Kaji Daikō no Arubaito o Hajimetara bab 7

Ndrii
0

Chapter 7

Aku Memikirkanmu Dan Bermimpi




Matahari bersembunyi lebih dari setengahnya, membakar langit menjadi merah pekat. Jika mengarahkan pandangan ke langit yang jauh, langit berubah menjadi ungu, seolah tirai malam telah turun. 

 

Pada rentang waktu antara siang dan malam itu, Haruto berjalan sendirian di kawasan perumahan yang sepi.

 

“Tangan Tojo-san lembut...”

 

Haruto secara alami melengkungkan bibirnya, mengingat kehangatan yang tadi dia rasakan darinya.

 

Saat menonton film, dan ketika mengantar Ayaka pulang ke rumah, tangan kiri Haruto terus digenggam olehnya. Dia membawa tangan kirinya ke depan wajahnya. Menyadari mereka telah menjalin hubungan sebagai kekasih, ada perasaan bahagia sekaligus malu yang membuatnya merona. 

 

“Kalau Tojo-san menjadi pacarku, pasti akan sangat luar biasa...”

 

Dengan paras yang membuatnya berpaling, serta tubuh yang sangat menawan. Jika bisa mendapatkan gadis seperti itu sebagai pacarnya, pasti akan membuatnya merasa sangat superior.

 

Namun, Haruto tidak terlalu memiliki perasaan khusus terhadap penampilan Ayaka. Tentu saja, penampilan Ayaka sangat memikat, tapi yang paling menarik perhatian Haruto darinya adalah auranya.

 

Aura lembut layaknya seorang gadis yang dia kenal melalui pekerjaan paruh waktunya, sisi Ayaka yang berbeda dengan yang terlihat di sekolah. Haruto sedikit tertarik pada perbedaan itu. 

 

“Tapi yah, pacaran dengannya kayaknya mustahil...”

 

Setelah menghabiskan seharian bersama Ayaka, Haruto yakin telah mendapatkan kesan baik darinya. Namun, apakah itu perasaan cinta atau bukan, dia tidak yakin. 

 

Meskipun perkenalan mereka masih singkat, dari interaksi yang sudah terjadi, Haruto menduga kemungkinan besar Ayaka adalah gadis yang polos.

 

Kesan baik yang ditunjukkan Ayaka padanya hanyalah sebatas teman, bukan sebagai lawan jenis. Tetapi jika dia salah mengartikan sebagai cinta dan menyatakan cinta lalu ditolak, sangat mungkin terjadi.

 

“Kalau itu terjadi, akan membuat pekerjaan paruh waktuku akan menjadi neraka...”

 

Membayangkan hal itu, punggung Haruto terasa menggigil meskipun saat itu sedang musim panas.

 

“Aku penasaran Tojo-san menganggapku sebagai apa...” 

 

Saat Haruto bergumam pelan, ponselnya bergetar di sakunya. Mungkin dari Ayaka, pikirnya panik sambil mengeluarkan ponsel dari sakunya dan melihat siapa yang menelepon.

Ketika melihat nama Akagi Tomoya di layar, semangatnya langsung menurun drastis.

 

Haruto mengetuk layar dengan gerakan ogah-ogahan untuk menjawab panggilan dari Tomoya.

 

“Dasar kamu tukang prank tomoya Tomoya.”

 

[Hah!? Langsung ngatain gitu!? Kamu suka padaku ya!?]

 

Tomoya membalas celaan Haruto dengan kalimat yang tidak masuk akal.

 

“Ada urusan apa nelpon tiba-tiba?”

 

[Bukan urusan sih. Sebenarnya ada hal yang ingin kusampaikan pada Haru.] 

 

“Hal yang ingin disampaikan?”

 

Mendengar nada serius yang tidak seperti Tomoya biasanya melalui ponsel, Haruto mengerutkan kening.

 

“Emangnya kamu mau menyampaikan apa?”

 

[Sebenarnya... hari ini di rumahku...]

 

Sepertinya terjadi sesuatu di rumah Tomoya, dan mendengar nada serius dari sahabatnya itu, Haruto merasa cemas. Seolah memperkuat kecemasan itu, Tomoya melanjutkan dengan nada bicara yang lambat.

 

[Makan malamnya... sukiyaki!]

 

Suasana serius berubah seketika menjadi nada bicara yang ceria ketika Tomoya mengatakannya, membuat Haruto hampir membanting ponselnya ke tanah. 

 

“Brengsek! Balikin kecemasan yang kamu timbulkan padaku!”

 

Haruto menahan diri agar tidak membanting ponselnya dan sebagai gantinya berteriak marah ke arah ponselnya.

 

[Terlebih lagi! Daging sapinya kelas A5 lho!]

 

“Berisik lu!”

 

Haruto menyela keras penjelasan sahabatnya tentang makan malam yang misterius itu.

 

[Ah, hari ini Ibuku menang hadiah dari departemen store. Daging sapi Wagyu kelas atas Jepang lho? Jadi aku pikir harus membanggakannya pada Haru.]

 

“Oh begitu ya. Bagus untukmu. Sudah ya.”

 

[Woi woi! Kamu terlalu cuek, tahu? Seenggaknya iri lah!]

 

“Permintaan macam apa itu......”

 

Haruto menampakkan wajah heran mendengar kata-kata sahabatnya.

 

[Pasti kamu iri, kan? Ini daging A5, lho? Hebat, kan?]

 

“Iya iya, hebat hebat, aku jadi iri banget niih.” 

 

Dengan nada datar, Haruto menjawab. Namun Tomoya tetap terlihat puas.

 

[Kan, kan? Kamu iri, kan?]

 

Tomoya terus menggoda Haruto dengan kata-katanya.

 

[Kamu pasti hari ini cuman beradu pandang dengan buku referensi saja, kan? Sementara aku makan daging A5. Hidup memang tidak adil, ya.]

 

Mendengar sahabatnya tertawa, Haruto sedikit jengkel dan mengerutkan kening.

 

“Hidup memang benar-benar tidak adil. Mungkin karena aku menonton film berduaan bareng Tojo-san, jadi aku di hukum.”

 

[Ah, benar, pasti kamu dihukum... Eh? Nonton film bareng Tojo-san? Oi, apa maksudnya itu! Aku tidak tahu soal itu! Ceritakan dengan detail!]

 

“Bukannya kamu lagi nungguin daging wagyu A5 itu? Tidak baik jika kita mengobrol terlalu lama, jadi msngingan kumatiin aja. Dah.” 

 

[Oi, oi! Tunggu sebentar! Apa kalian berkencan?]

 

“Yah, begitulah.”

 

[Kalian jadian?]

 

“Bukan kayak gitu.”

 

[Kenapa gitu!?] Suara Tomoya yang hampir seperti teriakan membuat Haruto refleks sedikit menjauhkan ponselnya dari telinga.

 

[Kamu berkencan dengan Tojo-san, lho!? Kenapa kamu tidak menyatakan perasaanmu!? Kamu benar-benar menyia-nyiakan kesempatan!]

 

“Menyia-nyiakan katamu... Dan jangan berteriak terlalu keras, telingaku bisa sakit nanti.”

 

[Tentu saja aku berteriak!! Dia itu idol sekolah kita, tahu!?]

 

Haruto menyunggingkan senyum masam melihat sahabatnya begitu bersemangat.

 

“Ya, dia idol sekolah yang tidak akan mengangguk meski ada siswa laki-laki yang menyatakan cinta padanya. Jadi ya percuma aja kalau aku menyatakan perasaan cuman karsna kencan sekali.”

 

[Kalau gitu ajak dia kencan berkali-kali! Hei, bukannya kamu bekerja paruh waktu di tempat Tojo-san? Ini peluang bagus, kan?]

 

“Aku tidak bekerja dengan alasan seperti itu. Oekerjaan ya pekerjaan.”

 

Mendengar jawaban serius dari Haruto, Tomoya menghela napas panjang. 

 

[Ngomong-ngomong, siapa yang ngajak nonton film itu? Kamu atau Tojo-san?]

 

“Aku diajak oleh Tojo-san.”

 

Setelah Haruto menjawab demikian, Tomoya terdiam sejenak lalu berkata dengan nada serius.

 

[Jangan-jangan Tojo-san menyukaimu?]

 

“......Mana mungkin.”

 

Haruto merasa jantungnya berdegup kencang ketika Tomoya mengatakan harapan kecil yang terpendam di sudut hatinya.

 

[Kenapa gitu? Tapi kalau memang Tojo-san menyukaimu, bukannya justru kurang ajar kalau dia mengajakmu nonton tapi tidak menyatakan perasaannya?]

 

“Kamu cuman pengen aku menyatakan perasaan padanya, kan?”

 

[Ya, gitulah.]

 

Mendengar jawaban santai Tomoya, kali ini Haruto yang menghela napas panjang.

