Chapter 4
Perasaan
Pertama Dan Hati Yang Bingung
Keesokan hari setelah menerima kontrak layanan
rumah tangga secara langganan dengan keluarga Tojo.
Di pagi hari musim panas ketika langit baru saja
mulai mencerah, Haruto menyebarkan buku-buku referensi di atas meja dan
menggerakkan penanya di atas buku catatannya sambil menerima semilir angin
lembut yang berhembus dari jendela.
Meskipun sinar matahari bersinar tanpa ampun di
hari-hari musim panas, periode waktu di pagi hari ini masih sedikit sejuk.
Karena AC di kamarnya tidak bekerja dengan baik, Haruto sering belajar pada
waktu ini.
Di bawah langit fajar yang diliputi keheningan,
dia tekun belajar dengan tatapan serius. Namun, cuitanS seekor burung yang
tiba-tiba terdengar mengalihkan pandangannya ke luar jendela.
“Aku sudah membuat kontrak tetap...”
Tiba-tiba, kejadian kemarin di rumah keluarga Tojo
terlintas di pikirannya.
Ikue yang senang melihat rumah yang bersih setelah
dibersihkan. Shuuichi dan Ryouta yang tampak menikmati masakan yang lezat. Dan
Ayaka yang dengan malu-malu tapi tampak sedikit senang berkata, “Mohon
bantuannya ya, Otsuki-kun,” sambil menyunggingkan senyum.
Mengingat anggota keluarga Tojo yang tersenyum
puas dengan pekerjaan rumah tangganya, wajah Haruto pun secara alami tersenyum.
“Pekerjaan ini... cukup memberikan rasa
pencapaian.”
Memandang ke luar jendela saat langit diterangi
cahaya di garis horizon, Haruto bergumam sendiri. Setelah itu, setelah belajar
dengan tekun untuk sementara, Haruto merasakan keberadaan seseorang di lantai
bawah, lalu menghentikan penanya dan menutup buku referensinya.
“Mungkin Nenek udah bangun? Sebaiknya aku mulai
menyiapkan sarapan.”
Meletakkan pena di tangannya dan merenggangkan
badan dengan menguap lebar, Haruto keluar dari kamarnya dan menuju dapur di
lantai bawah.
“Selamat pagi, Haruto.”
“Selamat pagi, Nek.”
Di dapur, Neneknya sudah memasak telur dadar.
Haruto pun berdiri di sampingnya dan memanaskan kaldu yang disimpan kemarin.
“Apa kamu belajar dari pagi lagi hari ini?”
Nenek bertanya sambil memindahkan telur dadar ke
piring.
“Ya, belajar adalah kewajiban utama seorang
pelajar.”
“Jangan terlalu memaksakan dirimu, ya.”
“Baik, Nek, aku gak apa-apa kok.”
Sambil menjawab Neneknya, Haruto memasukkan bawang
iris ke dalam kaldu. Setelah itu, dia membuka ruangan sayuran di kulkas.
“Nek, boleh aku pakai bayam ini?”
“Tentu saja.”
Setelah mendapat persetujuan Neneknya, Haruto
mengambil dua ikat bayam dari ruangan sayuran dan juga mengeluarkan tahu.
Sementara air mendidih di ketel listrik, Haruto memotong tahu dan memasukkannya
ke dalam kaldu, lalu mematikan api begitu kaldu mendidih dan melarutkan miso di
dalamnya.
“Ngomong-ngomong Haruto, gimana dengan
pekerjaanmu? Apa kamu bisa melakukannya dengan baik?”
“Aman, berkat ajaran Nenek selama ini.”
“Ah, syukurlah kalau begitu.”
Nenek tersenyum lebar, memindahkan air mendidih
dari ketel ke panci, dan merebus bayam sebentar di atas kompor.
“Di hari pertama kerja, aku membuat hamburger
resep rahasia Nenek dan dipuji kalau masakannya udah kayak masakan restoran
bintang lima lho.”
Haruto berkata dengan nada bangga sedikit sambil
mengambil nasi dari rice cooker dan memasukkannya ke dalam mangkuk.
“Wah, baguslah kalau begitu.”
“Itu semua berkat Nenek. Terima kasih, Nek. Ah,
biar aku yang mendinginkan bayamnya.”
Haruto memindahkan bayam yang sudah matang dari
panci ke saringan dan mencelupkannya ke dalam air dingin. Sementara itu, Nenek
menuangkan sup miso ke dalam mangkuk dan membawa nasi dan lauk ke meja ruang
tamu menggunakan nampan. Setelah memeraskan air dari bayam, Haruto memotongnya,
menyiram sedikit kuah kaldu, lalu menaburi dengan katsuobushi dan wijen
bubuk.
“Oke, sarapan sudah siap!”
Haruto memindahkan sayur rebusan ke piring kecil
dan membawanya ke meja ruang tamu lalu duduk.
“Kalau gitu, ayo kita makan.”
“Ya, ittadakimasu.”
Mereka berdua mengatupkan tangan dan mulai makan
sarapan. Haruto mengambil telur dadar buatan Neneknya terlebih dulu.
“Enaknya, telur dadar buatan nenek. Kok rasanya
bisa seenak ini? Apanya yang beda antara telur dadar buatanku dan buatan
nenek?”
“Telur dadar yang dibuat Haruto juga sudah cukup
enak kok.”
“Tidak, telur dadarku masih jauh dari telur dadar
buatan nenek...”
Sambil menatap lekat-lekat telur dadar setelah
menggigitnya, Haruto termenung. Melihat tingkah cucunya itu, nenek menyipitkan
matanya dengan ekspresi lembut.
“Ngomong-ngomong Haruto, apa kamu belum punya
pacar?”
“Eh!? Ah, iya... begitulah.”
Terkejut dengan pertanyaan nenek yang tiba-tiba,
Haruto hampir menjatuhkan telur dadar yang sedang dipegangnya dengan sumpit.
“Begitu ya... Haruto sekarang sudah kelas 2 SMA
kan? Bukankah sewajarnya sudah punya pacar?”
“Tidak tidak tidak! Itu tidak wajar kok? Di
sekolahku, justru yang tidak punya pacar jauh lebih banyak dari yang punya
pacar lho?”
“Begitukah keadaannya sekarang?”
Mendengar perkataan Haruto, nenek menampakkan
sedikit ekspresi khawatir. Melihat ekspresi nenek seperti itu, Haruto merasa
sedih seakan dadanya tertekan.
Akhir-akhir ini, nenek mulai mengalami masalah
dengan pinggangnya. Dan neneknya mengkhawatirkan apakah Haruto memiliki pacar
atau tidak. Menyadari alasan di balik kekhawatiran neneknya Haruto hampir
merasa putus asa tetapi berusaha menahan perasaannya dan tersenyum.
“Begitulah keadaannya! Zaman nenek dulu dan
sekarang itu sangat berbeda.”
Dengan nada ceria yang disadari, Haruto
melanjutkan perkataannya, “Lagian, meskipun saat ini aku punya pacar, belum
tentu aku akan menikah dengannya kan? Aku masih 17 tahun.”
“Ya, kamu benar...”
“Itu benar! ... Jadi, jangan khawatir nenek. Suatu
hari nanti, aku pasti akan mengenalkan pacar yang sangat imut kepadamu!”
Dengan percaya diri, Haruto menyatakan hal itu
kepada neneknya, satu-satunya keluarga yang ia miliki.
“Benarkah? Kalau begitu, aku akan menantikannya.”
Mendengar pernyataan dari cucunya, nenek tersenyum
lembut.
※
Matahari mulai sedikit naik, memberikan firasat
bahwa hari ini akan menjadi hari yang sangat panas, tetapi suhu masih nyaman di
pagi musim panas itu. Melirik sekilas orang-orang yang rajin berolahraga lari
pagi, Haruto berjalan dengan langkah santai di jalanan perumahan yang sepi.
“Pacar ya...”
Haruto teringat percakapannya dengan nenek saat
sarapan tadi pagi.
Mengingat usia nenek dan sisa kehidupannya, wajar
jika ia khawatir tentang berbagai hal mengenai cucunya yang tersisa. Menyadari
hal itu, Haruto menghela napas pendek, “Fuh...”
Jika ia bisa mengenalkan pacar, nenek pasti akan
sangat senang. Haruto sendiri juga ingin melihat wajah bahagia nenek dan ingin
membuat nenek tenang. “Tapi...”
