Epilog
Mungkin sekarang lagi
upacara penutupan ya.
Fatima bertanya pada Kuuya
yang duduk di kursi UKS yang kosong.
"Terus, gimana
kondisinya? Sakit? Mau kompres? Es? Atau obat pereda nyeri? ── Aduh! Kenapa sih
kamu biarin dokternya pergi!?"
"Karena dia nggak
bisa bantu apa-apa, nggak enak gangguin kerjanya. Lagian, aku juga nggak mau
kamu diganggu."
Kuuya tersenyum kecut
melihat Fatima yang nanya bertubi-tubi.
"Nggak perlu
diapain-apain juga bakal sembuh dalam setengah jam, nggak sakit kok. Bukannya
sok kuat, tapi emang beneran nggak sakit. Soalnya aku nggak bisa ngerasain
apa-apa."
"Terus tadi gimana
bisa tanding...?"
Fatima duduk di kursi
depan Kuuya sambil geleng-geleng kepala.
"Aku masih bisa
ngeluarin tenaga. Cuma nggak kerasa aja."
Kuuya goyang-goyangin kaki
kanannya buat buktiin.
"... Sebenarnya aku
kalah. Pas bekas cederanya kambuh, aku udah nyerah."
"Pengecut."
"Bener banget."
Kuuya setuju dengan muka
serius waktu Fatima langsung ngatain dia.
Siapa tadi yang bilang
kalau pertandingan satu lawan satu itu sebenarnya dua lawan satu, lawan musuh
sama lawan diri sendiri yang pengen nyerah?
Memalukan banget.
"Waktu itu aku jadi
pengen lihat muka kamu... Terus aku jadi semangat lagi. Makasih ya, Fatima.
Berkat kamu, aku bisa selesai tanpa penyesalan."
"Nggak boleh diulang
lagi ya? Aku nggak bakal biarin kamu macem-macem lagi."
Fatima buang muka karena
nggak kuat lihat Kuuya bilang makasih dengan tulus.
Dia masih belum terbiasa
dibilangin makasih kayak gitu. Dia malu, dan nggak mau Kuuya lihat mukanya yang
memerah karena seneng.
Terus...
"──Karasu-kun."
Fatima balik badan dengan
muka serius, terus ngomong lagi.
"... Setiap kali kamu
manggil namaku kayak gitu, kayaknya bakal ada yang nggak beres deh..."
"Iya. Kayaknya aku
bakal ngomong yang nggak beres."
Fatima ngangguk serius ke
arah Kuuya yang udah mulai ngeluh.
"──Aku suka cara
jalanmu yang santai. Aku juga suka kamu selalu milih jujur, apalagi pas lagi
ada masalah."
Fatima tahu itu semua
gara-gara luka Kuuya.
Itu semua gara-gara bekas
luka yang nggak sembuh dengan benar.
Makanya pasti aneh kalau
dia bilang suka sama hal itu.
Tapi Fatima tetep aja
suka.
"Aku nggak maafin
orang yang bikin kamu jadi kayak gini. Terus terang aja, aku benci dia. Tapi...
aku suka kamu yang sekarang."
Itu kayak kimono yang
Kuuya pakai di Festival Sanosai.
Kimono itu penuh bekas
terbakar, tapi udah dijahit rapi sama Koyori.
Kuuya nyembuhin lukanya
sendiri, meskipun hasilnya nggak sempurna.
Nggak mungkin balik kayak
dulu lagi. Luka yang udah sembuh tapi nggak sempurna itu, nggak bakal hilang
seumur hidup.
Mungkin Kuuya bakal bawa
luka itu sampai mati.
Tapi Fatima tetep sayang
sama luka itu, meskipun bengkok dan nggak sempurna, karena itu bukti kalau
Kuuya berusaha nyembuhin dirinya sendiri dengan apa yang tersisa di hatinya.
"Iya... gitu
ya..."
Kuuya ngelihat ke
langit-langit sambil bergumam.
Fatima nggak tahu Kuuya
nanggepin kata-katanya gimana.
Kuuya diem aja sambil
ngelihat ke langit-langit, terus dia balik badan dan senyum.
"──Aku seneng bisa
suka sama kamu. Beneran deh."
"Kurei sama Karasu
belum balik juga ya... Apa bekas cederanya separah itu?"
"Jangan nakut-nakutin
dong, Kei-chan..."
Kouya keliatan nggak enak
waktu Keika nanya gitu, kayaknya dia khawatir sama Kuuya sama Fatima yang belum
balik juga setelah homeroom selesai.
"Aku juga nggak tahu
separah apa bekas cederanya Kuu-chan, tapi kalau parah banget, pasti Kurei
bakal maksa dia buat berhenti, meskipun harus nangis-nangis..."
"Kayaknya sih
Fatima-chan nggak bakal nangis-nangis deh, dia pasti langsung bertindak, kayak
mematahin tangan atau kaki Nara-chan biar nggak bisa ikut tanding..."
Kouya cemberut denger
Haruka ngomong gitu sambil gendong tasnya kayak ransel, siap-siap pulang.
"Kuu-chan bukannya,
aku?"
"Iya, kamu. Soalnya
Fatima-chan nggak mungkin biarin Karasu-chan keliatan jelek atau terluka."
"... Makanya, jangan
nakut-nakutin dong..."
Kalau dipikir-pikir, bener
juga sih, Fatima pasti bakal ngelakuin cara kayak gitu.
Tapi, karena sampai
sekarang Kouya masih baik-baik aja, berarti bekas cedera Kuuya nggak separah
itu.
"Ya udah, kita doain
aja biar Kouya nggak kenapa-napa malam ini..."
"Jangan dong. Aku
udah ngerasa bersalah karena mungkin udah bikin Kuu-chan kenapa-napa, jadi plis
jangan ngomong gitu."
"Ya udah, aku nggak
bakal doain deh."
"......"
Kouya diem aja.
Nggak ada gunanya ngomong
apa-apa kalau Keika udah ngomong jahat kayak gitu, yang ada malah makin parah.
"──Kouya. Kenapa kamu
berhenti kendo? Aku udah ngerti alasannya Karasu. Tapi, kamu kenapa?"
Kouya cerita kalau dia
mulai kendo gara-gara Kuuya, terus jadi jago karena terobsesi sama dia.
Tapi kalau dia emang nggak
bisa terobsesi sama sesuatu, harusnya dia nggak punya alasan buat berhenti
kendo.
Kalau dia sejago itu,
harusnya dia lanjutin aja, kan bisa dapet nilai bagus buat masuk SMA.
"Kenapa ya... Setelah
tiga tahun main kendo, aku sadar kalau aku nggak cocok sama olahraga
pukul-pukulan kayak gitu."
"Masa sih? Udah tiga
tahun, udah jago banget, baru nyadar?"
Haruka kelihatan nggak
percaya, tapi Kouya cuma geleng-geleng kepala.
"Bukannya jadi jago
sih, lebih kayak aku bisa cepet nyelesaiin pertandingan karena males... Banyak
juga tawaran beasiswa kendo, tapi aku tolak semua karena cuma Kuu-chan yang
bisa bikin aku semangat main kendo tanpa harus nahan diri."
"... Jangan ngomong
kayak gitu di depan Kurei ya."
Keika ngernyitin dahi, dan
di saat yang sama, Haruka ngeluarin HP dari sakunya.
"Eh, ada email dari
Fatima-chan... Katanya, 'Siap-siap ya, nanti aku jemput', gitu."
"Serius!?"
"Iya, bohong."
Haruka ketawa cekikikan
ngelihat Kouya kaget, terus nunjukin layar HP-nya ke Keika sama Kouya.
"Katanya mereka
langsung pulang. Kakinya Karasu-chan kayaknya baik-baik aja."
"Ck, pasangan itu...
Kabur lagi ya? Kayaknya bulan depan juga bakal gitu deh..."
Keika ngehela napas dengan
dramatis, kayaknya dia inget waktu Kuuya sama Fatima pulang cepet di hari
pertama Fatima pindah.
"Ya iyalah, kan dia
udah bikin si anak baru misterius itu pulang sambil dipapah..."
Beda sama Keika, Haruka
cuma ngangguk-ngangguk aja.
Meskipun di kelas mereka
udah pada tahu kalau Kuuya sama Fatima pacaran, tapi nggak semua orang di
sekolah tahu.
Jadi daripada ditanyain
macem-macem sama anak-anak lain, mending mereka pulang cepet sebelum anak-anak
lain pada keluar kelas.
"Ya udah, Karasu-chan
udah nggak apa-apa, kita pulang yuk... Ngomong-ngomong, Nara-chan itu orangnya
ngotot banget ya."
Haruka ngomong gitu sambil
benerin tasnya.
"Bukannya tadi kamu
bilang kalau kamu nggak bisa terobsesi sama sesuatu?"
Kouya bingung sambil
ngambil tasnya, nggak ngerti kenapa Haruka bisa mikir kayak gitu.
Katanya dia berhenti kendo
begitu aja setelah Kuuya pergi.
Dia buang latihannya
selama hampir tiga tahun, nolak tawaran beasiswa.
Masa iya orang yang kayak
gitu dibilang ngotot?
"Masa sih? Semua
pertandingannya dimenangin pakai pukulan men. Bahkan jurus pamungkasnya di
final juga pukulan men pakai satu tangan. Kalau dia nggak punya obsesi,
harusnya dia bisa menang lebih gampang dengan nyerang kote atau do, kan?
Kayaknya Nara-chan itu terobsesi buat menang pakai pukulan men, makanya dia
selalu menang pakai cara itu."
Haruka ngomong dengan nada
santai kayak biasa, tapi kayaknya dia bisa nebak isi pikiran Kouya.
"......"
Kouya nggak bisa
ngebantah.
Kalau dipikir-pikir, bener
juga sih.
Harusnya lawan jadi
waspada kalau serangannya selalu sama, tapi kenapa Kouya selalu menang pakai
pukulan men?
Kalau lawannya udah
waspada sama pukulan men, harusnya Kouya nyerang bagian lain biar menang.
Kalau cuma mau menang, itu
cara yang lebih efektif.
Tapi kalau Kouya tetep
milih menang pakai pukulan men, berarti dia punya obsesi.
Jadi, Kouya secara nggak
sadar terobsesi sama pukulan men.
"Yaudah, sampai
ketemu besok ya. Bye bye!"
Haruka dadah-dadah terus
pulang, nggak peduli sama Kouya yang masih bengong.
◆◇◆◇◆◇◆
Beberapa hari setelah
pertandingan olahraga, hari Sabtu──
"Aku kira setelah
nolak ajakan Akiduki-san buat pesta perayaan, kalian mau ngapain..."
Fatima masuk ke rumah
sekaligus kafe milik Kuuya setelah ganti baju pakai hakama bermotif panah,
terus ngehela napas pelan.
"Kamu mau nanem tomat
di pot?"
Wajar aja sih dia nanya
gitu.
Soalnya Kuuya naruh pot
kecil di atas meja yang udah dialasin kain.
"Aku nggak suka-suka
amat sama tomat. Hmm... Kayaknya ini udah cukup ya..."
Kuuya jawab sambil baca
buku, kayaknya dia lagi nyari informasi.
Jarang-jarang dia kayak
gini, padahal biasanya dia udah tahu banyak hal.
"Ya udah sih, kasih
tahu aku aja. Ngapain sih kamu ninggalin tunanganmu yang cantik ini?"
Fatima ngintip buku yang
lagi dibaca Kuuya.
"Nenek nyuruh kita
nanem sendiri sampai jadi bibit."
"Kok nanem pohon
paulownia sih..."
Sesuai sama yang ada di
buku itu, kayaknya Kuuya lagi nanem biji paulownia.
"Ini tradisi lama
sih..."
Kuuya nutup bukunya pelan,
kayaknya puas sama hasilnya.
Gerakannya biasa aja, tapi
keliatan keren banget.
"Dulu tuh, kalau ada
anak cewek lahir, orang-orang nanem pohon paulownia."
"Buat jimat kesehatan
atau apa gitu?"
"Buat bahan bikin
perabotan pas nikahan."
Kayaknya Kuuya tahu banyak
soal ginian, dia langsung jawab pertanyaan Fatima.
"Pohon paulownia itu
butuh sekitar empat belas tahun buat jadi pohon dewasa. Lama banget sih, tapi
buat kayu, itu cepet banget. Lagian kayu paulownia itu bagus banget, jadi nggak
ada ruginya."
"Kalau disuruh nanem
itu, berarti Koyori-san ngode supaya kita nggak nikah sampai empat belas tahun
lagi ya..."
Fatima ngitung sambil
ngomong gitu.
Sekarang dia umur enam
belas tahun. Empat belas tahun lagi, berarti dia umur tiga puluh.
Nggak tua-tua amat sih
buat nikah di zaman sekarang, dan pacaran lama-lama juga nggak masalah... tapi
tetep aja, kelamaan.
"Meskipun nenek,
kayaknya dia nggak bakal mikir sejauh itu deh... kayaknya."
Kuuya senyum kecut, nggak
mau mastiin.
"Mungkin dia cuma mau
nunjukin kalau dia bakal ngasih kamu ke aku sebagai istrinya, sebagai anak
perempuannya Kurei. Kalau di luar negeri sih, kalau punya anak lagi, mereka
bakal nyiapin kursi sama keledai, tapi karena kita ngikutin tradisi Jepang kuno,
jadinya gini deh... Ah, mungkin aku harus beliin kursi baru buat kamu."
"Aku udah puas sama
kursi yang sekarang kok."
Fatima geleng-geleng
kepala denger Kuuya ngomong gitu.
Meskipun akhir-akhir ini
udah nggak gitu, Fatima itu aslinya anak rumahan banget.
Dia sengaja beli kursi
yang nyaman buat duduk lama, dan dia bawa pas pindah rumah.
"Ngomong-ngomong,
Karasu-kun, nanti kalau udah gede, pohonnya mau dipindahin ke halaman?"
"Nggak, sebelum itu
aku bakal titipin ke ahlinya. Inget kakek yang jualin pita waktu festival? Nah,
itu dia. Aku bakal minta dia buat ngerawat sama ngolah kayunya... Yah,
sebenernya sih menarik juga kalau kita bisa bikin lemari dari kayu paulownia kita
sendiri..."
Kuuya berhenti ngomong,
terus senyum malu-malu.
"Tapi menurutku empat
belas tahun itu lama banget. Gimana kalau kita minta izin buat bikin aksesoris
kecil aja, kayak hiasan rambut gitu?"
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.