Bab 4
──Jam 11.30 siang.
Meskipun ini adalah waktu
pertandingan kendo dimulai, gedung olahraga yang jadi tempat pertandingan sepi
banget.
Bisa dibilang, yang ada di
sana cuma peserta sama wasit dari klub kendo.
"Sepi banget
ya..."
"Kalau dari awal udah
rame, klub kendo nggak perlu promosi kayak gini," jawab Fatima sambil
nguap kecil.
Dia masih ngantuk, padahal
tadi udah cuci muka. Mungkin karena dia tidur nyenyak banget setelah nyender di
punggung Kuuya dan pegangan tangan kayak orang pacaran.
"Kalau gitu, kita
harus bikin pertandingan yang seru atau ngasih pelatihan yang keren biar jadi
bahan omongan."
"Uokai tuh orangnya
semangat banget ya... Kalau ditambah baik hati, dia pasti bisa bertahan
hidup."
"I-if I was tough, I
would be alive..."
"Aduh... Uokai-chan,
pengucapanmu parah banget, terus kamu mati gara-gara terlalu tangguh."
"Udahlah, ujiannya
juga udah selesai!"
Keika berusaha ngomong
bahasa Inggris karena inget contoh kalimat dari pelajaran sama Fatima, tapi
Haruka langsung nyaut dan dia jadi bete.
"Jangan bilang aku
cewek lemah kayak cowok tangguh gitu dong!?"
"Eh,
Fatima-chan."
Haruka nggak peduliin
Keika dan langsung nanya ke Fatima dengan mata berbinar.
Setelah mastiin Kuuya
belum dateng, dia lanjut ngomong dengan suara pelan, "Kamu dimanjaain
Karasu-chan, kan?"
"Iya, banget."
Fatima jawab dengan
tenang, sok cool.
"Oh iya, kamu bilang
gitu ya... Aku nggak bisa bayangin Kurei manja-manjaan, apalagi Karasu yang
manjain orang lain."
Keika nggak masalah
diabaikan, dia cuma bingung dan Fatima senyum sinis.
"Kenapa
senyum-senyum?"
Fatima ngomong dengan
santai ke Keika yang ketakutan.
"Kalau aku nyender ke
dia, Karasu-kun bakal megang tanganku..."
Sambil ngomong gitu,
Fatima megang tangan Keika dan ngejalin jari-jarinya.
"Waaah... Karasu-chan
ternyata berani juga ya..."
"Hah? Aku
kenapa?"
Tiba-tiba, Kuuya muncul
sambil bawa perlengkapan kendo.
Keika nunjuk Kuuya sambil
teriak dengan muka merah padam.
"Kamu... Ngapain aja
sih!?"
"Aku pinjem
perlengkapan. Kamu ngapain pegangan tangan sama Fatima?"
"I-itu..."
"Aku lagi jelasin apa
yang Karasu-kun lakuin ke aku tadi."
Fatima jawab buat Keika
yang gelagapan. Kuuya cemberut.
"Nggak perlu
dirahasiain sih, tapi ya nggak perlu disebarin juga..."
"Uokai bilang dia
nggak bisa bayangin Karasu-kun yang manjain orang lain, jadi aku kasih lihat...
Oke, lanjut ya."
Fatima ngangkat tangannya
yang masih bertautan sama Keika, terus dia muter badan sampai merekaberdua jadi
saling membelakangi. Gerakannya luwes banget, kayak lagi nari atau ngelakuin
bantingan judo.
"Terus, dia bikin aku
tidur kayak gini. Tanganku juga dipegangin sampai aku bangun."
Fatima pasang muka bangga,
kayak pengen bikin Keika iri.
Tapi, Haruka malah
keliatan kecewa.
"Fatima-chan sama
Karasu-chan itu kayak pacaran tapi bukan pacaran ya... Kayak udah lebih dari
itu..."
"Ya iyalah, namanya
juga Kuu-chan... Paling cocok kalau lagi santai-santai berjemur di teras."
"Kok aku nggak bisa
bantah ya..."
Kuuya menghela napas
mendengar Kouyo yang baru datang.
Dia nggak masalah kalau
santai-santai, tapi dia nggak mau dibilang kayak orang tua.