Saat ini, Haruto sulit membayangkan kehidupan
sehari-hari dengan seorang pacar. Selain itu, dia cukup sibuk dengan belajar,
bekerja paruh waktu sebagai asisten rumah tangga, dan berlatih karate.
“Aku tidak punya waktu untuk mencari pacar...”
Ketika Haruto bergumam, tiba-tiba senyum seorang
gadis terlintas di pikirannya. Senyum dari gadis yang dikatakan paling cantik
di sekolah Haruto.
“Ah tidak tidak, mustahil. Aku tidak ingin menjadi
salah satu dari mereka yang telah ditolak, kayak Kaito-senpai.”
Haruto menggelengkan kepalanya dan mengusir
bayangan gadis yang tersenyum kepadanya dalam pikirannya.
Sementara melakukan hal itu, Haruto tiba di tempat
tujuannya. Di depan matanya, terdapat gerbang dengan papan kayu tebal mengkilat
yang bertuliskan ‘Dojo Doujima – Kyokushin Karate’.
Haruto melewati gerbang bergaya Jepang itu dan
masuk ke dalam dojo.
Lantai dojo itu berlantai papan dan di dindingnya
tergantung gulungan yang bertuliskan semboyan seperti ‘Kokki Shinshin’ dan
‘Reitodewajimari, reitodemori’. Menghirup napas dalam-dalam, Haruto tersenyum
menghirup aroma kayu yang sedikit tercampur bau keringat. Sejak kecil, Haruto
sudah diajari di dojo ini oleh kakeknya berdasarkan prinsip pendidikan
leluhurnya, sehingga dojo ini seperti rumah keduanya.
“Selamat pagi!”
Haruto naik ke dojo dan memberi hormat. Seorang
pria besar lalu menyapanya.
“Oh Haruto selamat pagi! Hari ini kamu datang juga
ya. Kalau kamu tidak ada, tidak ada lagi partner untuk latih tanding, jadi ngebosenin!”
“Selamat pagi Kazu-senpai.”
Pria yang dibalas salamnya oleh Haruto bertubuh
besar dengan tinggi hampir 2 meter. Rambutnya dipotong pendek dengan tiga garis
cukuran di samping.
Tatapan matanya tajam, dengan alis tipisnya yang
semakin menonjolkan ketajaman sorot matanya. Dan yang paling mencolok adalah
bekas luka sayatan dari pelipis hingga sudut bibirnya. Jika orang yang tidak
tahu apa-apa melihat pria ini, 10 dari 10 orang pasti akan mengira dia orang
dari dunia bawah. Lebih lagi, melihat bekas luka di wajahnya, pasti akan
merinding karena mengira dia pasti telah melewati banyak situasi berbahaya dan
tanpa sadar akan mengecek apakah jari-jari mereka masih lengkap.
Namun, Haruto tahu yang sebenarnya.
Hobinya adalah membuat kue dan luka mengerikan di
wajahnya itu didapat saat bermain dengan kucing liar. Dan kekhawatirannya
akhir-akhir ini adalah meskipun dia suka anak-anak, tapi anak-anak selalu
menangis ketakutan begitu melihatnya.
Haruto pernah menghabiskan waktu satu jam penuh
untuk menghibur dan menyemangatinya saat dia benar-benar terpuruk karena
kekhawatiran itu.
“Kalau aku pengen latih tanding, semua orang
menghindari aku.”
“Ya, julukan buruk Ishikura Kazuaki sudah menggema
di seluruh kota ini.”
“Temee, Hei! Jangan seenaknya memberiku julukan
buruk!”
Saat kepalanya dikunci oleh Ishikura, Haruto
meminta maaf berulang kali, “Maaf, maaf” tapi ada senyuman tersungging di
bibirnya. Ishikura yang mengunci kepalanya juga terlihat gembira sambil menekan
kepala Haruto dengan kepalan tangannya.
Ishikura yang satu tahun lebih tua dari Haruto dan
berlatih di dojo yang sama sejak kecil, bagi Haruto adalah senpai yang dapat
diandalkan. Sedangkan bagi Ishikura, Haruto adalah kouhai yang menggemaskan.
Keduanya menjadi wakil kepala instruktur dojo ini dan juga rival yang saling
memotivasi satu sama lain dengan kemampuan yang seimbang.
Saat Ishikura dan Haruto bercanda di pintu masuk
dojo, terdengar suara datar dari belakang mereka berdua.
“Kazu-senpai, Haru-senpai. Jangan bermesraan di
pintu masuk. Itu ngalangin.”
Ketika keduanya menoleh ke arah suara itu, seorang
gadis dengan wajah datar berdiri di pintu masuk dojo.
“Hoo, ada apa Shizuku? Cemburu pacar tersayangmu,
Haru-senpai diambil orang?” Ishikura menggoda si gadis dengan nada menggoda.
“Iya, aku cemburu. Jadi cepat menjauh
darinya.”
Gadis itu membalas dengan nada datar dan tatapan
mengintimidasi pada Ishikura. Ketika ditatap seperti itu, Ishikura melepas
kunciannya dari Haruto dan mengangkat kedua tangannya, sambil berpura-pura
gemetar ketakutan.
“Wah kowaii. Memang seperti putri tunggal Dojo
Doujima, kamu punya kharisma.”
“Aku tidak suka dibilang punya kharisma, itu
terdengar kayak nenek-nenek. Aku kan masih JK lincah dan penuh semangat.”
(Tln: JK
“Joshi kousei = gadis SMA”)
Dengan raut wajah serius (tanpa ekspresi), gadis
itu mengatakan candaan, membuat Haruto berkata dengan nada pasrah,
"Kenapa kamu menyebut dirimu sendiri ‘Lincah
dan semangat’ seperti itu?"
Haruto tidak sengaja menanggapi. Gadis itu lalu
menatapnya.
"Lalu, gimana cara Haru-senpai
mendeskripsikan kecantikan sempurnaku ini?"
"Yah, menyebut dirimu 'kecantikan sempurna'
juga agak berlebihan sih...Tapi ya udahlah. Kecantikan Shizuku lebih ke arah
gaya Jepang tradisional, jadi mungkin bisa dibilang 'yamato nadeshiko'?"
Haruto berkata setelah sekilas memandang
penampilan si gadis.
Gadis yang sedari tadi berekspresi datar dan
mengatakan hal-hal bercanda itu bernama Doujima Shizuku. Dia adalah putri
tunggal dari kepala instruktur dojo ini.
Ishikura, Haruto, dan Shizuku bertiga sudah
menjadi teman sedojo sejak kecil, dan Shizuku juga adalah junior Haruto di
sekolah yang sama.
Di sekolah Haruto, siswi yang mendapat popularitas
luar biasa dan mutlak dari para siswa laki-laki adalah Tojo Ayaka, teman
sekelas Haruto yang belakangan ini sering bertemu saat kerja paruh waktu.
Namun, gadis di hadapannya ini, Doujima Shizuku, juga cukup populer di kalangan
siswa laki-laki, terutama di angkatannya sendiri di kelas 1.
Shizuku, gadis cantik berambut hitam pendek itu,
mengangkat alisnya sedikit ketika Haruto menyebutnya 'yamato nadeshiko'.
"Apa dengan mengatakan itu, Haru-senpai
berniat menggodaku? Hah...ya sudahlah. Aku bersedia digoda dengan terpaksa.
Bersyukurlah."
"Lho, aku sama sekali tidak berniat menggoda
sedikitpun kok? Dan tolong jangan bercanda dengan tampang datar begitu."
Haruto berkata dengan nada menghela napas kepada
juniornya yang masih berwajah datar meski mengatakan hal bercanda. Shizuku lalu
sedikit menyunggingkan bibirnya.
"Haru-senpai nakal ya~"
"Makanya jangan pasang tampang datar
begitu."
"Hahaha! Shizuku, ekspresi wajahmu tadi keren
banget!"
Sementara Haruto menepuk jidatnya karena kelakuan
bercanda kouhainya yang seperti biasa, Ishikura tertawa terbahak-bahak melihat
tingkah keduanya.
Hubungan tiga orang yang tidak berubah sejak dulu
itu membuat sedikit rasa pahit yang tadi sempat singgah di dada Haruto pagi itu
menghilang sepenuhnya.
Setelah itu, seusai berkeringat di dojo hingga
mendekati siang, Haruto bersiap untuk pulang dengan mengganti pakaiannya dari
dogi ke pakaian biasa. Saat tengah berganti, Ishikura memanggilnya.
"Haruto, boleh minta tolong sesuatu?"
Di tangan Ishikura ada kotak tebal dari kertas
putih seperti tempat untuk membawa kue.
"Ya? Apa itu?"
"Begini, ini. Oh ya Shizuku! Kamu juga kesini
sebentar."
Ishikura juga memanggil Shizuku yang kebetulan
lewat di dekat mereka.
"Ada apa Kazu-senpai? Mau menyatakan cinta
padaku? Maaf, aku hanya setia pada Haru-senpai."
Mendengar kata-kata frontal kouhainya dengan
ekspresi polos itu, Haruto hanya bisa tersenyum masam. "Kalau kamu sedikit
malu-malu saat mengatakannya, mungkin aku akan sedikit tergoda. Tapi kalimat
blak-blakan dengan tampang datar begitu ya percuma saja."
Sambil menghela napas, Haruto berkata begitu. Lalu
Shizuku sedikit membungkukkan badannya, memiringkan kepalanya, dan memasang
pose centil sambil melirik Haruto dari sudut matanya.
"Gimana? Tergoda? Jatuh ke pesonaku?"
"...Shizuku, sebelum belajar pose begitu,
latih dulu otot wajahmu itu."
"Sepertinya Haru-senpai tidak akan puas
sebelum 'mewarnai' aku dengan selera pribadimu ya. Merepotkan."
"Hei kalian berdua. Jangan main-main terus, dengerin
permintaanku dulu."
Ishikura menyela obrolan Haruto dan Shizuku dengan
wajah pasrah. Haruto lalu menoleh dengan ekspresi serius.
"Kalau permintaan dari Kazu-senpai, akan aku
dengarkan apapun itu. Jadi, kelompok mana yang harus kita lenyapkan kali
ini?"
"Perintahkan saja, Wakil Ketua."
Shizuku pun dengan riang mengikuti candaan Haruto.
Meski biasanya tanpa ekspresi hingga sering
disalahpahami, sebenarnya Shizuku punya kepribadian yang cukup ceria dan sering
mengikuti lawakan Haruto seperti ini.
"Kalian ini ya...cepat hentikan itu, oke?"
Ishikura memberengut kepada kedua juniornya yang
terus menggodanya. Jika orang yang tidak mengenalnya melihat wajah garangnya
itu, bahkan orang dewasa pun mungkin akan menangis ketakutan melihat aura
mengancamnya. Namun, Haruto dan Shizuku yang sudah lama mengenalnya, menanggapi
tatapan galaknya dengan tenang. Bahkan Shizuku malah semakin menggoda Ishikura.
“Hei Kazu-senpai, juara wajah paling sangar
se-Jepang!”
“Siapa yang wajahnya sangar! Hah...ya sudahlah.
Pokoknya aku ingin kalian berdua mencoba ini.”
Ishikura lalu mengeluarkan tart buah mini dari
kotak yang sedari tadi dipegangnya.
“Eh? Kami boleh makan itu?”
“Kazu-senpai, aku bukan perempuan murahan yang
bisa dirayu dengan ini lho.”
“Ayo coba makan. Tuh kan Shizuku sudah memakannya
duluan! Benar-benar perempuan murahan!”
Melihat Shizuku dengan mata berbinar
menggembungkan pipi menyantap tart buah di sampingnya, Haruto pun mengambil
satu dan memakannya.
“Glek!? Ini enak banget lho! Beli di toko mana?”
Haruto membelalak merasakan kenikmatannya.
Krim custard dengan rasa manis yang pas, begitu
dikunyah meledakkan aroma telur yang kaya di dalam mulut. Kemudian rasa sedikit
asam dari buah-buahan menyegarkan dan menyeimbangkan manisnya krim. Tekstur
renyah dari kulit tart juga memberikan aksen yang sangat pas. Haruto
menghabiskannya dalam sekejap.
Melihat ke samping, Shizuku bahkan sudah
menghabiskan yang tart keduanya.
“Memangnya ada toko kue yang jual tart buah seenak
ini di sekitar sini?”
“Ah tidak, sebenarnya ini...buatanku.”
“Eh?” “Uhuk!!”
Mendengar pengakuan mengejutkan Ishikura, Haruto
terbengong dengan mulut terbuka lebar, sementara Shizuku tersedak tart buah
ketiganya.
“Eh!? Serius!? Ini? Buatan Kazu-senpai?”
“Kazu-senpai dengan wajah sangar yang bahkan bisa
mengubah gula jadi garam, membuat yang selezat, senikmat ini...”
“Wajahku tidak sangar dan aku tidak punya
kemampuan aneh seperti itu!!”
Geram dengan hinaan dari kedua juniornya, Ishikura
membentak dengan nada keras.
“Tapi Kazu-senpai, ini enak banget lho.
Kualitasnya tidak kalah dari yang dijual di toko kue.”
“Oh, begitu ya?”
Amarah Ishikura mereda mendengar pujian Haruto.
“Memang, ini sudah setara, mending langsung buka
toko aja. Nama tokonya ‘Gap of Lightning 893’ saja.”
“Ayo Shizuku, kita latih tanding sekarang.”
“Ah, aku harus bantu-bantu di rumah dulu.”
Seperti menyelamatkan diri dari Ishikura yang
mengancam, Shizuku berlari masuk ke rumahnya yang bersebelahan dengan dojo.
“Benar-benar dah tuh anak, padahal diem doang udah
imut, kok malah bertingkah ya.”
“Yah, memang begitulah Shizuku. Kalau dia jadi
pendiam dan tidak bercanda, itu malah agak menakutkan.”
“Benar juga.”
Ishikura menyetujui pendapat Haruto.
“Ngomong-ngomong tart buahmu tadi enak banget ya. Sejak kapan jadi jago bikin
kue begitu?”
Haruto tahu Ishikura memang hobi membuat kue, dan
buatannya memang sudah enak sejak dulu. Tapi rasanya yang tadi bahkan jauh
lebih lezat dari sebelumnya.
“Yah, jaman sekarang resep-resep gampang dicari di
internet kan? Tinggal lihat videonya juga. Jadi aku mencoba serius belajar
membuat kue.”
“Wah hebat. Lain kali ajarin aku juga buat itu ya?
Aku tidak terlalu berpengalaman bikin kue barat.”
“Oke, boleh. Kapan-kapan kita bikin kue bersama.”
“Oke, ide bagus. Ah aku juga harus pulang
sekarang. Harus kerja sambilan.”
Haruto melihat jam di dinding dojo.
Hari ini dia harus mulai bekerja sebagai asisten
rumah tangga di rumah keluarga Tojo yang baru saja menandatangani kontrak
dengannya.
“Oh iya, kamu mulai kerja sambilan selama liburan
musim panas ya?”
“Iya, begitulah. Jaa nee Kazu-senpai, sampai jumpa
lagi.”
“Yo, semangat kerjanya.”
Setelah berpamitan dengan Ishikura, Haruto
meninggalkan dojo.
Haruto pulang dulu ke rumah sebentar untuk
bersiap-siap sebelum berangkat ke rumah keluarga Tojo untuk kerja sambilannya.
Di perjalanan, dia teringat tart buah buatan Ishikura yang tadi dilahapnya.
"Kalau aku membuatkan tart untuknya, Ryouta-kun
pasti bakalan senang ya."
Haruto tersenyum membayangkan Ryouta tertawa
dengan polosnya.
"Aku cukup percaya diri bisa membuat
chawanmushi dan ohagi dengan enak, tapi untuk kue-kue barat masih sedikit
sulit."
Haruto tahu meskipun dia paham cara membuat kue
secara umum, itu saja tidak cukup untuk membuat kue yang benar-benar lezat.
Membuat hidangan manis tidaklah mudah.
"Padahal rasanya saja sudah semanis
itu."
Haruto bergumam hal yang tidak penting sambil
berjalan menuju rumah keluarga Tojo.
※
Tiba di depan rumah keluarga Tojo, Haruto menarik
napas panjang sebelum menekan bel interkom. Ini adalah kunjungan ketiganya
sebagai asisten rumah tangga, tetapi tetap saja dia sedikit grogi di awal.
Kegrogian Haruto seolah terbang jauh oleh suara
riang penuh semangat yang menyambutnya dari interkom.
"Onii-chaaaan!?"
Suara riang Ryouta terdengar, lalu diikuti teguran
dari kakaknya Ayaka.
"Ryouta! Bagaimana kalau bukan dia yang
datang! Harusnya pertama kali kamu tanya 'Dengan siapa?', lalu setelah itu baru
tanya 'Ada keperluan apa?', mengerti?"
"Tapi dari layarnya aku sudah tahu kalau itu
Onii-chan kok?"
"Tetap saja harus begitu caranya."
"Baiklah."
Mendengar percakapan kakak beradik Tojo dari
interkom, Haruto yang berdiri di depan pintu tidak bisa menahan senyum
"Fufufu."
Kemudian terdengar suara Ryouta yang mengikuti
pesan kakaknya.
"Dengan siapa Onii-chan?"
"Ahahaha...uhuk uhuk...Otsuki desu."
Cara Ryouta bertanya terdengar sangat lucu
sehingga membuat Haruto tertawa kecil yang kemudian disembunyikannya dengan
batuk.
"Onii-chan datang dengan keperluan apa?"
"Fuh...ya, saya datang sebagai asisten rumah
tangga untuk hari ini."
Usaha Ryouta mengikuti pesan kakaknya dengan
bahasa Jepang yang terdengar konyol lagi-lagi membuat Haruto tergelak menahan
tawa.
"Maaf Otsuki-kun, sebentar ya Ryouta akan
buka pintunya."
Sepertinya Ayaka juga menahan tawa, suaranya dari
interkom terdengar sedikit bergetar.
Langsung setelah itu, terdengar suara gaduh dari
balik pintu dan pintu pun terbuka dengan keras.
"Onii-chan!!"
"Hai, Ryouta-kun. Selamat siang."
Haruto membalas senyum lebar Ryouta dengan
senyuman ramah.
Rupanya Ryouta sudah menunggu kedatangan Haruto,
karena begitu bertemu dia langsung menarik lengan Haruto untuk menyeretnya
masuk.
"Onii-chan jadi tee-ki-kee-yaku kan? Jadi
sekarang Onii-chan akan selalu datang ke rumah ini?"
(Tln: kontak tetap / kontak langganan)
"Ehmm, tidak selamanya sih, tapi selama
liburan musim panas aku bisa bertemu Ryouta-kun."
"Tee-ki-kee-yaku itu selama liburan musim
panas?"
"Ahaha, begitulah."
Ryouta sepertinya memahami secara umum tentang
kontrak langganan, karena dia terus mengulang "tee-ki-kee-yaku"
dengan riang.
Kontrak asisten rumah tangga langganan yang Haruto
tandatangani dengan keluarga Tojo berbunyi tiga kali seminggu, satu kali tiga
jam.
Dengan lengannya ditarik-tarik Ryouta, Haruto
masuk ke ruang keluarga dan melihat Ikue yang tengah bekerja dari rumah di meja
makan dengan laptopnya, serta Ayaka yang duduk di sofa.
"Selamat datang Otsuki-kun. Hari ini mohon
bantuannya lagi ya."
Ikue menyapa setelah mengangkat wajah dari laptopnya.
"Ya, mohon bantuannya."
Haruto membungkuk dalam, lalu menegakkan tubuhnya
menghadap Ikue.
"Terima kasih sudah menandatangani kontrak langganan
kemarin. Saya akan berusaha keras memberikan layanan asisten rumah tangga yang
memuaskan, mohon kerjasamanya ke depannya."
Haruto membungkuk dalam sekali lagi, membuat Ikue
terlihat geli.
"Ah tidak perlu seformal itu. Santai saja,
itu lebih enak buat semuanya. Iya kan Ayaka?"
"Eh? Ah iya, kalau Otsuki-kun terlalu formal
rasanya tidak enak juga sih."
“Lihat! Ayaka juga mengatakan begitu.”
Setelah mendapat persetujuan dari putrinya, Ikue
tersenyum lebar kepada Haruto.
“Yah... Aku berharap dapat menanganinya dengan
baik.”
Haruto tersenyum masam menanggapi permintaan Ikue.
Bagi Haruto yang datang ke kediaman Tojo hanya
untuk bekerja, permintaan untuk bersikap santai adalah sesuatu yang cukup
kejam.
Karena jika diterima dengan baik oleh keluarga
‘idol sekolah’ Tojo Ayaka, sebagai seorang remaja pria, Haruto mungkin akan
salah paham.
Agar hal itu tidak terjadi, ia ingin menegaskan
hubungan mereka sebagai klien dan staf pembantu rumah tangga.
Namun, sepertinya keluarga Tojo ingin bersikap
akrab dengan Haruto.
Ryouta, yang paling ingin bersikap akrab, sekali
lagi menarik lengan Haruto.
“Nee nee, Onii-chan. Mau bersihin jendela lagi?”
“Itu sudah dilakukan sebelumnya, jadi hari ini
tidak usah, oke?”
Ryouta menatapnya dengan tatapan penuh harap.
Haruto memasang ekspresi bingung dan melirik ke arah Ikue. Melihat tatapan
Haruto, Ikue terkikik melihat Ryouta yang menempel di samping Haruto, lalu
menyampaikan permintaannya untuk hari ini.
“Hari ini, bisakah kamu membersihkan gudang di
luar? Setelah selesai, bisakah kamu menemani Ryouta hingga waktunya memasak
makan malam nanti?”
“Dimengerti.”
Haruto mengangguk menyetujui permintaan Ikue, lalu
membungkuk berbicara dengan Ryouta yang menatapnya.
“Ryouta-kun, setelah selesai membersihkan, kita
main bersama, oke?”
“Benarkah!?”
Ryouta melompat kegirangan mendengar ucapan
Haruto. Melihat adiknya begitu, Ayaka hanya tersenyum masam.
“Nah Ryouta, bermainlah dengan Onee-chan dulu
sementara Otsuki-kun membersihkan gudangnya.”
“Oke!”
Ayaka menarik tangan Ryouta, memisahkannya dari
Haruto.
“Ikue-san, di mana letak gudang yang harus aku
bersihkan?”
Mendengar pertanyaan Haruto, Ikue menutup
laptopnya dan berdiri.
“Aku akan mengantarmu. Ayo ikuti aku.”
Ikue lalu keluar dari pintu depan. Sebagai rumah
mewah, kediaman Tojo memiliki lahan yang cukup luas. Di sudut lahan itu
terdapat gudang berukuran cukup besar.
“Aku ingin gudang ini dibersihkan. Sebenarnya aku
ingin meminta suamiku, Shuichi-san, tapi dia selalu sibuk bekerja.”
Ikue membuka pintu gudang sambil berkata
demikian.
“Cukup penuh juga ya di dalam.”
Haruto mengintip ke dalam gudang dari belakang
Ikue.
“Ya, barang yang tidak terpakai selalu dimasukkan
ke sini, terus jadi penuh begini.”
Ikue mengusap dagunya dengan ekspresi kebingungan.
Di dalam gudang terdapat kereta bayi yang mungkin
sudah tidak terpakai lagi, serta sepeda roda satu usang yang mungkin pernah
dinaiki Ayaka kecil dulu. Dan di dekat dinding, terdapat tumpukan pakaian yang
tingginya hampir mencapai langit-langit.
“Mau dengan cara seperti apa membersihkan gudang
ini?”
“Benar, bisakah kamu mengeluarkan semua barang
dari dalam gudang dulu? Setelah itu, aku akan memisahkan barang yang diperlukan
dan yang tidak diperlukan.”
“Dimengerti. Kalau begitu, aku akan mengeluarkan
semua barang dari dalam gudang dan menatanya di depan gudang.”
“Ya, tolong ya Otsuki-kun.”
Ikue tersenyum ramah, lalu mempercayakan perapian
gudang kepada Haruto dan kembali ke dalam rumah. Setelah mengantar kepergian
Ikue, Haruto menggulung lengan bajunya dengan semangat.
“Yosh, ayo mulai!”
Haruto mengeluarkan barang-barang dari gudang dan
menatanya di luar satu per satu mulai dari yang terdekat. Saat itu, dia
mengelompokkan barang-barang sesuai jenisnya agar memudahkan proses memilah
nantinya.
Sambil mengeluarkan rice cooker usang, Haruto
bergumam sendiri,
“Menyimpan barang-barang seperti ini, apakah
keluarga Tojo termasuk orang yang pelit ya?”
Shuuichi dan Ikue sama-sama pengusaha, jadi tentu
saja mereka terhitung orang kaya. Namun, Haruto tidak merasakan aura
kesombongan dari keduanya. Tentu saja, anak-anak mereka Ayaka dan Ryouta juga
tidak memperlihatkan sikap manja atau sombong seperti anak-anak orang kaya pada
umumnya.
Sebenarnya, sebelum bekerja sambilan di rumah
keluarga Tojo ini, Haruto sama sekali tidak tahu kalau Ayaka adalah putri orang
kaya.
“Aku jadi ingin melihat Tojo-san berperan sebagai Ojou-sama
dari keluarga orang kaya.”
Haruto membayangkan Ayaka tertawa angkuh
“Oh~hohhohhoh” dan tersenyum sendiri.
Tiba-tiba dari belakangnya terdengar suara
memanggil.
“Otsuki-kun.”
“Hah!? A-ah, Tojo-san, ada apa?”
Ayaka muncul tiba-tiba dari belakang saat Haruto
sedang membayangkan khayalan anehnya, membuatnya terkejut dan salah tingkah
menjawab.
“Ah, maaf. Aku memanggilmu tiba-tiba dari
belakang.”
“Ah tidak apa-apa.”
Haruto melambaikan tangannya melihat Ayaka tampak
menyesal telah mengagetkannya.
“Begini, Mama bilang tidak masalah kalau hanya
setengahnya saja yang dirapikan hari ini karena itu terlalu banyak.”
“Ah tidak, mengeluarkan semua barang dari dalam
gudang saja tidak akan butuh waktu lama. Jadi aku akan menyelesaikan semuanya
hari ini.”
Mendengar itu, Ayaka menatap Haruto dengan tatapan
kagum.
“Otsuki-kun kuat dan punya banyak tenaga ya.
Jangan-jangan kamu rutin latihan angkat beban?”
“Ah tidak, ini masih standar untuk laki-laki biasa
kok.”
“Benarkah?”
Ayaka sedikit memiringkan kepalanya memandangi
Haruto, membuat pemuda itu merasa malu dan menjawab pelan sambil memalingkan
wajahnya, “Iya, begitulah.”
“Ah! Ternyata sepeda roda satunya disimpan di
sini.”
Ayaka melihat sepeda roda satu di dalam gudang,
lalu melewati Haruto dan masuk ke dalam. Dia mengelus sepeda itu dengan senyum
penuh kenangan.
“Dulu, kamu sering bermain dengan itu waktu kecil
ya?”
“Ya, sepertinya itu hadiah ulang tahunku saat
kelas 1 atau 2 SD, pemberian dari Papa.”
Ayaka berkata sambil membelai sepedanya dan
bergumam, “Rasanya sudah lama sekali ya.”
“Kira-kira masih bisa naik sepeda roda satu gak ya?
Hei Otsuki-kun, boleh aku mencobanya sebentar?”
Haruto mengangguk sambil tersenyum melihat wajah
bersemangat Ayaka. Setelah mendapat persetujuan Haruto, Ayaka segera
mengeluarkan dan menaiki sepeda roda satunya.
“Wah, rasanya naik sepeda roda satu memang seperti
ini ya?”
“Kamu baik-baik saja? Jangan sampai jatuh lho.”
“Ah! Otsuki-kun meremehkanku ya?”
Mendengar itu, Ayaka menggembungkan pipinya dengan
lucunya. Melihat reaksi menggemaskan itu, Haruto tertawa dan meminta maaf,
“Maaf.”
“Aku dulu cukup jago naik sepeda roda satu lho.
Lihat aja nanti.”
Ayaka berkata begitu lalu mengayuh sepeda roda
satunya dengan mantap. Dengan merentangkan kedua tangannya untuk menjaga
keseimbangan, dia berkeliling mengelilingi Haruto dengan lihai.
"Wah, kamu benar-benar hebat."
"Fufuun, iyakan?"
Ayaka berkeliling mengelilingi Haruto dengan
ekspresi bangga. Namun tiba-tiba, mungkin karena sudah bertahun-tahun tidak
digunakan, bantalan roda sepedanya menjadi tidak bagus. Terdengar bunyi gesekan
yang aneh dari rodanya, lalu tiba-tiba saja rodanya menjadi berat untuk
diputar. Ayaka yang tidak sengaja menginjak rem menjadi kehilangan keseimbangan
dan terjatuh.
"Kyaa!?"
"Awas!!"
Ayaka memekik kecil.
Dengan gesit, Haruto merentangkan tangannya dan
menangkap Ayaka dalam pelukannya dari samping, mencegahnya membentur tanah.
"Kamu tidak apa-apa?"
Haruto menghela nafas lega karena berhasil
mencegah Ayaka terluka, lalu bertanya padanya. Ayaka yang masih terkejut hanya
bisa mendongak menatap Haruto yang mendekapnya.
"I-iya. Haa...kaget banget. Terima kasih
Otsuki-ku...Eh!?"
Ayaka tiba-tiba terdiam di tengah kalimatnya.
Bersamaan dengan itu, dia mematung sambil menatap lekat wajah Haruto.
“Ada apa? Apa kamu terluka?”
“......Tidak. Aku baik-baik saja...”
“Err... Ah! Maafkan aku!”
Melihat Ayaka memberikan jawaban yang sedikit
melamun, Haruto mengernyitkan dahi, tetapi segera menyadari bahwa dirinya
sedang mendekap Ayaka dengan erat, lalu dengan gugup melepaskan pelukannya.
“Maaf. Aku seenaknya memelukmu.”
“O-Otsuki-kun tidak perlu minta maaf! Kalau kamu
tidak menangkapku, aku bisa terluka. Jadi... terima kasih, Otsuki-kun.”
“Ah tidak, sama-sama...”
“Ya....”
Suasana canggung menyelimuti keduanya. Di tengah
situasi itu, Ayaka berusaha memulai pembicaraan dengan kikuk.
“Umm... Aku ke sini hanya untuk menyampaikan pesan
dari Mama! Jadi... B-berjuanglah dengan pekerjaanmu!”
Ayaka memaksakan mengakhiri percakapan, lalu
berbalik dengan sedikit tergesa-gesa dan masuk kembali ke dalam rumah.
Haruto memandangi punggung Ayaka sambil bergumam
lirih,
“Rasanya lembut banget...”
Butuh beberapa menit baginya untuk kembali
melanjutkan perapian gudang.
※
Dengan satu tangan menekan dadaku, aku bersandar
di pintu depan, berusaha menenangkan detak jantungku yang berdegup kencang
sejak tadi.
Ke-kenapa? Kenapa jantungku berdegup sekencang
ini?
Otsuki-kun menangkapku saat aku hampir terjatuh
dari sepeda roda satu. Aku dapat merasakan kekuatan yang menguar dari lengannya
yang kekar saat itu. Dan ekspresi khawatir di wajahnya yang begitu dekat
denganku. Hanya dengan mengingatnya, hatiku terasa tersayat oleh perasaan yang
menyakitkan.
Aku berusaha menenangkan diri dengan bernapas
dalam-dalam beberapa kali di depan pintu. Lalu terdengar suara Mama dari ruang
keluarga.
“Ayaka? Sudah menyampaikannya ke Otsuki-kun?”
“Ah, ya...”
Aku menarik napas dalam-dalam sekali lagi sebelum
menuju ruang keluarga.
Tenang, detak jantungku sudah mulai mereda. Pasti
hanya karena kaget hampir jatuh tadi, makanya detak jantungku memburu. Ya,
pasti hanya itu. Sudah pasti begitu.
“Otsuki-kun bilang apa?”
Begitu memasuki ruang keluarga, Mama yang sedang
mengerjakan pekerjaan di laptopnya bertanya padaku.
“Dia bilang tidak akan memakan waktu lama, jadi
akan menyelesaikannya hari ini.”
“Wah begitu? Anak muda memang punya banyak tenaga
ya.”
Mama memuji Otsuki-kun dengan nada kagum.
Sepertinya Mama benar-benar menyukai Otsuki-kun.
Dia benar-benar mempercayai Otsuki-kun yang melakukan pekerjaan membersihkan
dan memasak dengan sempurna.
Padahal Mama baru dua kali bertemu Otsuki-kun,
tapi sudah menyukainya sejauh itu. Sebagai pembisnis yang mengawasi banyak
orang, biasanya Mama cukup ketat dalam menilai seseorang. Tapi Mama mengakui
kemampuan Otsuki-kun.
Berarti Otsuki-kun benar-benar orang yang sangat
berbakat ya? Ah iya, kalau tidak salah dia juga peringkat pertama di kelas.
Ditambah kemampuannya dalam pekerjaan rumah tangga yang sempurna, dan sikapnya
yang ramah sampai disukai Ryouta... Eh? Jangan-jangan Otsuki-kun terlalu
hebat?
“Ayaka?”
“Ya, Mama?”
“Wajahmu memerah, apa ada sesuatu terjadi dengan
Otsuki-kun? Hmm?”
“Eh!? Ti-tidak ada apa-apa kok!”
Tidak tahan dengan tatapan menyelidik Mama, aku
mengalihkan pandanganku. Mama memang suka menggodaku soal Otsuki-kun
sebelumnya, tapi kali ini aku tidak mau digoda. Kalau digoda soal Otsuki-kun
sekarang, aku merasa hatiku akan kacau balau.
“Onee-chan, apakah Onii-chan belum selesai
bersih-bersih?”
“Eh? Ah iya, mungkin masih butuh waktu sebentar
lagi.”
“Aku ingin cepat-cepat bermain dengan Onii-chan.”
Ryouta benar-benar mengidolakan Otsuki-kun. Sejak
kemarin membantunya bersih-bersih, Ryouta jadi sangat dekat dengannya.
Yah memang, Otsuki-kun itu bersikap lembut dan
tenang, jadi wajar kalau Ryouta jadi menyukainya. Saat menemani Ryouta,
Otsuki-kun seperti kakak yang baik hati dan perhatian, agak terlihat...
menawan?
...Ah, wajahku jadi terasa agak panas begitu
mengingatnya. Kenapa ya?
Kenapa ya... setiap kali aku memikirkan
Otsuki-kun, dadaku terasa sesak dan wajahku memanas.
Eh? Jangan-jangan ini artinya... aku menyukai
Otsuki-kun...?
“Tidak tidak tidak! Itu mustahil! Tidak mungkin!!”
Aku menolak mentah-mentah jawaban yang muncul di
kepalaku.
“Onee-chan, kenapa?”
“Ti-tidak apa-apa! Ah! Benar juga! Aku ada banyak
PR liburan musim panas yang harus dikerjakan hari ini, jadi aku harus kembali
ke kamar! Boleh kan, Mam?”
“Oh begitu? Kalau gitu, Ryouta main sama Mama aja
ya.”
“Ya!”
Aku menyerahkan Ryouta pada Mama. Lalu dengan
terburu-buru aku meninggalkan ruang keluarga dan masuk ke kamarku di lantai
dua, aku langsung menerjunkan diri ke atas tempat tidur.
“Uuh...”
Aku membenamkan wajah ke bantal dan mengeluarkan
erangan tanpa arti.
Kenapa aku jadi berdebar-debar begini?
Pasti bohong kan? Ini pasti bohong kan? Aku
menyukai Otsuki-kun?
“Tunggu! Tenangkan dirimu dulu!”
Aku bernapas dalam-dalam di atas tempat tidur
untuk menenangkan diri.
“Pikirkan dengan kepala dingin.”
Ya, pikirkan dengan kepala dingin, Ayaka.
Memang, Otsuki-kun mungkin punya daya tarik
tersendiri. Sikapnya tenang dan sopan, tidak terburu-buru, sepertinya tidak
menilai orang dari penampilan luar saja, sangat disukai Ryouta, perhatian dan
baik hati, jago masak, jago bersih-bersih, ternyata cukup berotot mungkin
karena rajin berolahraga, ah ya Mama dan Papa juga menyukainya... Eh?
Otsuki-kun sebenarnya... sangat menarik?
“Stop! Stoooop!! Jangan terburu-buru! Ya, harus
dipikirkan dengan tenang dan hati-hati!”
Otsuki-kun memang menarik dalam banyak hal. Aku
akui itu. Ya, terpaksa mengakuinya kan?
Masalahnya, apakah aku menyukainya atau
tidak.
Aku meletakkan tangan di dada dan memikirkannya.
Bagaimana ya... menyukai Otsuki-kun... Mungkin
masih terlalu dini untuk mengatakannya?
Karena, untuk menyukai seseorang butuh waktu yang
lebih lama kan? Kalau tidak, sama saja dengan cinta pada pandangan pertama yang
selama ini kusebut tidak masuk akal.
Aku jatuh cinta pada pandangan pertama pada
Otsuki-kun? Tidak tidak, itu tidak mungkin! Pasti tidak!
“...Tidak mungkin...kan?”
Aah! Sudahlah!! Aku tidak mengerti! Aku tidak
mengerti perasaanku sendiri! Rasanya membingungkan!
Kenapa? Kenapa aku jadi merasa seperti ini?
Gara-gara kejadian jatuh dari sepeda roda satu tadi? Aku jadi menyukainya
karena dipeluk Otsuki-kun?
“Mana mungkin begitu? Aku kan hanya dipeluk
sebentar? Lagipula Otsuki-kun melakukannya untuk menyelamatkanku.”
Idealku dalam mencintai seseorang adalah, dari
sekedar saling menyapa, lalu semakin dekat dan menjadi teman akrab, saling
mengenal, kemudian menyadari perasaan cinta.
Mana mungkin aku bisa jatuh cinta hanya karena
dipeluk setelah hampir jatuh dari sepeda roda satu? Itu seperti jatuh cinta
karena kecelakaan saja!
“Kalau memang aku harus menyukai Otsuki-kun,
pertama-tama kami harus menjadi teman terlebih dulu. Lalu setelah dekat, baru
menjadi sepasang kekasih. Ya, itulah yang disebut cinta yang sehat.”
Aku menyilangkan tangan dan mengangguk-angguk
sendiri.
Eh, tunggu? Apa aku tidak sedang membayangkan
tentang menjadi kekasih Otsuki-kun dengan semua ini?
Jangan-jangan ini artinya... aku memang menyukai
Otsuki-kun...
“Aaahh tidak!! Bukan begitu!!”
Masih terlalu cepat! Terlalu cepat untuk
menyukainya, aku bahkan belum mengenalnya dengan baik. Ya! Aku sama sekali
tidak mengenal Otsuki-kun! Mana mungkin aku menyukainya! Itu tidak masuk
akal!
Karena kalau aku menyukainya, itu artinya aku
ingin menjadi kekasihnya kan?
Jika Otsuki-kun menjadi kekasihku...
“...Keluargaku menyukainya, jadi mungkin... tidak
mustahil...”
Membayangkannya saja sudah membuat wajahku
memanas.
Merasa malu, aku menutupi wajah dengan kedua
tangan sambil menggelengkan kepala untuk mengalihkan pikiran. Saat itulah,
terdengar suara tawa riang Ryouta dari ruang keluarga.
Otsuki-kun pasti sudah menyelesaikan perapian
gudang. Dan sekarang dia pasti sedang menemani Ryouta bermain.
Enak ya Ryouta bisa jujur dengan perasaannya. Dia
bisa dengan mudah mengatakan “Aku suka Onii-chan!”.... Eh! Apa yang aku
pikirkan?! Meski aku jujur dengan perasaanku sendiri, aku tidak akan pernah
mengatakan “Aku suka Otsuki-kun!” Lagipula aku bahkan belum menyukainya!
...Mungkin....
Aahh sudahlah! Sebenarnya alasan aku jadi terlalu
memikirkan Otsuki-kun adalah karena Saki bilang “Ayaka dan Otsuki-kun cocok”,
dan Mama bertanya “Apa kamu jatuh cinta pada Otsuki-kun?”
Makanya aku jadi terlalu memikirkan Otsuki-kun
seperti ini!
Saat aku memikirkan hal itu, pandanganku tertuju
pada komik-komik percintaan yang tersusun di rak buku. Tiba-tiba aku mendapat
sebuah ide.
“Nah, benar juga! Aku harus memastikan perasaanku
sendiri!”
Dalam komik percintaan, sang heroine yang jatuh
cinta akan berdebar-debar hanya dengan bertatapan dengan pria yang dicintainya,
dan merasa bahagia hanya dengan mengobrol dengannya.
Kalau aku bertatapan atau mengobrol dengan
Otsuki-kun nanti, akankah aku berdebar-debar dan merasa bahagia seperti heroine
dalam komik itu?
Jika tidak ada perubahan dalam hatiku, itu artinya
aku memang belum menyukai Otsuki-kun kan?
Tapi sebaliknya, jika aku merasa berdebar-debar
karena Otsuki-kun, itu berarti... ya, itu artinya...
“Kalau begitu aku harus... bagaimana ya...” Aku
belum pernah menyukai seseorang sebelumnya, jadi aku tidak tahu harus melakukan
apa.
“...Yah, mungkin aku akan memikirkannya nanti
saja. Yang terpenting adalah memastikan perasaanku dulu.”
Saat aku memutuskan untuk memastikan perasaanku
pada Otsuki-kun, aku mendengar suara Mama dari lantai bawah.
“Ayaka, Ryouta bilang dia ingin ikut Otsuki-kun
berbelanja lagi. Apa kamu bisa temani mereka?”
“Baik, aku mengerti! Aku akan segera ke sana!”
Kebetulan aku punya alasan untuk pergi bersama
Otsuki-kun, jadi aku bisa memastikan perasaanku dengan bertatapan dan mengobrol
dengannya nanti!
Dengan tekad dalam hati, aku bersiap-siap untuk
pergi, lalu keluar dari kamar dan menuju ke depan. Di sana, Otsuki-kun dan
Ryouta sudah menungguku.
“Onee-chan lama banget!”
“Ryouta yang terlalu terburu-buru.”
Seperti kemarin, adikku berkata begitu padaku saat
aku sedang mengganti sepatu untuk pergi. Aku pun menjawab seadanya.
“Onii-chan, apa artinya terburu-buru?”
“Terburu-buru artinya mencoba mengerjakan sesuatu
dengan tidak sabar.”
Otsuki-kun menjawab pertanyaan Ryouta dengan
senyuman lembut dan penjelasan yang baik. Tanpa sadar, pandanganku tertuju pada
tangan mereka berdua.
Bahkan sebelum kami keluar, mereka sudah
bergandengan tangan.
Otsuki-kun mungkin hanya menggandeng tangan Ryouta
agar dia tidak tiba-tiba berlari ke jalan dan tertabrak kendaraan. Tapi entah
kenapa, aku merasa sedikit terganggu... “Kalau begitu, ayo kita berangkat.”
Otsuki-kun berkata begitu sambil menggandeng
tangan Ryouta keluar. Aku pun mengikuti di belakang mereka berdua.
Dengan perasaan cemas, berharap, takut, dan
sedikit bersemangat untuk memastikan perasaanku, aku menatap punggung
Otsuki-kun yang berjalan di samping Ryouta.
※
Di perjalanan menuju supermarket, aku bertanya
pada Otsuki-kun tentang menu makan malam hari ini.
“Otsuki-kun, kamu akan memasak apa untuk makan
malam hari ini?”
“Aku berencana membuat oden dingin (hiyashi
oden).”
Otsuki-kun menjawab sambil menggendong Ryouta,
membuatku terkejut.
“Oden bisa dimakan dengan cara seperti itu?”
Selama ini aku mengira oden dimakan dalam keadaan
panas di musim dingin. Ide memakan oden yang didinginkan di tengah musim panas
seperti ini agak di luar nalar.
“Aku yakin pasti akan terasa enak, jadi kalian
pasti akan menyukainya.”
Otsuki-kun tersenyum padaku.
Di balik senyuman lembutnya yang teduh, terselip
sedikit ekspresi percaya diri, membuatku bertatapan dengannya dan mendadak
merasakan debaran kencang di dadaku.
Eh?! Tu-tunggu dulu?! Apa aku baru saja merasakan
debaran di dadaku?! Apa ini yang disebut “doki-doki”?!
(Tln: doki doki = berdebar-debar ato deg degan)
Kalau begitu, artinya aku...
Tidak tidak tidak tidak! Tunggu, aku masih belum
mengerti!
Yang tadi itu bukan karena aku terpana melihat
ekspresi Otsuki-kun, itu mungkin hanya karena aku terkejut dengan nama makanan
“hiyashi-oden” yang tak terduga! Ya, pasti begitu. Ya, debaran ini adalah
debaran untuk “hiyashi-oden”. Fuuh~ Hampir saja aku salah paham.
“Onii-chan, di oden itu ada telurnya?”
“Ada. Ryouta-kun suka telur?”
“Ya! Suka telur!”
Ryouta berkata dengan riang di atas kepala
Otsuki-kun. Dari suasana menyenangkan yang mengalir di antara mereka berdua,
aku mendapat impresi yang samar.
Sepertinya Otsuki-kun akan menjadi ayah yang baik
nanti...
“Onee-chan? Kenapa wajahmu aneh?”
“Hah!? Bu-bukan wajah aneh kok! Biasa saja biasa!”
“Tidak biasa! Tadi wajahnya Onee-chan aneh!
Seperti wajah deheehee~ gitu!”
“Deheehee~ itu wajah yang seperti apa? Kalau
Ryouta bicara yang aneh-aneh, nanti Onee-chan marah lho?”
“Aku tidak aneh! Yang aneh itu Onee-chan!
Onii-chan juga lihat kan? Wajah aneh Onee-chan. Wajah deheehee~ itu.”
Hei! Jangan libatkan Otsuki-kun di sini!
“kurasa aku tidak melihatnya. Kita sudah sampai
supermarket, gimana kalau Ryouta-kun turun dulu” Otsuki-kun yang ditanyai
seperti itu mengalihkan pembicaraan dan menurunkan Ryouta dari
gendongannya.
Syukurlah, Otsuki-kun tidak melihatnya... tapi
biar bagaimanapun aku harus menegaskannya lagi.
“Otsuki-kun. Aku sama sekali tidak membuat wajah
aneh kok?”
“Ya, sepertinya sulit membayangkan Tojo-san
membuat wajah aneh dengan wajah cantik seperti itu.”
“Eh!?”
Kenapa dia tiba-tiba memuji seperti itu!? Ah iya,
kemarin juga Otsuki-kun bilang aku manis secara spontan kan? Jangan-jangan
Otsuki-kun itu polos? Ini bahaya, aku harus waspada!
“Hari ini mau beli bahan apa Otsuki-kun?”
Dengan menyembunyikan ketidaktenangan di hati, aku
bertanya padanya dengan nada biasa.
“Benar. Telur sudah ada di kulkas, yang perlu
dibeli adalah wortel, tomat, dan labu sudah dibeli satu buah kemarin. Setelah
itu tinggal beli bahan olahannya seperti bakso daging”
“Oden pakai tomat?”
“Ya, bisa juga pakai jagung kalau mau.”
Bahan-bahan yang disebutkan Otsuki-kun sangat di
luar dugaan, aku jadi tidak bisa membayangkan hiyashi-oden ini.
“Jangan-jangan hiyashi-oden itu resep asli
Otsuki-kun ya?”
“Ah bukan, tinggal searching aja di Internet
resepnya banyak kok?”
Sesuai perkataannya, begitu aku searching di
ponsel, beberapa resep langsung muncul.
“Oh iya benar, di bahan-bahannya tertulis tomat.”
“Kan? Kuah oden dan tomat itu cocok lho?”
“Hee... begitu ya”
Sekali lagi Otsuki-kun tersenyum ramah ke arahku.
Entah kenapa aku tidak bisa menatap senyum itu dan memalingkan wajah.
Ah, kenapa sih aku menghindari tatapannya!
Seharusnya aku menatap mata Otsuki-kun dan memperjelas perasaanku sendiri kan!
“Onii-chan! Itu wortelnya!”
“Hari ini 158 yen ya...”
“Murah? Mahal?”
“Hmm, buat harga di musim ini termasuknya murah
sih, tapi kadang lebih murah lagi”
Otsuki-kun menatap label harga wortel dengan
ekspresi serius. Selagi pandangannya terfokus pada wortel, dengan jantung
berdebar aku mengamati wajah sampingnya dengan seksama.
Hmm, gimana ya? Apakah jantungku berdebar?
Aku meletakkan tangan di dada untuk memeriksa
denyut nadinya.
Sedikit lebih cepat dari biasanya... mungkin? Tapi
rasanya bukan debaran karena jatuh cinta....
Tidak jelas. Sebaiknya aku perhatikan Otsuki-kun
dari lebih dekat lagi.
Begitu terpikirkan, tiba-tiba pandangan Otsuki-kun
beralih dari label harga wortel ke arahku. Saat itu juga, di mana aku sedang
memandangi wajah sampingnya, mata kami bertemu langsung.
“--!!”
Saat mata kami bertemu, jantungku serasa berhenti
berdetak karena berdebar sangat kencang.
“Tojo-san.”
“Hyaa!”
Ah! Aku memberikan respon aneh! Aku malu sekali
rasanya ingin mati...
“Apakah kita akan membeli wortel ini?”
“Ah, umm... Ya, aku rasa kita akan membelinya.
Oden butuh wortel...”
“Ya, benar.”
Otsuki-kun mengangguk menanggapi pendapatku, lalu
mengambil sebuah wortel dari rak dan memasukkannya ke keranjang belanjaan.
Fiuhhh~ Aku terkejut. Atau lebih tepatnya,
responku tadi... Hyaa! Apa apaan itu... Aku ingin langsung kembali ke kamar dan
menyelam ke tempat tidur sekarang juga.
Eh? Tunggu sebentar? Tadi saat mata kami bertemu,
jantungku berdebar kencang kan? Aku seperti tokoh heroine dalam manga?
Kalau begitu... Berarti aku benar-benar jatuh
cinta...
Tunggu tunggu tunggu! Aku masih belum yakin!
Tadi mungkin aku hanya terkejut karena tiba-tiba
mata kami bertemu. Ya, pasti begitu. Jantungku berdebar karena terkejut, itu
saja.
Nanti ya. Nanti jika mata kami bertemu lagi dan
jantungku masih berdebar, baru saat itu... saat itulah aku benar-benar akan
menilai perasaanku sendiri. Ya, aku akan melakukan itu.
Aku menghembuskan nafas untuk menenangkan diri.
Lalu saat itu aku merasa Ryouta menatapku, jadi aku menoleh dan Ryouta di
samping Otsuki-kun sedang menatapku lekat-lekat.
“A-ada apa Ryouta?”
“Tidak, tidak ada apa-apa.”
Ryouta berkata begitu lalu memalingkan wajahnya
dariku. Ja-jangan-jangan sikapku terlihat aneh? Aku terlihat mencurigakan
hingga membuat Ryouta curiga? Ah iya, aku juga khawatir kalau Ryouta mengatakan
hal yang tidak perlu pada Otsuki-kun...
“Tojo-san. Selanjutnya kita cari bahan olahan oke?”
“Ah, ya, baiklah”
Otsuki-kun yang baru saja memasukkan tomat ke
keranjang melihat ke arahku dan berbicara. Aku refleks mengalihkan pandangan
dengan kikuk.
Hampir saja... Hampir saja mata kami bertemu lagi.
Karena aku belum siap, aku tidak bisa bertatapan dengan Otsuki-kun sekarang.
Soalnya saat perasaanku masih kacau seperti ini,
aku tidak bisa mengambil keputusan dengan jernih. Aku harus menilai perasaanku
dalam keadaan tenang. Pertama, aku harus menenangkan debaran jantung yang
mengganggu ini dulu.
Meski berpikir begitu, selama berbelanja bersama
Otsuki-kun, jantungku terus berdebar hingga akhirnya aku pulang tanpa bisa
menilai perasaanku sendiri.
“Kalau begitu aku akan mulai menyiapkan makan
malam.”
“Ah...ya, silakan.”
Otsuki-kun berkata begitu lalu membawa belanjaan
ke dapur.
Bagaimana ini, kalau begini terus aku tidak akan
pernah bisa memperjelas perasaanku.
Aku memegang dadaku yang terus berdebar sedari
tadi. Lalu, Mama yang sedang mengerjakan pekerjaan di meja makan berterima
kasih padaku. “Terima kasih ya Ayaka. Kamu sudah mau nemenin belanja hari ini
dan kemarin.”
“Ah tidak apa-apa, tidak usah dipikirkan.”
“Ngomong-ngomong kamu pasti banyak PR hari ini
kan? Ryouta biar Mama yang awasi, kamu kembali ke kamar aja.”
“Eh? Ah... Sebenarnya PRnya sudah lumayan banyak
yang selesai tadi, jadi hari ini sudah tidak apa-apa.”
“Begitu ya?”
Jika aku kembali ke kamar sekarang, aku tidak bisa
mencapai tujuan penting untuk bertatapan dengan Otsuki-kun dan memperjelas
perasaanku. Kalau begitu malam ini aku pasti akan penasaran apakah aku menyukai
Otsuki-kun atau tidak hingga tidak bisa tidur.
Ya sudah, aku harus memberanikan diri dan
bertatapan dengan Otsuki-kun. Ya, aku akan melakukannya!
Aku perlahan mendekat ke arah Otsuki-kun yang
berdiri di dapur. Setiap melangkah mendekat, rasanya debaran jantungku makin
kencang.
Tapi jika aku lari sekarang, kapan lagi aku bisa
memperjelas perasaanku? Ayo berjuanglah aku! Jangan lari!
Setelah memberi semangat pada diriku sendiri,
akhirnya aku berdiri di samping Otsuki-kun yang ada di dapur. Saat ini
Otsuki-kun sedang memegang pisau dengan pandangan terfokus pada talenan.
Ah, ekspresi seriusnya saat memasak terlihat
keren... Eh tidak, jangan sampai salah paham! Merasa keren dan merasa suka itu
berbeda lho? Aku harus menilai dengan cermat.
Lalu, sepertinya Otsuki-kun menyadari kehadiranku
di sampingnya, pandangannya yang semula tertuju pada tangannya terangkat dan
bertatapan langsung dengan mataku.
“...”
“Hmm? Ada apa?”
“Ah, itu... Aku ingin membantu sesuatu.”
“Tidak perlu, ini adalah pekerjaanku, Ayaka-san mendingan
istirahat aja.”
Otsuki-kun dengan lembut menolak tawaranku. Namun,
demi mengonfirmasi perasaanku, aku tidak bisa mundur sekarang.
“Begini. Aku penasaran dengan cara membuat
hiyashi-oden, jadi aku ingin melihat. Apa itu mengganggumu?”
“Begitu rupanya. Tentu saja tidak mengganggu kok.
Kalau begitu, bisakah kamu merebuskan tomatnya sebentar untuk mengupas
kulitnya?”
“Baik.”
Akhirnya aku mendapat alasan untuk berada di
samping Otsuki-kun! Dan aku bisa bertatapan dan mengobrol dengannya!
Lalu, debar jantungku sekarang... sedikit berdebar
ya? Tapi, bukan berdebar kencang seperti heroine di manga, jadi sepertinya
memang aku belum jatuh cinta kan? Iya kan? Pasti begitu kan?
Setelah mengonfirmasi perasaanku, aku bisa sedikit
lega.
Sesuai instruksi Otsuki-kun, aku merebus tomat
yang telah dibubuhi sayatan kecil di kulitnya sambil menghembuskan nafas untuk
menenangkan diri. Lalu begitu aku mengangkat pandangan, aku melihat Mama yang
tadi bermain dengan Ryouta sedang menatapku dengan senyum menggoda.
Merasa ada kesalahpahaman, aku hendak berbicara
pada Mama, tapi sebelum itu Mama sudah kembali pada Ryouta lebih dulu.
Ah, sepertinya aku akan digoda nanti.
Saat memikirkan itu, terdengar suara dari pintu
depan.
“Aku pulang.”
Sepertinya Papa sudah pulang kerja. Tak lama,
pintu ruang tamu terbuka dan Papa muncul sesuai dugaan.
“Wah, aku jadi tidak sabar pulang kerja mengingat
masakan Otsuki-kun menanti di rumah.”
Sambil berkata begitu, Papa mengarahkan pandangan
ke arah kami. Lalu melihatku dan Otsuki-kun berdiri berdampingan di dapur, Papa
tersenyum senang dan berkata “Oh?”
“Kalian berdiri berdampingan begitu, kayak
pengantin baru aja! Hahaha.”
“Papaa, jangan bicara yang aneh-aneh!”
Dengan satu kalimat dari Papa, jantungku berdebar
lebih kencang dari sebelumnya, dan wajahku terasa panas.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.