BAB 6
Hal
yang Ingin Aku Ajarkan ke Miyagi
Ketika aku membuka lemari
yang berisi pakaian rumah, mataku tertuju pada baju milik Miyagi.
Itu adalah kaos yang dia
berikan sebagai pengganti seragam yang terkena cider sebelum liburan musim
semi, yang sempat ingin kuberikan kembali padanya.
Pada akhirnya, Miyagi
tidak menerima kembali, dan baju itu menjadi milikku. Aku tidak bisa
membuangnya, tapi juga tidak pernah memakainya, jadi terus tersimpan tanpa
tujuan.
Aku menyentuh kaos itu
dengan lembut.
Karena kupikir akan mengembalikannya, aku mencucinya, jadi tidak ada lagi jejak Miyagi yang tersisa.
Aku menutup mata sejenak
sebelum mengambil tank top dan menuju ke kamar mandi.
Mungkin karena malam
Jumat, meski sudah lewat dari pukul sebelas malam, lampu di ruang tamu masih
menyala. Aku berjalan dengan tenang di koridor dan masuk ke dalam kamar mandi.
Aku memilih untuk keluar lebih cepat daripada bersantai terlalu lama di air hangat,
lalu mengambil satu botol air dari kulkas dan kembali ke kamarku.
Aku melihat ponselku yang
terletak di meja.
Sambil membalas beberapa
pesan yang masuk, aku meneguk teh dari botol itu ke dalam perutku. Setelah
minum setengahnya, aku berbaring di tempat tidur bersama ponselku.
Aku tidak berniat memikirkan apa yang terjadi hari ini, tapi itu terus terlintas di pikiranku.
─
aku bertelanjang dada di depan Miyagi, dan memaksanya untuk melakukan hal yang
sama.
Aku meletakkan ponselku
di samping bantal dan menghela napas panjang.
Bertemu dengan Miyagi
tiga kali seminggu sebenarnya bukan hal yang buruk.
Aku ingin bertemu dengan
teman-temanku di hari libur, dan pergi bermain bersama. Jika kita cukup dekat,
itu adalah hal yang wajar. Bertemu dengan Miyagi di hari libur juga serupa.
Kami pernah berciuman, tapi itu masih dalam batas yang bisa diterima. Toh,
bibirku sudah beberapa kali menyentuh tubuhnya, dan dia juga melakukan hal yang
sama padaku.
Jadi, tidak apa-apa.
Tapi, bertelanjang dada
atau membuat orang lain melakukan itu melanggar aturan.
Pilihan di hari hujan
itu, kupikir adalah kesalahan.
Aku seharusnya menepis
tangan Miyagi yang ingin menanggalkan seragamku dan menolaknya dengan keras.
Menerima tindakan yang melanggar aturan itu membuatnya berdampak panjang.
Sambil berbaring di
tempat tidur dan menatap langit-langit, aku menghela napas.
Aku yang menindih Miyagi
di ruangan ini cepat-cepat mengutuk diri sendiri, dan terus mengutuk hingga
sekarang. Dan kutukan itu perlahan-lahan menutupi hatiku, mulai memutarbalikkan
emosiku.
Miyagi yang kutelanjangi,
yang kusentuh.
Pikiran untuk melakukan
lebih dari itu muncul, dan aku segera menepisnya.
"Itu tidak
baik," pikirku.
Seharusnya aku tidak
memiliki imajinasi seperti itu.
Sejak Miyagi datang ke
kamarku, pikiran-pikiran yang tidak bisa kuceritakan kepada orang lain terus
muncul.
Seandainya aku terus
menciumnya.
Atau meninggalkan bekas
yang tidak bisa hilang.
Aku terus memikirkan
hal-hal konyol seperti itu sampai sekarang.
Ini bukan aku yang
sebenarnya.
Aku seharusnya lebih
pandai dalam mengelola hubungan dengan orang lain, dan cukup baik dalam
menjalani kehidupan sekolah yang menyenangkan sejak masuk SMA. Aku berniat
melanjutkan kehidupan sehari-hari seperti ini sampai lulus, dan untuk itu,
perasaanku terhadap Miyagi saat ini hanya mengganggu.
"Aku cukup menyukai
Miyagi, tau."
Aku tidak berniat
mengatakannya langsung pada dirinya, tapi aku memang menyukainya. Karena
dikatakan tidak ada yang kusuka dari dirinya, tanpa sadar aku mengucapkannya.
Jika itu hanya sebatas suka lebih dari orang lain, mungkin tidak akan jadi
masalah.
Tapi, kenyataannya tidak
seperti itu.
Aku menyadari bahwa aku
lebih menyukai Miyagi daripada yang kupikirkan, dan aku tidak bisa
mengendalikan perasaan itu.
Maka dari itu, hari ini,
aku mencoba kembali menjadi diriku yang seharusnya.
Aku menghela napas
panjang.
Seperti ponsel yang
bermasalah bisa berfungsi normal kembali dengan di-restart, kupikir mungkin aku
juga bisa melakukan hal yang sama pada diriku.
Bertindak seolah-olah ada
makna di balik tindakan melepas pakaian, membuat suasana menjadi aneh. Kalau
begitu, sebaiknya aku bertindak seolah-olah itu hal yang biasa saja.
Biarkan Miyagi
memerintahku, seperti saat ganti pakaian di sekolah, seolah-olah itu bukan
masalah besar.
Menipu dan mengelabui
diri sendiri.
Meskipun sulit untuk
mengubah perasaan 180 derajat, namun aku bisa mencoba menyesuaikan dan
mengaturnya. Seperti tahun lalu, perintah yang membosankan dan tidak kusukai
hanyalah pembunuh waktu, dan aku hanya perlu mendekati Miyagi selama beberapa
jam dalam seminggu.
Itulah yang kupikirkan.
Meski tidak berjalan
dengan baik.
Boleh saja untuk melepas
pakaian atau memerintah untuk melakukannya.
Aku menyediakan dua
pilihan untuk Miyagi, dan seperti yang kukira, dia memerintahku untuk melepas
pakaian.
Aku terbiasa
menyembunyikan perasaanku. Menutupi perasaanku dan mengatasi situasi tanpa
mengubah ekspresi wajah adalah keahlianku. Jadi, aku bisa melepas pakaian di
depan Miyagi tanpa mengubah raut muka. Namun, itu saja tidak cukup, dan hanya
perasaanku yang terus berlari tanpa kendali. Akhirnya, aku juga membuat Miyagi
melepas pakaian.
Tidak, cara aku
mengatakannya tadi tidak tepat.
Lebih tepatnya, aku tidak
bisa menghentikan keinginan untuk membuat Miyagi melepas pakaian.
Meskipun aku berusaha
terlihat tenang, tidak berarti keinginanku hilang, dan aku terus merasa ingin
menyentuh Miyagi lebih banyak lagi.
Sekarang, sambil
menyesal, aku terus memikirkan betapa lembutnya Miyagi, dan betapa
menyenangkannya saat kami bersentuhan. Rangkaian pikiranku semakin kusut dan
terus mengakses bagian yang seharusnya tidak boleh tersambung.
Terus terang, aku merasa
jijik karena aku tidak seperti diriku sendiri.
Aku ingin menyentuhnya
langsung, bukan melalui bahan pakaian.
Ingin
lagi dengan Miyagi──.
Aku tidak pernah
merasakan perasaan seperti ini terhadap siapapun sebelumnya.
Aku tidak ingin melakukan
ini dengan orang lain, tapi dengan Miyagi, keinginan itu terus bertambah.
Perasaan yang tidak memiliki tempat untuk pergi ini, meskipun sudah musim
panas, terus menumpuk seperti salju yang tidak meleleh.
"Syukurlah hari ini
hari Jumat."
Untuk bertemu dengan
Miyagi sehari setelahnya, perasaanku saat ini terasa terlalu berat. Aku memang
tertarik padanya, tapi aku hanya ingin tinggal di kamar itu sampai aku merasa
nyaman. Setelah lulus, aku sudah memutuskan untuk pindah dari rumah ini dan pergi
ke universitas di luar provinsi, dan aku tidak berniat mengubah masa depanku.
Tapi, bukan berarti aku ingin hidup dengan cara yang benar dan mulia, jadi
sedikit kegembiraan di sini-sana tidak masalah bagiku. Selama aku tidak terlalu
terlibat dengan Miyagi, seharusnya aku diizinkan menikmati esensi dari waktu
yang kulewati di kamar itu.
Menurutku, ini adalah
argumen yang berlebihan dan terdengar kacau. Namun, ketika berbicara tentang
Miyagi, aku tidak bisa merumuskan pikiranku dengan baik. Semakin aku berpikir,
semakin aku tidak yakin tentang apa yang harus kulakukan.
Sebagian besar karena
Miyagi yang selalu memberikan perintah aneh. Dia selalu membuatku tidak bisa
bertingkah laku baik dan efisien seperti biasanya.
Jadi, aku rasa sedikit
kontradiksi bisa diabaikan. Lagipula, belakangan ini dia terlalu
memperhatikanku, membuatku merasa tidak nyaman. Rumah ini bukan urusan Miyagi.
Jika dia tidak bertingkah seperti biasa, dia memberiku kesempatan untuk
melakukan hal-hal seperti hari ini.
Aku mengalihkan tanggung
jawab sambil menatap dinding yang memisahkan kamar sebelah dan kamarku. Ini
pertama kalinya aku memikirkan seseorang sebanyak ini, selain orang di kamar
sebelah itu. Setelah orang tuaku mulai memperlakukan saudara perempuanku dengan
lebih istimewa, aku sering memikirkannya. Aku merasa kesal karena merasa
seperti melihat diriku sendiri dari masa lalu, meski aku tahu aku sudah
berbeda.
"Ah, sudahlah.
Padahal sudah liburan musim panas, tapi semangatku tidak kunjung naik."
Aku mengambil ponselku
dan melihat jam. Sudah lewat dari pukul satu pagi. Mungkin Homina bisa diajak
bicara. Dia sering begadang, dan jika libur, dia pasti masih terjaga di jam
seperti ini.
Dengan harapan mengubah
suasana hatiku, aku menelpon Homina. Setelah suara dial berbunyi satu, dua
kali, dan di kali kelima, suara cerah yang tidak terduga di tengah malam
terdengar.
"Ini jarang banget
kamu telpon di waktu kayak gini."
"Aku nggak bisa
tidur. Homina, kamu lagi sibuk nggak?"
"Pacarku baru aja
ketiduran sih, jadi aku lagi nggak ngapa-ngapain."
Sebenarnya, aku nggak
punya topik spesifik yang ingin aku bahas dengan Homina. Pasti dia juga akan
senang asal bisa mengisi waktu luangnya, siapapun lawan bicaranya.
Meski begitu, kami bisa
mengobrol tentang hal-hal yang tidak penting. Suara Homina yang berbeda
membuatku sedikit lebih tenang. Aku hanya berbicara apa yang terlintas di
pikiran tanpa perlu berpikir keras, dan entah kenapa, obrolan kami lebih lancar
dari saat aku berbicara dengan Miyagi.
Tapi, apakah ini
menyenangkan? Itu masih dipertanyakan, karena aku baru bertemu dengan Homina
minggu lalu, jadi pembicaraan kami cenderung mengulang masa lalu.
"Kamu tahun ini
kayaknya jarang banget bisa diajak hang out, ya? Les bimbel beneran sesibuk
itu?"
Homina yang selalu
menyebut bimbel sebagai les itu secara terbuka menunjukkan ketidakpuasannya.
Karena tahun lalu kami
bertemu lebih sering, tidak heran dia mengeluh.
"Iya sih. Jadwalku
memang lagi padet banget."
Itu memang benar, bimbel
mengambil hampir semua waktuku di musim panas ini. Ditambah lagi dengan jadwal
pergi ke rumah Miyagi, aku jadi makin sibuk.
Homina terus
mengungkapkan keinginannya untuk pergi ke tempat ini dan itu, dan dari sisi
lain ponsel, dia seperti bilang agar aku menyiapkan waktu. Aku menjawab
seolah-olah aku bisa mengosongkan jadwalku, meskipun kenyataannya mungkin
tidak.
Mendengar jawabanku, Homina sepertinya merasa lebih baik dan tiba-tiba ingat sesuatu.
"Oh iya. Udah
selesai belum, PR-nya?"
"Hampir semua udah
kelar."
"Boleh dong, aku
nyontek."
"Boleh aja. Mau
ketemu besok?"
"Besok itu hari ini,
kan?"
Homina membuatku ingat
bahwa sudah lewat dari pukul satu pagi.
"Oh, iya. Hari
ini."
"Oke, hari ini ya.
Ah, sekalian, aku ada tempat yang pengen dikunjungi."
Homina menyebutkan tempat
yang sepertinya akan membuat pekerjaan rumahnya menjadi tugas sampingan.
Bukan karena aku ingin
bertemu.
Kalau tahun lalu, mungkin
aku bisa merasa sedikit lebih senang.
Aku tidak terlalu
bersemangat.
Tapi, bertemu dengan
seseorang sepertinya bisa mengalihkan pikiranku, jadi aku membuat janji untuk
bertemu dengan Homina.
◇◇◇
Bangun tidurku kali ini,
lebih baik dari biasanya.
Alasannya, tanpa perlu
dipikirkan lagi, adalah Hamina.
Bukan hanya hari Sabtu,
bahkan sampai hari Minggu pun dia menyeretku keluar, membuatku terlalu lelah
sampai-sampai tidak ada celah untuk pikiran lain masuk, dan aku bisa tidur
nyenyak.
Seharusnya kami tidak
berencana untuk jalan-jalan dua hari berturut-turut, tapi karena aku bisa
mengesampingkan pikiran tentang Miyagi, aku pikir aku bisa tidur dengan baik.
Beruntungnya, aku bisa
pergi ke bimbel seperti biasa dan juga bisa datang ke rumah Miyagi.
Kalau aku bisa
mengabaikan sedikit rasa canggung, tidak ada masalah sama sekali.
Sebenarnya, baik aku
maupun Miyagi tidak menyentuh tentang kejadian hari Jumat. Miyagi memberiku
lima ribu yen sambil mengatakan itu untuk biaya les privat, lalu diam-diam
menyebarkan lembaran soal di atas meja, dan aku juga sibuk menulis jawaban dari
lembaran soal di noteku.
Dan sekarang, yang ada di
ruangan ini adalah waktu yang damai.
Masalah hari Jumat hanya
tersembunyi di dalam lembaran soal, dan selama kami mengerjakan soal,
seolah-olah itu tidak pernah terjadi, itu adalah sesuatu yang kami berdua
mengerti.
Pembicaraan yang tidak
terlalu seru dari awalnya terus menerus stagnan dan lebih banyak diisi dengan
keheningan, tapi itu hal kecil. Sedikit keheningan tidak akan mengakhir dunia,
dan hubungan kami juga tidak akan berakhir.
Meskipun aku pikir
terlalu sepi, tapi lebih baik daripada terlalu berisik.
Aku mengambil gelas dari
atas meja dan meneguk barley tea yang dingin ke dalam perutku. Sepertinya
Miyagi sudah berhenti mencoba untuk memperhatikan, dan suhu ruangan hari ini
sedikit
terlalu panas untukku.
Aku ingin dia menurunkan
suhu beberapa derajat lagi, tapi aku tidak akan mengatakannya.
Lebih sejuk daripada di
luar, dan aku tidak ingin melakukan hal yang mirip dengan hari Jumat.
"Sendai-san"
Tanpa pemberitahuan
terlebih dahulu, Miyagi memanggilku.
"Apa?"
"Kamu ada di depan
stasiun hari Minggu?"
"Aku ada, tapi
kenapa?"
Aku mengangkat wajahku
dari lembaran soal dan memandang Miyagi, dan dia juga sedang melihat ke arahku.
Mungkin karena terbakar oleh matahari yang panas dan menyengat sampai habis di
perjalanan kesini, keberadaan Miyagi di sampingku hari ini tidak terlalu
menggangguku.
"Aku melihat kamu
berjalan dengan Ibaraki-san"
Kata-kata Miyagi
membuatku hampir berkata bahwa akan lebih baik jika dia memanggilku, tapi aku
menelannya kembali.
Kami bukan dalam hubungan
seperti itu.
"Miyagi dengan
Utsunomiya?"
Aku mencari kata
pengganti untuk mengatakannya.
"Iya, aku pergi
keluar dengan Maika dan yang lainnya"
"Apa yang kamu
lakukan?"