 

“Sudahlah, mendingan kamu diem aja dan nikmati sukiyaki-mu.”

 

[Oke! Aku akan makan yang banyak! Kalau ada perkembangan dengan Tojo-san, laporkan padaku, ya!]

 

“Gak bakalan kukasih tahu.” 

 

Setelah melemparkan kata-kata pedas itu pada sahabatnya, Haruto memutuskan sambungan telepon.

 

Sambil berjalan di jalan sempit perumahan yang mulai gelap, dia sekali lagi mengarahkan pandangannya ke tangan kirinya. Dalam kepalanya, kata-kata Tomoya terus bergema.

 

“Jangan-jangan Tojo-san menyukaimu?”

 

Dia teringat Ayaka yang berjalan di sampingnya sepanjang hari dengan ekspresi bahagia. 

 

Sembari menarik sudut bibirnya yang tanpa sengaja tertarik ke atas dengan jari telunjuk dan ibu jari, Haruto bergumam sendiri.

 

“Sepertinya malam ini aku akan memimpikan Tojo-san...”

 

Setelah menggumamkan kata-kata itu, wajah Haruto semakin memerah.

 

 

Pada malam harinya setelah menonton film bersama Otsuki-kun.

 

Sebelum tidur, aku berbaring di atas kasur dan membuka ponsel.

 

[Ayaka: Hari ini, aku pergi menonton film bareng Otsuki-kun!!] Aku segera mengirim pesan laporan kepada Saki, sahabat sekaligus guru percintaanku. Sekalian aku juga mengiriminya stiker lucu beruang yang memberi hormat dengan gagah perkasa.

 

Tak lama kemudian, Saki meneleponku.

 

Aku menyentuh layar ponsel untuk menjawab panggilannya, dan suara Saki yang ceria menyapaku.

 

[Selamat! Gimana kencanmu dengan Otsuki-kun?]

 

“Yah, sukses... kurasa begitu.”

 

Karena aku berhasil menggenggam tangannya, bisa dibilang ini sukses, kan?

 

[Waah! Kerja bagus!]

 

“Iya, terima kasih!”

 

[Terus? Dengan kencan hari ini, apa jarak di antara kalian dengan Otsuki-kun sedikit berkurang?]

 

“Mungkin... setidaknya sampai tahap bergandengan tangan, apa itu berartijarak kami berkurang?”

 

[Hah!? Apa? Tangan? Apa? Hah!?]

 

Sepertinya Saki terkena penyakit di mana dia tidak bisa mengucapkan lebih dari satu kata.

 

[Tunggu dulu? Apa? Kamu bergandengan tangan dengan Otsuki-kun saat kencan?]

 

“Iya, kami bergandengan tangan bahkan paa menonton film juga.”

 

[Hei hei hei! Apa itu? Apa? Jangan-jangan, kalian sudah jadian?]

 

Mendengar kebingungan dalam suara Saki, aku pun ikut bingung.

 

“Eh? Tidak, belum kok? Kan Saki yang bilang aku belum boleh menyatakan perasaan.”

 

[Oh... Gitu ya... kalian belum jadian...]

 

Melihat reaksi bingung Saki, aku jadi sedikit cemas.

 

“Ja-jangan-jangan bergandengan tangan di kencan pertama itu tidak boleh ya?”

 

Karena aku sama sekali tidak punya pengalaman pacaran sebelumnya, aku tidak tahu standar yang berlaku dalam berkencan. Saki juga pernah bilang padaku untuk tidak menggunakan manga atau novel sebagai referensi.

 

[Bukan masalah boleh atau tidak sih... tapi... yah, agak terlalu dekat gitu?]

 

“Terlalu dekat...?”

 

Sepertinya memang bergandengan tangan di kencan pertama itu aneh ya? Ba, bagaimana ini... kalau Otsuki-kun menganggapku aneh...

 

“Sa-Saki... aku... Melakukan kesalahan ya?”

 

[Ya, hmm... gimana ya? Untuk sementara, caritain dulu gimana kamu bisa sampai bergandengan tangan.]

 

Aku pun menceritakan semuanya kepada Saki, dari saat Otsuki-kun mengajakku bergandengan tangan, sampai aku yang menggenggam erat tangannya saat adegan romantis di film tadi.

 

[Hmm, oke oke...]

 

“Gi-Gumana menurutmu?”

 

Saki seperti berpikir dalam-dalam, dan aku jadi semakin cemas.

 

“Wahai Ayaka-san, kamu memang sangat agresif ya.”

 

“...Apa aku keterlaluan?”

 

[Ya, keterlaluan sih. Ini bukan dunia manga, jadi langsung bergandengan tangan mesra begitu, kalian udah kayak jadian aja!]

 

“Eh? Jadi aku dan Otsuki-kun... sudah bisa jadian?”

 

Kalau begitu, setiap jalan-jalan nanti aku bisa terus bergandengan tangan dan kencan dengan Otsuki-kun ke berbagai tempat... Membayangkannya saja sudah membuatku bahagia.

 

[Waktu bergandengan tangan, Otsuki-kun tidak bereaksi buruk kan? Kalau gitu, kemungkinan berhasil kalau kamu menyatakan perasaan itu cukup tinggi.]

 

“Kalau begitu! Besok aku akan menyatakan perasaan—“

 

[Tunggu dulu!!]

 

Saki memotong perkataanku dengan nada tajam.

 

[Kemungkinan berhasil itu memang tinggi, tapi bukan seratus persen. Kamu siap dengan itu, Ayaka?]

 

“Eh, tapi... kalau kemungkinannya tinggi—“

 

[Kalau ditolak, itu akan jadi akhir dari cinta pertamamu, lho?]

 

Kata-kata Saki itu membuatku merasa ada yang menghimpit dadaku dengan berat.

 

Cintaku berakhir.

 

Artinya, aku tidak bisa berkencan dengan Otsuki-kun lagi, kami tidak bisa lebih akrab, hubungan kami tidak akan berkembang. Aku tidak akan bisa bergandengan tangan dengannya lagi seperti hari ini.

 

Membayangkan masa depan seperti itu saja sudah membuatku ingin menangis.

 

“Tidak mau... aku tidak mau itu terjadi.”

 

[Kan? Kalau begitu kamu pasti ingin meningkatkan kemungkinan berhasilnya kan?]

 

“Iya, tapi... Gimana caranya?”

 

Yang terpikirkan olehku hanyalah menyampaikan perasaanku pada Otsuki-kun dengan gamblang.

 

[Begini Ayaka. Dalam percintaan, menyerang itu penting, tapi terkadang kamu juga perlu mundur, bukan selalu maju terus.]

 

“Bukan Cuma mendekati, tapi juga menarik diri? Menarik diri artinya menahan perasaan terhadap Otsuki-kun?”

 

[Pasti saat kencan tadi, Otsuki-kun pasti memperhatikan Ayaka.]

 

“Be-Begitukah?”

 

[Tentu saja. Kamu menggenggam tangannya setelah kamu mengatakan bahwa dia pacarmu kan?]

 

“Ah, itu karena ada orang yang menggoda terus...”

 

Entah kenapa, saat mengingat kejadian waktu itu, aku jadi merasa sangat malu...

 

Saki dengan percaya diri mengatakan padaku saat melihat wajahku memerah.

 

[Tapi, kamu tetap menggenggam tangannya bahkan setelah nonton film selesai kan? Genggaman tangan sepasang kekasih pula. Itu sama aja kayak kamu dengan tegas mengatakan ‘Aku sangat menyukaimu!’ pada Otsuki-kun.]

 

“Be-Begitu ya... Sangat suka... sangat suka...”

 

Saat diungkapkan dengan kata-kata, rasanya sangat memalukan. Yah, aku mengakui suka, tapi ‘sangat suka’ masih sedikit...ufufu...

 

[Astaga, padahal kamu menggenggam tangannya seperti sepasang kekasih di kencan pertama, tapi masih malu-malu begini.]

 

“Ha-Habisnya...”

 

[Iya iya, jadi begini. Pasti Otsuki-kun berpikir kalau Ayaka menyukainya, kan?]

 

Saki menjawab dengan nada jengkel, tapi tetap melanjutkan pembicaraan dengan tenang.

 

Ugh... Guru percintaanku ini benar-benar sparta...

(Tln: sparta maksudnya itu keras, merujuk ke tentara sparta)

 

[Tapi, dia pasti tidak yakin dengan perasaan Ayaka. Karena alasan utamanya untuk mengusir laki-laki, kan?]

 

“Hmm. Terus, apa hubungannya dengan ‘bukan Cuma mendekati tapi juga menarik diri’?”

 

[Tentu saja ada hubungannya. Kalau tidak yakin, pasti membuatmu penasaran, kan? ‘Apa dia menyukaiku? Ah, tapi...’ seperti itu. Nah, kalau kamu sedikit menarik diri, akan membuatnya semakin penasaran. ‘Eh? Jangan-jangan aku salah paham ya?’”]

 

“Bukannya malah jadi kebalikan? Otsuki-kun bisa jadi tidak tertarik lagi padaku.”

 

Apalagi, sekarang aku sudah menyadari perasaanku pada Otsuki-kun, jadi bersikap seolah tidak peduli padanya pasti akan sangat menyakitkan.

 

[Yah, kalau terlalu berlebihan memang bakalan jadi kebalikan kayak yang Ayaka bilang. Tapi, kalau berhasil, Otsuki-kun akan terus memikirkan Ayaka dan tidak bisa berhenti memikirkannmu.]

 

“Otsuki-kun terus memikirkanku... tidak bisa berhenti...”

 

[Benar! Lalu perlahan-lahan, kepala Otsuki-kun akan penuh dengan bayangan Ayaka!]

 

“Kepala Otsuki-kun penuh denganku... penuh denganku...”

 

[Dan pada akhirnya, tanpa sadar Otsuki-kun juga akan sangat menyukai Ayaka!!]

 

“Otsuki-kun... menyukaiku... sa-sangat...”

 

Ugh, gimana ini! Membayangkan Otsuki-kun menembakku, tubuhku jadi bergerak-gerak sendiri!

 

[Jadi begitu, kamu tetap harus berusaha menarik perhatian Otsuki-kun. Tapi sesekali menarik diri sedikit. Terus goyangkan hatinya tanpa henti! Mengerti?]

 

“Iya, mengerti! Kalau begitu Otsuki-kun akan menyukaiku, kan!” 

 

[Yah, tidak ada jaminan sih.]

 

Apa mungkin Otsuki-kun juga sedang memikirkanku sekarang?

 

Kalau iya, aku pasti akan sangat senang.

 

“Aku akan berjuang! Mendekati dan menarik diri dari Otsuki-kun untuk menggoyangkan hatinya!!”

 

[Begitu ya. Yah, dengan Ayaka yang sekarang sangat menyukai Otsuki-kun, saat kamu bermaksud menarik diri bisa jadi malah mendekati, tapi itu juga mungkin tidak masalah.]

 

“Sa-Sangat menyukai Otsuki-kun? Aku ini perempuan lho?”

 

[.... Begitulah. Yah, kabari aku lagi kalau ada apa-apa.]

 

“Iya, terima kasih.”

 

[Sama-sama. Kalau begitu, selamat malam.]

 

“Selamat malam."

 

Setelah bertukar salam untuk tidur, aku mengakhiri panggilan dengan Saki.

 

Mendekati saja tidak cukup ya, menarik diri juga penting... Percintaan itu rumit ya. Tapi...

 

Kalau berhasil dan cintaku terwujud, aku bisa berkencan dan menggenggam tangan Otsuki-kun lagi.

 

Sebagai sepasang kekasih sungguhan.

 

Kalau begitu, aku ingin pergi ke banyak tempat bersamanya.

 

Berbelanja bersama, pergi ke pantai... Nonton film lagi berdua tentu saja. Saat itu pasti sambil bergenggaman tangan.

 

Tangan Otsuki-kun, besar dan hangat ya... Sambil berbaring di kasur, aku mengingat sensasi tangannya.

 

Tangan yang lembut memelukku.

 

Tangan dari orang yang kusukai, orang yang kukasihi.

 

Hanya dengan bergenggaman tangan, jantungku berdebar kencang, tapi juga membuatku tenang dan bahagia.

 

Melalui tangan yang tergenggam, seluruh tubuhku terisi dengan kebahagiaan.

 

Sembari tenggelam dalam kantuk yang semakin dalam, aku memeluk tangan kananku yang dulu menggenggam Otsuki-kun, dan memeluknya dengan tangan kiriku. Dengan begitu, rasanya seperti bisa bertemu dengannya dalam mimpi..

.

Hari ini mungkin adalah hari yang paling bahagia dalam hidupku. Tapi, kalau bisa berpacaran dengannya, menjadi kekasihnya, kebahagiaan hari ini pasti jauh terlampaui dengan mudah.

 

Dengan membayangkan masa depan seperti itu, aku perlahan menutup kelopak mataku, percaya pada tangan kananku yang kupeluk di dada sebagai jimat, dan mempercayakan kelanjutan dari hari bahagia ini pada mimpiku.

 

-Kalau bisa , di dalam mimpi pun aku pengen bertemu denganmu...




Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !