Bab 5
Saat istirahat makan
siang──
"Ngomong-ngomong...
Karasu itu sebenarnya siapa sih?"
Keika bertanya sambil
menikmati makan siang di atas tikar yang digelar di halaman rumput dekat
perpustakaan yang sepi, menghindari kantin yang ramai.
"Cuma anak SMA biasa
kok."
"Mana ada? Anak SMA
biasa itu lebih cocok makan sandwich, tau."
Kuuya meringis mendengar
perkataan Keika yang diucapkan dengan mata setengah terbuka.
"Sandwich nggak cocok
itu hinaan yang keterlaluan banget."
"Hmm... Bukannya
nggak cocok sih, tapi Karasu-chan lebih cocok makan odango kali ya..."
"Onigiri juga cocok.
Atau malah nasi kepal?"
"Kayaknya, bekal nasi
kepal lebih enak ya?"
"Wah, ini buatan
Kurei ya? Enak banget..."
Sambil ngomong gitu, Keika
melihat berbagai macam bekal yang ada.
Nggak ada yang bawa bekal
buat semuanya kok.
Mereka udah janjian dari
awal buat bawa bekal hari ini, terus tukeran lauk atau makan bareng-bareng
gitu.
Tapi karena ini acara
olahraga, menunya hampir sama semua, sandwich, onigiri, gitu deh.
Cuma bekal Kuuya dan
teman-temannya yang beda sendiri.
Sandwich-nya itu hot
sandwich, yang dipanggang sampai pinggirannya tertutup.
Sandwich itu dipotong
diagonal jadi bentuk segitiga biar gampang dimakan, isinya macem-macem warna,
terus ada juga makanan pendampingnya yang putih dan lembut, nggak tahu itu apa
tapi kayaknya enak.
"Oh ya? Enak
ya?"
Fatima senyum manis denger
pujian Keika, terus ngangkat tangannya.
"Ini chef-nya
nih."
"Karena aku jadi
kaptennya, aku mau santai aja, jadi aku bikin makan siang yang lebih
enak."
"Hah... Karasu-chan
yang bikin...?"
Haruka kaget terus
ngelihat sandwich telurnya.
Eh, lebih tepatnya sih,
benda yang mirip sandwich telur.
Soalnya isinya cuma warna
kuning, nggak ada putihnya.
"Sebenarnya, aku nemu
alat pembuat hot sandwich di gudang. Waktu kita belajar kelompok di rumahku
kan, kalian ke gudang ambil panci? Nah, waktu itu aku lihat alatnya."
"Iya sih, tapi... ini
apaan? Telur tapi bukan telur ya?"
"Waktu belajar
kelompok juga udah dibilangin kok. Karasu-kun bisa ngambil kuning telur pakai
sumpit."
Fatima ngomong dengan
bangga, dan Haruka yang ngerti langsung merhatiin makanan pendampingnya.
Jadi, benda putih dan
lembut misterius ini tuh...
"Terus ini...
Tamagoyaki?"
pf/n: Telur Dadar Gulung
"Iya, tamagoyaki dari
putih telur doang. Fatima yang bikin, enak kan?"
Sekarang gantian Kuuya
yang ngomong bangga, terus dia ngambil sepotong tamagoyaki putih itu pakai
tusuk gigi.
"Yah, selain masakan
Barat Kuuya yang nggak disangka-sangka, aku nggak nyangka kamu sekuat itu, loh?
... Tamagoyaki putih itu, boleh aku coba? Aku kasih kamu kentang manis bumbu
kecap deh."
"Boleh, deal... Hmm,
bumbunya meresap banget, enak. Tapi kayaknya nggak cocok jadi pendamping
sandwich deh."
"Berisik deh, ini
sisa makanan semalam... Terus? Aku dengar dari Kouya, katanya dia belum pernah
lihat pemain yang lebih kuat dari Karasu."
"?"
Kuuya ngernyitin dahi
karena pertanyaan Keika.
"Kei-chan belum
pernah ngaca ya?"
"Ya pernah lah. Ah,
Kuu-chan, sandwich teriyaki itu boleh aku coba?"
"Dapet yang
gede..."
Setelah mikir sebentar,
akhirnya Kuuya setuju buat tukeran.
"Yah, isinya sih cuma
dari kemasan instan, ambil aja. Tapi gantinya... aduh, kalau onigiri kan nggak
kelihatan isinya."
"Ada bayam jepang,
ayam goreng, sama ume shiso."
"Berarti, maksudnya
Nara-chan lebih kuat dari Karasu-chan?"
"Iya... Sial, ayam
goreng. Padahal aku maunya ume shiso..."
"Udah dapet daging,
jangan ngeluh... yah, kecuali pas pertandingan."
Kouya jawab pertanyaan
Haruka sambil ngelirik Kuuya yang lagi sebel karena dapet ayam goreng padahal
udah jelas itu yang paling mungkin.
"Tapi aku cuma jago
ngambil poin doang, kayak yang aku bilang pas pertandingan, kan? Kuuya Saimura.
Aku nggak bisa kayak dia."
"Jangan rendah hati
gitu dong, Kouya si Iblis."
"Iblis
katanya..."
Keika senyum kecut, abis
pedang iblis sekarang ada iblis lagi.
"Dia tuh orangnya
kayak nggak bisa bunuh semut, tapi main kendo-nya kayak iblis, tau,
Kei-chan."
Kuuya juga ngelihat ke
Kouya sambil ngangguk-ngangguk.
"Apalagi pukulan
men-nya itu serem banget. Seumur hidup, aku belum pernah lihat pukulan men
sampai bikin topeng lawan copot terus nabrak lantai. Sumpah, aku kira kepalanya
copot."
"Wih... Nara-chan
serem banget ya..."
"Nggak kok, itu
karena tali topeng lawannya nggak diiket bener. Lagian cuma Kuu-chan yang
manggil aku Kouya si Iblis."
Kouya buru-buru jelasin
karena Haruka keliatan agak takut.
"Itu karena kamu yang
nyebarin julukan jelek Kuuya Saimura ke mana-mana. Padahal aku punya julukan
keren, Yatagarasu..."
"Itu kan plesetan...
Tapi, kenapa namanya Kuuya Saimura, bukan Kuuya Sai atau Muramasa si Pedang
Iblis?"
Fatima nanya gitu, padahal
dia mikir kalau Kuuya bertarung kayak gitu terus lawannya dibantai, ya wajar
aja disebut pedang iblis.
"Kan ada Itto Ittosai
sama Yagyu Renyasai, gitu deh. Nggak paham ya?"
pf/n: Keduanya pendekar
Jepang
"Nggak usah ngomong
kayak aku harusnya tahu gitu dong..."
Fatima nggak tahu dua nama
itu, tapi kalau dipikir-pikir, masuk akal juga.
Tapi kayaknya ada alasan
lain juga, Kouya nimbrung.
"Ada pedang buatan
Muramasa yang namanya Kuuya."
"Yah, sebenernya sih
cuma pedang pendek. Pemiliknya ngasih nama itu karena pedangnya tajam banget,
katanya motong orang sama motong udara tuh sama aja. Terus Kei-chan denger itu
pas pelajaran IPS, terus dia ngasih nama Kuuya Saimura karena ada Ittosai sama
Renyasai."
"Sama aja kayak
motong udara..."
Makin susah dijelasin
lagi.
Soalnya Kuuya mukul kote
kayak lagi latihan biasa aja, kayaknya buat dia motong udara sama motong orang
itu sama aja.
"Yah, kali ini aku
megang shinai karena permintaan Kei-chan, tapi sebenernya aku udah berhenti
main kendo. Jadi kayaknya nggak bakal dipanggil gitu lagi deh."
"......"
Fatima tiba-tiba kepikiran
sesuatu waktu Kuuya ngomong lega gitu.
Kuuya itu kuat. Meskipun
udah lama nggak main, dia masih bisa ngalahin anak klub kendo yang masih aktif,
meskipun anak kelas satu.
Kekuatannya itu luar
biasa... Pasti dia latihan keras banget buat bisa kayak gitu. Pasti dia latihan
mati-matian dan hasilnya keliatan dari bekas luka di tangannya karena megang
shinai.
Tapi kenapa dia berhenti
main kendo? Kenapa semangatnya hilang?
"Karasu-kun..."
Fatima nanya, terus
berhenti.
Perjanjian buat nggak
saling kepo itu udah nggak berlaku lagi.
Tapi, bukan berarti dia
bisa seenaknya nanya yang aneh-aneh.
Berhenti ngelakuin sesuatu
yang disukain itu pasti ada alasannya.
Mungkin ada kejadian yang
nggak mau dia ceritain.
Nggak sopan kalau Fatima
ngorek-ngorek cuma karena penasaran.
Meskipun penasaran, Fatima
mutusin buat nggak nanya lagi.
"... Fatima."
Kayaknya Kuuya sadar sama
kebingungan Fatima.
Dia natap Fatima dengan
serius, terus ngomong pelan.
"Nanti aku mau cerita
sedikit, boleh?"
"... Iya."
Keika kayaknya tahu mereka
lagi ngomongin sesuatu, tapi dia nggak ngomong apa-apa dan langsung ganti
topik.
"Oke... Kita sama
Haruka masih punya dua pertandingan lagi nanti siang. Semangat ya!"
◆◇◆◇◆◇◆
Hari pertama pertandingan
olahraga berakhir tanpa masalah.
Seperti yang sudah diduga,
mereka kalah di dua pertandingan tenis meja pada sore hari. Tapi Haruka sudah
berusaha sekuat tenaga meskipun dia tidak pandai olahraga, dan Fatima juga
berlari sampai akhir pertandingan.
Mereka menang di dua
pertandingan kendo. Keika, yang selalu jadi pemain pertama, kalah di salah satu
pertandingan, tapi Kouya yang jadi pemain tengah berhasil menang, jadi Kuuya
nggak perlu turun tangan.
Setelah matahari terbenam,
mereka bubar dan pulang lewat jalan yang berbeda dari biasanya.
Jalan yang pernah mereka
lewati untuk kencan melihat bunga sakura malam hari. Jalannya memang lebih
jauh, tapi Kuuya yang mau lewat situ, dan Fatima nurut aja.
Fatima tahu alasannya.
Kuuya bilang dia mau
cerita sesuatu, tapi sampai sekarang belum cerita apa-apa.
Mungkin mereka lewat jalan
ini biar Kuuya bisa cerita, tapi dia cuma jalan diam aja.
Jalannya santai kayak
biasa, jadi Fatima bisa jalan di sampingnya dengan nyaman.
Fatima juga nggak maksa
buat ngomong apa-apa, dia cuma diem aja sambil jalan di sebelah Kuuya.
Akhirnya...
"Bunga sakuranya udah
mulai rontok ya."
Kuuya berhenti di depan
sebuah pohon.
Ini tempat yang sama waktu
Fatima bilang bulan purnama cantik banget, padahal malam itu lagi bulan baru.
"Aku nggak benci sama
pohon sakura yang daunnya udah mulai tumbuh. Maksudnya, aku nggak benci
ngelihatnya, tapi aku benci banyak ulatnya."
Kuuya senyum kecil denger
Fatima buru-buru nambahin penjelasan, terus dia ngelihat ke atas ke arah pohon
sakura yang masih ada beberapa bunganya.
Masih dalam posisi yang
sama, dia ngomong pelan,
"... Dulu, aku pernah
dicurangi wasit."
"......"
Fatima cuma ngangguk diem
aja.
Dia nggak mau maksa Kuuya
buat cepet-cepet cerita.
"Bukan di
pertandingan resmi sih. Cuma pertandingan latihan sama klub kendo cewek,
pertandingan internal sekolah yang nggak resmi."
Cuma pertandingan latihan
biasa.
Bukan pertandingan yang
bakal dicatet, cuma bagian dari latihan biasa.
"Lawannya ketua klub
kendo cewek, wasitnya juga tiga-tiganya dari klub kendo cewek. Tapi aku mikir
penilaiannya bakal adil-adil aja. Mungkin karena masih kecil, aku nggak
kepikiran bakal ada yang curang..."
Tapi ternyata salah. Ada
kecurangan.
"Pas awal
pertandingan, aku nyerang kote. Itu serangan terbaikku. Aku ngerasa kena
banget. Lawannya juga kayak ngerasa udah kena poin. Tapi benderanya nggak
dinaikkin. Kayak pilih kasih gitu deh. Soalnya kan lawannya ketua klub, pasti
wasitnya memihak."
Suara Kuuya kedengaran
sedih banget.
Nada suaranya kayak
ngejek, ada rasa benci juga.
"Gurunya bilang,
'Tadi kayaknya kena, ya?'. Terus dia bilang lagi, 'Ya udah, lanjutin aja
terus'."
Nada suaranya tetep sama.
Kuuya lanjut cerita dengan
sedih.
"Lawannya ngambil
posisi lagi... Aku jadi males banget. Padahal jelas-jelas kena poin, tapi malah
disuruh lanjutin aja, apa yang harus aku lakuin coba?"
Mungkin ada yang bilang
itu cuma latihan biasa.
Tapi, buat Kuuya itu beda.
Meskipun cuma latihan,
pertandingan tetep pertandingan, harus dijalanin dengan serius.
Dia main kendo dengan
sungguh-sungguh, berusaha keras buat menang.
Tapi... bahkan gurunya
sendiri ngehianatin dia. Nggak menghargai keseriusannya.
"Gurunya itu emang
nggak suka sama aku. Dia pengen anak-anak main kendo kayak anak muda pada
umumnya, lurus-lurus aja, nggak pakai strategi macem-macem. Dia nggak suka sama
caraku main kendo yang pakai banyak teknik buat mancing lawan biar lengah, terus
nyerang pas ada kesempatan."
"......"
Fatima ngerti sekarang.
Kenapa waktu pertandingan
kendo, Kouya marah banget terus Kuuya nyuruh dia nemenin Keika. Dan kenapa
Kouya nurut aja.
Pasti waktu itu, Kouya
langsung ikutan pertandingan berikutnya karena marah.
Tapi Kuuya lebih pengen
temennya ada di sampingnya. Dia pengen Kouya bilang kalau serangannya tadi
kena, dan yang salah itu wasitnya.
Dan... karena pengalaman
masa lalu itu, Kuuya selalu milih jujur kalau lagi ada masalah serius. Bahkan,
dia nolak buat curang.
"Sejak saat itu, aku
udah males main kendo. Percuma main serius, kalau menang atau kalah tergantung
mood wasit. Tapi aku tetep jago kok, sampai ditawarin beasiswa khusus. Tentu
aja aku tolak. Waktu itu muka gurunya lucu banget."
Kuuya ketawa.
Ketawanya hampa, cuma
kayak senyum miring gitu.
Buat Fatima, itu kayak
muka orang mau nangis.
"Aku cedera nggak
lama setelah itu. Kayaknya aku salah ngelangkah, terus lututku keseleo pas lagi
tanding. Cederanya parah sih, tapi itu salahku sendiri, karena aku mainnya
nggak serius. Tapi aku ngerasa bersalah sama lawan tandingku. Mudah-mudahan dia
nggak trauma."
"Jadi… itu sebabnya
Karasu-kun jalannya pelan..."
"Sampai sekarang
masih ada bekas cederanya sih, tapi lebih karena kebiasaan waktu
pemulihan."
Kuuya ngomongenteng, kayak
bukan masalah besar.
"Aku nggak kaget kok.
Memang sakit sih, tapi kakiku nggak ilang, aku masih bisa jalan sama lari. Cuma
nggak bisa olahraga yang butuh kekuatan kaki kanan aja. Yang bikin kaget itu,
aku nggak ngerasa sedih sama sekali waktu tahu karirku sebagai atlet udah
selesai."
Setelah cerita sampai
situ, Kuuya ngehela napas pelan.
Terus akhirnya dia
ngelihat ke arah Fatima.
"Ya udahlah, itu kan
cerita lama, udah lewat juga. Maaf ya udah dengerin cerita nggak penting kayak
gini."
Itu ekspresi Kuuya yang
biasa.
Wajahnya tenang, nggak
keliatan emosi.
Tapi, justru itu yang
bikin Fatima sedih.
Makanya...
"... Karasu-kun,
boleh jongkok sebentar?"
"? Kayak gini?"
Fatima narik Kuuya buat
jongkok, terus meluk dia erat banget sambil nyenderin kepalanya ke dada Kuuya.
"Eh, tunggu!?
Tiba-tiba ngapain──"
"Kenapa kamu keliatan
biasa aja sih!? Nggak mungkin kamu biasa aja! Nggak mungkin kamu nggak
kaget!"
Itu yang bikin Fatima
sedih banget.
Kuuya cuma main serius,
dia cuma pengen menang.
Dia bener-bener serius
sama kendo, latihan mati-matian, jadi kuat... terus kehilangan semuanya.
Dia nggak salah apa-apa.
Tapi kenapa dia harus
ngalamin hal kayak gitu?
"Itu nggak adil
banget..."
Fatima nggak bisa ngerti
perasaan Kuuya.
Dia nggak pernah
sesemangat itu sama sesuatu, jadi dia nggak berhak bilang ngerti.
Jadi ini cuma harapan
Fatima aja, cuma perasaan dia yang dia paksain ke Kuuya.
Tapi, tetep aja.
"Kamu pasti serius
banget, kan? Pasti kamu udah berusaha keras, latihan mati-matian, jadi kuat...
Pasti kamu sakit hati banget..."
Kalau nggak, dia nggak
mungkin jadi males main kendo cuma karena dicurangi di pertandingan latihan.
Meskipun kepercayaan kalau
wasit pasti adil itu cuma pikiran anak kecil, itu tetep nggak boleh
dikhianatin. Seenggaknya gurunya harusnya benerin kesalahan itu waktu itu juga.
Tapi, gurunya malah
ngebiarin aja.
Buat Kuuya yang percaya
banget sama kejujuran, pasti itu bikin dia syok berat.
Buat anak kecil yang main
kendo dengan jujur dan percaya semua orang bakal main adil, pasti itu
pengkhianatan besar.
Fatima nggak ngerti. Nggak
mungkin dia ngerti.
Yang dia tahu cuma
kejadian itu bikin Kuuya kecewa sama kendo, sampai-sampai dia putus asa banget
waktu karirnya sebagai atlet berakhir.
Kalau nggak ada kejadian
itu, pasti hidupnya bakal beda.
Seharusnya Karasu bisa
punya kehidupan sekolah yang cemerlang sebagai atlet kendo berbakat.
Dan itu bikin Fatima sedih
banget.
"... Aku udah nggak
inget lagi."
Kuuya bergumam lemah
sambil dipeluk Fatima.
"Sakit hati,
terluka... Aku nggak tahu pasti. Rasanya kayak tiba-tiba nggak punya pijakan
lagi? Cuma sebatas ingatan kayak gitu..."
Kayaknya itu bukan bohong.
Perasaan yang dia rasain
waktu itu udah hilang ditelan waktu.
Yang tersisa cuma bekas
lukanya aja.
Luka di hati yang nggak
sembuh dengan benar, malah jadi bengkok dan tertutup.
Luka lama yang kadang
kambuh dan bikin dia sakit, masih ngaruh ke hidupnya sampai sekarang.
"Aku cuma... pengen
dinilai dengan adil. Bukan pengen dipuji. Bukan pengen menang. Cuma pengen
diakui kalau pukulan aku tadi kena..."
Kuuya ngungkapin perasaan
lamanya itu sambil kayak ngelus-ngelus bekas lukanya.
"Cuma itu doang,
serius... Apa itu salah? Aku cuma pengen usaha aku dihargain, apa salahnya
coba...!"
Kayaknya emang cuma itu
yang dia pengen.
Dia pengen usahanya
dihargain. Pengen serangannya, yang merupakan hasil dari usaha kerasnya,
dinilai dengan adil.
Hadiah yang sederhana
banget, tapi dia nggak dapet itu.
Malah dibantah. Ditolak
sama orang-orang di sekitarnya.
"Aku... Aku kesel
banget!"
Kayaknya orang-orang di
sekitarnya nggak peduli sama perasaannya.
Mereka bilang, "Itu
kan cuma latihan, kenapa dibawa serius?".
Mereka bilang,
"Harusnya sportif dong, terima aja keputusan wasit."
Mereka bilang, "Kalau
kesel, ya lain kali latihan biar bisa dapet poin yang nggak mungkin ditolak
wasit."
Mereka kayak gitu,
nganggap enteng rasa sakitnya.
Harusnya wasit yang curang
itu yang disalahin, tapi malah Kuuya yang dikritik karena kesel.
"... Aku...
Aku..."
Kuuya nggak bisa ngomong
lagi.
Fatima cuma bisa ngerasain
panas di dadanya.
Pasti Kuuya lagi nangis.
Fatima pura-pura nggak
sadar, terus ngelus-ngelus kepala Kuuya yang lagi nangis tersedu-sedu.
Sampai Kuuya berhenti
nangis, Fatima ngelus terus dengan lembut.
◆◇◆◇◆◇◆
"... Parah banget
ya."
Keika mengernyitkan alis
setelah denger cerita lengkap dari Kouya.
"Aku yang cuma murid
aja kaget banget... Masa gurunya ngebiarin kecurangan kayak gitu sih... parah
banget."
"Iya... Makanya aku
juga ngerasa bersalah mau ngajak Kuu-chan main kendo lagi, padahal tahu
kejadian itu..."
Kouya ngelihat ke langit
senja sambil jalan di samping Keika.
"... Aku tuh nggak
bisa terobsesi sama sesuatu."
"Kouya?"
Keika ngelihat ke arah
Kouya dengan bingung karena dia tiba-tiba ngomong gitu.
"Belajarnya Kei-chan
juga gitu. Aku nggak ngerti kenapa kamu bisa ngotot banget sama hal yang nggak
kamu ngerti. Kalau nggak ngerti, ya udah lewatin aja, kerjain yang kamu ngerti
aja."
"Ya... emang gitu
kali ya? Aku emang nggak pinter."
"Aku tuh lebih parah
lagi. Aku nggak punya semangat buat coba lebih keras kalau ada yang nggak aku
ngerti. Kalau ada yang dikit aja nggak ngerti, ya udah lanjut ke soal
berikutnya, gitu aja. Kalau aku punya sedikit obsesi, mungkin aku bisa ngasih
saran yang lebih bagus ke Kei-chan, ya? Nggak kayak sarannya Kurei."
"Sarannya Kurei itu
bikin aku semangat sih, tapi kalau dipikir-pikir, sarannya nggak guna juga...
Tapi lumayan lah buat penyemangat."
"Ya... yang penting
hasilnya bagus."
Kouya ketawa kecil, terus
lanjut cerita.
"Jadi, aku tuh masuk
klub kendo di tengah jalan. Awalnya aku di klub basket, mainnya asal-asalan
aja... Terus suatu hari, aku lihat Kuu-chan lagi tanding."
Itu sih biasa aja.
Di SMP kan nggak ada dojo
khusus, basket, voli, sama kendo, semuanya latihan di gedung olahraga yang
sama. Jadi, wajar aja kalau saling lihat.
Yang aneh itu...
"Nggak tahu kenapa,
tapi tiba-tiba aku pengen ngalahin dia."
"... Jangan bilang
itu cinta pada pandangan pertama?"
"Iya, kayak gitu
deh."
Kouya ketawa ceria waktu
Keika ngeledekin dia.
"Terus ya, akhirnya
kita jadi temen, terus jadi sahabat... dan aku jadi bisa ngalahin dia di kendo.
Yah, meskipun Kuu-chan bilang aku lebih kuat, sebenernya kita imbang lah. Aku
nggak pernah ngitung menang kalahnya."
"Kalau udah bisa
menang, kenapa nggak berhenti aja? Katanya kamu nggak bisa terobsesi sama
sesuatu?"
Kalau dipikir-pikir, Kouya
udah aneh banget karena terobsesi buat menang.
Tapi Kouya menang.
Meskipun nggak selalu, tapi dia bisa menang. Dia udah dapet hasil yang dia mau,
yaitu jadi sekuat Kuuya. Terus apalagi yang mau dia obsesiin?
"Aku juga mikir
gitu... Pas menang, aku cuma mikir, 'Udah menang nih'. Ah, iya juga ya, dari
situ aja udah aneh. Berarti aku masih terobsesi."
Setelah ngomong sendiri
sebentar, Kouya lanjut cerita.
"Intinya, menang itu
bukan akhir dari segalanya. Aku jadi mikir, 'Jangan-jangan nanti kalah?', 'Aku
nggak mau kalah'... Terus ya gitu deh, menang kalah menang kalah, pengen menang
lagi, nggak mau kalah lagi, gitu aja terus."
"Jadi Karasu itu
rival kamu ya. Hebat banget."
"... Hah?"
Kouya bingung denger Keika
ngomong gitu.
Dia diem sebentar,
ngedip-ngedipin mata, terus...
"Ah! Ahhh, iya, bener
juga! Iya, rival. Kayak musuh tapi tetep temen gitu."
Kouya ngangguk-ngangguk
sambil ngomong keras, kayak baru ngerti.
"Aku bingung kenapa
punya rasa persaingan sama sahabat sendiri... Oh iya, rival ya..."
"Kadang-kadang kamu
tuh bego banget ya..."
Kouya lanjut cerita dengan
semangat, nggak peduli sama Keika yang geleng-geleng kepala.
"Jadi, aku tuh dari
dulu pengen tanding lagi sama Kuu-chan. Bukan karena pengen menang atau apa...
Yah, sebenernya sih pengen juga, tapi bukan itu intinya, aku cuma pengen
tanding lagi aja. Terus pas banget ada pertandingan olahraga ini, aku anggep ini
kesempatan terakhir, makanya aku ajak Kuu-chan ikutan."
"Iya iya. Terus, mau
ngomong apa? Kamu punya permintaan ya?"
"Iya, ada."
Kouya ngangguk semangat
waktu Keika nyuruh dia cepetan ngomong.
"Aku minta tolong,
kalau kita sampai final, Kei-chan jangan ikut tanding ya. Aku mau tanding satu
lawan satu sama Kuu-chan."
"Astaga, dasar
cowok... Ya udah deh. Aku emang bukan tandingan Karasu, sama kamu juga sama
aja. Tapi, ini cuma berlaku kalau kita sampai final ya. Oke?"
Keika ngehela napas liat
Kouya yang heboh banget.
"Kurei pasti susah
banget ya ngadepin Karasu terus..."
◆◇◆◇◆◇◆
Pagi pun tiba.
Seperti biasa, Kuuya pergi
ke rumah Kurei untuk sarapan, dan yang nyambut dia adalah Fatima yang pakai
celemek.
"Ah... Selamat pagi,
Fatima."
"Iya, selamat pagi,
Karasu-kun."
Fatima nyapa balik dengan
biasa aja, sedangkan Kuuya keliatan malu-malu.
"Hari ini kamu agak
telat ya."
"Aku agak lama
siap-siapnya. Terus kemarin, itu, anu... maaf ya udah nunjukin sisi memalukan
aku."
Kuuya naruh tasnya yang
biasa sama satu tas lagi yang nggak biasa di depan pintu, terus minta maaf
dengan canggung.
Gimana enggak, dia kan
udah nangis kayak anak kecil dipeluk cewek yang seumuran, meskipun cewek itu
tunangannya.
Dia malu banget.
"Oh ya?"
Tapi kayaknya Fatima nggak
masalah.
Sambil ngasih sandal ke
Kuuya, dia lanjut ngomong,
"Aku seneng banget
bisa bantuin Karasu-kun. Mulai sekarang, jangan sungkan-sungkan ya buat minta
bantuan. Aku pasti bantuin kok."
"Ugh... Kamu mau
bikin aku jadi manja ya..."
"Hmm, kamu kayaknya
lagi nggak fokus nih... Ngomong-ngomong, Karasu-kun. Aku mau mastiin
sesuatu."
Setelah ngasih kritik ke
Kuuya yang lagi ngeluh, Fatima pasang muka jahil.
"Aku punya firasat
buruk nih... Ya udah, ngomong aja. Apa?"
"Enak nggak nyender
di dadaku kemarin? Kalau nggak enak, aku harus cari cara lain, jadi kasih tahu
pendapatmu dong."
"... Tolong pikir
dulu sebelum nanya, ya ampun..."
Kuuya nundukin kepala,
kesel sama pertanyaan aneh Fatima.
"Karasu-kun..."
Fatima manggil dia lagi.
"Apa lagi
sekarang?"
Kuuya jawab sambil
cemberut karena digodain, tapi Fatima cuma senyum tipis terus bilang,
"Kalau kamu lagi
sedih, minta bantuan aku aja. Aku juga bakal minta bantuan kamu kok."
"......"
Kuuya diem aja ngelihat
Fatima senyum.
Senyumnya beda sama senyum
senang atau bahagia.
Beda sama semua senyum
Fatima yang pernah dia lihat.
Senyumnya tenang,
lembut... tapi tetep kuat.
Ada kekuatan yang bikin
Kuuya terpana.
"... Iya. Aku bakal
minta bantuanmu."
Kuuya ngangguk sambil
nginget-nginget senyum itu.
Hari kedua pertandingan
olahraga──
"Selamat pagi,
Fatima-chan. Karasu-chan juga."
"Selamat pagi,
Akiduki-san. Kamu kelihatan semangat banget hari ini."
Sejak mulai berangkat
sekolah bareng Kuuya, Fatima jadi sering banget datang mepet waktu. Dia selalu
sampai kelas pas bel masuk bunyi.
Makanya dia biasanya nyapa
temen-temennya setelah selesai homeroom.
"Pagi, Akiduki. Bener
kata Fatima, kamu kelihatan semangat banget."
"Nggak juga sih.
Badan aku sakit semua nih."
Haruka ketawa ceria, bikin
Fatima senyum kecut.
"Sama. Tapi kan kita
udah nggak ada pertandingan lagi, jadi hari ini kita santai-santai aja... Eh,
selamat pagi. Kamu telat lagi ya, Uokai?"
Di tengah percakapan,
Fatima nyapa Keika yang baru datang dengan lesu.
"Ugh... Nggak usah
diungkit juga kali... Aku kan jadi nggak punya rekor kehadiran sempurna lagi,
ini tuh bikin aku sedih, tau."
Kayaknya itu alasan kenapa
dia nggak bersemangat.
"Aduh... Dasar bodoh!
Gara-gara si bodoh ini nih kita jadi telat!"
"Maaf deh. Aku udah
siap-siap, tapi lupa bawa tasnya... Eh, pagi, Kuu-chan. Kurei-san sama
Akiduki-chan juga."
Kouya nyapa dengan santai,
nggak peduli kalau Keika lagi digebukin sama Keika.
"Loh? Keika-chan,
kamu berangkat bareng Nara-chan hari ini?"
"Iya. Kan hari ini
nggak ada latihan pagi, jadi aku pikir sekali-kali berangkat bareng nggak
apa-apa, eh ternyata salah besar..."
"Padahal dia udah
disuguhin teh sama nyokap gue, terus asyik nonton berita pagi bareng..."
"Jarang-jarang gitu!
Terus beritanya seru banget!"
Semua orang ketawa
ngelihat Keika yang lagi ngomel sambil megangin kepala.
"Udah ah, Haruka sama
Kurei. Ayo ganti baju, nanti kita telat ke pertandingan lagi."
"Oke. Sampai ketemu
lagi ya, Nara-chan sama Karasu-chan."
"Kayaknya nggak perlu
ganti baju deh, kan kita nggak tanding... Ya udah, Karasu-kun, sampai ketemu
nanti. Nara-kun juga."
"Iya, sampai
nanti."
Kuuya ngomong sambil
ngelihat tiga cewek itu pergi ke ruang ganti.
"... Masa iya sih ada
yang lupa bawa tas?"
"Malu-maluin banget.
Kayaknya dia udah ngecek berulang kali, terus jadi kepedean deh...
Ngomong-ngomong soal tas, Kuu-chan juga bawa banyak banget hari ini. Kamu bawa
apaan? Jangan bilang kamu bikinin bekal buat semuanya? Hot sandwich kemarin
enak banget loh..."
"Ada yang lebih bagus
lagi."
Kuuya senyum misterius
waktu Kouya nanya.
◆◇◆◇◆◇◆
Hari kedua, atau lebih
tepatnya hari terakhir pertandingan, gedung olahraga lebih rame dari kemarin.
"Drama Karasu kemarin
sukses besar ya."
"... Jangan bilang
drama dong."
Kuuya cemberut ngelihat
Keika yang pakai seragam kendo lengkap sambil duduk seiza.
"Terus, Kurei juga
bakal dateng, itu juga salah satu alasannya. Dia populer banget, bikin iri
deh."
"Balas dendam ya
gara-gara tadi pagi... Ternyata kamu pendendam juga ya, nona sok kaya."
Kayaknya gitu deh, Fatima
ngelirik Keika yang sengaja ngomong nyebelin.
"Siapa yang sok kaya?
Aku ini anak orang kaya beneran, tau?"
"Dari cara ngomongmu
aja, nggak ada yang bakal ngeraguin itu."
"Karasu-chan nggak
bakal ngomong kayak gitu..."
Haruka senyum kecut denger
Kuuya nyeletuk gitu ke Keika yang lagi sombong.
Terus Haruka ngelihat ke
Kouya.
"Hari ini Nara-chan
yang jadi pemain pertama?"
"Iya, hari ini aku
yang jadi pemain pertama terus... Ah, Kuu-chan. Tolong pasangin
tasuki-nya."
Kouya yang lagi manjangin
otot Achilles sambil pakai jersey sama pelindung kayak patung haniwa, langsung
balik badan.
"Jangan nyuruh kapten
kerja dong, prajurit rendahan... Akiduki, tasuki hari ini warna apa?"
"Ini dia, warna merah
yang cocok banget buat Nara-chan."
"Oh, merah darah
ya..."
"Kotetsu malam ini
haus darah."
Kuuya ngomong ke Kouya
yang lagi gaya megang shinai.
"Oke, jangan gerak
dulu. Aku mau pasangin tasuki-nya... Eh, tunggu. Aku lupa cara masangnya, gawat
gawat. Akiduki atau Uokai, bisa bantuin nggak?"
"Oke. Eh, modelnya
jangan gerak ya."
Bohongnya keliatan banget,
tapi Haruka tetep ikutan.
"Hah, bohong. Nggak
boleh gerak? Aku harus diem gini terus?"
"Wah, gagal deh
karena kamu gerak. Ulang lagi ah."
"Kalian ngapain
sih..."
Fatima cuma bisa diem
ngelihat mereka, males ikutan karena dia mikir kayaknya Kuuya sama Kouya emang
kayak gitu waktu mereka main kendo bareng dulu.
"Kurei. Maaf ya, tapi
aku udah nanya-nanya sedikit tentang Karasu."
Keika bisik-bisik ke
Fatima sambil jalan jongkok ke sampingnya.
"Katanya dia sama
Kouya itu rival... Sayang banget ya, jadinya kayak gini."
"? Masa sih?"
Keika speechless ngelihat
Fatima bingung.
"Masa sih apanya,
kamu..."
"Bukan itu. Aku baru
dengar kalau Nara-kun itu rivalnya."
"... Kayaknya gitu
deh. Yaudah, anggap aja gitu."
"Ya... mungkin bener
juga. Mereka kayak saling mengakui gitu, manggil-manggil setan lah, pedang
iblis lah."
Fatima setuju aja, padahal
dia nggak inget pernah denger kalau Kouya itu rivalnya Kuuya.
Kemarin mereka berdua
bilang kalau lawan mereka masing-masing lebih kuat.
Mungkin mereka saling
jadiin motivasi buat jadi lebih baik.
"Pokoknya. Ini sih
masih terlalu dini, tapi kalau kita sampai final, aku nggak bakal ikut
tanding... Ah, pertandingan pertama udah mulai tuh."
Kayaknya siswi yang jadi
juri kemarin udah diganti, sekarang jurinya cowok.
"Saling memberi
hormat!"
Dengan aba-aba, dua pemain
di tengah lapangan membungkuk dan mengambil posisi jongkok.
"... Lawannya ketua
klub kendo cewek. Udah pasti kuat banget."
"Kalau lemah, mungkin
dia cuma dihormati karena jabatannya... Oh, jadi dia kuat karena kemampuannya
sendiri ya."
Sementara Fatima ngejawab
dengan gaya bicara yang lucu, aba-aba pertandingan dimulai pun terdengar.
"Mulai!"
Bersamaan dengan aba-aba
itu, keduanya berdiri, dan──
"──Hah!?"
──pertandingan berakhir.
Tepat saat keduanya
selesai berdiri, terdengar suara pukulan yang tajam.
"Poin untuk men...
Pertandingan selesai..."
Dengan wajah tercengang,
wasit (siswa laki-laki) mengangkat bendera merah.
"Kayaknya ini bukan
'terlalu dini' lagi deh..."
"... I-iya..."
Keika mengangguk dengan
tercengang.
Mungkin karena
pertandingan baru dimulai, ketuanya lengah karena jarak mereka masih jauh.
Posisi bertahannya jadi lemah.
Tapi, celah itu sangat
kecil, bahkan Keika tidak menyadarinya. Dia pernah bertanding dengan ketua
klubnya di latihan, tapi dia tidak pernah melihat celah sekecil itu.
Tapi Kouya melihatnya. Dan
dia tidak menyia-nyiakan kesempatan itu.
Makanya dia langsung maju
dengan cepat dan memukul men.
Keberaniannya luar biasa,
benar-benar kebalikan dari cara Kuuya bermain kendo yang biasanya mengamati
lawan terlebih dahulu.
"Dia memang pantas
disebut iblis... Karasu-kun?"
Mungkin ini adalah
kemampuan asli Kouya, dan Fatima, yang sekarang benar-benar yakin kalau Kouya
adalah rival Kuuya, melihat Kuuya berdiri.
Ini pertandingan sistem
gugur, dan Kuuya adalah pemain terakhir, jadi seharusnya dia tidak perlu
bertanding...
"Kemarin aku udah
kasih lihat satu poin, hari ini juga udah lihat satu poin. Nggak adil kalau aku
main lagi, jadi aku nyerah sampai final."
"Kamu nggak sopan
sama lawanmu... Tapi, setelah lihat yang tadi, aku nggak bisa ngomong gitu juga
sih."
Keika mengangguk sambil
tersenyum kecut melihat Kuuya yang sudah yakin akan menang di final.
Dan... memang benar
begitu.
Kouya menang di semua
pertandingan berikutnya. Apalagi semuanya ada di permukaan.
◆◇◆◇◆◇◆
Siang hari──Penonton di
gedung olahraga semakin ramai.
Semua pertandingan selain
kendo sudah selesai.
Tapi, ada hal lain yang
jadi perbincangan.
Pemain yang pakai jersey
itu menang terus, bahkan anggota klub kendo bisa dia kalahkan dalam sekejap.
"Gila ya, sampai
ketua klub kendo cowok juga kalah, klub kendo malu banget."
"Kamu kan juga anak
klub kendo, Haruka... Ini bukan buat ditertawakan."
Keika menghela napas
melihat Haruka yang cuma bisa tertawa.
Di tangannya, ada bendera
merah dan putih.
Sesuai janji, dia diminta
jadi juri karena nggak ikut tanding di final.
Kouya sama Kuuya yang
minta.
Dan permintaan itu
dikabulin. Waktu mereka minta ke ketua klub kendo cewek yang harusnya jadi
juri, dia malah setuju, katanya, "Ini kan kesempatan bagus, anggap aja
buat belajar."
"Pasti ketuanya
pengen banget nonton dari dekat... Pasti dia bakal duduk di barisan paling
depan..."
Sebenarnya Keika juga
pengen nonton pertandingan.
"Ya udah, mereka
percaya sama kamu, jadi semangat ya... Ngomong-ngomong, Nara-chan sama
Karasu-chan mana? Fatima-chan pasti lagi sama Karasu-chan."
"Mereka berdua lagi
siap-siap. Huh, mereka berdua ini aktor banget..."
Keika menghela napas
panjang, kayaknya dia tahu mereka berdua lagi ngapain.
"Jadi itu isi
tasnya..."
Di dalam kelas yang
kosong, Fatima ngerti setelah melihat Kuuya pakai seragam kendo.
"Iya... Agak sedih
sih seragam SMP masih muat, berarti aku nggak tinggi-tinggi amat, tapi ya
udahlah."
Kuuya ngangguk sambil
ngecek badannya, mastiin nggak ada yang sakit.
"......"
Fatima mikir mungkin Kuuya
sengaja beli seragam yang kegedean karena dia niatnya mau terus main kendo,
tapi dia nggak ngomong apa-apa.
Terlalu sedih buat
diomongin.
"Jangan pasang muka
sedih gitu dong. Itu kan udah lewat, sekarang aku bisa main kendo lagi sama
Kou-chan. Dan aku juga punya wasit yang bisa aku percaya. Dramatis banget kan
ceritanya?"
"... Andai aku yang
jadi wasitnya, pasti lebih bagus lagi."
Kuuya ngebelakangin badan,
pura-pura nggak sadar kalau senyum Fatima agak dipaksain.
"Iya juga sih. Tapi,
karena kamu nggak bisa jadi wasit, makanya aku minta tolong kamu buat masangin
tasuki."
"Kalau warnanya
merah, aku bisa iketin pita aku di situ, sayang banget ya."
Fatima ngelempar candaan
sambil ngiketin tasuki di punggung Kuuya, di tempat tali-talinya bersilang.
Tiba-tiba dia merhatiin
bahu Kuuya.
Seragam kendo Kuuya
warnanya biru tua semua, tapi... bagian bahunya yang kena gesekan tali udah
mulai robek.
Seragamnya keliatan kuat
banget, tapi sampai robek gitu, pasti Kuuya latihannya keras banget.
"... Nggak apa-apa
kok, Fatima. Kalau aku nggak berhenti kendo, aku nggak bakal pindah ke sini.
Kalau gitu, aku nggak bakal ketemu kamu. Jadi, gini aja udah cukup."
Kuuya bilang dia nggak
masalah kehilangan itu semua, asalkan bisa sama Fatima.
"Tapi... Kali ini
aja, biarin aku main sampai selesai. Ya, Fatima?"
Dia minta tolong supaya
bisa main sampai akhir pertandingan ini.
Fatima tahu, meskipun dia
nggak tahu detailnya, cedera lutut kanan Kuuya yang bikin dia berhenti jadi
atlet itu masih ninggalin bekas. Biasanya sih nggak masalah, tapi kadang suka
kambuh.
"Ya ampun, dasar
cowok..."
Fatima senyum sambil
megangin kepalanya.
"Kamu harus ngertiin
perasaan cewek juga dong, aku tuh khawatir banget... Tapi, kali ini aku bakal
tahan diri. Jadi, semangat ya."
"Iya, makasih."
Kuuya nggak minta maaf,
dia cuma bilang terima kasih.
Fatima ngiketin tasuki
putih di punggungnya. tl/n:tasuki = tali putih yang biasa dipake dikimono.
pf/n: lama bet kasi tau
soal tasukinya
Pertandingan final kendo
pun dimulai.
Merah, Kouya Narasaki.
Putih, Karasu Kuuya.
Keduanya tidak memakai
jersey, melainkan seragam kendo.
Penonton mungkin mengira
itu hanya bagian dari pertunjukan, dan seragam itu dipinjam dari klub kendo...
tapi bukan.
Keduanya memakai seragam
mereka sendiri dari SMP.
Dengan pakaian resmi
kendo, keduanya memberi hormat kepada Keika yang menjadi wasit sebelum memasuki
area pertandingan.
Lalu mereka berjalan ke
tengah lapangan, tapi tidak sampai benar-benar dekat, berhenti sejenak di
tempat yang agak jauh untuk memberi hormat kepada lawan, lalu maju tepat tiga
langkah.
Dan menghunus
pedang──menarik shinai yang digantung di tangan kiri, mengambil posisi, dan
berjongkok.
Gerakan mereka sangat
khidmat dan anggun, sampai-sampai penonton ikut merasa tegang.
Setelah melihat keduanya,
Keika mengumumkan dimulainya pertandingan.
"Mulai!"
Sesuai dengan aba-aba yang
penuh semangat, mereka berdua berdiri perlahan dan berhenti sejenak.
Jeda singkat seperti
sedang memastikan sesuatu, atau mungkin memutuskan sesuatu.
Lalu──ledakan.
Serangan pertama, keduanya
saling memukul men (kepala).
Tidak ada basa-basi.
Langsung serangan penuh tenaga, tanpa ampun.
Bendera tidak dinaikkan.
Bukan karena tidak kena.
Serangannya kena, kalau itu pedang sungguhan, pasti langsung mati.
Tapi karena keduanya
sama-sama kena, dan serangannya bersamaan, maka dianggap tidak sah sesuai
aturan.
Makanya bendera tidak
dinaikkan.
"......"
Fatima memperhatikan
keduanya dengan tegang saat mereka beradu kekuatan setelah saling memukul men.
Peradu kekuatan hanya
berlangsung sesaat, Kuuya mundur sambil menangkis serangan kote (pergelangan
tangan) Kouya.
Kouya seperti sudah
membaca gerakan itu, dia menangkis shinai Kuuya, lalu dengan lancar menyerang
men.
Tapi Kuuya tidak
menyia-nyiakan kesempatan saat Kouya mengangkat shinai untuk menyerang.
Dia menyerang ke arah do
(perut)──
"Itu namanya gyakudo.
Biasanya orang mukul ke kanan, tapi kalau ke kiri namanya gyakudo."
Haruka menjelaskan dengan
cepat.
Seperti yang dia bilang,
Kuuya melancarkan serangan gyakudo.
Tapi... penilaian gyakudo
itu ketat.
Di pinggang kiri, kan ada
tempat buat nyimpen pedang.
Supaya gyakudo dihitung
poin, serangannya harus bisa motong sarung pedangnya sekaligus.
Makanya penilaiannya
ketat, dan jarang ada yang nyerang ke situ.
Tapi serangan Kuuya punya
kekuatan yang cukup.
Tapi tetep nggak sah.
Meskipun kuat, serangannya nggak cukup dalam.
Shinai Kuuya cuma kena
sedikit di do Kouya.
Kouya nggak nyia-nyiakan
kesempatan pas Kuuya gagal nyerang.
Dia nyerang men lagi.
Kuuya menangkisnya, terus
sambil mundur dia nyerang balik ke arah men.
Ini juga kurang dalam.
Nggak sah.
Sebelum Kuuya narik
shinai-nya, Kouya nyerang kote.
Kuuya berhasil nangkisnya
tepat waktu.
(Mereka berdua ini apaan
sih...!)
Keika berteriak dalam hati
sambil berusaha ngikutin serangan mereka yang cepet banget.
Nggak mungkin ini gerakan
orang yang udah setahun nggak main kendo.
Mereka berdua kayak
monster.
Serangannya tajem banget.
Nggak ada yang berhenti
bergerak sedetik pun.
Keika ngerasa serangan
yang harusnya kena itu malah ditangkis sama dihindarin, tapi mereka berdua
kayaknya biasa aja dan terus nyerang.
Keika takut dia bakal
kelewatan serangan yang sah, meskipun dia udah fokus banget.
Dia nggak boleh sampai
salah.
Kouya minta tolong sama
dia karena kehilangan rivalnya gara-gara kecurangan.
Kuuya minta tolong sama
dia karena karirnya berakhir gara-gara kecurangan.
Keika nggak boleh bikin
kesalahan di pertandingan yang akhirnya bisa mereka lakuin lagi ini.
Kouya, yang selalu menang
cepet dari semua lawannya, lawan Kuuya, yang cuma main sekali tapi menang tanpa
bikin lawannya gerak sedikit pun.
Pertarungan sengit antara
mereka berdua.
Tiba-tiba berhenti.
Mereka berdua beradu
kekuatan lagi.
"Dasar iblis. Sok
kuat banget sih."
"Harusnya jadi tumpul
dong karena nggak diasah, dasar pedang iblis."
Mereka ngobrol sambil
beradu kekuatan.
Biasanya nggak ada yang
kayak gini. Ngobrol pas pertandingan itu dilarang banget.
Tapi ini kebiasaan mereka
berdua dari dulu.
Cuma ngomong satu atau dua
kata, bisik-bisik pas lagi adu kekuatan.
Biasanya sih nggak ada
artinya, sekarang juga nggak ada artinya.
Tapi, itu bikin mereka
inget masa lalu.
Kuuya ngelepasin adu
kekuatan itu.
──Dia nyerang sambil
mundur, tapi... pasti ditangkis. Ya udah, dia nyerang aja biar lawannya gerak,
terus nyerang balik pas lengah...
Dalam waktu kurang dari
sedetik, Kuuya mikirin rencana serangannya.
Sebelum dia selesai mikir
dan mulai nyerang, kejadian itu terjadi.
Bekas cederanya
kambuh──dia nggak bisa ngerasain apa-apa dari lutut kanannya ke bawah.
Nggak sakit sih. Dia juga
masih bisa ngeluarin tenaga.
Cuma dia nggak bisa
ngerasain sakit, nggak ngerasa lagi ngeluarin tenaga, nggak ngerasain injekkan
kakinya ke lantai, semuanya hilang.
Ini nggak pernah kejadian
pas lagi aktivitas biasa.
Cuma kejadian kalau lagi
olahraga yang butuh banyak tenaga kayak kendo.
Nggak selalu kejadian juga
sih kalau ngelangkah.
Kadang ilang, kadang
nggak.
Tapi, kalau ngelangkah
berkali-kali, pasti kejadian.
Dan itu kejadian sekarang.
Posisi mendaratnya jadi
nggak seimbang, bikin dia punya celah besar... tapi Kouya nggak nyerang celah
itu.
"... Sial..."
Kuuya gigit bibir sambil
megang shinai, nggak bisa gerak.
(Sampai sini aja ya...
Yah, tapi aku udah ngeluarin semua kekuatanku...)
Kuuya berhasil ngehindarin
jatuh, terus sambil benerin posisi dia megang shinai lagi.
(Akhir yang nggak bagus...
tapi ya udahlah. Ini akhirnya.)
Dia cuma bisa berdiri
karena nggak ngerasain apa-apa.
Jalan aja susah, apalagi
nyerang.
(Serang aja, Kou-chan.
Kalau harus berakhir di tanganmu, nggak masalah.)
Kuuya udah pasrah, mau
nerima kekalahannya... tapi tiba-tiba dia kepikiran gimana ekspresi Fatima. Dia
pengen banget lihat muka Fatima.
Jadi meskipun lagi
pertandingan, Kuuya ngelihat ke arah Fatima yang ada di pinggir lapangan.
──Kayaknya Fatima tahu
kalau bekas cederanya kambuh, mukanya kayak mau nangis sambil ngomong sesuatu.
Kuuya nggak bisa denger
suaranya. Mungkin Fatima nggak ngeluarin suara.
Tapi kayaknya dia teriak
tanpa suara.
Kuuya bisa lihat gerakan
bibirnya dengan jelas.
Ku-u-ya-ga-n-ba-re──Kuuya,
semangat.
"... Mending teriak
aja biar kedengaran..."
Kuuya nggak bisa nahan
senyum waktu Fatima nyebut namanya, bukan nama keluarganya, buat nyemangatin
dia.
(Kalau dia udah bilang
gitu, ya harus semangat dong...)
Fatima yang tadinya
khawatir banget sama bekas cederanya, tetep nyemangatin dia meskipun tahu
cederanya kambuh.
Masa Kuuya mau nyerah gitu
aja...
"Nggak jantan
banget..."
Kuuya nguatin tekadnya.
Kakinya bukannya nggak
bisa gerak. Cuma mati rasa aja.
Dia masih bisa ngeluarin
tenaga. Berarti dia masih bisa jalan, masih bisa ngayunin shinai.
Jadi, dia cuma perlu gerak
kayak biasa aja.
Terus Kuuya pelan-pelan
ngambil posisi lagi.
Kuuya menurunkan ujung
pedangnya──posisi gedan.
"... Ah..."
Fatima tanpa sadar
bersuara saat melihat Kuuya yang hampir jatuh, lalu bangkit dan mengambil
posisi baru.
Posisi gedan──posisi
dengan ujung pedang mengarah ke bawah.
Shinai itu tampak seperti
kaki ketiga.
Jadi ini adalah,
"...
Yatagarasu..."
Burung gagak berkaki
tiga──namanya Yatagarasu.
"──Kou-chan, ini yang
terakhir."
Kuuya, yang beralih ke
posisi gedan, memanggil Kouya.
"Aku nggak bisa
lanjut lagi."
Kuuya tersenyum kecut pada
kata-katanya sendiri.
Kalau dibilang nggak bisa,
dia udah maksain dari tadi.
Nggak mungkin bisa main
kendo cuma ngandelin ingatan, padahal dia nggak bisa ngerasain apa-apa dari
lutut ke bawah.
Tapi dia tetep mau maksain
sekali lagi.
Di depannya ada Kouya,
rival sekaligus sahabatnya yang tetep setia meskipun dia udah berhenti kendo.
Ada juga pacarnya yang
nyemangatin dia sambil nahan rasa khawatirnya.
Makanya Kuuya mau maksain
sekali lagi, buat nunjukin semangatnya.
"Oke."
Kouya jawab, terus ganti
posisi.
──Posisi jodan.
(Dasar cowok...)
Keika curang sambil
geleng-geleng kepala.
Nggak ada aturan yang
ngelarang ngobrol pas pertandingan sih, tapi kayaknya itu termasuk pelanggaran.
Harusnya Keika bisa ngasih
tanda kalau dua-duanya melanggar, tapi... itu nggak asik banget.
"......"
Kouya diem aja sambil
megang pedang di posisi jodan.
Dia yakin kalau dia gerak
sembarangan, dia bakal diserang balik.
Lawannya itu Yatagarasu,
tapi juga pedang iblis.
Pedang iblis itu──teknik
yang nggak masuk akal banget, nyerang terus tanpa ngasih kesempatan lawan buat
gerak.
Kouya tahu gimana cara
kerjanya.
──Namanya sensen no
sensen.
Kuuya nggak cuma baca
gerakan tubuh lawan yang mau nyerang, tapi juga baca pikiran lawan sebelum dia
gerak.
Kayaknya sih nggak masuk
akal, tapi sebenernya nggak juga.
Dulu Kuuya pernah bilang
kalau serangan kendo itu cuma 0,1 detik, tapi... waktu yang dibutuhin buat
nangkis itu 0,2 detik.
Tapi semua orang pernah
berhasil nangkis serangan.
Jadi intinya, Kuuya cuma
nyempurnain itu.
(Cuma katanya, padahal
pasti susah banget...)
Keika nggak bisa bayangin
seberapa keras latihan yang dibutuhin buat bisa kayak gitu.
Yang dia tahu, Kuuya bisa
ngelakuin itu, dan... dia tahu cara ngalahinnya.
(Nggak usah mikir... Nggak
usah pengen nyerang, nggak usah pengen menang. Serahin aja semuanya ke
pedang...)
Nggak ada pikiran, nggak
ada perasaan, cuma ngikutin insting dari latihan yang udah dia lakuin selama
ini.
"......"
Kuuya diem aja sambil
megang pedang di posisi gedan.
Dia yakin kalau dia gerak
sembarangan, dia bakal diserang.
Lawannya itu Kouya si
Iblis.
Iya, iblis──dan nggak ada
yang tahu kenapa Kuuya manggil Kouya kayak gitu.
Bukan karena Kouya kuat
kayak iblis.
Katanya sih, iblis itu
nggak pernah nyimpang dari jalan yang benar.
Kouya juga gitu, dia nggak
bakal main curang atau licik.
Dia maju terus di jalan
yang benar dengan kecepatan penuh.
Dia ngalahin lawan secara
jantan, dari depan.
Karena Kouya main kendo
kayak gitu, makanya Kuuya manggil dia iblis.
Dan karena Kouya kayak
gitu, Kuuya bisa baca gerakannya.
Pasti dia bakal nyerang
men.
Nggak pakai trik-trik,
langsung nyerang men dari depan.
Masalahnya, Kuuya nggak
tahu kapan Kouya bakal nyerang.
Kalau dia gerak tanpa tahu
kapan Kouya bakal nyerang, dia bisa langsung kena pukul.
Apalagi pukulan men Kouya
itu tajem dan panjang.
Meskipun Kuuya tahu
serangannya bakal dateng, dia nggak bisa mundur buat ngehindar.
Posisinya sekarang udah
mepet banget.
Kalau dia maju sedikit
aja, shinai Kouya bakal kena.
Meskipun shinai Kuuya
nggak nyampe, shinai Kouya pasti nyampe.
(Parah nih, nggak adil
banget.)
Kuuya bingung harus
gimana...
Tiba-tiba, Kouya bergerak.
──Langkah pertama, kaki
kiri.
Kouya sendiri nggak tahu
celah apa yang dia lihat.
Tapi, badannya gerak
sendiri.
Hasil latihan kerasnya
waktu SMP.
──Langkah kedua, kaki
kanan.
Makanya Kouya nggak ragu.
Dia nyerang dengan seluruh
jiwa dan raganya. Kayak shinai-nya gerak sendiri, dia ngeluarin semua
kekuatannya.
Targetnya men, Kuuya masih
di luar jangkauan──nggak.
Kenalah. Kuuya ada dalam
jangkauannya.
Kouya mukul bagian kanan
atas men lawan pakai tangan kiri doang──teknik tingkat tinggi, hidari katate
men.
Itu bikin jarak mereka
makin jauh.
──Nggak nyangka dia bakal
nyerang.
Nggak tahu gerakannya
bakal kayak gimana.
Nggak bisa baca
pikirannya.
Kayaknya Kouya cuma
ngedeketin jarak dengan santai, terus tiba-tiba nyerang.
Tapi Kuuya ngerasa ada
sesuatu.
Dia punya firasat kalau
Kouya bakal nyerang.
Makanya Kuuya ngikutin
aja.
Dia lompat ke belakang
sambil nangkis pakai shinai.
Ternyata shinai Kouya yang
harusnya nggak nyampe, malah kena.
Kuuya nangkis serangan
itu.
Dia ngebelokkin serangan
itu ke arah belakang diagonal, bukan ke samping.
Tapi, serangan Kouya berat
banget.
Meskipun cuma pakai satu
tangan, tetep aja kuat banget.
Kuuya hampir kalah──dia
ngelawan pakai semua tenaga.
Berhasil
ditangkis──sekarang!
Setelah nangkis serangan
hidari katate men Kouya, Kuuya mendarat dengan kaki kiri sambil ngangkat
shinai-nya tinggi-tinggi.
Dan──men. tl/n: Men di
kendo itu pukulan buat nyerang kepala lawan.
Gerakannya biasa aja,
kayak latihan biasa.
Tapi shinai-nya bergerak
dengan anggun dan indah, membentuk busur.
Itulah semua kemampuan
kendo yang udah Kuuya asah selama ini.
──Cuma latihan biasa.
Latihan dasar yang udah
dia ulang ribuan, jutaan, bahkan mungkin triliunan kali.
Serangan itu, dari jarak
yang seharusnya nggak mungkin kena, mendarat di men Kouya yang maju terlalu
jauh.
Suara keras pun bergema—
"Poin untuk men!
Pertandingan selesai!"
Keika mengangkat bendera
putih.
"──Jangan,
Fatima-chan."
Haruka menahan jersey
Fatima yang langsung berdiri begitu pertandingan selesai.
"Aku tahu...!"
Fatima berusaha keras
menahan keinginan untuk segera berlari ke arah Kuuya.
Pertandingan memang sudah
selesai.
Pemenangnya sudah
ditentukan.
Tapi itu tidak berarti
pertandingan benar-benar berakhir.
Pertandingan harus
diakhiri dengan tata krama yang benar, dan itu belum selesai.
Kuuya bilang dia ingin
menyelesaikan pertandingan sampai akhir, jadi Fatima tidak boleh masuk ke arena
sebelum pertandingan benar-benar selesai.
Dia tidak boleh merusak
tekad Kuuya.
Di depan Fatima, upacara
penutupan pertandingan dilakukan.
Kembali ke posisi awal.
Bahkan untuk melakukan itu
saja, gerakan Kuuya terlihat tidak stabil.
Fatima mengepalkan
tangannya dan menahan diri.
Keduanya mengambil posisi
chudan (posisi pedang di tengah) dan berjongkok.
Kuuya berjongkok dengan
sangat kaku, hampir kehilangan keseimbangan beberapa kali.
Tapi dia tetap bertahan.
Fatima juga menahan diri.
Kalau tekad Kuuya adalah
menyelesaikan pertandingan sampai akhir, maka tekad Fatima adalah tidak ikut
campur sampai akhir.
Mereka memasukkan pedang
dan berdiri.
Kuuya hampir jatuh──Fatima
menahan diri.
Kuuya mundur sambil
menyeret kaki kanannya, tetap menghadap Kouya.
Hampir jatuh lagi──Fatima
menahan diri.
Setelah benar-benar keluar
dari jarak yang ditentukan, Kuuya membungkuk kepada Kouya, lalu kepada Keika
yang menjadi wasit.
Kuuya hampir jatuh lagi...
Fatima menahan diri.
Akhirnya, Kuuya berbalik
dan berjalan perlahan ke arah Fatima, langkahnya terlihat sangat tidak stabil,
dan──keluar dari arena pertandingan.
"Karasu-kun...!"
"Ah... Pertandingan
yang bagus..."
Kuuya menghela napas puas,
lalu menyandarkan tubuhnya pada Fatima yang berlari menghampirinya, tanpa
peduli kalau dia masih memakai pelindung.
"Maaf, tapi aku butuh
bantuanmu."
Fatima cemberut melihat
Kuuya yang terlihat malu-malu.
"Aku udah bantuin
kamu dari tadi... Lagian sakit tau. Pelindungnya keras, kamu harusnya lebih
sopan..."
"Kan kamu yang bilang
aku boleh minta bantuanmu? Jadi, biarin aku minta bantuanmu."
Untuk kali ini saja, Kuuya
bersandar pada Fatima tanpa sungkan.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.