Tsumetai Kokou no Tenkousei Epilog V2

Ndrii
0

 Epilog




Mungkin sekarang lagi upacara penutupan ya.

 

Fatima bertanya pada Kuuya yang duduk di kursi UKS yang kosong.

 

"Terus, gimana kondisinya? Sakit? Mau kompres? Es? Atau obat pereda nyeri? ── Aduh! Kenapa sih kamu biarin dokternya pergi!?"

 

"Karena dia nggak bisa bantu apa-apa, nggak enak gangguin kerjanya. Lagian, aku juga nggak mau kamu diganggu."

 

Kuuya tersenyum kecut melihat Fatima yang nanya bertubi-tubi.

 

"Nggak perlu diapain-apain juga bakal sembuh dalam setengah jam, nggak sakit kok. Bukannya sok kuat, tapi emang beneran nggak sakit. Soalnya aku nggak bisa ngerasain apa-apa."

 

"Terus tadi gimana bisa tanding...?"

 

Fatima duduk di kursi depan Kuuya sambil geleng-geleng kepala.

 

"Aku masih bisa ngeluarin tenaga. Cuma nggak kerasa aja."

 

Kuuya goyang-goyangin kaki kanannya buat buktiin.

 

"... Sebenarnya aku kalah. Pas bekas cederanya kambuh, aku udah nyerah."

 

"Pengecut."

 

"Bener banget."

 

Kuuya setuju dengan muka serius waktu Fatima langsung ngatain dia.

 

Siapa tadi yang bilang kalau pertandingan satu lawan satu itu sebenarnya dua lawan satu, lawan musuh sama lawan diri sendiri yang pengen nyerah?

 

Memalukan banget.

 

"Waktu itu aku jadi pengen lihat muka kamu... Terus aku jadi semangat lagi. Makasih ya, Fatima. Berkat kamu, aku bisa selesai tanpa penyesalan."

 

"Nggak boleh diulang lagi ya? Aku nggak bakal biarin kamu macem-macem lagi."

 

Fatima buang muka karena nggak kuat lihat Kuuya bilang makasih dengan tulus.

 

Dia masih belum terbiasa dibilangin makasih kayak gitu. Dia malu, dan nggak mau Kuuya lihat mukanya yang memerah karena seneng.

 

Terus...

 

"──Karasu-kun."

 

Fatima balik badan dengan muka serius, terus ngomong lagi.

 

"... Setiap kali kamu manggil namaku kayak gitu, kayaknya bakal ada yang nggak beres deh..."

 

"Iya. Kayaknya aku bakal ngomong yang nggak beres."

 

Fatima ngangguk serius ke arah Kuuya yang udah mulai ngeluh.

 

"──Aku suka cara jalanmu yang santai. Aku juga suka kamu selalu milih jujur, apalagi pas lagi ada masalah."

 

Fatima tahu itu semua gara-gara luka Kuuya.

 

Itu semua gara-gara bekas luka yang nggak sembuh dengan benar.

 

Makanya pasti aneh kalau dia bilang suka sama hal itu.

 

Tapi Fatima tetep aja suka.

 

"Aku nggak maafin orang yang bikin kamu jadi kayak gini. Terus terang aja, aku benci dia. Tapi... aku suka kamu yang sekarang."

 

Itu kayak kimono yang Kuuya pakai di Festival Sanosai.

 

Kimono itu penuh bekas terbakar, tapi udah dijahit rapi sama Koyori.

 

Kuuya nyembuhin lukanya sendiri, meskipun hasilnya nggak sempurna.

 

Nggak mungkin balik kayak dulu lagi. Luka yang udah sembuh tapi nggak sempurna itu, nggak bakal hilang seumur hidup.

 

Mungkin Kuuya bakal bawa luka itu sampai mati.

 

Tapi Fatima tetep sayang sama luka itu, meskipun bengkok dan nggak sempurna, karena itu bukti kalau Kuuya berusaha nyembuhin dirinya sendiri dengan apa yang tersisa di hatinya.

 

"Iya... gitu ya..."

 

Kuuya ngelihat ke langit-langit sambil bergumam.

 

Fatima nggak tahu Kuuya nanggepin kata-katanya gimana.

 

Kuuya diem aja sambil ngelihat ke langit-langit, terus dia balik badan dan senyum.

 

"──Aku seneng bisa suka sama kamu. Beneran deh."

 

 

 

"Kurei sama Karasu belum balik juga ya... Apa bekas cederanya separah itu?"

 

"Jangan nakut-nakutin dong, Kei-chan..."

 

Kouya keliatan nggak enak waktu Keika nanya gitu, kayaknya dia khawatir sama Kuuya sama Fatima yang belum balik juga setelah homeroom selesai.

 

"Aku juga nggak tahu separah apa bekas cederanya Kuu-chan, tapi kalau parah banget, pasti Kurei bakal maksa dia buat berhenti, meskipun harus nangis-nangis..."

 

"Kayaknya sih Fatima-chan nggak bakal nangis-nangis deh, dia pasti langsung bertindak, kayak mematahin tangan atau kaki Nara-chan biar nggak bisa ikut tanding..."

 

Kouya cemberut denger Haruka ngomong gitu sambil gendong tasnya kayak ransel, siap-siap pulang.

 

"Kuu-chan bukannya, aku?"

 

"Iya, kamu. Soalnya Fatima-chan nggak mungkin biarin Karasu-chan keliatan jelek atau terluka."

 

"... Makanya, jangan nakut-nakutin dong..."

 

Kalau dipikir-pikir, bener juga sih, Fatima pasti bakal ngelakuin cara kayak gitu.

 

Tapi, karena sampai sekarang Kouya masih baik-baik aja, berarti bekas cedera Kuuya nggak separah itu.

 

"Ya udah, kita doain aja biar Kouya nggak kenapa-napa malam ini..."

 

"Jangan dong. Aku udah ngerasa bersalah karena mungkin udah bikin Kuu-chan kenapa-napa, jadi plis jangan ngomong gitu."

 

"Ya udah, aku nggak bakal doain deh."

 

"......"

 

Kouya diem aja.

 

Nggak ada gunanya ngomong apa-apa kalau Keika udah ngomong jahat kayak gitu, yang ada malah makin parah.

 

"──Kouya. Kenapa kamu berhenti kendo? Aku udah ngerti alasannya Karasu. Tapi, kamu kenapa?"

 

Kouya cerita kalau dia mulai kendo gara-gara Kuuya, terus jadi jago karena terobsesi sama dia.

 

Tapi kalau dia emang nggak bisa terobsesi sama sesuatu, harusnya dia nggak punya alasan buat berhenti kendo.

 

Kalau dia sejago itu, harusnya dia lanjutin aja, kan bisa dapet nilai bagus buat masuk SMA.

 

"Kenapa ya... Setelah tiga tahun main kendo, aku sadar kalau aku nggak cocok sama olahraga pukul-pukulan kayak gitu."

 

"Masa sih? Udah tiga tahun, udah jago banget, baru nyadar?"

 

Haruka kelihatan nggak percaya, tapi Kouya cuma geleng-geleng kepala.

 

"Bukannya jadi jago sih, lebih kayak aku bisa cepet nyelesaiin pertandingan karena males... Banyak juga tawaran beasiswa kendo, tapi aku tolak semua karena cuma Kuu-chan yang bisa bikin aku semangat main kendo tanpa harus nahan diri."

 

"... Jangan ngomong kayak gitu di depan Kurei ya."

 

Keika ngernyitin dahi, dan di saat yang sama, Haruka ngeluarin HP dari sakunya.

 

"Eh, ada email dari Fatima-chan... Katanya, 'Siap-siap ya, nanti aku jemput', gitu."

 

"Serius!?"

 

"Iya, bohong."

 

Haruka ketawa cekikikan ngelihat Kouya kaget, terus nunjukin layar HP-nya ke Keika sama Kouya.

 

"Katanya mereka langsung pulang. Kakinya Karasu-chan kayaknya baik-baik aja."

 

"Ck, pasangan itu... Kabur lagi ya? Kayaknya bulan depan juga bakal gitu deh..."

 

Keika ngehela napas dengan dramatis, kayaknya dia inget waktu Kuuya sama Fatima pulang cepet di hari pertama Fatima pindah.

 

"Ya iyalah, kan dia udah bikin si anak baru misterius itu pulang sambil dipapah..."

 

Beda sama Keika, Haruka cuma ngangguk-ngangguk aja.

 

Meskipun di kelas mereka udah pada tahu kalau Kuuya sama Fatima pacaran, tapi nggak semua orang di sekolah tahu.

 

Jadi daripada ditanyain macem-macem sama anak-anak lain, mending mereka pulang cepet sebelum anak-anak lain pada keluar kelas.

 

"Ya udah, Karasu-chan udah nggak apa-apa, kita pulang yuk... Ngomong-ngomong, Nara-chan itu orangnya ngotot banget ya."

 

Haruka ngomong gitu sambil benerin tasnya.

 

"Bukannya tadi kamu bilang kalau kamu nggak bisa terobsesi sama sesuatu?"

 

Kouya bingung sambil ngambil tasnya, nggak ngerti kenapa Haruka bisa mikir kayak gitu.

 

Katanya dia berhenti kendo begitu aja setelah Kuuya pergi.

 

Dia buang latihannya selama hampir tiga tahun, nolak tawaran beasiswa.

 

Masa iya orang yang kayak gitu dibilang ngotot?

 

"Masa sih? Semua pertandingannya dimenangin pakai pukulan men. Bahkan jurus pamungkasnya di final juga pukulan men pakai satu tangan. Kalau dia nggak punya obsesi, harusnya dia bisa menang lebih gampang dengan nyerang kote atau do, kan? Kayaknya Nara-chan itu terobsesi buat menang pakai pukulan men, makanya dia selalu menang pakai cara itu."

 

Haruka ngomong dengan nada santai kayak biasa, tapi kayaknya dia bisa nebak isi pikiran Kouya.

 

"......"

 

Kouya nggak bisa ngebantah.

 

Kalau dipikir-pikir, bener juga sih.

 

Harusnya lawan jadi waspada kalau serangannya selalu sama, tapi kenapa Kouya selalu menang pakai pukulan men?

 

Kalau lawannya udah waspada sama pukulan men, harusnya Kouya nyerang bagian lain biar menang.

 

Kalau cuma mau menang, itu cara yang lebih efektif.

 

Tapi kalau Kouya tetep milih menang pakai pukulan men, berarti dia punya obsesi.

 

Jadi, Kouya secara nggak sadar terobsesi sama pukulan men.

 

"Yaudah, sampai ketemu besok ya. Bye bye!"

 

Haruka dadah-dadah terus pulang, nggak peduli sama Kouya yang masih bengong.

 

 

 

◆◇◆◇◆◇◆

 

 

 

Beberapa hari setelah pertandingan olahraga, hari Sabtu──

 

"Aku kira setelah nolak ajakan Akiduki-san buat pesta perayaan, kalian mau ngapain..."

 

Fatima masuk ke rumah sekaligus kafe milik Kuuya setelah ganti baju pakai hakama bermotif panah, terus ngehela napas pelan.

 

"Kamu mau nanem tomat di pot?"

 

Wajar aja sih dia nanya gitu.

 

Soalnya Kuuya naruh pot kecil di atas meja yang udah dialasin kain.

 

"Aku nggak suka-suka amat sama tomat. Hmm... Kayaknya ini udah cukup ya..."

 

Kuuya jawab sambil baca buku, kayaknya dia lagi nyari informasi.

 

Jarang-jarang dia kayak gini, padahal biasanya dia udah tahu banyak hal.

 

"Ya udah sih, kasih tahu aku aja. Ngapain sih kamu ninggalin tunanganmu yang cantik ini?"

 

Fatima ngintip buku yang lagi dibaca Kuuya.

 

"Nenek nyuruh kita nanem sendiri sampai jadi bibit."

 

"Kok nanem pohon paulownia sih..."

 

Sesuai sama yang ada di buku itu, kayaknya Kuuya lagi nanem biji paulownia.

 

"Ini tradisi lama sih..."

 

Kuuya nutup bukunya pelan, kayaknya puas sama hasilnya.

 

Gerakannya biasa aja, tapi keliatan keren banget.

 

"Dulu tuh, kalau ada anak cewek lahir, orang-orang nanem pohon paulownia."

 

"Buat jimat kesehatan atau apa gitu?"

 

"Buat bahan bikin perabotan pas nikahan."

 

Kayaknya Kuuya tahu banyak soal ginian, dia langsung jawab pertanyaan Fatima.

 

"Pohon paulownia itu butuh sekitar empat belas tahun buat jadi pohon dewasa. Lama banget sih, tapi buat kayu, itu cepet banget. Lagian kayu paulownia itu bagus banget, jadi nggak ada ruginya."

 

"Kalau disuruh nanem itu, berarti Koyori-san ngode supaya kita nggak nikah sampai empat belas tahun lagi ya..."

 

Fatima ngitung sambil ngomong gitu.

 

Sekarang dia umur enam belas tahun. Empat belas tahun lagi, berarti dia umur tiga puluh.

 

Nggak tua-tua amat sih buat nikah di zaman sekarang, dan pacaran lama-lama juga nggak masalah... tapi tetep aja, kelamaan.

 

"Meskipun nenek, kayaknya dia nggak bakal mikir sejauh itu deh... kayaknya."

 

Kuuya senyum kecut, nggak mau mastiin.

 

"Mungkin dia cuma mau nunjukin kalau dia bakal ngasih kamu ke aku sebagai istrinya, sebagai anak perempuannya Kurei. Kalau di luar negeri sih, kalau punya anak lagi, mereka bakal nyiapin kursi sama keledai, tapi karena kita ngikutin tradisi Jepang kuno, jadinya gini deh... Ah, mungkin aku harus beliin kursi baru buat kamu."

 

"Aku udah puas sama kursi yang sekarang kok."

 

Fatima geleng-geleng kepala denger Kuuya ngomong gitu.

 

Meskipun akhir-akhir ini udah nggak gitu, Fatima itu aslinya anak rumahan banget.

 

Dia sengaja beli kursi yang nyaman buat duduk lama, dan dia bawa pas pindah rumah.

 

"Ngomong-ngomong, Karasu-kun, nanti kalau udah gede, pohonnya mau dipindahin ke halaman?"

 

"Nggak, sebelum itu aku bakal titipin ke ahlinya. Inget kakek yang jualin pita waktu festival? Nah, itu dia. Aku bakal minta dia buat ngerawat sama ngolah kayunya... Yah, sebenernya sih menarik juga kalau kita bisa bikin lemari dari kayu paulownia kita sendiri..."

 

Kuuya berhenti ngomong, terus senyum malu-malu.

 

"Tapi menurutku empat belas tahun itu lama banget. Gimana kalau kita minta izin buat bikin aksesoris kecil aja, kayak hiasan rambut gitu?"





Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !