Chapter 2
Pagi itu, seperti biasa
dia membuka pintu kamarnya, dan jantungnya hampir berhenti berdetak. Mungkin
sedikit berlebihan untuk mengatakannya seperti itu, tetapi itulah gambaran
perasaan Takeru saat itu, dia terlalu terkejut sampai tidak bisa bersuara.
(Ah iya, dia ada di sini
ya)
Reina yang mengenakan
seragam sepertinya hendak mengetuk pintu. Dengan posisi tangan diangkat
menghadap ke arahnya, dia membelalakkan matanya dalam posisi itu.
“...Selamat pagi,
Takeru-san.”
Namun seperti yang
diharapkan dari seorang ojou-sama, Reina tidak membeku lama. Entah kapan, dia
telah memperbaiki posisinya dan wajah anggunnya yang rapi menampakkan senyum
lembutnya.
“...Pagi.”
Mata Reina sedikit
menyipit. Meskipun garis wajahnya yang tegas, pipinya yang sedikit mengendur
ketika tersenyum memberikan kesan kelembutan.
Hanya dengan membalas
salamnya, dia dibuat silau dengan senyum seperti itu hingga tak mampu
menatapnya. Dia menundukkan pandangan yang bertemu dengan Reina dan melihat
seragamnya sambil berkata,
“Jadi kamu sudah mulai
sekolah hari ini ya.”
“Ya.”
Mengikuti pandangan Takeru
ke penampilannya, Reina tersenyum senang dan suaranya yang indah dan tenang
sedikit bergetar.
“Gimana menurutmu?”
“Hm? Maksudmu?”
“Seragamnya. Apakah aku
memakainya dengan benar?” Reina sedikit memiringkan kepalanya dengan ekspresi
yang sedikit cemas terlihat di wajahnya yang menggemaskan.
“Oh, begitu ya.”
Seragam dengan warna
klasik itu bergaya blazer namun juga menerapkan desain rok gaya pelaut dan
dikenal imut oleh siswi dari sekolah lain, begitu kata Ryouma.
Dia memandangi Reina dari
kepala hingga kaki. Tidak ada gaya rambut atau cara pemakaian yang ekstrim,
bahkan kaos kakinya berwarna biru tua seperti seharusnya. Penampilannya dengan
seragam itu cukup biasa. Meskipun begitu, penampilannya sama sekali tidak
terlihat tidak berkarakter.
Meskipun tidak mencolok,
kemungkinan dia akan sangat menarik perhatian.
Dia tidak pernah
memikirkannya sebelumnya, tetapi sekarang dia agak memahami apa yang dikatakan
Ryouma. Dengan Reina yang berpenampilan rapi dan bertubuh tinggi mengenakan
seragam itu, membuatnya terlihat berbeda dari seragam yang biasa dilihatnya.
“Bagaimana menurutmu?”
“Aku pikir itu terlihat lucu.”
“Eh?”
Meskipun dia pikir dirinya
sudah benar-benar sadar, tapi kalimat jujur itu tak sengaja terucap, sepertinya
dia masih setengah sadar.
Dia bisa melihat rona
merah menyebar di pipi putih Reina yang membelalakkan matanya.
“Bukan begitu maksudku...
Aku bermaksud mengatakan tidak ada yang aneh, maksudku kamu terlihat cocok
memakainya.”
“Ah... Begitu ya.”
Setelah salah tingkah
menjelaskannya, Reina sedikit menyentuh poninya dengan ekspresi malu-malu.
“Syukurlah. Terima kasih.”
Reina menghela nafas kecil seperti mencoba menenangkan diri dan sedikit
mengerutkan alisnya.
“Sebenarnya aku ingin
memamerkannya di kelas nanti.”
Dia melirik Takeru dan
merona merah sekali lagi.
“Tapi aku ingin kamu yang
pertama melihatnya.”
“Apa...?”
Jantungnya berdegup
kencang.
(...Tenanglah diriku. Dia
hanya ingin kamu mengeceknya dulu)
Dari percakapan mereka,
sepertinya tidak ada maksud lain selain itu. Tetapi karena ucapan dan
ekspresinya, juga kata-kata jujur yang tadi terselip keluar, Takeru jadi
menafsirkannya secara berbeda. Dia merasa pipinya sedikit memanas dan menampar
pipinya pelan, membuat Reina terkejut “Ah”.
“Maaf sudah menyita
waktumu.”
“Ah tidak, kalau Cuma
begini tidak masalah.”
“Terima kasih.”
“Ah, etto, jadi kamu
bermaksud membangunkanku?”
Takeru mengalihkan
pandangan dari senyum lembut Reina dan bertanya, Reina menggeleng pelan.
“Tidak.”
“Aku pikir itu akan
terdengar lancang. Tapi kupikir sudah waktunya untuk bangun. Tapi sepertinya
aku terlalu ikut campur ya.”
“Begitu rupanya. Yah, kamu
tidak perlu khawatir, aku tidak pernah terlambat.”
Sembari tersenyum masam,
Reina mengucapkan salam ringan kepadaku. Karena sudah mengetahui ketidakmampuan
Takeru dalam menjalani kehidupan sehari-hari, Reina pasti merasa khawatir. Dan
dengan dia yang sudah siap sedia pada jam ini, perasaan itu pasti semakin
kuat.
"Terima kasih, sudah
mengkhawatirkanku."
"...Tidak, akulah
yang seharusnya berterima kasih."
Setelah membelalakkan
matanya sejenak, Reina tersenyum dan menundukkan kepalanya. Takeru
mengernyitkan dahi karena tidak mengerti mengapa dia berterima kasih, sementara
Reina sedikit memerahkan pipinya sebelum memperbaiki postur tubuhnya.
"Hari ini hari
pertamaku pindah, jadi aku akan menerima penjelasan, jadi aku harus berangkat
sekarang."
"Oh begitu, cepat
sekali ya. Apa kamu baik-baik saja dengan jalannya?"
"Ya. Terima kasih
sudah mengkhawatirkanku."
Tersenyum masam karena
terus menerus diucapkan terima kasih, Takeru tertawa kecil dan Reina
melanjutkan, "Kalau begitu..."
"Aku pergi dulu.
Sampai nanti."
"Ya. Hati-hati di
jalan."
"Baik."
Setelah mengamati Reina
yang seperti biasa melambaikan tangan dengan anggun sebelum keluar dari pintu
depan, Takeru menuju wastafel. Seperti biasa, dia menggosok gigi dan mengambil
sabun pencuci wajah.
(Eh?)
Dia tidak menemukan
barang-barang pribadi Reina di tempat penyimpanan wastafel. Meski ada cukup
ruang kosong, dia tidak mau berpikir lebih jauh karena barang-barang itu milik
seorang wanita jadi wajar jika Reina tidak ingin meletakkannya di tempat yang terlihat
oleh laki-laki.
Setelah mengganti pakaian,
pada akhirnya dia mengambil sepotong roti sebelum meninggalkan rumah.
Itu yang biasanya terjadi.
Namun pagi ini sedikit berbeda dari biasanya, begitu pula bagian akhirnya.
Ketika akan mengambil susu dari kulkas, Takeru mengangguk seperti tidak ada
apa-apa dan mengalihkan pandangannya ke bangku depan yang ditunjuk Ryouma.
(Tln: ini emang ga ada
pembatasnya, gw pun bingung tiba² pindah tempat :v)
Tentu saja mereka
bertunangan dan tinggal bersama, tapi demi mencegah informasi tersebut bocor
karena kekhilafan, mereka sepakat untuk menyembunyikan fakta bahwa Takeru dan
Reina saling mengenal di sekolah.
"Ada beberapa laporan
dari orang yang melihatnya saat mengurus kepindahannya, katanya dia sangat imut."
"Ya, aku
tahu."
Meskipun sudah mendengar
gosipnya, Takeru tahu bahwa 'sangat imut belumlah cukup untuk menggambarkan
Reina.
"Kamu lagi beruntung
ya, Takeru? Dia duduk di bangku depanmu."
"Kalau dari belakang
mukanya tidak kelihatan, kan?"
Takeru mengangkat bahunya,
tapi Ryouma hanya tertawa dan menggelengkan kepalanya.
"Bukan untuk
mengamatinya, tapi kamu bisa lebih dekat dengannya. Dia murid pindahan dan
mejanya di dekat mejamu, kamu laki-laki terdekat darinya."
"...Tidak perlu. Aku
tidak berniat melakukan itu."
Jawabannya sedikit
terlambat karena dia baru menyadari bahwa secara fisik, memang dialah laki-laki
paling dekat dengan meja Reina.
"Oh, ada jeda loh"
"Hanya berpikir
sebentar. Sungguh, aku tidak berniat pdkt atau semacamnya."
Dalam artian tunangan,
justru dia ingin menjaga jarak.
"Benarkah?"
"Tidak semua
laki-laki berpikiran seperti Oosaki atau semacamnya, kan?"
Seakan meledek Takeru, Ryouma
tertawa. Tiba-tiba dari belakangnya muncul teman sekelas mereka, Sasaki Mana.
Ryouma dan Mana sudah berteman sejak SMP, tetapi tahun lalu mereka berada di
kelas yang berbeda sehingga Takeru baru mengenalnya di tahun ajaran ini.
Menurut Ryouma, Mana
bertipe licik tapi lembut. Dibandingkan dengan Reina, wajah Mana terlihat lebih
manis, dengan rambut panjang yang lembut dan cerah, serta tubuh mungilnya yang
mengenakan seragam dengan beberapa penyesuaian.
Jadi Takeru setuju dengan
penilaian Ryouma tentang bagian kedua. Mengenai bagian pertama, dia masih belum
terlalu paham, tetapi sikapnya terhadap Ryouma sepertinya tidak sepenuhnya
termasuk tipe lembut seperti yang dikatakan. Meskipun begitu, sampai saat ini
Takeru tidak menganggapnya sebagai tipe orang yang licik.
"Semua laki-laki
memang begitu. Jangan terlalu berharap, Sakaki."
"Iriya-kun, kamu
setuju kan?"
"Aku tidak
setuju."
"Dengar kan?"
Mana mengayunkan tangannya
di antara Takeru dan Ryouma, seperti mengacungkan mikrofon. Takeru tidak
merespons, tetapi Ryouma mencoba menepis tangan itu dengan risih, malah
tangannya yang ditampar.
"Kalau memang semua
laki-laki berpikiran begitu, harusnya ada banyak laki-laki di sekitarku
kan?"
Sambil membusung dada
dengan percaya diri, Mana menambahkan, "Aku ini imut, lho."
Meskipun tadinya Takeru
berniat membiarkan Ryouma yang menanggapi, tapi malah Ryouma yang tertawa geli
sambil mengacungkan mikrofon imajiner ke arah Takeru.
"Takeru, komentarmu?"
"...Jangan remehkan
aku."
Tentu saja aku
mengabaikannya.
Perkataan Mana sepertinya
benar, tapi mengakuinya terasa sangat memalukan. Namun—
"Iriya-kun,
komentarmu?"
"Kenapa aku
juga?"
Dengan ekspresi bosan, ia
menghadap mikrofon kedua yang diarahkan kepadanya, tapi lawannya tak
tergoyahkan. Pewawancara kedua itu memberikan senyuman sama seperti pewawancara
pertama.
"...Hanya premis
tentang Ryouma yang keliru."
"Tapi aku ingin kamu
mengakui 'Aku ini cantik’ dengan jelas? Syukurlah kamu menolak yang dari Oosaki."
Dengan sengaja
menggembungkan pipinya, Mana lalu menghela napas dan menertawakan Ryouma.
"Yah, aku akui ada
perbedaan setiap orang."
Sebagai balasan, Ryouma
tersenyum masam dan mengangkat telapak tangannya, mengisyaratkan menyerah. Mana
tidak mengeksploitasi Ryouma lebih jauh dan hanya merespons dengan
"Hmm" lalu mengalihkan topik ke murid pindahan.
"Tapi seharusnya dia
datang sejak upacara pembukaan ya?"
"Yah, tidak apa-apa
kan? Karena dia murid pindahan, semua pasti akan memperhatikannya, jadi dia
tidak akan terisolasi hanya karena terlambat."
"Benar juga."
Meski aku setuju dengan
Ryouma dan Mana, sebagai orang yang mengenal Reina, aku khawatir dia tidak akan
bisa menyesuaikan diri di sekolah ini.
Ini bukan sekolah
bangsawan seperti tempat Reina bersekolah sebelumnya. Dengan kecantikan yang
hampir tidak masuk akal dan kemampuan yang luar biasa, ditambah cara bicaranya
dan sikapnya yang terlalu anggun, akankah Reina bisa beradaptasi di sekolah
ini?
"Takeru, ada
apa?"
"...Tidak. Aku hanya
berharap murid pindahan itu—"
Bisa menyesuaikan diri di
sekolah ini. Tepat ketika aku hendak mengatakannya, bel berbunyi dan Ryouma
tersenyum melihat speaker.
"Kita tidak sempat
bicara banyak karena Takeru terlambat."
"Kalau begitu, kabari
aku sehari sebelumnya kalau ada yang mau dibicarakan lagi."
"Reservasi tempat
dudukku sepanjang tahun ini untukmu."
"Kalau begitu, jangan
datang ke tempat duduk anak perempuan, datangi aku setiap pagi—"
"Sudah kuduga, lebih
baik lupakan saja. Reservasinya dibatalkan."
Meski aku tak ingin dia
datang setiap pagi, aku tahu Ryouma hanya bercanda. Aku tahu, tapi responnya
begitu cepat hingga Mana yang duduk di sebelahku tertawa terbahak-bahak.
"Kamu membatalkan
reservasi dengan sangat buruk, mending langsung blacklist Ryouma saja."
"Ah, benar
juga."
"Hei, Takeru. Ingat persahabatan
kita."
Dengan berpura-pura
mengangkat bahu, Ryouma berkata "Sampai nanti" sambil mengangkat
tangannya. Sementara Mana di sebelahnya berujar "Sebaiknya kamu
benar-benar blacklist dia" sambil melambai-lambaikan tangan, lalu keduanya
kembali ke tempat duduk masing-masing.
Begitu mereka duduk, bel
berhenti berdering dan pintu terbuka. Wali kelas laki-laki memasuki ruangan
dengan pintu tetap terbuka. Berbeda dari biasanya. Setelah ketua kelas memberi
aba-aba, pelajaran dimulai dan wali kelas pria paruh baya itu memandang sekeliling
kelas dengan senyum masam.
"Kalian seperti ingin
aku cepat-cepat saja ya. Baiklah, langsung saja, aku akan memperkenalkan murid
pindahan baru yang akan belajar bersama di kelas ini mulai hari ini. Silakan
masuk."
"Baik."
Dengan suara merdu nan
anggun, semua pandangan di kelas tertuju ke satu arah.
Segera setelah Reina
membungkuk ringan dan melewati pintu, terdengar seruan kagum dari penjuru
kelas. Tak heran, meski semua telah mendengar kabar tentang "murid
pindahan cantik yang akan datang", penampilan Reina pasti melampaui
bayangan mereka semua.
Jadi, tentu saja yang
pertama kali menarik perhatian teman sekelas adalah penampilannya yang sangat cantik.
Terutama murid laki-laki yang langsung terpana, namun suasana kelas tidak
menjadi ribut.
Entah karena cara
berjalannya yang sama sekali tidak ragu-ragu, atau karena penampilannya yang
begitu anggun seolah layak dijadikan contoh, atau karena aura yang memancar
darinya. Di hadapan keberadaan Amamiya Reina yang memiliki pancaran tersendiri,
kelas menjadi sunyi, seakan terkena tekanan darinya.
Sementara seluruh
pandangan 34 teman sekelas tertuju padanya, Reina berdiri di samping meja guru
tanpa ragu-ragu, dengan senyum lembut dan anggun.
"Namaku Amamiya Reina.
Mulai hari ini aku akan belajar bersama kalian semua. Meski aku memulai dengan
sedikit terlambat, mohon bantuannya untuk satu tahun ke depan."
Dengan senyum lembutnya,
Reina mengucapkan itu dengan lancar sambil memandang sekeliling kelas, lalu
membungkuk dalam. Namun, tepuk tangan yang menyambutnya hanya segelintir.
Suasananya seakan masih belum terasa nyata. Di tengah suasana itu—
"Senang bertemu
dengannmu."
Suara keras itu berasal
dari Mana.
"Ya, aku juga, mohon
bantuannya."
Dengan sedikit melambaikan
tangan ke arah Mana, Reina membalas dengan sapaan yang luwes sambil sedikit melebarkan
senyumnya.
Berkat Mana yang memulai
duluan, suara "Senang berkenalan denganmu" pun menyusul dari seluruh
kelas. Namun karena jumlahnya terlalu banyak, Reina tidak dapat membalas satu
per satu dan hanya membungkuk anggun sambil berkata, "Terima kasih."
(Sepertinya dia akan
baik-baik saja)
Setelah sapaan itu,
bermunculan berbagai pertanyaan, yang kemudian ditengahi oleh wali kelas dengan
senyum masam agar ditanyakan nanti saja. Sambil melihat itu, Takeru menghela
napas lega.
Di tengah keributan kelas,
matanya menangkap Reina yang berdiri di samping wali kelas yang sedang
memberikan penjelasan, dan pandangan mereka bertemu secara tak sengaja.
Reina yang sedikit
mengembangkan senyumnya, sedikit memiringkan kepalanya seperti membuat gerakan
menggoda. Meski hanya sekilas, gerakan itu sangat mengguncang jantungnya.
"Jadi, kamu kabur
dari bangku eksklusifmu?"
"Itu bukan bangku
eksklusif, tapi hukuman."
Segera setelah pelajaran
usai, kerumunan orang mengelilingi Reina. Meski perempuan yang memulai
percakapan, murid laki-laki yang berkumpul di sekelilingnya juga mencari
kesempatan untuk mengobrol dengannya.
Jika itu saja tidak
masalah, tetapi karena mereka sering menabrak meja, menjadi sangat sulit bagi
Takeru yang duduk di belakang. Karena keadaan yang sama terjadi saat istirahat,
dia mengungsi ke bangku Ryouma.
“Apakah akan seperti ini
lagi saat istirahat berikutnya?”
“Tentu saja begitu.
Setidaknya menyerahlah untuk hari ini.”
“Seburuk itukah?”
“Bahkan sekarang ada
sekitar sepuluh orang yang berkumpul, mereka sudah mendekatinya tetapi ada yang
tampaknya belum bicara dengannya. Selain itu, ada juga orang yang mengawasi
keadaan dari bangkunya sendiri.”
Sambil menurunkan nada
suaranya, Ryouma mengangguk ke arah yang ditunjukkannya, dan Takeru menghela
nafas.
“Jadi, jika Takeru juga
ingin bicara, berjuanglah.”
“Aku mah tidak apa-apa.”
Reina tetap mempertahankan
senyum lembutnya, tampaknya tidak keberatan menanggapi semua orang, meskipun
diajak bicara dari segala arah sehingga terlihat cukup sibuk. Untuk Takeru, dia
bisa bicara dengannya di rumah, tetapi bahkan jika dia ingin bicara di sekolah,
situasi ini membuatnya merasa ragu.
“Ngomong-ngomong, kenapa
kamu tidak menyapanya?”
“Aku ingin bicara dengannya
mumpung ada kesempatan, tapi situasinya seperti itu.”
“Aku juga.”
Mana, yang duduk di
sebelah Ryouma, bergabung dalam percakapan dengan cara yang alami seperti pagi
hari. Dengan posisi menempel di meja dengan sikap yang sangat jelas tidak
senang.
“Aku ingin bicara, tapi
anak laki-laki mengganggu. Aku harap mereka bisa membaca situasinya.”
“Bukankah aku sudah bilang
pagi ini, laki-laki memang begitu?”
Melirik Ryouma yang
mengangkat bahu dengan senyum masam, Mana mencibir.
“Aku juga ingin bicara
dengannya. Lakukan sesuatu.”
“Jangan meminta yang
mustahil. Lagipula, kamu perempuan, harusnya lebih mudah bagimu.”
“Jika ada orangnya makin
banyak, dia akan kesusahan kan?”
“Aneh kamu bisa memikirkan
hal seperti itu.”
“Aku perempuan yang peka.”
“Ya, ya.”
Melihat Mana berdiri dan
mencoba memukul sementara Ryouma dengan patuh menerima pukulannya, Takeru
berpikir mereka berdua akrab, lalu mengalihkan pandangannya.
Di bangku paling depan
dekat jendela kelas, ada Reina yang dengan telaten dan sopan menanggapi semua
pertanyaan yang mengalir kepadanya. Takeru memikirkan kapan dia bisa bicara
dengan Reina seperti saat berbicara dengan Ryouma atau Mana, tanpa pernah melepas
senyum manisnya.
Saat Takeru membuka pintu
depan rumah, dia terkejut melihat Reina ada di sana seperti kemarin. Namun,
hari ini sepertinya dia baru keluar dari kamar, karena dia juga tampak terkejut
sesaat.
Reina segera berlari kecil
menghampiri dan tersenyum ceria. Penampilannya mirip seperti kemarin,
sampai-sampai Takeru hampir mencari ekor yang seharusnya tidak ada di
belakangnya.
“Selamat datang,
Takeru-san.”
“Aku pulang.”
Reina tersenyum,
berpakaian gaun ganti dengan rambut diikat dan membawa celemek di tangannya.
“Apa kamu akan menyiapkan
makan malam sekarang?”
“Ya. Apakah jika waktunya
sama seperti kemarin tidak masalah?”
“Ya.”
Meskipun Takeru menjawab
demikian, tapi—
“Tapi hari ini kamu bisa
memesan delivery atau sejenisnya? Ini hari pertamamu pindah, kamu pasti lelah.”
Meskipun tidak terlihat
dari penampilannya, dan tampak ceria, pasti dia merasa lelah. Ya, benar.
Sepanjang hari ini,
orang-orang tidak menjauh dari sekeliling Reina. Meskipun dia dengan sopan
menolak dengan alasan ada keperluan di ruang guru, dia berkali-kali diajak
makan siang, dan lebih dari itu, di siang hari ada pula yang datang menemuinya
dari kelas lain, jadi dia pasti sama sekali tidak mendapat waktu istirahat.
“Terima kasih atas
perhatianmu.”
Reina melunakkan sedikit
sudut bibirnya dengan raut sedikit bahagia lalu melanjutkan kata-katanya,
“Tetapi...”
“Aku memang sedikit
tegang, tetapi karena semuanya mengajakku berbicara, hari ini menyenangkan. Aku
sama sekali tidak merasa lelah.”
Setelah mengatakan itu,
dia terkekeh dan menutupi mulutnya, lalu Reina menatap Takeru.
“Karena telah terjadi
sesuatu yang sangat baik.”
“Apa yang terjadi?”
Takeru yang memperhatikan
Reina di bangku depan sepanjang hari, tidak merasa ada kejadian yang membuat
hatinya berbunga-bunga. Tentu saja, dia tidak mengawasinya setiap saat.
“Karena Takeru-san makan
sarapan yang aku siapkan.”
“...Lalu?”
“Apa maksudmu dengan
‘lalu’?”
Ketika ditanya oleh Reina
yang sedikit merona dan menyipitkan mata, dia tampak bingung sambil sedikit
memiringkan kepalanya.
“Tidak, maksudku apa
tepatnya yang ‘baik’ itu?”
“Takeru-san makan sarapan
yang aku siapkan...”
“Hanya itu saja? Bukannya
itu malah bagus untukku?”
Reina menyiapkan sarapan
untuknya tapi tidak menyampaikan dengan pertimbangan. Lalu apa yang bagus
ketika Takeru memakannya?
“Tidak.” Reina tersenyum
lembut sambil menggelengkan kepalanya pelan, membuat ujung rambut kastanyenya
sedikit bergoyang.
“Seharusnya aku bertanya
tentang waktu bangun dan berangkat sekolah Takeru-san sejak kemarin. Begitu
pula dengan suprise kemarin, ternyata kemarin aku terlalu bersemangat ya.”
Dia tertawa kecil, lalu
Reina mengerutkan alisnya sedikit.
“Tetapi meskipun aku tidak
memberitahunya, Takeru-san menghabiskannya di sela waktu yang sempit. Aku
sangat senang.”
“...Yah, itu...”
Takeru merasa sedikit
tidak enak karena ternyata membuat Reina ambil pusing, tapi juga merasa
malu.
Dari rona merah di pipinya
yang memudar, terlihat Reina sangat bahagia hanya dengan hal itu.
“Makanan kemarin enak,
jadi kalau ada ya aku makan.”
“Terima kasih.”
“...Pagi ini juga, enak.
Terima kasih.”
“Tidak, justru aku yang
berterima kasih.”
Setelah berkata “Terima
kasih” sambil sedikit mengalihkan pandangan, dia dibalas “Terima kasih” dari
depan.
“...Ngomong-ngomong,
sekali lagi, jika lelah karena perubahan situasi, istirahatlah.”
“Terima kasih atas
perhatianmu. Tetapi aku rasa aku bisa terbiasa dengan keadaan ini.”
“Kalau begitu
baguslah.”
Untuk saat ini dia tampak
senang, jadi Takeru tidak ingin merusak suasana hatinya dan memutuskan untuk
membiarkan Reina mengurus segalanya sendiri.
◇ ◇ ◇
Namun bahkan keesokan dan
keesokannya lagi, keadaan di sekeliling Reina tidak tenang juga.
“Takeru, sepertinya
wajahmu semakin kesal setiap harinya?”
“Tidak juga.”
“Hei, memang begitu kan?”
Ketika Takeru yang hari
ini juga mengungsi ke bangku Ryouma melirik ke arah Reina dan sekelilingnya,
Ryouma mengangkat bahunya dengan ekspresi geli. Meski Takeru sendiri sadar,
tapi dia tidak ingin mengakuinya secara lisan.
“Aku pun akhirnya
sependapat dengan Oosaki.”
“...Yah, kalau setiap hari
dikelilingi keributan, wajar merasa kesal kan?”
Setelah Mana yang menempel
di meja dengan tampang malas sampai menyinggungnya, akhirnya Takeru menyebutkan
salah satu penyebabnya dengan enggan.
“Lagipula gara-gara itu,
Takeru jadi tidak bisa bicara dengan Amaniya-san.”
“Ah, itu tidak masalah.”
Saat Ryouma tertawa ringan
sambil menepuk bahunya, Takeru menepis tangannya dengan ekspresi sekesal
mungkin.
“Kalau bagiku sih, ini
masalah besar.”
Mana tidak menyembunyikan
ketidakpuasannya seperti Takeru. Sambil sengaja berkata “Buu”, dia memelototi
bangku Reina, atau lebih tepatnya sekelilingnya.
“Yah, soal Sakaki tidak
masalah, tapi yang itu sudah keterlaluan.”
“Itu masalah
untukku.”
Orang-orang yang
mengelilingi Reina sekarang kebanyakan laki-laki, bukan hanya dari kelas yang
sama, bahkan dari kelas lain, dan juga dari tingkat yang berbeda.
Menurut Ryouma, awalnya
para lelaki menghindari gadis-gadis, namun setelah beberapa dari mereka
terus-menerus mengajak bicara tanpa segan, lelaki lain yang melihat itu juga
ikut tidak merasa sungkan lagi. Bahkan topik pembicaraan mereka sudah tidak
lagi dalam konteks mengkhawatirkan murid pindahan, seperti menanyakan kontak
atau mengajak bersenang-senang.
Akibatnya, justru para
gadis lah yang sekarang merasa sulit mendekati Reina.
Ini bukan situasi yang
baik bagi Reina yang sedang berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan
barunya. Tentu saja ini juga bukan keadaan yang menyenangkan bagi Takeru yang
tahu bahwa Reina seharusnya merasa senang dengan kondisi ini.
(Aku ingin melakukan
sesuatu, tapi...)
Sementara Takeru
memikirkan cara mengatasinya, Mana lagi-lagi mengeluarkan kata “Buu.”
“Aku ingin bicara
dengannya.”
“Jangan merajuk. Nanti
juga akan mereda dan kamu bisa bicara dengannya.”
“Kapan itu?”
Mana menyuarakan
ketidakpuasannya dengan “Lamaaa” setelah Ryouma menggumamkan “Mungkin minggu
depan”, dan untuk hal ini Takeru setuju.
Jika terus begini, minggu
pertama Reina pindah akan dihabiskan hanya dikelilingi lelaki. Meskipun Takeru
tidak tahu pendapat Reina, namun menurutnya itu bukan kesan yang baik. Dia
bahkan berpikir mungkin karena ini Reina tidak akan bisa menjalin hubungan yang
baik dengan para gadis.
Takeru ingin melakukan
sesuatu, namun jika dia yang turun tangan, yang terjadi hanyalah menambah satu
orang lagi di antara lelaki di sekitarnya. Bahkan mungkin bisa menyebabkan
masalah.
(Lalu bagaimana
caranya...?)
Saat pandangannya
tertunduk mencari jalan keluar, dia melihat Mana yang masih menempel di meja
dengan bibir mengerucut.
“...Hei, Sakaki-san.”
“Ya?”
“Amaniya-san dipanggil ke
ruang guru saat istirahat berikutnya, kalau kamu menyesuaikan waktu, bukankah
kamu bisa bicara dengannya di sana?”
Jika Takeru yang laki-laki
tidak bisa, maka Mana yang perempuan bisa mencobanya.
Ini seperti menyuruh Mana
mengintai secara tidak langsung, jadi Takeru agak merasa tidak enak. Tapi
setidaknya ini memenuhi keinginan Mana. Selain itu, jika Mana berhasil
bergabung dengan yang lain di sekitar Reina, situasi Reina juga akan membaik.
“Eh, benarkah?”
“Ya.”
Takeru mengangguk
menanggapi Mana yang mendongak dengan cepat.
“Tapi kenapa kamu bisa
tahu hal seperti itu?”
“Aku mendengar guru membicarakannya.
Karena aku duduk di belakangnya.”
Sebenarnya Takeru
mengetahuinya langsung dari Reina di rumah kemarin, tapi tentu saja dia tidak
bisa mengatakannya, jadi dia mengalihkan pembicaraan. Ryouma mengangguk kecil,
“Begitu ya.”
“Ajak dia makan siang juga
nanti.”
“Kamu ini bersemangat
sekali ya,” ucap Ryouma dengan nada geli melihat Mana tersenyum lebar sambil
melirik ke arah Reina. Takeru hanya membalas dengan senyum masam, tapi merasa
sedikit lega.
“Terima kasih,
Iriya-kun.”
“Kalau begini situasi di
sekitar Amaniya-san jadi tenang, aku juga diuntungkan.”
Saat Takeru mengangkat
bahu menanggapinya, Mana menyeringai “Ah” dan Ryouma hanya menggelengkan
kepalanya melihat reaksi mereka berdua.
Melihat Takeru yang tidak
mengerti maksud reaksi keduanya, Mana tersenyum lebar dan membuka mulutnya.
“Kalau Iriya-kun yang
diuntungkan—“
Di istirahat berikutnya,
efek rencana itu mulai terlihat. Bahkan bisa dibilang sangat efektif.
“Jadi, aku boleh memanggil
Reina saja kan? Kamu juga panggil aku Mana saja ya.”
Mana sepertinya berhasil
mendekati Reina dengan baik, saat ini dia berdiri di depan meja Reina dan
mengobrol dengan riang. Berkat itu, lingkaran di sekeliling Reina saat ini
hanya terdiri dari perempuan.
“Ya, mohon bantuannya,
Mana-san.”
“Tidak perlu pakai ‘san’.”
Meskipun mencibir
sebentar, Mana langsung santai dan berkata “Ah sudahlah” sambil membuat Reina
terkikik di balik tangannya.
Gadis-gadis di sekeliling
mereka pun ikut menyebut nama satu sama lain. Mereka yang sebelumnya sulit
berbicara dengan Reina juga tampak gembira. Tapi Takeru merasa ekspresi Reina
terlihat lebih lembut daripada saat dia dikelilingi para lelaki.
Para laki-laki memang
menolak ajakan mereka, tetapi hari ini Reina juga menerima ajakan makan siang
dari Mana dan yang lainnya, jadi sepertinya itu bukan hanya perasaannya saja.
"Jadi, kenapa kamu
ada di sini lagi, Takeru?"
"Lebih baik laki-laki
terus-menerus menabrak meja, daripada dikelilingi cewek-cewek, rasanya tidak
enak."
"Kenapa kamu berkata
seolah ‘sayang sekali’, bodoh."
"Kata 'sayang sekali'
yang keluar darimu membuatku tidak ingin dipanggil bodoh olehmu."
Ryouma adalah teman Takeru
sejak masuk SMA, dan dia sering menyebut Takeru "bodoh" berkali-kali
sebelumnya. Puluhan kali, mungkin? Namun, kata "bodoh" kali ini
adalah yang paling serius di antara yang lain.
"Tapi, meski kamu
bilang itu sia-sia, dalam situasi seperti itu kamu juga tidak akan mengajaknya
bicara, kan?"
"Ya, aku tidak akan
melakukan hal yang mengganggu keharmonisan."
Ryouma mengangkat bahunya
dan menunjuk ke arah meja Reina dengan dagunya, "Lagipula, hari ini ada
'anjing penjaga' yang berisik."
Di tempat yang ditunjuk,
seorang laki-laki yang tidak bisa membaca situasi (penantang) sedang mencoba
menyerang, tetapi diusir oleh Mana sebelum bisa mencapai Reina.
"Aku memintanya
melakukan tugas yang tidak enak ya?"
"Sudahlah, tidak usah
dipikirkan. Dia memang seperti itu dari dulu, dan sangat benci laki-laki yang
tidak bisa membaca situasi saat menggoda."
"Tapi kelihatannya
dia akrab denganmu."
"Hah? Mana
buktinya... lagipula aku bisa membaca situasi dan bukan penggoda."
"Ya ya..."
"...Yah, karena
Takeru kelihatan baik hari ini, aku maafkan."
"Aku biasa saja
kok."
"Ya ya."
Menghadapi temannya yang
sombong seolah menang, Takeru yang sedikit punya kepekaan tidak membalas
apa-apa.
Hari itu, waktu pulang
sekolah lebih lama dari kemarin, dan Reina menunggu di depan pintu. Ketika
Takeru bilang padanya tidak perlu menunggu, dia menjawab dengan senyum lebar,
"Hari ini spesial." Dan suasana hatinya tetap ceria bahkan saat waktu
makan malam tiba.
Hari ini berkat Mana, dia
bisa mengobrol banyak dengan gadis-gadis di kelasnya. Jadi Takeru pikir itu
sebabnya dia ceria. Lalu Reina menatap wajah Takeru, menyipitkan matanya dengan
lembut, dan sedikit melengkungkan bibirnya.
"Ada apa?"
"Ya."
Reina mengangguk kecil
dengan senyum lembut di wajahnya.
"Takeru-san."
"Ya?"
"Terima kasih untuk
hari ini."
"...Untuk apa?"
Reina tersenyum malu-malu
penuh kegembiraan, dan membungkukkan badan dengan penuh penghargaan.
"Untuk
Mana-san."
"...Maksudnya?"
Reina tersenyum kecil
sambil menutupi mulutnya. Matanya menyipit seperti melihat kelucuan seperti
yang dilakukan anak kecil.
"Tidak usah pura-pura
bodoh. Aku sudah mendengar semuanya dari Mana-san."
"Oh... Aku hanya
memberitahu kalau kamu akan ke ruang guru."
"Tidak boleh
begitu."
Reina tersenyum kecil
lagi, menggembungkan sedikit pipinya dengan riang, dan memperlihatkan sedikit
ekspresi bangga.
"Kamu tidak pandai
berbohong sejak dulu, Takeru-san, jadi aku langsung tahu. Lagipula, Mana-san
juga bilang kalau dia diminta menemaniku agar cowok-cowok tidak
mendekatiku."
"Aku tidak bilang
begitu."
Waktu itu memang Takeru
mengatakan akan lebih sulit laki-laki mendekati jika ada banyak perempuan, tapi
Reina membuatnya terdengar seperti Takeru yang aktif membantu. Dan juga -
"Imbalannya, kamu
berjanji memberi Mana-san kue. Makanya kamu pulang telat hari ini, kan?"
Mana meminta cokelat dari
toko populer sebagai imbalannya. "Kalau itu membantu Takeru, kamu harus
berterima kasih padaku, kan?" katanya. Akibatnya, Takeru harus mengantri
di antara banyak wanita. Mungkin wanita-wanita itu tidak terlalu memperhatikan
Takeru, tapi rasanya sangat tidak nyaman.
Sebenarnya, meski Takeru
tidak berterima kasih pun, Mana tetap akan menemani Reina. Ryouma juga bilang,
"Dia cuma ingin membuatmu mengantri." Mana sendiri menyangkal hal
itu, meski dengan senyum jahil yang sangat dibuat-buat.
"Aku juga dengar
kalau kamu memintanya tutup mulut."
"Tapi kalau begitu, kenapa
kamu bisa tahu?"
Setelah menghela napas
kecil, Reina juga tersenyum masam, sepertinya dia memiliki beberapa
pemikirannya sendiri.
"Mana-san bilang 'Tak
masalah memberitahunya' dan tidak keberatan. Aku juga lega bisa
mendengarnya."
Aku sedikit mengerti
alasan mengapa Ryouma menilai Mana sebagai orang yang licik.
Tapi, ada satu
kesalahpahaman yang harus kuluruskan.
"Biar kuberitahu, Sakaki-san
tidak bicara denganmu karena aku yang memintanya loh? Dia memang ingin
berbicara denganmu, tapi tidak punya kesempatan saja. Jadi, aku pikir kebetulan
saja."
"Ya. Mana-san juga
sangat menekankan poin itu."
Dari cara Reina tersenyum
seperti orang bingung, sepertinya penekanan itu cukup kuat.
"Selain itu, Mana-san
bilang aku juga harus berterima kasih padamu, Takeru-san, karena sudah membuat
kesempatan itu."
Kalau begitu, seharusnya
dia membatalkan soal cokelat itu. Begitu pikirku sambil menghela napas kecil.
Melihatku, Reina tertawa kecil.
"Terima kasih. Takeru-san
sangat perhatian ya."
Dengan pipi sedikit
merona, Reina menyipitkan matanya lembut dan sedikit memiringkan
kepalanya.
"Aku berterima kasih
karena aku tidak terlalu bisa mengobrol dengan teman-teman perempuanku, tapi
berkat kesempatan ini aku bisa berbicara dengan Mana-san tanpa merasa dia
datang karena diminta olehmu."
"Bukan begitu, aku
cuma..." Takeru melancarkan dalih bahwa dia kesal dengan kerumunan
laki-laki yang mengganggu, yang memang benar. Reina membelalakkan matanya dan
bergumam pelan "Seperti dugaanku". Lalu dia menatap Takeru lekat
untuk sesaat dan perlahan menyipitkan matanya.
Aku mengenali tatapan
lembut ini. Ini ekspresi yang diperlihatkan Reina ketika dia mengenang masa
lalu.
"Takeru-san memang
Takeru-san ya."
"Tentu saja."
Meski begitu, Takeru tidak
benar-benar tidak mengerti maksud Reina mengatakannya.
Seolah dia telah menemukan
kembali sesuatu berharga yang hilang, dia menatap dengan rasa rindu sekaligus
kasih sayang, dengan semangat. Lebih bersemangat dari sebelumnya dengan rona di
pipi yang lebih merah. Takeru tidak bisa membalas tatapan Reina langsung, jadi
yang bisa dilakukannya hanya menatap makanan yang dia siapkan.
◇ ◇ ◇
Saat minggu berganti,
situasi di sekitar Reina sedikit lebih tenang. Walaupun tidak sebanyak minggu
lalu, karena Mana dan teman-teman sekelas ada di sekelilingnya, laki-laki dari
kelas lain jarang mendekat.
"Karena ada banyak
perempuan, laki-laki jadi sulit mendekati. Mereka yang masih nekat
melakukannya, yang dalam arti buruk punya semangat berlebihan, sepertinya sudah
datang semua dalam seminggu pertama."
Di kantin saat istirahat
makan siang, Ryouma tertawa senang sambil mengatakan hal itu.
"Selain itu, Takeru
yang menyuruh Sakaki juga berpengaruh besar ya."
"Menyuruh? Jadi di
matamu Sakaki itu anjing ya?"
"Sudah kubilang dia
seperti anjing penjaga, kan? Dia membantu juga."
Benar, penilaian Ryouma
tepat jika melihat Sakaki yang mengusir dan tidak membiarkan laki-laki
mendekati Reina.
"Tapi, bagiku dia
lebih mirip kucing."
"Maksudmu dia manja
dan seenaknya sendiri?"
"Bukan begitu
maksudku."
"Bukan di kata-katamu
sih, tapi itu yang kamu pikirkan, kan."
"...Jangan membuat menafsirkannya
sesukamu."
Aku memang menganggapnya
bertipe sedikit manja, tapi tidak sampai menganggapnya manja. Setidaknya untuk
saat ini. Diminta mengantri membeli cokelat memang agak menyebalkan, tapi
mengingat usaha Mana, rasanya sepadan. Untuk saat ini, aku tidak memiliki
masalah khusus dengan Mana.
Saat Takeru kehabisan
kata-kata, Ryouma menyeringai dan mengangkat sudut bibirnya dengan jahil.
"Kalau begitu, tanya
saja langsung orangnya."
"Hah?"
Ryouma masih tertawa
menyebalkan seperti biasanya sambil menunjuk ke belakang Takeru. Dengan firasat
buruk, Takeru menoleh dan melihat --
"Aku seperti kucing?
Kenapa? Beri tahu aku, Iriya-kun?"
Yang berdiri di sana
adalah Mana yang tersenyum dengan nampan makanan di tangannya, dan Reina dengan
alisnya berkerut.
Senyuman manis Mana entah
kenapa terasa mengintimidasi. Walaupun ekspresi dan cara senyumnya tentu
berbeda, kesan yang didapat mirip saat Reina memandangi kamarnya, sebuah
senyuman yang terasa mengintimidasi.
(Apakah perempuan pandai membuat
senyuman seperti itu? Agak menakutkan.)
Takeru melirik ke arah
Reina di sampingnya, tapi Reina hanya menggeleng kecil sambil mengibas rambut kastanyenya
yang berkilau. Sepertinya tidak ada solusi.
“Yah, untuk sementara kita
duduk saja di sini.”
“Apa kami tidak
mengganggu?”
“Tentu saja tidak, silakan
silakan. Iya kan, Takeru?”
“Ya.”
Didorong oleh Mana yang
tiba-tiba terlihat ceria dan suasana ramah Ryouma, Reina yang agak ragu
akhirnya duduk di sebelah Takeru sambil berkata, “Permisi.”
“...Aku akan mencoba tahan
berada di sebelah Oosaki.”
“...Harusnya aku yang
bilang begitu.”
Ryouma dan Mana yang
sedari tadi menatap mereka mengangkat bahu pasrah dan duduk bersebelahan.
“Jadi, Iriya-kun. Kenapa?”
“Ummm...”
Mana kembali ke senyuman
sebelumnya. Sepertinya dia tidak berniat membiarkannya lewat begitu saja.
Takeru mencoba mencari
alasan sambil mengalihkan pandangan, tapi tatapan Mana tidak membiarkannya
tenang.
“Aku juga merasa Mana-san
memiliki aura seperti kucing. Baik di bagian disukai orang lain maupun
kemanisannya, sangat mirip.”
“Ya, itu dia. Itu yang
ingin kukatakan.”
Segera memanfaatkan
bantuan Reina, Reina terkikik dan sedikit menyipitkan matanya. “Yah, kumaafkan
yang tadi demi Reina.”
Dipuji langsung seperti
itu, untuk pertama kalinya sejak Takeru mengenal Mana, ia terlihat malu-malu.
Takeru pikir itu mengejutkan, tapi beberapa detik kemudian ekspresinya kembali
seperti biasa dan dia berkata –
“Lebih baik daripada
dipanggil anjing penjaga, kan?”
Diikuti suara seperti
menginjak sesuatu, “Ugh” Ryouma mengerang dan menjatuhkan karaage dengan sumpit
ke atas nampan, untungnya.
Reina menatap Ryouma
dengan wajah khawatir, tapi ketika Mana berkata “Tak apa,” dan Ryouma membalas
“Kamu yang harusnya khawatir,” Reina memberikan senyum masam seperti merasa
lega.
Seperti Takeru, Reina
sepertinya juga menyadari bahwa itulah cara mereka berkomunikasi.
“Jadi, Reina. Untuk
mengakrabkan diri, orang di sebelahku yang kelihatan serius tapi sebenarnya
laki-laki mesum itu Oosaki. Tidak perlu mengingat nama kecilnya.”
“Namaku Oosaki Ryouma. Dan
hentikan membangun impresi buruk sejak pertemuan pertama. Aku suka mengobrol
dengan perempuan, tapi bukan berarti mesum lho. Salam kenal, Amamiya-san.”
“Kamu tidak menyangkal
bagian mesumnya ya.”
“Takeru juga jangan
menggodaku. Aku tidak bisa menyangkal bagian itu. Aku tidak akan berbohong pada
perempuan.”
Di samping Takeru yang
menggumam dalam hati agar tidak berbohong pada laki-laki juga, Reina menutupi
mulutnya dan terkikik.
“Ah, maaf. Aku hanya
merasa kalian semua akrab sekali.”
Entah karena tidak bisa
membantah Reina yang terlihat senang, Ryouma dan Mana hanya diam dengan wajah
tidak puas. Melihat sikap mereka seperti itu, mungkin memperkuat kesan Reina
sebelumnya, karena Reina sedikit menyipitkan matanya seolah melihat sesuatu
yang menggemaskan.
“Sekali lagi, namaku Amamiya
Reina. Terima kasih sudah mengizinkanku bergabung.”
Meskipun sedikit dangkal
karena situasinya, Reina membungkuk dengan sikap tegap seperti biasanya, sebuah
penghormatan yang anggun.
Sepertinya Ryouma tidak
mengharapkan reaksi seperti itu karena sejenak dia tergagap, “Ah, ya.”
Sementara itu, Mana yang sudah sedikit lebih lama mengenal Reina dibanding
Ryouma, terlihat bangga seperti dia sudah tahu reaksi Reina.
“Tapi Amamiya-san,
bukankah minggu lalu kamu membawa bekal ke kelas?”
“Ya. Hari ini karena
seminggu yang lalu sudah diajak Mana-san, jadi aku ke sini.”
Ryouma memang selalu
memperhatikan sekitarnya ya.
Ngomong-ngomong, Takeru
selalu makan di kantin. Reina bilang tidak masalah membuatkan bekal untuk dua
porsi, tapi Takeru menolak dengan sopan. Takeru berpikir akan terasa tidak enak
jika selalu dibuatkan bekal, dan mengingat hari seperti ini saat Reina makan di
kantin dengan temannya, sepertinya keputusannya tepat.
“Oh, jadi Sakaki mengajakmu
dengan paksa ya.”
“Ucapanmu kasar sekali. Bukan
begitu kan?”
“Ya, setengah memaksa
sepertinya.”
Reina tersenyum melihat perkataan
“Tuh kan” “Bukan begitu” dari dua orang di depannya dengan ekspresi gembira,
lalu melanjutkan kalimatnya.
“Tapi, jika kalian tidak
mengajakku, aku yang tidak tahu apa-apa pasti akan sulit datang ke tempat
seperti ini. Terima kasih, Mana-san.”
“Terima kasih Reina...
Nah, lihat kan Oosaki.”
“Terlalu berlebihan.”
“Karena aku ini kucing
manis.”
“Menjijikkan.”
Mana menyerupai kucing
dengan menempelkan kepalan tangan ringan di atas kepalanya. Gerakannya memang
cocok untuknya. Tapi jika harus jujur, Takeru lebih setuju dengan pendapat
Ryouma. Hanya saja dia tidak bisa mengatakannya.
Sementara itu, Reina
terlihat ceria sepanjang waktu, tidak ada tanda-tanda dipaksakan. Meskipun
terlihat seperti tipe yang sangat berbeda, dia sepertinya bisa mengimbangi
candaan ringan Mana dengan baik.
(Syukurlah)
Dengan begini, Reina
mungkin bisa cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya.
“Jadi, Takeru dari tadi
diam saja ya.”
“Hm?”
“Apa tidak apa-apa? Ini
kesempatan bagus untuk mengobrol dengan Amamiya-san lho.”
“Aku...”
Dihadapkan pertanyaan
menggoda dari Ryouma yang tertawa ringan, Takeru hampir memberikan jawaban
seperti biasanya. Tapi dengan Reina duduk di sampingnya, apakah pantas untuk
mengatakan bahwa tidak perlu mengobrol?
“Lagipula, kalian sudah
kenal kan?”
“Hah? Eh?”
Saat Takeru mencoba
menemukan kata-kata yang tidak menyinggung, Mana melemparkan pertanyaan itu
pada Ryouma seolah bukan masalah besar, membuat mulut Takeru menganga.
Dia menoleh dan melihat
Mana dengan ekspresi jengkel dan Ryouma yang terlihat bosan saling memandang.
“Jangan membongkar
leluconnya gitu dong. Kayaknya masih bisa dihibur lagi.”
“Kamu terlalu jahat.”
“Aku tak mau dibilang
begitu olehmu.”
Setelah perdebatan singkat
antara Ryouma dan Mana, mereka menghadap ke arah Takeru. Barulah saat itu
kepala Takeru mulai berputar perlahan.
Takeru sempat berpikir
untuk pura-pura bodoh, tapi mereka tidak terlihat hanya sekedar mencurigai,
melainkan seperti yakin sudah mengetahuinya.
Takeru melirik ke arah
Reina di sampingnya, dan meskipun dia tidak terlihat terkejut, dia tersenyum
masam seperti orang yang sudah pasrah.
“Aku sudah menduga kalau
kalian sudah saling mengenal.”
“Ya, aku sudah agak
menduganya saat Iriya-kun memberi tahu cara mengobrol dengan Reina. Lalu dengan
melihat sikap kalian berdua, dugaanku semakin kuat.”
“Begitu. Ngomong-ngomong,
aku yakin tadi Amamiya-san langsung duduk di sebelah Takeru.”
“Aku juga.”
“Aah...”
Menghela nafas, Takeru
menyadari Reina menatapnya dengan alis berkerut dan ekspresi menyesal, jadi dia
melambai ringan.
“Rupanya aku dicurigai
dari awal, jadi hanya masalah waktu sampai ketahuan. Jangan dipikirkan. Justru
aku yang salah.”
“...Tidak. Aku yang
seharusnya minta maaf. Dan terima kasih.”
Reina sedikit mengendurkan
ujung bibirnya dengan helaan lega.
“Jadi, kenapa Takeru
menyembunyikannya?”
“Aku tidak mau dicurigai
macam-macam karena kenal dengan murid pindahan yang jadi topik
pembicaraan.”
Terlebih jika informasi
bahwa mereka tinggal serumah atau bertunangan sampai bocor.
“Oooh.”
“Jadi, seberapa dekat
hubungan kalian?”
Ryouma bertanya seolah dia
tidak akan menggali lebih jauh, sementara Mana sepertinya masih penasaran.
“Keluarga kami saling
mengenal, jadi sejak kecil aku dan Takeru-san sering bertemu.”
“Semacam teman masa kecil
gitu?”
“Dalam arti luas, mungkin
bisa dibilang begitu.”
Mendengar Reina menjawab
dengan sedikit memiringkan kepalanya dan tersenyum, rasanya seperti ada yang
jatuh ke dadaku.
Bagi Takeru yang belum
bisa menerima hubungan pertunangan mereka, itu sepertinya ungkapan yang tepat
untuk menggambarkan hubungan keduanya.
“Kami tidak bertemu untuk
sementara waktu, tapi saat aku pindah ke sini, ayah Takeru-san
membantuku.”
“Oh iya, Ayah Takeru
katanya di bidang properti ya?”
Ryouma yang sering
mengunjungi rumah Takeru sudah diberitahu situasinya sekilas.
“Ohh begitu rupanya.”
"Ya. Jadi, aku telah
mengatur tempat tinggal."
Dengan senyum lembut,
Reina berbicara dengan lancar. Sambil mendengarkan suaranya, Takeru kagum dalam
hati.
Penjelasan Reina
menyembunyikan bagian yang tidak ingin diketahui, tetapi sama sekali tidak
berbohong dan terasa alami. Dalam situasi di mana ia terpaksa mengungkapkan
keadaan yang disembunyikan, Takeru tidak akan bisa melakukan hal yang sama.
"Maksudnya, yang
ingin kudengar apakah Reina tinggal sendiri?"
"Ya. Seperti
itu."
Kali ini dia dengan jelas
berbohong. Tidak ada perubahan dalam ekspresi dan tidak ragu dalam ucapannya,
jadi sepertinya Mana dan Ryouma tidak menyadarinya, tetapi kata-katanya tidak
sesuai dengan kenyataan.
"Kalau begitu--"
"Ya sudahlah. Kuharap
kamu tidak membocorkannya. Seperti yang kukatakan tadi, akan merepotkan jika
tersebar rumor aneh."
Sebelum Mana yang hendak
mengajukan pertanyaan lain membuka mulutnya, Ryouma mengangkat bahunya dan
mengangguk.
"Kupikir tidak
masalah menyembunyikannya, tapi ada sedikit kekhawatiran seperti yang dikatakan
Takeru. Ini rahasia di antara kita saja, oke?"
"Aku bisa menjaga
rahasia."
"Pembohong."
Ryouma mengungkapkan apa
yang dipikirkan Takeru dalam hati.
"Terima kasih,
Mana-san, Oosaki-san. Aku juga tidak bermaksud merepotkan Takeru-san, jadi aku
sangat berterima kasih."
"Ya. Aku tidak akan
melakukan hal yang merepotkan Reina, jadi tenang saja."
Tertarik dengan penampilan
anggun Reina, Mana tersenyum dengan sedikit menegakkan punggungnya. Senyum yang
berbeda dari senyumnya kepada Ryouma dan Takeru, lebih lembut.
(Dia sikapnya cukup
berbeda ya)
Meskipun ada yang
mengganjal, Takeru memutuskan untuk percaya bahwa Mana menganggap Reina sebagai
teman yang berharga. Sebenarnya memang begitu.
"Kalau begitu, aku
ingin mengajukan saran, aku punya usulan. Bagaimana kalau kita berempat
sesekali makan bersama mulai sekarang?"
"...Mengapa?"
Mana terlihat seperti baru
saja mendapat ide bagus. Seperti Takeru, Reina tampak bingung dan sedikit
memiringkan kepalanya. Namun, Ryouma seperti sedang memikirkan sesuatu.
"Jika kita sering
makan bersama seperti ini, orang-orang akan mengira kalian berteman baik sejak
Reina pindah sekolah, dan bukan teman lama, kan?"
"Ide yang bagus. Aku
dan Takeru, Amamiya-san dan Sakaki. Dan meski tidak diinginkan, aku dan Sakaki
terhubung dalam suatu jalur."
"Aku mengerti."
Meskipun risiko ketahuan
hubungannya dengan Reina jika Takeru salah bicara di hadapan Ryouma dan Mana
meningkat, kemungkinan orang lain curiga juga akan berkurang.
Takeru memandang ke arah
Reina di sebelahnya, yang juga sedang menatapnya, saat Ryouma dan Mana saling
melototi satu sama lain dengan ekspresi ragu.
Meski agak ditahan di
depan Ryouma dan Mana, ekspresi Reina menunjukkan persetujuan. Atau lebih
tepatnya, persetujuan aktif. Sembari sedikit mengendurkan sudut bibirnya, ia
mengangguk kecil seperti menggoyangkan kepala. Keanggunannya tidak berubah,
tetapi wajah polosnya menyampaikan harapan Reina.
"Yah...kalau begitu
tidak masalah."
Bagi Takeru, hal ini tidak
berarti untung atau rugi, jadi tidak masalah mengikuti keinginan Reina. Ah,
setelah melihat ekspresinya yang seperti itu, Takeru mungkin bahkan rela
menerima sedikit kerugian.
"Pengusir nyamuk di
dapatkan."
"Jangan
mengatakannya. Baca suasananya."
"Justru aku peka
membaca suasa."
"...Sudahlah, lupakan
saja."
Setelah pertukaran kalimat
yang tidak dimengerti, Ryouma menghela nafas. Melihat itu, Reina sedikit
membelalakkan matanya dengan ekspresi bingung.
Ketika mata mereka
bertemu, Reina sedikit memiringkan kepalanya, sedikit mengerutkan alisnya dan
mengendurkan bibirnya. Sepertinya ia juga tidak terlalu mengerti situasinya,
tapi jelas tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.
"Aku sangat
menantikannya."
"...Begitu ya."
Meskipun ada sedikit
kekhawatiran, Takeru tidak merasa ingin membantah ucapan Reina.
Mungkin Takeru juga
merasakan hal yang sama.
◇ ◇◇
Setelah jam pelajaran
selesai, Ryouma mengajak Takeru untuk bermain. Mereka berpisah pada sore
harinya.
Biasanya ketika mereka
bermain di luar, mereka juga makan malam bersama. Jadi Ryouma merasa heran,
tetapi ketika Takeru mengatakan bahwa dia sudah delivery, sepertinya Ryouma
mengerti.
Meskipun Reina mengatakan
bahwa Takeru tidak pandai berbohong, Takeru merasa dirinya cukup ahli juga
sembari berjalan pulang. Mungkin ada yang mempertanyakan apakah menjadi pandai
berbohong itu baik atau buruk, tetapi itu tidak terlalu penting.
“Selamat datang,
Takeru-san.”
“Aku pulang.”
Sepertinya Reina
menunggunya karena Takeru telah memberitahu waktu kepulangannya. Takeru tidak
terlalu terkejut melihat Reina di dekat pintu masuk karena sudah menduganya.
Namun, ada yang berbeda dari Reina hari ini.
Meskipun postur anggunnya
tetap sama, kali ini Takeru tidak merasakan kehangatan yang biasa dirasakannya
ketika disambut. Ekspresinya tidak terlihat murung, tapi senyum tipis di
wajahnya terasa rapuh.
“Apa terjadi
sesuatu?”
“Tidak terjadi apa-apa.”
Reina menggeleng pelan
sambil sedikit mengerutkan alisnya.
(Dia sedih?)
Meskipun sulit dijelaskan
perbedaannya dengan hari-hari biasa, Takeru merasakan ada sesuatu yang mengusik
dari Reina saat ini.
“Bisakah kita menyempatkan
waktu sebelum makan malam?”
“Ah, tentu.”
“Terima kasih.”
Ia membungkuk dalam.
Gerakan yang jarang Takeru lihat sejak mereka tinggal bersama. Meskipun Takeru
tidak tahu penyebabnya, sepertinya Reina ingin membicarakan sesuatu yang
penting.
Takeru mengikuti Reina ke
ruang tamu. Meskipun Reina menawarkan teh, Takeru menolaknya. Setelah didorong
Reina, Takeru duduk di sofa, sementara Reina duduk di sofa kubus di depannya.
Sofa itu dibeli khusus
untuk tamu, dan saat pertama kali Reina mengunjungi, Takeru duduk di sana.
“Maaf soal Oosaki-san.”
Begitu berhadapan, Reina
langsung membuka mulutnya dan membungkuk dalam.
“Pasti gara-gara aku,
makanya Oosaki-san tidak diundang ke rumah ini, kan?”
“Ah... yah, memang begitu
sih.”
Awalnya ketika Ryouma
mengajak Takeru untuk bermain, dia ingin datang ke rumah Takeru. Sejak musim
dingin kelas 1 SMA, Takeru jadi sibuk dengan urusan rumah, jadi Ryouma sudah
lama tidak ke sini. Dia ingin main seperti dulu.
Karena tidak bisa
mengundang Ryouma, Takeru mengatakan “Kamarku berantakan” sebagai alasan
menolak. Percakapan itu pasti terdengar oleh Reina yang duduk di depan mereka.
Jelas Reina tahu kalau Takeru berbohong pada Ryouma, dan alasannya.
(Aku sudah keceplosan)
Saat itu Takeru tidak
terlalu memikirkannya, tapi mengingat kepribadian Reina, jelas dia akan
berpikir seperti ini. Takeru seharusnya memberikan jawaban yang lebih baik.
Setidaknya mengajak Ryouma ke tempat lain.
“Maafkan aku.”
Dengan sangat sopan, Reina
membungkuk dalam. Telapak tangannya yang biasanya rileks kini terkepal erat di
atas lututnya. Seolah-olah sedang mengepalkan hatinya sendiri, sampai Takeru
pun bisa sedikit merasakan sensasi itu.
“Aku tidak menyimpan
barang pribadi di luar kamar sebisa mungkin, jadi silakan undang teman-temanmu tanpa
memikirkanku. Aku akan pergi saat itu terjadi.”
Ah, begitu rupanya. Tidak
ada barang Reina di kamar mandi atau toilet. Bahkan di dapur yang hanya
digunakan Reina, tidak ada celemek atau semacamnya, dia selalu membawanya dari
kamarnya.
Takeru tidak pernah
terlalu memikirkan alasannya, tapi rupanya itu semua karena Reina
berhati-hati.
Pasti bukan Cuma itu.
Reina pasti melakukan banyak hal lain yang tidak Takeru sadari untuk
menghindari merepotkannya. Tanpa sadar, Takeru mengepalkan tangannya erat.
“Ah, dengar...”
Takeru menghela nafas
panjang, membuat bahu Reina yang sedikit tertunduk bergetar pelan. Takeru
berusaha untuk bersuara lembut.
“Kamu sama sekali tidak
perlu memikirkan itu.”
“...Eh?”
Reina mengangkat wajahnya
perlahan dan menatap Takeru dengan mata terbelalak. Alisnya masih berkerut, dan
matanya yang sedikit berkaca-kaca terlihat bingung.
“Hanya satu tempat bermain
yang tidak bisa dipakai saja, kan? Seperti toko langganan yang tutup... tidak,
kalau begitu agak menyedihkan ya?”
“...Mungkin, aku rasa
begitu.”
Saat ditanya, Reina
terlihat bingung untuk sesaat, tetapi setelah kelihatan berpikir dengan serius
seperti biasanya, dia akhirnya menjawab dengan ragu-ragu.
“Kalau begitu, umm...
meskipun aku tidak bisa memikirkan alasan pastinya, yang jelas kamu tidak perlu
memikirkannya. Aku dan Ryouma masih bisa bermain di tempat lain, dan sepertinya
dia juga tidak terlalu memikirkannya.”
Takeru menambahkan
‘mungkin’ dalam hati.
“Benarkah begitu?”
“Ya, begitulah.”
Takeru mengangguk mantap
pada Reina yang masih mengangguk dengan ragu.
“Kamu terlalu
memikirkannya. Memangnya Ryouma akan berkata ‘Kalau aku tidak boleh ke rumahmu,
pertemanan kita putus’? Setelah mengobrol dengannya sebentar saja, kamu pasti
tahu dia bukan orang seperti itu, kan?”
“Ah... iya, benar juga.”
“Kan? Jadi jangan
meremehkan temanku begitu.”
Ketika Takeru melanjutkan
dengan nada bercanda membuat Reina membelalakkan matanya, dia tersenyum masam,
“Maafkan aku.” Meskipun masih terdengar sedikit merendahkan diri, Reina sudah
tidak terlihat seperti ingin menghilang karena rasa bersalah.
“Aku telah berbicara hal
yang tidak sopan, tidak hanya kepada Oosaki-san, tapi juga kepada Takeru-san.”
“Kepadaku? Ah, dengan kata
lain seperti aku hanya seberharga rumah ini saja ya.”
“Padahal seharusnya aku
lebih tahu dari siapa pun kalau itu tidak benar.”
Ketika Takeru
mengatakannya dengan nada ringan, Reina menunduk lagi, mengepalkan tangannya di
atas lutut dan sedikit bergetar. “...Biar kuulangi, kamu terlalu memikirkannya.
Tidak bisa mengundang teman ke rumah sama-sama merepotkan untuk kita berdua,
kan?”
“Tetapi, ini rumah
Takeru-san dari awal, dan aku hanya menumpang di sini—“
“Aku tidak pernah merasa
kamu menumpang.”
Takeru memotong
kata-katanya, dan Reina yang tadi menunduk kini mengangkat pandangannya, bertatapan
dengan Takeru.
Awalnya Takeru yang
mengalihkan pandangan, tetapi setelah mengambil keputusan, ia menatap Reina
lagi sebelum sekali lagi mengalihkan pandangan. Di sudut matanya, Reina tampak
memiringkan kepalanya dengan bingung.
“Ahh...”
Takeru mendesah, lalu
menatap lurus ke mata amber jernih Reina.
“Aku merasa tidak terlalu
buruk bisa tinggal bersama... Jadi, dengan mengecualikan soal pertunangan itu
tentunya.”
“Takeru-san...”
Meskipun agak ragu, Reina
menatap Takeru dengan mata terbelalak tanpa mengalihkan pandangannya.
“Masakanmu enak, kamu
membersihkan rumah. Itu semua sangat membantu. Tapi juga sekedar pulang ke
rumah dan melihatmu di sana, atau melihatmu di pagi hari. Lalu juga makan
bersama. Meskipun aku tidak terlalu pandai mengatakannya, tapi... Aku merasa
tidak buruk bisa tinggal berdua denganmu.”
Di tengah kalimat, Takeru
jadi malu dan mengalihkan pandangan, tapi menatap Reina lagi setelah
mengatakannya.
Wajah Reina yang biasanya
tenang kini tampak sedikit berbeda. Seperti hendak mengatakan sesuatu, bibirnya
sedikit terbuka. Kulit putihnya merona, dan matanya bergetar.
“Jadi yah, kalau Ryouma
tidak bisa main ke sini lagi, itu bukan masalah besar. Jangan terlalu
dipikirkan, oke?”
Meski Takeru mengalihkan
pandangannya lagi, dia bisa melihat Reina mengangguk pelan.
“Dan soal itu, kamu tidak
perlu memikirkan untuk tidak meletakkan barang-barangmu. Kamar mandi dan dapur
tentu saja, tapi kamu juga bisa menggunakan ruang tamu sesukamu.”
“Baik. Terima kasih.”
“Tidak perlu berterima
kasih. Ini memang rumahku dulu, tapi sekarang kita tinggal bersama, kan?”
“Iya.”
Setelah mengangguk, Takeru
mendengar Reina sedikit tertawa kecil, “Tapi karena aku merasa senang, tolong izinkan
aku berterima kasih.”
Nada suaranya tenang dan
kalem seperti biasa, tetapi entah kenapa terdengar sedikit lebih ceria. Takeru
penasaran dengan ekspresi wajah Reina sekarang. Namun, bukannya melihat, ia
malah berdiri dari sofa sambil tetap mengalihkan pandangannya.
“...Pokoknya. Kalau kamu
terlalu sungkan, aku juga jadi tidak enak. Jadi jangan ragu-ragu, oke? Aku akan
ganti baju dulu.”
“Ah. Dasar... Takeru-san.”
Dari punggungnya yang
seperti hendak melarikan diri, Takeru bisa mendengar Reina sedikit tertawa
kecil.
Selama makan malam
setelahnya, pandangan mereka bertemu beberapa kali.
“...Ada apa?”
“Tidak ada apa-apa.”
Meskipun dia menatap
dengan mata yang lembut menyipit, ketika ditanya, dia hanya memiringkan
kepalanya dengan cara yang menggemaskan seolah-olah menggelengkan kepalanya
dengan anggun.
Meskipun seharusnya
makanan buatannya lezat, Takeru tidak terlalu bisa merasakan rasanya karena
merasa malu setelah mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya tadi. Namun
anehnya, dia tidak merasa terlalu buruk. Hanya saja, dia mungkin tidak akan
bisa menahan diri untuk melakukan itu lagi.
◇ ◇ ◇
Dulu Takeru tidak terlalu
peduli dengan kamarnya yang berantakan karena seperti yang dikatakannya pada
Reina, kamar itu hanya tempat untuk tidur. Lebih tepatnya, dia membiarkan
kamarnya berantakan karena malas membereskannya dan hanya menggunakannya untuk
tidur saja.
Oleh karena itu, apakah
bermain dengan ponsel, membaca buku, atau belajar, Takeru pada dasarnya
melakukan semuanya di ruang tamu.
Setelah tinggal bersama
Reina, Takeru berniat untuk menghabiskan waktu di kamarnya. Namun, sepertinya
kebiasaan yang terbentuk selama setahun tinggal sendiri sulit dihilangkan,
sehingga dia tetap merasa tidak nyaman di meja kamarnya. Jadi pada akhirnya, Takeru
masih sering menghabiskan waktunya di ruang tamu.
Sementara itu, Reina pada
dasarnya hanya menghabiskan waktunya di kamar kecuali saat mengerjakan
pekerjaan rumah. Tapi hari ini agaknya sedikit berbeda—
“Takeru-san.”
“Hmm?”
Takeru yang baru saja
menyelesaikan belajarnya dan tengah membaca komik di ruang tamu dipanggil
Reina, hal yang cukup langka.
Ketika mengangkat
wajahnya, Reina sedikit membungkuk dan berkata “Maaf mengganggu,” dengan rona
merah tipis di pipinya.
“Ada apa?”
Tidak seperti biasanya,
Reina mengalihkan pandangannya dari Takeru. Setelah mengembalikan pandangannya,
ia tampak malu-malu.
“Bolehkah aku bergabung
denganmu?”
“Bergabung untuk apa? Membaca
komik ini?”
Ketika Takeru menunjukkan
komik di tangannya, Reina sejenak memiringkan kepalanya sebelum menjawab
“Bukan” dengan sedikit mengerutkan alisnya.
“Maksudku, bolehkah aku
menghabiskan waktu di sini? Aku tidak akan mengganggu.”
“...Oh begitu.”
Dengan berpikir normal,
sudah jelas itu yang dimaksudnya. Dirinya yang membayangkan membaca buku
bersama sepertinya kurang waspada.
“Silakan.”
“Terima kasih. Aku akan
mengambil buku dari kamar.”
“Baiklah.”
Reina tersenyum lebar
dengan nada ceria, lalu membungkuk singkat dan berjalan ke kamarnya.
Gerak-geriknya tetap sangat anggun seperti biasa hingga membuat Takeru
terpesona. Meskipun terlihat senang, sikapnya tetap tidak berubah. Itu sangat
khas Reina.
“Sepertinya aku memang
membuatnya merasa tidak enak ya.”
Setelah dipikirkan lagi,
alasan Reina tidak pernah menghabiskan waktu di ruang tamu karena Takeru sudah
menguasainya duluan. Takeru merasa sedikit bersalah, tapi di sisi lain, ini
berarti Reina tidak terlalu canggung lagi.
“Aku kembali.”
“Ah, selamat datang
kembali.”
Setelah beberapa menit,
Takeru membalas ucapan Reina yang kembali. Reina tersenyum lalu sedikit
memiringkan kepalanya sebelum tersenyum lembut sekali lagi.
“Ada apa?”
“Apakah komiknya sedang
seru? Wajahmu terlihat sangat menikmatinya.”
“Ah...begitulah.”
Komik Takeru masih
tertutup. Jadi alasan Takeru tersenyum bukanlah itu, tapi dia tidak bisa
mengatakannya dan hanya mengiyakan pertanyaan Reina.
“Permisi.”
Sambil merapikan rok
panjangnya, Reina duduk di sebelah Takeru. Meskipun sofa itu cukup lebar
sehingga mereka tidak terlalu berdekatan, Takeru tetap sedikit merasa canggung.
Tentu saja Reina tidak
menyadari perasaan Takeru, ia membuka bukunya dengan tenang dan mulai
membaca.
(Dia terlihat seperti
lukisan)
Mata ambernya yang
mengikuti kalimat demi kalimat dengan gerakan kecil, juga bulu mata panjang
yang lentik. Hidung mancungnya, pipi putih mulusnya, juga rambut cokelat gelap
yang jatuh di sampingnya.
Bibirnya yang sedikit
terbuka membentuk lengkungan lembut ketika sesekali membacanya. Jari-jarinya
yang membalik halaman dengan hampir tak bersuara, juga postur tegaknya yang
sama sekali tidak berubah.
Mungkin ini hal biasa bagi
Reina. Tapi Takeru merasa dia sangat cantik. Karena itu, Takeru sedikit
kesulitan untuk mengalihkan pandangannya kembali ke komiknya.
Ketika Takeru melirik
Reina sekali lagi tanpa sengaja, pandangan mereka bertemu karena Reina juga
sedang melirik ke arahnya.
Dia menurunkan sudut
alisnya sedikit dan terkekeh, lalu diam-diam menutup bukunya. Dia sedikit
menurunkan sudut alisnya dan terkekeh, lalu diam-diam menutup bukunya, dan
menyentuh poninya, entah bagaimana dengan malu-malu.
“Ada apa?”
“Tidak, bukan apa-apa.
Hanya, entah kenapa saja?”
Takeru tidak mungkin
mengatakan bahwa dia memperhatikan karena Reina terlihat cantik. Dia bahkan
bertanya-tanya dalam hati apakah Ryouma akan dengan mudah mengatakannya. Dan
bagaimana reaksi Reina jika Ryouma mengatakan hal seperti itu.
(Dia mungkin sudah
terbiasa dipuji jadi tidak akan terlalu memusingkannya)
Memang, ketika dipuji di
kelas, Reina tidak menolak atau merendah berlebihan, dia hanya mengucapkan
terima kasih. “Entah kenapa, ya?”
“Entah kenapa.”
Meskipun Takeru mencoba
mengalihkan pembicaraan, entah kenapa terasa seperti alasan yang tepat. Jika
hanya karena Reina terlihat cantik, Takeru seharusnya selalu memperhatikannya.
“Begitu ya.”
“Ya.”
Reina sedikit memiringkan
kepalanya dan tertawa kecil, lalu membuka kembali bukunya dan menunduk.
Mengikuti isyaratnya, Takeru juga kembali membaca komiknya.
Setelah itu, pandangan
Takeru masih sering mengarah ke Reina dengan intensitas yang cukup tinggi.
Reina menyibakkan rambut
panjang berkilaunya ke belakang telinga. Sebuah gerakan alami bagi seseorang
dengan rambut sepanjang Reina. Namun bahkan gerakan sederhana itu membuat
Takeru terpana.
(Ah, begitu rupanya)
Alasan Takeru tertarik
bukan hanya karena kecantikan fisik Reina semata. Dia menyadari bahwa
gerak-gerik anggun yang biasa dilihatnya, bahkan ketika hampir tidak disadari
seperti tadi, adalah hasil dari upaya Reina sendiri.
Perbedaan antara Reina di
masa lalu dan sekarang bukan hanya karena waktu berlalu dan ingatan Takeru yang
kabur, tapi karena Reina benar-benar telah berubah.
Karena itulah Takeru
menganggap Amamiya Reina cantik. Pandangannya selalu tertarik padanya
berkali-kali.
(Ayahku memang sedikit
berlebihan)
Meskipun disuruh
menjadikan Reina sebagai teladan, hal itu tentu tidak mungkin ditiru
Takeru.
Namun entah bagaimana, dia
juga merasa ingin sedikit belajar darinya.
“Takeru-san.”
“Ya?”
“Kamu terlihat lebih
tampan dengan punggung tegak seperti itu.”
Ketika mengangkat wajah,
Reina berkata sesuatu yang sangat luar biasa dengan wajah tersenyum dan mata
menyipit, seolah itu hal biasa.
“Ugh...kenapa tiba-tiba
kamu bilang begitu?”
“Aku hanya mengungkapkan
apa yang kupikirkan?”
Seperti kata-katanya,
Takeru mengerti jika Reina hanya memuji seperti yang dia pikirkan. Dia mungkin
sudah terbiasa memuji seperti halnya terbiasa dipuji. Tetapi—
“Ja.-Jangan bicara seperti
itu dong. Aku tidak terbiasa dipuji begitu.”
“Kalau begitu, aku akan
sering melakukannya untukmu nanti. Karena Takeru-san memiliki banyak hal baik.”
“Aku tidak punya yang
seperti itu.”
“Ada, kok.”
“Tidak ada.”
Dengan senyum lembut,
Reina terus mengucapkan “Ada” sampai Takeru menyerah.
Copyright Archive
Novel All Right Reserved ©
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.