Kaji Daikō no Arubaito o Hajimetara bab 3

Ndrii
0

 Chapter 3

Kontrak Tetap




Sejak aku mendapatkan kesadaranku, aku sering disebut "lucu" oleh orang-orang di sekitarku.

 

Waktu taman kanak-kanak, aku sering dipanggil oleh orang tua murid lain, "Ah, Ayaka-chan imut ya." 

 

Setelah naik ke sekolah dasar, aku sering diganggu dan diusili oleh anak laki-laki. Setelah kupikirkan kembali, mungkin itu cara mereka cari perhatian padaku. 

 

Gangguan dan usilan dari anak laki-laki itu berangsur berkurang seiring bertambahnya usia, dan hampir menghilang ketika aku SMP.

 

Lalu, yang mulai berdatangan adalah pernyataan cinta. 

 

Dalam sebulan pasti ada beberapa anak laki-laki yang menyatakan cinta padaku. Bahkan pernah ada masa dimana setiap hari dalam seminggu ada yang menyatakan cinta.

 

Saat pertama kali menerima pernyataan cinta dari anak laki-laki, perasaan yang muncul dalam diriku adalah kebingungan. 

 

Karena anak-anak yang selama ini menjahiliku tiba-tiba berkata "Aku menyukaimu", tentu saja aku bingung.   

 

Lagi pula, sejak dulu aku selalu menghindari anak laki-laki karena mereka hanya menjahiliku, jadi tidak ada satupun yang kuajak bermain atau mengobrol.

 

Tentu saja aku menolak semua pernyataan cinta dari mereka. 

 

Bagaimana mungkin aku berpacaran dengan seseorang yang kepribadiannya saja tidak kuketahui. Apalagi sejak kecil aku diajarkan orang tuaku bahwa yang terpenting bukan penampilan luar melainkan isi hatinya. 

 

Jika prosesnya dimulai dari saling menyapa, lalu berteman, saling mengenal, kemudian tumbuh rasa suka dan menyatakan cinta, mungkin aku mau menerimanya.  

 

Tapi anak laki-laki yang menyatakan cinta padaku selalu berkata "Aku jatuh cinta pada pandangan pertama!"

 

Bukan berarti aku menolak cinta pada pandangan pertama, hanya saja aku tidak bisa memahaminya. Jadi aku menolak semua pernyataan cinta yang kudapat.

 

Lalu suatu kejadian terjadi. 

 

Tiba-tiba seorang teman dekatku menangis dan memohon "Jangan ambil orang yang kusukai!" 

 

Sejenak aku tidak mengerti apa yang dimaksudnya. 

 

Saat itu, bahkan sampai sekarang, temanku semuanya perempuan. Dan karena aku menghindari anak laki-laki, tidak ada satupun yang kucoba ajak bicara. Dalam situasi seperti itu, bagaimana mungkin aku bisa merebut orang yang disukainya? 

 

Kurasa temanku itu salah paham.

 

Setelah mendengar penjelasannya sambil menahan tangis, ternyata di antara anak laki-laki yang menyatakan cinta padaku, ada yang disukai temanku itu. 

 

...Lalu apa yang harus kulakukan?

 

Mereka yang dengan seenaknya menyatakan cinta padaku.

 

Aku sama sekali tidak ada hubungan dengan anak laki-laki yang disukai temanku itu. Bahkan aku belum pernah mengobrol dengannya sekalipun.

 

Pada akhirnya sampai lulus SMP, hubunganku dengan temank tetap merenggang.

 

Kejadian itu membuatku semakin menghindari anak laki-laki. Lalu ada satu hal lagi yang membuatku menjaga jarak dari mereka sejak paruh kedua masa SMP. 

 

Yaitu tatapan mereka. 

 

Sejak kelas 2 SMP, dadaku tumbuh semakin besar, dan seiring dengan itu aku semakin sering merasakan tatapan dari anak laki-laki. 

 

Kebanyakan hanya melirik sekilas, tapi ada juga yang memandang dengan lekat. Tatapan menyeluruh yang membuatku merasa jijik, pada akhirnya menumbuhkan sedikit ketidakpercayaan pada laki-laki saat aku masuk SMA.   

 

Bahkan setelah SMA pun, pernyataan cinta tidak pernah berhenti.

 

Tapi setelah kejadian di SMP, aku menegaskan pada teman-temanku "Aku sama sekali tidak tertarik pada anak laki-laki atau percintaan."

 

Berkat itu, hingga kelas 2 SMA sekarang, hubunganku dengan teman-teman masih baik-baik saja.  

 

Yah, meski dipertanyakan apakah untuk seorang siswi SMA yang sedang menjalani masa remaja yang indah, dimana semua temannya perempuan dan tidak ada bayangan percintaan sama sekali, bisa disebut baik-baik saja. 

 

Tapi bagiku, anak laki-laki hanyalah sumber bencana. 

 

Kejadian paling mengerikan terjadi tepat sebelum liburan musim panas ini.

 

Setelah upacara penutupan semester, saat sedang mengobrol dengan teman-teman tentang liburan musim panas dan hendak pulang, tiba-tiba aku dipanggil lewat pengumuman sekolah. 

 

Berbeda dengan aku yang kebingungan sesaat, teman-teman perempuanku berteriak heboh.

 

Rupanya yang memanggilku adalah seorang kakak kelas tahun ketiga.

Namanya kalau tidak salah... Goto? Tidak, mungkin Saito?

 

Intinya, karena kakak kelas itu menggunakan pengumuman sekolah, aku jadi harus merespons panggilannya.

 

Yah, mungkin itu tujuannya.  

 

Meskipun masih banyak siswa yang belum pulang, aku menahan malu dan pergi ke lapangan, di sana ada si pelaku, Saito... atau Ando? Ah pokoknya orang itu.

 

Lalu entah kenapa tiba-tiba dia mengeluarkan cincin dan melamarku.   

 

Dari gedung sekolah, terdengar sorakan heboh dari siswa-siswa yang menyaksikan kejadian itu. Tapi aku sangat malu dan kesal dengan ketidaksopanan Ando-senpai, hingga aku panik dan hanya berkata “Aku tidak tertarik” lalu cepat-cepat meninggalkan tempat itu.

 

Ingatanku samar setelah itu.

 

Begitu sadar, aku sudah berada di rumah dan menjatuhkan diri ke tempat tidur. Bayangan kelakuan aneh Ito-senpai tadi tidak mau hilang dari pikiranku. 

 

Kejadian ini pasti akan jadi bahan ghibah setelah liburan musim panas nanti. Apalagi senpai yang menyatakan cinta kali ini, Ito-senpai, sepertinya cukup terkenal dan populer di kalangan siswi. 

 

Aku tidak tahu kenapa dia terkenal atau populer, tapi satu hal yang pasti, jika menolak orang seperti dia, cukup banyak siswi yang akan membenciku.

 

Bahkan sebelum liburan musim panas tiba, aku sudah merasa galau membayangkan apa yang akan terjadi setelah liburan nanti. Sambil merebahkan diri di tempat tidur, aku mengambil ponsel dan membuka aplikasi pesan, lalu menghubungi kontak “Aizawa Saki”.

 

Setelah nada sambung beberapa saat, panggilannya tersambung.

 

[Halo~ Sudah kuduga kamu akan menghubungiku.] 

 

“Sakiii~ aku tidak mau ke sekolah lagi~”

 

[Besok sudah mulai liburan musim panas kok.]

 

“Aku ingin liburan terus~”

 

Aku mengeluh pada sahabat dekatku sejak SD itu. 

 

“Apa-apaan si Endo-senpai itu! Memanggil lewat pengumuman benar-benar gila!”

[Ahaha, ya menggunakan pengumuman sekolah memang keterlaluan. Aku benar-benar kasihan padamu.]

 

“Kalau nanti bertemu Endo-senpai di sekolah, aku mungkin akan memelototinya dengan penuh kebencian...”

 

[Bukannya dia bakalan senang? Dan namanya bukan Endo, tapi Kaito-senpai, yang melakukan pengumuman cinta tadi.]

 

“Ah begitu ya? Aku bahkan sudah lupa namanya... Aku terlalu malu sampai tidak bisa mendengar apa-apa.” 

 

Mendengar perkataanku, terdengar tawa Saki dari sambungan telepon.

 

[Hahaha! Kasihan Kaito-senpai, berusaha menyatakan cinta tapi sama sekali tidak sampai ke Ayaka. Hahaha.]

 

“Yang lebih kasihan itu aku! Si senpai itu populer kan? Aku pasti akan jadi bahan ghibah...”

 

[Mungkin semua orang akan melupakannya selama liburan musim panas nanti?]


“Begitukah? Bukankah insiden kali ini benar-benar menggemparkan? Itu lamaran lho? Pake cincin dan semuanya.” 

 

[Ah iya, betul juga.]

 

Padahal kami masih siswa SMA. 

 

Melewatkan tahap pacaran lalu tiba-tiba melamar, benar-benar tidak masuk akal.

 

“Ah sudahlah, sebaiknya aku masuk sekolah putri saja...”

 

[Kalau begitu kita akan beda sekolah.] 

 

“Ah iya, aku tidak mau itu.”

 

Aizawa Saki, lawan bicaraku kali ini, adalah sahabat baikku sejak kelas 1 SD. Semua kebahagiaan dan kesusahan selama ini kualami bersamanya.

 

Dia satu-satunya orang yang bisa kuajak bicara apa pun tanpa ragu termasuk kejadian kali ini.  Aku tidak bisa membayangkan jika harus bersekolah terpisah darinya.

 

“Hei Saki, gimana kalau kita berdua pindah ke sekolah putri?”

 

[Jangan bercanda.]

 

Mendengar jawabannya yang tegas, aku mengerucutkan bibir. Tentu saja aku hanya bercanda, tapi tetap saja aku harus memberi respons.  

 

“Saki pelit.”

 

[Sudah kukatakan sebelumnya, Ayaka mendingan cari pacar aja.]  

 

Mendengar kata-kata sahabatku, aku teringat pernah dikatakan hal yang sama dulu.

 

Itu terjadi tidak lama setelah aku masuk SMA, saat aku kewalahan karena tiga anak laki-laki berturut-turut menyatakan cinta padaku. Saki mengusulkan agar aku “Membuat pacar pura-pura untuk mengusir laki-laki lain.” Tapi kalau semudah itu mendapatkan pacar, untuk apa aku disibukkan dengan pernyataan cinta yang terus berdatangan.

 

Waktu itu aku menolak usulnya mentah-mentah. 

 

“Tidak bisa begitu. Lagipula bukankah berpura-pura pacaran dengan orang yang tidak disukai itu tidak jujur?”

 

[Benarkah? Tapi bukankah membuat hubungan pacaran pura-pura dengan laki-laki yang kebetulan ditemui agar tidak diganggu, agak terdengar seperti cerita komik romance? Kamu suka yang begituan kan?]

 

“Aku suka sih...”

 

Sambil memberikan jawaban yang ambigu pada Saki, aku melirik ke arah rak buku di kamarku yang penuh sesak dengan komik romantis.

 

Mungkin ini reaksi balik karena aku tidak bisa menjalani percintaan di dunia nyata. 

 

Sikapku yang tidak tertarik terhadap laki-laki dan percintaan hanyalah strategi untuk membangun persahabatan yang baik. Tentu saja sebagai siswi SMA biasa, aku juga menginginkan pengalaman cinta seperti yang lain.

 

[Nah lihat kan? Awalnya berpura-pura jadi pasangan kekasih, tapi lama-lama malah saling tertarik dan pada akhirnya benar-benar jadian...kyaa! Sempurna!!]

 

“Jangan bersemangat sendiri begitu.”

 

[Jadi intinya, Ayaka harus membuat pacar pura-pura!]

 

“Tidak mungkin~ Memangnya siapa yang mau menjadi pacar pura-puraku?”

 

Bukan bermaksud sombong, tapi aku cukup sadar bagaimana sikapku bisa mempengaruhi orang lain di sekolah, terutama anak laki-laki. 

 

Jika aku tiba-tiba menjalin hubungan, meskipun pura-pura, dengan salah satu dari mereka, hal itu mungkin akan sangat merepotkannya.

 

[Hmmm, menurutku Otsuki-kun di kelas kita cocok untukmu lho.]

 

“Otsuki-kun? Maksudmu... ah, yang peringkat pertama nilai tes itu ya?”

 

Aku berusaha mengingat sosok yang disebutkan Saki.  

 

Meskipun aku menghindari anak laki-laki, setidaknya aku masih mengingat nama-nama teman sekelas.  

 

[Ya, dia orangnya. Kurasa Otsuki-kun punya kecocokan denganmu.]

 

“Eh? Kenapa begitu?” 

 

[Yah, dibanding anak laki-laki lain, Otsuki-kun lebih tenang dan tidak agresif kan? Dia juga keliatan seperti pria terhormat.]

 

“Benarkah...?”

 

Karena di sekolah aku hanya bergaul dengan anak perempuan, aku tidak terlalu tahu bagaimana anak laki-laki di kelasku.

 

[Lagipula kalau punya pacar, anak laki-laki lain tidak akan mengganggu. Dan jika terjadi sesuatu, dia bisa melindungimu kan? Jadi sebagai sahabat, aku akan merasa sedikit lebih tenang.] 

 

Sepertinya Saki khawatir karena aku pernah beberapa kali mengalami pelecehan ringan.

 

“Tapi bukankah itu lebih seperti pengawal daripada pacar?”

 

[Emang gitu.]

 

“Ugh! Jangan menggodaku~”

 

Meski mengucapkan itu, aku tidak bisa menahan senyum di wajahku. Bicara dengan Saki memang selalu membuatku merasa lebih baik, walau ada sesuatu yang mengganggu pikiranku.

 

“Nee, besok mau pergi ke kafe bersama?”

 

[Wah boleh tuh. Mau ke kafe mana? Liburan begini kita bisa jelajahi tempat baru.]

 

“Benar juga, ide bagus.”

 

Saat kami membicarakan rencana ke kafe besok dengan antusias, terdengar suara Mamaku dari arah tangga.

 

“Ayaka, Mama ingin bicara sebentar, turun ke bawah ya.”

 

“Iya bu! Maaf Saki, Mama memanggilku.”

 

[Ya ya, nanti kita bicarakan lagi rencana untuk besok.]

 

“Oke, sampai nanti.”

 

[Sampai nanti.]

 

Setelah mengakhiri panggilan, aku keluar dari kamar dan pergi ke ruang keluarga. Begitu sampai di sana, kulihat Mamaku mondar-mandir dengan tergesa-gesa. Ada sebuah koper besar terbuka di lantai.

 

“Lho? Mama mau pergi ke suatu tempat?”

 

“Iya, ada tugas dinas mendadak.”

 

Kata Mamaku sambil memasukkan beberapa pakaian ganti ke dalam koper. 

 

Mamaku seorang direktur perusahaan. Jadi terkadang dia harus menginap di luar untuk tugas seperti ini. Terkadang bahkan ke luar negeri, dan dalam kasus itu biasanya dia tidak akan pulang selama seminggu lebih.

 

“Begitu ya...kali ini lama?”

 

Aku sedikit lesu bertanya padanya. Jika Mama tidak ada, yang tersisa di rumah ini hanya aku dan adikku Ryouta yang masih berusia 5 tahun. Terlalu kecil untuk ditinggal sendiri, jadi aku harus menjaganya.  

 

Tapi kalau begitu, rencanaku ke kafe bersama Saki besok jadi harus dibatalkan.

 

“Cuman tiga hari aja kok. Seharusnya aku dan Papamu pulang di hari yang sama.” 

 

“...Baiklah.”

 

Ngomong-ngomong, Papaku juga seorang pengusaha yang sedang dalam perjalanan dinas sekarang.  

 

Aku sangat menghormati fakta bahwa kedua orang tuaku bekerja sebagai eksekutif perusahaan, sebuah pekerjaan yang sangat sibuk dan penuh tanggung jawab.

 

Tapi terkadang aku juga sedikit tidak suka jika mereka harus pergi meninggalkan rumah karena pekerjaan seperti ini.

 

Tentu saja aku tahu Papq dan Mama sangat menyayangiku dan Ryouta, dan mereka selalu menyempatkan waktu untuk keluarga. 

 

Tapi aku tidak bisa menyembunyikan rasa tidak puasku meskipun aku tidak ingin terlalu manja.

 

Sepertinya Mamaku menangkap rasa tidak puasku, dan wajahnya menjadi sedikit menyesal. 

 

“Maaf ya, padahal besok sudah mulai liburan musim panas.”

 

“Ah tidak apa-apa, ini kan pekerjaan.”

 

“Mama akan membawakan oleh-oleh untukmu dan Ryouta. Tolong jaga Ryouta ya.” 

 

Ryouta mungkin sedang tidur siang sekarang.  

 

Kalau dia terbangun dan melihat Mama akan pergi, dia pasti akan menangis dan mencoba mencegah Mama karena dia masih sangat manja pada orang tua kami. Sejujurnya aku juga ingin merengek dan bermanja pada Mama. Tapi aku adalah seorang kakak sekaligus siswi SMA, jadi aku tidak bisa bersikap kekanakan. 

 

“Iya, serahkan urusan rumah padaku. Mama fokus saja pada pekerjaan.”

 

Aku tersenyum ceria agar Mama tidak melihat rasa kecewa di hatiku. Kemudian seperti teringat sesuatu, Mama berkata “oh iya” dan menunjukkan selembar brosur di meja padaku.

 

“Kalau kamu capek dengan pekerjaan rumah, kamu bisa menggunakan jasa ini.”

 

“Apa ini?”

 

Aku menerima brosur itu dari Mama dan membacanya.

 

“...Jasa pembantu rumah tangga?”

 

“Benar, mereka bisa membersihkan rumah, memasak, dan semacamnya. Praktis kan?”

 

“Hmm..”

 

Dalam brosur itu tertulis slogan ‘Layanan pembantu yang memberikan waktu berharga untukmu’ dan berbagai penjelasan layanan serta paket jasa yang ditawarkan. 

 

“Wah, ternyata mereka juga bisa membantu berbelanja kebutuhan sehari-hari ya.”

 

“Iya benar. Ini, jika ingin memanggil mereka, kamu bisa pakai uang ini dulu.”

 

Mama memberiku beberapa lembar uang.

 

“Eh, tidak usah. Kalau mau memanggil mereka, aku bisa pakai uang sakuku sendiri.”

 

“Aku tidak terlalu banyak menghamburkan uang saku, jadi tidak masalah jika memanggil layanan pembantu rumah tangga sekali atau dua kali.

 

Tapi, Mama menggelengkan kepala dan memberikan uang padaku.

 

“Ini adalah permintaan maaf karena meminta tolong mengurus rumah sejak hari pertama liburan musim panas.”

 

“...Aku mengerti. Kalau begitu aku akan menerimanya.”

 

Yah, jika tidak memanggil pembantu rumah tangga, aku bisa mengembalikan uangnya nanti.

 

“Kalau begitu, taksinya sudah datang, jadi aku pergi dulu ya.”

 

“Ya, hati-hati di jalan.”

 

Mama menutup koper dan naik ke taksi yang menunggunya di depan pintu untuk pergi berdinas.

 

Aku yang mengantar kepergiannya di depan pintu mengirim pesan pada Saki untuk membatalkan rencana besok.

 

[Ayaka: --Maaf. Kedua orang tuaku sedang berdinas jadi meninggalkan rumah, jadi tidak bisa ke kafe besok.]

 

Bersama pesan itu, aku juga mengirim stiker kelinci yang menangis deras dengan air mata menyembur keluar.

 

Setiap bunyi efek terkirim menggema, semangatku semakin menurun.

 

[Saki: --Astaga benarkah? Orang tuamu dinasnya sampai kapan?]

 

[Ayaka: --Tiga hari, Papa dan Mamaku pulangnya barengan.]

 

[Saki: --Begitu... Gimana kalau aku ke rumahmu?]

 

Ketika Saki mengusulkan itu, aku hampir secara refleks mengirim “iya”, tapi aku menahan diriku.

 

Rumah Saki cukup jauh dari rumahku. Sampai SMP, dia tinggal di apartemen dekat rumahku, tapi tepat sebelum naik ke SMA, dia pindah ke rumah baru.

 

Saat temanku pindah ke rumah baru, seharusnya momen bahagia. Tapi yang kuingat, saat itu aku menangis karena tidak suka Saki pindah ke tempat yang jauh.

 

[Ayaka: --Tidak usah. Gimana kalau kita mainnya setelah orang tuaku pulang?]

 

[Saki: --Yakin nih gak apa-apa?]

 

[Ayaka: --Iya! Tidak masalah kok]

 

Aku mengirim stiker kelinci mengacungkan jempol. Saki membalas dengan stiker beruang membuat lingkaran di atas kepala.

 

“...Haaah~”

 

Aku tidak tahan untuk menghela napas.

 

Liburan musim panas kelas 2 SMA dimulai dengan cara yang cukup muram.

 

Selain pengakuan cinta dari Kaito-senpai dan membatalkan rencana main dengan Saki, dua hal itu cukup memberiku dampak kejiwaan. Di tengah itu, aku harus memasak untuk Ryouta dan menemaninya bermain, di sela-sela juga harus mengurus pekerjaan rumah seperti mencuci dan beberes rumah.

 

Selama tiga hari orang tua tidak ada di rumah, aku harus bertanggung jawab.

 

Setelah mengingatkan diriku sendiri, aku melewati tiga hari itu.

 

Tapi di hari terakhir, aku terlalu banyak menumpuk kelelahan batin, hingga ketiduran di sofa ruang keluarga.

 

Awalnya aku hanya ingin berbaring sebentar untuk beristirahat karena sedikit lelah. Tapi tanpa kusadari, aku sudah terlelap dalam tidur yang nyenyak.

 

Karena melihatku tertidur, adikku Ryouta khawatir dan mencoba membuat makan siang sendiri. Tentu saja usaha anak lima tahun memasak sendirian adalah hal yang terlalu berbahaya, dan dapur pun jadi berantakan.

 

Ryouta yang gagal memasak terus meminta maaf dengan wajah murung.

 

Karena akulah yang pertama membuatnya khawatir, aku tidak bisa memarahinya dengan keras.

 

Melihat adikku tertunduk lesu, aku membelai kepalanya dan berkata,

 

“Ryouta masih terlalu kecil untuk sendirian di dapur. Lain kali, panggil Onee-chan dulu, oke?”

 

“Ya... Maaf.” 

 

Saat aku membelai kepala Ryouta yang meminta maaf lagi, terdengar bunyi bel interkom “Ting tong” dari arah pintu.

 

“Ryouta, temanmu datang. Katanya hari ini mau main bareng di taman.”

 

“Iya, tapi...”

 

Ryouta bergumam sambil melirik ke arah dapur.

 

Mungkin dia merasa bersalah karena harus pergi bermain setelah membuat dapur berantakan. Aku berjongkok untuk menyamakan pandangan dengannya.

 

“Dapurnya biar Onee-chan aja yang bersihin, kamu pergi main aja dulu.”

 

“...Tidak apa-apa?”

 

“Tidak apa-apa kok. Ayo, jangan membuat temanmu menunggu terlalu lama.”

 

Ryouta sering bermain di taman dengan teman-teman di sekitar rumah. Saat itu, orang tua temannya juga mengawasi Ryouta dengan baik, jadi aku tenang.

 

Aku mengantar Ryouta sampai depan pintu, menyapa singkat teman dan orang tuanya, lalu kembali ke dapur sambil menghela napas.

 

“Haaah~ Ini memang berat ya.”

 

Aku mengerti sepenuhnya bahwa Ryouta tidak berniat jahat. Malah akulah yang salah karena menunjukkan kelelahan sehingga membuat adik kecilku khawatir.

 

Tapi, meskipun aku mengerti, kenyataannya kelelahan fisik dan mental memang tidak bisa dihindari.

 

“Haaah~” 

 

Tubuhku tidak bergerak, yang keluar hanya helaan napas.

 

“Ayo semangat! Hari ini Mama dan Papa pulang, kan! Tinggal sedikit lagi, bertahanlah!”

 

Ya, malam ini Papa dan Mama akan pulang. Setelah itu, aku akan bebas dari pekerjaan rumah.

 

“Ah iya, besok aku bisa pergi main dengan Saki.”

 

Aku mengatakannya keras-keras untuk memompa semangat. Tapi tubuhku masih tidak mau bergerak. 

 

“Uuh... Tidak bisa...”

 

Aku menunduk lesu dan akhirnya menyingkir dari dapur, lalu duduk di meja makan.

 

Pandanganku tertuju pada selembar brosur di meja.

 

Brosur itu diberikan Mama saat akan berdinas, pamflet layanan pembantu rumah tangga.

 

Aku mengambil dan membaca kembali isinya.

 

“...Mungkin aku harus memanggil mereka?”

 

Bagiku saat ini, layanan pembantu rumah tangga terdengar sangat menarik.

 

“Kata Mama tidak masalah untuk memanggil mereka...” 

 

Sambil bergumam meyakinkan diri sendiri, aku memindai kode QR di pamflet itu. Lalu tanpa sadar, aku sudah memesan layanan pembantu rumah tangga di situs mereka.

 

“Aku... sudah memesan...”

 

Melihat email konfirmasi pemesanan, rasa tegang membuncah di dalam diriku.

 

Apakah tidak masalah ya memesannya dengan gegabah begini? Apa tidak masalah seorang siswi SMA yang memesan?

 

Dengan pikiran itu, aku gelisah menunggu pembantu rumah tangga datang. Lalu sekitar pukul 3 sore, akhirnya mereka tiba di rumah. 

 

Dan saat itulah, aku terkejut bukan main.

 

Ternyata pembantu rumah tangganya adalah Otsuki-kun, teman sekelas dari sekolahku!

 

“Eh? ...Kenapa?”

 

Aku bertanya dengan bingung sambil refleks menjaga jarak dan bersikap waspada.

 

Yah, wajar jika merasa waspada setelah kejadian dengan Kaito-senpai.

 

Sepertinya dia menyadari kewaspadaanku, Otsuki-kun menawarkan untuk mengganti petugas. Responnya membuatku sedikit lebih tenang.

 

Otsuki-kun memperlakukanku sebagai pelanggan.

 

Tidak ada kesan maksud terselubung atau hal buruk dari sikapnya. Saat itulah aku teringat kata-kata Saki:

 

“Hmm, menurutku Otsuki-kun dari kelas kita cocok untukmu lho, Ayaka.”

 

Ingatan itu membuatku sedikit tertarik pada Otsuki, jadi aku memintanya untuk menangani pekerjaan rumah tanggaku. Dia tampak sedikit terkejut, tapi sepertinya penilaianku tepat.

 

Sebagai staf pembantu rumah tangga, Otsuki-kun sangat profesional dalam memperlakukanku.

 

Di tengah tugasnya, saat Ryouta pulang dari taman dan mengira Otsuki-kun adalah maling, Otsuki tetap tenang dan ramah pada Ryouta.

 

Ryouta yang awalnya pemalu pada orang asing, dalam waktu singkat tampak membuka diri pada Otsuki-kun. Saat Otsuki-kun akan pulang, Ryouta bahkan menghampiri dan mengucapkan “Daaah” padanya. 

 

Aku cukup terharu melihat Ryouta yang biasanya sulit dekat dengan orang baru, bisa secepat itu akrab dengan Otsuki-kun.

 

Tapi aku bisa mengerti alasannya.

 

Seperti kata Saki, Otsuki-kun memang memiliki kesan yang tenang dan ramah saat bicara dengan ekspresi lembut. Mungkin karena ini pekerjaannya, bicaranya juga sangat sopan, terkesan dewasa di luar usianya.

 

Selain itu, keterampilan Otsuki-kun dalam pekerjaan rumah tangga sangat tinggi.

 

Memang wajar karena ini adalah pekerjaan paruh waktu sebagai pembantu rumah tangga, tapi dia berhasil membuat dapur yang semula berantakan menjadi bersih mengkilap. Bahkan meski awalnya tidak diminta, dia juga membersihkan ruang keluarga hingga tidak ada debu sehelai pun. 

 

Lalu saat dia memasak, penampilannya seperti koki profesional. Aku sama sekali tidak bosan melihatnya bekerja di dapur.

 

Selama ini aku selalu menghindari laki-laki, tapi mungkin aku bisa menjadi teman dekat dengan Otsuki-kun...

 

Hanya dalam waktu singkat berinteraksi dengannya, aku mulai merasa seperti itu secara samar. Entah kenapa, aku merasa Otsuki-kun melihatku bukan dari penampilan luar, tetapi menghargai diriku apa adanya. Buktinya, dia bilang kalau aku "Onee-chan yang baik".

 

Saat mulai berpikiran seperti itu, aku merasa sedikit kecewa karena Otsuki-kun memperlakukanku sebagai "pelanggan".

 

Di saat aku akhirnya merasa bisa berteman dengan seorang laki-laki, diperlakukan sebagai pelanggan membuatku merasa ada jarak yang dalam.

 

Setelah Otsuki-kun pulang,

 

Aku dan Ryouta makan hamburger buatannya, dan itu adalah hamburger terlezat yang pernah kumakan seumur hidup.

 

Ryouta memakannya dengan rakus seolah bisa tersedak kapan saja. Matanya terbelalak tanpa berkedip, dengan lahap menyantap hamburger itu. Pemandangan adikku yang begitu tergila-gila pada masakan Otsuki-kun seperti adegan horor ringan.

 

Masakan Otsuki-kun yang membuat Ryouta begitu terhanyut, sungguh menakjubkan!!

 

 

 

Setelah berhasil menyelesaikan tugas sebagai pembantu rumah tangga di rumah keluarga Tojo, keesokan harinya Haruto pergi bermain ke rumah sahabatnya Akagi Tomoya.

 

"Hei, Haru. Kukira liburan musim panas ini kamu cuma akan belajar dan kerja paruh waktu? Kamu yakin gak apa-apa main ke rumahku?" 

 

Tomoya berkata dengan nada menggoda.

 

"Memang itu rencananya. Tapi tadi malam aku gak sengaja ngeliat acara tentang rumah bobrok penuh sampah."

 

Haruto merapikan koleksi komik yang berantakan sambil melanjutkan bicaranya. 

 

"Tiba-tiba aku jadi khawatir. Gimana kalau rumah bobrok yang jadi sorotan selanjutnya adalah kamar sahabatku sendiri."

 

"Kamarku gak seberantakan itu lah!!"

 

Tomoya membantah dengan mengangkat punggungnya dari sandaran kursi.

 

Musim panas dengan cuaca panas menyengat sedang berlangsung. 

 

Sinar matahari yang terik menyorot masuk ke kamar Tomoya. Namun dengan pendingin ruangan, suhu di kamarnya tetap nyaman meski mendapat sorotan cahaya matahari.

 

"Yah, sebenarnya aku cuma pengen mgungsi ke sini gara-gara AC di kamarku rusak."

 

Haruto berkata santai, membuat Tomoya menatapnya tajam.

 

"Hei, nanti aku tagih biaya listriknya."

 

"Kalau begitu aku akan tagih ongkos bersih-bersihnya. Termasuk yang kemaren-kemaren juga."

 

"Maaf, maaf. Silakan gunakan kamarku sesukamu."

 

Tomoya cepat mengaku kalah.

 

Dia lalu bersandar di kursinya dan bertanya pada Haruto.

 

"Ngomong-ngomong, kemarin itu hari pertamamu kerja sambilan sebagai pembantu rumah tangga, kan? Gimana rasanya?"

 

"Oh iya ya..."

 

Mendengar pertanyaan Tomoya, Haruto sejenak menghentikan aktivitas bersih-bersihnya dan tampak berpikir.

 

"Yah, pekerjaan yang cukup memberiku kepuasan sih." 

 

Haruto menjawab sambil mengingat senyum dan ucapan terima kasih dari Tojo-san.

 

"Hm? Kenapa kamu senyum-senyum begitu, Haru?"

 

Haruto segera memperbaiki ekspresinya melihat Tomoya menunjuknya.

 

"Apaan sih, Aku tidak senyum-senyum kok." 

 

"Jelas-jelas tadi kamu senyum-senyum... Ah, aku tahu!"

 

"Tahu apa?"

 

"Pasti pelanggan yang memesanmu adalah seorang Onee-san tobrut cantik!"

 

Pernyataan penuh keyakinan dari sahabatnya itu membuat Haruto sedikit mengerutkan kening.

 

"Bukan, goblok!" 

 

"Nah, pasti benar. Dan Onee-san itu pasti seorang wanita karir yang kelelahan setelah bekerja!"

 

"Jangan membual yang aneh-aneh."

 

“Terus Onee-san itu benar-benar seksi ya. Karena Haru itu pendiam, kamu cenderung menyembunyikan hal-hal seperti itu.”

 

Dengan tangan terlipat, Tomoya mengangguk seolah memahami situasinya. Melihat itu, Harusho menatapnya dengan ekspresi heran.

 

“Gak kayak gitu. Lagipula siapa yang pendiam? Siapa?”

 

“Jadi beneran gak kayak gitu? Tapi klien itu seorang wanita cantik kan?”

 

“Kenapa kamu berpikir seperti itu?”

 

“Eh? Entah kenapa aku merasa begitu.”

 

Tomoya mengatakannya seolah itu hal yang wajar. Apakah itu hanya kebetulan atau memang dia memiliki insting tajam? Haruto tidak yakin dan menatap sahabatnya dengan senyum masam.

 

“Hei Haru. Yang benernya kayak gimana? Apa tidak terjadi sesuatu yang mesum?”

 

“Mustahil terjadi hal seperti itu dengan Tojo-san.”

 

“...Hah? Tojo-san?”

 

“...Ah...”

 

Haruto dengan ceroboh mengucapkan kata-kata itu dan segera menutup mulutnya dengan panik.

 

“Apa!? Tojo-san maksudmu Tojo Ayaka-san!?”

 

“Tidak... bukan...”

 

“Pasti Tojo Ayaka-san! Reaksimu itu pasti menunjukkan kalau dia Tojo Ayaka-san!”

 

Tomoya sepertinya yakin bahwa klien pekerjaan rumah tangga Haruto adalah Tojo, meskipun dia terkejut.

 

Haruto menyadari bahwa tidak mungkin membohongi Tomoya, jadi dia mengakuinya dan meminta Tomoya untuk merahasiakan hal ini. “Jangan beritahu siapa pun kalau Tojo-san yang meminta bantuanku untuk pekerjaan rumah tangganya. Aku harus menjaga privasi dan informasi pribadi klien. Aku percaya padamu Tomoya. Kalau sampai kamu menyebarkan hal ini, persahabatan kita berakhir.”

 

“Aku tidak akan menyebarkannya kok. Benarkah...? Terus gimana?”

 

“Gimana apanya?”

 

Haruto mengerutkan dahi saat melanjutkan membersihkan kamar Tomoya.

 

“Maksudku, kamu pasti dipanggil ke rumah Tojo-san kan?”

 

“Dipanggil katamu...” 

 

Haruto menatap Tomoya dengan ekspresi heran.

 

“Aku tidak dipanggil untuk bermain ke rumah Tojo-san, tapi untuk bekerja.”

 

“Ah benar juga. Terus, gimana rumah Tojo-san? Pasti wangi kan?”

 

Tomoya mengabaikan penjelasan Haruto dan melontarkan pertanyaan dengan penuh minat. Haruto hanya menghela nafas panjang.

 

“Kamu terdengar seperti orang mesum. Lagipula, pertanyaan itu menyangkut privasi klien, jadi aku tidak bisa memberitahumu.”

 

“Cih, kamu pelit banget. Aku ini sahabatmu loh.”

 

Tomoya mencibir dengan bibir mengerucut untuk pura-pura merajuk, tapi Haruto mengacuhkannya.

 

Jika yang melakukan gerak-gerik itu adalah gadis manis, mungkin hatinya sedikit tergoda. Tapi meskipun seorang pria mengerutkan bibirnya, hati Haruto tidak tergoyahkan sama sekali, malah semakin jengkel.

 

“Pelit~ Pelit Haru~ Pelit pelit pelit~~”

 

“Beeisik!” Haruto melempar majalah musik yang sedang dipegangnya. Tomoya menghindarinya dengan ringan dan tertawa terkekeh-kekeh.

 

“Tapi kamu beruntung ya Haru.”

 

“Hah? Apanya?”

 

“Selama liburan musim panas ini kamu bisa dekat dengan Tojo-san kan? Aku iri~”

 

Tomoya menyeringai sambil bersila di kursi. Namun, Haruto mengerutkan kening karena tidak memahami maksudnya.

 

 

“Kenapa bisa dekat hanya karena sekali ke rumahnya?”

 

“Eh? Bukannya kamu akan sering ke rumah Tojo-san selama masih bekerja paruh waktu?”

 

Tomoya berkata dengan wajah bingung. Haruto menggelengkan kepala untuk membantah perkataannya.

 

“Tidak, tidak. Itu yang terakhir kalinya aku ke rumah Tojo-san.”

 

“Eh? Kenapa?”

 

“Kenapa katamu? Tentu saja aneh kan kalau teman sekelas datang ke rumah untuk membersihkan dan mengerjakan pekerjaan rumah tangga lainnya. Jika aku jadi Tojo-san, lain kali aku akan meminta orang lain, bukan teman sekelas untuk pekerjaan rumah tangga. Rasanya terlalu canggung.”

 

“Hmmm? Begitu ya?”

 

Menanggapi perkataan Haruto, Tomoya menolehkan kepalanya dan menatap teman sekelas yang sedang membersihkan kamarnya.

 

“Tapi aku tidak merasa canggung sama sekali loh?”

 

“..........”

 

Mendengar kata-kata santai dari sahabatnya itu, Haruto hanya bisa menggeretakkan giginya.

 

“Mungkin sebaiknya aku menagih bayaran ya.”

 

Haruto bergumam dengan suara pelan.

 

“Apa!? Tolong jangan lakukan itu! Aku baru saja membeli ini dan kehabisan uang!”

 

Dengan wajah putus asa, Tomoya memberi alasan pada Haruto sambil memeluk sebuah tas hitam yang terletak di dekatnya.

 

“Ah? Kamu beli baru?”

 

Tas hitam yang dipeluk Tomoya adalah tas gitar. 

 

Dia sudah memulai bermain gitar sejak SD, dan sekarang dia bergabung dengan band bersama siswa dari sekolah lain.

 

“Ya gitulah. Waktu itu aku pergi ke toko alat musik, dan langsung jatuh cinta pada ini.”

 

Tomoya terkekeh sambil mengelus pipinya dengan gitar. Haruto sedikit jijik melihat tingkah sahabatnya yang agak aneh itu, lalu memandangi gitar lain yang bersandar di dinding.

 

“Apakah benar-benar butuh dua gitar?”

 

“Tentu saja butuh! Tidak ada salahnya punya banyak gitar!”

 

“Hmm, begitu ya.”

 

Haruto yang tidak tertarik dengan alat musik dan musik hanya memberikan tanggapan seadanya sambil melanjutkan membersihkan kamar Tomoya.

 

“Hey! Tunjukkan sedikit ketertarikan!”

 

“Habisnya aku tidak begitu mengerti soal alat musik dan aku juga tidak berencana main alat musik.”

 

“Jangan begitu, ayo mulai belajar gitar bersamaku dan kita bentuk band!”

 

Tomoya berkata sambil menggerakkan tangannya dengan semangat, “Aku akan mengajarimu dari awal.”

 

“Tidak, terima kasih.”

 

“Eeh~ Kalau gitu, jadi vokalis aja deh. Kami berencana mengadakan pertunjukan di festival budaya sekolah tahun ini. Ayo nikmati masa muda bersama kami!”

 

Tomoya berkata dengan senyum lebar dan jempol teracung. Namun Haruto tidak menghentikan kegiatan membersihkannya dan menjawab tanpa minat.

 

“Tidak, terima kasih.”

 

“Ayolah~ bergabunglah dengan band kami~”

 

Tomoya merengek seperti anak kecil, tapi Haruto mengabaikannya dan lanjut membersihkan.

 

“Haru~ ayo bergabung band~ kita nikmati musik bersama~” 

 

“Ya ya, akan aku pikirkan nanti. Oh iya, hari ini Haruka-chan dimana?”

 

Haruto menanggapi asal permintaan Tomoya yang terus mendesak. Lalu dia mengalihkan pembicaraan dengan menanyakan soal adik Tomoya.

 

“Dia pergi kursus sejak tadi pagi.”

 

“Oh begitu, Haruka-chan akan menghadapi ujian masuk tahun depan ya.”

 

Tomoya memiliki adik perempuan yang dua tahun lebih muda.

 

Tomoya adalah sahabat Haruto, sekaligus teman masa kecilnya. Dan adiknya Haruka juga seperti adik bagi Haruto.

 

Sejak kecil mereka bertiga sering bermain bersama. Haruka juga memanggil Haruto dengan “Haru-nii” dan sangat dekat dengannya.

 

“Ya, dia bertekad akan masuk ke SMA yang sama dengan Haru tahun depan.”

 

“Jadi tahun depan Haruka-chan bakalan jadi adik kelasku ya.”

 

“Kalau berhasil lolo sih.”

 

“Haruka-chan pasti bisa kok.”

 

Haruka memang cukup cerdas, jadi Haruto yakin tahun depan mereka akan bersekolah di SMA yang sama. 

 

Saat membayangkan hal itu, Haruto tersenyum. Melihatnya, Tomoya menyeringai usil.

 

“Hei Haru. Kamu sudah punya Tojo-san tapi masih mau selingkuh ke Haruka?”

 

“Hah? Apa maksudmu? Bukankah aku sudah bilang tadi, aku tidak akan dipanggil lagi ke rumah Tojo-san.”

 

“Benarkah?”

 

Mendengar Haruto menegaskan, Tomoya memasang wajah seolah meragukan ucapannya sambil tersenyum mengejek.

 

 

“Tidak akan dipanggil lagi... Itulah yang kupikirkan waktu itu.” 

 

Haruto bergumam sendiri di depan sebuah rumah mewah.

 

Kemarin, dia menegaskan pada Tomoya bahwa dia tidak akan dipanggil lagi ke rumah keluarga Tojo. Sebenarnya dia sendiri juga berpikir tidak akan dipanggil lagi ke rumah Tojo untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga. Tapi karena dia berpikir begitu, sekarang saat berdiri di depan rumah keluarga Tojo, berbagai kekhawatiran muncul dalam pikirannya.

 

“Jangan-jangan... aku dipanggil karena ada komplain soal kunjunganku sebelumnya? Atau karena hamburger yang kubuat membuatnya keracunan makanan? Tidak mungkin, kalau ada masalah seperti itu, mereka pasti langsung mengomplain ke kantorku...” 

 

Berbagai pikiran berkecamuk di kepala Haruto.

 

Meski tidak ada satupun dari itu yang tampak realistis dan sepertinya tidak mungkin terjadi, Haruto yang terjebak dalam pemikiran negatif menekan interkom dengan jari-jari yang terasa sangat berat. “Ding dong” bunyi panggilan itu. Jeda sesaat setelahnya terasa begitu panjang bagi Haruto.

 

“Haloo? Siapa di sana?”

 

Berlawanan dengan ketegangan Haruto, suara yang terdengar dari interkom sangatlah ceria.

 

“Ah, saya dari layanan pekerjaan rumah tangga.” 

 

“Oh! Aku sudah menunggumu! Aku akan membuka pintu sekarang, tunggu sebentar ya.”

 

Haruto mengerutkan dahi mendengar suara dari interkom itu. 

 

Suaranya mirip dengan Tojo Ayaka, tapi tingkat semangatnya terlalu tinggi dan tidak cocok dengan kesan yang dia dapat dari Tojo. Mungkin itu kakak perempuan Tojo.

 

Di benak Haruto, gadis bernama Tojo Ayaka memiliki kesan yang lebih anggun dan tenang daripada aktif. Saat terakhir berkunjung ke rumahnya, dia tampak sebagai seorang kakak yang pendiam dan menjaga adiknya dengan baik.

 

Sementara dia memikirkan hal itu, pintu terbuka dan seorang wanita muncul.

 

Usianya mungkin akhir dua puluhan. Wajahnya sangat cantik dan memiliki aura yang mirip dengan Tojo, jadi dia pasti kakak Tojo. 

 

“Kamu pasti Otsuki-kun! Ayo masuk, masuklah!”

 

“Ah iya, permisi.”

 

Diundang dengan semangat tinggi, Haruto masuk dan mengenakan sandal tamu. Saat itu, dia menyadari Ryouta mengintip dari balik lorong.

 

“Ryouta-kun, hai.”

 

“...Hai.”

 

“Apakah hamburger buatanku enak?”

 

Ryouta masih tampak sedikit waspada. Namun, ekspresinya melembut setelah pertanyaan Haruto.

 

“Iya, enak banget.”

 

“Aku senang kamu menyukainya,” kata Haruto dengan senyum lembut, membuat Ryouta tersipu malu.

 

“Ufufufu, Ayaka bilang Ryouta benar-benar lahap memakan hamburgernya.”

 

Wanita yang sepertinya kakak Tojo itu tersenyum menggoda melihat adegan itu.

 

“Ibu juga makan hamburgernya, kan? Enak, kan?”

 

Untuk menyembunyikan rasa malunya, Ryouta berusaha mati-matian memuji keenakan hamburger itu.

 

“Iya, beneran enak banget.”

 

Mendengar percakapan itu, Haruto terpaku kaget.

 

Ternyata wanita yang dia kira kakak Tojo itu adalah ibunya, bukan kakaknya. Wanita yang tersenyum pada Ryouta itu benar-benar tidak terlihat seperti seorang ibu dari dua anak, tampak begitu muda dan segar. 

 

Tidak menyadari keterkejutan Haruto, Ryouta menatapnya dengan wajah penuh harap.

 

“Hari ini kamu akan memasak apa?”

 

“Ryouta, kamu tidak boleh begitu. Kita harus mengajak Otsuki-kun ke ruang tamu dulu.”

 

“Oh, iya.”

 

Dengan nada lembut, ibunya menegur dan Ryouta mengangguk patuh. “Lewat sini,” katanya sembari memandu Haruto ke ruang tamu, di mana Haruto mengikutinya dengan senyum tipis.

 

“Sebenarnya Ryouta terus merengek sejak pagi tadi, ‘Apa Onii-chan yang memasak hamburger enak itu akan datang lagi hari ini?’ Dia sangat antusias.”

 

“Begitu rupanya.” 

 

Meski terguncang karena kenyataan bahwa wanita yang dia kira kakak Tojo ternyata ibunya, Haruto tetap berusaha tersenyum ramah dan menjawab.

 

“Izinkan saya memperkenalkan diri lagi. Terima kasih telah menggunakan jasa layanan pekerjaan rumah tangga kami. Saya Otsuki Haruto yang akan menangani pesanan Anda hari ini. Sesuai informasi yang saya terima dari  Tojo-samq, pesanan Anda adalah paket 3 jam untuk membersihkan dan memasak makan malam. Apakah tidak ada yang salah?”

 

“Ya, semuanya benar.”

 

Ibu Tojo mengangguk menanggapi pertanyaan resmi Haruto, lalu memasang wajah agak tidak puas. 

 

“Ayaka bilang kamu adalah teman sekelas, kan?”

 

“Ah, iya. Benar.”

 

“Kalau begitu, tidak perlu seformal itu! Panggil saja aku Ikue.”

 

Mendengar permintaan ibu Tojo, Haruto terlihat bingung.

 

“Tapi meskipun Anda ibu dari teman sekelas saya, tetap saja Anda adalah pelanggan bagi saya...”

 

"Jangan katakan hal-hal yang menyedihkan seperti itu, ayo bicaralah dengan lebih santai, oke?"

 

"Tapi... tetapi..."

 

"Ayolah? Gak mau?"

 

Dengan kedua tangan yang disatukan dan kepala yang dimiringkan, Ibu Tojo memohon dengan tatapan memelas kepada Haruto, yang langsung mengalihkan pandangannya.

 

Ibu Tojo, Ikue, adalah seorang wanita yang pantas disebut sebagai "bidadari" karena kecantikannya yang luar biasa, seolah-olah menambahkan daya tarik seorang wanita dewasa kepada Ayaka Tojo, putrinya yang merupakan seorang gadis SMA yang sangat cantik. Hati Haruto yang sedang dalam masa pubertas benar-benar terguncang dengan 'permintaan' dari wanita seperti itu.

 

"...Baiklah. I-Ikue-san."

 

"Aku senang! Terima kasih, Otsuki-kun!"

 

"Ti-Tidak masalah."

 

Dengan pipi yang sedikit merona, Haruto membungkukkan badannya dengan kepala tertunduk. Kemudian, Tojo tiba di ruang keluarga.

 

"Ah, Otsuki-kun. Kamu sudah datang. Silakan masuk."

 

"Permisi. Tojo-sama... Tojo-san."

 

Begitu Haruto menyebut 'Tojo-sama', dia merasakan tatapan dari Ikue dan dengan panik menggantinya.

 

"Terima kasih telah menggunakan jasa kami lagi."

 

"Ya. Setelah waktu itu, aku memberitahu orang tuaku bahwa kamu adalah staf yang membersihkan kamarku dan memasak hamburger, mereka ingin bertemu denganmu yang merupakan teman sekelasku. Dan juga Ryouta sangat ingin mencicipi masakanmu lagi."

 

Haruto membungkukkan kepalanya dengan hormat kepada Tojo yang berbicara dengan sedikit malu-malu.

 

"Saya sangat senang anda puas dengan layanan sebelumnya. Kali ini pun saya akan berusaha sebaik mungkin untuk memenuhi harapan anda."

 

"Ya, mohon bantuannya." 

 

Tojo menundukkan kepalanya seperti mengikuti Haruto. Melihat keduanya, Ikue berkata sambil meletakkan tangan di pipinya, "Ara ara."

 

"Kalian berdua sekelas, kan? Mengapa tidak sedikit lebih santai?"

 

Mendengar kata-kata ibunya, Tojo menunjukkan ekspresi sedikit bingung.

 

"Tapi aku belum pernah mengobrol dengan Otsuki-kun di sekolah..."

 

"Ah, kalau begitu ini adalah kesempatan untuk menjadi akrab, kan? Iya kan, Otsuki-kun?"

 

"Eh!? Ah, ya. Uum, begitulah..."

 

Karena tiba-tiba diajak bicara, sejenak Haruto bingung harus menjawab apa, tetapi mengingat situasi sebelumnya, dia memutuskan untuk menyetujuinya meski dengan ragu-ragu, khawatir jika menolak akan membawa masalah.

 

Melihat jawaban Haruto, Ikue mengangguk dengan puas dan berkata kepada putrinya.

 

"Ayaka, kamu tidak punya teman laki-laki, kan? Otsuki-kun kelihatannya anak yang baik, ini kesempatan bagus."

 

"Tu-Tunggu dulu, Mama! Aku tidak memanggil Otsuki-kun dengan alasan seperti itu..."

 

"Ah? Jadi Ayaka tidak ingin berteman dengan Otsuki-kun?" 

 

"Bukan begitu... Aku pengen temnan, tapi..."

 

"Itu berarti kamu ingin berteman dengannya, kan! Maaf ya, Otsuki-kun, anak ini memang tidak terbuka soal hal-hal seperti ini sejak dulu."

L

"Ma-Mamaaaa... Uuhh..."

 

Tojo mengerang protes dengan wajah memerah, dan Haruto hanya bisa tertawa kecil, "Ahaha..." Kemudian, dia mengalihkan pembicaraan ke pekerjaan.

 

"Ah, kalau begitu saya akan mulai dengan membersihkan, ada permintaan khusus?"

 

"Permintaan khusus... Hmm..." 

 

Ikue tampak berpikir sejenak, lalu pandangannya tertuju ke arah jendela.

 

"Ah iya, akhir-akhir ini aku merasa jendela agak kotor, bisa sekalian dibersihin juga?"

 

"Baik, dimengerti."

 

Setelah membungkuk hormat, Haruto segera menghampiri jendela dan memeriksa kacanya dari dekat.

 

"Benar, sedikit terlihat kotor."

 

"Kan? Itu gara-gara hujan pasir waktu itu." 

 

"Saya mengerti. Kalau begitu, saya akan membersihkannya sekarang."

 

Haruto melipat lengan bajunya untuk bersiap membersihkan.

 

"Wah, Otsuki-kun ternyata punya lengan yang cukup berotot ya?"

 

Melihat lengan Haruto yang terekspos setelah dilipat, Ikue berkomentar dengan nada kagum.

 

"Apa kamu ikut olahraga atau semacamnya?"

 

"Sejak kecil, saya rutin berlatih karate."

 

"Wah! Ternyata Otsuki-kun ini mantan anak karate ya! Hebat banget!"

 

Ikue memuji sambil menepuk tangannya, membuat Haruto sedikit tersipu dan membungkukkan kepalanya, "Terima kasih banyak."

 

Sedikit merasa senang setelah dipuji oleh Ikue, Haruto mengambil peralatan yang diperlukan untuk membersihkan jendela dari barang bawaannya, lalu mulai mengelap jendela.

 

Untuk peralatan besar seperti vacuum cleaner, biasanya mereka menggunakan yang sudah tersedia di rumah. Namun, untuk kain pel dan peralatan kecil lainnya, Haruto membawa miliknya sendiri. Sebagian memang disediakan oleh perusahaan, tetapi Haruto juga menyiapkan beberapa yang dibeli sendiri. Saat memberitahu neneknya tentang pekerjaan sampingan jasa rumah tangganya, nenek memberinya berbagai peralatan praktis yang mungkin berguna.

 

Untuk mengelap jendela, Haruto melembabkan koran dengan air.

 

Melihat itu, Ryouta bertanya dengan wajah bingung.

 

“Kamu mau ngapain dengan koran itu?”

 

“Ini untuk mengelap jendela, tintanya bisa membersihkan kotoran.”

 

“Wah hebat! Aku juga mau coba!”

 

Ryouta mulai membuka hatinya kepada Haruto, dia menempel di sisi Haruto yang sedang membersihkan sambil sesekali mengajukan pertanyaan.

 

“Mau mencoba? Kalau begitu, lap bagian situ dengan ini.”

 

“Oke!”

 

Haruto menyerahkan koran basah yang diperas kepada Ryouta dan menunjuk area yang dapat dijangkaunya.

 

“Maaf ya Otsuki-kun. Ryouta jadi mengganggu.”

 

Ikue yang meminta Haruto membersihkan sambil mengerjakan pekerjaan kantornya di laptop memanggil Haruto.

 

“Tidak apa-apa, justru Ryouta-kun membantuku.”

 

“Itu benar Bu! Aku membantunya!”

 

Mendengar ibunya berkata dia “mengganggu”, Ryouta menyahut dengan bibir mengerucut.

 

“Berkat Ryouta-kun, aku bisa membersihkan jendelanya lebih cepat.”

 

“Hehehe.”

 

Ryouta tersenyum senang saat Haruto mengelus kepalanya dengan lembut.

 

“Ara ara, lihat Ryouta sudah sangat akrab dengan Otsuki-kun, udah kayak kakak adek beneran ya. Iya kan, Ayaka?”

 

“Hah? Ah, ya, begitulah.”

 

Tojo yang sedari tadi melamun memandangi Haruto membersihkan sambil menopang dagu di samping ibunya, tersadar ketika ibunya tiba-tiba mengajaknya bicara.

 

Melihat tingkahnya, Ikue menyunggingkan senyum jahil.

 

“Ayaka malah melamun, iri karena Ryouta diambil Otsuki-kun? Atau jangan-jangan...”

 

Dengan senyum usil, ibunya berkata kepada Ayaka.

 

“Kamu terpesona oleh Otsuki-kun?”

 

“Ap-!! Mama ngomong apa sih!!”

 

Ayaka tersentak berdiri dari kursi dan memelototi ibunya.

 

“Masa marah begitu sih~ masa muda memang indah~”

 

“Bu-Bukan begitu! Sama sekali bukan!”


Mendengar teriakan itu, Ryouta yang sedang mengelap jendela bersama Haruto memandangi kakaknya dengan bingung.

 

"Onee-chan, kenapa wajahmu memerah begitu? Kamu sakit?" 

 

"Ah, tidak memerah! Bukan sakit! Mou!"

 

Sambil berteriak begitu, Tojo bergegas meninggalkan ruang keluarga.

 

"Bu, ada apa dengan Onee-chan?"

 

Tidak mengerti situasinya, Ryouta menatap pintu ruang keluarga yang baru saja dilewati kakaknya dengan ekspresi heran. Ikue tertawa kecil, "Ufufufu."

 

"Onee-chanmu sedang menikmati masa hidupnya sekarang."

 

"Tapi Onee-chan tadi tidak terlihat senang?"

 

"Fufufu, Ryouta masih terlalu kecil untuk mengerti."

 

Masih dengan senyum geli, Ikue mengalihkan pandangannya ke Haruto yang tekun mengelap jendela di samping Ryouta. 

 

"Aku sangat senang jika putriku juga mengalami musim semi dalam hidupnya..."

(Tln: kode dari emak Tojo, merujuk ke nama haruto yang mengandung kata ‘Haru’ yang artinya musim semi)

 

Gumaman kecil yang sarat dengan kasih sayang seorang ibu, tapi juga terdengar sedikit sedih namun juga bahagia, seolah sayup-sayup terdengar di telinga Haruto yang fokus pada pekerjaannya.

 

 

Setelah selesai membersihkan jendela, Haruto menghabiskan satu jam untuk membersihkan lantai, toilet, dan seluruh bagian rumah keluarga Tojo.

 

"Ikue-san, pekerjaan bersih-bersih sudah selesai, ada lagi yang bisa saya kerjakan?"

 

"Tidak! Pekerjaanmu sudah sempurna! Terima kasih banyak atas kerja kerasmu."

 

Haruto memberitahu Ikue bahwa tugasnya telah selesai.

 

Ikue yang sibuk dengan pekerjaannya di laptop di ruang keluarga terlihat puas mendengar laporan Haruto.

 

"Ini pertama kalinya aku bisa bekerja selancar ini di rumah! Biasanya aku tersita waktu untuk membersihkan dan mencuci, jadi sulit untuk berkonsentrasi. Kamu benar-benar membantuku~"

 

"Saya senang bisa membantu. Kalau begitu, menu apa yang Anda inginkan untuk makan malam nanti?"

 

Mendengar pertanyaan Haruto, Ikue meletakkan tangan di dagu dengan ekspresi berpikir.

 

"Hmm, karena cuaca panas, sebaiknya sesuatu yang segar. Tapi juga harus cukup mengenyangkan."

 

Sambil berkata begitu, Ikue memandangi Ryouta yang tertidur di sofa ruang keluarga. 

 

Sepertinya Ryouta sangat menikmati waktu membersihkan bersama Haruto hingga mengikutinya kemanapun sampai pertengahan. Namun setelah kegirangan terlalu banyak, dia mulai mengantuk di bagian akhir, jadi Haruto menggendongnya ke sofa untuk beristirahat.

 

"Ryouta-kun masih dalam masa pertumbuhan, sih."

 

"Begitulah. Kalau untukku, mungkin saja somen atau semacamnya sudah cukup. Tapi Ryouta kan..."

 

Memang benar, somen atau mi dingin sangat cocok dimakan di cuaca panas musim panas. Namun, mungkin saja porsinya tidak akan cukup untuk anak laki-laki yang sedang dalam masa pertumbuhan. Selain itu, sedikit sulit untuk memenuhi kebutuhan nutrisi yang seimbang hanya dengan itu. Setelah berpikir sejenak, Haruto mengajukan usulan menu.

 

"Kalau begitu, bagaimana dengan pasta krim rasa lemon? Rasa asamnya lemon membuatnya terasa segar, tapi cukup mengenyangkan."

 

"Wah, ide bagus!" 

 

"Lalu untuk sup, bagaimana dengan sup dingin, dan untuk salad, caprese?"

 

"Wah, terdengar seperti makan malam yang segar dan lezat! Ah, untuk bahan-bahannya, kebetulan kulkasku kosong sekarang. Bisa minta tolong belanja sekalian?" 

 

"Tentu saja, tidak masalah."

 

Berbelanja untuk bahan makanan juga termasuk dalam lingkup tugas jasa rumah tangga. Setelah Haruto mengangguk, Ikue segera menyerahkan uang kepadanya.

 

"Semoga cukup."

 

Sambil berkata begitu, Ikue menyerahkan amplop yang berisi tiga lembar uang kertas bernilai besar kepada Haruto. 

 

Melihat jumlah uang yang diterimanya, Haruto tiba-tiba menyadari, "Ah jadi beginilah rasanya menjadi orang kaya."

 

"Itu pasti cukup. Ada tempat atau bahan tertentu yang Anda inginkan?" 

 

Beberapa orang memang punya preferensi khusus soal tempat berbelanja atau asal bahan makanan. Namun, Ikue menggeleng sambil berkata:

 

"Tidak ada preferensi khusus. Kamu tahu lokasi supermarketnya?"

 

"Ya, saya tahu. Kalau begitu, saya akan berbelanja dulu."

 

Saat Haruto hubangkit dengan malas.

"…Eh? Onii-chan, mau ke mana?"

 

Ryouta bertanya sambil mengusap matanya.

 

"Aku mau pergi belanja untuk makan malam."

 

"…Belanja?"

 

"Iya, betul."

 

Begitu Haruto menjawab, mata Ryouta yang tadinya masih mengantuk langsung terbuka lebar.

 

"Aku juga pengen ikut!!"

 

Ryouta melompat dari sofa dan berlari mendekati Haruto. Sepertinya, setelah membantu Haruto membersihkan, Ryouta benar-benar menjadi dekat dengan Haruto.

 

"Tidak boleh, Ryouta. Otsuki-kun bukan mau pergi main, tahu?"

 

"Eh~! Aku juga mau ikut belanja!"

 

Dengan wajah sedikit bingung, Ikue melihat Ryouta yang mulai merengek. Merasa tidak enak membiarkan Haruto mengurus belanja sekaligus menjaga Ryouta, Ikue menggelengkan kepala menolak permintaan Ryouta.

 

"Ti-dak. Otsuki-kun sedang bekerja, tahu? Ryouta, kamu tunggu di rumah dan jaga rumah sampai Otsuki-kun kembali aja, oke?"

 

Mendengar bujukan ibunya, Ryouta mengepalkan tangan dan menunduk.

 

"Padahal tadi aku sudah bantu Onii-chan bersih-bersih…"

 

Ryota sangat ingin ikut belanja dengan Haruto, sampai-sampai matanya mulai berkaca-kaca.

 

"Aduh, padahal biasanya Ryouta anak yang penurut… sepertinya dia sangat menyukai Otsuki-kun," kata Ikue.

 

"Kalau saya sih tidak masalah membawanya," kata Haruto, mengatakan bahwa tidak masalah jika Ryota ikut. Namun, Ikue masih merasa tidak enak hati, dan setelah berpikir sejenak, dia tampak seperti mendapatkan ide.

 

"Kalau begitu, gimana kalau Ayaka juga ikut belanja?"

 

Setelah mengatakan itu, Ikue keluar dari ruang tamu dan menuju tangga di koridor.

 

"Ayaka, turun sebentar!"

 

Ikue memanggil dengan suara agak keras.

 

Setelah digoda oleh ibunya sebelumnya, Tojo mengurung diri di kamarnya.

 

"Ayaka!"

 

Setelah panggilan ibunya yang kedua, terdengar suara pintu terbuka dan Tojo muncul.

 

"Ada apa?"

 

Dia tampak sedikit tidak senang. Melihat putrinya, Ikue tersenyum dan berkata,

 

"Ryouta ingin ikut Otsuki-kun belanja dan tidak mau mendengarkan. Jadi, bisakah kamu ikut dan menjaga Ryouta?"

 

"Eh…"

 

Tojo menatap ibunya dengan curiga.

 

"Aku tidak punya maksud tersembunyi, tahu? Lihat, kalau biarin Otsuki-kun belanja sambil jaga Ryouta itu terlalu berat, kan?"

 

"Itu memang… benar."

 

"Jadi, tolong ya, ikut dan jaga Ryouta?"

 

"…Baiklah," Tojo mengangguk, dan Ikue tersenyum lebar.

 

"Ryouta, Onee-chan akan ikut, jadi kamu boleh ikut belanja."

 

"Yattaaa!!"

 

Ryouta mengangkat tangan dan melonjak kegirangan, lalu berlari ke arah kakaknya yang turun dari tangga.

 

"Terima kasih, Onee-chan! Aku sayang Onee-chan!"

 

"Iya, iya, aku tahu. Kita mau belanja, kan? Cepat siap-siap."

 

Tojo menjawab dengan dingin, tetapi ada sedikit senyum di bibirnya.

 

"Otsuki-kun, maaf, aku juga perlu bersiap-siap sebentar. Bisa tunggu sebentar?"

 

"Tentu, tidak masalah."

 

Tojo kembali ke kamarnya, mengenakan pakaian untuk keluar, dan kembali lagi.

 

Ryouta juga sudah berganti pakaian, dan dengan tidak sabar menunggu di dekat pintu depan dengan sepatu luarnya.

 

"Onee-chan lama! Cepat, cepat!!"

 

"Aku tahu, Ryouta, tenanglah sedikit."

 

Adik yang mendesak kakaknya. Kakak yang menenangkan adiknya. Melihat interaksi mereka, Haruto tersenyum dan juga mengenakan sepatu luarnya, lalu meletakkan tangannya di gagang pintu.

 

"Kalau begitu, kami pergi dulu."

 

"Kami pergi."

 

"Kami pergi!!"

 

Ikue yang mengantar mereka sampai pintu depan melambai dengan senyuman.

 

“Ya, hati-hati di jalan. Hati-hati dengan mobil, ya.”

 

Haruto dan yang lainnya melewati gerbang kediaman Tojo menuju ke supermarket.

 

Ryouta sepertinya sangat senang bisa ikut berbelanja, ia tampak gelisah sejak keluar dari rumah. Haruto khawatir jika Ryouta tetap seperti itu, berbahaya jika tiba-tiba ada mobil lewat, jadi ia memanggil Ryouta.

 

“Ryouta-kun, ayo kita bergandengan tangan sampai ke supermarket.”

 

“Un!!”

 

Ryouta mengangguk dengan patuh, lalu menghampiri Haruto dan bergandengan tangan dengan wajah gembira. 

 

“Maaf ya Otsuki-kun, harus meladeni kemauannya.”

 

“Ah tidak apa-apa, aku tidak keberatan.”

 

Haruto menjawab dengan senyum lembut. 

 

Sepanjang perjalanan menuju supermarket, sesekali ia mengangkat tangan dan membiarkan Ryouta bergantungan di sana sambil bermain.

 

“Otsuki-kun orangnya baik ya.”

 

“Eh? Begitukah?”

 

Kali ini Haruto yang menggendong Ryouta di bahunya menjawab ambigu perkataan Tojo.

 

“Ya, begitulah. Kamu benar-benar merawat Ryouta dengan baik.”

 

“Ah, mungkin karena aku anak tunggal jadi begitu.”

 

Haruto tersenyum menatap Tojo yang memandang lembut Ryouta yang kegirangan digendong di bahunya.

 

“Saat bersama Ryouta-kun, rasanya seperti punya adik sungguhan, jadi aku merasa senang. Aku jadi berpikir, inikah rasanya punya adik laki-laki.”

 

“Walau kadang dia juga manja dan ngeselin.” 

 

“Itu yang membuatnya istimewa. Kalau anak tunggal, tidak akan ada pertengkaran seperti itu.”

 

“Ah, benar juga.”

 

“Onii-chan sama Onee-chan lagi ngobrolin apa sih?”

 

Ryouta yang digendong memandang mereka berdua dengan raut wajah bingung.

 

“Kami membicarakan tentang kamu dan Otsuki-kun yang udah kayak kakak adik. Nah, sebentar lagi sampai supermarket, turunlah dari Otsuki-kun.”

 

“Baik.”

 

Menuruti kakaknya, Ryouta turun dengan patuh dari punggung Haruto.

 

“Nee nee, Onii-chan. Nanti gendong lagi ya?” 

 

“Iya, kalau kita berbelanja lagi nanti akan kugendong.”

 

“Yeeeyy!”

 

Ryouta tersenyum mendengar jawaban Haruto.

 

Melihat senyuman itu, Haruto dan Tojo pun ikut tersenyum.

 

Tak lama kemudian, mereka tiba di supermarket dan mulai memilih bahan-bahan yang dibutuhkan untuk makan malam.

 

“Ngomong-ngomong Otsuki-kun. Menu makan malam hari ini apa?”

 

Tojo bertanya pada Haruto sambil mengambil keranjang belanja di dekat pintu masuk.

 

“Aku berencana membuat pasta krim rasa lemon, sup dingin, dan salad caprese.” 

 

“Hee, kalau pasta krim bearti butuh susu dan krim ya?”

 

“Ya, butuh bacon juga. Kalau ada sayuran hijau yang murah, aku juga ingin memasukkannya ke dalam pasta buat jadi pewarna.”

 

Sementara mereka mengobrol begitu di area sayuran, Ryouta yang mendengarkan berlari ke arah asparagus. 

 

“Onii-chan! Satu ikat Cuma 98 yen lho! Murah kan?”

 

“Wah, ini memang murah. Keren Ryouta-kun bisa menemukannya.”

 

Asparagus yang dipegang Ryouta diikat dalam satu bundel dengan porsi yang cukup banyak. Meskipun ukurannya agak kecil, justru itu bagus karena akan lebih mudah bercampur dengan pasta nanti.

 

Haruto mengambil satu ikat asparagus itu sambil mengucapkan terima kasih dan mengelus kepala Ryouta, yang tampak sangat senang.

 

“Tojo-san, biar aku aja yang bawa keranjangnya.” 

 

“Ah, iya. Terima kasih.”

 

Haruto mengambil keranjang belanja dari Tojo dan memasukkan asparagus ke dalamnya.

 

Melihat gerak-gerik Haruto yang natural, Tojo menatapnya lekat.

 

“Hmm? Ada apa?”

 

“...Otsuki-kun tidak punya pacar ya?”

 

“Eh? Enggak, gak punya...”

 

Tidak menangkap maksud di balik pertanyaan Tojo yang tiba-tiba, Haruto hanya bisa memiringkan kepalanya bingung.

 

“Begitu...Habisnya cara Otsuki-kun membawakan barang terlihat natural, jadi aku pikir mungkin karena terbiasa melakukannya.”

 

“Sekarang aku sedang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, jadi tentu saja aku tidak bisa meminta Tojo-san yang merupakan klien untuk membawakan barang belanjaan.”

 

“Ah begitu...klien ya...”

 

“Ya, benar. Ah, lihat, labunya diskon. Untuk sup dingin, bagaimana kalau kita buat dari labu?”

 

Haruto berjalan menuju area penjualan labu. Sambil memilih labu mana yang akan dibelinya, ia bertanya pada Ryouta di sampingnya, “Ryouta-kun suka labu?”

 

Punggung Haruto yang dengan lembut berbicara pada Ryouta sambil sesekali menampakkan senyum lembutnya, diperhatikan dalam diam oleh Tojo.

 

Entah kenapa, pandangan Tojo seakan tertarik pada Haruto yang begitu ramah pada Ryouta. 

 

Lalu, Haruto mengajaknya bicara.

 

“Labu yang masih utuh bisa diawetkan dengan membuang bijinya lalu dibekukan. Gimana kalau kita beli satu buah labu utuh saja?”

 

“...Eh? Ah, ya. Kurasa tidak masalah.”

 

Sejenak Tojo tampak bingung dengan apa yang dikatakan Haruto, tapi kemudian ia tersadar dan mengangguk pada Haruto.

 

“Baiklah. Selanjutnya tomat ya. Ryouta-kun, ayo kita pilih tomat.”

 

“Ya! Tomat!”

 

Haruto memasukkan labu ke keranjang belanja, lalu bergandengan tangan dengan Ryouta menuju area penjualan tomat.

 

Sedikit tertinggal, Tojo kemudian tergesa-gesa mengikuti Haruto.

 

Setelah itu, mereka terus memilih bahan-bahan yang dibutuhkan untuk makan malam. Di sela-sela itu, Haruto sekali lagi meyakini bahwa Tojo Ayaka memang disebut sebagai idol di sekolahnya.

 

Sebab, selama berbelanja, ia sangat merasakan pandangan dari pengunjung lain dan orang-orang di sekitar mereka.

 

Orang-orang di sekeliling terus mencuri pandang ke arah mereka, tepatnya pada Tojo, bukan ke arah Haruto secara langsung. Namun meski begitu, Haruto tetap merasa terganggu olehnya. Tak bisa dibayangkan betapa tertekannya Tojo yang menjadi pusat perhatian itu.

 

Khawatir, Haruto mengamati keadaan Tojo. Tapi sepertinya dia sudah terbiasa dengan perhatian seperti itu dan tidak terlalu mengacuhkannya.

 

Setelah membeli semua kebutuhan seperti sayuran, bacon, keju, dan susu, mereka keluar dari supermarket. Haruto menghembuskan nafas lega, “Fuuh.”

 

Sepertinya dia sedikit lelah karena menjadi pusat perhatian tadi. Meskipun sebagian besar pandangan tertuju pada Tojo, ada juga yang menatap Haruto dengan tatapan iri dan cemburu.

 

“Berada di tempat ramai sepertinya berat ya untuk Tojo-san.”

 

Haruto tidak bisa tidak merasa kasihan pada Tojo.

 

“Eh? Ah, ya. Yah, begitulah. Akhir-akhir ini aku mulai terbiasa sih, tapi tetap saja rasanya tidak enak ya?”

 

Awalnya Tojo sedikit kebingungan, tapi begitu mengerti apa yang dimaksud Haruto, dia tertawa masam sambil menjawab.

 

“Kadang-kadang, gimana ya bilangnya...aku merasa pandangan yang tidak enak, dan saat itu rasanya cukup menakutkan.”

 

“Ah, jadi terlalu imut itu juga berat ya.”

 

“I...Mut!?”

 

Tojo mendadak berhenti melangkah mendengar gumaman Haruto.

 

“Hmm? Ada apa?” 

 

Melihat Tojo tiba-tiba berhenti, Haruto bertanya dengan bingung.

 

“Tidak! Tidak ada apa-apa kok.”

 

Tojo tersenyum samar, lalu berjalan tergesa mendahului Haruto.

 

Melihat ekspresi kakaknya, Ryouta melemparkan pertanyaan polos.

 

“Onee-chan? Wajahmu merah lho?”

 

“Eh!? Ah, ini karena panas! Ayo cepat pulang!”

 

Tojo membuang muka dari Ryouta yang mencoba melihat wajahnya, lalu mempercepat langkah pulang ke rumah seolah terburu-buru.

 

 

Haruto dan yang lain selesai berbelanja dan kembali ke rumah. 

 

Sambil membawa tas belanjaan, Haruto memasuki ruang makan dan melihat seorang pria asing sedang duduk di meja makan.

 

“Selamat datang, kamu pasti Otsuki-kun yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga?”

 

“Ah, ya. Umm...”

 

Haruto terlihat sedikit bingung menanggapi pria asing itu. Ryouta melewati Haruto dan berlari menghampiri pria tersebut.

 

“Selamat datang Ayah!”

 

“Aku pulang, Ryouta! Belanjanya seru gak?”

 

Pria itu mengangkat Ryouta sambil tersenyum dan bertanya. Sepertinya pria yang sedang menggendong Ryouta itu adalah ayahnya.

 

Haruto menegakkan postur dan membungkuk dengan sopan.

 

“Salam kenal. Saya Otsuki dari layanan pembantu rumah tangga.”

 

“Ah terima kasih atas kesopanannya. Aku ayah dari Ryouta dan Ayaka.”

 

Sambil menggendong Ryouta, ayah Tojo sedikit membungkukkan kepala. 

 

“Papa pulang cepat hari ini ya.”

 

Tojo yang menyusul Haruto dan Ryouta ke ruang makan berkata begitu.

 

“Ya, karena hari ini Otsuki-kun akan membantu sebagai pembantu rumah tangga, jadi aku pulang lebih awal dari kantor.”

 

Ayah Tojo mengatakan itu sambil melemparkan pandangan penuh harap kepada Haruto.

 

“Katanya hari ini kamu akan membuat pasta krim ya. Hamburger buatanmu yang kemarin enak banget, jadi aku sangat menantikan masakanmu kali ini.”

 

“Terima kasih banyak. Saya akan berusaha memenuhi harapan Anda.”

 

Setelah mengatakan itu, Haruto langsung menuju dapur dan mulai menyiapkan makan malam.

 

Pertama, ia memotong kecil-kecil labu yang akan digunakan untuk sup, lalu memanaskannya di microwave. Sementara menunggu, ia membolak-balik asparagus dengan garam untuk pasta nanti. Setelah asparagus siap, ia memotong tomat untuk caprese dan memasukkannya ke dalam freezer, sambil terus menyiapkan masakannya.

 

Gerakan Haruto di dapur tampak mulus dan terampil dalam menyiapkan masakannya. Melihatnya, Ikue berkomentar dengan nada kagum.

 

“Sungguh gesit sekali! Pria yang bisa memasak itu menawan ya!”

 

Ikue memuji penampilan Haruto memasak, dan ayah Tojo mengangguk setuju.

 

“Cara Otsuki-kun memasak benar-benar seperti koki profesional, sampai aku terpana melihatnya.”

 

“Terima kasih banyak. Saya sangat senang mendapat pujian seperti itu. Saya akan berusaha agar rasanya juga dapat memuaskan.”

 

Haruto membungkukkan kepala dengan senyum agak malu-malu pada pasangan Tojo sambil cepat menghaluskan labu yang dipanaskan di microwave.

 

“Hmm, tidak kusangka ada pemuda sesempurna dirimu di kelas Ayaka.”

 

Ayah Tojo sepertinya terkesan dengan sikap sopan dan kerja keras Haruto sebagai pembantu rumah tangga. Dia bertanya pada putrinya yang duduk di seberang meja makan.

 

“Ayaka, apa kamu akrab dengan Otsuki-kun?”

 

“...Eh? Um, tidak terlalu sih...” 

 

Mendengar jawaban putrinya, ayah Tojo menatap bergantian pada Haruto dan Tojo dengan wajah serius.

 

“Beneran tahu? Aku bahkan baru mengenal Otsuki-kun saat kita menyewanya sebagai pembantu rumah tangga lho?”

 

“Hmm, begitu rupanya.” 

 

Sambil berkata demikian, dia menatap Haruto. Merasa diperhatikan, Haruto pun menjawab hal yang sama.

 

“Ya, saya jarang memiliki kesempatan untuk mengobrol dengan Tojo-san di sekolah.”

 

“Begitu ya, tapi Otsuki-kun tampak serius dan jujur. Akan sangat menyenangkan jika kamu bisa berteman baik dengan putriku sejak kesempatan ini.”

 

“Eh!? Papa!”

 

Tojo panik mendengar perkataan ayahnya. Dia menatap Haruto dengan ekspresi bersalah.

 

“Maaf ya Otsuki-kun. Papaku mengatakan hal yang aneh.”

 

“Ah tidak apa-apa. Yah, memang sudah takdir saya dipanggil untuk mengurus pekerjaan rumah tangga di rumah Tojo-san. Dan seperti yang Papa katakan, akan baik jika kita bisa berteman sebagai teman sekelas ke depannya.”

 

“Eh? Ah ya! Benar juga sih.”

 

Tojo tersenyum kikuk, tapi tampak lega mendengar ucapan Haruto. Melihat keduanya, ayah Tojo sedikit berdeham.

 

“Otsuki-kun, aku senang jika kamu bisa berteman dengan putriku. Tapi, kamu tidak perlu memanggilku ‘Ayah’!!”

 

Dengan nada tegas seperti membacakan dialog penting, ayah Tojo menegaskan hal itu.

 

“Ah, tidak! Maafkan kelancangan saya!!”

 

Haruto tampak panik dan membungkuk meminta maaf.

 

“Ahaha! Tidak tidak, aku hanya bercanda Otsuki-kun.”

 

Ayah Tojo tertawa geli dan berkata, “Aku hanya ingin mengucapkan kalimat itu sekali seumur hidup.”

 

“...Aku sangat terkejut.”

 

“Papa... benar-benar buruk...”

 

Setelah dibilang bercanda, Haruto menghela nafas lega dan menyeka dadanya. Sementara Tojo menatap ayahnya dengan pandangan mengecam dan bergumam kata-kata menyindirnya.

 

Meskipun tersenyum masam menanggapi candaan ayah Tojo, Haruto tidak menghentikan tangannya dan terus menyiapkan makan malam.

 

Lalu Ryouta yang tadi bermain dengan ibunya berlari menghampiri Haruto.

 

“Hei, Onii-chan.”

 

“Ya? Ada apa Ryouta-kun?”

 

“Onii-chan tidak ikut makan malam bersama?”

 

Ryouta menatapnya dengan tatapan polos, membuat Haruto bingung harus menjawab apa.

 

Kontrak Haruto sebagai pembantu rumah tangga berlaku dari pukul 15.00 sampai 18.00. Jika dia ikut makan malam bersama keluarga Tojo, itu artinya melewati jam kontraknya.

 

Bagi Haruto sendiri tidak masalah, tapi mungkin bagi keluarga Tojo akan terasa tidak enak jika dia masih tinggal meski kontraknya sudah berakhir.

 

Karena itu, Haruto bermaksud mengatakan pada Ryouta bahwa dia tidak bisa ikut makan malam bersama. Namun sebelum Haruto mengatakannya, ayah Tojo sudah lebih dulu angkat bicara.

 

“Boleh tuh! Gimana Otsuki-kun? Kalau tidak keberatan, bagaimana kalau kau ikut makan malam bersama kami?”

 

Ayah Tojo yang tampak sangat antusias membuat Haruto bingung.

 

“Saya sendiri tidak keberatan, tapi saya datang ke sini untuk bekerja jadi...”

 

Melihat Haruto ragu-ragu, Ikue tersenyum dan berkata,

 

“Sudahlah Otsuki-kun, tadi kan sudah kubilang? Kamu sekelas dengan Ayaka, jadi tidakk usah sungkan begitu.”

 

“Tapi... apa Tojo-san tidak merasa canggung?”

 

“Tidak masalah kok!”

“Aku tidak keberatan.”

 

Orang tua dan anak itu menjawab bersamaan perkataan Haruto. Memang wajar karena mereka berdua bermarga Tojo.

 

Setelah saling mendahului, ayahnya lalu bertukar pandang dengan putrinya dan tertawa, “Ahaha.”

 

“Otsuki-kun, panggilan seperti itu jadi membingungkan siapa yang dimaksud. Karena yang ada di sini semua bermarga Tojo.”

 

Ayah Tojo berkata dengan wajah sedikit usil.

 

“Ngomong-ngomong, namaku Shuuichi. Karena memanggil Tojo jadi membingungkan, mulai sekarang tolong panggil aku pake nama depan aja ya.”

 

Meski sedikit bingung, Haruto mengabulkan permintaan Shuuichi.

 

“Erm, baiklah Shuuichi-san.”

 

Shuuichi mengangguk puas mendengar jawaban Haruto.

 

“Jadi... apa Shuuichi-san tidak keberatan jika saya ikut makan malam bersama?”

 

“Tentu saja tidak masalah.”

 

Shuuichi menjawab langsung, membuat Haruto tersenyum masam.

 

“Kalau Tojo-sa—ah maksud saya Ayaka-san tidak keberatan?”

 

Haruto hampir memanggil Ayaka dengan ‘Tojo-san’, namun melihat Shuuichi mengangkat alis dengan ekspresi geli, ia menggantinya dengan nama depan.

 

“Ah, ya. Aku juga tidak keberatan kok.”

 

Mungkin karena tidak terbiasa dipanggil nama depan oleh laki-laki, wajah Ayaka sedikit merona saat menjawab. Memang benar, di sekolah Ayaka selalu dikelilingi oleh murid perempuan dan jarang terlihat mengobrol dengan murid laki-laki. Kalau pun ada, itu hanya untuk menyampaikan informasi pelajaran. Setidaknya di sekolah Haruto, tidak ada murid laki-laki yang memanggil nama depan Ayaka dalam situasi seperti itu.

 

Di sinilah Haruto dengan sungkan memanggil nama depan Ayaka dengan persetujuan orang tuanya.

 

Perasaan Haruto campur aduk antara senang, malu, dan canggung. Sementara itu, Ryouta menatapnya dengan senyum polos penuh kegembiraan.

 

“Onii-chan ikut makan malam bersama hari ini?”

 

Dari percakapan tadi, Ryouta menyimpulkan bahwa Haruto akan ikut makan malam bersama mereka. Dia menarik-narik lengan baju Haruto yang sedang memasak dengan senyum lebar dan berkata,

 

“Ya, hari ini aku makan malam bersama Ryouta-kun ya.”

 

“Yeeeyyy!!”

 

“Jadi, tunggulah sebentar sampai masakannya siap ya.”

 

“Oke!”

 

Ryouta mengangguk antusias menanggapi ucapan Haruto, lalu kembali ke ruang keluarga menemui ibunya.

 

Dihiasi senyum polos Ryouta, Haruto bersemangat untuk menyajikan makan malam terbaik untuk keluarga Tojo.

 

Menu hari ini adalah pasta krim rasa lemon, sup dingin dari labu, dan caprese. Hidangan yang segar untuk dinikmati di malam musim panas yang panas.

 

Haruto memblender labu hingga halus, menambahkan susu dan krim, lalu mengaduknya dan memasukannya kembali ke kulkas untuk didinginkan. Selanjutnya, dia merebus pasta di panci dan menumis bacon serta asparagus dengan minyak zaitun.

 

Aroma harum bacon dan minyak zaitun yang lembut menguar dari dapur, membuat Shuuichi tersenyum rileks.

 

“Otsuki-kun, dari siapa kamu belajar memasak?”

 

“Dari nenek saya. Bukan hanya memasak, tapi juga beres-beres rumah dan mencuci, saya mempelajari semua pekerjaan rumah tangga dari nenek.”

 

“Hmm, sepertinya nenekmu adalah sosok yang luar biasa.” 

 

“Terima kasih banyak.”

 

Haruto membungkukkan kepala pada Shuuichi.

 

Bagi Haruto, neneknya adalah guru dalam segala hal menyangkut pekerjaan rumah. Jadi ketika gurunya dipuji, Haruto pun merasa senang sebagai muridnya.

 

Setelah beberapa saat, Haruto menyelesaikan semua masakannya dan menghidangkan makan malam untuk 5 porsi di meja makan.

 

“Wah! Seperti di restoran Italia saja!”

 

Melihat hidangan di meja, Ikue tersenyum lebar.

 

“Terima kasih Otsuki-kun. Ayo kita makan bersama.” 

 

Mendengar Shuuichi, keluarga Tojo mengambil tempat di meja makan. Haruto pun bergabung dengan sedikit ragu.

 

“Kalau gitu, ittadakimasu.”

 

Shuuichi mengatupkan tangan dan yang lain menyahut “Selamat makan.”

 

Setelah itu, Ryouta dengan cepat menyambar garpu dan langsung melahap pasta krimnya.

 

“Enak bangettt!! Onii-chan! Ini enak banget!!”

 

“Aduh Ryouta, pelan-pelan dong makannya, nanti tersedak lho.”

 

Ikue memperingatkan Ryouta yang menelan pasta krimnya seperti minum. Tapi Ryouta terlalu asyik hingga tidak mendengarkan sang ibu, dan piring di depannya sudah hampir kosong.

 

Baru tiga menit makan, tapi Ryouta seperti sudah ingin nambah lagi. Melihat itu, Haruto selaku yang memasak tersenyum. 

 

“Ryouta-kun, tenang saja, aku sudah menyiapkan porsi buat nambah kok, jadi makannya pelan-pelan aja.”

 

“Benarkah!? Aku mau nambah!” 

 

Mata Ryouta berbinar mendengar ucapan Haruto. Tapi begitu melihat piring Ryouta, Ayaka menegurnya.

 

“Jangan Ryouta. Nambah boleh, tapi abisin dulu makananmu sampai bersih.”

 

“Oh, iya!”

 

Menuruti kakaknya, Ryouta berusaha menghabiskan sisa pasta di piringnya dengan susah payah menggunakan garpu. Haruto mengamati tingkahnya sambil tersenyum geli, sampai suara di sebelahnya memanggilnya.

 

“Otsuki-kun, apa... masih ada buat nambah?”

 

Haruto menoleh pada Shuuichi yang bertanya, dan di sana ada piring kosong yang bersih. Sepertinya Shuuichi bahkan menghabiskan makanannya lebih dulu dari Ryouta.

 

“Ya, tentu saja masih ada.”

 

“Kalau begitu, aku juga minta nambah ya.”

 

“Ah! Ayah curang! Aku juga mau nambah!”

 

Ryouta yang sudah menghabiskan makanannya sesuai perintah kakaknya, mengangkat piringnya dan menyodorkannya pada Haruto agar tidak kalah dari ayahnya.

 

Menghadapi permintaan ayah dan anak itu, Haruto hanya tersenyum masam dan membawa piring-piring itu ke dapur. Mengingat Ryouta masih dalam masa pertumbuhan, dia memang sengaja memasak lebih banyak. Haruto kemudian mengisi dua piring dengan porsi nambah.

 

Ketika membawa Porsi nambah untuk Ryouta dan Shuuichi, ekspresi keduanya berbinar-binar.

 

Haruto tergelak melihat ayah dan anak itu tampak sama persis, seperti anjing yang diberi tulang. Mungkin Shuuichi seperti Golden Retriever, sementara Ryouta seperti Shiba kecil. Haruto membayangkan keduanya mengibas-ngibaskan ekor saking senangnya disuguhi makanan lezat, sampai harus menggigit bibirnya untuk menahan senyum lebarnya.

 

“Ufufu, tidak heran kalian bersemangat begitu, makanannya memang enak.” 

 

Ikue tergelak melihat reaksi ayah dan anak itu. 

 

“Rasanya seperti di restoran kelas atas. Ibu setuju kan?”

 

“Ya, sup ini juga sangat lembut dan bumbunyapun pas, enak banget.”

 

“Terima kasih banyak. Saya senang masakan saya dapat memuaskan selera Anda.”

 

Haruto mengucapkan terima kasih dengan sopan, membuat Ikue menatapnya dengan penasaran.

 

“Hei Otsuki-kun, apa masakan andalanmu?” 

 

Mendengar pertanyaan Ikue, Shuuichi dan Ayaka pun memandang Haruto dengan tertarik.

 

Hanya Ryouta yang sepertinya tidak mendengarkan, terlalu terfokus pada makanan di depannya.

 

“Hmm...sebenarnya hamburger yang kemarin juga merupakan masakan andalan saya.” 

 

Haruto bisa memasak masakan Jepang, Barat, maupun Cina. Namun karena neneknya mahir dalam masakan Jepang, secara alami Haruto pun lebih terampil dalam masakan Jepang.

 

“Seperti nikujaga (daging dan sayur rebus) atau chikuzenni, saya cukup mahir membuatnya.” 

 

Kedua masakan tersebut sering dibuatkan neneknya sejak kecil, jadi sudah sangat familiar bagi Haruto.

 

“Nikujaga buatan Otsuki-kun sepertinya enak...”

 

“Ara, Ayaka tertarik dengan masakan Otsuki-kun rupanya?”

 

“Ah, Mama jangan bicara yang aneh-aneh dong!”

 

“Ufufu, maaf maaf.”

 

“Hmph...”

 

Ayaka mengerucutkan bibir mendengar godaan ibunya.

 

“Tapi benar, aku jadi pengen mencoba berbagai masakan Otsuki-kun lainnya.”

 

“Ya, aku juga setuju denganmu.”

 

Ikue menyetujui ucapan Shuuichi.

 

“Jadi, Otsuki-kun.”

 

Shuuichi menghadap Haruto dan mengambil selembar kertas dari rak di belakang meja makan, lalu meletakkannya di atas meja agar bisa dilihat Haruto.

 

“Ini brosur kontrak berlangganan...”

 

“Ya, kami sangat puas dengan jasamu melakukan pekerjaan rumah tangga. Jadi, kami ingin mengontrakmu secara berlangganan khusus untuk rumah kami.” 

 

Haruto tampak terkejut mendengar ucapan Shuuichi.

 

“Ah...terima kasih banyak. Saya sangat tersanjung.” 

 

“Tidak, kami yang seharusnya berterima kasih padamu.”

 

“Ya, kami harap kita bisa bekerja sama dengan baik mulai sekarang.”

 

Shuuichi dan Ikue tersenyum ramah. Haruto mencuri pandang ke arah Ayaka yang sedikit menunduk sambil menatapnya.

 

“Mohon bantuannya ya, Otsuki-kun.” 

 

“Ba-baik, mohon bantuannya juga.”

 

Haruto membungkuk dengan sedikit bingung. Dia sama sekali tidak menyangka akan ditawari kontrak berlangganan khusus dari pekerjaan sambilan sebagai pembantu rumah tangga yang awalnya hanya untuk menambah biaya kuliahnya.

 

Pekerjaan sambilan biasa yang dia ambil dengan harapan sekedar mendapat tambahan uang, ternyata dilirik oleh keluarga idola sekolah dan diundang untuk bekerja di rumah mereka selama liburan musim panas. 

 

Kejadian di luar dugaan itu membuat Haruto sejenak tak mampu berpikir, sampai-sampai ia hanya mengelap sisa sup di sekitar mulut Ryouta yang masih asyik makan.


Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !