Kaji Daikō no Arubaito o Hajimetara bab 5

Ndrii
0

 Chapter 5

Cinta Pertama




Di tengah musim panas yang menyengat meskipun masih pagi hari. Seperti biasa, Haruto menduduki meja milik sahabatnya yang memiliki AC di ruangan itu, dan membuka buku-buku pelajarannya untuk belajar.

 

“Hei Haru. Kalau kamu terus-terusan belajar begitu, nanti malah jadi bodoh lho?”

 

Tomoya, yang mejanya dirampas Haruto untuk duduk, berkata sambil berlatih gitar di atas ranjang.

 

“Justru kamu yang akan jadi payah kalau hanya berlatih gitar terus.”

 

Tanpa mengalihkan pandangan dari buku pelajaran, Haruto membalas. Tomoya tertawa mendengarnya, “Apa-apaan itu?”

 

“Aku berlatih biar tambah jago, mana mungkin jadi payah?”

 

Mendengar perkataan Tomoya yang terdengar masuk akal itu, Haruto menghentikan penanya dan menatap sahabatnya dengan ekspresi heran.

 

“...Tomoya, gimana kalau kamu sesekali coba belajar?”

 

“Ogah! Mana mungkin aku punya waktu untuk belajar. Aku sibuk mengasah kemampuan gitarku.”

 

Tomoya mengatakan itu dengan tegas, lalu mulai memetik gitarnya. Haruto hanya mengangkat bahu melihat tanggapan sahabatnya itu, dan melanjutkan belajarnya.

 

Setelah itu, mereka masing-masing fokus pada urusannya tanpa mengganggu satu sama lain. Namun, beberapa saat kemudian, Tomoya menghentikan latihannya dan memanggil Haruto. “Hei Haru? Ngomong-ngomong, gimana dengan pekerjaanmu sebagai pembantu rumah tangga?”

 

“Gimana apanya? Ya kayak biasa.” 

 

“Apakah kamu tidak bertemu lagi dengan Tojo-san setelah pertemuan pertama itu? Hanya sekali itu saja?”

 

“........”

 

Mendengar pertanyaan Tomoya, Haruto tiba-tiba menghentikan aktifitas belajarnya. Menyadari perubahan sikap Haruto, Tomoya menyeringai.

 

“Hei, jangan-jangan... Kamu masih mengunjungi rumah Tojo-san setelah pertemuan itu?”

 

“...Ini pekerjaan. Aku hanya mengunjungi rumah Tojo-san hanya sebagai pembantu rumah tangga.”

 

Meski Haruto menjawab dengan nada datar, Tomoya justru terlihat bersemangat seolah ini urusannya sendiri. 

 

“Seriusan!? Kamu benar-benar masih mengunjungi rumah Tojo-san!?”

 

“Yah, bukan mengunjungi sih... Aku hanya mendapat kontrak langganan di sana.”

 

“Eh? Itu luar biasa kan? Itu artinya keluarga Tojo menyukaimu!”

 

“Mereka hanya menyukai hasil kerjaku aja.”

 

Haruto menanggapi dengan tenang, kontras dengan semangat sahabatnya. 

 

“Tapi tetap aja itu luar biasa kan? Dengan begini, kamu bisa perlahan mendekatkan diri dengan Tojo-san! Siapa tahu kalian bisa pacaran nanti?”

 

“Itu mustahil. Tidak akan pernah terjadi.” 

 

Haruto membantah dengan tegas perkataan Tomoya. “Kenapa kamu seyakin itu? Kalau sering bertemu, kalian bisa tambah dekat kan?”

 

“Yah, mungkin kami akan sedikit lebih dekat dibanding sebelum liburan musim panas. Aku dan Ayaka mungkin akan jadi cukup akrab untuk saling menyapa saat bertemu di pagi hari. Tapi, tidak lebih dari itu.”

(Tln: hayo keceplosan :v)

 

Dengan mengunjungi rumah itu dalam statusnya sebagai staf pembantu rumah tangga, hubungannya dengan Ayaka mungkin akan sedikit lebih dekat dibanding sebelum liburan musim panas. Mereka mungkin akan saling menyapa ketika bertemu di pagi hari. Namun, Haruto tidak berharap akan semakin dekat hingga sampai pada tahap berpacaran. 

 

“Tojo-san yang selalu menolak pernyataan cinta dari semua lelaki, tidak mungkin jatuh hati padaku.”

 

“Siapa yang tahu? Kamu jago masak, mungkin aja dia bisa jatuh cinta karena masakanmu yang enak?”

 

“Kalau Tojo-san semudah itu jatuh cinta pada seseorang, seharusnya sekarang dia sudah punya pacar kan?” 

 

Sambil berkata begitu, Haruto kembali fokus pada buku-buku pelajarannya. 

 

“Lagipula, seandainya aku dan Tojo-san memang semakin dekat, aku tidak mungkin bisa pacaran dengannya.”

 

“Kenapa gitu?” 

 

Tomoya memiringkan kepalanya seperti benar-benar tidak mengerti. Sambil menatap buku pelajarannya, Haruto menjawab.

 

“Maksudku, Tojo-san itu kan idol di sekolah? Kalau kami berangkat sekolah bergandengan tangan di pagi hari. Aku pasti akan dihajar habis-habisan oleh seluruh siswa laki-laki sampai tidak bisa pulang.”

 

Haruto mengernyitkan dahi ketika mengingat tatapan iri yang diterimanya dari orang-orang ketika berbelanja di supermarket bersama Ayaka dan Ryouta.

 

“Kamu kan juara karate, hajar aja mereka semua. Bukannya itu tujuan utama kamu belajar karate?”

 

“Bukan buat itu. Aku belajar karate untuk mempelajari tata krama dan menempa mental, bukan untuk kekerasan. Kekerasan tidak dibenarkan dalam situasi apapun.”

 

“Kamu kok kaku banget sih.” 

 

“Wajarnya emang gitu kan?”

 

Haruto menjawab singkat sambil menulis di bukunya.

 

“Lalu, kalau Tojo-san yang menunjukkan ketertarikan padamu, kamu tidak akan melakukan apa-apa?”

 

“Karena aku ingin menjalani kehidupan SMA yang damai. Tugas utama seorang pelajar adalah belajar.”

 

“Pengecut.”

 

“Terserah.”

 

Haruto sepertinya mengakhiri obrolan itu dan mulai fokus belajar. Melihat sikap sahabatnya itu, Tomoya bergumam “Sayang sekali” sebelum kembali berlatih gitar. 

 

Haruto terus belajar di meja hingga mendekati waktu makan siang. Setelah melihat jam dinding, dia meregangkan tubuhnya.

 

“Oke, aku pulang dulu.”

 

“Oh, sudah waktunya makan siang ya?”

 

Tomoya juga menghentikan latihannya dan melirik jam.

 

“Terima kasih sudah meminjamkan mejamu.”

 

“Biaya sewanya satu juta yen.”

 

“Kalau begitu, bayaranku membersihkan kamarmu adalah seratus juta per satu kali.”

 

Sambil membereskan peralatan belajarnya, Haruto berkata santai.

 

“Oke, kamu bebas menggunakan mejaku kapan saja.”

 

“Heh, sangkyu.”

 

Haruto mengangguk kecil sambil mengangkat satu tangan menanggapi Tomoya yang membungkuk berterimakasih dengan sopan.

 

“Kamu ada shift kerja setelah ini?” 

 

“Ya, belanja dulu, aku kerja mulai pukul 3.”

 

“Di rumah Tojo-san?”

 

“Ya.”

 

Haruto menjawab singkat sambil memasukkan buku-bukunya ke dalam tas.

 

“Aku iri padamu.”

 

“Ini kan Cuma pekerjaan. Bukan berarti aku bisa dekat dengan Tojo-san seperti yang kamu bayangkan.” 

 

“Tapi setidaknya kamu bisa melihat wajah Tojo-san kan?”

 

“Melihat wajahnya ya...”

 

Haruto mengangkat alisnya dengan ekspresi seolah berkata ‘apa maksudmu’, lalu beranjak pergi dari kamar Tomoya. Tomoya pun mengikutinya.

 

“Hm? Kamu juga akan pergi?” 

 

“Ya, hari ini aku ada latihan dengan teman-teman bandku di studio.”

 

Tomoya menjawab sambil menepuk-nepuk tas gitar di bahunya.

 

“Begitu ya, semangat latihannya.”

 

“Kamu juga, semangat mendekati Tojo-san ya.”

 

“Itu bukan sesuatu yang harus di semangatin.”

 

“Ayolah, setidaknya cobalah.”

 

Mendengar sahabatnya berkata dengan senyum masam, Haruto menggaruk kepalanya sambil menjawab.

 

“Ya ya, aku mengerti kok. Oke, sampai nanti.”

 

Setelah menjawab seadanya, Haruto berpisah dengan Tomoya.

 

 

Setelah berpisah dengan Tomoya, Haruto menuju ke supermarket sebelum pergi bekerja. 

 

Pagi tadi saat membuat sarapan bersama neneknya, stok miso sepertinya akan habis, jadi dia perlu membelinya.

 

“Ah iya, aku juga harus membeli tahu fermentasi, stoknya juga tinggal sedikit.”

 

Sambil mengingat isi kulkas, Haruto berjalan di bawah sengatan matahari musim panas yang menyengat. 

 

Saat tiba di supermarket, dia sudah keringatan. Mengambil keranjang belanja di pintu masuk dan menyambut hawa dingin AC di dalam toko, Haruto menghela nafas lega.

 

“Hm? Kok rame ya.”

 

Menurutnya, supermarket biasanya sepi setelah waktu makan siang. Tapi mungkin karena sedang musim liburan makanya banyak orang.

 

Saat berjalan ke area miso, Haruto melihat iklan yang terpampang.

 

“Oh, rupanya ada diskon waktu terbatas. Pantesan rame.”

 

Supermarket mengadakan diskon waktu terbatas pada jam ketika pengunjung biasanya sepi, inisiatif untuk meningkatkan jumlah pembeli.

 

“Nah, apakah ada sesuatu yang menarik.”

 

Haruto mendekati iklan dan mengeceknya. Rupanya daginganlah yang paling ditonjolkan dalam diskon kali ini. 

 

“Daging iris sapi 128 yen per 100 gram ya... hmm... murah sih, tapi tidak semurah itu sampai menarik untuk diambil.”

 

Haruto kurang tertarik dengan barang-barang di iklan. Mungkin karena tadi berjalan di bawah terik matahari sehingga mengurangi seleranya, dia tidak berselera dengan daging.

 

“Lainnya... oh, bumbu juga didiskon ya. Seharusnya aku cek dulu stok bumbu di rumah... eh? Ehhh!?”

 

Haruto tiba-tiba membelalak dan menatap lekat ke satu bagian iklan.

 

“Minyak wijen 78 yen... serius?”

(Tln: sekitar 8000 an)

 

Terlalu murah, bahkan sangat murah. 

 

Dalam pandangan Haruto, minyak wijen termasuk barang mewah. Bahkan untuk produk murah supermarket pun harganya masih 200-300 yen. Kalau minyak wijen merek terkenal, bisa dengan mudah menghabiskan 500 yen dalam sekejap.

 

Meski begitu, minyak wijen punya banyak kegunaan. 

 

Aroma wijen yang harum bisa membangunkan selera makan yang hilang di musim panas. Tinggal mencipratkannya sedikit pada tumisan sayur atau nasi goreng, rasanya akan jauh lebih lezat. Ditambah bawang putih, rasanya sudah tak tertandingi. Di malam-malam tropis yang pengap, minyak wijen juga nikmat disantap dengan tahu dingin dan kimchi.

 

“Aku harus beli ini!!!”

 

Haruto segera bergegas menuju area minyak wijen. 

 

Dengan terengah-engah, Haruto berdiri di depan deretan minyak wijen di rak. Matanya melihat angka besar yang tercetak di label harga berwarna kuning. 78, tanpa keraguan.

 

“Sebenarnya... dunia ini kenapa bisa begini...” 

 

Harga yang sangat mengejutkan itu membuat Haruto kebingungan.

 

“Minyak wijen semurah ini... ah! Ini pasti isekai! Inilah yang disebut reinkarnasi ke isekai, yang biasa di omongin itu!!”

 

Sambil bergumam hal yang terdengar bodoh, Haruto mengulurkan tangan ke barang tersebut. Namun, dia tiba-tiba menyadari sesuatu dan menarik tangannya kembali. Pandangannya tertuju pada sebuah kalimat di bawah harga di iklan.

 

“Maksimal 1 per pembeli... sialan, kamu lagi!”

 

Menatap kalimat itu dengan tatapan penuh kebencian, seolah menghadapi raja iblis, Haruto mengumpat.

 

“Maksimal 1 per pembeli” ini adalah musuh semua ibu rumah tangga. Para ibu rumah tangga akan memanggil teman dan kerabat untuk mengalahkan musuh tangguh ini.

 

Haruto pun segera mengeluarkan ponselnya dan dengan kecepatan luar biasa berusaha memanggil bala bantuan. Nada tunggu yang terdengar di telinganya kontras dengan perasaannya yang tidak tenang. Mungkin para rival (ibu rumah tangga) sedang sibuk berebut daging iris sapi yang jadi andalan diskon, jadi ini kesempatan baginya mengamankan minyak wijen. 

 

Menekan keinginan berburunya, Haruto menunggu panggilan diterima. Beberapa detik kemudian, dia tersambung dengan suara santai sahabatnya.

 

[Yo, ada apa? Lupa sesuatu?]

 

“Bisakah kamu ke supermarket sekarang juga!?”

 

[Whoa, kayaknya darurat nih. Jangan-jangan yang itu lagi deh?]

 

“Iya! Kali ini aku tidak boleh melewatkannya!!!”

 

Berkali-kali Haruto telah memanggil Tomoya untuk menghadapi musuh “maksimal 1 per pembeli”. Dengan kata lain, Tomoya bukan hanya sahabat, tapi juga rekan tempur. Namun jawaban sahabatnya kali ini mengecewakan.

 

[Ah... maaf ya, aku sudah di studio dan latihan gabungan mau mulai nih...]

 

“...Begitu ya, iya benar juga. Ah maaf sudah mengganggu. Lanjutkan saja latihanmu.” 

 

[Ya... umm... maafkan aku...] 

 

Sepertinya Haruto terdengar sangat kecewa hingga membuat Tomoya merasa bersalah. 

 

“Tak apa. Tomoya tidak salah. Ya sudah kalau begitu.”

 

Haruto mengakhiri panggilan dan mencoba memanggil rekan lainnya. 

 

Dia menghubungi kontak lain melalui aplikasi obrolan. Setelah beberapa saat, terdengar suara dari ponselnya.

 

[“Ada apa Haruto?”]

 

“Kazu-senpai! Kamu ada waktu sekarang!?”

 

[Ada apa sih? Kok terburu-buru gitu?]

 

Setelah Tomoya, Haruto meminta bantuan pada Ishigura Kazuaki, senior setingkat di dojo tempat mereka berlatih bela diri.

 

“Aku sedang di supermarket, dan ada barang diskon dengan aturan maksimal 1 per pembeli. Bisakah kamu membantuku?”

 

[Oh begitu. Hmm, apa harus sekarang juga?]

 

“...Ya, kurasa jika tidak cepat, nanti barangnya keburu habis.”

 

Dari reaksi Ishigura, Haruto merasa sepertinya akan ditolak.

 

[Begini, aku sedang memanggang kue, jadi tidak bisa kemana-mana. Maaf ya.]

 

“Oh begitu ya...kalau begitu tidak apa-apa.”

 

[Maaf ya.] 

 

“Tidak masalah.”

 

Setelah mengakhiri panggilan dengan Ishigura, Haruto mencoba menghubungi satu orang lagi dengan harapan tipis. Panggilannya tersambung secepat nada tunggu berbunyi.

 

[Haru-senpai, berapa anak yang kamu inginkan?]

 

“Maaf Shizuku. Aku sama sekali tidak mengerti maksudmu.”

 

Terdengar suara datar dari juniornya, Doujima Shizuku, di ponsel. Dia juniornya di dojo dan juga sekolah yang sama. Perkataan Shizuku yang tidak masuk akal itu membuat Haruto merasa lesu seakan tenaganya terkuras.

 

[Apa ini bukan telepon untuk mendiskusikan rencana keluarga di masa depan kita, Haru-senpai?]

 

“Kurasa seumur hidup aku tidak akan pernah menelpon untuk membahas itu.”

 

[Zzrraattt] 

 

Shizuku membuat suara aneh saat Haruto menjawab dengan datar. Meski begitu, nada bicaranya yang datar justru terdengar lucu, hingga membuat Haruto tanpa sengaja tertawa kecil. 

 

“Zzrraatt? Ini jaman apa sih?”

 

[Aku ini masih pelajar SMA lho? Kalau bukan rencana keluarga, apa ini konsultasi tujuan bulan madu? Aku pilih Pulau Santorini.] 

 

“Itu dimana? Bukan begitu, aku butuh bantuanmu untuk barang diskon di supermarket.”

 

Agar tidak membuang waktu karena meladeni candaan Shizuku, Haruto langsung mengutarakan maksudnya.

 

[Ohh gitu, jadi aku ini hanya wanita yang kamu manfaatkan pas dibutuhin doang ya?”]

 

“...Kalau kamu membantuku, aku akan memberikan upah yang sepantasnya.”

 

[Dengan ciuman?]

 

“Aku akan memberi upah yang lebih pantas.” 

 

[Ja-jangan-jangan... yang ‘lebih’ itu artinya... Senpai mesum.]

 

Shizuku selalu memelintir maksud perkataannya. Menghela nafas lelah, Haruto bertanya “Ya, jadi kamu mau membantuku atau tidak?”

 

[Tentu saja aku mau bilang iya, tapi...maaf Senpai. Sebenarnya ibu menyuruhku mencabut rumput, dan aku sudah mengabaikannya 4 kali berturut-turut sampai akhirnya disambar petir jadi...]

 

Dengan nada lesu yang tidak biasa, Shizuku berkata [“Maaf ya Senpai, sepertinya tidak bisa.”] 

 

“Oh gitu, ya sudah, lakukan apa kata Bini ya.”

 

[Iya...]

 

“Ya sudah kalau begitu. Semangat mencabut rumputnya.”

 

[Haru-senpai... Aku suka kamu...] 

 

“Ya ya.”

 

Setelah mengakhiri panggilan dengan Shizuku yang masih bercanda sampai akhir, Haruto menghela nafas panjang. Gagal memperoleh bantuan siapapun, Haruto menelan kekecewaannya kalah dari peraturan “maksimal 1 per pembeli”.

 

“Haah, ya sudahlah, setidaknya aku masih bisa beli satu. Aku harus puas dengan itu saja.” 

 

Haruto mengambil satu botol minyak wijen dari rak dan meletakkannya di keranjang belanjaannya dengan lesu.

 

“...Beli miso aja lah, terus pulang.” 

 

Saat melangkah gontai, seseorang memanggilnya dari belakang.

 

“Otsuki-kun?” 

 

Mendengar suara itu, Haruto menoleh dan teringat. Ada satu hal yang hampir selalu muncul dalam cerita reinkarnasi ke dunia lain.

 

Yaitu dewi pelindung.

 

Dewi yang memberi kekuatan luar biasa pada pahlawan, dan menyelamatkannya dari bahaya.

 

Sekarang, dewi yang sama muncul di hadapan Haruto.  Haruto menantang raja iblis yang berkata, ‘Hanya satu pembelian per orang” tetapi dia tidak mampu mengatasi tantangan tersebut dan tertinggal di depan Haruto. Seorang dewi yang akan memberimu kekuatan untuk bangkit kembali.

 

 “Ah! Tojo-san! Kamu seorang dewi!!”

 

 “Hueee?”


Dengan tingginya semangat dan kata-kata dari teka-teki Haruto no Nazu, suara aneh keluar dari Ayaka.

 

 

Ketika aku pergi ke supermarket dekat rumah karena diminta Mama untuk berbelanja, secara tidak sengaja aku melihat Otsuki-kun.

 

Melihat penampilan Otsuki-kun di luar saat mengerjakan pekerjaan rumah tangga, aku terkejut dan secara refleks bersembunyi di balik rak barang. 

 

Ah, bagaimana ini? Haruskah aku menyapanya?

 

Karena dia sudah datang ke rumahku tiga kali, mungkin sudah cukup akrab untuk saling menyapa jika bertemu secara kebetulan?

 

Tapi gimana kalau Otsuki-kun sama sekali tidak menganggapku seperti itu dan berpikir “Siapa orang ini? Benar-benar tidak tahu sopan santun.”

 

Ugh... Aku tidak mau itu terjadi.

 

Tapi Otsuki-kun bukan orang seperti itu, kan? Karena dia baik hati, dia pasti akan tersenyum dan membalas sapaanku. 

 

Aku mengintip keadaan Otsuki-kun dari balik rak dengan hati-hati. Sejak tadi, dengan ekspresi sulit, dia memandangi barang-barang yang dijejer. Aku sempat berpikir mungkin Otsuki-kun akan menyadariku lebih dulu dan menyapaku, tapi sepertinya kemungkinan itu tidak ada setelah melihat ekspresinya saat ini.

 

...Otsuki-kun bisa berekspresi seperti itu juga.

 

Saat Otsuki-kun datang ke rumah untuk mengerjakan pekerjaan rumah tangga, dia selalu berekspresi tenang. Tapi sekarang, dia menatap satu titik dengan tatapan keras.

 

Bisa melihat sisi Otsuki-kun yang belum kuketahui, rasanya sedikit menyenangkan.

 

Saat aku mengintip tingkahnya dari balik rak seperti itu, tiba-tiba dia mengeluarkan ponsel dan mulai menghubungi seseorang dengan sangat tergesa-gesa. Setelah menelepon sekitar tiga orang berturut-turut, dengan tampang sangat kecewa dia mengakhiri panggilannya dan mengambil sebuah barang. 

 

Itu... minyak wijen? Kenapa dia terlihat begitu sedih saat mengambil minyak wijen?

 

Sementara aku bertanya-tanya, Otsuki-kun dengan punggung yang tampak murung mulai berjalan pergi dengan gontai.

 

Ada apa dengannya? Kenapa dia terlihat begitu sedih? Apa karena minyak wijennya? 

 

Banyak pertanyaan yang muncul satu per satu. Aku sangat penasaran.

 

“Otsuki-kun?”

 

Terlalu penasaran, tanpa sadar aku keluar dari persembunyian di balik rak dan memanggil namanya.

 

Ah! Gimana ini! Aku sudah memanggilnya! Padahal hatiku belum siap...

 

Meski panik, aku berusaha memikirkan beberapa kemungkinan sapaan agar bisa mengobrol dengan Otsuki-kun dengan wajar.

 

Hari ini cuacanya indah... ah, tidak, itu aneh ya. Selamat siang Otsuki-kun... terlalu biasa? Sedang apa di sini? ...tentu saja berbelanja karena kita di supermarket. Kalau begitu... benar-benar takdir bisa bertemu di sini ya! ...ini pasti salah besar!! Apa yang kupikirkan sih!? 

 

Sementara aku sibuk dengan pikiranku yang kacau, Otsuki-kun malah mengatakan sesuatu yang membuatku semakin bingung.

 

“Ah! Tojo-san! Kamu adalah dewi penyelamatku!!”

 

“Hueeee!?”

 

Aku memekik aneh! Atau, apa? Dewi? Aku? Dewi bagi Otsuki-kun?

 

Aku tidak mengerti. Dewi apa? Seseorang yang digambarkan berdiri di dalam kerang di lukisan zaman dulu, atau yang memimpin rakyat dengan membawa bendera di barisan terdepan?

 

“Tojo-san! Aku ingin minta tolong padamu!”

 

“Ba-baik”

 

Otsuki-kun menatapku dengan tatapan sangat serius. Bagaimana ini, jika ditatap seperti itu, detak jantungku jadi semakin cepat...Ah! Tunggu! Jangan-jangan... ini... ini penyataan cinta!?

 

Tunggu tunggu tunggu! Di sini? Di bagian bumbu masak supermarket? Menyatakan cinta sambil memegang minyak wijen!? 

 

 Gi-Gimana ini... terlalu unik sampai pikiranku jadi kacau.

 

Ka-kalau memang pernyataan cinta, akan kutolak dulu. Ya, kutolak. Lalu kukatakan “Tolong jadikan aku temanmu saja.”

 

“Tojo-san! Tolong bantu aku membeli minyak wijen!!”

 

“Ba-Baiklah! Mohon bantuannya!!” 

 

Bodohnya aku!! Bukannya aku sudah memutuskan untuk menolaknya dulu!! ...Eh? Minyak wijen? Maksudnya apa?

 

“Benarkah!? Wah, terima kasih banyak. Aku jadi ke tolong banget.”

 

“Ah, ya. Tidak masalah.”

 

Eh? Eh? Apa? Apa maksudnya? Membantu membeli minyak wijen? Kerja sama suami-istri pertama kalinya seperti itu? Melamar dengan minyak wijen yang tak terduga?

 

Saat aku berada dalam puncak kebingungan, Otsuki-kun menunjuk sebuah kalimat pada iklan di rak minyak wijen sambil tersenyum lebar.

 

“Minyak wijen ini terbatas satu item per orang, jadi aku mencoba meminta teman untuk membelinya dua botol, tetapi tidak ada yang bisa datang, jadi aku akan menyerah dengan satu botol saja.”

 

“Ah! Begitu rupanya! ......Ya, benar. Satu item per orang......Ya, benar. Jadi aku bisa membelinya untukmu ya?” 

 

“Ya, aku akan membayarnya nanti.”

 

“Oke, aku mengerti. Kalau begitu aku akan membelinya untukmu.”

 

Aku mengatakannya dan mengambil minyak wijen yang sedang dijual, lalu memasukkannya ke keranjang.

 

.........Memalukan!!!

 

Aku benar-benar salah paham ya!! Apa-apaan melamar dengan minyak wijen!! Tidak mungkin ada yang seperti itu!! Aku bodoh! Bodoh! Bodoh!!

 

Ahh......sepertinya minyak wijen akan menjadi trauma bagiku. Aku punya firasat akan memimpikannya sebagai mimpi buruk malam ini. 

 

Pasti wajahku sekarang sudah merah sampai ke telinga karena malu. Kalau bisa, aku tidak ingin Otsuki-kun melihat wajahku seperti ini.

 

Aku memalingkan wajahku agar Otsuki-kun tidak melihat ekspresiku. “Wow, bisa membeli minyak wijen seharga 78 yen, entah kejadian ini bisa terjadi berapa kali selama seumur hidup. Mungkin 80 tahun lagi.”

 

“78 yen untuk minyak wijen memang murah ya.”

 

Diskon minyak wijen sama kayak kemunculan bintang jatuh benar? .....Benarkan? 

 

Aku pura-pura memandangi minyak wijen di rak sambil membelakangi Otsuki-kun untuk mengobrol dengannya.

 

“Harga ini sudah seperti keajaiban. Pasti akan menang penghargaan Minyak Wijen Terbaik tahun ini.”

 

“Minyak Wijen Terbaik......Hahaha, apa maksudnya itu?”

 

Aku tidak bisa menahan tawa mendengar leluconnya. Ternyata Otsuki-kun juga bisa melawak seperti itu.

 

Sambil memikirkannya, aku diam-diam melirik ke arahnya untuk melihat ekspresinya. 

 

Otsuki-kun sekarang tersenyum sumringah seolah kebahagiannya meledak. Senyumnya terlihat polos seperti Ryouta sewaktu kecil.

 

Lucunya......

 

Melihat senyum polos Otsuki-kun yang biasanya terlihat dewasa, aku jadi melunak tanpa sadar. ......Eh, tidak sopan ya menganggap cowok seumuran, sekeas lucu. Otsuki-kun pasti merasa tidak nyaman juga kalau dibilang lucu oleh anak perempuan sebayanya.

 

Aku menekan perasaan itu dalam diriku.

 

“Ngomong-ngomong, kamu datang untuk membeli apa?”

 

“Eh? Ah, aku disuruh Mama untuk membeli wasabi.”

 

“Hanya wasabi?”

 

“Ya.” 

 

“Kalau begitu, seharusnya kamu memberitahuku waktu aku datang untuk pekerjaan rumah tanggamu, aku bisa membelikannya.”

 

Otsuki-kun mengatakannya, tapi aku menggelengkan kepala.

 

“Papa ingin kamu fokus untuk memasak makan malam hari ini.”

 

“......? Jadi ada permintaan khusus untuk makan malam ya?”

 

“Ya, sebenarnya Papa sedang pergi memancing hari ini, dan dia ingin kamu yang mengolah ikan hasil tangkapannya.”

 

Papa kadang-kadang memancing ikan untuk hobi. Tapi biasanya dia merasa repot untuk mengolahnua di rumah, jadi diberikan saja ke temannya yang sama-sama suka mancing. Tetapi kali ini, karena ada Otsuki-kun, dia bersemangat untuk membawa pulang semua ikan yang ditangkapnya.

 

“Otsuki-kun bisa mengolah ikan?” 

 

Papa terlalu bersemangat sampai lupa mengonfirmasi hal itu. Kalau ternyata Otsuki-kun tidak bisa mengolah ikan, bisa jadi bencana besar.

 

Yah, mungkin Otsuki-kun bisa melakukannya sih. Tapi ada juga yang tidak bisa menyentuh ikan sama sekali. Siapa tahu Otsuki-kun termasuk tipe seperti itu?

 

Otsuki-kun yang kebingungan menghadapi ikan yang melompat-lompat di atas talenan...ya, lucunya. Aku ingin melihatnya seperti itu.

 

“Ya, meskipun tergantung jenis ikannya, tapi kurasa aku cukup menguasai cara mengolahnya secara mendasar, jadi mungkin tidak ada masalah. Ngomong-ngomong, apa kamu tahu ikan apa saja yang berhasil dipancing?”

 

“Ah, iya. Tunggu sebentar, seharusnya tertulis di obrolan dengan Papa.”

 

Aku menyadari telah tersenyum-senyum karena khayalanku, lalu cepat-cepat menegakkan ekspresiku dan mengoperasikan ponsel untuk membuka obrolan dengan Papa.

 

“Nah, yang berhasil dipancing adalah tenggiri, tuna, dan... ini dibaca apa ya?”

 

Aku memiringkan kepala melihat huruf Kanji yang tidak terlalu kukenal. Ikan yang musim semi, hmm, rasanya pernah lihat tapi juga tidak?

 

Saat aku kesulitan membaca huruf Kanji itu, Otsuki-kun menyahut dari sampingku.

 

“Boleh kulihat layarnya sebentar?”

 

“Ya.”

 

Setelah aku mengangguk, Otsuki-kun mendekat dan sedikit memanjangkan leher untuk mengintip ponselku.

 

“Ah, ini ikan salmon.”

 

“Hee, jadi ikan musim semi itu dibaca salmon ya.”

 

“Ikan ini biasanya mendekat ke pantai untuk bertelur saat musim semi tiba, makanya sering terlihat. Oleh karena itu, orang-orang zaman dulu menyebutnya ikan pembawa musim semi, sehingga huruf Kanjinya jadi begitu.”

 

“Begitu ya. Ikan pembawa musim semi, terdengar manis ya.”

 

Di dalam kepalaku terbayang imajinasi ikan-ikan yang disederhanakan menjadi bentuk lucu dan feminin, berenang dengan anggun di laut yang dihiasi kelopak bunga sakura yang beterbangan. “Tapi ikan ini punya gigi yang sangat tajam dan suka memutus kail pancing, makanya para pemancing menyebutnya ‘Salmon Pemotong’.”

 

Otsuki-kun mengatakannya sambil tertawa. Dari perkataannya, imajanku tentang salmon yang manis berubah drastis menjadi ikan monster buas seperti piranha. 

 

“Jangan-jangan salmon itu menakutkan?”

 

“Yah, itu emang ikan karnivora besar sih. Tapi rasanya enak banget lho. Bukan hanya sashimi, salmon bakar masakan Kyoto juga enak. Dagingnya lembut, jadi teksturnya lumer di mulut dan rasanya sangat gurih. Pasti bikin nagih.”

 

“Hee, Otsuki-kun ternyata jago soal makanan ya.”

 

Aku mengatakannya sambil memalingkan muka ke arah Otsuki-kun di sampingku. Lalu dengan tergesa-gesa aku mengalihkan pandangan kembali ke layar ponsel.

 

Ja-Jarak kami terlalu dekat! Wajah Otsuki-kun ada tepat di sampingku!! 

 

Karena kami melihat layar ponsel yang sama, wajah kami jadi sangat berdekatan.

 

Gi-Gimana ini....

 

Tapi kalau aku tiba-tiba menjauh, Otsuki-kun bisa mengira aku terlalu memperhatikannya kan? Atau mungkin dia tidak terlalu memikirkan jarak sedekat ini?

 

Saat ini aku dan Otsuki-kun berdekatan hingga bahu kami hampir bersentuhan. Kami sama-sama berada dalam zona pribadi satu sama lain. 

 

Kali ini, dengan perlahan dan tanpa ketahuan aku melirik ke arah Otsuki-kun. 

 

Ah, bulu mata Otsuki-kun cukup panjang ya. Entah kenapa, saat memandangi wajahnya aku merasa seperti tersedot ke dalam, perasaan aneh yang tak terlukiskan....

 

“Ngomong-ngomong, di rumahmu ada kompor gas gak?”

 

“Hah!? Ah, eh? Kompor gas? Hmm, kurasa tidak punya.” 

 

Astaga aku kaget! Saat aku sedang memandangi wajah sampingnya, tiba-tiba dia bicara menghadapku, hampir membuatku serangan jantung.

 

“Kompor gas itu diperlukan untuk mengolah ikan ya?”

 

Semoga Otsuki-kun tidak menyadari kalau aku sedang menatap wajahnya diam-diam.

 

Aku bertanya dengan sedikit was-was.

 

“Salmon paling enak kalau dipanggang.”

 

“Ohh, begitu ya.”

 

Sepertinya aman, Otsuki-kun tidak menyadari kalau aku memandangi wajahnya.

 

“Kebetulan di sebelah supermarket ini ada toko perlengkapan rumah tangga, jadi aku akan membelinya di sana.”

 

“Ah, boleh aku ikut?”

 

Gawat! Aku keceplosan ingin ikut tanpa sadar.

 

“Ke toko perlengkapan rumah tangganya?”

 

“Iya, aku jarang pergi ke toko seperti itu...”

 

Begitu aku mengatakannya, tapi sebenarnya bukan itu alasannya. 

 

Aku ingin menghabiskan lebih banyak waktu bersama Otsuki-kun, mengenalnya lebih jauh saat dia tidak sedang bekerja. 

 

Kalau aku berpikir begitu, artinya aku memang...

 

Tidak, tunggu! Mungkin masih terlalu cepat untuk menyimpulkan. Aku mungkin hanya ingin berteman akrab dengan Otsuki-kun, atau mungkin saja aku hanya terbawa suasana karena ini pertama kalinya bisa mengobrol biasa dengan laki-laki.

 

Memang, saat mengingat interaksiku dengan Otsuki-kun tadi, ada momen yang membuatku berdebar. Tapi sepertinya belum ada yang cukup untuk membuatku yakin kalau aku benar-benar jatuh cinta padanya... Eh?

 

Ngomong-ngomong, tadi aku malah salah mengira Otsuki-kun akan menyatakan cinta padaku, dan saat dia bilang “Tolong bantu aku membeli minyak wijen”, aku malah menjawab “Baik, mohon bantuannya”. .....Jika saat itu Otsuki-kun benar-benar menyatakan cinta, artinya aku telah menerimanya? Eh? Apakah maksudnya begitu? Eh? Gimana ini? Eh!? Gimana ini!?

 

Sepertinya aku benar-benar... tidak mengerti perasaanku sendiri pada Otsuki-kun!! Aku benar-benar tidak mengerti perasaanku sendiri!! 

 

Hatiku kacau bagaikan badai, tapi di tengah kekacauan ini, Otsuki-kun masih saja tersenyum padaku tanpa ampun.

 

“Kalau begitu, ayo kita ke toko perlengkapan rumah tangga.”

 

“Ba-Baik. Mohon bantuannya.”

 

Dengan perasaan yang masih belum tertata rapi, aku hanya bisa menunduk dan menjawab dengan suara pelan tanpa berani menatap wajah Otsuki-kun.

 

 

Berkat bantuan Ayaka, Haruto berhasil mendapatkan dua botol minyak wijen. 

 

Setelah membeli miso, tahu, dan wasabi pesanan Ayaka, mereka menyelesaikan pembayaran dan membungkus barang-barang belanjaannya.

 

“Ini minyak wijennya, Otsuki-kun.”

 

“Terima kasih banyak. Ini benar-benar membantu bangwt.” 

 

Haruto menunduk sambil menerima minyak wijen dari Ayaka, lalu memasukkannya ke dalam tas belanja ramah lingkungan.

 

“Otsuki-kun, tas belanjamu itu lucu banget ya.”

 

“Eh? Ahh.... Sebenarnya ini yang biasa dipakai nenekku lho.”

 

Haruto mengatakannya dengan sedikit ekspresi malu-malu.

 

“Oh begitu ya. Memang agak terlalu imut kalau Otsuki-kun yang memakainya sih.”  

 

Sambil berkata begitu, Ayaka sekali lagi mengarahkan pandangannya ke tas belanja Haruto.

 

Tas belanja Haruto terbuat dari kain berwarna pink pucat dengan sulaman beruang yang sangat imut. Tas itu memang terlalu kekanakan atau terlalu feminin untuk dibawa oleh seorang remaja laki-laki seperti Haruto. 

 

“Yah, memang agak terlalu imut ya walau untuk nenekku. Nenek memang suka yang beginian sih.”

 

Haruto mengatakannya dengan sedikit terkekeh canggung, dan Ayaka tersenyum melihatnya.

 

“Aku rasa itu tidak masalah kok? Nenekmu lucu.” 

 

“Ahaha, terima kasih banyak.”

 

Setelah selesai membungkus belanjaan, mereka bergegas menuju toko perlengkapan rumah tangga di sebelah supermarket untuk membeli kompor gas.

 

“Wah, toko perlengkapan rumah tangga isinya lebih banyak dari yang kubayangkan ya.” 

 

Ayaka, yang hampir tidak pernah mengunjungi toko seperti itu, mengamati sekeliling dengan tatapan ingin tahu. 

 

“Aku kira mereka hanya menjual barang-barang untuk berkebun dan pekerjaan tangan. Ternyata mereka juga menjual peralatan rumah tangga dan bahan makanan.”

 

“Toko perlengkapan rumah tangga zaman sekarang lengkap sih persediaannya. Bahkan ada peralatan dapur, dan bisa juga dipakai untuk merenovasi dapur.”

 

“Begitu ya. Ah! Ada bagian hewan peliharaan!”

 

Melihat anjing kecil di dalam kandang kaca dari kejauhan, Ayaka langsung berlari ke arah sana. Namun dia segera berhenti dan menoleh ke arah Haruto dengan ekspresi agak malu.

 

“Oh iya, kita ke sini untuk membeli kompor gas ya.”

 

“Yah... Lihat-lihat sebentar tidak masalah kok?” 

 

“Benarkah?”

 

“Iya, tidak masalah.”

 

“Yay!” 

 

Dengan senang Ayaka berlari menghampiri kandang anjing. Haruto tersenyum masam melihat punggungnya.

 

“Aku tidak bakalan bisa menolak kalau dia sudah begitu...”

 

Haruto bergumam pelan agar tidak terdengar orang lain.

 

Dia sedikit mengeluarkan ponselnya dari saku untuk mengecek waktu. Meskipun tidak banyak waktu tersisa sebelum jam kerjanya, tapi masih ada waktu untuk sedikit berbelok jalur. Haruto mengamati anak anjing yang sama dari belakang Ayaka yang kini berjongkok di depan kandang.

 

“Lucunya~ Ah! Anjingnya mendekat!”

 

“Itu anak anjing Pomeran ya.”

 

Kombinasi hewan kecil dan tingkah lucunya memberikan serangan telak yang bisa mengalahkan semua pria, bahkan pria SMA sekalipun.

 

“Pasti seru ya kalau mengajak Tojo-san ke kebun binatang yang bisa berinteraksi dengan hewan.”

 

Haruto membayangkan jika dia menghabiskan seharian melihat Ayaka bermain dengan hewan, mungkin matanya akan dimanjakan secara berlebihan hingga penglihatannya semanjur suku Masai. Sambil memikirkan itu, Haruto berkata sekenanya. Lalu Ayaka yang sedari tadi menempel di kaca kandang, mendadak mengalihkan pandangan dari anak anjing dan menatap Haruto.

 

“Aku juga ingin pergi ke kebun binatang!”

 

“......Eh?”

 

“.....Ah, maksudku.....” 

 

Haruto menanggapi dengan nada bingung, membuat Ayaka terkejut dengan ekspresi wajahnya sendiri yang merona merah.

 

Melihat reaksi Ayaka, Haruto juga kembali mengingat perkataannya tadi dan merasa malu. Cara bicaranya barusan bisa diartikan seolah dia mengajak kencan ke kebun binatang.

 

Haruto sama sekali tidak bermaksud seperti itu, tapi tanpa sengaja terdengar seperti mengajak berkencan. Dan yang tak terduga, Ayaka juga sepertinya menyetujuinya. 

 

Sementara Haruto berusaha menenangkan diri dan mencari kata-kata yang tepat untuk meluruskan situasi ini, Ayaka angkat bicara dengan ragu-ragu.

 

“Ka-Kalau kebun binatang itu... Ryouta sangat menyukainya.... Ya! Ryouta yang menyukainya! Tapi... kedua orang tuaku sibuk bekerja, jadi jarang bisa membawanya ke sana. Meskipun begitu, kalau aku hanya membawanya sendiri, yah, aku merasa tidak aman... Maksudku, Ryouta pasti lebih senang kalau Otsuki-kun juga ikut...” 

 

Ayaka bicara dengan melirik ke sana kemari, seperti sedang membangun alasan. Tapi Haruto juga dengan panik mencari pegangan dengan menyebut nama ‘Ryouta’. “Ah, ya! Kurasa Ryouta-kun memang menyukai kebun binatang ya.”

 

“I-Iya. Makanya...” 

 

Ayaka tidak melanjutkan kata-katanya dan terdiam. Setelah keheningan canggung sejenak, Haruto akhirnya membuka mulut.

 

“Kalau begitu... Gimana kalau lain kali, kita pergi? Ke kebun binatang... bertiga dengan Ryouta-kun?”

 

“I, iya! Dengan Ryouta... bertiga.”

 

Dengan ekspresi yang campur aduk antara malu-malu, senang namun juga sedikit kecewa. Haruto tidak berani menatap langsung wajah Ayaka yang kompleks namun menarik itu, dia malah mengalihkan pandangan darinya.

 

“Err, ya. Kita harus beli kompor gasnya dulu.” 

 

“I-Iya benar. Harus beli kompor gasnya.”

 

Ayaka mengangguk berkali-kali menanggapi kata-kata Haruto yang terdengar dipaksakan.

 

Setelah itu keduanya tetap diam seribu bahasa sampai selesai membeli kompor gas dan keluar dari toko perlengkapan. Meskipun beberapa kali pandangan mereka bertemu secara tidak sengaja, tapi keduanya langsung memalingkan muka dengan wajah merona.

 

Begitu keluar dari area toko dan akan berpisah, mereka sekali lagi saling pandang lalu mengalihkan pandangan. 

 

“Err, kalau begitu aku akan pulang dulu, nanti aku akan datang ke rumahmu lagi.”

 

“I-Iya.” 

 

“Dan soal rencana ke kebun binatang tadi...”

 

“Ah! Ya!”

 

  Ayaka bereaksi berlebihan terhadap kata Haruto “kebun binatang.’’

 

Aku tidak perlu merespons berlebihan.

 

“Kalau begitu... kita bicarakan lagi nanti soal jadwalnya?”

 

“Ya... benar. Oke, nanti kita bicarakan lagi.”

 

“Kalau begitu... untuk sekarang, sampai jumpa lagi nanti.”

 

“Iya, sampai nanti.”

 

Setelah saling bertukar kata, Haruto dan Ayaka berjalan memunggungi satu sama lain menuju rumah masing-masing. 

 

Setelah berjalan beberapa saat, Haruto menoleh ke belakang dengan ragu. Saat itulah pandangan mereka bertemu karena Ayaka juga menoleh pada saat yang sama.

 

“---!?”

 

Meskipun sedikit terkejut, Haruto mengangguk singkat. Ayaka pun membalas dengan lambaian tangan kecil sambil tersipu. Haruto merasakan wajahnya memerah, lalu dengan tergesa berpaling ke depan lagi.

 

“...Itu curang tahu.”

 

Haruto melanjutkan langkahnya sambil berusaha keras menahan senyum yang hendak merekah di wajahnya.

 

“...Apa aku baru saja membuat janji kencan dengan Tojo-san?”

 

Haruto bergumam pada dirinya sendiri. Namun kemudian dia menggelengkan kepala, membantah pemikiran itu. 

 

“Tapi kalau Ryouta-kun juga ikut, berarti ini bukan kencan ya.”

 

Haruto mengingatkan dirinya sendiri, “Kalau sampai salah paham, bisa jadi bencana besar,” sambil mengingat kembali percakapannya dengan Ayaka.

 

Wajah Ayaka yang berbinar menatap anak anjing. Ayaka yang mengungkapkan keinginannya untuk pergi ke kebun binatang dengan penuh harap. Ayaka yang tersipu saat pandangan mereka bertemu.

 

Semuanya itu terlihat sangat menarik di mata Haruto.

 

“Imut itu juga ada batasnya tahu...”

 

Sebelum bertemu Ayaka melalui pekerjaan sampingannya sebagai pembantu rumah tangga, Haruto menganggap Ayaka adalah gadis yang selalu dikelilingi oleh anak perempuan dan sama sekali tidak tertarik pada laki-laki.

 

Gadis yang dulu dipandangnya seperti itu kini tersenyum dan tersipu malu di hadapannya. Dan meskipun dengan alasan mengajak adiknya, mereka bahkan sudah membuat janji untuk pergi ke kebun binatang bersama.

 

“Apa aku bisa menangani pekerjaan ini nanti ya...” 

 

Tojo Ayaka, gadis yang sebelumnya hanya dianggap “idol sekolah” oleh Haruto. Namun, setelah berinteraksi secara langsung, terbukti dia gadis biasa yang memiliki sisi menggemaskan yang tidak terduga.

 

Kata-kata Tomoya pagi tadi terngiang kembali di benaknya.

 

“Lalu, apa Haru tidak akan melakukan apa-apa jika Tojo-san menunjukkan ketertarikan padamu?”

 

Haruto mendatangi rumah keluarga Tojo semata-mata untuk bekerja. Dia tidak boleh membawa niat terselubung ke sana. Meski begitu pikirannya, senyuman Ayaka terus mengusik benaknya.

 

“Tetap aja jadi kepikiran...”

 

Haruto menyadari hatinya goyah menghadapi perbedaan antara Tojo Ayaka “idola sekolah” dengan Tojo Ayaka “gadis biasa” yang dia temui saat bekerja. Namun, dia sengaja tidak mau terlalu memikirkannya.

 

“Yang penting, hari ini aku harus fokus pada mengolah ikan saja.” 

 

Haruto berpikir cara mengolah ikan tangkapan Shuuichi, ayah Ayaka, sambil melanjutkan perjalanan pulang.

 

 

Setelah pulang dan mempersiapkan diri, Haruto mengunjungi kediaman keluarga Tojo yang sudah sedikit familier baginya. 

 

Berdiri di depan pintu masuk rumah mewah bergaya megah seperti biasa, Haruto menekan bel interkom. Tak lama kemudian terdengar jawaban.

 

“Halo, Otsuki-kun?”

 

“Ya, ini aku. Aku datang untuk tugasnya.” 

 

“Kami menunggumu. Ryouta, Onii-chan sudah datang! Buka pintunya dong! Ah, Otsuki-kun, sebentar ya, Ryouta akan membukakan pintu.”

 

“Baik, terima kasih.”

 

Bersamaan dengan Haruto mengucapkan terima kasih, pintu terbuka dengan kuat.

 

“Onii-chan!”

 

“Hai Ryouta-kun, selamat siang.” 

 

“Selamat siang! Onii-chan cepat masuk! Ikannya gede banget lho!”

 

Ryouta yang terlihat sangat antusias menyambut dengan nada bersemangat. Dia lalu menarik tangan Haruto dan membawanya masuk ke ruang keluarga.

 

“Selamat datang, Otsuki-kun.” 

 

Begitu memasuki ruang keluarga, Ikue, ibu Ayaka, bangkit dari sofa dan menyambut Haruto dengan senyuman ramah. 

 

“Permisi.”

 

“Ah, Otsuki-kun! Syukurlah kamu datang!” 

 

Kemudian Shuuichi, ayah Ayaka, juga menyambutnya. Di dekat kakinya, ada kotak pendingin berukuran cukup besar. Haruto memandangi kotak pendingin besar itu lalu bertanya.

 

“Aku dengar dari Tojo-sa.... Ayaka-san. Katanya Shuuichi-san berhasil memancing tenggiri, tuna, dan salmon.”

 

Begitu Haruto mengatakannya, Shuuichi menunjukkan ekspresi seperti ‘Syukurlah kamu sudah mendengarnya!’ dan dengan antusias mulai bercerita.

 

“Benar! Ada rekan bisnis yang hobinya memancing dengan kapal. Aku sesekali ikut berlayar bersamanya. Dan hari ini benar-benar sangat beruntung! Saat memancing tenggiri ini, awalnya aku mengira kailnya tersangkut karena sama sekali tidak bergerak meskipun aku menggulung sepenuhnya! Akhirnya setelah berjuang menarik sampai tersisa 20 meter, ikannya mengamuk lagi dan drag-nya benar-benar kuat, sungguh pertempuran mati-matian! Membutuhkan 15 menit, tidak, mungkin 30 menit untuk memancing tenggiri ini ke atas kapal!”

 

Shuuichi bercerita dengan semangat berapi-api tentang pengalamannya memancing tenggiri sampai matanya berbinar-binar. Namun, Ikue memotong ceritanya di tengah jalan.

 

“Sayang? Kalau ceritamu kepanjangan, ikan segarnya bisa tidak segar lagi lho.”

 

“Hmm, kamu benar. Ini ikan yang sangat segar. Kita harus segera menyuruh Otsuki-kun untuk mengolahnya.” 

 

“Baik, serahkan padaku.”

 

Haruto mengangguk dengan sedikit senyum masam melihat Shuuichi yang masih enggan mengakhiri ceritanya.

 

“Tapi, semua ikan ini memang berukuran sangat besar ya. Ukuran tuna ini pasti paling besar ya!”

 

Saat Haruto mengintip ke dalam kotak pendingin di dekat kaki Shuuichi, pria itu langsung melanjutkan ceritanya lagi.

 

“Ah iya, tuna itu! Awalnya reelnya(gulungan) terasa ringan dan senarnya kendur. Aku langsung berpikir ‘Oh?’ dan segera mengaitkannya! Lalu kailnya langsung tersangkut dengan bagus dan ikan itu memberontak keras tapi tidak terlepas—“

 

“Sayang?” 

 

“Ah, tidak... Baiklah, Otsuki-kun, bisakah kamu memasaknya?”

 

Setelah sekali lagi dipotong oleh Ikue, Shuuichi terlihat sedikit kecewa.

 

“Kalau begitu, bagaimana kalau kita pindahkan dulu kotak pendingin ini ke dapur?”

 

Haruto merasa sedikit kasihan melihat Shuuichi yang masih ingin menceritakan pengalamannya saat memancing, namun dia mengutamakan kesegaran ikan dan berusaha mengangkat pegangan kotak. Tapi ternyata lebih berat dari perkiraannya, membuat Haruto sedikit meringis.

 

“Biar aku membantumu mengangkatnya.”

 

“Ah, terima kasih. Ini sangat membantu.” 

 

Tenggiri panjangnya sekitar 70 cm, salmon sekitar 60 cm, dan tuna ukuran 40-50 cm, ditambah es dalam kotak. Sebenarnya Haruto bisa mengangkatnya sendirian, tapi bukan beban yang bisa diangkat dengan mudah.

 

Haruto dan Shuuichi mengangkat kotak itu bersama-sama ke dapur.

 

“Terima kasih banyak. Ini sangat membantu. Kalau begitu, aku akan mulai mengolahnya sekarang. Apa ada permintaan khusus untuk cara memasaknya?” 

 

Tepat saat Haruto bertanya, pintu ruang keluarga terbuka dan Ayaka masuk.

 

“Ah, Otsuki-kun. Kamu sudah datang ya. Umm... selamat datang.”

 

“Ah ya. Umm... permisi.”

 

Keduanya saling menyapa dengan sedikit canggung, mengingat kejadian di toko perlengkapan tadi. Ikue menyadari perubahan sikap mereka dan menatap putrinya dengan tatapan geli.

 

“A-Ada apa?”

 

Ayaka balas menatap ibunya dengan sedikit gugup.

 

“Otsuki-kun akan memasak dengan penuh cinta nanti. Kamu mau dimasakin apa, Ayaka?” 

 

“Ah, masakan penuh cinta, ma-mana aku tahu artinya!”

 

Ayaka mengernyitkan dahi menanggapi ucapan ibunya. Sementara Ikue malah tersenyum jenaka dan beralih menatap Haruto. 

 

“Kamu pasti tahu artinya kan, Otsuki-kun? Masakanmu sangat enak karena selain kemampuanmu, kamu juga memasukkan banyak cinta ke dalamnya, bukan?”

 

“Ah ya, tentu saja... Aku selalu masak dengan sepenuh hati.” 

 

“Nah, lihat! Otsuki-kun memasak dengan penuh cinta untukmu, Ayaka!”

 

“Bukan, bukan hanya untuk Ayaka-san, tapi untuk semua...”

 

“Ah, Otsuki-kun perhatian banget ya.”

 

“Bukan kayak gitu...”

 

Haruto hanya bisa tersenyum masam, menyadari bahwa yang paling berkuasa di rumah keluarga Tojo adalah Ikue.

 

“Nee nee Onii-chan. Aku mau sashimi!”

 

Entah dia menganggap candaan Ikue dengan serius atau bercanda, Haruto terombang-ambing oleh kata-katanya yang sulit dipahami. Ryouta mengajukan permintaan kepada Haruto yang melihat ini sebagai kesempatan untuk melarikan diri dari Ikue. Haruto membungkuk dan menyamakan pandangannya dengan Ryouta lalu menjawab.

 

“Aku mengerti. Untuk saat ini, aku akan menyiapkan tiga jenis sashimi ikan.”

 

“Yay!”

 

Ryouta bergembira dengan polosnya mendengar kata-kata Haruto. Shuichi juga mengangguk dan berkata.

 

“Yah, aku ingin menikmati ikan segar sebagai sashimi. Karena pada akhirnya kita adalah orang Jepang.”

 

“Aku mengerti. Kalau begitu, untuk makan malam hari ini kita akan menyiapkan sashimi dari ikan tuna, tenggiri, dan salmon. Apakah Ikue-san dan Ayaka-san tidak keberatan?”

 

“Tentu saja tidak!”

 

“Aku juga ingin makan sashimi.”

 

Setelah mendapat persetujuan dari semua anggota keluarga Tojo, Haruto segera mulai memasak. Lalu Shuuichi datang ke dapur dengan membawa kantong belanjaan di tangannya.

 

“Ngomong-ngomong, Otsuki-kun. Sebenarnya aku sudah berencana mau bikin sashimi, jadi aku membeli beberapa peralatan dan sayuran yang mungkin berguna.”

 

“Ah begitu ya? Bolehkah aku melihat isinya?”

 

Haruto menerima kantong belanjaan dari Shuichi dan memeriksa isinya.

 

Di dalamnya ada alat pengupas sisik ikan dan peeler untuk membuat iris-irisan lobak. Juga ada wortel, lobak, mentimun, dan daun kemangi sebagai hiasan.

 

“Terima kasih banyak, Shuuichi-san. Dengan ini, sashimi akan terlihat lebih berwarna.”

 

Ketika Haruto mengucapkan terima kasih, Ikue tersenyum menggoda kepada Shuuichi. “Tapi sayangnya dia lupa membeli wasabi yang merupakan bagian paling penting.”

 

“Ahaha, iya, memalukan banget.”

 

Mendengar kata-kata Ikue, Shuuichi menggaruk bagian belakang kepalanya dengan malu. 

 

Haruto sedikit lega mengetahui alasan sebenarnya mengapa Ayaka sengaja pergi ke supermarket hanya untuk membeli wasabi.

 

“Kalau begitu, aku akan langsung memulai menyiapkannya.”

 

Haruto pertama-tama meletakkan ekor ikan tuna di atas talenan, memercikinya dengan sedikit air sambil mengupas sisiknya. Setelah semua sisik dibuang, dia memotong kepalanya, mengambil insang, membuka perutnya untuk mengeluarkan isi perutnya, lalu membelah ikan menjadi tiga bagian. Dalam sekejap, ikan tuna telah dipotong tiga. Melihatnya, Shuuichi terkesan.

 

“Benar-benar terampil ya. Seneng banget liatnya.” 

 

“Terima kasih banyak. Aku sendiri jarang mengolah ikan sebagus ini, jadi aku khawatir apakah bisa melakukannya dengan benar. Tapi berkat ini, aku jadi mudah mengolahnya.”

 

Haruto mengangkat sedikit pisau deba yang dipegangnya.

 

Pisau deba yang dipinjamkan dari keluarga Tojo memiliki nama yang diukir di dekat pangkalnya, memberi kesan mewah. Ketajamannya luar biasa, bahkan ikan tenggiri yang besar dengan tulang yang kuat bisa diolah tanpa kesulitan.

 

Setelah membelah semua ikan menjadi tiga bagian, Haruto memotong tulang tengahnya, membersihkan tulang perutnya, agar membuatnya lebih mudah dimakan.

 

“Hebat sekali ya. Aku juga pengen belajar mengolah ikan darimu, Otsuki-kun.” 

 

Ikue duduk di meja makan sambil mengintip ke dapur.

 

“Jika kamu mau, aku akan mengajarimu.”

 

Haruto menjawab sambil melepaskan kulit ikan dari dagingnya.

 

“Benarkah? Kalau begitu lain kali ajari aku ya? Ayaka, bagaimana kalau kamu juga ikut? Nanti bisa berguna untuk menyajikan ikan kepada suami di masa depan lho?”

 

“Eh? Aku tidak...” 

 

Ayaka sedikit bingung, tapi Ikue tersenyum penuh arti, “Ufufufu.”

 

“Tidak mau? Ah, tapi jika suaminya kayak Otsuki-kun, kurasa tidak masalah kan?”

 

“Mama! Mama ngomong apa sih di depan Otsuki-kun!?”

 

Mendengar candaan ibunya, wajah Ayaka langsung memerah. Melihat putrinya begitu, Ikue dengan tenang berkata.

 

“Lho, aku hanya bilang ‘kayak Otsuki-kun’ kan?”

 

“...Aku benci Mama.”

 

Mendengar candaan jahil ibunya, Ayaka mengerucutkan bibirnya dengan sikap merajuk. Namun Ikue dengan senang hati berbicara kepada Haruto.

 

“Otsuki-kun. Maaf ya, putriku salah paham. Ayaka memang sedikit polos, tapi tolong tetap berteman baik dengannya.”

 

“Ahaha, tentu saja, akan kulakukan.”

 

Haruto sedang menyayat ikan yang sudah dipotong menjadi tiga bagian sambil memancarkan aura “Aku sedang tidak mood” sebagai protes kepada ibunya, Ayaka. Melihat hal itu, Haruto akhirnya hanya tertawa dan memberikan respon netral sementara. Sepertinya protes Ayaka sama sekali tidak tersampaikan kepada ibunya.

 

Kemudian Shuuichi, dengan dagu ditopang tangan dan wajah serius, perlahan membuka mulutnya.

 

“Begitu ya, jika Ayaka menikah dengan Otsuki-kun, maka Otsuki-kun akan menjadi menantu. Artinya dia akan menjadi anak ipar...hmm, itu menarik. Tapi, melepas putriku yang masih menggemaskan untuk menikah...”

 

Shuuichi bergumam sendiri dan terbenam dalam dunianya sendiri sambil bergulat dengan pikirannya. Mendengar gumaman mengejutkan ayahnya, Ayaka seperti melupakan protesan kepada ibunya dan menatap Shuuichi.

 

“Papa! Jangan berpikiran aneh-aneh seenaknya!”

 

Berbeda dengan sindiran dan candaan dari Ikue, perkataan Shuuichi terdengar sangat serius, membuat Ayaka terlihat panik. Dia berusaha menyadarkan ayahnya yang sibuk berpikir sendiri. Namun kemudian, datang eksistensi yang polos dan karenanya merepotkan.

 

“Onii-chan akan menikahi Onee-chan?”

 

“Hah!? Eh? Tidak, bukan begitu...”

 

“Ryouta!! Jangan bicara yang aneh-aneh, Otsuki-kun lagi memegang pisau! Bahaya, tahu!!”

 

Ayaka menarik tangan adiknya, Ryouta, yang sedang melihat pisau mainan Haruto di sampingnya.

 

“Tapi jika Onii-chan menikahi Onee-chan, bukannya Onii-chan akan jadi kakakku?”

 

Ryouta menatap Haruto dengan ekspresi bersemangat, seperti membayangkan jika Haruto menjadi kakak sebenarnya. Ayaka hanya bisa memalingkan wajah.

 

“Ka-kami tidak akan menikah!! Kami masih siswa SMA!”

 

“Ah, kalau begitu setelah lulus SMA, kalian akan menikah?”

 

“Mama diam aja!!”

 

Setelah itu, selama beberapa waktu di keluarga Tojo terjadi perdebatan apakah mereka akan menikah atau tidak. Melihat situasi yang sangat kacau itu, Haruto yang menyadari bahaya jika ikut campur, memutuskan untuk fokus pada memasak ikan di hadapannya.

 

Setelah selesai memasak, Haruto mengambil piring besar berisi sashimi.

 

“Eto, sashiminya sudah jadi...”

 

Haruto yang masih kebingungan membawa piring besar berisi sashimi ke meja makan. Sementara dia fokus memasak, situasi di keluarga Tojo sudah mencapai tingkat kekacauan yang luar biasa.

 

Shuuichi yang serius merenungkan sesuatu dan Ryouta yang dengan polosnya mendesak Ayaka soal menikah. Ayaka dengan wajah memerah menolak hal itu. Dan Ikue yang sesekali dengan iseng mengompori situasi.

 

Dengan ragu, Haruto menyapa keluarga Tojo.

 

“Ano... Aku juga membuat sup kepala ikan tuna, silakan dinikmati bersama.” 

 

 

Begitu sampai di kamarku, aku langsung menyelam ke kasur.

 

“Aah~ capeknya...”

 

Sambil membuang tenaga di atas kasur, aku menghela napas panjang.

 

“Padahal Otsuki-kun sudah membuatkan masakan enak, tapi aku sama sekali tidak sempat menikmatinya...”

 

Otsuki-kun membuat sajian sashimi ikan yang sangat indah dari ikan hasil tangkapan Papa, tapi aku tidak sempat menikmatinya karena Papa, Mama, dan Ryouta saling membuat keributan.

 

Otsuki-kun juga membuat ikan bakar dengan kompor gas dari toko perlengkapan rumah tangga, tapi aku sama sekali tidak mencicipinya.

 

“Ah iya, janji untuk pergi ke kebun binatang dengan Otsuki-kun... Jadinya gimana ya?”

 

Janji yang kubuat dengan Otsuki-kun di toko perlengkapan rumah tangga.

 

Sebenarnya aku berencana membicarakan itu hari ini ketika Otsuki-kun datang sebagai pembantu rumah tangga. Tapi kemudian situasinya jadi di luar kendali, aku sibuk menenangkan keluarga sampai tidak sadar waktu kontraknya sudah habis dan Otsuki-kun pulang tanpa sempat membicarakannya.

 

“Tapi kalau aku mengajaknya ke kebun binatang di sana, keluargaku pasti bakalan lebih heboh lagi...”

 

Mama pasti akan menyindirku dengan cengengesan. Ah, tapi itu masih bisa ditangani. Bukan, sebenarnya mungkin tidak bisa. Tapi yahhh...

 

Ryouta juga pasti akan sangat gembira. Ini juga bukan masalah besar.

 

Masalah terbesarnya adalah Papa. Papa sepertinya benar-benar sangat menyukai Otsuki-kun. Mama juga menyukainya, tapi Papa sepertinya benar-benar ingin menjadikan Otsuki-kun sebagai menantu.

 

Tadi saat makan malam, Papa bahkan dengan antusias mengajak Otsuki-kun untuk pergi memancing bersama lain kali.

 

“Aah! Sudah cukup! Aku masih siswa SMA!!”

 

Aku berteriak sambil membenamkan wajah ke bantal.

 

Memikirkan soal menikah atau menjadi menantu, itu masih terlalu cepat!

 

Memang sih, memiliki suami seperti Otsuki-kun yang sangat kompeten dalam pekerjaan rumah tangga dan sangat baik hati mungkin adalah idaman. Tapi...

 

“Ah, tidak tidak, apa sih yang kupikirkan!”

 

Aku menggeleng-gelengkan kepala untuk mengosongkan pikiranku.

 

Sepertinya persepsi keluargaku tentang Otsuki-kun semakin meningkat, dan aku merasa seolah parit pertahanan diriku semakin terkikis.

 

Tapi, itu bukan satu-satunya masalah.

 

Yang lebih mengkhawatirkan mungkin adalah perasaanku sendiri.

 

Sebelum liburan musim panas. Aku lupa namanya, tapi seorang senior memanggilku melalui pengeras suara sekolah dan melamarku. Waktu itu aku hanya merasa malu. Aku ingin secepat mungkin lari dari situasi itu. Aku tidak bisa membayangkan soal menikah, dan berpikir seniorku itu tidak waras karena melamarku saat masih SMA. 

 

Tapi... jika itu Otsuki-kun...

 

Ketika Papa menyebut Otsuki-kun sebagai menantu, dan Ryouta bertanya apa kami akan menikah, aku sedikit membayangkannya. Aku bisa memvisualisasikannya. Hidup bersama dengan Otsuki-kun di bawah atap yang sama.

 

Ya, yang paling mengkhawatirkan bukanlah kelakuan keluargaku, melainkan perasaanku sendiri. 

 

Aku sama sekali tidak merasa keberatan dengan Mama yang menyindirku soal Otsuki-kun, Ryouta ingin menjadikan Otsuki-kun sebagai kakak sungguhan, atau Papa yang begitu menyukai Otsuki-kun.

 

Di sudut hatiku, aku merasa senang melihat Otsuki-kun diterima keluargaku.

 

“...Aku harus konsultasi dengan Saki.”

 

Aku mengambil ponselku dan membuka pesan dengan sahabatku.

 

Sekarang masih sekitar pukul 10 malam, jadi Saki pasti masih bangun.

 

Setelah menekan tombol panggil, aku memandangi nama ‘Aizawa Saki’ di layar. Panggilannya tersambung dalam beberapa detik.

 

[Nyaan?]

 

“Saki, ada sesuatu yang ingin kubicarakan...”

 

[Oh? Apa itu? Masalah percintaan kaaan?]

 

Mendengar candaan Saki, aku merasa detak jantungku sedikit lebih cepat.

 

“...Mungkin.”

 

[...Hah? Apa? Bohong? Serius??]

 

Suara Saki terdengar sangat terkejut, diikuti suara gaduh dari seberang.

 

“Eh? Saki? Kamu baik-baik saja?”

 

[Mana mungkin aku baik-baik saja! Maksudmu apa? Ayaka konsultasi soal percintaan?]

 

“Tenangkan dirimu dulu oke? Tarik nafas...”

 

[Aku tidak bisa tenang! Sama sekali tidak bisa tenang! Jangan-jangan...tentang Kaito-senpai itu? Masih kepikiran sampai sekarang?]

 

Meski sudah malam, suara Saki terdengar meninggi karena bersemangat. Ngomong-ngomong, Kaito-senpai? Oh, maksudnya senior yang melamarku lewat pengeras suara sebelum liburan musim panas itu ya?

 

“Ah bukan, ini tidak ada hubungannya dengan itu.”

 

[Bukan ya? Lalu siapa? Siapa yang berhasil memenangkan hati Ayaka!?]

 

“Yah, belum sepenuhnya memenangkan hatiku sih...”

 

Ya, sepertinya aku belum benar-benar jatuh cinta... mungkin.

 

“Kamu ingat Saki, yang kamu bilang waktu itu?”

 

[Hm? Yang kubilang?]

 

“Kamu bilang aku dan dia sangat cocok, atau semacam itulah.”

 

Aku merasa malu jadi tidak bisa menyebut namanya langsung, hanya menggerak-gerakkan badan dengan wajah memerah.

 

[Hmm? Cocok...oh, maksudmu Otsuki-kun?]

 

Mendengar namanya disebut, jantungku berdebar kencang.

 

“...Ya.”

 

[Wuaah! Seriusan!? ...Eh tunggu? Tapi sekarang kan liburan musim panas? Kenapa kamu bisa sampai seperti itu dengan Otsuki-kun?]

 

“Yah, ada berbagai hal yang terjadi...”

 

[Eh? Aku penasaran! Ceritakan apa saja yang terjadi!]

 

Melihat Saki yang menunjukkan selera makan yang luar biasa, aku menjelaskan pertemuanku dengan Otsuki-kun padanya. Seketika itu suara Saki yang bersemangat seperti ingin membuat speaker ponselnya rusak bergema di kamarku.

 

[Apa itu, luar biasa!! Udah manga romansa sungguhan! Apa kebetulan seperti itu ada!? Tidak tidak! Itu pasti takdir kan!! Lagipula spek Otsuki-kun terlalu tinggi! Aku suka banget!]

 

“Masakan Otsuki-kun memang sangat enak.”

 

[Oh oh, apa itu? Mungkinkah itu rayuan?]

 

“Bu-bukan! Aku ingin meminta saran darimu, Saki!”

 

[Saran? Tentang gimana cara menyatakan cinta?]

 

Satu kalimat itu dari sahabatku membuatku yakin wajahku memerah sampai ke telinga. Perasaan panas yang kurasakan di tubuhku pasti tidak ada hubungannya dengan sehabis mandi. 

 

“Bukan tentang menyatakan cinta, tapi... Tentang perasaanku sendiri... itu, aku suka... Otsuki-kun atau tidak, aku sudah tidak bisa memutuskannya sendiri... jadi aku ingin meminta saranmu, Saki.”

 

[........................]

 

Setelah aku mengatakannya, Saki terdiam. Sama sekali tidak ada respons darinya.

 

Eh? Jangan-jangan dia ketiduran?

 

Keheningan berlanjut sampai aku benar-benar berpikir demikian, baru kemudian Saki berbicara. Syukurlah dia tidak tidur.

 

[Ya emang gitu sih. Ayaka selalu menghindari laki-laki kan? Bahkan jika ingin pacaran, kamu tidak bisa. Wajar aja kalau kamu tidak mengerti perasaan seperti itu.]

 

Saki berkata seolah dia mengerti sendiri. 

 

Apakah hanya perasaanku saja atau memang terdengar kalau aku sangat dikasihani?

 

Dengan jengkel aku bertanya balik.

 

“Maksudnya apa? Perasaan seperti apa?”

 

[Itu, rasanya kurang tepat membahasnya via telepon, gimana kalau kita ketemuan besok?]

 

“Eh? Kurang tepat? Besok aku bisa sih... Eh? Jadi kau tidak mau memberitahuku sekarang?”

 

Entah kenapa aku merasa Saki sengaja menggodaku.

 

[Besok aku akan meluangkan banyak waktu untuk mendengarkan dan memberi saran. Jadi besok jam 11 di kafe biasa, oke?]

 

“Hmmm, oke, tapi... ayo beri tahu sekarang? Apa yang tidak aku pahami?”

 

[Sudahlah, sampai ketemu besok.]

 

“Eh, tu-tunggu Saki? ...Ditutup.”

 

Aku menatap layar ponsel yang kembali ke tampilan percakapan, bingung apakah akan menghubungi sahabatku lagi atau tidak. Tapi sepertinya memang seperti itu sifat Saki, dia pasti akan berkelit dengan cara yang tidak langsung.

 

Mengingat sifat sahabatku yang sudah kukenal sejak dulu, akhirnya aku menyerah dan meletakkan ponsel di samping bantal.

 

“Aku... tidak paham apa ya?”

 

Sambil memandangi langit-langit kamar, aku terus memikirkan apa yang dikatakan sahabatku tadi.

 

 

Sinar matahari pagi yang masuk melalui gorden membuatku tak tahan untuk mengerjap dan membalikkan badan.

 

“Uuh... ngantuk...”

 

Aku memeriksa waktu di ponsel di samping bantal. 

 

“Pukul tujuh... harus bangun...”

 

Semalam setelah mengobrol dengan Saki, aku memikirkan banyak hal sampai tidak bisa tidur. Sepertinya aku baru bisa memejamkan mata saat langit sudah mulai terang. Jadi aku hampir tidak tidur sama sekali. Tapi hari ini aku ada janji bertemu Saki, jadi aku harus bangun dan bersiap-siap.

 

Aku memaksa tubuhku bangkit dari kasur, tapi tubuhku seperti memprotes dengan menguap sangat lebar. Rasanya kasur seperti magnet yang sangat kuat menarik tubuhku. Namun dengan tekad kuat, aku melepaskan diri dari kasur dan keluar dari kamar menuju wastafel.

 

Membasuh wajah dengan air dingin membuatku sedikit lebih segar.

 

Setelah mengeringkan wajah dengan handuk yang tergantung di samping wastafel, aku menatap wajahku sendiri di cermin. 

 

“Kantung mataku hitam karena kurang tidur... aku tidak mau Otsuki-kun melihat wajahku yang seperti ini...”

 

Setelah bergumam dengan kepala masih pusing karena kurang tidur, aku menyadari apa yang baru saja kukatakan dan wajahku pun merona merah.

 

Aku memalingkan wajah dari cermin yang memantulkan wajahku yang memerah, lalu menuju ruang keluarga di lantai bawah.

 

“Ara? Pagi Ayaka. Kamu bangun pagi banget hari ini.”

(Tln: jir bangun jam 7 di bilang kepagian, berbanding terbalik dengan di indo :v)

 

“Pagi Mama.” 

 

Mama sudah ada di ruang keluarga, sedang menyiapkan sarapan di dapur.

 

“Hari ini aku ada janji ketemu Saki, jadi aku harus berangkat dari rumah sebelum jam 10.”

 

“Ara, sama Saki-chan ya? Rasanya aku sudah lama tidak bertemu Saki-chan.”

 

“Yah, sejak Saki pindah jauh dari sini.”

 

Dulu sebelum Saki pindah rumah, dia sering datang dan bermain ke rumah ini, jadi sudah pasti Mama juga mengenalnya. 

 

“Tolong sampaikan salamku untuk Saki-chan ya.”

 

“Iya, siap.”

 

Aku mengangguk kepada Mama sambil duduk di meja makan.

 

“Mama akan berangkat kerja?”

 

Mama sudah mengenakan setelan jas rapi dalam mode kerja. Sepertinya Papa sudah berangkat kerja lebih dulu.

 

“Iya, hari ini pekerjaanku dimulai lebih awal. Kamu bisa anterin Ryouta ke taman kanak-kanak sebelum ketemu Saki?”

 

“Ya, boleh.”

 

Meskipun taman kanak-kanak Ryouta sedang liburan musim panas, jika kedua orangtua harus bekerja pagi, kami menggunakan layanan penitipan apabila ada.

 

“Mau sarapan?”

 

“Hmm, kayaknya boleh.”

 

“Baiklah. Akan kusiapkan sebentar lagi, tunggu ya.”

 

Sekitar 10 menit kemudian, sarapan tersaji di meja.

 

Aku sedikit terkejut melihat sajian sarapan itu. 

 

“Eh? Kok hari ini sarapannya mewah banget ya. Kayak sarapan di penginapan.”

 

“Iya kan? Ini, Otsuki-kun yang meninggalkannya kemarin. Karena hari ini Mama harus berangkat kerja pagi-pagi, jadi itu sangat menolong.”

 

Mama menjelaskan dengan wajah ceria melihat keherananku.

 

Eh? Otsuki-kun kapan dia membuatkan semua ini? Aku sama sekali tidak tahu.

 

Sementara aku terpana memandangi sarapan itu, Mama menjelaskan satu per satu hidangannya.

 

“Ini nasi taihan (nasi dengan kaldu ikan). Lalu di sini ada ikan salmon panggang gaya Kyoto dan ikan teriyaki. Juga ada oshinko dari bayam dan wortel, serta sup osuimono dari kaldu ikan taihan.” 

 

“Hebat sekali...” 

 

Sarapan apakah ini? Eh? Ini ryokan ya? Rasa ngantukku langsung hilang. 

 

Masih tidak menyembunyikan kekagumanku, aku mengucapkan “Itadakimasu” dan mengambil sarapan itu dengan sumpit.

 

“...Enak banget.”

 

Nasi taihan bumbunya meresap sempurna, wangi kecap asin dan jahe menguar dari hidung, sementara di lidah rasa manis daging ikan taihan menyebar lembut.

Salmon panggang Kyoto pun teksturnya lembut, rasa asin manisnya berpadu sempurna dengan lemak kaya ikan sawawara, membuat senyum mengembang di wajah tanpa sadar. Wah, tanganku tidak bisa berhenti menyuap nasi ke mulut.

 

“Fufufu, wajah Ayaka seperti orang yang bahagia sekali.”

 

“Habisnya enak sih.”

 

“Iya ya, kita harus berterima kasih pada Otsuki-kun.”

 

Mendengar kata-kata Mama, aku jadi teringat sesuatu dan sedikit tersentak. Tapi, tidak seperti kemarin, Mama tidak menggodaku. Dia malah menatapku dengan pandangan yang sangat lembut. 

 

Entah kenapa, hatiku jadi terasa sedikit geli.

 

“Ayaka.”

 

“...Apa?” 

 

“Masa remaja itu, hanyalah sesaat dalam hidup dan akan segera berlalu. Tapi masa itu adalah yang terpenting, di mana kamu akan merasakan kesenangan, penderitaan, kegelisahan, kebahagiaan. Jadi, nikmatilah sepenuhnya masa ‘sekarang’ ini. Apa yang kamu rasakan sekarang, suatu hari nanti akan menjadi harta berharga bagimu.”

 

“...Ya.”

 

Mama memang pandai menggodaku. 

 

Biasanya dia selalu cekikikan menggodaku. Tapi terkadang dia tiba-tiba bersikap sebagai ‘Ibu’. Kalau diperlakukan seperti itu, aku yang anaknya jadi senang kan?

 

“Sup osuimono ini enak ya.”

 

“Iya, benar-benar enak.”

 

Aku menikmati masakan lezat dan lembut buatan Otsuki-kun bersama Mama.

 

 

Setelah mengantar Ryouta ke penitipan, aku menuju ke kafe tempat janjian dengan Saki.

 

Kafe dengan suasana tenang itu terletak di gang kecil yang sepi, terpisah dari jalan raya yang ramai. Bel berbunyi kring kring saat aku membuka pintunya. 

 

“Selamat datang.”

 

Pemilik kafe yang sedang membersihkan gelas di konter menghampiri dan menyediakankan buku menu untukku yang sudah duduk.

 

“Apakah Anda sudah memtuskan pesanan Anda?”

 

“Ya, saya pesan es kopi susu.”

 

“Baiklah.” 

 

Pemilik kafe membungkuk sopan lalu kembali ke konter.

 

Suasana tenang di dalam kafe dan pemilik kafe yang sopan santun. Mungkin karena terletak di gang kecil, tidak banyak pengunjung, hanya ada dua orang lain selain aku.

 

Hmm, Saki kayaknya belum datang.

 

Di tengah ketenangan yang menyenangkan itu, alunan lembut musik jazz mengalun.

 

Seharusnya aku bisa menanti Saki dengan santai di kafe favoritku ini, tapi hari ini aku tidak bisa merasa santai.

 

Aku berkali-kali melirik ke arah jam dinding di dalam kafe sambil menunggu sahabatku dengan gelisah. Pikiranku dipenuhi oleh kata-kata Saki semalam. Aku harus segera mendengar penjelasannya.

 

...Ayolah! Waktu seperti tidak bergerak sama sekali!

 

Tadi ketika kulihat jam di situ menujukan pukul 10.40, tapi sekarang jam menunjukkan 10.41, apa jamnya rusak ya?

 

Aku memeriksa waktu di ponselku juga.

 

10.41...ah, 10.42. Ugh, rasanya menunggu satu menit aja rasanya lama banget, aku ingin Saki cepat datang. 

 

Kemudian, aku menghabiskan beberapa menit yang kurasa seperti menit terlama dalam hidupku. Akhirnya, sahabatku muncul di pintu masuk kafe. 

 

“Ah, hei Ayaka. Aku terlambat ya?”

 

“Terlambat banget. Aku sudah nunggu lebih dari 10 menit.”

 

“Oke oke, masih dalam batas toleransi kok.”

 

Saki menangkis keluhanku dengan santai dan duduk di kursi di hadapanku. Sekarang sudah pukul 10.50. Dia datang 10 menit sebelum waktu janjian, jadi aku tidak bisa terlalu mengeluh. 

 

Tidak sabar, aku langsung bertanya pada Saki.

 

“Hei Saki. Tentang kemarin, aku—“

 

“Tunggu dulu! Anak domba tersesat, aku harus memesan sesuatu terlebih dahulu.”

 

“Ah, iya maaf.”

 

“Nah, Ayaka pesan apa tadi?”

 

“Es kopi susu.” 

 

“Kalau begitu aku juga sama.” 

 

Saki kebetulan memesan es kopi susu juga pada pemilik kafe yang bertanya pesanan. Setelah menyesap pesanannya, dia berkata. 

 

“Fuhii, segarnya!”

 

Lalu saat mata kami bertemu, dia menutupi mulutnya dan menahan tawa, “Fufufu.” 

 

“Hei Ayaka, kenapa wajahmu seperti itu?”

 

“Habisnya Saki ngerjain aku mulu sih.”

 

Tentu saja aku jadi menggembungkan pipi dan mengerucut bibirku kesal kan?

 

“Gemesinnya, baiklah! Biar kusarankan sesuatu untukmu!”

 

“Apa yang Saki maksud dengan ‘perasaan seperti itu’ kemarin? Apa yang tidak kupahami?” 

 

Aku segera melontarkan pertanyaan yang berputar di kepalaku sejak semalam. Mendengarnya, Saki tertawa terbahak-bahak.

 

Padahal aku benar-benar serius memikirkan ini...

 

“Ahaha! Langsung to the point ya. Pasti Ayaka tidak bisa tidur semalam kan?”

 

“Tentu saja! Wajar kan kalau aku penasaran gara-gara telponnya di matiin kayak gitu!”

 

“Maaf deh, tapi untuk hal penting seperti ini lebih baik dibicarakan langsung kan?”

 

“Ya...memang sih...”   

 

Aku mengangguk pasrah pada kata-kata Saki.

 

“Jadi, intinya begini.”

 

Saki menatapku dengan ekspresi lebih serius dari sebelumnya.

 

Aduh, gimana ini. Aku pengen banget dengerin, tapi begitu saat ini tiba, aku jadi pengen menutup telinga atau kabur...

 

“Pertama, biar kukonfirmasi dulu, Otsuki-kun mulai mengunjungi rumahmu sebagai pembantu rumah tangga.”

 

“Ya.”

 

“Lalu, Otsuki-kun disukai Ryouta, Ikue Mama, dan Shuuichi-san.”

 

“Ya.”

 

“Dan belakangan ini, kamu jadi tertarik dengan Otsuki-kun.”

 

“Ngg...ya...” 

 

Rasanya sangat memalukan mendengarnya diucapkan seperti itu. Wajahku pasti sudah memerah lagi.

 

“Jadi, kamu tertarik pada Otsuki-kun, tapi tidak tahu apakah itu rasa suka atau perasaan lain. Itu yang ingin kamu pahami.”

 

“Suka...ya, begitulah...”

 

Suka... Benar, kalau aku menyukai Otsuki-kun, itu artinya aku jatuh cinta kan?

 

Gimana ini, jantungku berdebar kencang dan dadaku terasa sesak...

 

Melihat keadaanku, Saki bertanya dengan nada pelan.

 

“Lalu, perasaanmu sendiri ginana, Ayaka?”

 

“Aku tidak tahu, makanya aku minta saranmu, Saki...”

 

“Oh gitu ya, pantes...”

 

Saki memandang ke atas sejenak dengan ekspresi berpikir, lalu menatapku dengan wajah sedikit usil.

 

“Hei, kenalin Otsuki-kun padaku dong.”

 

Begitu mendengar kata-kata Saki, jantungku langsung berdebar kencang. 

 

“Eh!? .....Ke-Kenapa?”

 

Eh? Bercanda kan? Kenapa? Kenapa? Jangan-jangan Saki juga suka sama Otsuki-kun?

 

“Ka-Kamu bercanda kan? Iya kan? Hei Saki?”

 

“Tidak, aku serius nih. Jadi, nanti kalau Otsuki-kun datang ke rumah Ayaka, aku boleh main ke sana juga kan?”

 

“...Tidak boleh.”

 

Kata-kata itu meluncur begitu saja dari mulutku sebelum aku sempat memikirkannya. 

 

Membayangkan Saki mengobrol akrab dengan Otsuki-kun, entah kenapa membuatku merasakan rasa sakit yang belum pernah kualami sebelumnya, seperti menghimpit dadaku.

 

Perasaan seperti ini...aku belum pernah merasakannya sama sekali...

 

Tapi, Otsuki-kun yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga hanyalah Otsuki-kun yang hanya kukenal, jadi aku tidak ingin siapapun mengenalnya, bahkan sahabatku Saki sekalipun...

 

“Tidak boleh?” 

 

Saki bertanya tanpa ampun.

 

“Ya...tidak boleh... Tidak boleh.” 

 

Saki itu imut kan?

 

Berbeda denganku, dia bisa bergaul baik dengan laki-laki, pandai ngobrol dan lucu. Kalau Saki jadi akrab dengan Otsuki-kun, pasti Otsuki-kun akan tertarik padanya.

 

Kalau itu terjadi...kalau Otsuki-kun...

 

“Direbut...”

 

“Eh!?” 

 

Mendengar kata-kataku, Saki membelalakkan matanya.

 

“Tadi Ayaka berpikir begitu kan? Kalau Otsuki-kun akan direbut olehku?”

 

“Tidak...bukan begitu...ah iya...mungkin iya...”

 

Melihat jawabanku, Saki tersenyum puas. 

 

“Pasti rasanya tidak enak kan?”

 

“Ngg...iya...”

 

“Kenapa begitu?” 

 

Saki bertanya padaku seperti seorang guru memberikan pertanyaan pada muridnya. 

 

Kenapa? Kenapa aku merasa tidak enak? Itu karena aku tidak suka kalau Saki jadi akrab dengan Otsuki-kun? Karena aku tidak suka jika ada orang lain yang mengenal Otsuki-kun yang hanya kukenal sendirian? Jadi, aku ingin...memiliki Otsuki-kun untuk diriku sendiri? Tapi kenapa? Kenapa aku ingin memiliki Otsuki-kun untuk diriku sendiri?  

 

Karena...alasannya...artinya, aku memang...menyukai Otsuki-kun...

 

“Suka...makanya...” 

 

Aku mengatakannya...akhirnya aku mengungkapkan perasaanku pada Otsuki-kun.

 

Mendengar jawabanku, Saki tersenyum lembut.

 

“Bagus, kamu dapat nilai sempurna.”  

 

“...Aku...suka Otsuki-kun? Inikah yang disebut perasaan suka?”

 

“Ya, begitulah.” 

 

Aku meletakkan tangan di dadaku. Merasakan debaran yang sedikit lebih cepat dari biasanya, aku menunduk. 

 

“Kayaknya kamu masih belum puas ya? Apa yang membuat Ayaka tidak puas?” 

 

“Aku...tidak tahu apa yang kusuka dari Otsuki-kun? Kapan aku mulai menyukainya? Aku tidak tahu...”

 

Interaksiku dengan Otsuki-kun dimulai baru beberapa hari lalu, sejak liburan musim panas dimulai. Dia bahkan hanya datang sebagai pembantu rumah tangga empat kali. Mengapa dalam waktu sesingkat itu aku bisa menyukainya?

 

“Aku tidak tahu kapan tepatnya aku jatuh cinta. Bukannya seharusnya ada momen saat kita jatuh cinta secara normal?” 

 

Aku mulai menyadari perasaanku pada Otsuki-kun setelah dia menolongku saat hampir jatuh dari sepeda satu roda. Tapi kalau kuingat lagi, sepertinya aku sudah tertarik padanya sebelum itu...

 

“...Ayaka, standar ‘normal’ yang kamu maksud itu berdasarkan apa?”

 

“Eh? Tentu saja berdasarkan manga dan novel romantis!”

 

Begitu aku mengatakannya, Saki langsung mendongak sambil bergumam “Aduh.”

 

“Dengar ya Ayaka, standarmu itu justru tidak normal. Malah kebalikan dari normal.” 

 

“Eh? Tidak kok! Soalnya di semua manga romantis, momen di mana sang heroine jatuh cinta itu selalu jelas! Ada juga yang menggunakan satu halaman penuh untuk menggambarkan momen itu!”

 

“Sudahlah, jangan membicarakan cinta dalam dunia nyata dengan menggunakan manga sebagai tolok ukur!”

 

Setelah Saki memperingatkanku dengan nada malu-malu, dia menatapku dengan pandangan penuh kasih seperti seorang sahabat yang tulus peduli padaku.

 

“Dasar bodoh, memangnya kamu ingin mengerti konsep cinta sesederhana itu dalam kehidupan nyata? Aku tidak bisa menjelaskan lebih sederhana cara untuk mencintai seseorang secara utuh dan menyeluruh.”

 

“Tapi, Saki! Kalau bukan dari manga, lalu dari mana aku harus belajar memahami konsep cinta sejati yang murni dan utuh? Bagaimana aku bisa belajar mencintai seseorang dengan murni dan utuh tanpa memahami makna menyeluruh dari cinta itu sendiri?”

 

“Itu dia, aku tidak bisa menjelaskan lebih sederhana untuk-“

 

Saki memotong ucapannya, terlihat kesal karena aku terus mempertanyakannya dengan sangat keras kepala.  

 

“Sudahlah, lupain aja. Kamu tidak bisa memahami konsep cinta sejati tanpa terlebih dahulu memahami maknanya secara utuh dan menyeluruh.”

 

Saki menghela napas, pasrah menghadapi kebodohanku yang begitu terlalu terlena dalam ketidakmampuanku ini. Ia begitu tulus peduli dan tak berdaya menghadapi kebutuanku untuk memahami makna sesuatu secara utuh dan menyeluruh.

 

“Baiklah, ayo kita lanjutkan saja pembicaraan ini,” kata Saki akhirnya menyerah.

 

Aku mengangguk, tidak bisa meminta lebih dari sahabatku yang begitu peduli ini untuk bisa mencintaiku secara utuh dan menyeluruh.  

 

“Ceritakan saja, gimana perasaanmu yang sesungguhnya dan sepenuhnya kepada Otsuki-kun.”  

 

Dengan sepenuh kekuatan dan kesungguhan dari diri ini yang membutuhkan makna untuk mencintai seseorang secara utuh dan menyeluruh, aku akan menceritakan perasaanku secara sepenuhnya kepada Otsuki-kun.

 

“Jadi maksudmu saat itu aku sudah menyukai Otsuki-kun?”

 

Dengan suara sedikit bergetar karena terguncang, aku bertanya pada Saki yang duduk di hadapanku.

 

“Ya, bisa jadi begitu kan?”

 

Saki menjawab dengan nada seolah-olah itu hal yang wajar. 

 

Aku meminum sedikit air untuk menenangkan diri sejenak.

 

“Tapi...kenapa aku bisa menyukai Otsuki-kun padahal aku hampir tidak mengenalnya?”

 

Kami bahkan tidak pernah berinteraksi sama sekali di sekolah, lalu tiba-tiba aku menyukainya begitu dia datang ke rumah sebagai asisten rumah tangga, apa itu wajar?

 

“Justru karena kamu tidak mengenalnya makanya kamu jadi menyukainya kan?”

 

“Eh? Maksudnya?”

 

“Karena tidak mengenalnya, makanya kamu ingin lebih mengenalnya. Lalu setelah tahu sisi barunya, kamu akan semakin menyukainya. Kemudian ingin mengenalnya lebih dalam lagi. Bukankah cinta itu seperti itu?”

 

Mengetahui sisi baru seseorang lalu semakin menyukainya...

 

Mendengar kata-kata Saki, aku teringat kejadian kemarin.

 

Memang benar, saat tidak sengaja bertemu Otsuki-kun di supermarket dan melihat senyum polosnya, aku merasa sangat tertarik. Aku begitu terpesona melihat sisi Otsuki-kun di luar perannya sebagai asisten rumah tangga.

 

“Jadi cinta itu emang kayak gitu ya...” 

 

“Oh? Kayaknya kamu sudah menemukan jawabannya?”

 

“I-Iya...”

 

“Fufufu, sungguh masa muda yang indah ya~”

 

Saki terkikik menggodaku, membuatku malu dan mengalihkan pandangan ke samping.

 

“Permisi, ini pesanan es kopi susunya.”

 

Tepat pada waktunya, pemilik kafe mengantarkan pesanan kami. Aku segera menyeruput es kopi susu itu dengan sedotan. Rasanya sedikit pahit dan dingin, sepertinya bisa sedikit menenangkan tubuhku yang terasa panas dan tegang ini.

 

Dengan kepala yang sedikit lebih tenang, aku mencoba merangkum pembicaraan dengan Saki sampai saat ini. 

 

Pertama, aku menyukai Otsuki-kun. Ini adalah fakta yang tidak bisa kusangkal lagi. Aku harus menghadapi perasaan ini dengan sepenuhnya.

 

Namun, ada sedikit ketidakpuasan dalam diriku.

 

Mengenai apa yang membuatku menyukai Otsuki-kun. Saki bilang jangan terlalu mengacu pada manga atau novel, tapi tetap saja aku tidak bisa begitu saja melepaskan keinginan untuk mengalami momen-momen romantis seperti dalam fiksi.

 

Jika dikatakan kejadian sepeda satu roda itu yang membuatku jatuh cinta, rasanya agak kurang tepat. Dari pembicaraan dengan Saki tadi, sepertinya aku sudah menyukai Otsuki-kun sebelum itu...

 

Sebagai gambaran jatuh cinta yang ideal bagiku, mungkin seperti saat aku kesulitan karena hujan tiba-tiba lalu dia memayungiku, atau saat aku diganggu preman lalu dia datang menyelamatkanku dengan gagah, atau ternyata cowok yang kusukai itu adalah teman masa kecilku...Walau aku tidak punya teman masa kecil cowok sih.

 

Tapi tetep aja, sudah wajar bagi seorang gadis untuk mengharapkan momen-momen seperti itu kan? Karena...aku ini perempuan.

 

“Saki, dulu waktu kamu punya pacar, gimana awalnya? Apa yang jadi pemicunya?”

 

“Hmm, pemicunya ya? Gimana ya? Kalau tidak salah...” 

 

“Kalau tidak salah?”

 

Aku menatap Saki lekat, menunggu jawabannya.

 

“Gitu doang?” 

 

“Gitu...doang?”

 

Mendengar jawabannya yang mengecewakan, aku sedikit kecewa. Saki hanya tersenyum masam. 

 

“Gitulah kenyataan. Tiba-tiba kamu merasa tertarik pada seseorang, lalu tanpa sadar kamu mulai memperhatikannya, lalu tanpa sadar kamu selalu memikirkannya, dan begitulah kamu jadi menyukainya. Tidak terlalu jelas apa yang jadi pemicunya.”

 

“Begitu ya...”

 

Memang benar, kenyataan berbeda dengan manga atau novel. Tidak semua orang mengalami momen jatuh cinta yang dramatis dan romantis.

 

Saat aku berusaha meyakinkan diriku demikian, Saki berkata dengan nada sedikit geli.

 

“Ngomong-ngomong? Kamu terlalu fokus pada apa yang jadi pemicu kamu menyukai Otsuki-kun. Tapi bukankah sebenarnya sudah ada pemicunya?” 

 

“Eh?”

 

Sudah ada pemicunya? Apa ya? Ada kejadian yang membuatku jatuh cinta pada Otsuki-kun?

 

“Ah, dasar Ayaka memang terkadang jadi linglung ya. Yah, tapi itulah yang membuatmu menggemaskan sekaligus merepotkan.” 

 

“Li-Linglung katamu!? Kejam banget!”

 

Aku tidak selinglung itu kok! Walau memang terkadang Mama dan teman-temanku menyebutku polos, tapi tidak selinglung itu!

 

“Kamu benar-benar payah ya. Padahal ada momen penting dengan Otsuki-kun, tapi kamu malah lupa.”

 

“Momen penting apa? Tidak ada yang kayak gitu kok.”

 

“Ada kok. Saat aku memesan jasa pembantu rumah tangga, ternyata yang datang adalah teman sekelas cowok tidak mencolok dengan spek tinggi. Bukankah itu seperti keajaiban?”

 

Rasa terkejut menghampiriku.

 

“Kalau cuman dilihat dari premisnya doang, ini kayak judul manga romantis komedi sungguhan.”

 

Ah, benar! Kalau ada buku dengan judul seperti itu di rak bukuku, aku sama sekali tidak akan merasa aneh.

 

“Apakah akhirnya kamu menyadarinya juga, Ayaka? Atau kamu butuh petunjuk yang lebih kuat lagi?”

 

“Ti-Tidak... Itu sudah cukup...”

 

Ah, aku tidak bisa membantahnya lagi...

 

Aku benar-benar jatuh cinta pada Otsuki-kun.

 

“Aku... Jatuh cinta padanya ya...”

 

“Akhirnya kamu mengakuinya juga.”

 

“Soalnha aku sudah tidak bisa membantahnya lagi...”

 

Mungkin sejak awal aku sudah tertarik pada Otsuki-kun. Ini mungkin cinta pada pandangan pertama.

 

Aku yang selalu menolak ketika ada yang mengatakan jatuh cinta pada pandangan pertama kepadaku.

 

Aku yang tidak bisa mengerti cinta pada pandangan pertama.

 

“Nee Saki. Apa yang harus kulakukan sekarang?”

 

Ini cinta pertamaku.

 

Cinta monyet. Aku tidak tahu harus melakukan apa.

 

“Ha-Haruskah aku menyatakan cinta kepadanya...?”

 

Membayangkannya saja sudah membuat jantungku berdebar kencang, seperti akan copot. Aku bisa terkena serangan jantung karena cinta.

 

Mungkin anak laki-laki yang menyatakan cintanya padaku dulu juga merasa seperti ini ya? Kalau begitu, aku mungkin agak keterlaluan karena selalu menolak mereka tanpa berpikir panjang.

 

Saat aku memikirkan untuk menyatakan cinta pada Otsuki-kun, Saki menghentikanku.

 

“Jangan terburu-buru, Ayaka. Menyatakan cinta masih terlalu cepat.”

 

“Eh? Memangnya tidak boleh...?”

 

Aku kira setelah menyadari perasaanku, satu-satunya hal yang harus kulakukan adalah menyatakan cinta. Tapi Saki memberikan nasihat untuk menenangkanku.

 

“Menyatakan cinta adalah tujuan sementara. Kamu  harus melewati beberapa tahap dulu untuk sampai ke sana.”

 

“Tahap? Tahap apa?”

 

“Untuk saat ini, agar bisa lebih dekat dengannya, kamu harus mengajaknya berkencan dulu.”

 

Kencan, dengan Otsuki-kun...

 

Itu artinya kami berdua pergi ke taman hiburan, mall untuk berbelanja, atau pergi ke pantai... Aku harus menunjukkan penampilan bikiniku di depan Otsuki-kun?

 

Gimana ini, membayangkannya aja sudah membuatku malu banget! Tapi aku juga ingin melihat Otsuki-kun dengan pakaian renang...

 

“Hei Ayaka. Kamu sudah mulai tersenyum-senyum mesum tuh~”

 

“Hwaaa... I-Ini bukan apa-apa kok!”

 

“Apa nih~? Jangan-jangan kamu membayangkan hal-hal mesum ya?”

 

“Enggak kok!! Untuk apa membayangkan yang begituan!!”

 

Aku membantah dengan sekuat tenaga perkataan Saki.

 

Aku cuman pengen pergi ke pantai dengan Otsuki-kun aja kok, bukan hal yang aneh-aneh. Kalau pergi ke pantai ya pasti harus pakai baju renang, itu sudah pasti, dan melihatnya dengan pakaian renang, itu tidak bisa dihindari ...

 

“Hm? Oh gitu?”

 

“Be-Beneran kok. Aku benar-benar tidak membayangkan hal-hal aneh!”

 

Saki terus menatapku dengan pandangan curiga. Aku harus mengalihkan pembicaraan.

 

“O-Oh iya. Soal kencan, aku dan Otsuki-kun sudah punya janji untuk pergi ke kebun binatang.”

 

Mendengar itu, Saki sedikit terkejut dan mengangkat pinggulnya.

 

“Eh!? Apa!? Kalian sudah sampai tahap berjanji kencan?”

 

“Err... Sebenarnya bukan kencan sih, lebih tepatnya aku menemani Ryouta, jadi semacam itu...”

 

“Oh begitu, bersama Ryouta ya...”

 

Saki seperti berpikir sambil mengusap dagunya.

 

“Kalau gitu resikonya lebih kecil sih, tapi ada kemungkinan Otsuki-kun tidak menganggapnya sebagai kencan. Kapan kalian akan pergi ke kebun binatang itu?”

 

“Belum diputuskan. Kami berencana akan mendiskusikan jadwalnya nanti.”

 

“Begitu begitu... Kalau gitu, kamu bisa memanfaatkan kesempatan saat mendiskusikan jadwal itu sebagai alasan...”

 

Saki seperti berpikir sendiri lagi.

 

Saki memang sudah beberapa kali mengalami percintaan, tidak sepertiku. Kurasa lebih baik aku diam dan menunggu instruksi dari senpai(Saki) itu.

 

Aku menunggu dengan tenang selama beberapa puluh detik. Setelah pemikirannya tersusun, Saki mengeluarkan semacam kupon dari tasnya dan menatapku.

 

“Sebagai sahabat, aku akan memberimu alat rahasia percintaan, Ayaka.”

 

“Alat rahasia percintaan?”

 

Yang diberikan Saki adalah semacam dua tiket. Apa ini? Kupon diskon bioskop?

 

“Pakai ini untuk mengajak Otsuki-kun nonton bioskop.”

 

“Eh? La-Langsung ngajak nonton bioskop?”

 

“Langsung apanya, kan kalian sudah ada janji ke kebun binatang?”

 

“I-Iya sih...”

 

“Jadi saat membahas jadwalnya, kamu bisa sekalian mengajaknya nonton film.”

 

“Ee-Eh...”

 

Bukankah itu cukup berat? Aku bisa mengajaknya gak ya...

 

Melihatku agak ragu, Saki menasehatiku.

 

“Ayaka. Kamu masih berada di garis start percintaan, tahu? Atau mungkin belum sampai di sana sama sekali ya.”

 

“Eh? Be-Begitu ya?”

 

“Iya. Percintaan itu kompetisi. Kompetisi yang sangat sangat ketat. Sampai kadang kamu menyesal pernah ikut kompetisi ini.”

 

“Terdengar... menakutkan.”

 

“Iya kan. Tapi kalau sudah jatuh cinta, kamu sudah tidak bisa mengendalikan dirimu sendiri lagi. Kamu akan tanpa sadar terus memandangi orang yang kamu sukai, merasa sehari terasa bersinar hanya dengan mengobrol sebentar di pagi hari, dan terus memikirkannya di hari-hari saat tidak bisa bertemu. Sudah tidak bisa menghentikannya dengan keinginanmu, kamu akan jatuh seperti itu dengan sendirinya.”

 

Perkataan Saki terasa berat bagiku.

 

Kalau aku gimana ya? Aku memang menyukai Otsuki-kun, tapi apakah sampai sejauh itu? Tapi mungkin nanti akan seperti itu ya? Saki bilang aku belum sampai di garis start... Percintaan memang menakutkan... Tapi, sedikit, tidak, cukup banyak juga membuatku berdebar-debar.

 

“Aku akan coba mengajaknya nonton film deh.”

 

Aku menatap kupon diskon yang diberikan Saki.

 

“Ya, semangat.”

 

Saki meresponku dengan kata-kata singkat lalu tersenyum padaku.

 

“Hei, nanti kamu masih mau dengerin kan kalau aku pengen konsultasi lagi?”

 

“Tentu saja! Sebenarnya aku juga sangat senang bisa membahas soal percintaan dengan Ayaka begini.”

 

Mendengar jawaban meyakinkan dari sahabatku, aku pun mengendurkan ekspresiku.

 

“Ayaka kan, setelah mengalami berbagai hal jadi agak menghindari laki-laki. Tapi akhirnya muncul juga orang yang kamu sukai, aku benar-benar lega.” 

 

“...Iya. Terima kasih.”

 

Saki memang sahabat berharga yang tak tergantikan. Aku benar-benar bersyukur memiliki teman sepertinya.

 

“Aku akan berusaha!”

 

“Ya ya, berjuanglah! Aku akan mendukungmu sepenuhnya!”

 

Saki membalas tekadku dengan senyum lebar.

 

“Nah, hal apa yang kamu sukai dari Otsuki-kun?”

 

“I-Itu sih...”

 

Setelahnya, aku larut dalam obrolan percintaan pertamaku dengan sahabatku, aku sampai lupa waktu.

 

 

Di perjalanan pulang dari kafe.

 

Sambil berjalan di jalan menuju rumah, aku secara kebetulan mendongak menatap langit.

 

Aku membayangkan perasaanku terpantul di langit musim panas yang membentang luas berwarna biru, tanpa setitik awan pun.

 

Aku... Jatuh cinta!

 

Sejak menyadarinya, rasanya seperti dunia berubah bagiku.

 

Semua yang kulihat tampak bersinar, seolah kehidupanku sebelumnya terasa pudar dibandingkan hatiku yang sekarang terisi penuh dengan emosi menyala-nyala. Detak jantungku yang berdebar, emosi yang membuncah, rasanya seperti langit musim panas yang membentang luas di atasku, tanpa batas.

 

Aku menatap dua tiket diskon yang kusimpan dengan baik.

 

Alat rahasia percintaan dari Saki. Pertama, aku akan mengajak Otsuki-kun berkencan dengan ini!

 

Liburan musim panas baru saja dimulai.

 

Dengan perasaan bergejolak yang belum pernah kualami sebelumnya, juga diliputi kegelisahan yang sama besarnya, aku melangkah dengan langkah riang.

 

“Percintaan memang luar biasa ya!”


Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !