasa itu tidak ada
kaitannya. Aku yang memakannya sendiri. Maksudku, aku tidak yakin apakah
sebaiknya memberi Reina makanan sampah seperti itu. Aku baru menyadarinya
sekarang.”
“Kuharap kamu juga
memikirkan dirimu sendiri.”
Reina tersenyum masam dan
menghentikan kata-katanya, lalu mengendurkan pipinya.
“Untuk makan malam nanti,
aku akan memasak makanan yang sangat sehat. Anggap saja itu kompensasi dari
burger.”
“Sasuga. Itu sangat
menolong.”
“Sama-sama. Kalau begitu,
ayo pergi.”
“Ya. Dan ini, tolong lihat
ini dulu.”
“Eh?”
Takeru menyerahkan ponselnya,
dan Reina menerimanya dengan kedua tangan, penuh kehati-hatian. Dia
mondar-mandir memandang antara ponsel dan wajah Takeru. Seperti dirinya yang
serius, dia sepertinya bingung apakah boleh melihatnya sesukanya.
“Menu toko. Menunya adq
banyak, jadi kalau langsung memilih di kasir nanti bisa panik.”
“Oh, begitu rupanya.
Terima kasih.”
Reina sedikit merilekskan
ekspresinya seperti telah mengerti, lalu memeluk ponsel Takeru di dadanya.
“Tapi Takeru-san. Ini
barang berharga, jadi tidak baik menyerahkannya segamoang itu, lho?”
“Aku tidak akan
menyerahkannya kepada orang lain selain Reina.”
Meskipun itu pendapat yang
benar, Takeru tersenyum masam sambil mengangkat bahunya pada Reina yang terlalu
serius. Dia tidak berpikir Reina akan menggunakan untuk hal lain selain alasan
dia diberikan, dan tidak ada hal yang memalukan meskipun dilihat. Tidak ada
masalah sama sekali.
Takeru berpikir mungkin
dia akan menyerahkannya kepada Ryouma, tapi ada sedikit keraguan sehingga tidak
jadi. Berbicara tentang Mana, tentu saja aku tidak akan menyerahkannya ke dia.
“A-Anu... Takeru-san.”
“A-Ada apa?”
Reina yang bersemu memeluk
erat ponsel Takeru dengan sembrono, membuatnya tenggelam di dadanya. Bagian
yang biasanya tidak terlalu disadari karena dia selalu mengenakan pakaian
longgar, kini harus disadari, membuat Takeru juga terguncang.
“Err... Tidak ada apa-apa.
Aku akan melihatnya.”
“Oh, ya.”
Reina tampak terkejut
namun kemudian tersenyum malu dan mengalihkan pandangannya ke ponsel di
dadanya.
“Ternyata menunya lebih
banyak dari yang kubayangkan.”
“Kan?”
“Kalau begini memang akan
sulit memesan di kasir tanpa persiapan.”
“Ya.”
Mereka terus mengobrol
dengan canggung, sampai Reina tertawa kecil sambil melihat menu. Ikut tertawa,
Takeru bertatapan dengan Reina yang melihatnya dengan malu-malu, lalu tertawa
lagi. Rasa malunya masih tersisa, tapi kecanggungannya sepertinya telah hilang.
“Terima kasih, Takeru-san.
Aku sudah memutuskan pesanan.”
Dengan masih tersipu,
Reina mengembalikan ponselnya dengan kedua tangan dengan kehati-hatian.
“Ya.”
Karena kejadian tadi, dia
sedikit ragu menyentuh ponselnya sendiri. Tapi karena Reina menundukkan
kepalanya, Takeru menerimanya agar tidak terlihat aneh, dan cepat-cepat
memasukkannya ke saku.
“Takeru-san tidak perlu
melihatnya?”
“Tidak, tidak perlu.”
Sebenarnya dia ingin
melihatnya, tapi tidak yakin bisa tetap tenang.
“Jadi kamu sudah terbiasa
ya.”
“Yah... Oh, bukan berarti
aku hanya makan makanan sampah saja.”
“Aku tahu kok.”
Reina yang terkekeh
sedikit mengerutkan alisnya lalu tersenyum kecil.
Begitu masuk ke dalam
toko, semua perhatian tertuju pada mereka. Tentu saja Takeru tidak terlalu
penting. Karena hari ini tidak pergi ke tempat yang terlalu ramai, dia tidak
terlalu memikirkannya, tapi sekali lagi dia disadarkan bahwa Reina adalah
makhluk yang tidak realistis.
Hampir semua pengunjung
pria tentu saja melemparkan pandangan ke arahnya, tapi bukan hanya itu,
pengunjung wanita pun melakukan hal yang sama.
“Ada masalah?”
“Tidak. Ayo kita
mengantri.”
“Baik.”
Sepertinya Reina sudah
terbiasa dengan pandangan itu karena dia sama sekali tidak terlihat terganggu.
Kalau begini, Takeru juga tidak perlu terlalu memikirkannya, jadi dia
menegakkan punggungnya.
Beberapa menit setelah
mereka mengantri, giliran mereka tiba, dan karena Reina memesan set burger
edisi terbatas, Takeru juga memesan yang sama.
“Jadi nanti kita akan
dipanggil dengan nomor ini ya.”
“Ya.”
Takeru sempat berpikir
untuk berpencar dan mendapatkan tempat duduk duluan, tapi mengurungkan niatnya
karena kalau Reina sendirian, pasti akan banyak yang mendekatinya.
“Ramai sekali ya.”
“Ya, wajar karena Minggu
siang begini.”
Setelah menerima pesanan
mereka dan duduk di pojok lantai dua yang kebetulan kosong, Reina berkomentar
dengan nada kagum. Takeru sendiri belum pernah datang di jam seperti ini jadi
agak meremehkan, tapi ternyata lebih parah dari dugaannya.
“Kita harus cepat
menghabiskan makanan dan mengosongkan tempat duduk ya.”
“Mungkin tidak perlu
terlalu dipikirkan, tapi ya, begitulah.”
Sambil memberikan senyum
masam pada kebaikan hati Reina, Takeru juga setuju karena tidak ingin
menyia-nyiakannya, meskipun bukan dia yang memberikan isyarat, mereka berdua
mengucapkan "Ittadakimasu" bersamaan.
"Ngomong-ngomong,
tidak ada pisau atau garpu di sini."
"Apakah Takeru-san
menganggapku tidak tahu apa-apa? Meskipun belum pernah datang, bukan berarti
aku tidak tahu budaya apa yang ada di sini."
Meskipun Takeru yang
memilih untuk membawanya, dia tidak bisa berhenti memikirkan hal-hal yang tidak
perlu.
"Benwran deh, kamu
terlalu khawatiran."
Reina tersenyum kecil dan
menatapnya dengan lembut.
"Jadi tenang saja,
aku benar-benar menikmatinya."
"Ah."
"Ah, tapi
Takeru-san."
"Hmm?"
Alis Reina sedikit
berkerut, dan pandangannya yang menatap ke atas tertuju pada Takeru.
"Tolong jangan
melihatku makan. Aku tahu budaya makan hamburger, tapi aku merasa malu jika
Takeru-san melihat cara aku melahapnya."
"...Lalu aku harus
melihat ke mana saat makan?"
Takeru berusaha sekuatnya,
tapi tidak bisa terus mengalihkan pandangannya dari Reina.
Tepat ketika Reina membawa
hamburger yang dipegangnya dengan kedua tangan ke mulutnya, mata mereka
bertemu. Dia membelalakkan matanya yang seperti batu amber sambil menggerakkan
mulutnya perlahan dan menelan perlahan.
"Takeru-san?"
"Jangan terlalu
berlebihan." Sudah cukup sulit mengalihkan pandangan dari Reina, dan di
meja kecil ini, dia tidak bisa melakukan apa-apa.
Menerima tatapan sebal
dari Reina yang merona merah, Takeru menggigit hamburgernya dengan mulut
terbuka lebar. Melihat penampilannya yang tidak pernah dilihat sebelumnya,
Reina membelalakkan matanya lagi.
"Anggap saja kita
impas dengan ini."
"Mou."
Reina tersenyum kecil
sambil menyipitkan matanya, lalu mengulurkan tangannya, "Takeru-san,"
dan dengan lembut mengusap pipi Takeru dengan tisu. Dia terkejut sejenak, tapi
kemudian menyadari dia hanya membersihkan saus di pipinya.
Reina menatapnya seolah
dia bisa membalas, tapi dia hanya tersenyum lembut dengan mata menyipit. Seolah
mengatakan dia hanya menikmati momen itu.
Beberapa saat lalu Reina
memintanya untuk tidak melihat, tapi sekarang Takeru ingin mengatakan hal yang
sama padanya.
"Te-Terima
kasih."
"Sama-sama."
Reina tersenyum lembut
kepadanya sambil sedikit memiringkan kepalanya seperti gaya khas dirinya.
Meskipun Takeru berkata,
"Kamu bisa bilang saja padaku, dan aku akan melakukannya sendiri,"
Reina hanya tersenyum lembut sambil menutup mulutnya dengan tangannya.
Senyumnya yang masih sedikit hangat membuatnya malu, jadi Takeru mengalihkan
topik.
"Jadi, gimana?
Makanan cepat saji pertamamu?"
"Enak sekali. Aku jadi
mengerti kenapa teman-teman sekelasku terkadang sangat ingin
memakannya."
"Syukurlah kalau
begitu."
"Selain bisa jadi
makanan keluarga, harganya murah tapi memiliki cita rasa kuat dan mengesankan yang
membuatnya bisa dijadikan makanan ringan untuk pelajar. Ini jelas merupakan
kekuatan bisnis makanan ini."
Takeru tersenyum masam
melihat Reina memandangnya dari sudut pandang pengusaha, tapi sepertinya itu
pengalaman baru yang menyegarkan baginya. Ekspresinya saat menceritakannya
dengan antusias menunjukkan hal itu.
"Berikutnya kita akan
melewati jalan pas kita masuk."
Seperti yang dikatakan
Reina, demi meningkatkan tingkat pergantian pelanggan, mereka keluar dari
restoran segera setelah makan.
"Pas setelah makan siang,
ya?"
Reina tersenyum dan
berjalan bersamanya. Ketika mereka berbelok dari jalan besar ke jalan
perumahan, sebuah mobil melewati mereka. Ini sering terjadi sejak pagi, tapi
kali ini mobil sedan hitam itu berhenti di depan. Dia pikir itu kebetulan, tapi seorang pria
berjas keluar dari kursi pengemudi dan membuka pintu belakang dengan sarung
tangan putih, seperti seorang pelayan.
Dan sepertinya
perkiraannya benar, seorang gadis seusia mereka keluar dari dalam mobil itu -
"Reina-san. Ternyata
memang Reina-san rupanya."
(Tln: di kalimat pertama
itu dia manggil, dan untuk di kalimat kedua dia ngeliat orang yang mirip Reina
lagi jalan, dan ternyata itu Reina)
Gadis itu menyapa dengan
ekspresi ceria.
Reina yang dipanggil
tampak terkejut sejenak, tapi segera memasang senyum dan membalas memanggil
namanya.
"Sudah lama tidak
bertemu, Marie-san."
"Itu benar. Aku
terkejut karena tiba-tiba Reina menghilang sejak mulai tahun ajaran baru."
"Karena ini adalah
perpindahan sekolah yang mendadak, aku minta maaf tidak dapat memberitahumu."
Dari isi percakapan, bisa
ditebak bahwa dia adalah teman Reina dari sekolah lamanya. Seorang teman Reina
yang dipanggil Marie menyebutkan beberapa nama sambil mengatakan bahwa semuanya
juga mengkhawatirkannya, dengan nada menggebu-gebu. Namun, Reina tersenyum
dengan tenang dan menanggapi satu per satu.
(Sepertinya hubungan
mereka baik-baik saja)
Meskipun sikap Reina
terhadap Mana terasa sedikit ada dinding pemisah dibandingkan sikapnya pada
yang lain, tampaknya mereka sangat akrab.
Teman Reina menyadari
keberadaan Takeru yang mengamati dari dua langkah di belakang.
"Apakah kamu teman
Reina-san?"
"Ya. Dia Iriya Takeru-san,
kami sudah saling kenal sejak dulu."
"Oh, Iriya tuh, yang
perusahaan properti itu kan?"
"Ya."
Meskipun diucapkan dengan
mengerutkan kening dan berbisik, Takeru masih bisa mendengarnya dengan jelas.
Tidak heran jika keluarganya yang pernah mengalami masalah rumah tangga itu
mendapat kesan buruk.
Reina menatap Takeru
dengan ekspresi seperti menyayangkan sikap temannya itu. Takeru tersenyum,
bermaksud menyuruhnya tidak usah dipikirkan, lalu melangkah maju.
"Aku Iriya Takeru. Kami
punya hubungan sejak lama, karena suatu alasan, aku mengajak Reina-san
berkeliling di sekitar sini. Jika ada yang ingin dibicarakan, bagaimana kalau
kita bicara di luar sebentar, silakan lanjutkan dulu." Sepertinya
begitulah cara terbaik menanggapinya. Bersikap santai dan tenang.
"Oh... terima kasih
atas keramahanmu."
Setelah memberi hormat
dengan canggung, wanita itu memperkenalkan diri, lalu melanjutkan, "Tetapi
aku juga ada sedikit urusan setelah ini, jadi aku permisi dulu. Reina-san,
meskipun masih ingin mengobrol lebih lama, kita bisa bertemu lain kali."
"Baiklah."
Teman sekelas Reina masuk
kembali ke mobil dalam urutan terbalik saat dia turun, lalu pergi begitu saja.
"Maaf ya, kalau aku tidak
muncul, kalian mungkin bisa ngobrol lebih lama."
Takeru berkata begitu pada
Reina yang melambaikan tangan pada mobil temannya, tetapi dia hanya
tersenyum.
"Tidak, aku yakin
Marie-san memang benar-benar ada urusan. Dia orangnya tidak bisa menyembunyikan
ekspresi wajahnya."
"Bener sih, aku juga
merasa kayak gitu."
"Kan?"
Reina tersenyum, lalu
berkata, "Ayo jalan." Tetapi sebelum itu, ada satu hal yang ingin
Takeru tanyakan.
"Soal yang tadi, kamu
benar-benar tidak sempat memberitahu kepindahanmu?"
"Keputusannya dibuat
saat liburan musim semi."
"Tapi tetap saja...
setidaknya kamu bisa memberitahu secara pribadi, kan?"
"Aku
mempertimbangkannya, tetapi aku bingung harus memberitahunya sampai sejauh
mana."
Sebenarnya apa alasan
Reina perlu pindah sekolah? Sepengetahuan Takeru, ayahnya hanya mengusulkan
untuk tinggal bersama, bukan pindah sekolah. Takeru baru menyadari hal ini.
Alasan utama diusulkannya tinggal bersama adalah karena tingkah Takeru yang
semakin kacau. Tapi apa alasan di balik dia pindah sekolah?
Dari percakapan tadi,
sepertinya Reina juga memiliki banyak teman di sekolah lamanya. Tapi kenapa dia
harus mereset semuanya dan memulai di lingkungan baru? Lagipula, sekolah
lamanya adalah tempat berkumpul anak-anak dari kalangan atas. Apa untungnya pindah
ke sekolah umum seperti sekolah Takeru? Kenapa keluarga Amamiya mengizinkannya?
Bahkan, kenapa Reina akhirnya tinggal bersama Takeru? Pertanyaan demi
pertanyaan terus muncul.
Namun Takeru tidak bisa
menanyakan semua itu pada Reina yang bahkan tidak menoleh ke arahnya.
Seolah-olah ditolak untuk bertanya.
"Takeru-san, ke mana
tujuan selanjutnya?"
Akhirnya Reina menoleh dan
tersenyum manis sambil sedikit memiringkan kepala. Ekspresi dan gerakannya
terlihat menggemaskan, tetapi entah kenapa hati Takeru tidak bereaksi.
"Bagaimana kalau kita
duduk dulu?"
"Baik."
Mereka tiba di taman luas
di tengah perumahan itu. Taman dibagi menjadi area bermain dengan peralatan dan
bak pasir untuk keluarga, serta area pepohonan. Takeru dan Reina duduk di
bangku taman di area pepohonan yang teduh.
"Apakah taman ini
juga tempat yang sering kamu kunjungi?"
"Tidak, aku hanya
pernah ke sini sekali."
Pada hari Reina pindah,
Takeru yang tidak ingin pulang berkeliaran dan menemukan taman itu. Saat itu,
kelopak bunga sakura masih tersisa sedikit.
“Meskipun ini bukan tempat
yang sering kudatangi, tapi aku ingin datang ke sini, maafkan aku.”
Saat memikirkan tempat
untuk pergi, taman ini juga terlintas di pikirannya. Memang benar ada alasan
bahwa tempatnya cocok untuk beristirahat sejenak di tengah perjalanan, tetapi
sekarang ia berpikir mungkin memang karena ia ingin datang bersama Reina.
“Aku tidak keberatan. Jika
itu tempat yang ingin dikunjungi Takeru-san, itu mendekati keinginanku juga.”
Reina tersenyum, memandang
pepohonan, lalu mendongak ke langit.
“Kalau datang sedikit
lebih awal, kita bisa melihat bunga sakura ya.”
“Ya, benar.”
Melihat Reina yang menatap
lembut kelopak sakura di pohon di sampingnya, seolah-olah ilusi sebuah lukisan
berkat sinar matahari yang menerobos celah pepohonan.
Senyum simpulnya, cara
duduk anggun yang elegan, jari-jemarinya yang terkena cahaya. Itu adalah Reina
yang sangat dikenal Takeru. Sosok Reina yang begitu dekat.
Takeru ingin lebih
mengenalnya. Meski Reina tertawa bahwa hari ini adalah hari dia mengenal
Takeru, Takeru justru ingin mengenal Reina. Reina yang begitu dekat tetapi
terasa begitu jauh.
Maka Takeru membuka suara
dengan tekad bulat, “Hei Reina.”
“Apa ada sesuatu yang kamu
sembunyikan tentang kepindahanmu?”
“Tidak, tidak ada.”
Reina tersenyum kecil dan menggelengkan
kepalanya. Dengan ekspresi tenang dan nada suara yang mantap, seolah sama
sekali tidak berbohong. Orang yang tidak mengenalnya pasti tidak akan berpikir
dia berbohong. Namun—
“Bohong. Mungkin Reina
tidak mudah di tebak seperti diriku, tapi aku bisa tahu.”
Karena itulah ia tahu.
Saat benar-benar tidak ada rahasia, Reina akan lebih menunjukkan emosinya.
“Meski belum terlalu lama
tinggal bersama Reina, tapi aku tahu.”
“Takeru-san...”
Sesaat Reina membelalakkan
matanya, sedikit mengangakan mulutnya, lalu perlahan menurunkan ujung
alisnya.
“Bukan berarti tidak boleh
ada rahasia, jika kamu tidak mau mengatakannya aku tidak akan memaksa. Tapi
kalau bisa diceritakan, aku ingin tahu.”
“Benar juga. Meski kupikir
sedikit sulit mengatakannya, seharusnya aku meceritakannya pada Takeru-san. Ya,
aku ingin kamu mendengarnya.”
Reina yang tadi tersenyum
dengan raut sedikit bingung, tiba-tiba tersenyum dan memasang senyum tenang
khasnya yang anggun.
“Beberapa waktu lalu, kita
membahas soal nilai diriku kan?”
“Ah, ya.”
Takeru ingat membicarakan
hal itu pada hari Reina jatuh sakit.
“Takeru-san bilang aku
berharga... Cantik. Aku sangat senang.” Reina menampakkan ekspresi hangat dan
lembut seperti ketika mengenang masa lalu yang berharga. Namun kehangatan itu
perlahan menghilang.
“Tapi aku tidak
memahaminya.”
“Apanya yang tidak kamu
pahami? Bukankah masih banyak yang lain?”
Kemampuan Reina memang
terdengar tinggi. Selain kemampuan akademik dan keterampilan memasak yang
sempat Takeru lihat sendiri, Reina juga mahir berbahasa dan sangat pandai dalam
berbagai kegiatan. Ditambah dengan kecantikan alamiah yang disempurnakan dengan
tata krama dan gerak-geriknya yang terlatih.
Menurutnya, tidak hanya
Takeru saja yang melihat nilai dalam diri Reina. Lalu mengapa Reina sendiri
tidak memandangnya demikian?
“Aku mengerti yang
Takeru-san maksud. Tapi nilai terbesar diriku adalah sebagai putri keluarga Amamiya.”
“Itu tidak—“
“Terima kasih. Tetapi...”
Memotong ucapan Takeru,
Reina tersenyum tenang lalu menggelengkan kepalanya dengan ekspresi
menyayangkan diri sendiri atau menyedihkan.
“Aku sangat menghargai
perasaan Takeru-san. Tetapi, ini adalah soal penilaian objektif dari semua
orang di luar sana. Mereka hanya melihat satu nilai dalam diriku.”
Tidak bisa mengelak.
Takeru juga begitu. Bagi orang-orang yang mengenal keluarga Iriya, yang penting
adalah bukanlah “Iriya Takeru”, tetapi “putra keluarga Iriya”. Terutama setelah
ditunjuk sebagai pewaris, sikap orang-orang di sekitarnya berubah
memperlakukannya sebagai “pewaris Iriya”.
“Keluarga Amamiya sudah
turun-temurun sejak lama, jadi mereka punya banyak koneksi. Mereka punya ikatan
kuat dengan orang-orang berpengaruh di bidang politik dan bisnis, karena itu
banyak yang ingin menjalin koneksi dengan mereka untuk memperkuat pengaruh.”
Meski sudah tahu keluarga Amamiya
adalah keluarga tua, Takeru hanya menganggapnya sebagai keluarga baik-baik
saja.
“Aku adalah putri dari
keluarga seperti itu. Karena itu, sejak kecil aku terus dihujani lamaran, baik
formal maupun informal.”
Reina tertawa hambar
dengan alis berkerut. Tapi Takeru bisa melihat ekspresinya sama sekali tidak
riang, melainkan jengkel.
“Sebenarnya aku tidak
ingin tahu, tapi orang tuaku dengan bangga memberitahuku. Padahal bagiku itu
bukan apa-apa.”
Dengan begitu, sepertinya
orang tuanya memang menganggap putri mereka sebagai bidak untuk politik
pernikahan. Takeru tidak bisa berkata apa-apa karena itu pemikiran yang sangat
kuno.
“Tapi aku cepat menerima
kenyataan ini. Karena berkat keluargaku, aku bisa tumbuh di lingkungan yang
baik. Jadi itu adalah bayarannya.”
“Hal seperti itu...”
Reina mengatakannya dengan
sedikit tertawa malu. Bukan sesuatu yang harus diterima begitu saja. Tapi
Takeru hanya bisa mengepalkan tangan erat-erat, karena jika ia berkata sesuatu,
rasanya seperti melecehkan tekad Reina.
“Tapi yang menyakitkan
adalah hubungan dengan teman sebaya juga seperti itu. Karena sekolah yang aku
hadiri adalah untuk orang-orang dengan situasi serupa, bahkan teman sekelas,
tentu saja karena kata orang tua mereka, mencoba dekat denganku yang msrupakan
putri keluarga Amamiya.”
Jadi ini alasan kenapa
Takeru merasa ada jarak saat Reina merespon teman sekolahnya tadi.
“Begitu sedikit mengobrol,
aku langsung diundang ke rumah mereka dan diperkenalkan kepada orang tua
mereka. Beberapa kali juga ada yang mencoba menjodohkanku dengan saudara
mereka. Apakah itu bisa disebut persahabatan sejati, hubungan di mana yang
mereka lihat bukan diriku, melainkan hanya apa yang ada di belakangku?”
Reina yang tadinya
menghadap ke depan, memutar kepalanya menatap Takeru dengan mata amber yang
bergetar, dan menggelengkan kepalanya. Suaranya yang jernih sedikit bergetar.
Untuk pertama kalinya,
Takeru melihat Reina seperti sedang bergantung. Rasa sakit dari kepalan
tangannya bahkan sampai terlambat disadari karena emosi yang bergejolak hebat
di dadanya.
“Itu pasti bukan
persahabatan sejati. Meskipun ada masalah keluarga, Reina harusnya dilihat
sebagai dirinya sendiri.”
“...Ya. Terima kasih
banyak. Aku benar-benar merasa tertolong dengan ucapan Takeru-san.”
Setelah berhasil
mengeluarkan setidaknya itu, Reina tersenyum dengan mata menyipit. Jelas dia
senang. Tapi Takeru juga sadar itu sama sekali tidak cukup untuk menyembuhkan
luka yang Reina derita karena kondisinya.
“Itulah alasan aku memilih
pindah sekolah. Aku berpikir jika di lingkungan di mana status keluarga saya
tidak diketahui, aku bisa dilihat sebagai diriku sendiri.”
“Begitu rupanya.”
Reina sekali lagi
menghadap ke depan dan tersenyum mengejek diri sendiri.
“Tapi kalau begitu, itu
berhasil kan? Di sekolah kita, tidak akan ada yang melihatku sebagai putri
keluarga Amamiya.”
“Ya, benar. Aku senang.
Mana-san dan semuanya benar-benar baik padaku. Aku merasa pindah sekolah adalah
keputusan yang tepat.”
“Kalau begitu, syukurlah.”
Melihat wajah Reina yang
tersenyum lega, Takeru merasa lega dan bersandar di bangku taman. Melihat
Takeru yang seperti itu, Reina tersenyum lembut, “Aku minta maaf sudah membuat
Anda khawatir.”
“Bukan masalah khawatir,
aku hanya ingin lebih mengenal Reina saja.”
“Ya, cara bicara itu
memang Takeru-san banget.”
“Aku memang benar-benar
berpikir begitu.”
Reina tertawa kecil dan
tatapannya yang seperti menggelitik membuat Takeru mengalihkan
pandangannya.
“Aku benar-benar merasa
pindah ke sini adalah keputusan yang tepat.”
Terdengar suara tenang.
Sepertinya bukan ucapan untuk Takeru, melainkan ungkapan Reina untuk dirinya
sendiri.
Dilirik dari samping,
Reina mengambil sehelai daun hijau yang jatuh di bangku dan mendongak ke pohon.
“Aku harus berterima kasih
kepada ayah Takeru-san ya.”
“Memangnya ayah berbuat
apa?”
“Kalau beliau tidak
mengusulkan untuk tinggal bersama, aku tidak bisa pindah sekolah.
Juga...artinya kehidupanku saat ini tidak akan ada.”
Reina meletakkan daun itu
dengan lembut di atas bangku, merilekskan ekspresinya, dengan sedikit rona
merah di pipinya, dan sedikit memiringkan kepalanya seperti membuat isyarat
malu.
“Ah, ya benar.”
Jika begitu, Takeru juga
harus berterima kasih pada ayahnya. Hari-harinya bersama Reina adalah berkat
ayahnya. Meski tidak mudah bagi Takeru untuk mengekspresikan rasa terima kasih
dengan tulus, rasa terima kasihnya jauh lebih besar.
Namun ketika Takeru
membayangkan wajah ayahnya, ia merasa sedikit jengkel, jadi ia sedikit
mengalihkan topik pembicaraan.
“Ngomong-ngomong, kenapa
Reina memilih tinggal bersama denganku?”
“Karena ayah Takeru-san
yang mengusulkannya.”
Seperti yang baru saja dan
sebelumnya dikatakan. Tapi yang ingin Takeru ketahui adalah mengapa Reina
menerima usulan itu. Ia hanya bertanya dengan ringan, mengira alasan utamanya
adalah karena Reina ingin pindah sekolah.
Namun, Reina sekali lagi
menjawab dengan ekspresi tenang, suara jernih, tanpa jeda. Jawabannya itu
mendinginkan kepala dan hati Takeru.
Kalau dipikirkan, ini agak
aneh. Keluarga Reina menjalin ikatan dengan pihak lain untuk memperkuat diri.
Kedua orang tuanya juga sepertinya menuntut peran itu dari Reina. Tapi apakah
mereka akan membiarkan putri dari keluarga bangsawan pindah ke sekolah biasa?
Hal tinggal bersama juga
aneh. Meskipun berencana menjodohkan Reina dengan Takeru, sampai mereka
benar-benar menikah, seharusnya lebih masuk akal jika Reina tinggal di kediaman
Amamiya sesuai tujuan keluarganya. Lalu mengapa keluarga Amamiya menyetujui usulan
ayah Takeru untuk Reina tinggal bersama di tempat tinggal Takeru, yang sedang
tinggal sendiri? Jika Reina pindah ke rumah keluarga Iriya mungkin masih masuk
akal, tapi tidak ada alasan untuk tinggal bersama di apartemen Takeru yang
tinggal sendiri.
“Ya, benar juga.”
Sembari melakukan
peregangan besar agar tidak bertatapan dengan Reina, Takeru meresponnya, dan
Reina hanya tertawa kecil “Ya.”
“Tapi bukankah keputusan
tinggal bersama agak mendadak? Pasti merepotkan ya?”
“Tidak juga. Baik urusan
administrasi maupun barang-barang, hampir semuanya diurus oleh orang-orang dari
keluargaku.”
Reina mencucu bibirnya
dengan cara yang imut. Tiba-tiba Takeru teringat Reina pernah bilang ingin
mengurus kepindahan sendiri.
“Kalau begitu enak
dong?”
“Iya sih. Tapi aku juga
ingin mengalami sendiri proses memulai kehidupan baru.”
“Nanti juga bisa kan?
Kamar itu bisa kamu dekorasi sesukamu.”
“Benar juga. Aku belum
memikirkannya, tapi sepertinya menyenangkan.”
Reina menangkupkan telapak
tangannya di dada dengan ekspresi seperti kata-katanya.
“Lalu, ruang tamu dan
dapurnya juga boleh kamu ubah sesukamu.”
“Benarkah, apa tidak
apa-apa?”
“Ya tentu saja. Tapi
tolong konsultasikan dulu kalau mau mengubah sesuatu.”
“Terima kasih, Takeru-san.
Aku masih belum terpikir ingin mengubah kamar seperti apa, tapi nanti akan aku
konsultasikan.”
Reina menyipitkan matanya
dan sedikit mengembangkan pipinya, “Aku jadi punya hal lain yang
ditunggu-tunggu.”
“Ah tapi untuk dapur, kamu
bisa lakukan sesukamu tanpa konsultasi dulu padaku.”
“Ah ayolah, dilarang masuk
itu hanya saat aku memasak kok.”
“Begitu ya?”
Takeru pura-pura tidak
ingat, dan Reina yang mencucu bibirnya tadi memegangi mulutnya dan tertawa
kecil.
Di taman yang hangat itu,
mereka mengobrol santai seperti itu untuk sementara waktu. Namun selama itu,
Takeru tidak menanyakan hal yang sebenarnya ingin ia tanyakan.
Jika ia memberanikan diri
mungkin Reina akan memberitahunya. Tapi Takeru tidak punya keberanian itu. Satu
dugaan yang terlintas di pikirannya adalah sesuatu yang tidak ingin ia yakini
benar adanya, sehingga ia tidak sanggup menanyakannya pada Reina.
Setelah meninggalkan
taman, Takeru mengajak Reina ke dua toko yang biasa ia kunjungi, lalu mereka
pulang sesuai rencana sebelum sore hari.
“Terima kasih untuk hari
ini. Sangat bermanfaat dan tentunya menyenangkan.”
“Aku juga senang. Terima
kasih sudah menerima permintaan maafku.”
Saat Takeru mengatakannya
pada Reina yang tersenyum lebar, ia tersipu malu.
“Ah iya, permintaan maaf
ya. Aku lupa. Sebenarnya bagiku itu bu...”
“Hm?”
Takeru memandang Reina
yang memotong ucapannya sendiri, dan entah kenapa wajahnya merona merah padam.
“Apa kamu kepanasan?”
“Ah, ya benar. Karena tadi
berjalan di luar, mungkin aku sedikit kepanasan. Aku akan kembali ke kamar dan
mengganti pakaian.”
“Oh, ya. Sampai nanti
kalau begitu.”
“Iya, sampai nanti.”
Setelah melihat Reina yang
membungkuk anggun lalu masuk ke kamarnya, Takeru juga masuk ke kamarnya dan
mengeluarkan ponsel dari sakunya.
“Baiklah.”
Takeru duduk di tepi
ranjang, menarik nafas panjang, lalu membuka kontak di ponselnya dan mencari
nomor seseorang. Ia beberapa kali hampir menekan tombol panggil namun urung,
sampai akhirnya berhasil menekan tombol panggil.
[“Ya, ada apa?”]
Meski khawatir
panggilannya tidak akan dijawab, nyatanya tanpa jeda panjang nada sambung sudah
berhenti dan terdengar suara berat rendah dari seberang.
“Maaf menelepon tiba-tiba.
Bisakah aku meminta waktu sebentar?”
[“......Baiklah.”]
Hal yang tidak bisa
ditanyakan pada Reina di taman. Ada satu orang yang paling tepat untuk ditanyai
tentang itu. Orang itu adalah ayah Takeru, Iriya Yoshiharu.
“Terima kasih. Ada yang
ingin kutanyakan.”
[“Tergantung pertanyaannya
apakah aku bisa menjawab atau tidak, tapi katakan saja.”]
“Baik. Mengenai aku dan
Reina tinggal bersama. Apa ada alasan tersembunyi di baliknya?”
[“Alasan tersembunyi?
Kenapa kau berpikir ada sesuatu seperti itu?”]
Terdengar suara tawa kecil
dari seberang telepon. Lalu nada bicaranya juga terdengar sedikit lebih ringan.
“Sederhana saja. Tidak ada
keuntungan bagi pihak sebelah.”
Hal yang dipikirkan Takeru
di taman. Bukan hanya soal kepindahan Reina, tapi juga soal tinggal bersama
yang sepertinya tidak menguntungkan bagi keluarga Amamiya. Saat mengatakan itu,
kali ini terdengar tawa jelas dari seberang.
[“Kalau kau sudah berpikir
sejauh itu, pasti kau punya dugaan tertentu kan? Apa dugaanmu?”]
“Menerima proposal yang
tidak menguntungkan artinya ada keuntungan lain, atau...kita memiliki pegangan
atas kelemahan msreka.”
[“Tenang saja. Kami tidak
memiliki pegangan atas kelemahan keluarga Amamiya. Kalau memang bisa memegang
kelemahan seperti itu, kami pasti akan melakukannya. Tapi melawan mereka itu
mengerikan.”]
Setelah membantah dugaan
terburuk Takeru, ayahnya tertawa kecil dari seberang.
“Kalau begitu, keuntungan
apa yang disiapkan...tidak. Apa alasannya membuat aku dan Reina tinggal bersama
meskipun harus menyiapkan sesuatu? Kenapa perlu melakukannya?”
[“Begini. Sebelumnya, apa
kau tidak merasa aneh soal pertunanganmu? Kenapa kau satu-satunya yang
ditunangkan, pas masih SMA lagi?”]
“Maksudnya?”
[“Apa kau masih ingat
apakah kakak-kakakmu memiliki tunangan atau tidak? Lalu kenapa hanya kau,
bahkan di usia SMA yang terbilang muda, tapi sudah ditunangkan?”]
“Itu karena...”
[“Setelah insiden itu
terjadi. Cabang keluarga lain juga mengincar kursi pewaris utama. Jadi meskipun
menjadikanmu pewaris individu, belum tentu mereka akan tenang. Tapi bagaimana
jika kau didukung oleh keluarga Amamiya?”]
Seperti dipukul kepalanya,
Takeru merasa pusing dan seperti hendak melarikan diri dari kenyataan. Jika
tidak sedang duduk di ranjang, mungkin ia akan jatuh terpuruk tak berdaya di
lantai.
“.....Jadi
maksudnya...karena aku tidak bisa diandalkan. Begitu ya?”
[“Jangan salah paham. Itu
karena kau masih SMA.”]
Takeru berhasil
mengeluarkan suaranya, namun yang didengarnya hanyalah nada datar di seberang.
“Tapi! Jika aku adalah
kakak, mereka pasti tidak akan—“
[“Percuma membicarakan
orang yang sudah tiada.”]
Terdengar ayahnya menghela
nafas berat di seberang.
[“Jadi begini. Meskipun pengumuman
resmi ke publik masih lama, pada keluarga besar sudah disampaikan bahwa kau
akan menjadi pewaris selanjutnya, dan soal pertunanganmu dengan Reina. Tentu
saja tidak ada yang keberatan.”]
Tawa ayahnya terdengar
sangat jauh.
[“Yah, meski kami harus
menerima syarat lumayan berat dari pihak Amamiya, tapi dengan begitu perusahaan
jadi stabil dan kami mendapat jalur ke keluarga Amamiya. Kalau melihat ke
depan, ini bukan keputusan buruk.”]
“Lalu apakah Reina harus
menikah denganku hanya demi itu saja?”
Jika saja Takeru memiliki
kekuatan untuk meyakinkan keluarga besarnya, Reina tidak perlu ditunangkan
dengannya.
[“....Sejak lahir di
keluarga itu, Reina memang tidak punya kebebasan dalam pernikahan. Kau tidak
perlu merasa terbebani.”]
“Ini bukan pembicaraan seperti
itu!”
Takeru memukul ranjang
dengan kepalan tangannya, namun suara ayahnya tetap tenang seperti biasa.
[“Itu hanya emosimu. Kau
harus memisahkannya dari fakta.”]
Tanpa mempedulikan Takeru
yang terdiam, terdengar lagi tawa kecil dari seberang telepon.
[“Yah, tapi setidaknya
rasa penasaranmu sedikit terjawab kan? Jadi tidak sia-sia aku memintamu tinggal
bersamanya.”]
“....Maksudnya?”
[“Alasan tinggal bersama
yang sejak awal ingin kau ketahui. Aku bilang agar kau bisa belajar dari Reina
yang brilian kan? Ya, itu alasannya.”]
“Ah...jadi memang itu
alasannya?”
Saat itu Takeru mengira
hanya sekedar nasihat. Tapi ternyata bukan begitu.
Pertunangan dan tinggal
bersama, keduanya terjadi karena Takeru tidak bisa diandalkan. Menyadari fakta
itu membuat seluruh tenaganya lenyap. Suara ayahnya bahkan tidak terdengar
lagi.
“Memalukan...”
Bahkan suara gumaman
dirinya sendiri terdengar sangat jauh.
Entah sudah berapa lama
berlalu sejak itu, Takeru tersadar ke realita oleh suara ketukan di pintu.
“....Maaf. Aku sedang
berganti baju, tunggu saja di situ.”
Biasanya ia akan
membukakan pintu, tapi kali ini Takeru hanya merespon sambil tetap duduk dan
menunduk di ranjang. Ia tidak bisa menunjukkan wajahnya saat ini, bahkan
dirinya sendiri tidak tahu ekspresi macam apa yang ditampakkannya.
“....Baiklah. Persiapan
makan malam sebentar lagi selesai, jadi silakan ke ruang makan.”
“Ya.”
Setelah berganti pakaian
dan keluar kamar, Reina telah menunggunya di sana. Sepertinya Reina sudah
berganti pakaian sejak tadi, kecuali rambutnya yang tadinya tergelung kini
terurai, penampilannya biasa seperti hari-hari lain.
“Ada apa?”
“Kamu sepertinya
kelelahan, jadi aku menjemputmu.”
“....Terima kasih.”
“Sama-sama.”
Reina tersenyum lembut,
pasti menyadari keadaan Takeru. Kepeduliannya justru terasa menyakitkan bagi
Takeru.
“Bisakah kamu luangkan
waktu setelah makan nanti?”
“Ya, baiklah.”
Takeru berjalan begitu
saja tanpa menatap Reina yang menjawab.
“Ittadakimasu”, Reina
tampak ceria. Takeru juga berusaha bersikap sama, namun mungkin gagal
melakukannya.
Tanpa ada ingatan tentang
kelezatan makanan yang seharusnya nikmat, Takeru dan Reina duduk di sofa ruang
tamu, saling berdampingan sesuai permintaan Reina.
“Aku sudah mendengar
semuanya dari ayah. Alasan kita tinggal bersama dan juga alasan pertunangan
kita.”
“Begitu rupanya.”
Sejenak Reina tampak
terluka, namun lalu menatap Takeru dengan kepedulian seolah ingin mengatakan
sesuatu.
“Maaf.”
“Eh?”
Sebelum kata-kata itu
keluar dari bibir indahnya, Takeru membungkuk dalam-dalam.
Meski minta maaf tidak
akan mengubah apa-apa, hanya itu yang bisa dilakukan Takeru.
“Karena aku tidak berguna,
makanya Reina harus bertunangan denganku dan tinggal bersamaku. Kalau saja aku
bisa diandalkan, Reina tidak perlu mengalami hal seperti ini yang akan
mempengaruhi hidupmu selamanya.”
Ayah bilang, sejak lahir
sebagai putri Amamiya, Reina sudah ditakdirkan untuk dinikahkan demi
keluarganya. Tapi setidaknya, Reina mungkin bisa ditunangkan dengan pasangan
yang lebih baik. Bukan dengan pria yang bahkan tidak diakui sebagai pewaris
keluarganya sendiri seperti dirinya. Reina juga tidak perlu repot mengurus
kehidupan sehari-harinya sampai kelelahan seperti itu.
Bahkan, Takeru berulang
kali menunjukkan keengganannya terhadap pertunangan ini di depan Reina.
Bagaimana perasaan Reina saat itu?
“Maafkan aku.”
“Takeru-san, tolong angkat
kepalamu.”
Saat Takeru menundukkan
kepalanya lebih dalam, Reina membalas dengan nada lembut.
Pasti Reina tidak akan
menyalahkan Takeru. Justru karena itu Takeru takut mengangkat wajahnya. Ia
takut akan bergantung pada kebaikan Reina, pada kelemahannya sendiri.
“Kamu tidak perlu minta
maaf. Sejak awal aku memang sudah ditakdirkan akan dinikahkan demi keluarga.”
Pada Takeru yang masih
menunduk, Reina mengatakan hal yang mirip dengan ayahnya. Secara logika memang
seperti itu mungkin benar adanya. Namun yang tidak bisa Takeru terima adalah
dari sudut pandang emosinya.
“Bolehkah aku berbicara
sebentar? Kalau bisa sambil melihat wajah Takeru-san, bisakah kamu mengabulkan
permintaanku?”
“....Ya.”
Demi Reina yang
memperhatikannya, Takeru memberanikan diri memperlihatkan wajahnya. Pasti
wajahnya terlihat menyedihkan.
Namun Reina justru menatap
Takeru dengan senyum lembut seakan kasihan. Padahal tidak ada alasan baginya
untuk berterima kasih.
“Seperti yang kubicarakan
di taman tadi, dulu aku muak karena hanya dilihat sebagai putri keluarga Amamiya.
Mungkin itulah alasan aku jadi pemalu waktu itu.”
Meski sedikit mengerutkan
alis, Reina tersenyum geli seperti mengingat sesuatu yang menyenangkan.
“Waktu itu, pertama kali
aku bertemu Takeru-san. Di sebuah pesta yang terpaksa kuhadiri, Takeru-san
menyelamatkanku yang dikelilingi orang-orang dewasa. Apa Takeru-san ingat apa
yang kamu katakan saat itu? ‘Toilet ke arah mana ya?’”
Meski bukan kalimat yang
sopan meskipun masih kanak-kanak, Reina tersenyum seolah mengingat kenangan
berharga.
“Aku langsung sadar kamu
mengkhawatirkanku. Meskipun begitu, kamu tidak benar-benar pergi ke toilet
kan?”
“Mungkin aku berencana ke
sana setelahnya?”
“Memang seperti itu
Takeru-san sejak dulu ya. Hari itu sampai akhirnya kita bersama, kamu terus di
sampingku.”
Reina tertawa kecil dan
menyipitkan matanya dengan lembut.
“Walaupun begitu, awalnya
aku masih waspada. Tapi Takeru-san terlalu tulus, sampai membuatku malu.
Setelah itu, setiap ada pesta aku selalu menempel pada Takeru-san.”
Ada sedikit kebanggaan
mengetahui dirinya dulu adalah orang yang bisa membuat Reina tersenyum seperti
saat ini. Tapi juga ada kesedihan karena telah kehilangan itu. Dan tetap saja,
merasa malu pada diri sendiri.
“Seperti Takeru-san yang
membuatku memulai belajar memasak, di banyak hal lain, Takeru-san waktu itu
membuatku bisa melihat ke depan. Meski tidak bisa mengubah keluarga tempatku
dilahirkan, aku mulai berpikir untuk memanfaatkan lingkungan yang kuterima.”
“Jadi, ‘menerimanya’ yang
kamu sebutkan di taman itu maksudnya itu?”
“Ya.”
Reina yang sekarang adalah
hasil dari bagaimana dirinya setelah bisa melihat ke depan. Selama Takeru dan
Reina tidak bertemu, selama Takeru tidak bisa melihat ke depan, inilah
kristalisasi dari hari-hari yang dijalani Reina.
“Setelah menerimanya, aku
juga menerima untuk dinikahkan demi keluarga. Tapi saat tahu calon suamiku
adalah Takeru-san, aku sangat senang. Jadi kamu sama sekali tidak perlu minta
maaf. Justru akulah yang berterima kasih.”
“Tapi Reina pasti bisa
mendapatkan pasangan yang jauh lebih baik. Tapi kenapa malah dengan orang tidak
berguna sepertiku...”
“Mungkin ada calon
pasangan dengan kondisi lebih baik. Tapi rasa senangku saat itu tulus. Aku
senang calon tunanganku adalah Takeru-san.”
Reina tersenyum lembut,
lalu sedikit mengangkat alisnya yang indah. “Lagipula, Takeru-san sama sekali
bukan orang yang tidak berguna.”
“.....Terima kasih.”
Meski perasaan bahwa
dirinya tidak berguna tidak berubah, namun kata-kata Reina yang menyampaikan
perasaan tulusnya untuk Takeru menyelinap masuk ke dalam dada Takeru.
“Aku ingin menceritakan
masalah keluargaku.”
Takeru ingin Reina
mendengar masa lalunya yang tidak ia ketahui. Ia ingin menceritakan bagaimana
keadaannya bisa jadi seperti ini, lalu meminta maaf sekali lagi.
“Baiklah, silakan
ceritakan.”
Reina tersenyum dan
mengangguk. Takeru pun membalas anggukan lalu membuka mulut, seperti
mengeluarkan kenangan yang sedari dulu terpendam di dalam dirinya.
“Aku punya tiga kakak
laki-laki. Kakak tertua 12 tahun lebih tua dariku. Kakak keduaku 9 tahun lebih
tua, dan kakak ketigaku 7 tahun lebih tua. Kakak-kakakku juga orang-orang yang
brilian, tapi kakak tertuaku jauh lebih cemerlang.”
Begitu mulai bercerita,
Takeru sendiri terkejut betapa jelasmya ingatannya mekar kembali. Kabut yang
menyelimuti ingatannya selama ini ternyata berasal dari dalam dirinya sendiri.
"Kakak tertuaku
sangat baik pada kami adik-adiknya, tanpa merendahkan kami sama sekali, dia
adalah kakak yang kami banggakan. Namun sepertinya para kakak tidak bisa
mentolerir kebaikannya itu. Kebaikan kakak dianggap sebagai kemurahan hati dari
seseorang yang kuat, atau bahkan kesombongan, seolah-olah kami para adik tidak
ada artinya bagi dirinya... Mereka menunjukkan kebencian dirinya. Tetapi kakak
tetap baik, yang malah semakin membuat para kakak tidak menyukainya.”
Tidak diragukan lagi kakak
tertua adalah sosok yang baik hati. Tapi di dalam kenangan yang baru saja aku
gali, wajah kakak tertua tampak dingin dengan cara yang aneh. Aku sadar bahwa
aku mengoreksi kenanganku secara tidak sadar, tapi kata-kata itu terhenti di
ujung lidahku.
Aku melirik Reina sekilas,
tapi dia memandang ke arahku dengan senyum tenang tanpa berkata apa-apa. Aku
merasa seolah dia berkata bahwa aku tidak perlu terburu-buru.
"Waktu kecil, aku
tidak menyadari apa yang dikatakan para kakak, dan menganggap kakak tertua sebagai
sosok yang baik hati. Dengan polosnya aku membayangkan masa depan, bermimpi
bisa bersama-sama para kakak membangun perusahaan ayah, hanya memandang ke
depan."
Takeru yang bisa memberi
pengaruh baik pada Reina pasti Takeru dari masa itu. Saat itu dia masih murni
dan tulus.
"Tapi suatu hari
kakak tertua berkata sesuatu. Aku masih ingat setiap kata-katanya. 'Takeru.
Perusahaan bisa diserahkan pada kakak, kamu bebas memilih jalanmu sendiri. Ayah
juga bilang begitu.' Seolah hal yang aku percayai selama ini runtuh. Ternyata
aku tidak dibutuhkan. Aku tidak bisa bangkit dari itu. Akhirnya aku memilih
untuk drop out."
Sekarang aku mengerti.
Kakak mengatakan itu dengan maksud baik kepadaku yang sejak kecil hanya
berpikir untuk membantu bisnis keluarga. Tapi aku waktu itu tidak menginginkan
kebaikannya itu. Yang kuinginkan adalah dukungannya. Dorongan darinya untuk
berjuang bersama-sama. Itulah yang aku harapkan.
"Sejak saat itu aku
sepertinya hanya terus menunduk dalam hidup ini. Ayah dan ibu tentu saja
menganggap kakak sebagai penerus, jadi mereka memanjakan aku. Mereka bilang ini
kesempatan bagus, jadi begitu masuk SMA aku pindah dari rumah, atau lebih tepatnya
melarikan diri. Dan beginilah keadaanku sekarang."
Benar-benar menyedihkan.
Reina bilang dia bisa memandang ke depan berkat aku. Tapi justru aku sendiri
terus menunduk, pasti bukan pemandangan yang ingin dia lihat.
"Takeru-san, tolong
angkat wajahmu."
Entah sejak kapan aku
menundukkan wajah tanpa sadar sampai dia mengatakan itu.
"Terima kasih sudah
mau bercerita."
Perlahan aku mengangkat
wajah dan senyum lembut Reina menyambutku.
"Takeru-san hanya
sedang beristirahat sejenak saat ini."
"Istirahat?"
"Ya. Waktu pertama
bertemu lagi, aku memang berpikir Takeru-san telah berubah. Tapi itu salah.
Kemampuanmu untuk mengayomi orang lain, sikap tulusmu, esensimu masih sama
seperti dulu. Takeru-san adalah orang yang luar biasa. Aku benar-benar
merasakan hal itu setelah tinggal bersama di rumah ini."
Reina yang mengatakan
kalau aku tulus, kini menyampaikan kata-kata yang tulus kepadaku. Dengan lembut
memicingkan matanya sedikit dan melengkungkan bibir indahnya dalam senyuman.
"Dalam cerita Takeru-san
tadi, kamu tidak menyalahkan siapa pun, hanya menyalahkan diri sendiri. Itu
mencerminkan kepribadian Takeru-san, sekaligus menunjukkan bahwa Takeru-san
ingin mengubah keadaan sekarang, bukan begitu?"
"...Ah, begitu
rupanya."
Seperti kepingan teka-teki
yang tersusun, seperti garis putus yang tersambung, kata-kata Reina yang
disampaikan dengan senyuman memberiku bentuk pada perasaan yang selama ini
tidak bisa aku pahami dengan jelas.
"Takeru-san?"
"Boleh aku lanjutkan
cerita tadi?"
"Tentu saja."
Setelah mengucapkan terima
kasih pada Reina yang mengangguk dengan lembut, Takeru sekali lagi menggali
ingatannya.
"Meski aku sudah
seperti ini, sepertinya para kakak masih terus menentang kakak tertua. Akhirnya
mereka memilih memberontak, atau lebih tepatnya mencoba kudeta tetapi gagal.
Kakak yang dikhianati adik kesayangannya itu jadi tidak percaya lagi pada orang
lain dan pergi dari rumah. Semua kekacauan itu kemudian sampai padaku."
Berkali-kali aku berpikir
untuk lari. Tapi aku tidak bisa. Waktu itu aku tidak punya kepercayaan diri
untuk hidup tanpa mengandalkan kekuatan keluarga ini.
Terlebih lagi, jika aku
meninggalkan kekacauan ini, yang menanti adalah perseteruan untuk menjadi
penerus di antara cabang keluarga. Kalau sampai terjadi, reputasi perusahaan
akan hancur. Itu kata ayah, jadi aku terpaksa memilih jalan ini.
“Rencana hidupku yang
santai benar-benar hancur, dan aku berpikir para kakak hanya membuatku repot
saja. Tapi anehnya, aku tidak membenci mereka, dan aku juga tidak merasa
marah.”
Aku mengira karena kami
bersaudara kandung, tapi ternyata bukan itu alasannya.
“Aku akhirnya mengerti
alasannya. Aku merasa kecewa. Kecewa karena tidak bisa merasakan amarah kepada
kakak seperti para kakak lainnya. Aku hanya syok karena diperlakukan seperti
orang yang tidak berarti, tapi tidak pernah terpikir untuk melawan. Yah,
walaupun tetap saja menurutku cara para kakak itu salah.”
Aku tertawa getir tanpa
sadar. Aku masih tidak bisa membenci, tidak hanya pada para kakak yang
bermasalah itu, tapi juga pada diriku sendiri yang terus membara. Seharusnya
ini bukan hal yang bisa ditertawakan, tapi entah kenapa aku merasa lega.
Padahal awalnya aku
berniat minta maaf, tapi yang ada di hatiku hanyalah rasa terima kasih.
“Terima kasih, Reina. Aku
bisa menyadarinya berkat Reina.”
“Tidak masalah. Walaupun
sebenarnya...”
Reina menggelengkan
kepalanya pelan sambil tersenyum lembut.
“Yang kulakukan hanyalah
mengembalikan sedikit dari apa yang kudapat dari Takeru-san dulu.”
“Reina masih bilang itu
berkatku?”
“Tidak. Aku hanya berada
di sisimu.”
Reina tertawa kecil dengan
riang, dan aku pun ikut tertawa, “Yah sudahlah.”
“Tapi ungkapan terima
kasih itu sendiri Reina yang mengajariku. Terima kasih, Reina.”
“Ya, sama-sama,
Takeru-san.”
Aku hanya beristirahat
sebentar, itulah yang Reina katakan. Tapi sebenarnya sudah bertahun-tahun
lamanya.
Sejak saat itu aku
menambah usia dan pengetahuan. Mungkin aku tak bisa lagi menjadi seperti Takeru
yang dikenal Reina. Tapi—
“Aku tidak akan menunduk
lagi.”
Meskipun aku memiliki
kelebihan seperti yang Reina katakan, tapi Takeru yang berhenti selama beberapa
tahun pasti banyak kekurangannya.
“Aku akan berusaha menjadi
diriku yang baru... tidak, aku akan menunjukkan diriku yang baru pada Reina.”
“Ya. Meskipun kamu
menyuruhku tidak melihat, aku akan tetap melihatnya.”
Reina tertawa kecil sambil
sedikit memiringkan kepalanya. Biasanya aku akan mengagumi gerak tubuhnya yang
anggun, tapi kali ini terlihat sangat menggemaskan hingga membuat jantungku
berdebar. Untuk menyembunyikannya, aku mengangkat bahu dan tertawa ringan.
“Kalau kamu terus
melihatku, nanti kamu akan melihat sisi burukku juga, lho.”
“Tidak ada sisi buruk pada
Takeru-san.”
Tentu saja ada, dan pasti
akan terjadi perdebatan lagi jika aku membantahnya.
Selain itu, aku ingin
sedikit bersikap keren di depan Reina yang berkata begitu.
“Ada apa?”
Melihatku yang tertawa
sendiri karena terkejut masih memiliki sisi seperti itu, Reina tersenyum lembut
dan memiringkan kepalanya.
“Ah, tidak ada apa-apa.”
“Kalau Takeru-san tertawa
seperti itu, pasti bukan ‘tidak ada apa-apa’.”
Reina tersenyum kecil dan
sedikit mendekatkan wajahnya padaku.
(Eh, sejak kapan jarak
kita sedekat ini?)
Sewaktu mulai bicara tadi,
jaraknya sama seperti biasa. Tapi sekarang, jika sedikit menggerakkan tubuh,
bahu kami mungkin akan bersentuhan. Aku tidak menyadarinya selama ini, tapi
begitu sadar, wangi Reina terasa menggelitik hidungku pada jarak sedekat ini.
“Takeru-san?”
“Ti-Tidak, tidak
apa-apa...”
“’Tidak apa-apa’ lagi.”
Reina tertawa kecil sambil
menutup mulutnya mendengar kata-kata yang keluar dari kebiasaanku.
Tapi dia tidak memaksaku
menjelaskan lebih jauh. Dia pasti tahu usahaku menyembunyikan sesuatu bukanlah
hal buruk.
“Tapi tidak adil kalau
hanya aku yang terbuka dengan perasaanku.”
“Aku juga tidak sepenuhnya
terbuka padamu.”
“Memang sih...”
Meskipun memandangi wajah
Reina yang tersenyum sambil mengerutkan alis, aku hanya bisa menangkap bahwa
dia terlihat senang. Itu sudah seharusnya sih. Tapi—
“Takeru-san?”
Reina mengedipkan matanya
yang berhiaskan bulu mata panjang. Dari jarak sedekat ini, aku tak dapat
menahan diri untuk tidak terpesona oleh sorot matanya yang sewarna amber,
seolah bisa menghisapku masuk. Ketika aku terus menatapnya lekat, Reina yang
awalnya tersenyum kini mengalihkan pandangannya dengan wajah merona merah.
“Kamu tersipu.”
“Te-Tentu saja. Kalau
diperhatikan sedekat ini, rasanya malu.”
Reina sedikit mengangkat
alisnya yang indah, menggetarkan sedikit matanya yang sewarna amber. Dari
ekspresinya dan bibirnya yang sedikit tertarik, terlihat jelas rasa malunya
bukan karena marah.
“Ngomong-ngomong, kenapa
kita jadi sedekat ini?”
“...Kira-kira kenapa ya?”
Reina yang wajahnya merona
itu memiringkan kepalanya dengan bingung.
Kalau melihat posisi kami,
semuanya jelas. Reina yang awalnya berada di sisi lain sofa, sekarang ada di
sisiku. Sementara aku tidak bergeser sedikitpun, berarti dialah yang bergeser
mendekat, meskipun sepertinya dia tidak sadar.
“Terima kasih.”
“Untuk apa?”
Reina pasti mendekat tanpa
sadar karena aku terlihat menyedihkan dan ingin menghilang saja tadi. Jadi,
terima kasih. Aku mengucapkannya sekali lagi dalam hati.
“Tidak apa-apa.”
“’Tidak apa-apa’ lagi
ya.”
“Ya.”
Ketika saling bertatapan
sambil tersenyum kecil, rona merah kembali muncul di pipi Reina yang masih
terasa hangat.
“Kamu tersipu lagi.”
“Mou.” Reina membuang
muka. “Aku kira aku sudah terbiasa diliatin.”
Mengikuti Reina, aku pun
bersandar di sofa.
“Aku memang terbiasa, tapi
tidak sedekat dan sedetail ini, apalagi kalau yang ngeliatin Takeru-san.”
Aku sering melihat
teman-teman sekelas Reina seperti Mana dan lainnya menatap wajahnya lekat
sambil berkomentar “Imutnya,” “Perawatan apa yang kamu lakukan?” “Tidak adil,”
dan sebagainya. Tapi tentu saja rasanya lain kalau yang menatap lekat adalah
aku, seorang pria.
(Dia juga pernah
melarangku melihat ketika dia memasak, kan.)
Ekspresi Reina yang merona
dengan bibir mengerucut sama seperti saat itu dan saat ini. Sosoknya yang
biasanya terlihat dewasa jadi tampak imut dan seumuran denganku, sangat
menggemaskan.
“Mulai sekarang aku akan
lebih sering ngeliatin kamu, jadi bersiaplah.”
Aku ingin lebih banyak
melihat Reina yang cantik sekaligus menggemaskan itu.
Bukan itu saja. Dia suka
jeruk. Tidak suka iklan yang membocorkan isi misteri dalam novel. Ingin
mengurus urusannya sendiri. Merasa malu jika dilihat dari dekat. Juga tentang
keluarganya yang diceritakan di taman. Aku ingin lebih mengetahui hal-hal yang Reina
sukai dan tidak sukai, masa lalunya, kini, dan masa depannya.
“Eh?”
Itulah maksudku, tapi
sepertinya Reina salah tangkap. Matanya terbelalak dan wajahnya makin memerah.
“Bukan, maksudku bukan melihat dari dekat begitu... Eh, kita masih berdekatan
ya.”
Aku panik dan berusaha
menegakkan tubuh untuk meluruskan kesalahpahaman, tapi tanganku yang menyentuh
sofa terasa hangat dan lembut. Sesuatu yang hangat pelan-pelan diletakkan di
atas tangan kiriku.
“Aku memang bilang malu kalau
diliatin dari dekat, tapi aku tidak bilang untuk menjauh.”
“Be-Benar juga.”
Aku hanya khawatir terjadi
kesalahpahaman, tapi sebenarnya aku juga tidak ingin menjauh darinya. Jadi aku
mengangguk dan kembali duduk nyaman dengan tangan kami masih bersentuhan.
Meski sadar tangan kami
bertumpuk, aku tidak menyinggungnya.
“Ngomong-ngomong, maksudku
‘ngeliat’ itu ingin lebih mengenalmu.”
“Ingin lebih mengenalku?”
“Ya. Seperti yang kamu
katakan tadi, kamu tidak suka iklan yang membocorkan jalan cerita novel
misteri, atau kau lebih suka mengurus urusanmu sendiri meski repot. Hal-hal
seperti itu.”
“Kalau diingatkan,
ternyata tidak gampang menyebutkannya ya.”
“Aku tidak memintamu mengatakannya
sekarang. Aku hanya ingin mencarinya sendiri dalam kehidupan sehari-hari
nanti.”
Mendengar itu, Reina
mengerutkan alis sejenak lalu tersenyum kecil.
“Sepertinya nanti
Takeru-san akan lebih mengenalku daripada aku mengenal diriku sendiri.”
“Mungkin saja ya.”
Terkadang aku merasa
mungkin Reina lebih mengenalku daripada aku mengenal diriku sendiri, karena aku
tidak terlalu pandai menilai diri sendiri.
"Tapi kalau memang
begitu, aku akan senang. Karena aku ingin Takeru-san yang menemukan nilai-nilai
dalam diriku."
"Serahkan saja
padaku."
"Aku
mengandalkanmu."
Sambil tersenyum lembut
dan sedikit memiringkan kepalanya, Reina yang menggemaskan itu dibalas Takeru
dengan anggukan berlebihan.
Tanpa sadar, sambil
mengobrol tanpa arah, tangan kami sudah saling berpegangan. Reina sepertinya
menyadarinya di tengah jalan dan merona, tapi Takeru tidak mengatakannya dan
berpura-pura tidak sadar. Entah apakah aktingnya berhasil atau tidak.
Jarum jam terus berputar
satu, dua, hampir tiga putaran sejak pembicaraan dimulai, baru kusadari respon
Reina di sampingku jadi lambat. Ketika aku melihatnya, dia bersandar di sofa
dengan mata terpejam. Dada naik turunnya teratur, dan di ruangan sunyi ini aku
dapat mendengar dengkuran halusnya.
Dia berjalan cukup jauh
hari ini, juga menyiapkan sarapan dan makan malam. Ditambah bertemu teman lama
dan mengkhawatirkanku, pasti hari yang berat untuknya.
(Mungkin akan kubangunkan
sekitar 5 menit lagi)
Memang besok libur, tapi
kalau ingin beristirahat sebaiknya tidur di tempat tidur lebih baik.
Aku memutuskan menunggu 5
menit untuk memberinya kesempatan bangun sendiri kalau mau, dan juga karena
keinginanku sendiri untuk menatapnya lebih lama. Dia begitu cantik seperti
putri tidur, sampai aku merasa malu memikirkannya begitu.
Tangan kami masih berpegangan
meski tidak terlalu erat, tapi aku tidak berniat melepaskannya. Senang rasanya
Reina masih menggenggamku meski tertidur. Ini mungkin kebetulan, tapi aku tidak
bisa menghentikan pemikiran seperti itu.
"Reina."
Memanggil namanya, aku
memikirkannya sekali lagi.
Aku jatuh cinta pada
Reina.
Mungkin perasaan ini sudah
ada sejak lama. Tapi hari ini, aku benar-benar menyadarinya.
Aku ingin dia melihat
diriku yang sekarang dan nanti. Dan aku juga ingin terus melihat Reina ke
depannya.
"Aku akan
membuktikannya."
Nilai-nilaiku yang Reina
akui. Dan juga nilai-nilai Reina.
Setelah membuat janji itu
dalam hati, aku menyentuh pundak Reina yang mungil dengan lembut.
◇ ◇ ◇
"Terima kasih sudah
meluangkan waktu lagi seperti kemarin."
Keesokan harinya, Takeru
mengunjungi rumah orang tuanya sejak pagi.
"Tak masalah. Lalu,
ada keperluan apa?"
Setelah dipersilakan,
Takeru berhadapan dengan ayahnya yang duduk di balik meja di ruang kerja. Meski
Takeru sudah lebih tinggi, tapi entah kenapa dia merasa seperti dipandang
rendah oleh ayahnya yang duduk.
Tapi dia tidak boleh
gentar lagi. Dia sudah memutuskan untuk tidak menunduk lagi. "Langsung
saja. Aku ingin membatalkan pertunangan dengan Reina."
"...Apa katamu?"
"Aku ingin
membatalkan pertunangan dengan Reina."
“Kukira kau sudah kembali
dengan wajah lebih waras, ternyata hanya omong kosong lagi. Jangan terlalu
mengecewakanku.”
Ayahnya mengernyitkan alis
dan berkata dengan nada jengkel, tapi Takeru tidak gentar dan melanjutkan
bicara.
“Aku tidak ingin
mengecewakanmu.”
“Apa maksudmu?”
“Kemarin ayah bilang lewat
telepon kan? Saat menawarkan proposal yang tidak menguntungkan pihak lain, kita
harus menawarkan keuntungan lain atau mengancam.”
“Maksudmu kau ingin
mengancamku?”
“Akan lebih mudah kalau
mengancam sih.”
Bukan berarti dia tidak
punya bahan untuk mengancam. Jika Takeru mengatakan akan melepas statusnya
sebagai penerus, kericuhan keluarga akan terulang lagi dan perusahaan pasti
akan kacau. Meski kekayaan pribadinya masih tersisa, semua yang telah dibangun ayahnya
selama ini akan runtuh seketika.
Tentu saja, jika
memikirkan dampak buruk bagi para karyawan, Takeru tidak berniat menarik kartu
itu. Lagipula caranya itu tidak akan mengabulkan keinginan Takeru.
“Lalu maksudmu, kamu ingin
menawarkan keuntungan lain?”
“Ya.”
“Keuntungan apa?”
“Diriku sendiri.”
“Apa?”
Ayahnya terbengong-bengong
dengan mulut menganga melihat Takeru yang bicara sepenuh keyakinan. Berbeda
dari ekspresi jengkelnya tadi, kali ini wajahnya seperti orang bodoh yang baru
menyadari sesuatu, memperlihatkan sisi kemanusiaannya.
“Jelaskan apa maksudmu itu.”
“Baiklah.”
Takeru mengangguk
bersungguh-sungguh pada ayahnya yang kembali memasang tampang serius seperti
biasa.
“Kemarin ayah bilang tidak
akan bisa meyakinkan keluarga hanya dengan menunjuk aku sebagai penerus. Dengan
kata lain, jika aku bisa menunjukkan kemampuanku, pertunangan dengan Reina
tidak diperlukan.”
“Benar, aku memang pernah
mengatakannya. Tapi kenyataannya, pembicaraan pertunangan itu sudah berjalan,
jadi anggapan itu tidak berlaku lagi. Seharusnya kau mengerti hal sesederhana
itu.”
“Ya, aku mengerti.
Makanya, ini adalah proposalku.”
“Apa?”
Ayahnya mengerutkan kening
dengan ekspresi curiga, tapi Takeru menyampaikan pemikirannya.
“Ayah membuatku tinggal
bersama Reina untuk mendorong perkembanganku. Itu artinya perkembanganku
dianggap berharga.”
“...Lanjutkan.”
“Entah sampai level mana
ekspektasi ayah, tapi jika aku bisa menunjukkan perkembangan yang jauh
melampaui itu, menciptakan nilai yang melebihi jalur dengan keluarga Amamiya,
bukankah itu bisa menjadi alasan untuk membatalkan pertunangan dengan Reina?”
Takeru masih belum
mengenal dunia nyata. Dia khawatir proposalnya hanya tinggal angan-angan
belaka. Tapi dia harus mengatakannya.
“Maksudmu agar aku
menginvestasikan diri padamu?”
“Bentuknya hampir seperti
itu. Tapi tolong lihat hasilnya dulu sampai tingkat tertentu sebelum
memutuskan. Jika ayah menilai aku tidak mampu memenuhi ekspektasi, anggap saja
proposal ini tidak pernah ada.”
“Kita bicara soal
membatalkan pertunangan dengan Amamiya. Meski aku harus meminta maaf yang
berarti kerugian besar, tapi kau bilang kau bisa menciptakan nilai yang lebih
besar daripada itu?”
“Targetku bahkan lebih
tinggi lagi. Aku ingin menciptakan nilai yang setara atau bahkan melebihi semua
keuntungan yang diperoleh keluarga Amamiya dari pertunangan ini.”
Dia sudah tahu akan
dianggap omong kosong, tapi dia tetap mengharapkan lebih banyak.
“Apa kau menyadari kau
sedang mengatakan hal yang sangat tidak masuk akal?”
“Tujuan akhirku adalah
membatalkan pertunangan dengan Reina dan memastikan dia tidak dijodohkan dengan
orang lain, agar bisa bebas menentukan pilihannya sendiri. Jadi aku harus bisa
melakukan setidaknya hal itu.”
“Apa?”
“Bayangkan kita
benar-benar membeli kebebasan hidup Reina dengan semua yang kita tawarkan dalam
pertunangan ini. Kita membebaskannya sebagai ganti menikahkannya.”
Ini pemikiran yang
terbersit setelah diskusi kemarin. Jika ingin membuktikan nilai Reina,
jawabannya sederhana. Lepaskan dia dari keluarga itu. Ubah statusnya menjadi
bukan lagi putri keluarga terpandang, tapi hanya Reina saja.
“...Pemikiran yang gila,
tapi aku menangkap logikanya.”
“Terima kasih.”
“Tapi apa untungnya
bagimu? Bukankah kau sendiri tidak membenci Reina?”
“Ya, aku menyukainya
sebagai seorang wanita.”
Aku tidak pernah
membayangkan akan mengatakannya pada ayahku sendiri, tapi entah kenapa aku bisa
mengatakannya dengan tenang.
Ayahku tampak terkejut
sesaat, tapi segera mengenakan tampang serius lagi.
“Kalau begitu kenapa? Jika
tidak dirusak, Reina akan menjadi istrimu.”
“Itu hanya keputusan
keluarga bukan?”
Untuk membuktikan nilai
Reina. Dan untuk mengabulkan keinginanku sendiri, keputusan itu tidak bisa
dibiarkan.
“Aku ingin Reina
memilihku. Bukan menikah dengan calon tunangan yang telah ditentukan keluarga,
tetapi aku ingin Reina yang telah menjadi bebas memilihku.”
Setelah terlepas dari
kewajibannya sebagai putri keluarga Amamiya dan mengakui nilai dirinya sendiri,
Reina pasti bisa pergi ke mana pun dia mau. Tapi meskipun begitu, aku ingin dia
tetap memilih untuk berada di sisiku.
“...Putraku sepertinya
lebih bodoh dari yang aku kira.”
Sambil menghela nafas
panjang, ayahku menempelkan tangan ke dahi dan bergumam dengan nada suara yang
tampak menertawakanku. Meskipun nada dan sikapnya seperti mengejek, sedikit
senyum terlihat di sudut bibirnya.
“Yah, tidak masalah.
Cobalah.”
Menghembuskan nafas
panjang, ayahku mengangkat bahunya.
“Jadi Ayah menyetujuinya?”
“Jangan salah paham. Aku
memberimu kebebasan untuk mencobanya, tapi jika gagal, aku tidak akan
membatalkan pertunangan. Ini hampir tidak mungkin, tapi jika walaupun gagal
sedikit membuat Takeru berkembang, aku tidak keberatan. Dengan kata lain, tidak
ada kerugian bagiku bagaimanapun hasilnya.”
“Terima kasih
banyak.”
“Terlalu cepat mengucapkan
terima kasih.”
Aku sudah siap diusir,
jadi ini sudah kemajuan yang cukup.
Lagipula, ini pertama
kalinya aku melihat ayahku tersenyum geli. Ini hanya dugaanku, tapi sepertinya
dia memberiku semacam dorongan untuk berusaha.
“Jadi, hanya itu
pembicaraannya?”
“Ya.”
Setelah aku mengangguk,
ayahku bersandar ke sandaran kursi dan menghembuskan nafas, “Begitu.” “Karena
kau sudah pulang, makanlah siang di sini.”
“Maaf, aku sudah bilang
pada Reina akan pulang sebelum siang, jadi hari ini aku akan pulang.”
“Kau ini...”
Ayahku tampak terkejut dan
membuka mulutnya, tapi segera kembali seperti semula dan tertawa kecil.
“Baiklah. Jangan terlalu
lama membuatnya menunggu.”
“Baik. Terima kasih
banyak.”
“Lain kali makan siang di
sini lagi.”
Setelah aku membungkukkan
badan, kudengar suara kecil ayahku, “Ya” dan dia berbalik di kursinya
memunggungiku, melambai seperti mengusirku.
“Selamat datang kembali,
Takeru-san.”
“Aku pulang, Reina.”
Meski ada tujuan untuk
berbicara dengan ayah, kurasa aku cukup tegang ketika pulang ke rumah setelah
sekian lama.
Disambut dengan senyuman
lembut Reina, aku merasa lega dan menjadi rileks dalam arti yang baik.
“Sepertinya kamu bisa
mengobrol dengan baik.”
“Ya.”
Aku hanya bilang pada
Reina “Aku akan bicara dengan ayah”, tapi dia mengantarku dengan lembut,
“Semoga berhasil.”
“Apakah tidak masalah jika
waktu makan siangnya sama seperti biasa?”
“Ya, terima kasih.”
Setelah percakapan seperti
biasa, aku tetap menatapnya, dan pipi Reina merona merah muda.
“Bukankah kamu bilang
tidak akan menatap dari dekat kemarin?”
Reina berkata dengan nada
keheranan, tetapi wajahnya tetap lembut.
“Tapi sekarang tidak
sedekat kemarin, kan?”
“Te-tentu saja, karena
kemarin terlalu dekat.”
Saat membahas tentang tadi
malam ketika kami tidak saling menyentuh sejak pagi, Reina menyipitkan matanya
dan mundur selangkah. Bahkan gerak-geriknya tampak begitu cantik.
“Sudah. Apa ada yang
terjadi?”
“Tidak ada.”
“Begitu ya?”
Reina tertawa kecil dan
menutupi mulutnya, lalu memanggil namaku dengan lembut, “Takeru-san.”
“Aku akan memanggilmu saat
makanan sudah siap.”
“Ya... Tidak.”
Setelah mengangguk, aku
menggeleng, membuat Reina memiringkan kepalanya dengan bingung.
“Karena ada kesempatan,
izinkan aku melihatmu memasak.”
“...Mou.”
Rona di pipi Reina semakin
pekat, dia mengalihkan pandangannya sebentar lalu berkata dengan manis sambil
mengerutkan bibirnya, “Hari ini saja ya,” lalu berjalan ke dapur.
Setelah bersiap-siap, aku
menuju dapur dan melihat Reina dengan celemek berdiri di depan panci.
“Hanya untuk hari ini saja
lho.”
Dari belakang, Reina
menguncir rambutnya untuk memasak, sehingga telinganya terlihat jelas.
Telinganya yang memerah.
“Ya.”
Aku mengangguk dan duduk,
lalu terdengar tawa kecil.
“Takeru-san.”
“Hm?”
“Karena aku menahan rasa
malu untuk menunjukkannya padamu, tunjukkan banyak sisi keren darimu untukku.”
“Ya.”
Aku mengangguk besar pada
Reina yang berbalik dan tersenyum hangat padaku.
“Seperti yang kukatakan
kemarin, aku akan berusaha mulai sekarang.”
Aku merasa jika itu demi
senyuman ini, Takeru pasti bisa melakukan apa pun.
Copyright Archive Novel All Right Reserved ©
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.