"Belanja"
Di awal liburan musim
panas, ketika aku bertanya ke Miyagi kemana dia akan pergi dengan Utsunomiya,
dia tidak menjawab, tapi sekarang dia dengan mudah mengatakan jawabannya.
"Sendai-san
melakukan apa?"
"Aku juga sama.
Menemani belanja Homina"
"Menyenangkan?"
Mungkin karena bosan
mengerjakan soal, atau mungkin karena bosan dengan keheningan, Miyagi bertanya
sesuatu yang biasanya tidak dia tanyakan.
"Ya, kurang
sih." Jawabku singkat, tapi pandangan penuh curiga mendarat padaku.
Miyagi tidak tahu
bagaimana aku terlihat saat itu, tapi seharusnya aku tidak terlihat dengan
wajah yang memancing pandangan seperti itu. Aku tidak pernah menunjukkan wajah
bosan di depan Homina. "Ya, kurang lebih" itu setengahnya benar,
meskipun aku lelah karena diombang-ambingkan Hamina, ada juga momen-momen
menyenangkan.
"Kalau Miyagi
sendiri, menyenangkan tidak?"
Bukannya aku ingin
menyangkal pandangan Miyagi, tapi lebih mudah untuk bertanya tentang harinya.
"Tidak akan
melakukan sesuatu kalau tidak menyenangkan."
"Oh begitu. Beli apa
saja?"
"Banyak hal."
"Banyak hal itu
seperti apa?"
"Tidak penting,
kan?"
Bisa dibilang, waktu
bonusku untuk mendapat jawaban dari Miyagi sudah habis, dan pembicaraan kami
terhenti. Tapi, suaranya nggak seberapa dingin seperti biasanya, mungkin karena
kemarin kami memang bersenang-senang.
Aku nggak terlalu kenal
dengan Utsunomiya, tapi aku tahu dia dan Miyagi akrab. Aku nggak pernah tanya
seberapa lama mereka kenal atau seberapa dekat hubungan mereka, tapi aku pikir
mereka pasti teman baik.
Mungkin aku nggak punya
jenis hubungan seperti itu sekarang. Yang aku punya cuma hubungan yang
berdasarkan kalkulasi, dan aku sedikit iri pada mereka berdua. Dan kemudian,
pikiran yang seharusnya nggak perlu aku pikirkan muncul juga.
Apakah Utsunomiya bisa
menyentuh Miyagi tanpa mikir apa-apa?
Menggunakan kata
"tanpa mikir apa-apa" saat menangkap teman terasa aneh, dan aku tahu
itu. Kalau mereka teman, nggak perlu ada catatan kaki seperti itu. Pemikiran
jahat yang kupikir sudah hilang ternyata masih ada, setidaknya separuhnya,
itulah kenapa aku berpikir seperti ini.
──Ini
parah banget.
Aku melemparkan penku dan
menundukkan kepalaku ke meja.
Kepalaku bertabrakan
dengan meja, membuat suara tumpul, tapi aku nggak peduli.
"Mendadak
kenapa?" suara Miyagi yang terkejut terdengar, tapi aku mengabaikannya dan
terus bertanya sambil masih menunduk.
"Ada yang nggak kamu
mengerti? Kalau ada, bilang, aku akan menjelaskan."
"Selain alasan
kenapa Sendai-san tiba-tiba menundukkan kepala, nggak ada yang aku nggak
mengerti."
"Kalau gitu,
lanjutkan saja soalnya."
"Apa-apaan sih,
tiba-tiba?"
"Cuma sedikit kecewa
sama diri sendiri."
Kalau aku membiarkan
diriku sekarang, aku mungkin akan mengulangi apa yang terjadi pada Jumat. Aku
nggak pernah menyangka kalau rasionalitasku bisa selemah ini. Aku selalu
menganggap Miyagi sebagai orang yang merepotkan, tapi sekarang aku merasa lebih
merepotkan dari dia.
"Daripada ngomong
hal yang nggak jelas, ayo serius belajar."
Biasanya, itu akan jadi
kalimat yang aku ucapkan, tapi sekarang Miyagi yang mengatakannya.
"Aku sudah serius
belajar pagi ini."
"Itu kan di bimbel.
Ayo serius di sini juga."
Kalau dengan serius
belajar aku bisa terbebas dari obsesi konyol ini, aku akan melakukan apa saja.
Tapi, aku nggak merasa itu akan terjadi. Mungkin, berjalan-jalan di bawah sinar
matahari akan membuatku merasa lebih baik.
"Ngomong-ngomong,
Miyagi, ada roti tawar nggak?"
Aku bangkit dan menoleh
ke arahnya.
"Roti tawar?"
"Iya. Juga susu dan
telur."
"Ngga ada, tapi
kenapa sih?"
"Pengen makan French
toast, nggak?"
"Ngga pengen."
"Aku yang
pengen."
Aku langsung menjawab
saat Miyagi menjawab dengan cepat.
Kami nggak cukup akrab
untuk mengajaknya jalan-jalan tanpa alasan, dan aku nggak bisa pergi keluar
tanpa tujuan. Jadi, aku cuma perlu membuat alasan yang layak.
Aku hanya ingin sedikit
mengubah suasana, dan setelah kembali dari luar, aku bisa kembali duduk di
samping Miyagi dan mengerjakan soal tanpa memikirkan apa-apa.
Dia jarang menyajikan
makanan di kamar ini, tapi sesekali makan camilan berdua nggak ada salahnya.
"Aku akan membeli
bahan-bahannya, tunggu ya."
Apa yang diinginkan
Miyagi bukan masalah, jadi aku berdiri dan mengambil tas.
"Ayo belajar yang
bener. Aku nggak pengen repot karena French toast atau apapun itu. Lanjutin aja
belajarnya."
Suara Miyagi yang nggak
senang itu terdengar bersamaan dengan terbangnya sebuah kotak tisu yang ada
cover buaya. Aku menangkapnya dan meletakkannya kembali di tempat yang
seharusnya.
"Miyagi ngomong gitu
tuh jarang-jarang."
"Sendai-san kalau
tiba-tiba mulai ngapain-ngapain, biasanya jadi ribet. Makanya, mending nggak
usah."
"Itu kedengerannya
kayak aku selalu bikin ribet."
"Ya emang iya."
"Enggak kok, hari
ini cuma mau bikin French toast aja."
Aku nggak berencana
bilang ke Miyagi, tapi sebenarnya aku mau bikin French toast supaya nggak bikin
ribet. Jadi, tolong deh, jangan dihentikan.
"Aku sebentar aja.
Miyagi mau ikut nggak?"
Aku memberitahukan bahwa
aku nggak akan mengubah keputusanku dan sekaligus menambahkan kata-kata ajaib
yang mungkin membuat Miyagi nggak mau membiarkanku pergi sendiri.
"Enggak mau. Kalau
mau pergi, pergilah sendiri."
Dia bilang persis seperti
yang kuduga dan kembali fokus ke buku latihannya.
"Oke, tunggu ya.
Maaf ya, tolong kunci pintunya."
Kalau bisa sih, aku nggak mau keluar rumah di
tengah panasnya musim panas. Berjalan di bawah langit tanpa awan yang bisa
menutupi matahari, tanpa angin, itu kayak neraka.
Tapi, sekarang aku harus
keluar ke kota yang kayak sauna ini. Aku meninggalkan Miyagi dan keluar dari
rumah, naik lift. Begitu melangkah keluar dari pintu masuk dan menginjakkan
kaki di luar, keringat langsung bercucuran di dahi.
Makan sesuatu yang manis
harusnya bisa membuatku merasa lebih ceria. Nggak ada dasar ilmiah sih, tapi
aku percaya begitu dan berjalan di trotoar yang terpapar sinar matahari
langsung. Ini kayaknya sesuatu yang bakal Miyagi lakukan.
Sambil mencari tempat
yang teduh, aku menghela nafas. Aku jadi nggak konsisten dan kalau ada apa-apa
langsung kabur. Mungkin karena aku sudah lama bersama Miyagi, aku jadi mulai
mirip dia. Aku nggak mau mengakuinya, tapi mungkin ini hanya kebetulan, hanya
hari ini doang kok.
Aku menekan pelipis,
berusaha mengusir Miyagi dari pikiranku. Roti tawar, telur, dan susu. Aku nggak
nanya, tapi pasti ada gula kan.
Aku mempercepat langkahku
untuk selesaikan belanja kecil ini. Semakin cepat aku berjalan, semakin banyak
keringat yang bercucuran di dahi. T-shirt yang aku pakai juga semakin basah
oleh keringat. Panas banget.
Perasaan yang nggak biasa
ini, perasaan yang harusnya aku rasakan terhadap Miyagi, seharusnya meleleh
karena panasnya cuaca. Sambil berpikir hal konyol seperti, "Apakah roti
tawar yang akan menjadi French toast juga merasa panas saat dibakar?", aku
memilih untuk pergi ke supermarket yang lebih jauh daripada ke minimarket,
membeli apa yang diperlukan, lalu kembali ke apartemen Miyagi, membuka kunci
otomatis, dan naik lift.
Cukup sederhana, kan? Aku
nggak mampir ke mana-mana, hanya membeli yang diperlukan, dan langsung kembali,
jadi aku nggak menghabiskan waktu satu atau dua jam di luar. Tapi, hanya dengan
melakukan itu, suasana hatiku sudah cukup berubah.
Cuaca di luar panas,
daripada mendinginkan kepala, malah membuatnya lebih panas, tapi tujuanku untuk
mengusir pikiran negatif tercapai, jadi nggak masalah.
"Aku sudah
beli."
Aku masuk dan memanggil
Miyagi setelah pintu dibukakan.
"Nggak ada yang
minta."
Suara tidak senang
menjawabku.
"Aku beli tanpa
diminta sih, tapi yuk, istirahat sebentar."
"Sendai-san yang
pergi belanja sendiri, jadi aku sudah istirahat."
Kata-kata itu diucapkan
Miyagi sebelum dia kembali ke kamarnya. Aku mengikuti dengan tas belanjaan di
tangan, dan menemukan Miyagi sudah duduk di tempat tidur sambil membaca manga.
"Miyagi. French
toastnya?"
"Boleh pakai
dapur."
"Bukan itu. Aku
bilang, yuk makan snack bareng. Aku mau buat French toast."
Meski aku sudah
menjelaskan dengan jelas, Miyagi tetap nggak bergerak. Kalau begitu, aku harus
pakai cara yang lebih langsung.
Aku meletakkan tas
belanjaan di lantai dan mengambil buku yang dipegang Miyagi, ternyata itu manga
yang belum pernah aku lihat.
Ini belanjaannya ya.
Mungkin, itu bagian dari
barang-barang yang dia beli saat pergi belanja dengan Utsunomiya kemarin.
"Sendai-san aja yang
makan."
Begitu katanya sambil
merebut kembali manga dari tanganku dan mulai membacanya lagi.
Suasana hatinya
kelihatannya nggak terlalu baik
"Ah, Miyagi. Kamu
nggak suka French toast?"
Tiba-tiba, aku yang pergi
untuk belanja. Mengabaikan kata-kata Miyagi yang bilang untuk belajar. Mungkin
ini alasan kenapa dia agak kesal, tapi aku tetap menyampaikan alasan yang lebih
aman.
"..."
Miyagi nggak mau menoleh
ke arahku.
"Kenapa diem?"
"Belum pernah makan,
jadi nggak tahu."
"Ada orang kayak
gitu ya."
Aku nggak bermaksud
mengejek. Itu cuma ekspresi kejujuranku. Tapi, mungkin bagi Miyagi, itu
terdengar berbeda, karena aku mendengar suara rendahnya.
"Nggak akan
makan."
"Nggak usah ngambek
dong. Aku ajari cara buatnya, ayo bantu."
"Nggak mau bantu.
Buat sendiri aja."
"Ini semacam
pelajaran tambahan, loh."
"Selalu aja ngomong
nggak serius."
Miyagi meninggalkan
manganya dan menunjukkan wajah tidak puasnya.
"Kalau sudah jadi,
aku bawa kesini. Miyagi tinggal di sini aja."
Tak bisa terus begini.
Tak ada alasan harus membuatnya bersama Miyagi, dan kalau kita berdua memasak,
suasana yang sudah berubah mungkin akan kembali seperti semula. Meski dia tak
membantu, aku bisa membuat French toast sendiri.
Bahkan, mungkin bisa
lebih cepat tanpa dia. Waktu kita membuat ayam goreng bersama, itu tak berakhir
baik. Saat itu, dia memotong jarinya, dan aku meminum darah yang mengalir dari
luka itu.
"Aku pinjam dapurnya
ya," kataku pada Miyagi yang sedang duduk di tempat tidur, sambil hendak
keluar kamar dengan tas belanjaan. Tapi, dia menarik ujung kaosku.
"Apaan?"
"Aku ikut."
Tak tahu bagaimana dengan
orang lain, tapi Miyagi yang di depanku ini selalu susah diatur. Hari ini juga,
dia banyak protes, dan akhirnya bilang akan ikut ke dapur. Pasti dia akan makan
French toast itu juga akhirnya.
Seharusnya dia diam-diam
aja ikut dari awal.
Bener-bener ribet.
Tapi, saat ngobrol
begini, aku merasa bisa jadi diriku yang biasa, seperti Miyagi yang biasa.
Lebih bisa santai ketimbang saat belajar.
Aku berjalan ke dapur,
tapi Miyagi memilih duduk di meja bar di ruang tamu.
"Miyagi,
kesini," panggilku pada Miyagi yang sama sekali tidak berniat membantu.
"Kenapa?"
"Kan mau
bantu."
Meski tau lebih baik tak
memanggil, mulutku bergerak sendiri.
Tapi, seharusnya tak ada
apa-apa.
Aku sudah kembali waras.
"Bukan itu. Biarin
Sendai-san yang kerjain semuanya aja."
"Ayo bantu. Masak
secukupnya telur juga bisa kan. Atau kamu bahkan itu aja gak bisa?"
Sambil mengeluarkan susu
dan telur dari tas belanjaan, aku melihat Miyagi yang tampak kesal.
"Ya udah, kalau
begitu."
Dengan nada datar, Miyagi
akhirnya mendekat ke dapur.
"Bisa ambil
peralatan sendiri?"
"Pake yang kamu suka
aja."
Dia pun mengambil apa
yang dibutuhkan, memecahkan satu telur ke dalam mangkuk.
"Aduk ini."
Aku memberikan Miyagi
sumpit dan menyadari satu hal penting.
Aku lupa membeli mentega
untuk memanggang roti.
Ketika aku membuka kulkas
dan melihat ke dalam, ada kotak mentega yang warnanya sudah buruk. Ketika aku
tanya kapan Miyagi membelinya, dia menjawab "baru-baru ini" dengan
jawaban yang samar, tapi menteganya terlihat sudah tidak segar. Meski begitu,
aku memutuskan untuk mempercayai kata-katanya dan memberikan instruksi
selanjutnya.
"Masukin satu sendok
makan gula, terus campur dengan susu."
Setelah memberikan Miyagi
wadah berisi gula dan mengukur susu yang telah aku siapkan, aku mulai menata
roti di talenan.
Cukup setengahnya saja.
Bisa juga dipotong jadi
empat untuk lebih mudah dimakan, tapi hari ini aku memutuskan memotongnya
menjadi dua dan mengambil pisau. Ketika aku memotong selembar roti menjadi dua
dan menoleh ke Miyagi, dia masih menambahkan gula.
"Miyagi, stop."
"Apa?"
"Kamu masukin berapa
sendok gula? Bukan tiga kan?"
"Kira-kira
tiga?"
"Aku bilang satu
sendok, kan?"
"Lebih manis kan
lebih baik."
"Tidak. Ikuti
takarannya."
Kalau dua sendok mungkin
masih oke, tapi tiga terlalu banyak.
Tapi, gula yang sudah
masuk tak bisa diambil kembali, jadi aku memutuskan menambah jumlah cairan
untuk mengencerkan dengan memecahkan satu telur lagi ke dalam mangkuk. Aku juga
menggandakan jumlah susu dan menambahkan ke dalam telur yang sudah aku pecahkan,
lalu Miyagi mencoba menambahkan gula lagi.
"Eh, Miyagi."
Aku menahan pergelangan
tangannya yang hendak menambahkan gula lagi.
"Nanti aja
perintahnya atau apa pun, dengerin dulu apa yang aku bilang."
"Ngapain lagi sih
perintah-perintah. Udah nggak ada."
"Pasti ada deh,
sesuatu."
