Kaji Daikō no Arubaito o Hajimetara bab 6

Ndrii
0

 Chapter 6

Aku Tidak Ingat Isinya, Tapi Aku Tidak Bisa Melupakan Filmnya




Keesokan hari setelah menguliti ikan di rumah keluarga Tojo, Haruto datang ke dojo karate tempatnya berlatih. 

 

Haruto berganti memakai judogi, lalu terlihat seperti ada sedikit rasa berat di bahunya sehingga dia terus menolehkan lehernya. Melihat itu, Ishigura yang juga sudah berganti judogi memanggilnya.

 

“Ada apa Haruto? Bahumu kaku ya?”

 

“Sedikit, kemarin aku menguliti ikan, dan harus menguliti tiga ekor ikan besar.” 

 

Jika hanya ikan tenggiri mungkin tidak masalah, tapi menguliti ikan seperti salmon dan tuna yang cukup besar membuat Haruto sedikit merasa lelah. Terutama salmon yang tulangnya tebal dan kuat, jadi cukup melelahkan. Kalau bukan pakai pisau daging kualitas tinggi andalan keluarga Tojo yang sangat tajam, pasti lebih melelahkan lagi.

 

“Ikan sebesar apa yang kau beli sampai capeknya masih kerasa sampai sekarang?”

 

Ishigura berkata dengan sedikit kaget, Haruto hanya tersenyum masam.

 

“Bukan, aku tidak membelinya, tapi menguliti ikan di tempat kerjaku.”

 

“Ooh, ngomong-ngomong Haruto kerja apa sih? Di toko ikan atau semacamnya?” 

 

“Bukan, aku bekerja di layanan pekerjaan rumah tangga.”

 

Setelah Haruto menjawab pertanyaan Ishigura, tiba-tiba ada yang menyapanya dari belakang.

 

“Haruto-senpai, silakan bekerja seumur hidup di rumahku. Tolong lakukan pekerjaan rumahku selamanya.”

 

“Hah!? Kamu mengagetkanku... jangan tiba-tiba menyapaku dari belakang, Shizuku.”

 

Haruto terkejut dan menoleh, di sana berdiri Shizuku, putri tunggal dari pemilik dojo ini, dengan wajah datar mengenakan judogi. 

 

“Kalau keberadaanku tidak bisa dirasakan, Haruto-senpai tidak akan bisa mencapai puncak karate lho?”

 

“Yah bukan itu tujuan utamaku sih.”

 

“Haruto-senpai tidak punya ambisi tinggi, aku kecewa sebagai anggota Dojo Doujima.”

 

Meski wajahnya datar, Shizuku yang selalu blak-blakan itu lalu memperagakan akting menangis yang sangat buruk.

 

“Haruto-senpai juga harus belajar dari Kazu-senpai. Kazu-senpai bahkan sudah berlatih wajah seram sampai memancarkan aura kejahatan dari seluruh tubuhnya.”

 

“Hei Shizuku, jangan seenaknya menyebut orang seperti raja iblis begitu.”

 

“Kazu-senpai memang berasal dari bangsa iblis, jadi aku yang manusia biasa ini tidak mungkin bisa mengalahkannya.”

 

Menanggapi candaan Shizuku, Haruto pun ikut membalas. Shizuku hanya mengangguk dengan wajah datar seolah mengerti.

 

“Hei Haruto. Hari ini bersiaplah untuk latihannya! Dan Shizuku, jangan mengangguk menanggapi omong kosong begitu!”

 

“Iya iya, itu tidak penting.”

 

Mengabaikan Ishigura yang mengomel, Shizuku menatap Haruto dengan wajah datarnya.

 

“Haruto-senpai, bahumu kaku ya?”

 

“Eh? Ah, iya sedikit.”

 

“Kalau begitu biar aku pijat dan lemaskan.”

 

Shizuku mengarahkan kedua tangannya ke arah Haruto dan membuka-tutup telapak tangannya. Di sampingnya, Ishigura menggerutu “Katanya enggak penting tapi malah nawarin gitu.”

 

“Tidak perlu sampai seperti itu.” 

 

“Tidak apa-apa, dengan Tangan Dewa milik Shizuku, Haruto-senpai pasti langsung merasa nyaman.”

 

Dengan penuh percaya diri, Shizuku melanjutkan sambil terus menggerakkan telapak tangannya.

 

“Terus, Haruto-senpai pasti tidak bisa hidup tanpaku, dan setelah pijatan selesai, Haruto-senpai akan memelukku dan berteriak cinta abadi.”

 

“Eh mengerikan! Pijatan macam apa itu! Itu bukan pijatan lagi, tapi hipnotis!”

 

Haruto spontan berkomentar, tapi Shizuku berkata “Sudahlah, ayo mulai saja” dan berjalan ke belakang Haruto untuk memijatnya.

 

“Gimana? Enak kan?”

 

“Yah...enak sih.”

 

“Fufun~”

 

Mendengar Haruto, Shizuku mengembuskan nafas dengan bangga. 

 

“Gimana? Sekarang Haruto-senpai tidak bisa hidup tanpaku kan?”

 

“Ah iya, aku tidak bisa hidup tanpamu lagi.”

 

Haruto menanggapi asal perkataan Shizuku.

 

Pijatan Shizuku ternyata lebih enak dari yang dibayangkan, membuatnya sedikit memejamkan mata menikmati kenyamanannya.

 

“Haruto-senpai.”

 

“Hm?”

 

“Celah!!”

 

Tiba-tiba Shizuku memindahkan kedua tangannya yang tadi memijat bahu Haruto ke pinggang Haruto, lalu mulai menggelitikinya.

 

“Hei!? Uhya, Shi-Shizuku! Hentikan, hahaha, berhenti!!”

 

“Ora ora ora ora ora!”

 

Haruto sebenarnya sangat lemah terhadap kegelian. Shizuku yang mengetahui kelemahan itu menyerang titik lemahnya dengan telak.

 

Haruto berusaha melepaskan diri dari Shizuku, tapi Shizuku menahannya dengan kuat dari belakang sehingga sulit dilepaskan.

 

“Hahaha, Ka-Kazu-senpai! Ugh, to-tolong, hahaha!”

“Wihihihihihihi!”

“Kalian benar-benar akrab ya.”

 

Ishigura hanya memandang heran kedua orang yang bercanda itu.

 

Serangan menggelitik Shizuku berlanjut untuk waktu yang lama, dan akhirnya Haruto terjatuh di tempat itu.

 

“Sudah ngerasain kekuatan Tangan Dewa, Haruto-senpai?”

 

Shizuku memandang Haruto yang terbaring terengah-engah sambil membuat gerakan mengelap keringat di dahi dengan “Fuuh~”. Ekspresinya datar seperti biasa, tapi terlihat puas seolah baru menyelesaikan pekerjaan.

 

“Hah...hah...tiba-tiba ngapain sih...”

 

Haruto benar-benar terengah-engah setelah beberapa menit dipaksa tertawa.

 

“Itu hukuman karena telah mempermainkan perasaan polos seorang gadis.”

 

“Hah? Perasaan polos seorang gadis? Apa maksudnya coba?”

 

Haruto berdiri dengan langkah sempoyongan sambil sedikit memelototi Shizuku.

 

“Hmm.”

 

Namun, Shizuku malah memalingkan wajahnya. 

 

“Ah dahlah, gak jelas.”


Haruto mengernyitkan dahi karena tindakan misterius Shizuku. Di sampingnya, Ishigura berkomentar dengan nada serius.

 

“Yah, pasti sangat berat ya.”

 

“Benar. Ngomong-ngomong, Kazu-senpai tolong hentikan Shizuku.”

 

Haruto menatap Ishigura dengan sedikit wajah tidak puas.

 

“Bukan, bukan itu maksudku. Maksudku pekerjaanmu sebagai pembantu rumah tangga. Apa kamu tidak kepikiran buat nolak pekerjaan rumah yang berat setiap waktu?”

 

“Eh? Ah, tidak juga sih. Aku sendiri yang memilih pekerjaan ini.”

 

Setelah Ishigura mengatakan itu, Haruto menggelengkan kepalanya.

 

Haruto belum pernah sekalipun merasa tidak suka dengan pekerjaannya sebagai pembantu di rumah tangga keluarga Tojo. Justru, dia merasa sangat puas melihat senyum bahagia keluarga Tojo saat menikmati masakan buatannya.

 

Selain itu, ada satu faktor lain yang membuat Haruto merasa senang dengan pekerjaan membantunya sebagai pembantu rumah tangga. Faktor itu adalah keberadaan seorang gadis yang dinobatkan sebagai “Idol Sekolah” di sekolah Haruto.

 

Sebelum mulai bekerja sebagai pembantu, Haruto tidak punya kontak sama sekali dengannya dan tidak tahu bagaimana kepribadiannya. Haruto juga tidak terlalu tertarik padanya. Namun, setelah berinteraksi dengannya melalui pekerjaan pembantu rumah tangga, Haruto mengenal sisi lain dari “Idol Sekolah” yang biasa dilihatnya. Haruto mulai merasa akrab dengan kemanisannya dan sisi dia sebagai gadis biasa dalam arti yang baik.

 

“Aku merasa bekerja sebagai pembantu rumah tangga adalah keputusan yang tepat.”

 

“Oh gitu ya. Syukurlah kamu menemukan pekerjaan yang bagus.”

 

Haruto merasa telah membangun hubungan yang baik dengan keluarga Tojo. Meski kadang seperti kemarin saat Ayaka menggodanya soal hubungan mereka agak canggung dan membuatnya malu, itu bukan berarti tidak menyenangkan. Bahkan terkadang membuatnya sedikit berdebar-debar.

 

“Ya, aku benar-benar menemukan pekerjaan yang bagus.”

 

Saat Haruto menjawab dengan tersenyum, Shizuku yang tadinya memalingkan wajah mendekatinya lagi.

 

“Haruto-senpai, aku boleh ngelitikin kamu lagi gak?”

 

“Jelas lah gak boleh!!”

 

Waspada terhadap Shizuku yang mencoba menyerangnya, Haruto menjaga jarak darinya.

 

“Kenapa kamu ngelitikin aku?!”

 

“Karena tiba-tiba aja aku ngerasa kesal. Haruto-senpai terimalah nasib untuk dikalahkan olehku.”

 

“Jangan bercanda! Mana ada alasan konyol seperti itu!”

 

Sampai latihan dimulai, Haruto terus waspada terhadap Shizuku yang mencoba memutarinya dari belakang jika ada celah.

 

 

Kontrak langganan Haruto sebagai pembantu rumah tangga di keluarga Tojo adalah tiga hari dalam seminggu, tiga jam per hari.

 

Bagi Haruto yang ingin menghasilkan uang sambil belajar selama liburan musim panas ini, kontrak yang cukup seimbang dan memuaskan.

 

“Fuhh~, selesai juga ngebersihin bak mandi.”

 

Hari ini dia membersihkan bak mandi sesuai permintaan Ikue.

 

Tidak hanya jamur, tapi juga kerak air, lumpur di saluran pembuangan, dan debu yang menempel di sekeliling pintu. Haruto membersihkan semuanya hingga bak mandi bersinar cemerlang dan memancarkan kemilau kebersihan, membuatnya merasa puas.

 

“Baiklah, selanjutnya membersihkan wastafel—Uwoh!?”

 

“Kyaa! Ah...ma-maafkan aku!”

 

Ketika Haruto berbalik untuk membersihkan wastafel setelah selesai dengan bak mandi, tiba-tiba Ayaka berdiri di belakangnya dan membuatnya terkejut hingga tersentak berlebihan.

 

Setelah kejadian mengerikan dengan Shizuku beberapa hari lalu, Haruto jadi sedikit lebih over-reaksi daripada biasanya.

 

Ayaka juga sepertinya terkejut melihat reaksi Haruto yang terkejut hingga sedikit terlonjak.

 

“...Err, ada sesuatu yang kamu inginkan?”

 

Mengira Ayaka datang untuk menyampaikan permintaan terkait pekerjaan pembantunya, Haruto bertanya. Namun Ayaka tidak menjawab dengan jelas sambil mengalihkan pandangannya dan bergumam.

 

“Ah, etto... Jadi gini. Aku, aku ingin menyampaikan sesuatu pada Otsuki-kun atau lebih tepatnya menanyakan sesuatu...jika tidak keberatan...itu...gini...bEh, eeh...eeh...”

 

“Eeh?”

 

“Eh, eeh...golongan da...rahmu A!?”

 

“Hah?”

 

Haruto kebingungan dengan kata-kata tidak nyambung yang tiba-tiba diucapkan Ayaka. ke Haruto yang sedang kebingungan, Ayaka mulai menjelaskan dengan ngotot.

 

“Be-Begini! Aku penasaran apakah golongan darah Otsuki-kun A? Soalnya kamu sangat rapi dan teliti dalam membersihkan...” 

 

“Ah, golongan darah ya?”

 

Akhirnya Haruto mengerti setelah mendengar penjelasan cepat Ayaka dan menanggapinya. Ayaka pun mengangguk berulang kali.

 

“Tidak, golongan darahku O. Aku membersihkan dengan teliti karena ini pekerjaan, tapi kalau ngerbersihin kamarku sendiri, aku cukup sembrono.”

 

“Ah begitu, jadi Otsuki-kun bergolongan darah O ya.”

 

Sambil tersenyum Haruto berkata “Aku cukup ceroboh sih,” membuat Ayaka tersenyum malu-malu dengan ekspresi bahagia.

 

“Kalau Tojo-san?”

 

“Eh?”

 

“Golongan darah Tojo-san apa?”

 

“Ah, aku golongan darahku B.”

 

“Ohh gitu ya. Agak di luar dugaanku.”

 

Haruto terlihat sedikit terkejut mendengar golongan darah Ayaka.

 

“Benarkah? Memangnya Otsuki-kun kira golongan darahku apa?”

 

“Yah, karena selama ini aku tidak terlalu mengenalmu, Tojo-san terkesan misterius, jadi aku asal menduga kamu bergolongan AB. Tapi itu murni prasangka saja sih.”

 

“Aku memiliki kesan misterius ya?”

 

Ayaka bertanya sambil menengadahkan kepalanya.

 

“Sebelum berinteraksi denganmu secara langsung, kamu sedikit terkesan misterius, atau mungkin lebih tepatnya...semacam bunga yang tumbuh di puncak gunung yang tinggi.”

 

“Gitu ya... Kalau sekarang? Apa sekarang aku masih terkesan seperti itu?”

 

Ayaka bertanya dengan sedikit mendongak, seolah mengamati reaksi Haruto. Melihat tingkahnya yang menggemaskan, Haruto menjawab dengan sedikit mengalihkan pandangan.

 

“Sekarang sudah beda. Sekarang aku melihatmu sebagai...gadis biasa dalam arti yang positif. Aku lebih merasa dekat denganmu dibanding sebelumnya.”

 

“Benarkah!?”

 

“I-Iya.” 

 

Ayaka tersenyum bahagia. Untuk menyembunyikan wajahnya yang mungkin sedikit merona, Haruto memalingkan wajah dan menggaruk pipinya.

 

Melihat Ayaka yang sepertinya sangat bahagia, Haruto memutuskan untuk membahas topik yang sedari tadi ingin dibicarakannya sejak datang ke rumah keluarga Tojo.

 

“Ngomong-ngomong, soal...pembicaraan kita di toko perlengkapan rumah tangga waktu itu tentang kebun binatang...”

“Ah! I, iya!”

Mendengar kata ‘kebun binatang’, Ayaka bereaksi berlebihan dan mengangguk dengan membungkukkan badan ke arah Haruto. Karena dia membungkuk, jarak di antara mereka jadi sedikit lebih dekat. Berusaha tidak terlalu memperhatikan jarak itu, Haruto melanjutkan dengan setenang mungkin.

 

“Soal jadwalnya, gimana kalau minggu depan—“

 

“Soal itu, sebenarnya kalau Otsuki-kun tidak keberatan—“

 

“Otsuki-kun~ Sudah selesai ngebersihin bak mandinya? Ah? Ayaka?” 

Tepat saat Ayaka hendak menyampaikan sesuatu, kata-katanya dipotong oleh Ikue yang datang melihat keadaan. Melihat keduanya berdiri berdekatan dengan wajah sedikit memerah dan suasana canggung, Ikue tersenyum lebar.

 

“Ara? Arara? Sepertinya aku mengganggu ya? Maafkan aku~”

 

Masih dengan senyum lebarnya, Ikue berkata “Nikmati aja waktu berduannya~” sambil berusaha menutup pintu di depan wastafel.

 

Tapi putrinya segera menghentikan tindakan ibunya itu.

 

“Mama! Jangan mengatakan hal-hal aneh!”

 

Ayaka membuka lebar lagi pintu yang hampir ditutup Ikue.

 

“Ara? Kalian sedang mengadakan pertemuan rahasia ya?”

 

“Mana mungkin kami melakukan hal seperti itu!”

 

“Benar juga sih. Kalau mau mengadakan pertemuan rahasia, harusnya di luar rumah.”

 

“Bukan begitu maksudku!!”

 

“Err..aku sudah menyelesaikan ngebersihin bak mandinya, dan abis ini mau bersihin wastafel.”

 

Sedikit canggung dengan komunikasi ibu dan anak yang sudah terbiasa, Haruto menyela dengan sopan.

 

“Terima kasih Otsuki-kun. Itu sangat membantu. Oh, dan maaf, setelah itu selesai, bisa sekalian bersihin toiletnya?”

 

“Baik, dimengerti.”

 

“Bagus. Nah Ayaka, aku harus pergi dulu, jadi silakan lanjutkan pertemuan rahasia kalian berdua~”

 

“Bukan gitu, Mama!”

 

Meskipun Ayaka membantah, Ikue hanya menghiraukannya dengan ringan dan pergi. Ayaka menatap punggung ibunya untuk sesaat dengan tatapan jengkel. Setelah memastikan Ikue benar-benar pergi, dia menghadap ke arah Haruto.

 

“Maaf ya Otsuki-kun. Mama selalu mengatakan hal-hal aneh.”

 

“Ah tidak, Ibumu sangat menghibur, Ayaka-san beruntung memilikinya.”

 

“Eh~ benarkah?”