"Aku sih suka
santai-santai berjemur. Gimana kalau kita santai-santai di teras rumah nenek
Koyori sebelum musim hujan dateng?"
"Hmm..."
Kuuya mikir sebentar
setelah Fatima ngasih usul.
Untungnya Fatima deket
sama Koyori, jadi mungkin seru juga kalau mereka bertiga santai-santai bareng
neneknya.
"Boleh juga tuh...
Kita bisa main catur Jepang sambil santai-santai sama nenek."
"Bagus deh kalau
kalian akur sama mertua, tapi masa anak SMA habis ujian pengennya santai di
teras... Minimal liburan ke pemandian air panas lah."
Keika langsung protes
sambil misahin tangannya sama Fatima.
"Nggak ada
duit."
"Kalaupun ada,
ngapain juga kita harus keluar rumah kalau di rumah udah nyaman?"
"Santai di teras sama
liburan ke pemandian air panas sama aja kali..."
"Kee-chan mulai
kebawa nih..."
"Udah, diem! Mending
kita omongin siapa lawan kita nanti!"
Keika ngerasa kalah, jadi
dia ganti topik pembicaraan.
"Hmm... Lawan kita
Hijikata-kun kelas satu. Dia anak baru yang jago kendo."
Haruka nggak mau lanjutin
perdebatan, jadi dia ngikut aja. Lagian, mereka juga harus fokus ke
pertandingan.
"Hijikata... Maaf ya,
tapi aku jadi inget yang lain..."
"Ya, sama."
Kuuya setuju sama Kouyo
yang kayaknya mikirin hal yang sama tentang kendo sama nama Hijikata.
"Dia emang jago kok.
Narasaki-chan sama Karasu-chan, tulis nama kalian di tare ya. Nih, kapurnya.
Terus, ini tasuki buat Karasu-chan, warnanya putih ya."
Haruka nyuruh mereka
berdua buat siap-siap.
"Manajer emang beda,
siap banget. Kuu-chan, tulis nama aku dong. Tulisan aku jelek."
"Nama kamu susah
ditulis... Terus, urutannya gimana?"
Pemain kendo pakai topeng,
jadi mukanya nggak kelihatan. Makanya, mereka pakai name tag di pelindung
pinggang yang namanya 'tare'. Tapi, Kuuya sama Kouyo nggak punya karena mereka
bukan anggota klub kendo.
Jadi, mereka nulis nama
langsung di tare pakai kapur. Kuuya nanya sambil mulai nulis nama Kouyo di tare
yang diletakkan di lantai.
"Karena lawannya dari
klub kendo, aku yang main duluan. Karasu udah janji jadi pemain terakhir, jadi
Kouyo yang di tengah. Kalian lihatin baik-baik ya, biar inget lagi gimana
caranya main."
"Hah?"
Kuuya ngedongak, bingung
sama omongan Keika.
"Kok kamu jadi
penakut? Aku kira kamu bakal ketawa sambil megang pinggang terus bilang 'Nggak
ada giliran buat kamu, mending latihan ayunan aja sana'."
"Kamu nganggep aku
apa sih...?"
Keika ngehela napas, sebel
sama Kuuya yang nuduh dia aneh-aneh.
"Nggak tahu deh kamu
mikir apa, tapi aku tahu kok aku nggak sejago itu. Aku nggak suka ngomong besar
yang cuma bikin malu."
"Hmm... Koo-chan, aku
mau bilang sesuatu nih."
Kuuya ngomong ke Kouyo
sambil lanjut nulis nama, setelah denger omongan Keika yang agak minder.
"Pertandingan itu
cuma salah satu cara buat ngukur kemampuan. Lagian, buat olahraga bela diri
kayak gini, cukup kalau kita bisa bilang 'nggak' sama hal yang kita nggak
suka."
"Pegangan shinai
Uokai udah item banget karena sering dipegang. Aku sih nggak mikir dia bakal
jago cuma karena itu, tapi bisa latihan sampai kayak gitu juga termasuk
kekuatan, jadi dia harusnya pede aja. Gitu kata Koo-chan. Susah ya ngertiin
dia."
"Aku nggak mau
dibilangin sama Kuu-chan."
Kouyo cemberut karena
Kuuya suka ngomong muter-muter.
Tapi, dia langsung
ngelihat Keika dan bilang, "Aku sih pengen kamu menang, itu lebih gampang
dimengerti dan bikin kamu ngerasa puas karena udah ngelakuin sesuatu. Tapi,
bisa latihan sampai pegangan shinai-nya item kayak gitu juga hebat loh. Jadi,
menurutku Kee-chan udah cukup kuat."
"Kayaknya aku lagi
dihipnotis sama kata-kata keren deh... Ngomong-ngomong,"
Keika melanjutkan,
"Kayaknya kalian berdua nganggap aku pasti kalah..."
Pertandingan pun dimulai.
Kedua belah pihak
mengambil posisi chudan, meneriakkan semangat, dan saling memukulkan ujung
shinai untuk mencari celah menyerang.
"Susah nyerang lawan
yang posisinya bener. Pertama-tama, kita harus bikin posisinya kacau, baru bisa
menghindar dan nyerang," jelas Kuuya yang duduk dengan tegap di dekat
garis batas arena pertandingan.
Meskipun nggak pakai baju
kendo, dia keliatan kayak atlet profesional.
(Mungkin karena lawan kita
keliatan nggak meyakinkan...)
Fatima, yang duduk di
belakang Kuuya karena bukan peserta, melihat lawan mereka, anak-anak kelas
satu.
Cuma satu yang anak klub
kendo, dua lainnya kayaknya dari luar klub. Mereka duduk bersila, bukannya
seiza.
Mereka juga nggak tenang
dan terus ngelirik ke arah Kuuya dan yang lain.
"Mereka pasti mikirin
Fatima-chan. Nggak nyangka dia bakal dateng nonton."
"Iya sih, aku juga
nggak bakal nonton kalau Karasu-kun nggak ikut."
Fatima mengakui itu dengan
senyum kecut.
Jujur aja, dia nggak
tertarik sama kendo. Bahkan, dia nggak tertarik sama pertandingan olahraga ini.
Kalau bukan gilirannya
main, dia pasti ngumpet di perpustakaan.
Dia nonton cuma karena
Kuuya ikut...
(Eh... Mungkin aku bakal
tetep dateng nonton meskipun Karasu-kun nggak ikut, asal Akiduki-san atau Uokai
ikut...)
Dia ngerasa dirinya udah
berubah.
Mungkin dia benci orang
lain karena mereka suka kepo, tapi dia bisa bergaul sama orang yang nggak kayak
gitu.
"Gimana nih
pertandingannya? Menurutku sih imbang."
Fatima sadar kalau dia
malah bengong pas Keika lagi tanding, jadi dia nanya ke Haruka.
"Mereka masih saling
intip-intip, jadi menurutku juga imbang. Kalau menurut kalian berdua
gimana?"
"Susah dibilang sih.
Kayaknya Uokai lebih agresif, tapi cuma itu doang."
"Iya... Keliatannya
sih Kee-chan yang lebih unggul, tapi kita kan nggak tahu Hijikata itu jago
kendo kayak gimana..."
Kayaknya Kuuya sama Kouyo
bisa ngelihat lebih jelas daripada dua cewek itu, tapi mereka juga nggak tahu
siapa yang lebih unggul.
"Kalau dipikir-pikir,
kayaknya Kee-chan bakal kalah kalau sampe tsubazeriai."
"Dari sikapnya
sehari-hari, kayaknya dia bakal main jujur. Akiduki, Uokai kan bukan cewek
super kuat atau robot, kan?"
"Uokai itu cewek
biasa kok. Masa iya dia lebih kuat dari cowok klub olahraga cuma karena dia
lebih muda. Dia juga bukan robot."
Haruka tertawa kecil
mendengar ucapan Kuuya yang aneh, meskipun dia berusaha menjelaskan dengan
bahasa yang umum karena Fatima nggak ngerti kendo.
"Tungsten... Itu kan
soal bonus di ulangan kimia ya?"
"Bukan, jawabannya
krom. Kalau tungsten karbida sih lebih keras dari krom, tapi soalnya cuma
tungsten doang."
"Kok jahat banget
sih, padahal itu soal bonus..."
"Itu jebakan biar
kita lengah terus salah jawab. Tapi, kalau kita teliti, pasti bisa nemu
jawabannya... Guru itu emang suka bikin soal kayak gitu."
"Kok jadi ngomongin
soal sih..."
Haruka tersenyum kecut
melihat mereka berdua ngobrol soal yang nggak nyambung.
Mereka berdua emang
gampang banget ngelantur. Tapi, mereka nggak pernah lupa sama topik utama.
Kayaknya mereka sengaja
bikin orang lengah.
Kayak serigala yang
ngincer mangsanya.
Haruka nggak ngerti kenapa
mereka kayak gitu, tapi... mungkin itu udah kebiasaan mereka.
"Kayaknya bentar lagi
ada yang nyerang. Coba perhatiin baik-baik."
Kuuya nyuruh Fatima buat
fokus ke pertandingan.
"Tenis meja itu lebih
lambat dari kendo. Kalau dibandingin sama pemain jago, counter drive itu butuh
waktu 0,18 detik, sedangkan shinai kena sasaran itu kurang dari 0,1
detik."
"Kuu-chan suka banget
ya sama angka... Tapi kok nggak jago matematika... Ah!"
Pertandingan dimulai saat
Kouyo ngomong gitu sambil ngelihat ke arah Keika dan yang lainnya.
Ujung shinai Hijikata,
lawan mereka, terangkat ke atas, siap buat nyerang.
Di saat yang sama, shinai
Keika mengenai kote lawan dan terdengar suara benturan yang keras.
Serangannya secepat kilat,
kalau Kuuya nggak ngingetin, pasti mereka nggak bakal ngelihat.
"Susah nyerang lawan
yang posisinya bener. Tapi, kalau lawan ngangkat shinai buat nyerang, posisinya
jadi nggak stabil. Itu kesempatan buat nyerang, namanya Debana-waza. Tadi itu
namanya Debana-kote. Aku bilang tadi mukul ke men itu butuh 0,1 detik, tapi
kote lebih cepet karena lebih deket."
pf/n: “Debana-waza” &
“Debana-kote”, dua-dua nya itu teknik dalam kendo
Kuuya ngejelasin teknik
serangan itu, terus senyum kecut.
"Aku coba jelasin,
tapi... Nggak penting deh. Hebat banget serangannya."
"Iya, sempurna
banget..."
"Bener..."
Kayaknya serangan Keika
itu beneran bagus, secara tiga orang yang ngerti kendo pada muji.
Kayaknya Keika sama
lawannya juga mikir gitu, soalnya mereka diem aja sambil jaga posisi, siapa
tahu serangan tadi nggak kena.
Tapi...
"Nggak sah.
Pukulannya dangkal banget."
Wasitnya, cewek, nggak
ngangkat bendera.
Dia malah ngibas-ngibasin
bendera merah putihnya, tanda nggak nganggap serangan itu sah.
"Karasu-kun."
"Ki, ken, tai,
semuanya cukup. Kalau nggak ada perubahan aturan, itu pasti poin."
"Wasit! Itu salah!
Tadi kena kok!"
"Diem deh, amatiran.
Keputusan wasit itu mutlak. Kalau ngeyel, kamu didiskualifikasi."
Cewek itu jawab sambil
ketawa ngelihat Kouyo yang protes.
"Ngeselin banget
sih... Nggak ada aturan buat ngusir wasit kayak gitu?"
"Sayangnya nggak ada.
Dan, keputusan wasit itu emang mutlak. Nggak ada aturan buat protes. Paling
cuma bisa protes soal nggak boleh protes... Harusnya sih wasit itu adil, dan
biasanya ada tiga orang wasit."
Haruka keliatan kesel
banget, meskipun Fatima cuma nanya soal aturan yang nggak ada di olahraga mana
pun.
"Meskipun ada tiga
wasit juga belum tentu adil sih."
Kuuya ngomong dengan
tenang, kayaknya dia udah biasa ngelihat kejadian kayak gini.
"Koo-chan, boleh aku
yang main selanjutnya?"
"Nggak boleh. Ini
nggak bisa ditawar lagi."
Kouyo jawab dengan suara
keras.
Suaranya kedengeran marah
banget, padahal biasanya dia kalem dan santai.
Kuuya manggil dia lagi.
"Koo-chan."
"Aku bakal..."
"Kouyo."
Kuuya motong omongan Kouyo
dan manggil namanya dengan tenang.
"Aku suka dan
ngehormatin kamu karena kamu bisa marah demi orang lain tanpa mikirin untung
rugi. Tapi, sekarang bukan waktunya. Kamu harusnya ada di samping Uokai, biar
aku aja yang ngalahin orang brengsek itu."
"Maaf... Kamu
bener."
Kouyo ngendurin bahunya
setelah dinasihatin dengan tenang.
"Santai aja. Aku udah
bilang kan, aku suka sama sikap kamu itu, dan aku ngehormatin kamu."
Kuuya ngomong dengan
tenang, lalu kembali fokus ke pertandingan.
Fatima ngerasa ada yang
aneh sama percakapan mereka.
Dia ngerti kenapa Kouyo
marah, dan dia juga ngerti kenapa Kuuya nenangin dia.
Wasitnya curang banget,
dan sikapnya juga nyebelin.
Pasti siapa pun yang
serius sama kendo bakal kesel banget.
Apalagi yang kena
dampaknya adalah teman masa kecilnya.
Makanya Kouyo marah, dan
Kuuya berusaha nenangin dia.
Nggak ada yang aneh.
Seharusnya nggak ada yang aneh.
Tapi... Kouyo kayaknya
terlalu marah, dan Kuuya terlalu tenang padahal biasanya dia bela kebenaran.
Fatima diem aja sambil
curi-curi pandang ke Kuuya.
Dia cuma diem dan
merhatiin pertandingan.
Keika kalah di
pertandingan itu.
Keika balik ke tempat
duduknya dan duduk di sebelah Kouyo, terus pelan-pelan ngelepas topengnya.
Dia keliatan sedih banget.
Setelah diem beberapa saat
sambil nunduk, dia nanya, "Selanjutnya giliran Kouyo, kan?"
"Kuu-chan yang bakal
main. Aku pengen ngalahin bocah tengil itu, tapi Kuu-chan bilang biar dia aja.
Iya juga sih, ngapain juga ngalahin anak kelas satu. Aku tadi emosi
banget."
Kouyo ngomong sambil
nyesel, dan Keika ngedongak.
"Emangnya bakal beda
kalau Karasu yang main?"
"Kuu-chan pasti bisa
ngatasin. Dia kan jago banget. Jadi, kamu nggak usah khawatir."
Kouyo duduk lagi dan
ngadep ke Keika.
"Debana-kote kamu
tadi kena kok. Itu poin sah. Jujur aja, kamu emang lebih lemah dari anak kelas
satu itu... tapi kamu yang menang. Nggak peduli orang lain bilang apa, kamu
yang dapet poin pertama."
"Kamu nunggu di sini
cuma buat bilang gitu?"
"Bukan cuma itu, ini
penting. Aku nggak peduli sama keputusan wasit atau menang kalah. Yang penting,
kote kamu tadi kena, pasti kena."
Keika tersenyum kecut,
kayak bingung mau ngomong apa.
"Emangnya seberapa
penting sih omongan pemain yang udah setahun nggak latihan?"
"Iya juga ya...
Maaf..."
"Tapi, aku terima kok
pujiannya. Iya, kote aku tadi kena. Aku yang menang." tl/n: kena sarung
tangan.
Pada saat itu, Keika sudah
menegakkan punggungnya dengan benar.
"Benar-benar... Ikan
Hias yang sedang sedih itu menyeramkan, jadi tolong hentikan. Anda lebih cocok
dengan kepercayaan diri yang berlebihan seperti itu."
"Siapa yang terlalu
percaya diri? Kepercayaan diri saya didukung oleh usaha keras, tahu."
Keika membusungkan dadanya
dengan angkuh pada Fatima yang mengatakan hal kejam.
"... Menurut pendapat
amatir saya, saya pikir itu sudah masuk. Jika serius, dia pasti sudah memotong
lengan lawannya."
"Kamu mengatakan hal
yang menakutkan dengan santai... itu memang satu standar..."
Namun, Keika terkejut
dengan kata-kata Fatima yang terus diucapkan dengan datar tanpa mengubah
ekspresinya.
"Yah, anak itu hanya
ingin bersenang-senang, dan dia membenci Keika-chan yang rajin berlatih. Tapi
aku tidak menyangka dia sebodoh itu untuk tidak menilai dengan benar... Jika
dia hanya ingin bersenang-senang, dia harus melakukannya sendiri, mengapa dia
menerima menjadi juri dan mengganggu orang lain? Sebaiknya dia menabrakkan
kepalanya ke sudut tahu dan mati, atau gantung diri dengan udon."
Namun, Haruka lebih keras
lagi.
Dia memaki dengan kasar,
menggunakan kata-kata kotor yang mungkin digunakan Kuuya.
"I, Ikan Hias...
Akiduki-san menjadi gelap..."
"Oh, kamu tidak tahu?
Haruka terkadang menjadi sangat gelap ── aku ingin mengatakannya dengan santai,
tapi sejujurnya aku takut..."
"Ah, ini dimulai.
Pertandingan Karasu-chan."
Tanpa mempedulikan kedua
orang yang gemetar ketakutan, Haruka mengalihkan pandangannya ke pertandingan.
Ketika mereka melihat ke
arah itu, pertandingan akan segera dimulai.
Karena ini juga merupakan
aturan khusus, pertarungan berlanjut, lawannya tetap Hijikata.
Hijikata dan Kuuya, yang
mengenakan jersey dan pelindung, berdiri di tengah lapangan pertandingan,
memegang pedang bambu di tangan kiri mereka, dan membungkuk.
Mereka mengambil posisi
jongkok seperti yang biasa dilakukan dalam kendo, lalu berdiri.
"..."
──Hanya itu, tapi Fatima
menahan napas.
Pada pertandingan Keika
sebelumnya, semua orang mengatakan bahwa tidak ada yang tahu siapa yang
diuntungkan karena mereka saling menjajaki, tapi... ini jelas bagi semua orang
siapa yang diuntungkan dan siapa yang dirugikan.
Meskipun mereka hanya
saling berhadapan dalam posisi chudan, pada titik ini sudah jelas level mereka
berbeda.
Aura yang tegang, yang
bisa disebut semangat pedang.
Ketajaman ujung pedang
yang diarahkan ke tenggorokan lawan.
Kebiasaan itu, kelenturan
yang membuat Anda merasa bahwa Anda akan ditangani tidak peduli bagaimana Anda
menyerang.
"... Karasu itu
siapa?"
Bahkan di mata Keika, yang
merupakan anggota klub kendo, Kuuya tampaknya luar biasa.
Dia tercengang.
"Aku hanya mendengar
bahwa dia adalah anggota klub kendo di SMP..."
Fatima mengalihkan
pandangannya dari Kuuya yang sedang bersiap sejenak, dan melihat Kouya yang
tahu masa SMP-nya.
"Gagak Hitam dari
Nishiichi, itu julukan yang buruk, tapi aku memanggilnya Kuuya Saimura. Karena,
meskipun pengetahuan siswa SMP terbatas... aku belum pernah melihat pemain yang
lebih kuat dari Ku-chan."
"Lalu, mengapa dia
menjadi pedang iblis yang terkenal, bukan pedang terkenal di dunia...?"
Meskipun itu bisa disebut
selera siswa SMP, Fatima bertanya karena penasaran.
"Kamu akan mengerti
jika kamu melihatnya. Karena itu tidak bisa dijelaskan."
"Hah..."
Kata-kata Kouya tidak bisa
dimengerti.
Sambil berpikir begitu,
Fatima memusatkan perhatiannya agar tidak melewatkan gerakan Kuuya.
"?"
Di ujung pandangannya,
Kuuya memukul kote.
Hanya saja ── itu
benar-benar tidak bisa dimengerti.
Lawannya tidak bergerak.
Kuuya mengatakan bahwa dia tidak bisa memukul lawan yang masih dalam posisi
bertahan, dan dia harus menghancurkannya... tapi Kuuya memukulnya dengan tenang
tanpa menghancurkan posisi lawan.
Tapi, sekali lagi, bendera
tidak dinaikkan.
"Bodoh... meskipun
jelas di mata siapa pun. Ini seperti pengakuan bahwa dia tidak akan menerimanya
karena dia tidak menyukainya."
Kouya menghela nafas,
seolah-olah dia merasa kasihan.
Sementara itu, suara keras
kembali terdengar.
Sekali lagi, Kuuya
memukulkan pedang bambunya ke kote tanpa menggerakkan lawannya sedikit pun.
Tidak terganggu oleh
kenyataan bahwa pukulannya tidak dihitung sebagai poin, Kuuya terus melakukan
serangan dengan tenang.
Itu terus berlangsung.
Dengan ketenangan
seolah-olah sedang melakukan latihan biasa, Kuuya mengarahkan serangan ke
pergelangan lawannya yang tetap dalam posisi bertahan dan selalu mengenai
sasarannya.
Keanehan ini membuat
penonton yang awalnya diam mulai menyadarinya.
Jika hanya terjadi sekali,
mungkin bisa dianggap sebagai kebetulan, pukulan beruntung, atau kelalaian dari
siswa kelas satu yang menjadi lawannya. Namun, jika terus berulang seperti ini,
jelas bukan kebetulan.
──Kenapa itu tidak
dihitung sebagai poin?
──Apa yang dilihat oleh
wasit?
──Apakah wasit tidak mau
tim kendo kalah, sehingga berlaku curang?
Setiap kali suara pukulan
terdengar, keributan di antara penonton semakin keras.
Tidak hanya itu, siswa
lain yang telah menyelesaikan pertandingan mereka juga mulai berkumpul.
Di tengah keributan itu,
Kuuya yang dengan tenang dan terus-menerus memukul pergelangan lawannya tanpa
meleset sekalipun, kembali ke posisi tengah dan berkata.
"Di kendo tidak ada
yang namanya menyerah, tapi jika kamu mengakui kekalahanmu, letakkan
shinai-mu."
Suaranya tidak menunjukkan
tekanan sama sekali, bahkan terdengar tenang.
Siswa kelas satu itu
ragu-ragu sejenak mendengar seruan untuk menyerah dari Kuuya, kemudian dengan
perlahan meletakkan shinai-nya di lantai.
"Jangan merasa malu.
Meski merasa kesal, menerima kekalahan juga merupakan bentuk kekuatan yang
patut dibanggakan."
Menghargai keputusan siswa
kelas satu itu yang mengakui kekalahannya tanpa menyerahkan kepada wasit, Kuuya
sedikit meredakan ketegangan yang ada.
Siswa kelas satu itu
mengambil kembali shinai-nya, lalu berhadapan dengan Kuuya.
Seperti saat pertandingan
dimulai, mereka saling berhadapan dalam posisi tegak, kemudian membungkuk
sebagai tanda penghormatan.
Penonton pun menganggap
pertandingan telah usai dan bersorak.
"Aku tidak tahu apa
yang baru saja terjadi, tapi itu luar biasa..."
"Apa itu? Persiapan
dari tim kendo?"
"Seperti sedang
menonton drama. Cara berbicara dengan pakaian olahraga itu benar-benar
dramatis."
"Seperti drama zaman
dulu?"
“────…………”
“──…………”
“…………”
Tidak menghiraukan
berbagai komentar dari penonton, Kuuya kembali ke tempat para pemain menunggu
di samping arena pertandingan, lalu duduk dengan tenang dan membuka helmnya.
“Tantangan terbesar adalah
bagaimana menjaga harga diri siswa kelas satu itu… tapi sebagian besar sudah
sesuai rencana.”
“Kerja bagus, Kuuya-kun.
Ngomong-ngomong, apa yang tidak sesuai rencana?”
Jika sebagian besar sudah
sesuai rencana, berarti ada yang tidak sesuai rencana. Fatima yang merasa
penasaran bertanya sambil memuji usaha Kuuya.
“Apakah aku terlihat
terlalu dramatis?”
“Aku rasa itu cocok
denganmu, Kuuya-kun.”
“Kamu sebenarnya
mengiyakan secara tidak langsung…”
Dengan wajah masam, Kuuya
mengeluh.
Semua orang tertawa
serentak.
Seolah-olah semua ini
sudah diperhitungkan oleh Kuuya, termasuk Keika, mereka tertawa bersama.
──Babak pertama
pertandingan tim pun berakhir di sana.
Siswa kelas satu
memutuskan untuk mengundurkan diri dari pertandingan berikutnya di babak tengah
dan final.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.