"Kalau gitu, minum
ini."
Miyagi dengan kasar
menyuruhku, menunjuk ke adonan telur yang sudah terlalu banyak gula.
"Ngawur ah."
Bahkan jika takaran
gulanya normal, adonan telur itu bukan untuk diminum begitu saja.
"Kan udah bilang
nggak ada yang perlu diperintahin. Kadang-kadang, Sendai-san yang harusnya
perintah. Sebagai ucapan terima kasih karena udah bikin French toast, aku kasih
hak perintah."
"Kan cukup bilang
jaga takaran gula. Ngapain lagi."
"Yaudah, aku akan
nurut tiga perintah dari kamu. Dengan ini kita bisa damai-damai aja bikin
French toast."
Ternyata dia masih
berniat mengganggu.
Daripada repot meminta
Miyagi membantu membuat French toast, lebih baik aku lakukan sendiri semuanya.
"Mau jadi jin lampu
aja?"
Aku mengambil mangkuk
dari Miyagi dan mulai mengaduk adonan.
"Jin lampu itu nggak
nurut perintah, tapi permintaan. Sendai-san ini yang ngawur."
Nyatanya, yang bodoh itu
Miyagi.
Perintah darinya memang
perintah, tapi kalau aku yang memberi perintah, sepertinya itu tidak akan
menjadi perintah.
Karena aku merasa Miyagi
tidak akan menuruti perintah dengan patuh, perintah dari aku lebih seperti
permohonan. Lagipula, kalau jin dari lampu ajaib mungkin akan mengabulkan
permohonan, tapi Miyagi tidak selalu begitu.
"Kamu tahu, kalau
mau bantu, jangan bilang perintah segala. Kalau enggak mau bantu, duduk di sana
aja,"
Kataku sambil menunjuk
ruang tamu dengan sumpit, meskipun merasa itu tidak sopan.
Tapi, Miyagi tidak
bergerak ke ruang tamu.
"Sendai-san juga kan
semena-mena bikin aturan sendiri, harusnya tidak apa-apa dong,"
"Memang sih,"
"Cepetan beri
perintah dong,"
Miyagi menghadap ke
arahku, seolah-olah itu memang perintah.
Aku tidak bisa menerima
itu.
Kenapa Miyagi, yang
seharusnya menerima perintah, malah bersikap seolah-olah dia yang berkuasa?
Pada dasarnya, meskipun
aku bisa memberi tiga perintah, yang aku ingin Miyagi lakukan hanyalah menjaga
proporsi gula, susu, dan memanggang roti dengan api kecil. Dan itu bukan
sesuatu yang harus Miyagi lakukan.
Lantas, apa yang harus
aku perintahkan?
Pandanganku jatuh ke
adonan telur kuning.
Apa yang aku ingin Miyagi
lakukan.
Apa yang aku ingin
lakukan pada Miyagi.
Bukan tidak ada, tapi aku
rasa ini bukan tempat untuk memberi perintah seperti itu.
Lantas, apa lagi?
Aku meletakkan mangkuk
dan sumpit, lalu menghadap ke Miyagi.
"Perintah, apa saja
boleh?"
"Boleh,"
"Kalau begitu,
jangan bergerak dari tempatmu."
"Eh?"
"Aku bilang jangan
bergerak."
"Baiklah, tapi
selanjutnya?"
Miyagi, yang sepertinya
mengira akan diminta bantu membuat French toast, memandangku dengan wajah
bingung.
"Mata, tutup."
"…mau ngapain?"
Meskipun aku sudah
memerintahnya untuk tidak bergerak, Miyagi mundur setengah langkah.
"Diam dan ikuti
kata-kataku."
"Diam itu,
perintah?"
"Iya, perintah. Kamu
kan bilang akan mendengarkan tiga perintah,"
Miyagi mengerutkan alis
dan menatapku dengan tatapan kesal. Sepertinya dia mau mengeluh dengan
memanggilku, Sendai-san, tapi segera menutup mulut dan perlahan menutup
matanya.
Aku kira Miyagi tidak
akan pernah mendengarkan.
Maka, aku terkejut. Aku
pikir dia akan lebih menentang karena sudah membayangkan apa yang akan terjadi
selanjutnya.
Untuk kali ini, Miyagi
yang biasanya tidak pernah mendengarkan, menuruti kata-kataku dengan tenang,
dan aku menyentuh pipinya.
Meskipun aku
menyentuhnya, Miyagi tidak bergerak.
Emosi irasional yang
seharusnya terbakar oleh matahari musim panas masih tersisa, dan aku tidak bisa
menghentikan diriku sendiri. Rasionalitas yang kubangun hanya dalam waktu untuk
pergi belanja seakan pinjaman dan dengan mudah runtuh.
Perlahan, seperti mata
Miyagi yang tertutup, aku mendekatinya. Aku juga menutup mataku dan
menghilangkan penglihatan terhadapnya sebelum bibir kami bertemu, seolah-olah
aku bisa melihat Miyagi yang seharusnya tidak terlihat, lalu aku menekan
bibirku dengan kuat.
Detak jantungku lebih
cepat dari biasanya.
Aku tidak terbiasa
mencium Miyagi seolah-olah, aku tidak terbiasa mencium Miyagi dengan santai.
Meskipun ini adalah
ciuman kedua, kalau dihitung dengan tepat, ciuman ketiga, tetap saja rasanya
menyenangkan. Hanya dengan menyentuh bibir yang lembut, rasionalitasku yang
sudah hancur itu seolah meleleh seperti mentega.
Aku tidak membenci ciuman
ini.
Aku ingin menyentuhnya
lebih lama.
Tidak apa-apa kalau ada
hal seperti ini selama liburan musim panas.
Aku mencoba menipu diri
sendiri bahwa ciuman ini bukanlah hal besar.
Ujung lidahku menyentuh
bibir Miyagi.
Ketika aku mencoba
membuka bibir yang tertutup itu dengan lidahku, tangan Miyagi mendorong bahu
aku dengan kuat. Kekuatan itu cukup kuat, sehingga kami berpisah sejenak
sebelum berciuman lagi.
Bibir kami saling
menyentuh dengan lembut, lidahku menjilati bibirnya.
Itu semua yang aku
lakukan. Namun, Miyagi menggigit bibirku tanpa menahan diri, dan kali ini aku
yang mendorong bahu Miyagi.
Itu sakit.
Ketika aku menyentuh
bibirku dengan jari, aku merasakan sensasi basah. Ketika aku melihat
jari-jariku, ada sesuatu yang merah di sana.
"Kita tidak harus
melakukan ini, bukan pertama kalinya," kataku dengan suara yang agak
tinggi karena sakit.
"Itu tidak penting
apakah ini pertama kali atau tidak. Aku sudah mendengarkan tiga perintahmu, dan
Sendai-san yang melakukan sesuatu secara sembrono yang salah,"
Miyagi dengan nada tidak senang.
Tidak jelas apakah dia
mengacu pada upaya memasukkan lidah atau menjilat bibir, karena dia tidak
menolak ketika hanya menyentuh bibir. Jadi, ciuman itu sendiri sepertinya tidak
termasuk dalam tindakan sembrono.
"Kamu harus bisa
menahan diri sedikit,"
hanya ingin menyampaikan
hal itu. Ada banyak hal yang ingin aku katakan, tapi jika aku mengatakannya
pada Miyagi, aku hanya akan mendapatkan keluhan sebagai balasan.
"Ada cermin?"
penasaran seberapa dalam
luka di bibirku. Darah sepertinya tidak keluar banyak, tapi bibirku sakit, dan
masih terasa sakit. Miyagi benar-benar keluar dari batas dengan menggigit
bibirku dengan keras.
"Kalau luka, aku
lihatkan,"
"Aku bisa melihat
sendiri," .
"Tidak ada cermin di
sini,"
mendekatkan wajahnya ke
arahku.
Sangat, sangat dekat.
Itu terlalu dekat untuk
hanya melihat luka, dan sebelum aku sempat bertanya, "Apa?" Miyagi
sudah menjilat bibirku seperti anjing atau kucing.
Aku terkejut dengan
tindakan tiba-tiba itu dan mendorong Miyagi.
"Hanya
disinfeksi," katanya seolah-olah itu adalah alasan, lalu beranjak dari
tempatku dan melanjutkan,
"Darahnya tidak
enak."
"Tentu saja. Dan
seperti yang sudah aku katakan sebelumnya, menjilati bukanlah cara untuk
disinfeksi."
Karena aku sudah
mencicipi darah Miyagi sebelumnya, aku tahu rasanya dengan baik. Darahku
sendiri dan darah Miyagi sama-sama tidak enak. Miyagi pasti sudah tahu sebelum
dia mencicipi darahku. Itu tidak higienis dan bukan sesuatu yang biasanya orang
nikmati. Jadi, aku tidak mengerti mengapa Miyagi mencicipi darahku, tapi dia
mendekat lagi.
"Sebentar,
Miyagi."
Aku mencegah Miyagi yang
mendekat dan ingin menciumku.
Mengapa aku mencegahnya?
Aku sendiri tidak tahu,
sambil masih memegang bahunya.
"Kamu yang menggoda
duluan,"
Seolah-olah dia berharap
aku akan menggoda dia kembali.
Memang aku telah
melakukan hal-hal yang memimpin ke arah itu, tapi aku tidak pernah berpikir
Miyagi akan mengatakannya.
"...Jadi, kamu ingin
menciumku lagi?"
Tidak ada jawaban.
Ketika aku mendekat,
Miyagi berbisik, "Aku yang akan melakukannya," tapi aku tetap
menciumnya.
Sensasi lembut dan hangat
dari bibir Miyagi langsung terasa sangat nyata.
Meski ada sedikit rasa
sakit, sensasi dari bibir yang menyentuh itu mengatasi rasa sakit.
Rasa sakit tidak hilang.
Bibirku masih terasa
berdenyut dan panas.
Tapi, sensasi dari bibir
yang menyentuh itu membuat rasa sakit terasa tidak penting.
Ketika hanya menyentuh,
Miyagi terasa sangat tenang, dan aku menciumnya sedikit lebih lama dari
sebelumnya sebelum akhirnya melepaskan bibirku.
"...Sendai-san itu
agak erotis ya," kata Miyagi dengan suara pelan, memandangku dengan
tatapan kesal.
"Kamu juga ingin
mencium, jadi sama saja,"
"Bukan sama."
Miyagi bersikeras, lalu
meraih tanganku.
Ujung jarinya menyentuh
luka di bibirku, membelainya dengan lembut.
"Itu sakit,"
Seolah merespons
kata-kataku, ujung jari Miyagi menekan luka itu lebih kuat.
Rasa nyeri yang tajam
membuatku mengerutkan wajah.
Jika berbicara tentang
jarak fisik, aku dan Miyagi menjadi lebih dekat dari sebelumnya. Namun, masih
ada jarak di antara kami yang tidak bisa diisi.
Apakah Miyagi masih ingin
melihatku tidak suka?
Jarinya terus menyentuh
bibirku.
Sambil merasakan sakit
yang diberikannya, aku memikirkan hal itu.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.