 

“Iya...seorang ibu, keberadaannya aja sudah patut disyukuri.”

 

Saat Haruto membicarakan tentang ibu, ekspresinya terlihat sayu dan ada kelembutan yang menguar darinya. Melihat penampilannya yang seperti itu, Ayaka spontan memanggil namanya. 

 

“...Otsuki-kun?”

 

Haruto seperti tersadar, lalu memberi senyum untuk menutupinya.

 

“Lagipula, melihat Ayaka-san tersipu malu karena digoda Ikue-san, sangat menggemaskan.”

 

“Menggemaskan!?”

 

Terkejut dengan perkataan tak terduga itu, wajah Ayaka langsung memerah sampai ke telinga dan matanya bergerak-gerak dengan gugup.

 

“A-Apa? Aku gemesin kalau aku malu...Otsuki-kun nakal...”

“Ah, maaf...” 

Sambil tersenyum malu-malu dan sedikit mengerutkan bibirnya, Ayaka protes dengan gerak-gerik yang sangat menggemaskan. Untuk sesaat, Haruto merasa terhipnotis oleh pesonanya.

 

“Err...jadi tentang jadwal ke kebun binatang itu...”

 

Haruto berusaha mengembalikan pembicaraan untuk menjaga kewarasannya. Tapi Ayaka dengan panik memotong perkataannya.

 

“Ah, soal itu! Otsuki-kun, apa kamu ada waktu luang besok?”

 

“Eh? Besok? Ya, sebenarnya besok aku berencana untuk belajar seharian, jadi tidak ada rencana keluar rumah.”

 

“Gitu ya, belajar...Umm, apa besok kita bisa ketemuan di luar? Kita bisa membahas jadwal ke kebun binatangnya. Dan...sekalian, err...kalau bisa, kita nonton film juga...gimana?”

 

Besok Haruto tidak ada jadwal pekerjaan rumah tangga, jadi dia berencana untuk menghabiskan sehari penuh untuk belajar. Setelah mendengar itu, Ayaka ragu-ragu mengajaknya keluar.

 

“Nonton film?”

 

“I-Iya...kemarin, aku kebetulan dapat kupon diskon dari teman...”

 

“Begitu ya. Hmm...”

 

Sementara Haruto tampak berpikir, Ayaka berbicara terburu-buru, “Ah! Tapi belajar juga penting! Tidak usah memaksakan diri! Hanya saja...nanti kalau Mama atau Papa menanyakan soal rencana ke kebun binatang, bisa jadi masalah besar. Jadi, kalau kita bisa membahasnya di kafe atau semacamnya, baguslah. Tapi aku tidak bisa memintamu menemaniku hanya untuk itu aja, itu tidak baik. Karena aku kebetulan dapat kupon diskon juga, jadi sekalian aja kalau kita nonton film bareng. Tapi kalau kamu sibuk belajar...aku tidak akan memaksa...itu...”

 

Suara Ayaka semakin mengecil dan kalimatnya tidak bertenaga lagi. Akhirnya dia hanya menunduk. 

 

Melihat itu, Haruto menjawab dengan nada ceria, “Tidak, aku juga pengen menonton film.”

 

Begitu Haruto mengatakannya, wajah Ayaka yang tertunduk langsung terangkat.

 

“...Benetan?”

 

“Ya, tapi aku tidak tahu film apa yang lagi tayang sekarang.”

 

“Kalau gitu, berarti besok kita nonton film...bareng?” 

 

“Ya, ayo nonton bareng.”

 

Ekspresi Ayaka yang tadinya terlihat cemas, langsung berubah cerah begitu mendengar jawaban itu. Melihat senyumnya yang seperti bunga mekar, Haruto sejenak terpana.

 

“Kalau gitu, umm, Otsuki-kun, apa ada film yang ingin kamu tonton?”  

 

“Hmm... boleh aku cari dulu?”

 

Haruto mengeluarkan ponselnya setelah menerima pertanyaan dari Ayaka, lalu mencari film yang sedang tayang sekarang. Ketika melihat daftar filmnya, dia bergumam “Hmm” dalam hati.

 

Sejujurnya, dari film-film yang sedang tayang tidak ada yang benar-benar ingin dia tonton. Namun, Haruto tidak bisa mengatakannya begitu saja, jadi dia memutuskan untuk meminta pendapat Ayaka juga. 

 

“Ada banyak pilihan film yang tayang sekarang, jadi bingung juga ya. Apa ada film yang ingin Tojo-san tonton?”

 

Ketika Haruto bertanya, Ayaka menjawab dengan sangat antusias.

“Iya! Jadi bingung milihnya! Tapi, aku sedikit tertarik dengan yang ini.”

 

Sambil berkata begitu, Ayaka mengoperasikan ponselnya dan menunjukkan layarnya pada Haruto. Disana terpampang halaman promosi sebuah film.

 

“...’Natsuzora to Koi’ (Cinta di Musim Panas)”

 

Haruto bergumam menyebutkan judul filmnya.

 

Film itu perankan aktor muda tampan dan idola yang sedang naik daun, termasuk kategori “film masa muda yang mendebarkan” atau semacam itu.

 

Film yang populer di kalangan remaja putri dan dijuluki “Natsukoi”, menempati peringkat teratas dalam ranking film Jepang untuk penayangan musim panas.

 

“Jadi Tojo-san suka film yang kayak gini?”

 

Selama ini Haruto mengamati Ayaka di sekolah dan mengira dia tidak tertarik pada percintaan atau hal-hal semacam itu, dan bersikap cuek terhadap romansa. Tapi ternyata Ayaka juga seorang remaja putri yang memimpikan cinta romantis seperti pada umumnya.

 

Melihat ekspresi Ayaka yang bercampur harap dan khawatir, Haruto tersenyum lembut.

 

“Baiklah, aku juga pengen menonton film ini. Jadi besok kita tonton ‘Natsukoi’ berdua ya?”

 

“Serius? Tidak apa-apa film ini?”

 

“Iya, aku jadi tidak sabar buat besok.”

 

Ketika Haruto membalas dengan senyuman untuk meyakinkannya, Ayaka pun membalas dengan senyum cerah yang memancar.

 

“Um! Aku juga menantikannya!”

 

Melihat senyumnya yang begitu bahagia, Haruto pun ikut merasa girang. 

 

“Kalau begitu, gimana kalau kita janjian di depan mal stasiun besok jam 10?”

 

“Iya iya! Setuju!”

 

Ayaka mengangguk berulang kali dengan semangat, lalu tiba-tiba seperti teringat sesuatu dan mengarahkan ponselnya ke Haruto.

 

“Um... Mau tukeran kontak?”

 

“Ah benar juga ya.”

 

Jika mereka akan janjian, lebih baik saling menukar kontak agar lebih mudah berkomunikasi nanti.

 

“Kalau begitu, boleh aku scan QR punyamu?”

 

“Boleh.”

 

Haruto menampilkan kode QR berisi informasi aplikasi mengobrolnya di layar, lalu memperlihatkannya pada Ayaka.

 

“Sudah terbaca. Kalau gitu aku akan mengirim pesan ya.”

 

“Iya, silakan.”

 

Segera setelah Ayaka berkata begitu, ponsel Haruto berbunyi ‘shupo’. Ketika dilihat, ada stiker kelinci mengangkat kedua tangan memberi isyarat ‘banzai’ dengan pesan ‘Mohon bantuannya!’ dari Ayaka.

 

“Aku juga sudah ngesave kontakmu.”

 

“Umm...mohon bantuannya mulai sekarang ya.” 

 

“Ah ya, mohon bantuannya juga.”

 

“...Maaf ya sudah mengganggu pekerjaanmu.”

 

Setelah sedikit jeda canggung, Ayaka dengan malu-malu tapi terlihat bahagia melambaikan tangannya kecil dan pergi.

 

Setelah Ayaka pergi dan hanya ada Haruto sendiri di wastafel, dia tiba-tiba teringat sesuatu.

“Eh? Karena kita sudah bertukar kontak, seharusnya bisa membahas jadwal ke kebun binatang lewat situ kan?”

 

Menurut Ayaka, mereka harus bertemu di luar karena dia tidak ingin keluarganya tahu. Namun jika berkomunikasi lewat ponsel, mereka tidak perlu keluar rumah.

 

Meski begitu, Ayaka malah mengajaknya nonton film.

 

“Jangan-jangan Tojo-san itu sebenarnya tidak sepintar kelihatannya, atau mungkin...”

 

Saat berpikir seperti itu, detak jantung Haruto tiba-tiba berdetak lebih cepat dari biasanya.

 

 

Setelah menyelesaikan pekerjaan rumah tangga di rumah keluarga Tojo, Haruto pulang ke rumahnya. Dia membuka buku-buku pelajaran di meja ruang tamu dan mulai belajar dengan rajin.

 

“Haruto, kamu masih belajar?”

 

Neneknya dengan pakaian tidur datang dan meletakkan cangkir teh di depan Haruto sambil bertanya.

 

“Terima kasih, Nenek. Aku akan tidur sebelum larut malam. Besok aku juga keperluan di luar rumah.”

 

“Oh gitu? Tumben banget kamu pergi main.”

 

Mendengar cucunya akan pergi bermain, raut wajah nenek terlihat senang.

 

“Ya, aku akan nonton film.” 

 

“Wah nonton film? Bareng Tomoya-kun?”

 

Tomoya adalah sahabat Haruto sejak kecil, jadi nenek juga mengenalnya dengan baik. 

 

“Bukan, bukan dengan Tomoya. Aku akan menonton dengan teman sekelas.”

 

“Oho, jangan-jangan dengan seorang gadis?”

 

“Ya begitulah.”

 

Haruto menjawab dengan sedikit malu-malu lalu menyembunyikan rasa malunya dengan meminum teh dari cangkir.

 

“Gitu ya, berarti kencan dong.” 

 

“Uhuk! Ken..can?”

 

Haruto tersedak teh yang sedang diminumnya mendengar kata nenek.

 

“Bukan kencan nek. Hanya saja aku harus membicarakan sesuatu dengannya, jadi sekalian nonton film bareng aja.”

 

“Haruto.”

 

Neneknya memanggil namanya dengan nada memerintah seperti biasa sejak kecil, membuat Haruto refleks menegakkan punggungnya.

 

“Dengar Haruto. Jika seorang pria dan wanita bertemu di luar berdua doang, itu namanya kencan. Meskipun si wanita tidak menganggapnya begitu, pria harus menganggapnya kencan dan melayaninya dengan sepenuh hati. Itulah tata krama terhadap wanita, sikap seorang pria sejati. Paham?”

(Tln: menyalah nenekuh)

 

“Ya...”

 

Haruto meresponnya dengan patuh dan nenek mengangguk puas.

 

“Wanita selalu mempersiapkan diri saat akan pergi bersama pria. Jadi pria harus menghargai usaha mereka, memuji mereka, memperlakukan dengan lembut. Lakukan dengan wajar tanpa mengumbar atau menyombongkannya.” 

 

“Aku mengerti, Nek. Besok aku akan berusaha sebaik mungkin...berkencan dengan hormat.” 

 

“Bagus, berjuanglah.” 

 

Nenek tersenyum lembut dan berkata “selamat malam” lalu keluar dari ruang tamu.

 

Haruto yang tersisa sendirian, memikirkan kata-kata neneknya tadi.

“Memang benar, bersikap sopan dengan menghormati wanita adalah kewajiban pria.”

 

Cara berpikir nenek mungkin terdengar kuno di zaman sekarang. Namun sejak kecil Haruto selalu diajarkan untuk bersikap lembut pada wanita. Jadi besok dia harus memperlakukan Ayaka dengan baik. Haruto menghentikan belajarnya sejenak.

 

“Aku harus mencari kafe atau semacamnya untuk dikunjungi setelah nonton film...”

 

Biasanya kalau bersenang-senang dengan Tomoya, mereka tidak merencanakan apa pun dan hanya berkeliling ke mana saja. Namun tentu saja dia tidak bisa bertindak sebebas itu di depan Ayaka. Dia perlu merencanakan semuanya dengan matang. 

 

Saat Haruto sedang mencari info tentang besok, muncul notifikasi pesan di ponselnya.

 

“Ah dari Tojo-san.”

 

Haruto membuka aplikasi dan melihat pesannya.

 

[Ayaka: Kamu masih bangun?]

 

Bersamaan dengan pesan itu, ada stiker kelinci mengintip dari balik tembok.

 

[Haruto: Ya, masih bangun]

 

Haruto membalas dengan mengirim stiker beruang bersemangat. 

 

[Ayaka; Aku sudah tidak sabar untuk besok! Terlalu bersemangat sampai khawatir tidak bisa tidur...]

 

[Haruto; Aku juga sudah tidak sabar sampai hanya bisa tidur malem]

 

[Ayaka: Itu namanya biasa aja!!]

 

Ketika Haruto membalas dengan candaan, Ayaka membalasnya dengan sanggahan dan mengirim stiker kelinci menjitak beruang dengan keras.

 

Melihatnya, Haruto tertawa kecil “Hehehe.”

 

[Haruto: Besok mohon bantuannya ya]

 

[Ayaka: Um! Mohon bantuannya juga!!]

 

Dari pesan yang dikirimkan, Haruto seolah bisa membayangkan Ayaka tersenyum lebar di seberang sana, membuatnya pun ikut tersenyum.

 

[Haruto: Besok aku harus bangun pagi biar tidak terlambat ya]

 

[Ayaka: Iya benar]

 

[Haruto: Kamu bisa tidur?]

 

[Ayaka: Akan kuusahakan!!]

 

[Haruto: Kalau gitu, selamat tidur]

 

[Ayaka: Selamat tidur. Sampai ketemu besok ya]

 

Balasan dari Ayaka dengan emotikon hati di akhir kalimat ‘Sampai ketemu besok ya’ membuat jantung Haruto berdebar kencang.

 

“Tenanglah. Tidak ada maksud khusus di balik itu.”

 

Memang ada perempuan yang sering menggunakan emotikon hati hanya karena mereka merasa itu imut. Tentu saja emotikon itu sendiri tidak memiliki arti khusus, hanya karena terlihat lucu saja.

 

Hati yang dikirimkan Ayaka pasti juga sama seperti itu, tidak ada maksud tertentu.

 

Haruto meletakkan tangannya di dada, berusaha menenangkan debaran jantungnya yang belum mereda.

 

 

Keesokan harinya, setelah selesai belajar pagi yang biasa dilakukannya, Haruto mandi dan berganti pakaian. Dia bahkan menggunakan sedikit pewangi rambut untuk merapikan tatanan rambutnya, sesuatu yang jarang dilakukannya. Terakhir dia memeriksa penampilannya di cermin.

 

“Yosh, tidak ada yang aneh.”  Haruto mengangguk puas setelah mengecek penampilannya.

 

Perawatan diri dan penampilan yang rapi adalah tata krama minimal bagi seorang pria yang akan menemani wanita. Mengingat ajaran neneknya, Haruto membenahi penampilannya sebelum beranjak ke pintu depan.

 

“Nek, aku berangkat dulu.”

 

“Iya hati-hati di jalan.” 

 

“Baik.”

 

Setelah pamit ke neneknya, Haruto pun berangkat menuju mal di stasiun tempat janjiannya dengan Ayaka. Butuh waktu 20 menit naik kereta dari rumah Haruto.

 

Akhir-akhir ini seperti cuaca cerah terus saja, tidak ada mendung atau hujan. Gerah dengan panasnya cuaca, Haruto turun dari kereta ber-AC menuju tempat janjian.

 

“Hmm, sepertinya aku dateng 20 menit lebih cepat dari waktu janjian.” 

 

Dia memang berangkat dari rumah lebih awal untuk berjaga-jaga, tapi sepertinya terlalu banyak waktu luang. Sambil memikirkan itu, Haruto menuju ke alun-alun depan mal stasiun. Disana ada bangku-bangku dan patung-patung besar yang sering digunakan untuk bertemu.

 

Hari itu juga ada beberapa orang yang sedang menunggu di bangku atau bersandar pada patung sambil memainkan ponsel mereka.

 

Haruto menyadari ada kerumunan di salah satu sudut alun-alun itu.

 

“Eh? Ada apa ya disana?” 

 

Kadang-kadang ada seniman jalanan yang menghibur di alun-alun ini. Karena masih ada waktu sebelum janjian, Haruto menghampiri kerumunan itu berniat menghabiskan waktu dengan melihat pertunjukan. Dari kejauhan dia bisa mendengar percakapan orang-orang, terutama para pria.

 

“Hei, dia cantik banget? Dia artis ya?”

 

“Lagi nunggu pacarnya kali? Mau kita goda?” 

 

“Mustahil dia orang biasa? Model? Idol?”

 

“Omong-omong, tubuhnya seksi banget ya?” 

 

Haruto mengerutkan kening mendengar percakapan aneh itu. Sepertinya bukan pertunjukan seni jalanan yang sedang dikerumuni. Mungkin sedang ada syuting drama atau pemotretan model/idol, lalu para penggemar berkumpul untuk melihat.

 

Sudah disini, Haruto ikut menyelinap melihat artis atau model yang dikerumuni orang-orang itu.

 

Lalu dia melihat sosok yang diperhatikan semua orang. 

Seketika rasa panas musim panas yang dirasakannya menguap begitu saja.

 

“Tojo-san!?” 

 

Haruto tanpa sadar berteriak memanggil namanya. Beberapa orang di dekatnya menatapnya dengan pandangan aneh.

 

Ayaka sepertinya menyadari sedang menjadi pusat perhatian, dia hanya berdiri dengan kepala tertunduk, gelisah.

 

Ayaka mengenakan rok hitam flare di bagian bawah. Di bagian atas, dia memakai off-shoulder putih dengan cardigan tipis di atasnya. Off-shouldernya tidak terlalu terbuka, desainnya cukup sederhana, dan cardigan yang dikenakannya membuatnya tampak anggun.

 

Namun, tubuh indahnya tetap menarik perhatian para pria, digabungkan dengan kecantikannya, bahkan pria-pria yang lewat pun tidak bisa menahan diri untuk tidak meliriknya sekali atau dua kali.

 

Haruto sekali lagi menyadari betapa luar biasanya “Idol Sekolah” Tojo Ayaka. 

 

Jika dia menyapanya sekarang, Haruto sedikit ketakutan bahwa dia mungkin akan dihujani kecemburuan dari kerumunan orang. Tapi dia juga tidak bisa membiarkan Ayaka begitu saja. Dengan tekad bulat, saat itulah pandangan mereka bertemu ketika Ayaka mengangkat wajahnya.

 

Seketika, ekspresi Ayaka yang tadinya canggung dan gelisah berubah menjadi senyuman lebar.

 

“Otsuki-kun!”

 

Mendengar suara cerianya seperti matahari, beberapa pria menghela napas panjang, dan beberapa orang lainnya terpaku dengan mulut terbuka. Dan, banyak orang menatap Haruto yang dihadiahi senyuman oleh Ayaka.

 

Sambil menerima tatapan-tatapan itu, Haruto membalas senyum Ayaka yang berjalan cepat menghampirinya.

 

“Maaf, Tojo-san. Aku membuatmu menunggu, ya?”

 

“Ah tidak! Aku juga baru aja datang, jadi tidak apa-apa!”

 


Meskipun kerumunan orang di sekelilingnya mengindikasikan bahwa “Aku baru saja datang” mungkin bohong, Haruto tidak mau menyinggungnya karena itu tidak sopan.

 

Haruto berkata dengan senyuman, “Kalau begitu, mari kita pergi.”

 

“Ya!”

 

Ayaka terlihat sangat gembira saat menjawab. Berjalan di samping Ayaka, Haruto merasakan tatapan iri dan kagum dari orang-orang, dan dia merasakan hari ini akan menjadi hari yang berat.

 

Namun, meski memikirkan hal itu, detak jantung Haruto sedikit berdebar. Untuk menyembunyikan debaran itu, dia tetap terlihat tenang saat menuju pusat perbelanjaan.

 

“Aku menantikan film hari ini.”

 

Di sampingnya, Ayaka berjalan dengan ringan sambil tersenyum padanya.

 

“Ya, aku juga menantikannya.”

 

Memandang Ayaka yang tersenyum memikat, Haruto menelan ludah dan akhirnya berkata, “Kamu terlihat sangat cantik hari ini, Tojo-san.”

 

“Eh!? Be-benarkah?”

 

Ayaka jelas mengenakan pakaian khusus hari ini.

Karena Ayaka berdandan untuknya, Haruto merasa harus memujinya sebagai bentuk penghargaan, tapi agak malu mengatakannya sebagai remaja pria. Hingga akhirnya dia bisa mengatakannya.

 

Mendengar pujian Haruto, Ayaka tersentak dan menatapnya dengan malu-malu.

 

“Uhm, aku merasa kecantikan Tojo-san hari ini memancarkan aura seorang wanita dewasa, tapi juga imut, jadi... Memikat banget.”

 

Haruto merasa wajahnya memerah saat mengatakannya.

 

Sebenarnya dia ingin memuji Ayaka dengan lebih santai, tapi rasa malunya menghalanginya sehingga perkataannya sedikit terbata-bata.

 

“Oh...terima kasih...”

 

Ayaka membalas dengan suara pelan sambil menunduk.

 

Haruto merasa tidak yakin dengan jawabannya. Apakah perkataannya terlalu berlebihan? Atau malah terdengar aneh? Dia mulai merasa cemas.

 

Tadi malam, neneknya mengatakan dia harus bersikap layaknya seorang pria sejati. Tapi Haruto merasa tidak yakin bisa bersikap demikian. Saat Haruto tenggelam dalam pikirannya, Ayaka tiba-tiba mengangkat wajahnya dan menatapnya.

 

“Um... Kamu juga terlihat tampan hari ini, Otsuki-kun.”

 

Ayaka berkata malu-malu sambil melirik ke atas. Kata-katanya seketika menghapus kecemasan Haruto.

 

“Otsuki-kun memang sudah tampan, tapi hari ini kamu terlihat lebih... dewasa...”

 

Mendengar pujian Ayaka, Haruto merasa jantungnya berdebar. Dia mengerti mengapa para pria di sekolah selalu menyatakan cinta pada Ayaka.

 

Dia akhirnya menyadari sedikit daya tarik yang membuat Ayaka begitu populer dan dijuluki “Idol Sekolah”.

 

Saling memuji dengan wajah merona, Haruto dan Ayaka tiba di bioskop di lantai atas pusat perbelanjaan. Pencahayaan redup dan aroma karamel khas bioskop menggelitik indera penciuman mereka.

 

Setelah membeli tiket yang sudah dipesan, mereka memperhatikan penjual popcorn dengan aroma manis yang menggoda.

 

“Apa Tojo-san suka membeli popcorn atau minuman saat nonton film?”

 

“Tergantung situasinya. Aku tidak bisa ngabisinmya, jadi kadang aku berbagi dengan teman.”

 

“Kalau gitu, hari ini mau ngelakuin kayak gitu juga?”

 

“Ya, tentu.”

 

“Baiklah, aku yang akan membelinya. Tunggu sebentar.”

 

Antrian di dekat konter cukup padat, jadi Haruto meminta Ayaka menunggu sementara dia mengantri sendirian. Sepertinya di sini ramai karena musim liburan, ada tiga antrian di depan konter.

 

“Kayaknya bakalan makan waktu.”

 

Sambil bergumam, Haruto mengambil antrian di tengah.

 

“Tapi masih ada banyak waktu sebelum filmnya mulai.”

 

Karena mereka datang lebih awal, masih ada cukup waktu sebelum film diputar. Haruto menghela napas pelan sambil mengantri di barisan yang pelan bergerak.

 

Setelah menjauh dari Ayaka, Haruto tidak lagi merasakan tatapan-tatapan yang sebelumnya menerpanya, dan dia bisa menarik napas lega.

 

“Jadi Tojo-san selalu mendapat tatapan seperti itu setiap kali keluar? Pasti sangat melelahkan.”

 

Sambil merasa kasihan pada Ayaka, Haruto mengarahkan pandangannya ke arah Ayaka yang menunggu. Di sana, Ayaka tampak kebingungan saat tiga pria yang terliha seperti mahasiswa menyapanya.

 

Melihat situasi itu, Haruto keluar dari antriannya yang hampir mendapat giliran dan bergegas kembali ke tempat Ayaka.

 

“Permisi.”

 

Haruto memanggil dengan suara agak keras, membuat ketiga pria itu menoleh padanya.

 

“Wah? Jangan-jangan dia pacarnya?”

 

Pria berambut cokelat terang dengan banyak tindikan menatap Haruto dengan ekspresi terkejut.

 

“Sepertinya mereka sedang berkencan. Maaf ya.”

 

Pria lain juga berambut cokelat dengan tindikan mengangkat tangannya meminta maaf pada Ayaka.

 

“Ah, tidak apa-apa.”

 

Ayaka berkata sambil mendekat ke Haruto yang baru kembali. Melihat itu, pria ketiga yang berambut merah mencolok dengan tindikan di kelopak mata dan bibirnya menyeringai dengan bersemangat.

 

“Hah?! Dia benar-benar pacarmu?! Kukira kalian hanya teman?! Kalau begitu, gimana kalau kita berlima pergi karaoke atau main dart?”

 

“Tidak, kami berencana menonton film.”

 

Haruto merespons pria berambut merah yang agak mendesak dengan sikap tegas. Namun, pria itu tampak tidak berniat mundur dan tetap menyeringai.

 

“Masa sih? Ayolah, kami bisa menunggu! Atau kami bisa nonton film bareng kalian, gimana?”

 

Ketika pria berambut merah mengusulkan itu pada kedua temannya, pria berambut cokelat yang tadi meminta maaf pada Ayaka tersenyum kecut.

 

“Sudahlah, jangan ganggu mereka. Kasian lagi kencan.”

 

“Hah? Mereka beneran lagi berkencan? Tidak mungkin kan? Mereka pasti hanya teman, kan? Iya kan?”

 

Pria berambut merah itu melirik Ayaka yang bersembunyi di belakang Haruto sambil bertanya. Sedikit jengkel dengan sikapnya, Haruto hendak membalas saat Ayaka lebih dulu angkat bicara dari belakangnya.

 

“Dia pacarku!! Ka-kami memang pacaran! Ja-jadi...kami sedang kencan, jadi tolong tinggalkan kami...” 

 

Suara Ayaka melemah di akhir kalimat, dan Haruto melanjutkan.

 

“...Jadi, bisakah kalian tidak mengganggu kencan kami lagi?”

 

Untuk sesaat, Haruto terkejut dengan perkataan Ayaka. Namun, dia segera menguasai dirinya dan menghadapi pria berambut merah itu dengan memperingatkan.

 

“Serius? Beneran? Kalau gitu, aku boleh minta maaf, kan? Maaf ya, dimaafin kan?”

 

Bahkan setelah berkata sejauh ini, pria berambut merah yang mencoba untuk bersikeras mendekati, berusaha untuk meraih tangan Ayaka yang berada di belakang Haruto. Pada saat itu, Haruto bergerak setengah langkah ke samping seperti untuk menghalangi lengan pria tersebut dan sepenuhnya menyembunyikan Ayaka di belakangnya. Pada saat yang sama, dia menatap tajam pria berambut merah dengan pandangan yang tajam.

 

"Merepotkan. Tolong berhenti."

 

Dengan suara yang lebih rendah, Haruto memberitahu dengan tenang, memandang pria berambut merah dengan tatapan yang penuh dengan semangat bertarung seperti dalam karate.

 

"A-Apa? Aku hanya mencoba mengajak sedikit."

 

Di bawah aura yang dikelilingi Haruto, bahkan pria berambut merah itu pun mundur. Di situ dua pria berambut coklat lainnya masuk untuk menghentikan.

 

"Serius, berhentilah! Kasihan tau! Ayo, kita pergi sekarang!"

 

"Yah, maaf ya~, nikmati kencanmu ya~"

 

"Hei, hei! Berhenti! Jangan tarik aku!"

 

Sambil berkata begitu, ketiga pria itu pergi dengan berisik dari tempat Haruto dan yang lainnya. Melihat itu, Haruto juga menghela nafas, seperti melepaskan perasaan yang sedikit menjadi mode karate.

 

"Huu... itu orang yang cukup memaksa ya."

 

"Y-Ya. Mungkin sedikit menakutkan. Untungnya Otsuki-kun balik lagi..."

 

"Tidak, itu kesalahanku karena meninggalkan Tojo-san sendirian. Seharusnya aku bisa memprediksi bahwa Tojo-san akan diganggu, maaf."

 

Sambil berkata begitu, Haruto menundukkan kepalanya untuk meminta maaf, tapi Ayaka buru-buru menggelengkan kepalanya.

 

“Tidak, Otsuki-kun tidak salah! Justru aku yang minta maaf...karena sudah mengatakan kalau Otsuki-kun adalah pacarku...” 

 

Ayaka berkata dengan rasa bersalah sambil menunduk. Haruto tersenyum dan menjawab,

“Tidak, orang tadi cukup mendesak, jadi mau tidak mau harus di ladenin biar tuh orang nyerah.”

 

Untuk menghadapi orang seperti pria berambut merah tadi, kita perlu tegas dan sedikit berlebihan agar mereka mengerti maksud kita.

 

“Um... Otsuki-kun tidak keberatan? Dengan perkataanku yang bilang kita pacaran...”

 

“Tentu tidak. Malahan aku senang mendengarnya.”

 

“Benarkah?!” 

 

Mendengar Haruto, ekspresi cemas Ayaka berubah cerah.

 

“Benar. Jika kamu tidak keberatan, gunakan saja aku untuk mengusir pria-pria tidak dikenal.” 

 

“Ka-kalau begitu...anu...em... tidak, lupakan saja.”

 

Ayaka seperti hendak mengatakan sesuatu tapi mengurungkan niatnya, membuat Haruto penasaran.

 

“Ada apa? Katakan saja.”

 

“...Tidak apa-apa?” 

 

“Tentu.”

 

“...Kalau begitu...bi-bisakah kita...bergandengan tangan?”

 

Ayaka berkata dengan suara sangat pelan sambil merona merah sampai telinga.

 

“Bergandengan tangan?” Haruto tak sengaja mengulang pertanyaannya. 

 

Ayaka mengangguk pelan. “Kalau Otsuki-kun tidak keberatan... Agar lebih keliatan kayak orang pacaran. Dengan begitu, kejadian tadi mungkin tidak akan terulang...”

 

“Ah...ya, aku mengerti.” 

 

Apa yang Ayaka katakan memang masuk akal. Jika mereka bergandengan tangan, maka dari luar pasti terlihat seperti sepasang kekasih. Tidak akan ada yang berani mengganggu seperti tadi.

 

“Tojo-san tidak keberatan?”

 

“Aku...tidak.”

 

Ayaka mengangguk, lalu menambahkan dengan suara sangat pelan, “Jika dengan Otsuki-kun...”

 

“Begitu...Kalau begitu, ayo kita bergandengan tangan.”

 

“Ya...”

 

Mendengar Ayaka, Haruto dengan sedikit canggung mengulurkan tangannya. Ayaka juga mengulurkan tangannya. 

 

Haruto perlahan menggapai tangan putih ramping Ayaka. Saat tangan mereka bersentuhan, mereka berdua tersentak dan hampir menarik tangan kembali.

 

“.........” 

 

“.........” 

 

Keduanya saling bertatapan dalam diam, lalu membuang muka dalam diam pula.

 

Haruto memberanikan diri dan menggenggam tangan Ayaka. Ayaka tersentak seperti tadi, tapi kali ini dia membalas genggaman Haruto.

 

“......Ah, mau popcorn?” 

 

Setelah menggenggam tangan Ayaka, Haruto teringat dia seharusnya membeli popcorn. 

 

Memandang tangan mereka yang tertaut, Haruto berkata, “Masih ramai di antrian. Sepertinya tidak nyaman bergandengan tangan di sana.”

 

“....Tidak apa-apa. Aku...tidak ingin melepaskan...tangan.” 

 

Ayaka menjawab dengan suara pelan. Wajahnya sangat merah saat ini.

 

“Begitu...baiklah.”

 

Merasa wajahnya juga mungkin memerah, Haruto menarik pelan tangan Ayaka yang tergenggam.

 

“Kalau begitu...ayo kita menonton filmnya.”

 

“....Ya.”

 

Ayaka menurut saat Haruto menarik tangannya. 

 

Melihat Ayaka yang begitu menggemaskan, Haruto tidak lagi peduli dengan tatapan iri dari orang lain.

 

Mereka bergandengan tangan memasuki teater tempat film diputar. Haruto memeriksa nomor kursi di tiket dengan tangan yang tidak menggenggam Ayaka, lalu berjalan ke arah kursi mereka.

 

Karena datang cukup awal sebelum waktu tayang, tidak banyak orang di teater, jadi mereka bisa mencapai dua kursi bersebelahan tanpa perlu melepaskan genggaman tangan.

 

“Ini kursi kita.”

 

“Ya.”

 

Setelah menggandeng tangan, Ayaka terus bersikap pemalu, kata-katanya pendek dan suaranya pelan.

 

“Jadi, ayo kita duduk?”

 

“Ya.”

 

Harus melepaskan tangan yang digandengnya dengan Ayaka untuk sesaat demi membuka kursi yang bisa dilipat. Pada saat itu, seolah tidak ingin melepaskannya, Ayaka menggenggam tangannya dengan erat.

 

Seakan berkata, “Jangan lepaskan.”

 

Namun, itu hanya sesaat.

 

Haruto tetap melepaskan tangannya.

 

Dalam diam, mereka duduk di kursi. Saat melepaskan tangan Ayaka tadi, Haruto merasa tidak tenang memikirkan tindakannya, lalu meletakkan tangannya di sandaran tangan kursi.

 

Lalu, punggung tangannya diselimuti dengan sentuhan lembut yang hangat.

 

Haruto tanpa sengaja melihat ke arah tangannya. Di sana, ada tangan putih dan kecil Ayaka yang dengan ragu-ragu meletakkan tangannya di atas tangan Haruto. Saat Haruto mendongak, dia melihat Ayaka menunduk seakan menghindari tatapannya.

 

Jadi apakah ini artinya dia ingin menggandeng tangan lagi? Haruto membayangkan maksud Ayaka, dan sebagai percobaan, dia membalas dengan menempelkan telapak tangannya dengan Ayaka. Seketika itu juga, Ayaka menggenggam erat tangan Haruto.

 

Haruto sangat ingin tahu ekspresi wajah Ayaka saat ini, lalu diam-diam mengintip wajahnya. Mata mereka bertemu, dan Haruto melihat Ayaka tersenyum malu-malu tapi terlihat senang.

 

Haruto terdorong untuk terus menatap wajah manisnya. Namun, karena malu bertatapan, Ayaka segera mengalihkan pandangannya ke arah layar besar di depan mereka.

 

Layar besar itu masih kosong.

 

Tapi Ayaka menatap layar putih itu seolah-olah filmnya sudah dimulai.

 

“Masih ada banyak waktu, ya?”

 

“...Ya.”

 

“Bahkan trailernya belum mulai.”

 

“...Ya.”

 

“Yang dateng makin banyak, ya?”

 

“...Ya.”

 

“........”

 

“........”

 

Melihat percakapan yang tidak berkembang, Haruto menengok ke sekelilingnya, mencari topik pembicaraan.

 

Kemudian, dengan suara pelan, Ayaka berkata,

“...Hari ini cuacanya sangat cerah, ya.”

 

“Eh? Ah, iya, benar. Cuaca cerah.”

 

“Ya...cuaca cerah.”

 

“Ya...eum...”

 

Percakapan terhenti. Faktanya, membicarakan cuaca di bioskop yang gelap dan tidak ada jendela, justru menunjukkan bahwa mereka kehabisan topik pembicaraan.

 

“...Mungkin sebentar lagi trailernya mulai?”

 

“...Sepertinya begitu...”

 

Di bioskop yang semakin ramai dibandingkan tadi, Haruto mulai merasa sedikit gugup karena percakapan mereka tidak berkembang. Namun, dia berusaha tenang dan bersikap santai.

 

“................”

 

“................”

 

Kesunyian melingkupi keduanya.

 

Karena kesunyian ini, Haruto jadi semakin sadar akan tangan Ayaka yang digandengnya. Telapak tangannya yang putih dan ramping terasa sedikit dingin saat pertama kali menggenggamnya, tapi sekarang terasa hangat.

 

Tojo Ayaka, yang dikenal sebagai “Idol Sekolah” paling cantik di sekolah Haruto. Kenyataan bahwa dia duduk di sampingnya dan menggandeng tangannya di bioskop membuat detak jantung Haruto berdetak lebih cepat tanpa bisa dicegah.

 

Dengan pikiran yang berkecamuk karena kehangatan tangan Ayaka, Haruto berpikir.

 

Dia bisa memahami menggandeng tangan untuk mengusir laki-laki. Tapi, apakah masih perlu menggandeng tangan saat menonton film? Namun, situasinya sekarang terlihat bahwa Ayaka tidak berniat melepaskan tangannya. Di dalam kepala Haruto, muncul penafsiran yang menguntungkan baginya sendiri.

 

Dia melirik Ayaka dari sudut matanya. Seperti biasa, Ayaka menatap layar dengan rona di pipinya. Melihat ekspresi samping Ayaka, Haruto mengubah pikirannya.

 

Hubungannya dengan Ayaka baru saja dimulai belum lama ini. Selama waktu itu, dia tidak melakukan apa pun atau bertingkah laku yang membuat Ayaka menyukainya, pikirnya sambil menggeleng pelan.

 

Dia tidak dibenci, tapi juga tidak ada alasan untuk disukai. Maka Haruto memutuskan untuk menikmati saja saat-saat seperti ini.

 

Haruto berusaha berpikir jernih dan menghapus penafsiran yang menguntungkan baginya sendiri.

 

Saat dia melirik Ayaka sambil memikirkan hal itu, tiba-tiba pandangan Ayaka yang tadinya tertuju ke layar beralih ke arah Haruto, dan mata mereka bertemu langsung.

 

“Ah!?”

 

“Hau!?”

 

Haruto segera mengalihkan pandangannya ke depan, sementara Ayaka menunduk. Tepat sebelum suasana canggung kembali melingkupi mereka, kebetulan penerangan di bioskop sedikit diremangkan dan layar menampilkan trailer.

 

“Trailernya sudah mulai, ya.”

 

“Ya, sudah mulai.”

 

Walaupun percakapan masih pendek, namun dengan adanya gambar di layar, sedikit mencairkan suasana canggung.

 

Haruto memandangi layar yang menampilkan tarian mencolok tentang larangan merekam film di bioskop, sambil memikirkan reaksi Ayaka tadi.

 

Melihat reaksi Ayaka sebelumnya, dia tidak bisa menahan rasa berharap. Namun, dia juga khawatir jika itu hanya salah paham.

 

Bayangan Haruto tentang Ayaka di sekolah masih kuat, di mana Ayaka adalah orang yang tidak mungkin jatuh cinta pada pandangan pertama.

 

Sambil memandangi trailer film yang akan segera tayang, pikirannya berkelana dengan hal seperti itu. Kemudian, bioskop benar-benar gelap. Layar menampilkan logo perusahaan produksi film berbentuk segitiga muncul dari ombak besar yang menghantam karang.

 

“Filmnya akan dimulai, ya.”

 

“Ya...tidak sabar menontonnya.”

 

“Iya.” Setelah percakapan singkat itu, filmnya dimulai.

 

Dimulai dengan adegan kehidupan sehari-hari di sekolah sebelum liburan musim panas antara murid laki-laki yang diperankan aktor muda tampan dan murid perempuan yang diperankan idola naik daun.

 

Haruto merasa lega terbebas dari percakapan yang tidak berkembang dan suasana canggung. Namun, itu hanya sementara. Masalah lain membuat Haruto resah.

 

Film yang mereka tonton adalah film remaja romantis, yang sering disebut “film remaja yang mendebarkan”. Jadi, di beberapa adegan ada momen-momen seperti “menepuk kepala”, “pelukan dari belakang”, “memeluk lengan”, “memeluk dagu”, dan gestur-gestur lain yang bisa membuat jantung berdebar kencang.

 

Setiap kali adegan seperti itu terjadi, Ayaka menghela napas seperti “haa” atau “huh”, dan menatap layar dengan mata berbinar-binar.

 

Jika hanya sebatas itu, tidak masalah bagi Haruto. Dia hanya berpikir dalam hati, “Ternyata Tojo-san cukup, tidak, sangat kekanakan.”

 

Namun, sekarang mereka bergandengan tangan.

 

Dan sepertinya tanpa sadar, setiap kali Ayaka menghela napas, dia juga sedikit menggenggam telapak tangan Haruto. Setiap kali Ayaka menggenggamnya, detak jantung Haruto berdetak kencang, dia melirik ekspresi Ayaka, dan terpesona melihat wajah sampingnya yang berseri-seri karena terpukau oleh filmnya.

 

Jika terus seperti ini, dia tidak akan bisa fokus mengikuti jalan cerita filmnya sama sekali.

 

Waktu terus berlalu dengan cara seperti itu, dan filmnya sudah mencapai pertengahan. Ayaka terus menggenggam tangan Haruto tanpa sadar dan tidak kenal ampun, memberikan beban pada jantung Haruto. Terhadap Ayaka yang seperti itu, Haruto mulai merasa ingin membalas.

 

Haruto yang pada dasarnya tidak suka kalah, tidak bisa begitu saja menerima situasi di mana dia terus-menerus dibuat berdebar oleh Ayaka secara sepihak. Bukannya dia tidak suka situasi ini, tapi menjadi pihak yang selalu diserang tidak cocok dengan karakternya.

 

Haruto menunggu dengan sabar saat yang tepat.

 

Mengusir pikiran jahatnya, dan berusaha menenangkan detak jantungnya yang berdebar kencang.

Dia memusatkan pandangannya ke layar dan menghitung waktunya.

 

Akhirnya, tiba adegan di mana tokoh utama pria dan wanitanya berciuman di balik tirai di kelas yang kosong.

 

Begitu melihat adegan itu, Haruto bersiaga, ‘Sekarang saatnya!’

 

Seperti dugaannya, di adegan ini, dia mendengar Ayaka menghela napas “Aa” di sampingnya dan telapak tangannya menggenggam tangan Haruto. Pada saat yang sama, Haruto juga menggenggam balik telapak tangan Ayaka.

 

“—Ah!?”

 

Dari sampingnya, terdengar jeritan kecil tanpa suara.

 

Haruto menoleh ke arah Ayaka untuk melihat keadaannya. Dengan ekspresi terkejut, Ayaka membelalakkan lebar kedua matanya yang besar, dan mematung menatap layar.

 

Mungkin dia terlalu terbawa suasana karena adegan tadi.

 

Merasa begitu, Haruto mencoba menggenggam telapak tangan Ayaka beberapa kali dengan kuat. Lalu, seakan ada efek suara “syuu~”, Ayaka mengalihkan pandangannya dari layar dan menunduk.

 

Terkejut dengan reaksi Ayaka yang lebih besar dari dugaannya, Haruto sedikit bingung, ‘Ah? Apa aku sedikit keterlaluan?’ Dia berhenti sejenak menggenggam tangan Ayaka.

 

Kemudian, Ayaka yang masih menunduk menatap Haruto dengan pandangan memohon.

 

“...Uu...”

 

Seolah sedang memprotes sesuatu.

 

Namun juga seolah menginginkan sesuatu.

 

Dengan hanya diterangi cahaya dari layar, ekspresi Ayaka yang samar-samar terlihat tampak seperti khayalan dan menggoda. Tanpa sadar, Haruto terpaku menatap ekspresinya yang seperti itu.

 

Di saat itulah, tangan Haruto digenggam dengan kekuatan yang jelas lebih kuat dari genggaman tidak sadar sebelumnya. Dengan Ayaka menatapnya memohon, warna merah pun menghiasi wajah Haruto seakan ada efek suara “bofun!” Haruto segera mengalihkan wajahnya ke arah layar agar ekspresinya tidak terlihat.

 

Haruto dengan sempurna terkena serangan balasan.

 

Telinganya menangkap tawa kecil “Fuffu” dari Ayaka. Menerima pengakuan kekalahannya dari tawa kemenangannya itu, Haruto mengakui bahwa dirinya kalah. Meskipun tidak suka kalah, entah kenapa kali ini kekalahan itu sama sekali tidak terasa buruk baginya.

 

Setelah itu, mereka berdua menonton film dalam diam dengan tangan tetap bertautan.

 

Haruto sudah sama sekali tidak mengikuti jalan cerita film ini. Namun, agar tidak diserang balik lagi oleh Ayaka, Haruto tetap menatap layar tanpa berkata apa-apa.

 

Akhirnya film pun sampai di adegan terakhir.

 

Entah bagaimana ceritanya, tokoh utama pria dan wanita yang akhirnya bersatu itu berjalan pelan di tepi sungai yang terkena sinar matahari terbenam. Sebagai adegan penutup, kamera disorot ke tangan mereka yang saling bertautan, dengan jari-jari yang terkait dalam genggaman sepasang kekasih.

 

Lagu pengiring mengalun, diikuti kredit judul berjalan di layar bersama lagu tema film. Beberapa penonton bahkan sudah mulai beranjak ke pintu keluar.

 

Haruto berpikir Ayaka sepertinya tipe yang akan menonton hingga akhir, lalu menoleh ke arahnya. Ayaka tetap memandangi kredit judul sambil menggerakkan telapak tangannya.

 

Haruto mengira dia ingin melepas tangannya, lalu membuka telapak tangannya sendiri.

 

Mereka sudah bergandengan tangan bahkan sebelum film dimulai. Jadi sudah lebih dari dua jam mereka berpegangan tangan. Haruto yang khawatir dengan keringat tangannya sendiri, ingin memanfaatkan kesempatan ini untuk mengelap tangannya. Namun, itu tidak terjadi.

 

Bukannya melepas tangannya dari Haruto, Ayaka malah mengaitkan jarinya dan menggenggam erat tangan Haruto lagi.

 

Telapak tangan Haruto dan Ayaka kembali bertaut. Kali ini bukan genggaman biasa, tapi genggaman ala sepasang kekasih dengan jari-jari yang saling terjalin.

 

“Umm...Tojo-san?”

 

Tidak tahan, Haruto memanggil namanya. “...Apakah kamu tipe orang  yang menonton kredit judul sampai akhir?” 

 

“Eh? Ah, iya.”

 

Bingung karena Ayaka sama sekali tidak menyinggung genggaman ala kekasih itu, Haruto bertanya dengan malu-malu sambil mengalihkan pandangan.

 

“Kalau begitu......mau menonton sampai akhir...bersamaku?”

 

Diminta dengan sangat manis oleh Ayaka, Haruto hanya bisa menjawab satu hal.

 

“Ya, tentu saja.”

 

Film yang ditonton Haruto hari ini sepertinya akan menjadi film yang sama sekali tidak dimengertinya, namun tidak akan pernah dilupakan seumur hidupnya.

 

 

Setelah menonton film, mereka berdua pergi ke kafe yang ada di lantai bawah di area pusat perbelanjaan.

 

Kafe yang diperiksa Haruto semalaman, merupakan tempat berkonsep stylish dengan pemandangan kota yang bisa dilihat dari jendelanya.

 

Diantar ke meja di dekat jendela, Haruto tersenyum melihat Ayaka senang dengan pemandangan dari lantai tinggi.

 

“Wah, pemandangannya indah!” 

 

“Syukurlah kamu menyukainya.”

 

Haruto lega pilihannya tidak salah.

 

“Terima kasih sudah mencarikan tempatnya.”

 

“Ah, tidak apa-apa...”

 

Ayaka menunjukkan senyum menawannya tanpa ragu. Untuk menyembunyikan rasa malunya, Haruto membuka buku menu di depan wajahnya.

 

“Hmm, aku berniat memesan es kopi. Kalau kamu gimana, Tojo-san?”

 

Ayaka berkata dengan wajah berseri-seri, “Kalau begitu aku akan pesan es kopi susu aja.”

 

“Baik. Apakah Anda ingin memesan yang lain?”

 

“Tidak, itu saja.”

 

“Dimengerti.”

 

Setelah pesanan ditentukan, Haruto memanggil pelayan.

 

Setelah menyampaikan pesanan mereka, Haruto meminum sedikit air. Lalu Ayaka bertanya padanya.

 

“Filmnya gimana, Otsuki-kun? Seru gak?”

 

“Eh? Ah, iya...kurasa itu akan menjadi film yang tidak akan kulupakan seumur hidup.”

 

Karena bergandengan tangan dengan Ayaka, Haruto tidak bisa bilang dia sama sekali tidak memahami alurnya, jadi dia menjawab dengan sedikit ambigu.

 

“Kalau menurut, Tojo-san, gimana filmnya?”

 

“Menarik banget! Tapi...”

 

“Tapi?”

 

“Umm...dari pertengahan, aku jadi tidak terlalu mengerti alurnya.”

 

Itu mungkin sekitar saat Haruto membalas Ayaka.

 

“Begitu rupanya...”

 

“Ya...tapi aku juga tidak akan melupakan film ini seumur hidup.”

 

Ayaka berkata dengan malu-malu. Melihat senyumnya, Haruto merasakan detak jantungnya berdebar.

 

“...Sama sepertiku.”

 

“Ya...sama sepertimu.”

 

Setelah bertukar kata dengan malu-malu, keheningan melingkupi mereka sejenak.

 

“Ah iya, soal jadwal ke kebun binatangnya...”

 

“Oh iya! Kita harus memutuskannya.”

 

Ayaka mengangguk, seperti baru mengingatnya.

 

Sepertinya dia melupakan hal yang seharusnya menjadi topik utama, sementara menonton film hanya perkara sampingan. Haruto tersenyum melihat Ayaka yang seperti itu.

 

“Apakah ada kebun binatang tertentu yang pengen kamu kunjungi, Tojo-san?”

 

“Tentu saja aku pengen pergi ke tempat di mana bisa berinteraksi langsung dengan hewan.”

 

“Ya, kamu benar.”

 

Haruto mengangguk setuju dengan pendapat Ayaka.

 

Awalnya ide mengunjungi kebun binatang muncul karena Ayaka begitu antusias melihat anak anjing saat mereka ke toko kelontong.

 

“Umm, meskipun bukan kebun binatang sepenuhnya, gimana kalau ke ‘Taman Satwa Liar’?”

(Tln: mungkin kayak taman safari)

 

“Ah, ide bagus!”

 

Ayaka setuju dengan usulan Haruto.

 

‘Taman Satwa Liar’ adalah taman luas yang bertema alam, yang memiliki area interaksi hewan, area petualangan dengan banyak permainan, dan area bermain air yang sangat menggembirakan di musim panas yang panas.

 

“Untuk kali ini kita juga membawa Ryouta-kun, jadi akan lebih menyenangkan baginya jika ada banyak pilihan aktivitas biar dia tidak bosan.”

 

“Ya ya! Benar sekali!”

 

“Selain itu, di sana juga ada area rerumputan, jadi kita bisa membawa bekal dan menggelar tikar di atas rumput buat makan bareng.”

 

“Ide bagus! Sangat bagus!”

 

Ayaka menggelengkan kepalanya saat Haruto menyarankan untuk membawa bekal.

 

“Tidak usah repot-repot membuatkan bekal untukku. Kamu kan bukan lagi jadi pembantu rumah tangga pas hari itu, biar aku aja yang buat bekalnya, Otsuki-kun.”

 

“Tidak apa-apa. Aku tidak keberatan memasak.”

 

“Tapi...”

 

Ayaka terlihat merasa tidak enak. Setelah berpikir sejenak, ekspresinya seperti mendapat pencerahan.

 

“Kalau gitu, gimana kalau kita membuat bekalnya barengan di pagi hari?”

 

“Ah, ide bagus. Baiklah, kita lakukan itu aja.”

 

“Iya!”

 

Ayaka mengangguk dengan senang.

 

Jadi mereka memutuskan untuk membuat bekal bersama di pagi hari, lalu pergi ke ‘Taman Satwa Liar’ bertiga bersama Ryouta.

 

Setelah itu, mereka menikmati pembicaraan tentang isi bekal yang akan mereka buat. Setelah mendiskusikan rencana secara garis besar dan menghabiskan minuman pesanan, mereka pun beranjak meninggalkan kafe.

 

“Kalau begitu...ayo kita pulang?”

 

“Ya...ayo.”

 

Setelah keluar dari kafe, mereka berdiri sejenak.

 

“...Umm...”

 

Ayaka seperti ingin mengatakan sesuatu pada Haruto sambil membuka dan mengepalkan tangannya. Melihat sikapnya itu, Haruto menoleh dengan kepala dimiringkan.

 

Mendapat tatapan Haruto, wajah Ayaka merona malu.

 

“Ada apa?”

 

“Itu...sebenarnya...”

 

Ayaka memulai untuk mengatakannya, tapi seperti tersendak di tengah kalimat dan kembali menutup mulutnya. Sementara dia menunduk dan tampak gelisah, tangan kanannya berulang kali membuka dan mengepal.

 

Menyadari hal itu, Haruto mengulurkan tangan kirinya dengan lembut, memahami keinginan Ayaka.

 

“Mau bergandengan tangan?”

 

“Eh!?”

 

Mendengar ucapan Haruto, Ayaka menatap wajahnya dengan ekspresi terkejut.

 

“Yah...agar kita tidak diganggu lagi oleh pria lain...kalau kamu tidak keberatan.”

 

Haruto sedikit mengalihkan pandangan dari Ayaka, dengan malu-malu mengulurkan tangan kirinya sambil kupingnya merona merah.

 

Melihat itu, Ayaka menyunggingkan senyum lebar dan menautkan tangan kanannya di tangan Haruto.

 

“Aku tidak keberatan! Sama sekali tidak keberatan!”

 

Dia menggenggam erat telapak tangan Haruto sambil berkata.

 

“Ka-kalau begitu, aku akan mengantarmu pulang.”

 

“Iya, terima kasih banyak!”

 

Ayaka merespons dengan senyum berseri.

 

Mereka berjalan bergandengan tangan menuju rumah. Bagi orang-orang yang melihat mereka di jalan, mereka tampak seperti sepasang kekasih yang sangat akrab, bukan seperti sedang mencoba menggoda satu sama lain.


Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !