Genjitsubanare shita bishōjo tenkōsei ga Chap 2

Ndrii
0

 Chapter 2




Pagi itu, seperti biasa dia membuka pintu kamarnya, dan jantungnya hampir berhenti berdetak. Mungkin sedikit berlebihan untuk mengatakannya seperti itu, tetapi itulah gambaran perasaan Takeru saat itu, dia terlalu terkejut sampai tidak bisa bersuara.

 

(Ah iya, dia ada di sini ya)

 

Reina yang mengenakan seragam sepertinya hendak mengetuk pintu. Dengan posisi tangan diangkat menghadap ke arahnya, dia membelalakkan matanya dalam posisi itu. 

 

“...Selamat pagi, Takeru-san.”

 

Namun seperti yang diharapkan dari seorang ojou-sama, Reina tidak membeku lama. Entah kapan, dia telah memperbaiki posisinya dan wajah anggunnya yang rapi menampakkan senyum lembutnya.

 

“...Pagi.”

 

Mata Reina sedikit menyipit. Meskipun garis wajahnya yang tegas, pipinya yang sedikit mengendur ketika tersenyum memberikan kesan kelembutan.

 

Hanya dengan membalas salamnya, dia dibuat silau dengan senyum seperti itu hingga tak mampu menatapnya. Dia menundukkan pandangan yang bertemu dengan Reina dan melihat seragamnya sambil berkata,

 

“Jadi kamu sudah mulai sekolah hari ini ya.”

 

“Ya.”

 

Mengikuti pandangan Takeru ke penampilannya, Reina tersenyum senang dan suaranya yang indah dan tenang sedikit bergetar.

 

“Gimana menurutmu?”

 

“Hm? Maksudmu?”

 

“Seragamnya. Apakah aku memakainya dengan benar?” Reina sedikit memiringkan kepalanya dengan ekspresi yang sedikit cemas terlihat di wajahnya yang menggemaskan. 

 

“Oh, begitu ya.”

 

Seragam dengan warna klasik itu bergaya blazer namun juga menerapkan desain rok gaya pelaut dan dikenal imut oleh siswi dari sekolah lain, begitu kata Ryouma. 

 

Dia memandangi Reina dari kepala hingga kaki. Tidak ada gaya rambut atau cara pemakaian yang ekstrim, bahkan kaos kakinya berwarna biru tua seperti seharusnya. Penampilannya dengan seragam itu cukup biasa. Meskipun begitu, penampilannya sama sekali tidak terlihat tidak berkarakter.

 

Meskipun tidak mencolok, kemungkinan dia akan sangat menarik perhatian. 

 

Dia tidak pernah memikirkannya sebelumnya, tetapi sekarang dia agak memahami apa yang dikatakan Ryouma. Dengan Reina yang berpenampilan rapi dan bertubuh tinggi mengenakan seragam itu, membuatnya terlihat berbeda dari seragam yang biasa dilihatnya.

 

“Bagaimana menurutmu?”

 

“Aku pikir itu terlihat lucu.”

 

“Eh?” 

 

Meskipun dia pikir dirinya sudah benar-benar sadar, tapi kalimat jujur itu tak sengaja terucap, sepertinya dia masih setengah sadar.

 

Dia bisa melihat rona merah menyebar di pipi putih Reina yang membelalakkan matanya. 

 

“Bukan begitu maksudku... Aku bermaksud mengatakan tidak ada yang aneh, maksudku kamu terlihat cocok memakainya.”

 

“Ah... Begitu ya.” 

 

Setelah salah tingkah menjelaskannya, Reina sedikit menyentuh poninya dengan ekspresi malu-malu.

 

“Syukurlah. Terima kasih.” Reina menghela nafas kecil seperti mencoba menenangkan diri dan sedikit mengerutkan alisnya.

 

“Sebenarnya aku ingin memamerkannya di kelas nanti.” 

 

Dia melirik Takeru dan merona merah sekali lagi.

 

“Tapi aku ingin kamu yang pertama melihatnya.”

 

“Apa...?”

 

Jantungnya berdegup kencang.

 

(...Tenanglah diriku. Dia hanya ingin kamu mengeceknya dulu)

 

Dari percakapan mereka, sepertinya tidak ada maksud lain selain itu. Tetapi karena ucapan dan ekspresinya, juga kata-kata jujur yang tadi terselip keluar, Takeru jadi menafsirkannya secara berbeda. Dia merasa pipinya sedikit memanas dan menampar pipinya pelan, membuat Reina terkejut “Ah”. 

 

“Maaf sudah menyita waktumu.”

 

“Ah tidak, kalau Cuma begini tidak masalah.” 

 

“Terima kasih.”

 

“Ah, etto, jadi kamu bermaksud membangunkanku?”

 

Takeru mengalihkan pandangan dari senyum lembut Reina dan bertanya, Reina menggeleng pelan. “Tidak.”

 

“Aku pikir itu akan terdengar lancang. Tapi kupikir sudah waktunya untuk bangun. Tapi sepertinya aku terlalu ikut campur ya.”

 

“Begitu rupanya. Yah, kamu tidak perlu khawatir, aku tidak pernah terlambat.”

 

Sembari tersenyum masam, Reina mengucapkan salam ringan kepadaku. Karena sudah mengetahui ketidakmampuan Takeru dalam menjalani kehidupan sehari-hari, Reina pasti merasa khawatir. Dan dengan dia yang sudah siap sedia pada jam ini, perasaan itu pasti semakin kuat. 

 

"Terima kasih, sudah mengkhawatirkanku."

 

"...Tidak, akulah yang seharusnya berterima kasih." 

 

Setelah membelalakkan matanya sejenak, Reina tersenyum dan menundukkan kepalanya. Takeru mengernyitkan dahi karena tidak mengerti mengapa dia berterima kasih, sementara Reina sedikit memerahkan pipinya sebelum memperbaiki postur tubuhnya.

 

"Hari ini hari pertamaku pindah, jadi aku akan menerima penjelasan, jadi aku harus berangkat sekarang."

 

"Oh begitu, cepat sekali ya. Apa kamu baik-baik saja dengan jalannya?" 

 

"Ya. Terima kasih sudah mengkhawatirkanku."

 

Tersenyum masam karena terus menerus diucapkan terima kasih, Takeru tertawa kecil dan Reina melanjutkan, "Kalau begitu..."

 

"Aku pergi dulu. Sampai nanti." 

 

"Ya. Hati-hati di jalan."

 

"Baik."

 

Setelah mengamati Reina yang seperti biasa melambaikan tangan dengan anggun sebelum keluar dari pintu depan, Takeru menuju wastafel. Seperti biasa, dia menggosok gigi dan mengambil sabun pencuci wajah.

 

(Eh?) 

 

Dia tidak menemukan barang-barang pribadi Reina di tempat penyimpanan wastafel. Meski ada cukup ruang kosong, dia tidak mau berpikir lebih jauh karena barang-barang itu milik seorang wanita jadi wajar jika Reina tidak ingin meletakkannya di tempat yang terlihat oleh laki-laki. 

 

Setelah mengganti pakaian, pada akhirnya dia mengambil sepotong roti sebelum meninggalkan rumah. 

 

Itu yang biasanya terjadi. Namun pagi ini sedikit berbeda dari biasanya, begitu pula bagian akhirnya. Ketika akan mengambil susu dari kulkas, Takeru mengangguk seperti tidak ada apa-apa dan mengalihkan pandangannya ke bangku depan yang ditunjuk Ryouma.

(Tln: ini emang ga ada pembatasnya, gw pun bingung tiba² pindah tempat :v) 

 

Tentu saja mereka bertunangan dan tinggal bersama, tapi demi mencegah informasi tersebut bocor karena kekhilafan, mereka sepakat untuk menyembunyikan fakta bahwa Takeru dan Reina saling mengenal di sekolah.

 

"Ada beberapa laporan dari orang yang melihatnya saat mengurus kepindahannya, katanya dia sangat imut." 

 

"Ya, aku tahu."  

 

Meskipun sudah mendengar gosipnya, Takeru tahu bahwa 'sangat imut belumlah cukup untuk menggambarkan Reina.

 

"Kamu lagi beruntung ya, Takeru? Dia duduk di bangku depanmu."

 

"Kalau dari belakang mukanya tidak kelihatan, kan?"

 

Takeru mengangkat bahunya, tapi Ryouma hanya tertawa dan menggelengkan kepalanya. 

 

"Bukan untuk mengamatinya, tapi kamu bisa lebih dekat dengannya. Dia murid pindahan dan mejanya di dekat mejamu, kamu laki-laki terdekat darinya."

 

"...Tidak perlu. Aku tidak berniat melakukan itu."  

 

Jawabannya sedikit terlambat karena dia baru menyadari bahwa secara fisik, memang dialah laki-laki paling dekat dengan meja Reina.

 

"Oh, ada jeda loh" 

 

"Hanya berpikir sebentar. Sungguh, aku tidak berniat pdkt atau semacamnya."

 

Dalam artian tunangan, justru dia ingin menjaga jarak.

 

"Benarkah?"

 

"Tidak semua laki-laki berpikiran seperti Oosaki atau semacamnya, kan?"

 

 

Seakan meledek Takeru, Ryouma tertawa. Tiba-tiba dari belakangnya muncul teman sekelas mereka, Sasaki Mana. Ryouma dan Mana sudah berteman sejak SMP, tetapi tahun lalu mereka berada di kelas yang berbeda sehingga Takeru baru mengenalnya di tahun ajaran ini. 

 

Menurut Ryouma, Mana bertipe licik tapi lembut. Dibandingkan dengan Reina, wajah Mana terlihat lebih manis, dengan rambut panjang yang lembut dan cerah, serta tubuh mungilnya yang mengenakan seragam dengan beberapa penyesuaian.

 

Jadi Takeru setuju dengan penilaian Ryouma tentang bagian kedua. Mengenai bagian pertama, dia masih belum terlalu paham, tetapi sikapnya terhadap Ryouma sepertinya tidak sepenuhnya termasuk tipe lembut seperti yang dikatakan. Meskipun begitu, sampai saat ini Takeru tidak menganggapnya sebagai tipe orang yang licik.

 

"Semua laki-laki memang begitu. Jangan terlalu berharap, Sakaki."

 

"Iriya-kun, kamu setuju kan?"

 

"Aku tidak setuju."

 

"Dengar kan?"

 

Mana mengayunkan tangannya di antara Takeru dan Ryouma, seperti mengacungkan mikrofon. Takeru tidak merespons, tetapi Ryouma mencoba menepis tangan itu dengan risih, malah tangannya yang ditampar.

 

"Kalau memang semua laki-laki berpikiran begitu, harusnya ada banyak laki-laki di sekitarku kan?"

 

Sambil membusung dada dengan percaya diri, Mana menambahkan, "Aku ini imut, lho."

 

Meskipun tadinya Takeru berniat membiarkan Ryouma yang menanggapi, tapi malah Ryouma yang tertawa geli sambil mengacungkan mikrofon imajiner ke arah Takeru.

 

"Takeru, komentarmu?"


Arch PJ

"...Jangan remehkan aku."

 

Tentu saja aku mengabaikannya. 

 

Perkataan Mana sepertinya benar, tapi mengakuinya terasa sangat memalukan. Namun—

 

"Iriya-kun, komentarmu?"

 

"Kenapa aku juga?"

 

Dengan ekspresi bosan, ia menghadap mikrofon kedua yang diarahkan kepadanya, tapi lawannya tak tergoyahkan. Pewawancara kedua itu memberikan senyuman sama seperti pewawancara pertama.

 

"...Hanya premis tentang Ryouma yang keliru."

 

"Tapi aku ingin kamu mengakui 'Aku ini cantik’ dengan jelas? Syukurlah kamu menolak yang dari Oosaki."

 

Dengan sengaja menggembungkan pipinya, Mana lalu menghela napas dan menertawakan Ryouma. 

 

"Yah, aku akui ada perbedaan setiap orang."

 

Sebagai balasan, Ryouma tersenyum masam dan mengangkat telapak tangannya, mengisyaratkan menyerah. Mana tidak mengeksploitasi Ryouma lebih jauh dan hanya merespons dengan "Hmm" lalu mengalihkan topik ke murid pindahan.

 

"Tapi seharusnya dia datang sejak upacara pembukaan ya?"

 

"Yah, tidak apa-apa kan? Karena dia murid pindahan, semua pasti akan memperhatikannya, jadi dia tidak akan terisolasi hanya karena terlambat."

 

"Benar juga."

 

Meski aku setuju dengan Ryouma dan Mana, sebagai orang yang mengenal Reina, aku khawatir dia tidak akan bisa menyesuaikan diri di sekolah ini.  

 

Ini bukan sekolah bangsawan seperti tempat Reina bersekolah sebelumnya. Dengan kecantikan yang hampir tidak masuk akal dan kemampuan yang luar biasa, ditambah cara bicaranya dan sikapnya yang terlalu anggun, akankah Reina bisa beradaptasi di sekolah ini?

 

"Takeru, ada apa?"

 

"...Tidak. Aku hanya berharap murid pindahan itu—"

 

Bisa menyesuaikan diri di sekolah ini. Tepat ketika aku hendak mengatakannya, bel berbunyi dan Ryouma tersenyum melihat speaker. 

 

"Kita tidak sempat bicara banyak karena Takeru terlambat."

 

"Kalau begitu, kabari aku sehari sebelumnya kalau ada yang mau dibicarakan lagi."

 

"Reservasi tempat dudukku sepanjang tahun ini untukmu."

 

"Kalau begitu, jangan datang ke tempat duduk anak perempuan, datangi aku setiap pagi—"

 

"Sudah kuduga, lebih baik lupakan saja. Reservasinya dibatalkan."

 

Meski aku tak ingin dia datang setiap pagi, aku tahu Ryouma hanya bercanda. Aku tahu, tapi responnya begitu cepat hingga Mana yang duduk di sebelahku tertawa terbahak-bahak.

 

"Kamu membatalkan reservasi dengan sangat buruk, mending langsung blacklist Ryouma saja."

 

"Ah, benar juga."

 

"Hei, Takeru. Ingat persahabatan kita."

 

Dengan berpura-pura mengangkat bahu, Ryouma berkata "Sampai nanti" sambil mengangkat tangannya. Sementara Mana di sebelahnya berujar "Sebaiknya kamu benar-benar blacklist dia" sambil melambai-lambaikan tangan, lalu keduanya kembali ke tempat duduk masing-masing.

 

Begitu mereka duduk, bel berhenti berdering dan pintu terbuka. Wali kelas laki-laki memasuki ruangan dengan pintu tetap terbuka. Berbeda dari biasanya. Setelah ketua kelas memberi aba-aba, pelajaran dimulai dan wali kelas pria paruh baya itu memandang sekeliling kelas dengan senyum masam.

 

"Kalian seperti ingin aku cepat-cepat saja ya. Baiklah, langsung saja, aku akan memperkenalkan murid pindahan baru yang akan belajar bersama di kelas ini mulai hari ini. Silakan masuk."

 

"Baik."

 

Dengan suara merdu nan anggun, semua pandangan di kelas tertuju ke satu arah.

 

Segera setelah Reina membungkuk ringan dan melewati pintu, terdengar seruan kagum dari penjuru kelas. Tak heran, meski semua telah mendengar kabar tentang "murid pindahan cantik yang akan datang", penampilan Reina pasti melampaui bayangan mereka semua.

 

Jadi, tentu saja yang pertama kali menarik perhatian teman sekelas adalah penampilannya yang sangat cantik. Terutama murid laki-laki yang langsung terpana, namun suasana kelas tidak menjadi ribut.

 

Entah karena cara berjalannya yang sama sekali tidak ragu-ragu, atau karena penampilannya yang begitu anggun seolah layak dijadikan contoh, atau karena aura yang memancar darinya. Di hadapan keberadaan Amamiya Reina yang memiliki pancaran tersendiri, kelas menjadi sunyi, seakan terkena tekanan darinya. 

 

Sementara seluruh pandangan 34 teman sekelas tertuju padanya, Reina berdiri di samping meja guru tanpa ragu-ragu, dengan senyum lembut dan anggun.

 

"Namaku Amamiya Reina. Mulai hari ini aku akan belajar bersama kalian semua. Meski aku memulai dengan sedikit terlambat, mohon bantuannya untuk satu tahun ke depan."

 

Dengan senyum lembutnya, Reina mengucapkan itu dengan lancar sambil memandang sekeliling kelas, lalu membungkuk dalam. Namun, tepuk tangan yang menyambutnya hanya segelintir. Suasananya seakan masih belum terasa nyata. Di tengah suasana itu—

 

"Senang bertemu dengannmu."

 

Suara keras itu berasal dari Mana. 

 

"Ya, aku juga, mohon bantuannya."

 

Dengan sedikit melambaikan tangan ke arah Mana, Reina membalas dengan sapaan yang luwes sambil sedikit melebarkan senyumnya.

 

Berkat Mana yang memulai duluan, suara "Senang berkenalan denganmu" pun menyusul dari seluruh kelas. Namun karena jumlahnya terlalu banyak, Reina tidak dapat membalas satu per satu dan hanya membungkuk anggun sambil berkata, "Terima kasih."

 

(Sepertinya dia akan baik-baik saja)

 

Setelah sapaan itu, bermunculan berbagai pertanyaan, yang kemudian ditengahi oleh wali kelas dengan senyum masam agar ditanyakan nanti saja. Sambil melihat itu, Takeru menghela napas lega.

 

Di tengah keributan kelas, matanya menangkap Reina yang berdiri di samping wali kelas yang sedang memberikan penjelasan, dan pandangan mereka bertemu secara tak sengaja.

 

Reina yang sedikit mengembangkan senyumnya, sedikit memiringkan kepalanya seperti membuat gerakan menggoda. Meski hanya sekilas, gerakan itu sangat mengguncang jantungnya.

 

"Jadi, kamu kabur dari bangku eksklusifmu?"

 

"Itu bukan bangku eksklusif, tapi hukuman."

 

Segera setelah pelajaran usai, kerumunan orang mengelilingi Reina. Meski perempuan yang memulai percakapan, murid laki-laki yang berkumpul di sekelilingnya juga mencari kesempatan untuk mengobrol dengannya.


Dann/Amai Novel Project

Jika itu saja tidak masalah, tetapi karena mereka sering menabrak meja, menjadi sangat sulit bagi Takeru yang duduk di belakang. Karena keadaan yang sama terjadi saat istirahat, dia mengungsi ke bangku Ryouma.

 

“Apakah akan seperti ini lagi saat istirahat berikutnya?”

 

“Tentu saja begitu. Setidaknya menyerahlah untuk hari ini.”

 

“Seburuk itukah?”

 

“Bahkan sekarang ada sekitar sepuluh orang yang berkumpul, mereka sudah mendekatinya tetapi ada yang tampaknya belum bicara dengannya. Selain itu, ada juga orang yang mengawasi keadaan dari bangkunya sendiri.”

 

Sambil menurunkan nada suaranya, Ryouma mengangguk ke arah yang ditunjukkannya, dan Takeru menghela nafas.

 

“Jadi, jika Takeru juga ingin bicara, berjuanglah.”

 

“Aku mah tidak apa-apa.”

 

Reina tetap mempertahankan senyum lembutnya, tampaknya tidak keberatan menanggapi semua orang, meskipun diajak bicara dari segala arah sehingga terlihat cukup sibuk. Untuk Takeru, dia bisa bicara dengannya di rumah, tetapi bahkan jika dia ingin bicara di sekolah, situasi ini membuatnya merasa ragu.

 

“Ngomong-ngomong, kenapa kamu tidak menyapanya?”

 

“Aku ingin bicara dengannya mumpung ada kesempatan, tapi situasinya seperti itu.”

 

“Aku juga.” 

 

Mana, yang duduk di sebelah Ryouma, bergabung dalam percakapan dengan cara yang alami seperti pagi hari. Dengan posisi menempel di meja dengan sikap yang sangat jelas tidak senang.

 

“Aku ingin bicara, tapi anak laki-laki mengganggu. Aku harap mereka bisa membaca situasinya.”

 

“Bukankah aku sudah bilang pagi ini, laki-laki memang begitu?”

 

Melirik Ryouma yang mengangkat bahu dengan senyum masam, Mana mencibir.

 

“Aku juga ingin bicara dengannya. Lakukan sesuatu.” 

 

“Jangan meminta yang mustahil. Lagipula, kamu perempuan, harusnya lebih mudah bagimu.”

 

“Jika ada orangnya makin banyak, dia akan kesusahan kan?”

 

“Aneh kamu bisa memikirkan hal seperti itu.”

 

“Aku perempuan yang peka.”

 

“Ya, ya.”

 

Melihat Mana berdiri dan mencoba memukul sementara Ryouma dengan patuh menerima pukulannya, Takeru berpikir mereka berdua akrab, lalu mengalihkan pandangannya. 

 

Di bangku paling depan dekat jendela kelas, ada Reina yang dengan telaten dan sopan menanggapi semua pertanyaan yang mengalir kepadanya. Takeru memikirkan kapan dia bisa bicara dengan Reina seperti saat berbicara dengan Ryouma atau Mana, tanpa pernah melepas senyum manisnya.

 

Saat Takeru membuka pintu depan rumah, dia terkejut melihat Reina ada di sana seperti kemarin. Namun, hari ini sepertinya dia baru keluar dari kamar, karena dia juga tampak terkejut sesaat.

 

Reina segera berlari kecil menghampiri dan tersenyum ceria. Penampilannya mirip seperti kemarin, sampai-sampai Takeru hampir mencari ekor yang seharusnya tidak ada di belakangnya. 

 

“Selamat datang, Takeru-san.”

 

“Aku pulang.”

 

Reina tersenyum, berpakaian gaun ganti dengan rambut diikat dan membawa celemek di tangannya.

 

“Apa kamu akan menyiapkan makan malam sekarang?”

 

“Ya. Apakah jika waktunya sama seperti kemarin tidak masalah?”

 

“Ya.”

 

Meskipun Takeru menjawab demikian, tapi—

 

“Tapi hari ini kamu bisa memesan delivery atau sejenisnya? Ini hari pertamamu pindah, kamu pasti lelah.”

 

Meskipun tidak terlihat dari penampilannya, dan tampak ceria, pasti dia merasa lelah. Ya, benar.

 

Sepanjang hari ini, orang-orang tidak menjauh dari sekeliling Reina. Meskipun dia dengan sopan menolak dengan alasan ada keperluan di ruang guru, dia berkali-kali diajak makan siang, dan lebih dari itu, di siang hari ada pula yang datang menemuinya dari kelas lain, jadi dia pasti sama sekali tidak mendapat waktu istirahat.

 

“Terima kasih atas perhatianmu.” 

 

Reina melunakkan sedikit sudut bibirnya dengan raut sedikit bahagia lalu melanjutkan kata-katanya, “Tetapi...”

 

“Aku memang sedikit tegang, tetapi karena semuanya mengajakku berbicara, hari ini menyenangkan. Aku sama sekali tidak merasa lelah.”

 

Setelah mengatakan itu, dia terkekeh dan menutupi mulutnya, lalu Reina menatap Takeru.

 

“Karena telah terjadi sesuatu yang sangat baik.”

 

“Apa yang terjadi?”

 

Takeru yang memperhatikan Reina di bangku depan sepanjang hari, tidak merasa ada kejadian yang membuat hatinya berbunga-bunga. Tentu saja, dia tidak mengawasinya setiap saat.

 

“Karena Takeru-san makan sarapan yang aku siapkan.” 

 

“...Lalu?”

 

“Apa maksudmu dengan ‘lalu’?”

 

Ketika ditanya oleh Reina yang sedikit merona dan menyipitkan mata, dia tampak bingung sambil sedikit memiringkan kepalanya.

 

“Tidak, maksudku apa tepatnya yang ‘baik’ itu?”

 

“Takeru-san makan sarapan yang aku siapkan...”

 

“Hanya itu saja? Bukannya itu malah bagus untukku?”

 

Reina menyiapkan sarapan untuknya tapi tidak menyampaikan dengan pertimbangan. Lalu apa yang bagus ketika Takeru memakannya?

 

“Tidak.” Reina tersenyum lembut sambil menggelengkan kepalanya pelan, membuat ujung rambut kastanyenya sedikit bergoyang. 

 

“Seharusnya aku bertanya tentang waktu bangun dan berangkat sekolah Takeru-san sejak kemarin. Begitu pula dengan suprise kemarin, ternyata kemarin aku terlalu bersemangat ya.”

 

Dia tertawa kecil, lalu Reina mengerutkan alisnya sedikit.

 

“Tetapi meskipun aku tidak memberitahunya, Takeru-san menghabiskannya di sela waktu yang sempit. Aku sangat senang.”

 

“...Yah, itu...”

 

Takeru merasa sedikit tidak enak karena ternyata membuat Reina ambil pusing, tapi juga merasa malu. 

 

Dari rona merah di pipinya yang memudar, terlihat Reina sangat bahagia hanya dengan hal itu.

 

“Makanan kemarin enak, jadi kalau ada ya aku makan.”

 

“Terima kasih.” 

 

“...Pagi ini juga, enak. Terima kasih.”

 

“Tidak, justru aku yang berterima kasih.” 

 

Setelah berkata “Terima kasih” sambil sedikit mengalihkan pandangan, dia dibalas “Terima kasih” dari depan.

 

“...Ngomong-ngomong, sekali lagi, jika lelah karena perubahan situasi, istirahatlah.”

 

“Terima kasih atas perhatianmu. Tetapi aku rasa aku bisa terbiasa dengan keadaan ini.”

 

“Kalau begitu baguslah.” 

 

Untuk saat ini dia tampak senang, jadi Takeru tidak ingin merusak suasana hatinya dan memutuskan untuk membiarkan Reina mengurus segalanya sendiri.

 

 

Namun bahkan keesokan dan keesokannya lagi, keadaan di sekeliling Reina tidak tenang juga. 

 

“Takeru, sepertinya wajahmu semakin kesal setiap harinya?”

 

“Tidak juga.”

 

“Hei, memang begitu kan?”

 

Ketika Takeru yang hari ini juga mengungsi ke bangku Ryouma melirik ke arah Reina dan sekelilingnya, Ryouma mengangkat bahunya dengan ekspresi geli. Meski Takeru sendiri sadar, tapi dia tidak ingin mengakuinya secara lisan.

 

“Aku pun akhirnya sependapat dengan Oosaki.” 

 

“...Yah, kalau setiap hari dikelilingi keributan, wajar merasa kesal kan?”

 

Setelah Mana yang menempel di meja dengan tampang malas sampai menyinggungnya, akhirnya Takeru menyebutkan salah satu penyebabnya dengan enggan.

 

“Lagipula gara-gara itu, Takeru jadi tidak bisa bicara dengan Amaniya-san.” 

 

“Ah, itu tidak masalah.”

 

Saat Ryouma tertawa ringan sambil menepuk bahunya, Takeru menepis tangannya dengan ekspresi sekesal mungkin.

 

“Kalau bagiku sih, ini masalah besar.”

 

Mana tidak menyembunyikan ketidakpuasannya seperti Takeru. Sambil sengaja berkata “Buu”, dia memelototi bangku Reina, atau lebih tepatnya sekelilingnya.

 

“Yah, soal Sakaki tidak masalah, tapi yang itu sudah keterlaluan.”

 

“Itu masalah untukku.” 

 

Orang-orang yang mengelilingi Reina sekarang kebanyakan laki-laki, bukan hanya dari kelas yang sama, bahkan dari kelas lain, dan juga dari tingkat yang berbeda.

 

Menurut Ryouma, awalnya para lelaki menghindari gadis-gadis, namun setelah beberapa dari mereka terus-menerus mengajak bicara tanpa segan, lelaki lain yang melihat itu juga ikut tidak merasa sungkan lagi. Bahkan topik pembicaraan mereka sudah tidak lagi dalam konteks mengkhawatirkan murid pindahan, seperti menanyakan kontak atau mengajak bersenang-senang.

 

Akibatnya, justru para gadis lah yang sekarang merasa sulit mendekati Reina. 

 

Ini bukan situasi yang baik bagi Reina yang sedang berusaha menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Tentu saja ini juga bukan keadaan yang menyenangkan bagi Takeru yang tahu bahwa Reina seharusnya merasa senang dengan kondisi ini.

 

(Aku ingin melakukan sesuatu, tapi...)

 

Sementara Takeru memikirkan cara mengatasinya, Mana lagi-lagi mengeluarkan kata “Buu.”

 

“Aku ingin bicara dengannya.”

 

“Jangan merajuk. Nanti juga akan mereda dan kamu bisa bicara dengannya.” 

 

“Kapan itu?”

 

Mana menyuarakan ketidakpuasannya dengan “Lamaaa” setelah Ryouma menggumamkan “Mungkin minggu depan”, dan untuk hal ini Takeru setuju.

 

Jika terus begini, minggu pertama Reina pindah akan dihabiskan hanya dikelilingi lelaki. Meskipun Takeru tidak tahu pendapat Reina, namun menurutnya itu bukan kesan yang baik. Dia bahkan berpikir mungkin karena ini Reina tidak akan bisa menjalin hubungan yang baik dengan para gadis.

 

Takeru ingin melakukan sesuatu, namun jika dia yang turun tangan, yang terjadi hanyalah menambah satu orang lagi di antara lelaki di sekitarnya. Bahkan mungkin bisa menyebabkan masalah.

 

(Lalu bagaimana caranya...?) 

 

Saat pandangannya tertunduk mencari jalan keluar, dia melihat Mana yang masih menempel di meja dengan bibir mengerucut.

 

“...Hei, Sakaki-san.”

 

“Ya?”

 

“Amaniya-san dipanggil ke ruang guru saat istirahat berikutnya, kalau kamu menyesuaikan waktu, bukankah kamu bisa bicara dengannya di sana?”

 

Jika Takeru yang laki-laki tidak bisa, maka Mana yang perempuan bisa mencobanya.

 

Ini seperti menyuruh Mana mengintai secara tidak langsung, jadi Takeru agak merasa tidak enak. Tapi setidaknya ini memenuhi keinginan Mana. Selain itu, jika Mana berhasil bergabung dengan yang lain di sekitar Reina, situasi Reina juga akan membaik.

 

“Eh, benarkah?”

 

“Ya.”

 

Takeru mengangguk menanggapi Mana yang mendongak dengan cepat.

 

“Tapi kenapa kamu bisa tahu hal seperti itu?”

 

“Aku mendengar guru membicarakannya. Karena aku duduk di belakangnya.” 

 

Sebenarnya Takeru mengetahuinya langsung dari Reina di rumah kemarin, tapi tentu saja dia tidak bisa mengatakannya, jadi dia mengalihkan pembicaraan. Ryouma mengangguk kecil, “Begitu ya.”

 

“Ajak dia makan siang juga nanti.”

 

“Kamu ini bersemangat sekali ya,” ucap Ryouma dengan nada geli melihat Mana tersenyum lebar sambil melirik ke arah Reina. Takeru hanya membalas dengan senyum masam, tapi merasa sedikit lega.

 

“Terima kasih, Iriya-kun.” 

 

“Kalau begini situasi di sekitar Amaniya-san jadi tenang, aku juga diuntungkan.”

 

Saat Takeru mengangkat bahu menanggapinya, Mana menyeringai “Ah” dan Ryouma hanya menggelengkan kepalanya melihat reaksi mereka berdua.

 

Melihat Takeru yang tidak mengerti maksud reaksi keduanya, Mana tersenyum lebar dan membuka mulutnya.

 

“Kalau Iriya-kun yang diuntungkan—“

 

Di istirahat berikutnya, efek rencana itu mulai terlihat. Bahkan bisa dibilang sangat efektif.

 

“Jadi, aku boleh memanggil Reina saja kan? Kamu juga panggil aku Mana saja ya.”

 

Mana sepertinya berhasil mendekati Reina dengan baik, saat ini dia berdiri di depan meja Reina dan mengobrol dengan riang. Berkat itu, lingkaran di sekeliling Reina saat ini hanya terdiri dari perempuan.

 

“Ya, mohon bantuannya, Mana-san.”

 

“Tidak perlu pakai ‘san’.”

 

Meskipun mencibir sebentar, Mana langsung santai dan berkata “Ah sudahlah” sambil membuat Reina terkikik di balik tangannya.

 

Gadis-gadis di sekeliling mereka pun ikut menyebut nama satu sama lain. Mereka yang sebelumnya sulit berbicara dengan Reina juga tampak gembira. Tapi Takeru merasa ekspresi Reina terlihat lebih lembut daripada saat dia dikelilingi para lelaki.

 

Para laki-laki memang menolak ajakan mereka, tetapi hari ini Reina juga menerima ajakan makan siang dari Mana dan yang lainnya, jadi sepertinya itu bukan hanya perasaannya saja.

 

"Jadi, kenapa kamu ada di sini lagi, Takeru?"

 

"Lebih baik laki-laki terus-menerus menabrak meja, daripada dikelilingi cewek-cewek, rasanya tidak enak."

 

"Kenapa kamu berkata seolah ‘sayang sekali’, bodoh."

 

"Kata 'sayang sekali' yang keluar darimu membuatku tidak ingin dipanggil bodoh olehmu." 

 

Ryouma adalah teman Takeru sejak masuk SMA, dan dia sering menyebut Takeru "bodoh" berkali-kali sebelumnya. Puluhan kali, mungkin? Namun, kata "bodoh" kali ini adalah yang paling serius di antara yang lain.

 

"Tapi, meski kamu bilang itu sia-sia, dalam situasi seperti itu kamu juga tidak akan mengajaknya bicara, kan?"

 

"Ya, aku tidak akan melakukan hal yang mengganggu keharmonisan."

 

Ryouma mengangkat bahunya dan menunjuk ke arah meja Reina dengan dagunya, "Lagipula, hari ini ada 'anjing penjaga' yang berisik." 

 

Di tempat yang ditunjuk, seorang laki-laki yang tidak bisa membaca situasi (penantang) sedang mencoba menyerang, tetapi diusir oleh Mana sebelum bisa mencapai Reina.

 

"Aku memintanya melakukan tugas yang tidak enak ya?"

 

"Sudahlah, tidak usah dipikirkan. Dia memang seperti itu dari dulu, dan sangat benci laki-laki yang tidak bisa membaca situasi saat menggoda."

 

"Tapi kelihatannya dia akrab denganmu."

 

"Hah? Mana buktinya... lagipula aku bisa membaca situasi dan bukan penggoda." 

 

"Ya ya..."

 

"...Yah, karena Takeru kelihatan baik hari ini, aku maafkan."

 

"Aku biasa saja kok." 

 

"Ya ya."

 

Menghadapi temannya yang sombong seolah menang, Takeru yang sedikit punya kepekaan tidak membalas apa-apa. 

 

Hari itu, waktu pulang sekolah lebih lama dari kemarin, dan Reina menunggu di depan pintu. Ketika Takeru bilang padanya tidak perlu menunggu, dia menjawab dengan senyum lebar, "Hari ini spesial." Dan suasana hatinya tetap ceria bahkan saat waktu makan malam tiba.

 

Hari ini berkat Mana, dia bisa mengobrol banyak dengan gadis-gadis di kelasnya. Jadi Takeru pikir itu sebabnya dia ceria. Lalu Reina menatap wajah Takeru, menyipitkan matanya dengan lembut, dan sedikit melengkungkan bibirnya.

 

"Ada apa?"

 

"Ya."

 

Reina mengangguk kecil dengan senyum lembut di wajahnya.

 

"Takeru-san."

 

"Ya?"

 

"Terima kasih untuk hari ini."

 

"...Untuk apa?"

 

Reina tersenyum malu-malu penuh kegembiraan, dan membungkukkan badan dengan penuh penghargaan.

 

"Untuk Mana-san."

 

"...Maksudnya?"

 

Reina tersenyum kecil sambil menutupi mulutnya. Matanya menyipit seperti melihat kelucuan seperti yang dilakukan anak kecil.

 

"Tidak usah pura-pura bodoh. Aku sudah mendengar semuanya dari Mana-san." 

 

"Oh... Aku hanya memberitahu kalau kamu akan ke ruang guru."

 

"Tidak boleh begitu."

 

Reina tersenyum kecil lagi, menggembungkan sedikit pipinya dengan riang, dan memperlihatkan sedikit ekspresi bangga.

 

"Kamu tidak pandai berbohong sejak dulu, Takeru-san, jadi aku langsung tahu. Lagipula, Mana-san juga bilang kalau dia diminta menemaniku agar cowok-cowok tidak mendekatiku."

 

"Aku tidak bilang begitu." 

 

Waktu itu memang Takeru mengatakan akan lebih sulit laki-laki mendekati jika ada banyak perempuan, tapi Reina membuatnya terdengar seperti Takeru yang aktif membantu. Dan juga - 

 

"Imbalannya, kamu berjanji memberi Mana-san kue. Makanya kamu pulang telat hari ini, kan?"

 

Mana meminta cokelat dari toko populer sebagai imbalannya. "Kalau itu membantu Takeru, kamu harus berterima kasih padaku, kan?" katanya. Akibatnya, Takeru harus mengantri di antara banyak wanita. Mungkin wanita-wanita itu tidak terlalu memperhatikan Takeru, tapi rasanya sangat tidak nyaman.

 

Sebenarnya, meski Takeru tidak berterima kasih pun, Mana tetap akan menemani Reina. Ryouma juga bilang, "Dia cuma ingin membuatmu mengantri." Mana sendiri menyangkal hal itu, meski dengan senyum jahil yang sangat dibuat-buat. 

 

"Aku juga dengar kalau kamu memintanya tutup mulut."

 

"Tapi kalau begitu, kenapa kamu bisa tahu?"

 

Setelah menghela napas kecil, Reina juga tersenyum masam, sepertinya dia memiliki beberapa pemikirannya sendiri.

 

"Mana-san bilang 'Tak masalah memberitahunya' dan tidak keberatan. Aku juga lega bisa mendengarnya."

 

Aku sedikit mengerti alasan mengapa Ryouma menilai Mana sebagai orang yang licik. 

 

Tapi, ada satu kesalahpahaman yang harus kuluruskan.

 

"Biar kuberitahu, Sakaki-san tidak bicara denganmu karena aku yang memintanya loh? Dia memang ingin berbicara denganmu, tapi tidak punya kesempatan saja. Jadi, aku pikir kebetulan saja." 

 

"Ya. Mana-san juga sangat menekankan poin itu."

 

Dari cara Reina tersenyum seperti orang bingung, sepertinya penekanan itu cukup kuat.

 

"Selain itu, Mana-san bilang aku juga harus berterima kasih padamu, Takeru-san, karena sudah membuat kesempatan itu."

 

Kalau begitu, seharusnya dia membatalkan soal cokelat itu. Begitu pikirku sambil menghela napas kecil. Melihatku, Reina tertawa kecil.

 

"Terima kasih. Takeru-san sangat perhatian ya." 

 

Dengan pipi sedikit merona, Reina menyipitkan matanya lembut dan sedikit memiringkan kepalanya. 

 

"Aku berterima kasih karena aku tidak terlalu bisa mengobrol dengan teman-teman perempuanku, tapi berkat kesempatan ini aku bisa berbicara dengan Mana-san tanpa merasa dia datang karena diminta olehmu."

 

"Bukan begitu, aku cuma..." Takeru melancarkan dalih bahwa dia kesal dengan kerumunan laki-laki yang mengganggu, yang memang benar. Reina membelalakkan matanya dan bergumam pelan "Seperti dugaanku". Lalu dia menatap Takeru lekat untuk sesaat dan perlahan menyipitkan matanya. 

 

Aku mengenali tatapan lembut ini. Ini ekspresi yang diperlihatkan Reina ketika dia mengenang masa lalu.

 

"Takeru-san memang Takeru-san ya." 

 

"Tentu saja."

 

Meski begitu, Takeru tidak benar-benar tidak mengerti maksud Reina mengatakannya.

 

Seolah dia telah menemukan kembali sesuatu berharga yang hilang, dia menatap dengan rasa rindu sekaligus kasih sayang, dengan semangat. Lebih bersemangat dari sebelumnya dengan rona di pipi yang lebih merah. Takeru tidak bisa membalas tatapan Reina langsung, jadi yang bisa dilakukannya hanya menatap makanan yang dia siapkan.

 

Saat minggu berganti, situasi di sekitar Reina sedikit lebih tenang. Walaupun tidak sebanyak minggu lalu, karena Mana dan teman-teman sekelas ada di sekelilingnya, laki-laki dari kelas lain jarang mendekat. 

 

"Karena ada banyak perempuan, laki-laki jadi sulit mendekati. Mereka yang masih nekat melakukannya, yang dalam arti buruk punya semangat berlebihan, sepertinya sudah datang semua dalam seminggu pertama."

 

Di kantin saat istirahat makan siang, Ryouma tertawa senang sambil mengatakan hal itu.

 

"Selain itu, Takeru yang menyuruh Sakaki juga berpengaruh besar ya." 

 

"Menyuruh? Jadi di matamu Sakaki itu anjing ya?"

 

"Sudah kubilang dia seperti anjing penjaga, kan? Dia membantu juga."

 

Benar, penilaian Ryouma tepat jika melihat Sakaki yang mengusir dan tidak membiarkan laki-laki mendekati Reina. 

 

"Tapi, bagiku dia lebih mirip kucing."

 

"Maksudmu dia manja dan seenaknya sendiri?"

 

"Bukan begitu maksudku." 

 

"Bukan di kata-katamu sih, tapi itu yang kamu pikirkan, kan." 

 

"...Jangan membuat menafsirkannya sesukamu."

 

Aku memang menganggapnya bertipe sedikit manja, tapi tidak sampai menganggapnya manja. Setidaknya untuk saat ini. Diminta mengantri membeli cokelat memang agak menyebalkan, tapi mengingat usaha Mana, rasanya sepadan. Untuk saat ini, aku tidak memiliki masalah khusus dengan Mana. 

 

Saat Takeru kehabisan kata-kata, Ryouma menyeringai dan mengangkat sudut bibirnya dengan jahil.

 

"Kalau begitu, tanya saja langsung orangnya." 

 

"Hah?" 

 

Ryouma masih tertawa menyebalkan seperti biasanya sambil menunjuk ke belakang Takeru. Dengan firasat buruk, Takeru menoleh dan melihat -- 

 

"Aku seperti kucing? Kenapa? Beri tahu aku, Iriya-kun?" 

 

Yang berdiri di sana adalah Mana yang tersenyum dengan nampan makanan di tangannya, dan Reina dengan alisnya berkerut.

 

Senyuman manis Mana entah kenapa terasa mengintimidasi. Walaupun ekspresi dan cara senyumnya tentu berbeda, kesan yang didapat mirip saat Reina memandangi kamarnya, sebuah senyuman yang terasa mengintimidasi.

 

(Apakah perempuan pandai membuat senyuman seperti itu? Agak menakutkan.)

 

Takeru melirik ke arah Reina di sampingnya, tapi Reina hanya menggeleng kecil sambil mengibas rambut kastanyenya yang berkilau. Sepertinya tidak ada solusi.

 

“Yah, untuk sementara kita duduk saja di sini.”

 

“Apa kami tidak mengganggu?”

 

“Tentu saja tidak, silakan silakan. Iya kan, Takeru?”

 

“Ya.”

 

Didorong oleh Mana yang tiba-tiba terlihat ceria dan suasana ramah Ryouma, Reina yang agak ragu akhirnya duduk di sebelah Takeru sambil berkata, “Permisi.”

 

“...Aku akan mencoba tahan berada di sebelah Oosaki.”

 

“...Harusnya aku yang bilang begitu.”

 

Ryouma dan Mana yang sedari tadi menatap mereka mengangkat bahu pasrah dan duduk bersebelahan.

 

“Jadi, Iriya-kun. Kenapa?”

 

“Ummm...”

 

Mana kembali ke senyuman sebelumnya. Sepertinya dia tidak berniat membiarkannya lewat begitu saja.

 

Takeru mencoba mencari alasan sambil mengalihkan pandangan, tapi tatapan Mana tidak membiarkannya tenang.

 

“Aku juga merasa Mana-san memiliki aura seperti kucing. Baik di bagian disukai orang lain maupun kemanisannya, sangat mirip.” 

 

“Ya, itu dia. Itu yang ingin kukatakan.”

 

Segera memanfaatkan bantuan Reina, Reina terkikik dan sedikit menyipitkan matanya. “Yah, kumaafkan yang tadi demi Reina.”

 

Dipuji langsung seperti itu, untuk pertama kalinya sejak Takeru mengenal Mana, ia terlihat malu-malu. Takeru pikir itu mengejutkan, tapi beberapa detik kemudian ekspresinya kembali seperti biasa dan dia berkata –

 

“Lebih baik daripada dipanggil anjing penjaga, kan?”

 

Diikuti suara seperti menginjak sesuatu, “Ugh” Ryouma mengerang dan menjatuhkan karaage dengan sumpit ke atas nampan, untungnya.

 

Reina menatap Ryouma dengan wajah khawatir, tapi ketika Mana berkata “Tak apa,” dan Ryouma membalas “Kamu yang harusnya khawatir,” Reina memberikan senyum masam seperti merasa lega.

 

Seperti Takeru, Reina sepertinya juga menyadari bahwa itulah cara mereka berkomunikasi.

 

“Jadi, Reina. Untuk mengakrabkan diri, orang di sebelahku yang kelihatan serius tapi sebenarnya laki-laki mesum itu Oosaki. Tidak perlu mengingat nama kecilnya.” 

 

“Namaku Oosaki Ryouma. Dan hentikan membangun impresi buruk sejak pertemuan pertama. Aku suka mengobrol dengan perempuan, tapi bukan berarti mesum lho. Salam kenal, Amamiya-san.”

 

“Kamu tidak menyangkal bagian mesumnya ya.”

 

“Takeru juga jangan menggodaku. Aku tidak bisa menyangkal bagian itu. Aku tidak akan berbohong pada perempuan.”

 

Di samping Takeru yang menggumam dalam hati agar tidak berbohong pada laki-laki juga, Reina menutupi mulutnya dan terkikik.

 

“Ah, maaf. Aku hanya merasa kalian semua akrab sekali.”

 

Entah karena tidak bisa membantah Reina yang terlihat senang, Ryouma dan Mana hanya diam dengan wajah tidak puas. Melihat sikap mereka seperti itu, mungkin memperkuat kesan Reina sebelumnya, karena Reina sedikit menyipitkan matanya seolah melihat sesuatu yang menggemaskan.

 

“Sekali lagi, namaku Amamiya Reina. Terima kasih sudah mengizinkanku bergabung.”

 

Meskipun sedikit dangkal karena situasinya, Reina membungkuk dengan sikap tegap seperti biasanya, sebuah penghormatan yang anggun.

 

Sepertinya Ryouma tidak mengharapkan reaksi seperti itu karena sejenak dia tergagap, “Ah, ya.” Sementara itu, Mana yang sudah sedikit lebih lama mengenal Reina dibanding Ryouma, terlihat bangga seperti dia sudah tahu reaksi Reina.

 

“Tapi Amamiya-san, bukankah minggu lalu kamu membawa bekal ke kelas?”

 

“Ya. Hari ini karena seminggu yang lalu sudah diajak Mana-san, jadi aku ke sini.”

 

Ryouma memang selalu memperhatikan sekitarnya ya.

 

Ngomong-ngomong, Takeru selalu makan di kantin. Reina bilang tidak masalah membuatkan bekal untuk dua porsi, tapi Takeru menolak dengan sopan. Takeru berpikir akan terasa tidak enak jika selalu dibuatkan bekal, dan mengingat hari seperti ini saat Reina makan di kantin dengan temannya, sepertinya keputusannya tepat.

 

“Oh, jadi Sakaki mengajakmu dengan paksa ya.” 

 

“Ucapanmu kasar sekali. Bukan begitu kan?”

 

“Ya, setengah memaksa sepertinya.” 

 

Reina tersenyum melihat perkataan “Tuh kan” “Bukan begitu” dari dua orang di depannya dengan ekspresi gembira, lalu melanjutkan kalimatnya.

 

“Tapi, jika kalian tidak mengajakku, aku yang tidak tahu apa-apa pasti akan sulit datang ke tempat seperti ini. Terima kasih, Mana-san.”

 

“Terima kasih Reina... Nah, lihat kan Oosaki.”

 

“Terlalu berlebihan.”

 

“Karena aku ini kucing manis.”

 

“Menjijikkan.”

 

Mana menyerupai kucing dengan menempelkan kepalan tangan ringan di atas kepalanya. Gerakannya memang cocok untuknya. Tapi jika harus jujur, Takeru lebih setuju dengan pendapat Ryouma. Hanya saja dia tidak bisa mengatakannya.

 

Sementara itu, Reina terlihat ceria sepanjang waktu, tidak ada tanda-tanda dipaksakan. Meskipun terlihat seperti tipe yang sangat berbeda, dia sepertinya bisa mengimbangi candaan ringan Mana dengan baik.

 

(Syukurlah)

 

Dengan begini, Reina mungkin bisa cepat menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya.

 

“Jadi, Takeru dari tadi diam saja ya.”

 

“Hm?”

 

“Apa tidak apa-apa? Ini kesempatan bagus untuk mengobrol dengan Amamiya-san lho.”

 

“Aku...”

 

Dihadapkan pertanyaan menggoda dari Ryouma yang tertawa ringan, Takeru hampir memberikan jawaban seperti biasanya. Tapi dengan Reina duduk di sampingnya, apakah pantas untuk mengatakan bahwa tidak perlu mengobrol?

 

“Lagipula, kalian sudah kenal kan?”

 

“Hah? Eh?”

 

Saat Takeru mencoba menemukan kata-kata yang tidak menyinggung, Mana melemparkan pertanyaan itu pada Ryouma seolah bukan masalah besar, membuat mulut Takeru menganga.

 

Dia menoleh dan melihat Mana dengan ekspresi jengkel dan Ryouma yang terlihat bosan saling memandang.

 

“Jangan membongkar leluconnya gitu dong. Kayaknya masih bisa dihibur lagi.”

 

“Kamu terlalu jahat.” 

 

“Aku tak mau dibilang begitu olehmu.”

 

Setelah perdebatan singkat antara Ryouma dan Mana, mereka menghadap ke arah Takeru. Barulah saat itu kepala Takeru mulai berputar perlahan.

 

Takeru sempat berpikir untuk pura-pura bodoh, tapi mereka tidak terlihat hanya sekedar mencurigai, melainkan seperti yakin sudah mengetahuinya.

 

Takeru melirik ke arah Reina di sampingnya, dan meskipun dia tidak terlihat terkejut, dia tersenyum masam seperti orang yang sudah pasrah.

 

“Aku sudah menduga kalau kalian sudah saling mengenal.”

 

“Ya, aku sudah agak menduganya saat Iriya-kun memberi tahu cara mengobrol dengan Reina. Lalu dengan melihat sikap kalian berdua, dugaanku semakin kuat.”

 

“Begitu. Ngomong-ngomong, aku yakin tadi Amamiya-san langsung duduk di sebelah Takeru.”

 

“Aku juga.”

 

“Aah...”

 

Menghela nafas, Takeru menyadari Reina menatapnya dengan alis berkerut dan ekspresi menyesal, jadi dia melambai ringan.

 

“Rupanya aku dicurigai dari awal, jadi hanya masalah waktu sampai ketahuan. Jangan dipikirkan. Justru aku yang salah.”

 

“...Tidak. Aku yang seharusnya minta maaf. Dan terima kasih.”

 

Reina sedikit mengendurkan ujung bibirnya dengan helaan lega.

 

“Jadi, kenapa Takeru menyembunyikannya?”

 

“Aku tidak mau dicurigai macam-macam karena kenal dengan murid pindahan yang jadi topik pembicaraan.” 

 

Terlebih jika informasi bahwa mereka tinggal serumah atau bertunangan sampai bocor.

 

“Oooh.”

 

“Jadi, seberapa dekat hubungan kalian?”

 

Ryouma bertanya seolah dia tidak akan menggali lebih jauh, sementara Mana sepertinya masih penasaran.

 

“Keluarga kami saling mengenal, jadi sejak kecil aku dan Takeru-san sering bertemu.” 

 

“Semacam teman masa kecil gitu?”

 

“Dalam arti luas, mungkin bisa dibilang begitu.”

 

Mendengar Reina menjawab dengan sedikit memiringkan kepalanya dan tersenyum, rasanya seperti ada yang jatuh ke dadaku.

 

Bagi Takeru yang belum bisa menerima hubungan pertunangan mereka, itu sepertinya ungkapan yang tepat untuk menggambarkan hubungan keduanya.

 

“Kami tidak bertemu untuk sementara waktu, tapi saat aku pindah ke sini, ayah Takeru-san membantuku.” 

 

“Oh iya, Ayah Takeru katanya di bidang properti ya?”

 

Ryouma yang sering mengunjungi rumah Takeru sudah diberitahu situasinya sekilas. 

 

“Ohh begitu rupanya.”

 

"Ya. Jadi, aku telah mengatur tempat tinggal."

 

Dengan senyum lembut, Reina berbicara dengan lancar. Sambil mendengarkan suaranya, Takeru kagum dalam hati.

 

Penjelasan Reina menyembunyikan bagian yang tidak ingin diketahui, tetapi sama sekali tidak berbohong dan terasa alami. Dalam situasi di mana ia terpaksa mengungkapkan keadaan yang disembunyikan, Takeru tidak akan bisa melakukan hal yang sama.

 

"Maksudnya, yang ingin kudengar apakah Reina tinggal sendiri?"

 

"Ya. Seperti itu."

 

Kali ini dia dengan jelas berbohong. Tidak ada perubahan dalam ekspresi dan tidak ragu dalam ucapannya, jadi sepertinya Mana dan Ryouma tidak menyadarinya, tetapi kata-katanya tidak sesuai dengan kenyataan.

 

"Kalau begitu--"

 

"Ya sudahlah. Kuharap kamu tidak membocorkannya. Seperti yang kukatakan tadi, akan merepotkan jika tersebar rumor aneh."

 

Sebelum Mana yang hendak mengajukan pertanyaan lain membuka mulutnya, Ryouma mengangkat bahunya dan mengangguk.

 

"Kupikir tidak masalah menyembunyikannya, tapi ada sedikit kekhawatiran seperti yang dikatakan Takeru. Ini rahasia di antara kita saja, oke?"

 

"Aku bisa menjaga rahasia."

 

"Pembohong."

 

Ryouma mengungkapkan apa yang dipikirkan Takeru dalam hati.

 

"Terima kasih, Mana-san, Oosaki-san. Aku juga tidak bermaksud merepotkan Takeru-san, jadi aku sangat berterima kasih."

 

"Ya. Aku tidak akan melakukan hal yang merepotkan Reina, jadi tenang saja."

 

Tertarik dengan penampilan anggun Reina, Mana tersenyum dengan sedikit menegakkan punggungnya. Senyum yang berbeda dari senyumnya kepada Ryouma dan Takeru, lebih lembut.

 

(Dia sikapnya cukup berbeda ya)

 

Meskipun ada yang mengganjal, Takeru memutuskan untuk percaya bahwa Mana menganggap Reina sebagai teman yang berharga. Sebenarnya memang begitu.

 

"Kalau begitu, aku ingin mengajukan saran, aku punya usulan. Bagaimana kalau kita berempat sesekali makan bersama mulai sekarang?"

 

"...Mengapa?"

 

Mana terlihat seperti baru saja mendapat ide bagus. Seperti Takeru, Reina tampak bingung dan sedikit memiringkan kepalanya. Namun, Ryouma seperti sedang memikirkan sesuatu.

 

"Jika kita sering makan bersama seperti ini, orang-orang akan mengira kalian berteman baik sejak Reina pindah sekolah, dan bukan teman lama, kan?"

 

"Ide yang bagus. Aku dan Takeru, Amamiya-san dan Sakaki. Dan meski tidak diinginkan, aku dan Sakaki terhubung dalam suatu jalur."

 

"Aku mengerti."

 

Meskipun risiko ketahuan hubungannya dengan Reina jika Takeru salah bicara di hadapan Ryouma dan Mana meningkat, kemungkinan orang lain curiga juga akan berkurang.

 

Takeru memandang ke arah Reina di sebelahnya, yang juga sedang menatapnya, saat Ryouma dan Mana saling melototi satu sama lain dengan ekspresi ragu.

 

Meski agak ditahan di depan Ryouma dan Mana, ekspresi Reina menunjukkan persetujuan. Atau lebih tepatnya, persetujuan aktif. Sembari sedikit mengendurkan sudut bibirnya, ia mengangguk kecil seperti menggoyangkan kepala. Keanggunannya tidak berubah, tetapi wajah polosnya menyampaikan harapan Reina.

 

"Yah...kalau begitu tidak masalah." 

 

Bagi Takeru, hal ini tidak berarti untung atau rugi, jadi tidak masalah mengikuti keinginan Reina. Ah, setelah melihat ekspresinya yang seperti itu, Takeru mungkin bahkan rela menerima sedikit kerugian.

 

"Pengusir nyamuk di dapatkan."

 

"Jangan mengatakannya. Baca suasananya."

 

"Justru aku peka membaca suasa."

 

"...Sudahlah, lupakan saja."

 

Setelah pertukaran kalimat yang tidak dimengerti, Ryouma menghela nafas. Melihat itu, Reina sedikit membelalakkan matanya dengan ekspresi bingung.

 

Ketika mata mereka bertemu, Reina sedikit memiringkan kepalanya, sedikit mengerutkan alisnya dan mengendurkan bibirnya. Sepertinya ia juga tidak terlalu mengerti situasinya, tapi jelas tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya.

 

"Aku sangat menantikannya."

 

"...Begitu ya."

 

Meskipun ada sedikit kekhawatiran, Takeru tidak merasa ingin membantah ucapan Reina.

 

Mungkin Takeru juga merasakan hal yang sama.

 

◇◇

 

Setelah jam pelajaran selesai, Ryouma mengajak Takeru untuk bermain. Mereka berpisah pada sore harinya.

 

Biasanya ketika mereka bermain di luar, mereka juga makan malam bersama. Jadi Ryouma merasa heran, tetapi ketika Takeru mengatakan bahwa dia sudah delivery, sepertinya Ryouma mengerti.

 

Meskipun Reina mengatakan bahwa Takeru tidak pandai berbohong, Takeru merasa dirinya cukup ahli juga sembari berjalan pulang. Mungkin ada yang mempertanyakan apakah menjadi pandai berbohong itu baik atau buruk, tetapi itu tidak terlalu penting.

 

“Selamat datang, Takeru-san.”

 

“Aku pulang.”

 

Sepertinya Reina menunggunya karena Takeru telah memberitahu waktu kepulangannya. Takeru tidak terlalu terkejut melihat Reina di dekat pintu masuk karena sudah menduganya. Namun, ada yang berbeda dari Reina hari ini.

 

Meskipun postur anggunnya tetap sama, kali ini Takeru tidak merasakan kehangatan yang biasa dirasakannya ketika disambut. Ekspresinya tidak terlihat murung, tapi senyum tipis di wajahnya terasa rapuh.

 

“Apa terjadi sesuatu?” 

 

“Tidak terjadi apa-apa.”

 

Reina menggeleng pelan sambil sedikit mengerutkan alisnya.

 

(Dia sedih?)

 

Meskipun sulit dijelaskan perbedaannya dengan hari-hari biasa, Takeru merasakan ada sesuatu yang mengusik dari Reina saat ini.

 

“Bisakah kita menyempatkan waktu sebelum makan malam?”

 

“Ah, tentu.”

 

“Terima kasih.”

 

Ia membungkuk dalam. Gerakan yang jarang Takeru lihat sejak mereka tinggal bersama. Meskipun Takeru tidak tahu penyebabnya, sepertinya Reina ingin membicarakan sesuatu yang penting. 

 

Takeru mengikuti Reina ke ruang tamu. Meskipun Reina menawarkan teh, Takeru menolaknya. Setelah didorong Reina, Takeru duduk di sofa, sementara Reina duduk di sofa kubus di depannya.

 

Sofa itu dibeli khusus untuk tamu, dan saat pertama kali Reina mengunjungi, Takeru duduk di sana.

 

“Maaf soal Oosaki-san.”

 

Begitu berhadapan, Reina langsung membuka mulutnya dan membungkuk dalam. 

 

“Pasti gara-gara aku, makanya Oosaki-san tidak diundang ke rumah ini, kan?”

 

“Ah... yah, memang begitu sih.”

 

Awalnya ketika Ryouma mengajak Takeru untuk bermain, dia ingin datang ke rumah Takeru. Sejak musim dingin kelas 1 SMA, Takeru jadi sibuk dengan urusan rumah, jadi Ryouma sudah lama tidak ke sini. Dia ingin main seperti dulu.

 

Karena tidak bisa mengundang Ryouma, Takeru mengatakan “Kamarku berantakan” sebagai alasan menolak. Percakapan itu pasti terdengar oleh Reina yang duduk di depan mereka. Jelas Reina tahu kalau Takeru berbohong pada Ryouma, dan alasannya.

 

(Aku sudah keceplosan)

 

Saat itu Takeru tidak terlalu memikirkannya, tapi mengingat kepribadian Reina, jelas dia akan berpikir seperti ini. Takeru seharusnya memberikan jawaban yang lebih baik. Setidaknya mengajak Ryouma ke tempat lain. 

 

“Maafkan aku.”

 

Dengan sangat sopan, Reina membungkuk dalam. Telapak tangannya yang biasanya rileks kini terkepal erat di atas lututnya. Seolah-olah sedang mengepalkan hatinya sendiri, sampai Takeru pun bisa sedikit merasakan sensasi itu.

 

“Aku tidak menyimpan barang pribadi di luar kamar sebisa mungkin, jadi silakan undang teman-temanmu tanpa memikirkanku. Aku akan pergi saat itu terjadi.”

 

Ah, begitu rupanya. Tidak ada barang Reina di kamar mandi atau toilet. Bahkan di dapur yang hanya digunakan Reina, tidak ada celemek atau semacamnya, dia selalu membawanya dari kamarnya.

 

Takeru tidak pernah terlalu memikirkan alasannya, tapi rupanya itu semua karena Reina berhati-hati. 

 

Pasti bukan Cuma itu. Reina pasti melakukan banyak hal lain yang tidak Takeru sadari untuk menghindari merepotkannya. Tanpa sadar, Takeru mengepalkan tangannya erat.

 

“Ah, dengar...”

 

Takeru menghela nafas panjang, membuat bahu Reina yang sedikit tertunduk bergetar pelan. Takeru berusaha untuk bersuara lembut.

 

“Kamu sama sekali tidak perlu memikirkan itu.”

 

“...Eh?”

 

Reina mengangkat wajahnya perlahan dan menatap Takeru dengan mata terbelalak. Alisnya masih berkerut, dan matanya yang sedikit berkaca-kaca terlihat bingung.

 

“Hanya satu tempat bermain yang tidak bisa dipakai saja, kan? Seperti toko langganan yang tutup... tidak, kalau begitu agak menyedihkan ya?”

 

“...Mungkin, aku rasa begitu.”

 

Saat ditanya, Reina terlihat bingung untuk sesaat, tetapi setelah kelihatan berpikir dengan serius seperti biasanya, dia akhirnya menjawab dengan ragu-ragu. 

 

“Kalau begitu, umm... meskipun aku tidak bisa memikirkan alasan pastinya, yang jelas kamu tidak perlu memikirkannya. Aku dan Ryouma masih bisa bermain di tempat lain, dan sepertinya dia juga tidak terlalu memikirkannya.”

 

Takeru menambahkan ‘mungkin’ dalam hati.

 

“Benarkah begitu?”

 

“Ya, begitulah.”

 

Takeru mengangguk mantap pada Reina yang masih mengangguk dengan ragu.

 

“Kamu terlalu memikirkannya. Memangnya Ryouma akan berkata ‘Kalau aku tidak boleh ke rumahmu, pertemanan kita putus’? Setelah mengobrol dengannya sebentar saja, kamu pasti tahu dia bukan orang seperti itu, kan?”

 

“Ah... iya, benar juga.”

 

“Kan? Jadi jangan meremehkan temanku begitu.”

 

Ketika Takeru melanjutkan dengan nada bercanda membuat Reina membelalakkan matanya, dia tersenyum masam, “Maafkan aku.” Meskipun masih terdengar sedikit merendahkan diri, Reina sudah tidak terlihat seperti ingin menghilang karena rasa bersalah.

 

“Aku telah berbicara hal yang tidak sopan, tidak hanya kepada Oosaki-san, tapi juga kepada Takeru-san.”

 

“Kepadaku? Ah, dengan kata lain seperti aku hanya seberharga rumah ini saja ya.”

 

“Padahal seharusnya aku lebih tahu dari siapa pun kalau itu tidak benar.”

 

Ketika Takeru mengatakannya dengan nada ringan, Reina menunduk lagi, mengepalkan tangannya di atas lutut dan sedikit bergetar. “...Biar kuulangi, kamu terlalu memikirkannya. Tidak bisa mengundang teman ke rumah sama-sama merepotkan untuk kita berdua, kan?”

 

“Tetapi, ini rumah Takeru-san dari awal, dan aku hanya menumpang di sini—“

 

“Aku tidak pernah merasa kamu menumpang.”

 

Takeru memotong kata-katanya, dan Reina yang tadi menunduk kini mengangkat pandangannya, bertatapan dengan Takeru.

 

Awalnya Takeru yang mengalihkan pandangan, tetapi setelah mengambil keputusan, ia menatap Reina lagi sebelum sekali lagi mengalihkan pandangan. Di sudut matanya, Reina tampak memiringkan kepalanya dengan bingung.

 

“Ahh...”

 

Takeru mendesah, lalu menatap lurus ke mata amber jernih Reina.

 

“Aku merasa tidak terlalu buruk bisa tinggal bersama... Jadi, dengan mengecualikan soal pertunangan itu tentunya.”

 

“Takeru-san...”

 

Meskipun agak ragu, Reina menatap Takeru dengan mata terbelalak tanpa mengalihkan pandangannya.

 

“Masakanmu enak, kamu membersihkan rumah. Itu semua sangat membantu. Tapi juga sekedar pulang ke rumah dan melihatmu di sana, atau melihatmu di pagi hari. Lalu juga makan bersama. Meskipun aku tidak terlalu pandai mengatakannya, tapi... Aku merasa tidak buruk bisa tinggal berdua denganmu.”

 

Di tengah kalimat, Takeru jadi malu dan mengalihkan pandangan, tapi menatap Reina lagi setelah mengatakannya. 

 

Wajah Reina yang biasanya tenang kini tampak sedikit berbeda. Seperti hendak mengatakan sesuatu, bibirnya sedikit terbuka. Kulit putihnya merona, dan matanya bergetar.

 

“Jadi yah, kalau Ryouma tidak bisa main ke sini lagi, itu bukan masalah besar. Jangan terlalu dipikirkan, oke?”

 

Meski Takeru mengalihkan pandangannya lagi, dia bisa melihat Reina mengangguk pelan.

 

“Dan soal itu, kamu tidak perlu memikirkan untuk tidak meletakkan barang-barangmu. Kamar mandi dan dapur tentu saja, tapi kamu juga bisa menggunakan ruang tamu sesukamu.”

 

“Baik. Terima kasih.”

 

“Tidak perlu berterima kasih. Ini memang rumahku dulu, tapi sekarang kita tinggal bersama, kan?” 

 

“Iya.”

 

Setelah mengangguk, Takeru mendengar Reina sedikit tertawa kecil, “Tapi karena aku merasa senang, tolong izinkan aku berterima kasih.”

 

Nada suaranya tenang dan kalem seperti biasa, tetapi entah kenapa terdengar sedikit lebih ceria. Takeru penasaran dengan ekspresi wajah Reina sekarang. Namun, bukannya melihat, ia malah berdiri dari sofa sambil tetap mengalihkan pandangannya.

 

“...Pokoknya. Kalau kamu terlalu sungkan, aku juga jadi tidak enak. Jadi jangan ragu-ragu, oke? Aku akan ganti baju dulu.”

 

“Ah. Dasar... Takeru-san.”

 

Dari punggungnya yang seperti hendak melarikan diri, Takeru bisa mendengar Reina sedikit tertawa kecil. 

 

Selama makan malam setelahnya, pandangan mereka bertemu beberapa kali.

 

“...Ada apa?”

 

“Tidak ada apa-apa.”

 

Meskipun dia menatap dengan mata yang lembut menyipit, ketika ditanya, dia hanya memiringkan kepalanya dengan cara yang menggemaskan seolah-olah menggelengkan kepalanya dengan anggun. 

 

Meskipun seharusnya makanan buatannya lezat, Takeru tidak terlalu bisa merasakan rasanya karena merasa malu setelah mengungkapkan perasaannya yang sebenarnya tadi. Namun anehnya, dia tidak merasa terlalu buruk. Hanya saja, dia mungkin tidak akan bisa menahan diri untuk melakukan itu lagi.

 

 

Dulu Takeru tidak terlalu peduli dengan kamarnya yang berantakan karena seperti yang dikatakannya pada Reina, kamar itu hanya tempat untuk tidur. Lebih tepatnya, dia membiarkan kamarnya berantakan karena malas membereskannya dan hanya menggunakannya untuk tidur saja.

 

Oleh karena itu, apakah bermain dengan ponsel, membaca buku, atau belajar, Takeru pada dasarnya melakukan semuanya di ruang tamu. 

 

Setelah tinggal bersama Reina, Takeru berniat untuk menghabiskan waktu di kamarnya. Namun, sepertinya kebiasaan yang terbentuk selama setahun tinggal sendiri sulit dihilangkan, sehingga dia tetap merasa tidak nyaman di meja kamarnya. Jadi pada akhirnya, Takeru masih sering menghabiskan waktunya di ruang tamu.

 

Sementara itu, Reina pada dasarnya hanya menghabiskan waktunya di kamar kecuali saat mengerjakan pekerjaan rumah. Tapi hari ini agaknya sedikit berbeda—

 

“Takeru-san.”

 

“Hmm?”

 

Takeru yang baru saja menyelesaikan belajarnya dan tengah membaca komik di ruang tamu dipanggil Reina, hal yang cukup langka.

 

Ketika mengangkat wajahnya, Reina sedikit membungkuk dan berkata “Maaf mengganggu,” dengan rona merah tipis di pipinya.

 

“Ada apa?” 

 

Tidak seperti biasanya, Reina mengalihkan pandangannya dari Takeru. Setelah mengembalikan pandangannya, ia tampak malu-malu.

 

“Bolehkah aku bergabung denganmu?”

 

“Bergabung untuk apa? Membaca komik ini?”

 

Ketika Takeru menunjukkan komik di tangannya, Reina sejenak memiringkan kepalanya sebelum menjawab “Bukan” dengan sedikit mengerutkan alisnya.

 

“Maksudku, bolehkah aku menghabiskan waktu di sini? Aku tidak akan mengganggu.”

 

“...Oh begitu.”

 

Dengan berpikir normal, sudah jelas itu yang dimaksudnya. Dirinya yang membayangkan membaca buku bersama sepertinya kurang waspada.

 

“Silakan.”

 

“Terima kasih. Aku akan mengambil buku dari kamar.”

 

“Baiklah.” 

 

Reina tersenyum lebar dengan nada ceria, lalu membungkuk singkat dan berjalan ke kamarnya. Gerak-geriknya tetap sangat anggun seperti biasa hingga membuat Takeru terpesona. Meskipun terlihat senang, sikapnya tetap tidak berubah. Itu sangat khas Reina.

 

“Sepertinya aku memang membuatnya merasa tidak enak ya.”

 

Setelah dipikirkan lagi, alasan Reina tidak pernah menghabiskan waktu di ruang tamu karena Takeru sudah menguasainya duluan. Takeru merasa sedikit bersalah, tapi di sisi lain, ini berarti Reina tidak terlalu canggung lagi.

 

“Aku kembali.” 

 

“Ah, selamat datang kembali.”

 

Setelah beberapa menit, Takeru membalas ucapan Reina yang kembali. Reina tersenyum lalu sedikit memiringkan kepalanya sebelum tersenyum lembut sekali lagi.

 

“Ada apa?”

 

“Apakah komiknya sedang seru? Wajahmu terlihat sangat menikmatinya.”

 

“Ah...begitulah.” 

 

Komik Takeru masih tertutup. Jadi alasan Takeru tersenyum bukanlah itu, tapi dia tidak bisa mengatakannya dan hanya mengiyakan pertanyaan Reina.

 

“Permisi.”

 

Sambil merapikan rok panjangnya, Reina duduk di sebelah Takeru. Meskipun sofa itu cukup lebar sehingga mereka tidak terlalu berdekatan, Takeru tetap sedikit merasa canggung.

 

Tentu saja Reina tidak menyadari perasaan Takeru, ia membuka bukunya dengan tenang dan mulai membaca. 

 

(Dia terlihat seperti lukisan)

 

Mata ambernya yang mengikuti kalimat demi kalimat dengan gerakan kecil, juga bulu mata panjang yang lentik. Hidung mancungnya, pipi putih mulusnya, juga rambut cokelat gelap yang jatuh di sampingnya.

 

Bibirnya yang sedikit terbuka membentuk lengkungan lembut ketika sesekali membacanya. Jari-jarinya yang membalik halaman dengan hampir tak bersuara, juga postur tegaknya yang sama sekali tidak berubah.

 

Mungkin ini hal biasa bagi Reina. Tapi Takeru merasa dia sangat cantik. Karena itu, Takeru sedikit kesulitan untuk mengalihkan pandangannya kembali ke komiknya.

 

Ketika Takeru melirik Reina sekali lagi tanpa sengaja, pandangan mereka bertemu karena Reina juga sedang melirik ke arahnya.

 

Dia menurunkan sudut alisnya sedikit dan terkekeh, lalu diam-diam menutup bukunya. Dia sedikit menurunkan sudut alisnya dan terkekeh, lalu diam-diam menutup bukunya, dan menyentuh poninya, entah bagaimana dengan malu-malu.


Offcial Projet Archives Novel

“Ada apa?”

 

“Tidak, bukan apa-apa. Hanya, entah kenapa saja?”

 

Takeru tidak mungkin mengatakan bahwa dia memperhatikan karena Reina terlihat cantik. Dia bahkan bertanya-tanya dalam hati apakah Ryouma akan dengan mudah mengatakannya. Dan bagaimana reaksi Reina jika Ryouma mengatakan hal seperti itu.

 

(Dia mungkin sudah terbiasa dipuji jadi tidak akan terlalu memusingkannya)

 

Memang, ketika dipuji di kelas, Reina tidak menolak atau merendah berlebihan, dia hanya mengucapkan terima kasih. “Entah kenapa, ya?”

 

“Entah kenapa.” 

 

Meskipun Takeru mencoba mengalihkan pembicaraan, entah kenapa terasa seperti alasan yang tepat. Jika hanya karena Reina terlihat cantik, Takeru seharusnya selalu memperhatikannya.

 

“Begitu ya.”

 

“Ya.”

 

Reina sedikit memiringkan kepalanya dan tertawa kecil, lalu membuka kembali bukunya dan menunduk. Mengikuti isyaratnya, Takeru juga kembali membaca komiknya.

 

Setelah itu, pandangan Takeru masih sering mengarah ke Reina dengan intensitas yang cukup tinggi. 

 

Reina menyibakkan rambut panjang berkilaunya ke belakang telinga. Sebuah gerakan alami bagi seseorang dengan rambut sepanjang Reina. Namun bahkan gerakan sederhana itu membuat Takeru terpana.

 

(Ah, begitu rupanya)

 

Alasan Takeru tertarik bukan hanya karena kecantikan fisik Reina semata. Dia menyadari bahwa gerak-gerik anggun yang biasa dilihatnya, bahkan ketika hampir tidak disadari seperti tadi, adalah hasil dari upaya Reina sendiri. 

 

Perbedaan antara Reina di masa lalu dan sekarang bukan hanya karena waktu berlalu dan ingatan Takeru yang kabur, tapi karena Reina benar-benar telah berubah.

 

Karena itulah Takeru menganggap Amamiya Reina cantik. Pandangannya selalu tertarik padanya berkali-kali.

 

(Ayahku memang sedikit berlebihan)

 

Meskipun disuruh menjadikan Reina sebagai teladan, hal itu tentu tidak mungkin ditiru Takeru. 

 

Namun entah bagaimana, dia juga merasa ingin sedikit belajar darinya.

 

“Takeru-san.”

 

“Ya?”

 

“Kamu terlihat lebih tampan dengan punggung tegak seperti itu.”

 

Ketika mengangkat wajah, Reina berkata sesuatu yang sangat luar biasa dengan wajah tersenyum dan mata menyipit, seolah itu hal biasa.

 

“Ugh...kenapa tiba-tiba kamu bilang begitu?”

 

“Aku hanya mengungkapkan apa yang kupikirkan?” 

 

Seperti kata-katanya, Takeru mengerti jika Reina hanya memuji seperti yang dia pikirkan. Dia mungkin sudah terbiasa memuji seperti halnya terbiasa dipuji. Tetapi—

 

“Ja.-Jangan bicara seperti itu dong. Aku tidak terbiasa dipuji begitu.”

 

“Kalau begitu, aku akan sering melakukannya untukmu nanti. Karena Takeru-san memiliki banyak hal baik.”

 

“Aku tidak punya yang seperti itu.”

 

“Ada, kok.”

 

“Tidak ada.”

 

Dengan senyum lembut, Reina terus mengucapkan “Ada” sampai Takeru menyerah.


Copyright Archive Novel All Right Reserved ©













Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !