Tsumetai Kokou no Tenkousei bab 3 V2

Ndrii
0

Bab 3





"Untuk merayakan selesainya ujian..."

 

"Kayaknya kurang pas kalau bersulang pakai kopi panas... Karasu-kun, selamat ya udah selesai ujiannya."

 

"Kok biasa aja sih!? Ujiannya susah banget, harusnya kita rayain lebih meriah dong!?"

 

"Menurutku ini udah cukup meriah..."

 

"Mana ada... Kamu biasa aja kayak biasanya..."

 

"Aku ikutan pesta ini aja udah luar biasa banget, lho."

 

Fatima memang terlihat sangat senang, sampai-sampai dia mengelus kepala Haruka yang ngambek untuk menenangkannya.

 

"Kalau ngomongin soal heboh, Karasu-kun yang ngizinin kita pakai tempat ini juga heboh banget sih."

 

Kuuya mengangkat bahu saat Fatima meliriknya.

 

"Aku nggak bakal ngambil keputusan gegabah kayak gini kalau lagi seneng. Aku ngizinin karena kalian udah bersih-bersih dengan rapi waktu itu."

 

Waktu belajar kelompok kemarin, mereka nggak perlu bersih-bersih.

 

Semua orang udah make tempatnya dengan rapi, bahkan sampai ngelapin meja yang nggak dipake dan nyapu lantai sebelum pulang.

 

"Emangnya kalau main di rumah temen nggak harus beres-beres dulu?"

 

"Uokai emang anak baik ya..."

 

Fatima mengangguk setuju melihat Keika yang bingung dengan ucapan Kuuya.

 

"Memang sih keluarga Uokai itu terhormat... Tapi, apa hubungannya sama sekarang?"

 

"Maksudku, kamu beruntung punya orang tua yang baik."

 

"Oh... Maaf ya. Aku kebiasaan ngebantah."

 

Fatima sedikit puas melihat Keika yang meminta maaf dengan tulus.

 

Dia ngerti kenapa Keika bisa cepet akrab sama Haruka yang ceria.

 

Tapi, dia bingung kenapa Keika bisa akrab sama dia padahal awalnya Keika bersikap galak dan menjaga jarak.

 

Tapi, sekarang dia ngerti.

 

Meskipun Keika itu "anak orang kaya" dan Fatima "orang asing", mereka sama-sama sering dinilai berdasarkan penampilan.

 

Mungkin karena itu mereka bisa akrab.

 

"Nggak apa-apa. Tapi, aku agak kaget kamu anak orang kaya. Maksudnya, aku ketawa sinis."

 

"Apaan sih!? Kamu juga cuma orang asing palsu, kan!? Gimana sih sikap kamu pas hari pertama pindah sekolah? Sombong banget, aku kira kamu putri dari kerajaan mana gitu!"

 

"Kalian akrab banget ya... Aku terharu sampai mau nangis..."

 

"Mata Haruka rabun ya!?"

 

"Bukan itu masalahnya, tapi kamu nggak malu ya ngaku-ngaku jadi kakak?"

 

Kouyo menghampiri Kuuya yang melihat tiga cewek itu ribut dari jauh.

 

"Maaf ya, mereka berisik banget."

 

"Nggak usah minta maaf. Lagian, aku nggak terlalu benci sama keramaian kok."

 

"Oh iya, kamu kan emang orangnya asik kalau lagi acara kayak gini."

 

Kouyo jadi nostalgia melihat Kuuya yang minum kopi dengan tenang.

 

"Tapi biasanya aku cuma dateng doang, nggak mau ikut ribut."

 

"Cuek banget sih... Ya wajar lah, anak SMP kan belum ngerti kalau lebih enak ngelihatin dari jauh, pasti maunya ikutan heboh."

 

"Pantesan kamu jadi ketua klub, jago banget ngebela anggota klub."

 

"Kouyo, Karasu! Ngapain sih bengong di situ? Sini gabung ngobrol!"

 

"Kamu juga belain teman masa kecil kamu dong."

 

Kuuya melotot ke Kouyo karena dia baru aja bilang anak SMP gitu, tapi sekarang dia malah ikutan nimbrung.

 

"Anak SMA mana sih yang pakai istilah 'bengong'... Nggak mungkin lah ya."

 

"Iya, nggak mungkin banget."

 

Kuuya tertawa kecil dan berdiri di sebelah Fatima.

 

"Kalian lagi ngomongin apa?"

 

"Masalah ujian udah kelar, sekarang kita lagi bahas masalah pertandingan olahraga."

 

"Iya, pertandingan olahraga!"

 

Kuuya mengangguk mendengar ucapan Keika yang sok penting.

 

"Oh, pertandingan olahraga ya."

 

"Iya. Aku sama Fatima mau ikut tenis meja ganda."

 

Haruka ngelanjutin omongan Kuuya biar nggak canggung.

 

"Oh ya? Aku kaget sih. Kayaknya Fatima nggak suka yang mencolok kayak gitu."

 

"Tapi, main ganda lebih santai daripada olahraga beregu, apalagi katanya semua pertandingan diadain barengan. Jadi, mending main ganda sama orang yang udah kenal."

 

"Hmm... Masuk akal."

 

Memang keputusan yang khas Fatima.

 

"Aku mau ikut apa ya... Enaknya sih yang bisa ngumpet di antara banyak orang biar bisa bolos, tapi ada nggak ya olahraga kayak gitu..."

 

"Hah? Kamu ngomong apa? Kouyo, kamu belum cerita ya?"

 

"Aku mau cerita, tapi Kee-chan nyaut duluan."

 

Kouyo tersenyum kecut melihat Keika yang bingung.

 

Kayaknya mereka berdua punya olahraga yang pengen mereka ikutin.

 

"Nggak usah terlalu sopan, aku pasti ikutan kok kalau Koo-chan yang minta."

 

"Kalau gitu, kamu mau ikut kendo nggak?"

 

"Hah?"

 

Kuuya bingung.

 

"Koo-chan, kita lagi ngomongin pertandingan olahraga, kan?"

 

"Iya, aku tahu."

 

"Aneh... Kita ngomong pakai bahasa yang sama, tapi kok nggak nyambung ya?"

 

Kuuya bingung karena Kouyo jawab dengan serius.

 

Pertandingan olahraga ya pasti olahraga yang pakai bola.

 

Dan kendo itu jelas-jelas bukan olahraga pakai bola.

 

Jadi, aneh banget kalau kendo disebut-sebut di sini.

 

"Karasu, tahun lalu kan ada judo di pertandingan olahraga?"

 

"Oh ya?"

 

"Kamu beneran ya, kalau nggak tertarik sama sesuatu, kamu nggak bakal peduli meskipun aneh..."

 

Keika bingung melihat Kuuya yang sama sekali nggak ingat padahal itu aneh banget.

 

"Oke, aku ngerti. Toukakan itu kan sekolahnya kolot, jadi masih ada semangat bela diri di pertandingan olahraga ya?"

 

"Karasu-chan, salah besar!"

 

Haruka tertawa tanpa nada mengejek, mungkin karena Kuuya ngomong yang nggak nyambung.

 

"Jadi gini, klub olahraga yang main pakai bola pasti dapet perhatian di pertandingan olahraga, dan klub budaya punya festival budaya. Tapi, klub lain nggak punya acara kayak gitu, kan? Makanya, pertandingan olahraga ini jadi kesempatan mereka buat promosi."

 

"Tapi, nggak mungkin semua klub bisa ikutan, jadi cuma klub yang paling sedikit dapet anggota baru aja yang boleh ikut... Tahun ini, klub kendo yang kepilih."

 

"Sedih banget sih. Lagian, ngapain juga promosi ke anak baru, mereka nggak bakal daftar juga."

 

Kuuya akhirnya ngerti kenapa ada kendo di pertandingan olahraga, terus dia mulai analisis.

 

"Tapi, dari omongan kalian, kayaknya Uokai anggota klub kendo, tapi dia juga mau ikut pertandingan. Aneh juga sih kalau cewek sama cowok tanding bareng, apa boleh atlet yang masih aktif ikut?"

 

Biasanya, atlet yang masih aktif dilarang ikut pertandingan olahraga sekolah.

 

Soalnya, kalau mereka ikut, pasti cuma jadi pertandingan satu pihak.

 

Apalagi kalau pertandingan individunya.

 

"Iya, aku emang anggota klub kendo."

 

Setelah ngejawab pertanyaan pertama Kuuya, Keika melanjutkan, "Jawabannya, boleh. Ini kan buat promosi, jadi kita harus nunjukin pertandingan yang keren biar menarik minat orang."

 

"Tapi... Orang awam aja belum tentu bisa megang shinai dengan bener... Gimana caranya klub kendo bisa bikin pertandingan yang keren sama mereka?"

 

Shinai itu bukan barang berat yang susah diangkat, jadi siapa aja bisa ngacungin kayak tongkat.

pf/n : “Shinai” itu pedang bambu yang biasa di pake buat Kendo

 

Tapi, kalau mau make shinai buat kendo, itu beda cerita.

 

Butuh latihan yang cukup buat bisa ngeluarin serangan yang kuat dengan gerakan seluruh tubuh.

 

Kuuya khawatir kalau pertandingan cuma jadi ajang orang awam ngacung-ngacungin bambu doang, nggak ada keren-kerennya.

 

Tapi, Keika cuma senyum bangga.

 

"Kalau lawannya masih amatir, ya kita ajarin sambil bertanding. Kalau sama anggota klub, ya kita tanding beneran. Sempurna, kan?"

 

"Iya sih, kalau nggak mikirin rencana liciknya..."

 

"Karasu-chan, klub kendo juga lagi berusaha keras kok. Siapa sih yang mau klub tertua di Toukakan ditutup pas zaman mereka? Kita udah mikirin kok gimana caranya biar pertandingan tetep seru. Rencananya sih, pertandingan beregu tiga orang, tapi urutan mainnya bisa diganti sewaktu-waktu, dan sistemnya rebutan poin. Pasti bakal seru kalau pemain pertama menang terus."

 

Kuuya senyum ngelihat Haruka yang semangat jelasin, tapi dia nggak melewatkan satu hal.

 

"Akiduki. Kok kamu tahu banget?"

 

Seharusnya aturan khusus pertandingan olahraga belum diumumin.

 

Terus, kenapa Haruka tahu?

 

Apa dia bagian dari panitia, atau...

 

"Aku juga anggota klub kendo yang lagi berusaha keras. Tapi, aku nggak jago olahraga, jadi aku manajernya."

 

"Pantesan Akiduki-san jadi manajer, orangnya ceria dan perhatian banget."

 

Fatima ngebantu Haruka sambil ngelirik Kuuya, padahal Kuuya nggak bermaksud nyalahin Haruka.

 

"Udah deh, aku jadi ngerasa kayak penjahat."

 

Kuuya ngangkat tangannya, nyerah karena Fatima malah belain Haruka.

 

"Iya deh, iya. Aku ikut kendo. Oh ya, aku boleh jadi pemain terakhir, kan?"

 

"Ya udah deh, yang penting ada cukup orang. Tapi, Karasu, kalau sampai kamu yang main terakhir, tanggung jawabnya gede loh."

 

Keika ngingetin Kuuya yang ngomong asal-asalan.

 

Tapi, Kuuya malah ngangkat sebelah alisnya, kayak kaget banget.

 

"Main terakhir? Nggak mungkin lah. Aku nggak tahu seberapa jago Uokai, tapi aku tahu Koo-chan jago banget. Selama dia masih main, aku nggak bakal kebagian giliran."

 

 

 

◆◇◆◇◆◇◆

 

 

 

Besoknya, sepulang sekolah, di gedung olahraga...

 

"Masa iya aku nggak bakal main..."

 

Kuuya yang udah pakai baju olahraga ngedumel, kaget banget.

 

Sekolah lagi sibuk nyiapin pertandingan olahraga, jadi pelajaran olahraga diganti latihan buat pertandingan yang dipilih, dan lapangan sama gedung olahraga dibuka buat latihan klub olahraga.

 

Mereka udah milih olahraga yang mau diikutin pas jam pelajaran terakhir, dan semuanya dapet yang mereka mau, tapi...

 

"Iya. Olahraga lain mah mainnya sesuai jadwal, nggak peduli menang atau kalah. Tapi, kendo itu pertandingan beregu rebutan poin, terus terakhir ada final antara anggota tim yang menang."

 

Kuuya melotot ke arah Kouyo yang ngejelasin dengan santai.

 

"Kamu tahu, kan, Koo-chan..."

 

"Iya, tahu."

 

Kuuya nunduk lesu melihat Kouyo yang nggak merasa bersalah sama sekali.

 

"Coba kamu kasih tahu aku sebelumnya, aku nggak bakal sok tahu kayak gitu..."

 

"Hah? Cuma gitu doang?"

 

Kouyo kaget melihat Kuuya yang nyesel banget.

 

"Kamu mau aku bikin boneka jerami juga? Aku nggak punya hobi nusuk boneka jerami di depan umum."

 

"Bukan gitu... Maksudnya, kamu bikin aku kayak punya hobi nusuk boneka jerami kalau nggak di depan umum..."

 

Kuuya mengangkat bahu melihat Kouyo yang bingung.

 

"Ya nggak gitu juga sih. Aku emang nggak mikir bakal nggak kebagian main. Aku kan mau pamer ke Fatima. Memang sih memalukan kalau cuma ngandelin kemampuan lama, tapi ya udahlah, sekalian aja lawan kamu."

 

"Kamu kayak lagi main drama kolosal ya..."

 

Kouyo tersenyum kecut melihat Kuuya yang malu.

 

"Maaf ya, lama nunggu."

 

Keika datang dengan rambut cokelat bergelombang yang diikat rapi jadi ponytail.

 

Wajar sih kalau cewek butuh waktu lama buat ganti baju, tapi dia bukannya ganti baju olahraga, tapi malah pakai baju kendo, atasannya putih, bawahannya celana hakama warna biru indigo.

 

"Shinai-nya juga udah dateng nih."

 

Terus, Haruka juga dateng.

 

Dia bawa dua shinai dan juga pakai baju kendo.

 

Meskipun cuma manajer, kayaknya dia punya baju kendo.

 

"Maaf ya pinjem baju dari pelajaran pilihan, tapi ini masih bisa dipakai kok."

 

"Nggak masalah, makasih ya."

 

"Eh, ada ya pelajaran kendo?"

 

"Buat cewek sih ada pas kelas satu. Pelindungnya dipinjemin, tapi baju sama shinai-nya harus bawa sendiri."

 

"Kalau baju kendo kamu?"

 

"Ini bekas aku pakai pas pelajaran. Manajer kan nggak perlu baju kendo."

 

"Oh... gitu ya."

 

Kuuya cuma ngangguk, pura-pura nggak salah paham.

 

"Oke, sekarang kita mulai dari dasar ya!"

 

"Eh, tunggu dulu, Kee-chan. Pemanasan dulu yuk."

 

Kouyo langsung nyegah Keika yang semangat banget ngasih instruksi.

 

"A-aku tahu kok! Aku kira kita udah pemanasan tadi!"

 

"Bohong."

 

Fatima tiba-tiba muncul di belakang Keika dan ngasih komentar pedas.

 

"Kyaaa!? Kurei, kamu dari mana..."

 

"Aku cuma menyelinap aja. Karasu-kun..."

 

Fatima yang juga pakai baju kendo ngelihat Kuuya dengan tatapan kecewa, nggak peduli sama teriakan aneh Keika.

 

"Kenapa kamu nggak pakai hakama? Padahal aku sengaja dateng buat nonton..."

 

"Kenapa kamu yang pakai baju kendo? Kamu mau main tenis meja pakai baju itu?"

 

"Aku pinjem dari Uokai. Aku udah latihan tenis meja pas pelajaran tadi, jadi aku mau istirahat sambil ngelihatin kamu pakai hakama... Sayang banget."

 

"Kamu nyesel banget ya..."

 

Kuuya ngasih shinai ke Fatima sambil ngedumel.

 

"Aku nggak bakal mukul kamu pakai shinai kok, meskipun aku nyesel."

 

"Aku juga nggak mikir gitu. Aku mau pemanasan, tolong pegangin shinai-nya ya."

 

 

 

Setelah pemanasan, Kuuya mulai latihan ayunan shinai.

 

Awalnya pelan-pelan pakai tangan kiri doang, kayak ngecek gerakannya.

 

Terus, dia pakai kedua tangannya, ayunan ke atasnya tetep pelan, tapi ayunan ke bawahnya cepet dan tajam.

 

"Akiduki-san, menurut kamu sebagai manajer klub kendo, gimana Karasu-kun?"

 

Fatima nanya ke Haruka yang lagi duduk di sebelahnya sambil lihatin Kuuya latihan.

 

"Kalau cuma liat ayunan shinai doang, sih, cuma kelihatan kalau dia udah pernah latihan."

 

Haruka jawab sambil senyum kecut, ngelihat Fatima yang biasanya cool sekarang malah keliatan kayak anak kecil.

 

"Aku nggak tahu dia kuat atau nggak, tapi kayaknya dia pemain yang bagus..."

 

Kayaknya dia ngerasa jawabannya kurang memuaskan, jadi dia nambahin, "Ada banyak cara megang shinai. Pegangannya gini, terus pas ngangkat ke atas gini, pas nurunin ke bawah gini."

 

"Oh ya?"

 

Fatima dengerin penjelasan Haruka yang kayaknya udah ahli banget.

 

"Nah, Karasu-chan bisa ngelakuin itu semua dengan bener. Tadi pas dia ayun pakai satu tangan, dia megang shinai-nya cuma pakai jari manis sama kelingking kiri. Mungkin kapalannya juga cuma ada di situ..."

 

"Eh iya..."

 

Fatima ngelihat telapak tangannya sendiri dan ngebayangin rasanya megang tangan Kuuya beberapa kali.

 

Tangan Kuuya punya bagian yang keras di beberapa titik.

 

Bener kata Haruka, di pangkal jari manis sama kelingking kiri...

 

"Terus, telapak tangannya juga agak kasar di bagian seberang jempol sama ujung jari tengah..."

 

"Iya, bener. Kalau megang shinai dengan bener, bakal ada kapalan di situ. Fatima-chan, kamu sering banget megang tangan Karasu-chan sampai tahu detailnya?"

 

Haruka tersenyum jahil dengan ekspresi yang tidak menyebalkan. Fatima tersipu malu dan berkata dengan tegas,

 

"Iya, karena aku tunangannya."

 

"Fatima sayang banget ya sama Karasu-chan..."

 

Haruka tertawa senang tanpa nada mengejek.

 

"Akiduki-san, jangan bilang gitu terus. Aku nggak tahan."

 

"Iya, iya, maaf ya. Aku kelewatan."

 

Haruka langsung minta maaf saat Fatima menegurnya dengan lembut, meskipun rasa malunya belum hilang.

 

"Aduh... Akiduki-san lucu banget sih..."

 

"Aku juga mau secantik Fatima-chan... eh, maksudnya sekarang dia cantik banget... Curang banget sih, Fatima-chan!?"

 

"Ngomong-ngomong, gimana sama Uokai?"

 

Fatima buru-buru mengubah topik pembicaraan yang mulai melenceng.

 

Haruka sepertinya nggak terlalu mempermasalahkan itu, atau mungkin dia memang mau ngomongin itu juga, jadi dia langsung ngikutin aja.

 

"Uokai itu keren banget."

 

Haruka menatap mata Fatima dengan serius, seolah itu hal yang sangat penting.

 

"Dia emang nggak pinter belajar, tapi dia juga nggak jago kendo. Aku benci banget sama kata 'bakat', tapi kayaknya Uokai emang nggak punya bakat di kendo."

 

"Akiduki-san?"

 

Fatima tertekan melihat ekspresi Haruka yang tiba-tiba kehilangan keceriaannya.

 

"Uokai juga tahu itu. Tapi, dia anggota klub kendo yang paling rajin. Meskipun nggak jadi pemain inti, dia tetep semangat latihan dan berusaha keras. Nggak ada orang lain yang lebih cocok buat kerja keras kayak Uokai."

 

"Hebat ya..."

 

Fatima sudah merasakan itu sejak sesi belajar kemarin.

 

Uokai nggak pernah nyerah meskipun nggak ngerti soal, dia terus berusaha nyari jawabannya.

 

Mungkin dia memang agak lambat, tapi kegigihannya itu bikin Fatima kagum.

 

"Iya, kan!"

 

Haruka langsung sumringah melihat Fatima mengangguk setuju.

 

"Aku suka banget sama Uokai. Aku pengen banget dukung dia. Terus, kalau usahanya berhasil, aku pengen rayain bareng dia."

 

"Tenang aja, Uokai pasti bisa. Kayaknya di kamus dia nggak ada kata 'menyerah'."

 

Fatima yakin suatu saat nanti, Keika bakal sukses.

 

Haruka yang selalu dukung dia, dan Fatima sendiri yang juga mau dukung dia, pasti bakal bikin Keika bisa ngeraih sesuatu.

 

Kalau Keika nggak bisa ngeraih apa-apa, berarti ada yang salah sama dunia ini.

 

(Kayaknya aku berlebihan deh...)

 

Fatima tersenyum kecut dalam hati, merasa dirinya terlalu sombong karena mengkritik dunia.

 

"Tapi, aku harap dia bisa lebih santai dikit sih. Tapi, ya namanya juga Uokai."

 

Haruka juga tersenyum kecut, lalu melihat ketiga temannya.

 

"Eh, Narasaki-chan juga jago ya... Lihat deh, dia ngayun-ngayunin shinai terus, tapi posisi berhentinya selalu sama persis. Hebat ya..."

 

Dia langsung memuji Kouyo.

 

"Yang hebat itu Akiduki-san yang jago nyari kelebihan orang."

 

Fatima tersenyum sambil memuji temannya, lalu kembali melihat Kuuya.

 

Tapi, sesekali dia juga melihat Keika.

 

 

 

◆◇◆◇◆◇◆

 

 

 

Setelah masa latihan yang dipenuhi berbagai masalah, seperti Keika yang tangannya melepuh karena terlalu semangat latihan, Keika yang makan terlalu banyak kue buatan Haruka sampai sakit perut, dan Keika yang ketiduran saat meditasi sebelum latihan... hari pertandingan pun tiba.

 

Di ruang kelas yang mejanya sudah disingkirkan untuk dijadikan tempat pertandingan olahraga, Fatima yang pakai baju olahraga menatap Kuuya dengan setengah mata.

 

"Karasu-kun... Ngapain kamu di sini?"

 

"Pertandingan kendo diadain pas jam istirahat olahraga lain, jadi aku dateng buat nonton..."

 

Kuuya nambahin satu kalimat setelah ngomong tujuannya yang masuk akal.

 

"Nonton my lovely sweetheart."

 

Fatima kaget dan ngejatuhin raket tenis mejanya karena Kuuya ngomong hal aneh yang nggak nyambung.

 

Tanpa ngambil raketnya, dia nanya dengan nada jijik, "Kamu makan apaan sih...?"

 

"Aku makan yang sama kayak kamu. Akiduki, leluconku nggak lucu ya? Fatima nggak senyum sama sekali."

 

"Ya iyalah, kalau kamu ngomongnya datar gitu mana ada yang ketawa. Itu kan cuma bercanda, jangan dianggap serius. Aneh banget sih, Karasu-chan."

 

Haruka jawab sambil ketawa-ketawa senang.

 

Fatima ngelihat mereka berdua dan kayaknya ngerti apa yang terjadi, terus dia ngehela napas.

 

"Akiduki-san, jangan ajarin Karasu-kun hal-hal aneh. Nanti dia makin aneh."

 

"Maaf, maaf. Aku cuma mau bikin Fatima-chan semangat."

 

"Aku suka latihan, tapi aku benci pertandingan..."

 

Fatima ngehela napas lagi.

 

Dia emang suka latihan sendirian.

 

Tapi, dia nggak suka pertandingan karena harus tampil di depan banyak orang.

 

"Anggep aja penonton itu labu, nggak usah dipikirin. Tapi, masalahnya aku nggak bisa mikir kayak gitu."

 

"Iya, sama."

 

Fatima ngangguk setuju sama Kuuya yang kayaknya ngerti perasaannya.

 

Kuuya terpesona sama rambut perak Fatima yang bergoyang karena anggukannya, lalu dia ngomong lagi, "Kamu masih pakai itu ya. Aku kira kamu udah nggak pakai lagi karena akhir-akhir ini kamu nggak pakai."

 

Rambut Fatima yang dijepit pakai klip ada pita merah yang dia beli di festival kemarin.

 

"Aku mau pakai ini pas lagi butuh semangat. Kalau dipakai terus, nanti kesannya biasa aja."

 

Fatima membalikkan badannya sedikit biar Kuuya bisa lihat pitanya dengan jelas.


 "Gimana?


"Bagus... Kayak pas di festival waktu itu, pita itu cocok sama rambut kamu, bahkan di siang hari bolong kayak gini."

 

"Aku jadi malu dipuji gitu... Tapi, seneng deh aku pakai ini."

 

Fatima tersenyum malu-malu.

 

"Hmm... Kamu jadi semangat gara-gara itu ya..."

 

"Jangan samain aku sama my lovely sweetheart kamu."

 

Fatima tertawa kecil sambil ngebantah ucapan Haruka yang pura-pura ngambek.

 

"Kamu kelihatan senang. Udah rileks, bagus deh."

 

"Eh, Uokai-chan. Pagi."

 

"Pagi, Haruka. Semangat banget kayak biasanya ya. Kurei juga... Wah, kamu pakai pita hari ini. Semangat banget ya?"

 

Keika nyapa dengan sopan, terus dia ngelihat pita di rambut Fatima dan memiringkan kepala.

 

"Kilau sama warnanya bagus banget... Kainnya bagus. Bordirannya juga cantik dan detailnya rapi... Ini barang bagus banget ya."

 

"Kamu bisa nilai sedetail itu cuma dengan sekali lihat... Hebat banget."

 

"Nggak kok, aku cuma ngomong asal aja."

 

Keika bilang gitu sambil nyengir, kayaknya seneng karena hadiah dari Kuuya dipuji.

 

"Karasu-kun, kamu nggak bawa shinai? Aku mau pakai buat mukul Uokai nih."

 

Kuuya naruh tangannya di tangan Fatima yang ngulurin tangan sambil melotot ke arah Keika.

 

"Aku nggak bawa."

 

"Yah, sayang banget."

 

Fatima ngomong gitu sambil megang erat tangan Kuuya, padahal nggak keliatan nyesel sama sekali.

 

"Kalian bisa nggak sih nggak pamer kemesraan di depan umum?"

 

"Seneng deh serangan psikologisku berhasil."

 

Fatima bales omongan Keika dengan santai.

 

"Kalian berdua nyebelin banget... Tapi, aku beneran kok bilang pita itu bagus. Aku nggak tahu sejarahnya, tapi pitanya cantik."

 

"Iya, aku tahu kok."

 

Fatima tersenyum pada Keika yang menghela napas, lalu melepaskan tangan Kuuya dan bertanya, "Pertandingan kendo dimulai jam pelajaran kedua, kan?"

 

"Iya, benar."

 

"Kita bisa nonton kalau gitu."

 

Karena tujuan utama kendo adalah promosi klub, pertandingannya diadakan di gym saat olahraga lain lagi istirahat atau pindah tempat.

 

Pertandingan nggak diadakan satu per satu, tapi semua kelas dan angkatan ikut, jadi ada beberapa arena pertandingan di gym yang dipakai bersamaan.

 

"Aku duluan ya yang nonton? Semangat ya, Haruka. Kamu juga, Kurei."

 

Keika, yang biasanya anggun dan sopan, berbicara dengan nada yang sama.

 

 

 

Lima menit setelah pertandingan tenis meja dimulai, Kuuya sadar kalau Haruka nggak bohong soal dia nggak jago olahraga makanya jadi manajer.

 

Yah, bisa dibilang bohong sih.

 

Soalnya, dia payah banget dalam hal olahraga.

 

Nggak masalah sih buat kegiatan sehari-hari, tapi gerakan tubuhnya kaku banget.

 

Dia berusaha bergerak cepat, tapi malah jadi nggak seimbang.

 

Karena nggak seimbang, dia jadi pakai tenaga berlebihan, dan gerakannya makin kaku.

 

Lingkaran setan banget.

 

Lawannya juga langsung sadar kalau Haruka itu kelemahan mereka, jadi mereka terus-terusan ngarahin bola ke dia.

 

"Maaf ya, Fatima-chan..."

 

Haruka minta maaf karena nggak bisa ngebales bola lagi, mukanya kelihatan sedih banget.

 

"Nggak apa-apa kok, cuma segitu doang."

 

Fatima jawab dengan suara yang santai, sambil terus lari-lari nutupin Haruka dan ngipasin muka pakai raketnya yang bentuknya penholder.

 

Biasanya, dalam tenis meja ganda, pemain harus gantian mukul bola, jadi nggak ada tuh yang namanya nutupin kesalahan temen.

 

Tapi, sama kayak kendo, tenis meja juga punya aturan khusus buat pertandingan olahraga, atau lebih tepatnya, aturan yang disederhanain.

 

Nggak ada aturan harus mukul bola gantian.

 

Bola harus mantul sekali di area sendiri, terus sekali lagi di area lawan.

 

Terus, kalau dua-duanya nggak bisa ngebales, lawan dapet poin.

 

Gitu terus sampai ada yang dapet 11 poin duluan, dan itu dianggap menang satu set.

 

Mainnya tiga set.

 

Karena aturannya gampang, Fatima bisa fokus nutupin kesalahan Haruka.

 

Fatima kayaknya jago olahraga, beda banget sama Haruka. Dia keliatan masih santai, meskipun mukanya agak merah karena ngipasin muka pakai raket.

 

Tapi, jago olahraga aja nggak cukup buat nutupin kesalahan Haruka terus-terusan.

 

 

 

"Maaf ya, aku tadi ketemu temenku yang kelas satu. Gimana pertandingannya?"

 

"Akiduki di depan, Fatima di belakang. Akiduki yang nggak jago olahraga jadi sasaran empuk, dan Fatima berusaha nutupin, tapi ya tada batasnya lah."

 

Kuuya jawab dengan muka datar saat ditanya Kouyo yang baru datang.

 

"Parah banget? Kurei kayaknya baru selesai pemanasan deh."

 

"Aku juga kaget ngelihat Fatima bisa gerak secepat itu..."

 

Soalnya, mereka biasanya cuma ngabisin waktu santai-santai bareng, nggak pernah olahraga berat.

 

Makanya, Kuuya nggak tahu kalau Fatima bisa gerak segesit itu.

 

Tapi, meskipun Fatima cepet, Kuuya tetep mikir situasinya genting.

 

"Katanya, rata-rata kecepatan reaksi manusia itu 0,2 detik. Itu kalau lagi siap-siap ya..."

 

"Ribet banget sih... Intinya, kamu mau ngomong apa?"

 

Keika melotot ke arah Kuuya yang masih ngomong panjang lebar padahal dia udah minta penjelasan singkat.

 

"Ini contohnya atlet pro, bahkan yang kelas Olimpiade. Waktu yang dibutuhkan bola dari lawan sampai ke tangan pemain itu sekitar 0,5 detik."

 

"Kalau di Olimpiade segitu, berarti masih ada waktu lebih dari 0,3 detik, dong."

 

Kuuya ngehela napas ngelihat Keika yang kayaknya nganggep 0,3 detik itu lama banget.

 

"Anggap aja bolanya nyampe dalam satu detik. Dalam waktu segitu, pemain harus bisa ngelihat arah bola, nebak jatuhnya di mana, terus lari ke situ, ayunin raket, dan mukul balik. Nggak boleh ada salah perhitungan. Nggak ada waktu buat mikir. Kalau salah, ya kehilangan poin, makin deket sama kekalahan. Dan itu harus diulangin sampai pertandingan selesai. Pasti tertekan banget."

 

Fatima harus ngulangin itu terus sampai tiga set selesai, tanpa bisa berharap bantuan dari Haruka.

 

Pasti tertekan banget.

 

Kuuya lanjut ngomong dengan nada datar, "Pertandingan satu lawan satu itu sebenernya dua lawan satu, lawan sama diri sendiri. Kalau pengen cepet selesai terus main asal-asalan, ya bakal kalah. Nyerah juga pasti kalah."

 

Apalagi ini cuma pertandingan olahraga, menang atau kalah juga nggak ada bedanya.

 

Cuma...

 

(Kalau kalah, Akiduki pasti sedih...)

 

Mungkin karena itu Fatima berusaha sekuat tenaga.

 

"Sekarang sih dia masih keliatan santai. Tapi, kalau udah capek, pasti mentalnya bakal kena. Nah, dari situ bakal susah."

 

"Karasu ribet banget sih."

 

Keika keliatan kesel denger kesimpulan Kuuya.

 

"Kurei nggak bakal nyerah cuma karena masalah kayak gini. Lagian, kamu lupa sama Haruka. Masa kamu pikir dia cuma nangis doang?"

 

"Aku nggak tahu soal Akiduki, tapi aku tahu Fatima. Makanya aku bilang, nanti bakal susah, itu yang bikin seru."

 

Kuuya senyum tipis sambil melipat tangannya.

 

Tapi... meskipun dia sok tahu, sebenernya dia juga nggak tahu apa Fatima bisa tetep kuat kalau udah kepepet.

 

Dia cuma yakin aja.

 

Dia percaya Fatima bakal berusaha sekuat tenaga sampai akhir demi Haruka.

 

"Kalau gitu bilang dari tadi dong, muter-muter. Ya udah deh..."

 

Keika ngomong cepet karena malu udah nuduh Kuuya nyari-nyari alasan buat kalau kalah nanti.

 

"Aku bakal dukung kalian. Punya temen yang dukung itu ngebantu banget loh."

 

 

 

Bola jatuh untuk kelima kalinya.

 

Karena sekarang giliran mereka servis, Fatima nerima bola dari wasit sambil ngehela napas panjang. Badannya udah mulai berat.

 

(Aku nggak nyangka dia setia banget sama temennya...)

 

Fatima nggak biasa lari-lari kayak gini.

 

Baju olahraganya jadi nggak nyaman karena basah keringet, napasnya nggak beraturan, dan badannya pegel banget.

 

Ini cuma pertandingan olahraga, menang atau kalah juga nggak ngaruh apa-apa, jadi mending nyerah aja.

 

Kalau gitu, dia nggak perlu susah payah kayak gini.

 

Tapi... kalau kalah, Haruka pasti nyalahin dirinya sendiri.

 

Dia pasti bakal sedih karena timnya kalah gara-gara dia nggak jago olahraga.

 

Fatima nggak mau itu terjadi. Dia nggak mau ngelihat Haruka sedih.

 

Dia juga nggak bisa maafin dirinya sendiri kalau nyerah padahal tahu Haruka masih berusaha.

 

Lagian... Haruka belum nyerah.

 

Fatima bisa lihat punggung Haruka dari posisinya di belakang. Haruka berusaha ngejar bola biar nggak jatuh.

 

Meskipun gerakannya lambat, tapi matanya ngikutin bola terus.

 

Meskipun nggak jago olahraga, dia nggak nyerah dan berusaha mikirin cara buat bantu timnya.

 

Masa Fatima yang lebih jago olahraga malah nyerah?

 

(Nggak banget...)

 

Fatima ngelirik Kuuya yang ada di pinggir lapangan.

 

Masa dia mau main asal-asalan terus kalah di depan Kuuya, dan bikin Haruka sedih? Terus bilang kalau menang atau kalah di pertandingan kayak gini itu nggak penting?

 

Nggak mungkin.

 

Mau menang atau kalah, dia harus nunjukin kemampuan terbaiknya.

 

Kalau nggak gitu, dia bakal malu.

 

Lagian, dia mau seneng bareng Haruka kalau menang, dan mau sama-sama sedih kalau kalah.

 

(Ayo, semangat dikit lagi.)

 

Bukan 'sampai akhir', tapi 'sedikit lagi'.

 

Tanpa sadar, Fatima menurunkan standarnya sendiri.

 

Tanpa menyadarinya, Fatima menggenggam raketnya lagi dan...

 

"Kureiiii! Harukaaa! Pertandingan belum selesai! Semangat, semangattt!"

 

Fatima kaget mendengar teriakan Keika yang sangat keras, sampai dia khawatir kacanya bisa pecah.

 

"Keras banget sih suaranya..."

 

"Namanya juga anak klub kendo."

 

Haruka berusaha menenangkan Fatima sambil tersenyum kecut, tapi Fatima menggeleng.

 

"Jangan ngomong yang aneh-aneh. Dua orang lainnya juga mantan anggota klub kendo."

 

Kuuya nggak kebayang teriak sekencang itu, tapi Kouyo mungkin bisa.

 

"Kalau gitu, bisa ganggu pertandingan dong..."

 

Haruka tersenyum makin lebar, kayaknya dia membayangkan itu terjadi.

 

Lalu, ekspresinya berubah serius.

 

"──Fatima-chan, bisa tolong semangat dikit lagi?"

 

"Nggak deh."

 

Fatima langsung jawab sambil tersenyum dan memutar bahunya.

 

"Aku bakal berusaha sampai akhir kok."

 

Fatima kembali ke pertandingan, semangatnya pulih berkat tingkah aneh Keika.

 

(Oke... Semangat sih udah balik, tapi kita masih terjepit. Gimana nih...)

 

Hak servis sama kayak biasa, dua kali. Kalau bisa, dia pengen dua-duanya langsung masuk tanpa dibalikin lawan, tapi kayaknya nggak mungkin.

 

Kalau gitu, mending Haruka yang servis, terus Fatima siap-siap di belakang buat nangkep bola.

 

Tapi, sayang banget kalau ngelewatin kesempatan buat dapet poin.

 

Tapi, kalau Fatima yang servis dari belakang juga nggak guna.

 

Meskipun dari belakang bisa ngasih waktu lebih buat nyiapin pukulan, tapi bolanya juga bakal lebih lama nyampe ke lawan.

 

Kalau dari depan, bolanya lebih cepet nyampe ke lawan, tapi waktu buat nangkep bola yang dibalikin juga jadi lebih singkat.

 

(Maju buat nyerang atau bertahan di belakang...)

 

Nyari poin tapi siap-siap kehilangan poin, atau ngorbanin poin demi pertahanan.

 

Fatima bingung harus pilih yang mana.

 

Setelah berpikir sejenak, Fatima memutuskan untuk maju.

 

(Fokus... fokus, fokus...)

 

Fatima mengangkat tangan kirinya yang memegang bola sambil mengulang kata-kata itu dalam hati.

 

(Lawannya nggak berubah... Cuma, reli-nya bakal lebih cepet...)

 

Kayaknya lawan udah tahu kalau Fatima mau servis, jadi mereka ambil posisi.

 

Fatima menarik napas dalam-dalam, lalu melempar bola ke atas...

 

(Pengen nyentuh pita itu...)

 

Fatima melakukan servis sambil mikirin itu.

 

Servisnya sempurna.

 

Tapi, lawan berhasil ngebales.

 

Pukulannya drive. Fatima harus milih, mau block buat ngurangin kecepatan bola atau bales pakai drive juga biar bolanya makin cepet.

 

Tanpa ragu, Fatima memilih untuk menyerang.

 

Dia membalas dengan counter drive.

 

Bolanya jadi makin cepet, tapi lawan berhasil ngebales lagi dengan kecepatan yang lebih tinggi.

 

Tapi, Fatima tetep bales pakai drive.

 

(Mulai kelihatan...)

 

Haruka menggenggam raketnya sambil melihat pita merah di rambut Fatima.

 

Meskipun cuma bisa ngelihat arah bola samar-samar.

 

Haruka nggak bisa kayak Fatima yang bisa langsung bereaksi dan mukul balik bola. Dia nggak punya kemampuan olahraga kayak gitu.

 

Tapi, dia tetep ngehentakin kakinya ke lantai buat ngatur ritme.

 

Bola makin cepet karena serangan counter drive mereka.

 

Harusnya udah nggak kelihatan. Harusnya udah nggak keburu.

 

Tapi, Haruka bisa ngelihat. Dia masih keburu.

 

Tanpa sadar, tubuhnya bergerak dan mulai berlari.

 

Ke kanan, ke kiri.

 

Rasanya aneh.

 

Dia fokus ngejar bola sampai lupa segalanya.

 

Dia ngerasa kayak ngelihat punggungnya sendiri.

 

Eh, bukan. Cuma pita. Pita merah yang dikasih Kuuya lagi berkibar.

 

Bola datang ke arah pita itu berkibar.

 

Dan, pita itu berkibar lebih cepat dari bola.

 

Kayak dipandu sama Kuuya.

 

Haruka tersenyum dan ngikutin arah pita itu.

 

Ke kanan, ke kiri.

 

Dia mukul balik.

 

──Counter drive.

 

Lawan bales lagi.

 

──Counter drive.

 

Pita sama bola hampir sejajar.

 

Haruka berusaha ngebales.

 

──Counter drive.

 

Bola lebih cepet dari pita.

 

Dia nggak bisa ngejar.

 

Raketnya cuma kena angin.

 

(Tapi nggak apa-apa...)

 

Dia tahu Haruka lari di belakangnya.

 

Haruka udah mulai lari.

 

Nggak mungkin keburu kalau nunggu lawan mukul balik.

 

Jadi, dia nebak.

 

Dia ngira-ngira kapan bola bakal dateng dan di mana jatuhnya.

 

Mungkin orang lain nggak bisa nebak kayak gitu.

 

Dia belum pernah ngamatin lawan sebelumnya, dan dia juga nggak punya kemampuan analisis yang hebat.

 

Tapi, kalau situasinya kayak gini... Kalau Fatima sama lawan sama-sama lagi berusaha keras buat ngebales bola...

 

Mereka kan bukan anak klub tenis meja, jadi nggak mungkin bisa milih arah pukulan sambil main reli secepat ini.

 

Jadi, arah bolanya terbatas.

 

Makanya, Haruka bisa nebak.

 

Ini semua berkat Fatima.

 

Fatima sengaja main di depan biar bisa bikin situasi ini, meskipun dia bakal lebih capek.

 

Haruka nggak mau nyia-nyiain kesempatan ini, jadi dia lari sekuat tenaga.

 

Suara langkah kakinya berisik banget, kayak orang yang nggak biasa lari.

 

Pasti bentuk tubuhnya juga berantakan.

 

Tapi, Haruka berhasil sampai tepat waktu.

 

Dia nggak bisa mukul balik bola dengan teknik yang bagus.

 

Dia cuma bisa ngulurin tangan dan nyentuh bola pakai raketnya.

 

──Block.

 

Kecepatan bola berkurang.

 

Bola yang berputar kenceng karena drive mereka berdua terbang hampir lurus ke atas.

 

Tapi, untungnya bola jatuh di area mereka.

 

Bola mantul dari meja, terus mental tinggi ke area lawan.

 

Pelan banget, kayak sengaja ngeledek.

 

Bola itu bikin lengkungan besar, terus mulai jatuh.

 

──Haruka nggak tahu bakal jatuh di mana.

 

Tepat di tengah meja, di garis batas antara dua area.

 

Lawannya siap-siap buat mukul balik.

 

Fatima juga siap-siap nangkep bola yang bakal dibalikin.

 

Kalau jatuh di area lawan, pasti bakal mantul pelan lagi.

 

Artinya, ini kesempatan bagus buat smash.

 

(Nggak bisa ditangkis...)

 

Fatima menyadari hal itu.

 

Perasaan yang dia rasakan tadi sudah hilang.

 

Ketegangannya hilang, kesadarannya menurun.

 

Meski begitu, dia mencoba bertahan sampai akhir, menggenggam raketnya lagi dan...

 

"Ah..."

 

Siapa yang bersuara? Atau semuanya?

 

Bola menyentuh net yang memisahkan area mereka.

 

Bola berhenti sejenak... lalu jatuh di area lawan.

 

Jatuh... dan tidak memantul.

 

Bola menggelinding.

 

Bukannya smash, bahkan tidak bisa dipukul balik.

 

Net in - kalau bola kena net terus jatuh di area sendiri pas reli, itu poin buat lawan. Tapi kalau jatuh di area lawan, itu poin buat kita.

 

Jadi, ini poin buat mereka.

 

"Maaf ya!"

 

Tapi, nggak ada yang seneng kalau dapet poin karena keberuntungan kayak gitu.

 

Haruka menunduk dalam-dalam sambil minta maaf.

 

Tapi, lawan mereka nggak masalahin itu.

 

"Santai aja."

 

"Good game."

 

Malah, mereka kayaknya seneng banget karena reli yang seru berakhir dengan cara yang lucu, sampai mereka muji Fatima dan Haruka.

 

"Nih, servis masih giliran kalian."

 

Mereka ngambil bola yang menggelinding dan ngelempar ke arah Fatima.

 

"Makasih."

 

Fatima nggak tahu dia ngomong makasih buat apa, buat bolanya atau sikap sportif lawan, tapi dia tetap nerima bola itu.

 

Terus, dia naro bola di tangan kirinya, siap-siap servis, dan nunggu lawan siap juga.

 

Reli sengit dimulai lagi.

 

 

 

◆◇◆◇◆◇◆

 

 

 

"Aku udah berusaha sekuat tenaga kok. Beneran deh."

 

Fatima bilang gitu sambil duduk di tangga depan perpustakaan yang sepi karena nggak ada hubungannya sama pertandingan olahraga.

 

"Aku setuju banget. Makanya aku kasih kamu ini buat nyemangatin kamu."

 

Itu suara Kuuya.

 

Pertandingan tenis meja mereka berakhir dengan kekalahan.

 

Fatima udah berusaha sampai akhir, dan Haruka juga nggak pernah nyerah.

 

Tapi, perbedaan kemampuan nggak bisa diubah cuma dengan semangat. Itulah kejamnya dunia olahraga.

 

"Nggak cukup cuma nyemangatin doang. Dia kan abis bertarung mati-matian, harusnya ada yang lebih dari ini, dong!?"

 

"Hmm... Kalau gitu, gimana kalau ini?"

 

Kuuya nyodorin minuman kaleng sambil senyum ke arah Fatima yang semangatnya masih menggebu-gebu karena pertandingan tadi.


"... Kaget banget."

 

Fatima melotot melihat minuman itu.

 

"Karasu-kun beli minuman olahraga dingin, bukannya kopi panas..."

 

"Kalau kamu nggak mau, biar aku aja yang minum... Eh, tunggu. Oh iya, cewek kan nggak boleh minum yang dingin-dingin. Maaf ya, aku nggak peka. Aku beliin teh anget aja deh."

 

"Aku nggak protes kok, cuma kaget aja. Sini, aku mau minum. Aku lagi haus banget."

 

Fatima tertawa kecil dan mengulurkan tangan ke Kuuya.

 

"Masa kamu kaget cuma karena itu... Aku juga minum jus kok, meskipun nggak sering."

 

Kuuya menghela napas pelan, membuka tutup kalengnya, lalu memberikannya ke Fatima.

 

"Karasu-kun... Memang sih aku nggak sekuat kamu, tapi aku nggak selemah itu juga sampai nggak bisa buka kaleng."

 

"Tangan kananmu pasti susah digerakin karena megang raket kenceng banget tadi. Minumnya pakai tangan kiri aja."

 

Fatima melihat tangan kanannya yang terulur.

 

Tangannya gemetaran kayak habis bawa kantong belanjaan berat.

 

"Oh..."

 

"Itu tandanya kamu serius banget mainnya. Istirahat aja dulu, nanti juga sembuh."

 

Kuuya tersenyum dan duduk di sebelah Fatima.

 

"Ngomong-ngomong soal kaget, aku juga kaget sama kamu. Aku tahu kamu akrab sama Akiduki dan bakal berusaha keras, tapi... Aku nggak nyangka kamu bisa sekuat itu."

 

"Kamu jadi makin sayang sama aku?"

 

Fatima tersenyum jahil sambil menerima minuman itu dengan tangan kirinya.

 

Tapi, Kuuya malah berpikir serius, lalu membuka mulutnya.

 

"Aku nggak sempet mikirin kayak gitu... Aku cuma bisa terpana ngelihat kamu. Aku nggak mau kelewatan momen kamu lagi berusaha keras, jadi aku fokus banget nontonin kamu."

 

"Kok kamu bisa ngomong gitu tanpa malu-malu..."

 

Fatima meneguk minumannya, wajahnya memerah karena Kuuya ngomong jujur banget.

 

"K-Karasu-kun, tolong balik badan. Jangan ngadep sini."

 

Fatima masih malu, jadi dia nyuruh Kuuya buat nggak ngadep dia.

 

"Aku cuma jelasin betapa hebatnya kamu, kok kamu jahat banget sih sama aku..."

 

Kuuya ngedumel, tapi dia nurut dan balik badan.

 

"Udah gini?"

 

Kuuya ngomong dengan nada kesal.

 

"Iya, udah pas."

 

Fatima nyender ke punggung Kuuya.

 

"Karasu-kun tuh ya... Aku seneng sih kamu muji aku, tapi jangan terlalu blak-blakan dong. Kamu jahat, kamu tahu aku bakal malu banget."

 

"Aku bakal belajar cara ngomong yang lebih halus lain kali. Anggep aja itu pujian yang tulus dari aku."

 

Kuuya jawab sambil grogi karena ngerasain berat sama lembutnya badan Fatima yang nyender di punggungnya, ditambah panas tubuh Fatima karena habis olahraga.

 

"Nggak... Nggak apa-apa kok, gini aja. Kayak gini kan khas Karasu-kun... Lagian, aku nggak terlalu masalah..."

 

Fatima ngomong pelan sambil nyender di punggung Kuuya.

 

Dia malu banget dipuji terus terang kayak gitu, tapi dia juga ngerasa nyaman.

 

"Aku nggak ada pertandingan lagi sampai nanti siang... Kalau kamu?"

 

"Aku main siang nanti, jadi masih lama."

 

"Kalau gitu, temenin aku kayak gini dulu ya."

 

Fatima ngomong sambil ngeregangin badan dan ngehela napaspuas.

 

"Enaknya... Punggung Karasu-kun kayak sandaran kursi ya... Dijual nggak ya di mana-mana?"

 

"Nggak mungkin ada yang jual barang aneh kayak gitu."

 

"Aneh atau nggak, yang jelas nggak boleh dijual. Punggung Karasu-kun cuma buat aku, nggak boleh dipakai orang lain."

 

Fatima lagi semangat banget.

 

Kuuya senyum kecut ngelihat dia ngomong hal-hal yang biasanya nggak pernah dia omongin.

 

"Punggung siapa yang cuma buat kamu?"

 

"Emangnya kamu mau minjemin ke orang lain?"

 

"Nggak banyak orang yang mau minjem punggung orang lain..."

 

"Kalau gitu, aku booking ya. Hari ini, besok, lusa, selamanya."

 

Kuuya ngerasa punggungnya gerak-gerak karena Fatima kayaknya lagi ketawa.

 

"Nggak bisa nolak nih?"

 

"Sayangnya, kamu nggak punya hak buat nolak."

 

"Padahal ini punggungku..."

 

Kuuya ngedumel sambil ikut ketawa.

 

"Ya udah deh, kalau nggak bisa nolak, ya udah. Punggungku dibooking sama kamu selamanya."

 

"Oke, dibooking sama aku."

 

Kuuya bisa denger tawa Fatima dari belakangnya.

 

Obrolan mereka receh banget, tapi kayaknya Fatima seneng.

 

"Masa kita ngobrolin hal nggak penting kayak gini? Kamu kan abis tanding keras, pasti mau ngobrol sama Akiduki juga, kan?"

 

"Aku nggak benci sama Akiduki-san kok. Malah, aku suka sama dia. Dia kan temenku."

 

Fatima jawab dengan nada agak bingung.

 

"Aku juga pengen seneng bareng dia kalau menang, dan sedih bareng kalau kalah... Tapi, aku nggak tahu harus gimana..."

 

"Oh gitu... Aku juga nggak tahu sih..."

 

Dulu waktu Kuuya masih ikut kendo, dia ngerasa tahu gimana caranya ngehibur orang, tapi sekarang dia lupa.

 

"Iya, kan? Jadi, aku nggak enak kalau ngerespon dia dengan sikapku yang biasa... Aku bilang aja aku mau manja-manjaan sama Karasu-kun karena udah capek banget."

 

"Alasan macam apa itu..."

 

"Dia senyum manis banget kok pas ngelepasin aku, jadi kayaknya nggak masalah."

 

"Terus aku harus pasang muka kayak gimana pas ketemu Akiduki nanti..."

 

Kuuya bingung dan akhirnya duduk bersila sambil nyenderin kepala di tangannya.

 

"Biasa aja kayak biasanya nggak apa-apa kali."

 

Fatima ngasih saran sambil tiduran di punggung Kuuya.

 

"Intinya, aku nggak mau bohong sama Akiduki-san, makanya aku manja-manjaan sama kamu gini."

 

"Kita kan udah deket, nggak perlu alasan kayak gitu..."

 

"Perlu lah. Emangnya kamu nganggep aku apa?"

 

Fatima ketawa lagi sambil ngubah posisi tidurnya.

 

"Karasu-kun... Aku ngantuk..."

 

"Mungkin karena kamu kecapekan habis tanding. Tidur aja dulu, pertandingan kendo kamu masih lama."

 

"Iya... Aku tidur dulu ya..."

 

Fatima jawab dengan suara nggak jelas, kayaknya beneran ngantuk banget, sambil ngegoyang-goyangin tangannya yang lemes.

 

"Karasu-kun... Pegangan tangan, yuk..."

 

"Iya, iya."

 


Kuuya senyum kecut ngelihat Fatima yang manja banget, terus megang tangannya.

 

Tapi, kayaknya Fatima belum puas, dia goyang-goyangin tangannya lagi sambil minta, "Aku maunya pegangan tangan kayak orang pacaran..."

 

"Tidur aja sana, anak kecil."

 

Kuuya ngomong ketus, tapi dia ngejalin jari-jarinya sama jari-jari Fatima yang ramping.



Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !