Ato 1-kagetsu de tenkō suru boku no seishun rabukome bab 6

Ndrii
0

 Chapter 6 

15 April, 21 Hari Lagi • Siang




“Setelah kita semua mengumpulkannya, ternyata lumayan banyak ya.”

 

Pada jam istirahat makan siang keesokan harinya. Kami sekali lagi berkumpul di ruang klub fotografi dan membentangkan foto-foto yang telah kami kumpulkan.

 

“Ah syukurlah, tadinya aku khawatir fotonya sedikit doang.”

 

“Aku juga. Foto-fotoku diambil oleh orang tuaku, tapi ternyata tidak banyak yang bersama teman-teman.”

 

Chiaki menghela napas lega, diikuti Yuno yang mengungkapkan rasa leganya.

 

“Dengan semua ini, untuk mengambil foto T&N antara masa kini dan masa lalu, harusmya nanti bakalan jadi dua kali lipat kan? Pasti cukup untuk satu album fotonya.”

 

Kakeru menyuarakan harapannya, lalu Aya-senpai mengambil salah satu foto.

 

“Kawaiiii. Kalian semua imut sekali. Ah, perasaan memperoleh nutrisi yang hanya bisa didapat dari melihat foto teman-teman saat masih anak-anak yang polos seperti ini benar-benar terpenuhi. Ufufu, kalian benar-benar tumbuh dengan baik ya.”

 

Bibirnya bergetar sementara tangannya menutupi mulutnya.

 

“Kayaknya ada sesuatu yang hanya bisa dimengerti oleh fotografer ya.”

 

“Dia bahkan sudah memperlakukan kita seperti anak-anaknya sendiri padahal baru ketemu kemarin.”

 

Melihat aku dan Kakeru tertawa masam, Aya-senpai berdeham.

 

“Jadi, ayo kita periksa satu per satu. Lokasi, pakaian, komposisi, dan hal-hal lain yang memungkinkan untuk direkonstruksi.”

 

Ya, itulah yang menyulitkan untuk melakukan T&N.

 

Tergantung situasi ketika foto diambil, ada kalanya tidak memungkinkan untuk direkonstruksi.

 

“Kalau gitu, gimana dengan ini? Ini aku dan Seiji waktu kecil.”

 

Kakeru memulai dengan melemparkan selembar foto ke tengah, seperti memulai pertandingan kartu.

 

“Memancing ya.”

 

Difoto itu, aku dan Kakeru yang masih anak-anak memegang joran pancing dan memamerkan ikan tangkapan kami.

 

“Ayahku dulu hobinya memancing. Karena ini di breakwater dekat sini, kita masih bisa pergi ke sana lagi kan?”

 

Aku teringat liburan musim panas beberapa tahun yang lalu, saat aku diajak keluarga Akemaru untuk menghabiskan waktu bersama.

 

“Hee, ternyata kalian melakukan hal kayak gitu tanpa sepengetahuan aku dan Chiaki ya.”

 

“Keren! Kayak anak laki-laki sejati!”

 

Entah kenapa Yuno terdengar tidak puas, sementara Chiaki terdengar bersemangat.

 

“—Ini adalah shota yang bagus.”

 

“Aya-senpai, apa yang barusan kamu katakan?”

 

“Ah maaf. Kaki dan peralatan memancingnya bisa disiapkan, tapi pertanyaannya apakah kita bisa mendapatkan ikan yang sama?”

 

Meskipun Aya-senpai bergumam dengan wajah serius, tetapi dia memikirkan tahapan pemotretan dan itu sangat membantu.

 

“Ah, ikan ini mudah ditangkap jadi tidak masalah. Mobilnya nanti aku minta pinjam dari ayah atau kakakku.”

 

Kakeru menjamin. Meskipun tidak bisa langsung, foto ini cocok untuk T&N.

 

“Kalau gitu, kita catat sebagai kandidat lokasi pemotretan.”

 

Aya-senpai mengoperasikan komputer di ruang klub untuk memasukkan foto itu sebagai kandidat untuk T&N.

 

“Langsung satu kandidat nih. Ayo cepat, kalian juga keluarkan foto bagus lainnya.”

 

Kakeru mendesak dengan wajah seperti orang yang memenangkan lomba lari.

 

“Kalau gitu, sekarang giliranku.”

 

Yuno mengeluarkan fotonya seperti menyahut tantangan.

 

Itu adalah foto anak laki-laki dan perempuan dari sekolah dasar mengelilingi meja dengan makanan di ruang tamu sebuah rumah.

 

“Ah, ini foto pesta perpisahan sebelum Yuu-chan pindah!”

 

Chiaki mengenalinya dan aku serta Kakeru pun teringat.

 

Itu adalah foto dari pesta perpisahan di rumah Yuno sebelum dia pindah sekolah dulu.

 

“Ini satu-satunya foto yang kita berempat lengkap yang aku punya.”

 

Yuno menggaruk pipinya dengan malu-malu.

 

“Pesta perpisahan ya. Waktu SD, aku ingat bikin kado tangan untuk teman sekelas yang pindah. Untuk ini, setidaknya makanan dan minumannya bisa disiapkan...”

 

Aya-senpai mengamati foto itu sambil berpikir.

 

“Tapi rumah dan perabotannya pasti sudah berbeda dari waktu itu, jadi mungkin tidak bisa direkonstruksi sama persis...”

 

Yuno mengungkapkan kekhawatirannya,

 

“Tapi tidak perlu terlalu dipaksakan ya.”

 

“Yang penting kita berempat ada di foto itu.”

 

“Cukup samakan hal-hal yang bisa disamakan aja, kayak pakai taplak meja yang mirip.”

 

Kakeru, aku, lalu Chiaki menyetujui, diikuti oleh Aya-senpai yang menambahkan,

 

“Mengingat bagaimana Asahi kembali, bukannya ‘pesta perpisahan’, ini menjadi semacam ‘pesta penyambutan’ kan? Kalau memikirkan kontras itu, foto ini benar-benar akan menjadi foto yang hanya bisa diambil oleh kalian!”

 

Wah... kami terpana mendengar pandangan yang sangat masuk akal itu.

 

“Disetujui kalau begitu.”

 

Tidak ada yang membantah kata-kataku, dan foto Yuno pun dimasukkan sebagai kandidat lokasi pemotretan.

 

“Kalau gitu, sekarang giliranku.”

 

Setelah suasana membaik, Chiaki pun menyodorkan sebuah foto dengan kedua tangannya.

 

“Taman kanak-kanak ya...”

 

Aku langsung mengenali bahwa kami di foto itu mengenakan seragam taman kanak-kanak.

 

“Ini perosotan di taman kanak-kanak kita dulu kan?”

 

“Wah, kita benar-benar kecil ya dulu.”

 

Yuno dan Kakeru menatap diri mereka semasa kanak-kanak dengan pandangan segar.

 

Di foto itu, empat anak taman kanak-kanak itu berpose sesuai gaya masing-masing di atas perosotan.

 

“Ah tapi, taman kanak-kanak itu sudah tidak ada lagi kan?”

 

Yuno seperti teringat bahwa aku mengatakan itu telah menjadi lahan kosong beberapa waktu lalu.

 

“Oh, perosotannya masih ada tahu?”

 

“Masih ada?!”

 

Yuno memekik kaget setelah mendengar informasi dari Kakeru, dan aku serta Chiaki juga terkejut.

 

“Ya. Waktu aku kebetulan lewat sana, aku lihat perosotannya masih ada meskipun lokasinya sudah jadi lahan kosong. Mungkin sedang dalam tahap pembongkaran bertahap?”

 

“Kalau gitu sebaiknya kita cepat ambil fotonya. Dari yang terlihat, foto ini sepertinya diambil pada sore hari, jadi kita bisa mengambil foto dengan mengenakan seragam sekolah sepulang sekolah. Jadi ceritanya seolah anak taman kanak-kanak itu sudah tumbuh menjadi remaja SMA.”

 

Aya-senpai juga memasukkan foto ini ke dalam kandidat.

 

Berdasarkan urutan, kini giliranku untuk menunjukkan foto.

 

“Ngomong-ngomong, bisa lihat foto ini sebentar?”

 

Aku memutuskan untuk mengeluarkan satu foto yang paling menarik menurutku dari barang-barang peninggalan ayahku.

 

“Whoaa” “Hee” “Wah” “...”

 

Yang lain memberi reaksi kagum saat melihat foto itu.

 

Foto itu sepertinya diambil di area kuil.

 

Kami yang saat itu sepertinya masih SD berpose dengan gaya masing-masing.

 

“Foto ini bagus ya...”

 

Aya-senpai seperti terpana melihatnya. Reaksinya terlihat lebih serius dibanding saat melihat foto-foto sebelumnya.

 

“Ya, memang sulit diungkapkan dengan kata-kata.”

 

Kakeru juga sepertinya merasakan sesuatu dari foto itu.

 

“Kayak foto dari fotografer profesional ya.”

 

“Kayaknya bisa dipakai buat iklan.”

 

Yuno dan Chiaki juga sepertinya merasa ada sesuatu yang istimewa dari hasil jepretan foto itu.

 

“Kalau tidak salah, ini foto yang diambil saat festival di kuil kota sekitar bulan Mei.”

 

Setelah aku menyebutkan waktu pengambilannya, teman-teman masa kecilku serentak teringat.

 

“Oh iya ya.”

 

“Kalau tidak salah festival Hari Anak-anak kan?”

 

Yuno memandangi foto itu dengan rasa nostalgia, sementara Chiaki mengingat nama festivalnya.

 

“Iya benar, festival yang berbeda dari festival musim panas. Semacam perayaan ‘Kodomo no Hi’. Entah kenapa kota kita merayakan Hari Anak-anak dengan semarak sekali ya, lengkap dengan boneka kakaidan koi-nya.”

(Tln : kondom no hi, hari anak-anak / hari untuk anak anak)

 

Seperti kata Kakeru, jika membicarakan festival di Jepang, yang terpikirkan pasti festival musim panas.

 

Namun di beberapa daerah, ada juga perayaan besar seperti Hi na matsuri pada tanggal 3 Maret.

(Tln : Hi no Matsuri, hari festival)

 

Di kota Omikai ini salah satunya, dengan merayakan Hari Anak-Anak pada tanggal 5 Mei secara besar-besaran.

 

“5 Mei ya, pas liburan musim semi. Kalau tidak salah, Aikage-kun...”

 

Aya-senpai melihat kalender dinding sambil mengonfirmasi jadwalku.

 

“Pindah rumahnya besoknya.”

(Tln : finalnya bakal di sini berarti ;v, btw ini romancenya mana bsjir)

 

Hari setelah festival itu, aku harus meninggalkan kota Omikai.

 

Karena masuk sekolah barunya setelah libur musim semi berakhir, kepindahanku tidak bisa ditunda lebih lama lagi.

 

“Jadi intinya, festival ini menjadi semacam acara terakhir kita ya.”

 

Chiaki berkata dengan nada sedih dan itu memang benar.

 

“Justru itu kesempatan yang bagus kan? Artinya kita memiliki acara yang pas untuk dirayakan sebagai penutup.”

 

Yuno memberikan interpretasi positif yang khasnya.

 

“Memang bagus sih kalau ada acara penutup.”

 

“Kalau begitu, melakukan T&N untuk foto festival ini bisa menjadi foto penutup yang sempurna.”

 

Kakeru mengangguk setuju, dan Aya-senpai sekali lagi memperhatikan foto itu.

 

“Ya, asal kita tidak terlalu memaksakan harus mengambil fotonya di hari festival itu.”

 

“Justru itu penting untuk diperhatikan.”

 

Aya-senpai menegaskan dengan nada tegas.

 

“Foto ini, dari latar belakang dekorasinya dan suasana menjelang malam hari, suasana festivalnya berhasil di tangkap dengan baik. Jika ingin merekonstruksinya, hal-hal seperti itu juga harus dipertimbangkan.”

 

Sepertinya foto peninggalan ayahku ini telah membakar semangat seorang fotografer.

 

“Jika fotografernya bilang begitu, tidak masalah lah.”

 

“Aku setuju. Dengan menetapkan ini sebagai ‘tujuan akhir’, kita jadi punya motivasi yang berbeda.”

 

Setelah Kakeru, Yuno juga mendukung untuk memotret ulang foto ini.

 

“Ya, kita semua terfoto dengan bagus di sini. Sayang kalau melewatkan kesempatan untuk melakukan T&N pada foto seindah ini.”

 

Chiaki juga sepertinya ingin melihat hasil T&N untuk foto tersebut.

 

Aku memang sempat berpikiran begitu, tapi tidak menyangka akan disambut seantusias ini.

 

Namun kemudian—

 

“Syukurlah. Tapi ada satu masalah dengan foto ini.”

 

Begitu aku mengatakannya, yang lain menunggu lanjutannya.

 

Atau mungkin mereka juga sudah menyadarinya sejak memperhatikan foto tadi.

 

“—Siapa anak ini?”

 

Aku menunjuk pada seorang anak yang tertangkap di foto.

 

Yang ada di foto adalah aku, Kakeru, Yuno, dan Chiaki saat kecil.

 

Namun ada satu anak lagi – seorang “anak kelima” yang kutunjuk.

 

“........”

 

Yuno, Chiaki, dan Kakeru menatap lekat si “anak kelima” itu, lalu mengangkat wajah.

 

“Eh? Serius, kalian tidak tahu siapa dia?!” 

 

“Kupikir dia salah satu teman kalian.”


Yuno dan Chiaki sepertinya mengira yang lain mengenalnya.

 

“Ah, tunggu dulu, aku ingat ada anak lain waktu itu. Tapi aku tidak ingat namanya!”

 

Kakeru tampak berusaha keras untuk mengingatnya.

 

Ya, di foto ini – ada satu anak yang tidak kami kenali.

 

“Eh? Kalian sampai berfoto bersamanya, apa dia tidak sekelas dengan kalian sewaktu SD?”

 

“Mungkin tidak... atau mungkin memang aku lupa kalau dia teman sekelas.”

 

Aku hanya bisa memberikan jawaban tidak pasti atas pertanyaan Aya-senpai.

 

Tidak bisa dipastikan apakah dia teman sekelas waktu itu.

 

Aku tidak bisa mengingat nama dan wajah semua teman sekelasnya sewaktu SD.

 

Ada beberapa teman sekelas yang sebenarnya berteman, tapi aku lupa nama dan fakta itu.

 

“Hmm, kalau tidak salah, hari itu kita tidak ada janji apa-apa tapi pergi ke festival, terus aku ketemu kalian di sana, makanya abis itu kita lanjut bareng.”

 

Kakeru memijat pelipisnya dengan jari, berusaha mengingat.

 

“Iya benar, lalu ada anak yang tidak biasa kita lihat, tapi kita ikutan main bersama terbawa suasana festivalnya.”

 

Yuno mengerutkan kening sementara Chiaki menerawang ke kejauhan, mencoba mengingat.

 

“Aku sepertinya tidak bertanya namanya karena mengira dia salah satu teman dari kalian.”

 

Tanpa sadar, anak itu sudah bergabung bersama kita, tanpa perkenalan, kita berjalan beriringan dan menyambangi berbagai kios festival.

 

“Terus, ayahku yang waktu itu bersama kita memotret foto ini, dan entah kapan kita berpisah begitu aja bsrpisah dengannya.”

 

Aku menelengkan kepala, dan hanya bisa mengingat sebatas itu.

 

“Jadi kalian main dan bahkan berfoto bersama meski tidak mengenalnya sama sekali, terus berpisah begitu aja?”

 

Aya-senpai merangkum kesaksian kami dan tersenyum geli.

 

“Inilah yang bisa dilakukan oleh atmosfer festival dan keluguan anak-anak.”

 

Sepertinya waktu kecil dulu kami dengan mudah berteman bahkan dengan orang asing yang sama sekali tidak kami kenal.

 

Dengan begitu, tidak ada jaminan bahwa anak itu teman sekelas. 


Bisa jadi dia pengunjung dari luar kota yang datang ke festival.

 

“Ngomong-ngomong... anak ini laki-laki atau perempuan ya?”

 

Yuno sekali lagi menunjuk si ‘anak kelima’ di foto itu.

 

Soal apakah laki-laki atau perempuan, tentu saja—

 

“Eh? Bukannya laki-laki?” 

 

“Tidak, kayaknya perempuan.”

 

Kakeru dan aku berbeda pendapat.

 

“Dari pakaian sih... tidak bisa dipastikan ya, itu pakaian yang bisa dipakai laki-laki maupun perempuan.”

 

Chiaki mencoba mengamati dari pakaiannya, tapi yang dikenakan hanya jaket, jins, dan sepatu kets.

 

“Banyak anak perempuan SD yang tidak suka rok dan lebih memilih berpenampilan tomboy.”

 

Setelah Yuno mengatakannya, anak itu memang terlihat seperti anak perempuan yang tomboi.

 

“Tapi lihat, tingginya sama kayak kita, pasti laki-laki kan?”

 

“Aku dan Shou waktu itu juga belum setinggi itu. 


Justru rambut anak ini terlihat kayak perempuan.”

 

“Tidak, itu rambut pendek biasa. Hanya karena rambutnya lembut, makanya kelihatan kayak perempuan.” 

 

Yuno pun ikut dalam perdebatan kami.

 

“Bentuk wajahnya... perempuan? Ah tapi Seiji di sampingnya juga wajahnya sedikit keperempuanan.” 

 

“Maaf aja, kamulah yang terlihat seperti akan tumbuh menjadi pria jantan di masa depan.”

 

Dengan aku yang berwajah keperempuanan dan Yuno yang termasuk jenis perempuan cantik, bentuk wajah tidak bisa dijadikan patokan. Jika bahkan gendernya pun tidak jelas, apakah anak itu benar-benar bukan kenalan siapa pun dari kami?

 

“...Jangan-jangan, dari awal anak ini memang tidak benar-benar eksis di dunia ini?”

 

Kakeru tiba-tiba mengumamkan hal menakutkan.

 

“Ada makhluk yang menyamar sebagai anak-anak untuk mengajak bermain anak-anak lain, terus membawa mereka ke dunia lain. Mungkin anak ini gagal menculik kita waktu itu, tapi tidak menyerah dan suatu hari akan muncul dengan wujud yang sama di depan kita untuk—“

 

“Hentikan!”

 

Yuno membentak marah. Ah iya, dia memang tidak tahan cerita-cerita menakutkan.

 

“Bahkan tanpa teori hantu pun, kayaknya bakal sulit menemukan siapa ‘anak kelima’ ini ya...”

 

Aya-senpai menghembuskan nafas dengan kecewa.

 

“Gimana kalau kita mengabaikan anak ini dan hanya melibatkan kita berempat aja?” 

 

“Menggantikannya dengan boneka? Kalau penutupnya kayak gitu rasanya kurang greget.”

 

Chiaki mengajukan usulan dengan ragu, tapi Kakeru mendengus dengan tangan terlipat.

 

“Sebagai fotografer—itu tidak boleh. Foto ini simetris lahir dengan sempurna. Kalau harus diganti, minimal cari orang lain untuk berperan sebagai penggantinya...”

 

Aya-senpai bergidik ngeri sambil memelototi foto itu.

 

Wajahnya seperti seniman yang diancam untuk mencoret-coret karya seninya.

 

“Kita tunda dulu aja. Meski T&N-nya tidak bisa, kita masih bisa mengambil foto kenangan biasa di hari festivalnya.”

 

Sebagai ketua, aku memutuskan untuk mengesampingkan masalah yang bisa membuat jalan buntu.

 

Dan meskipun aku bilang ditunda, sebenarnya ini hampir mirip dengan dibatalkan.

 

Mencari siapa ‘anak kelima’ yang tidak kami kenal sama sekali itu terlalu membutuhkan usaha besar.

 

“Ah, kita harus segera kembali ke kelas.” 

 

Chiaki melihat jam dan menyadari istirahat makan siang sudah hampir berakhir.

 

“Ah benar. Masih ada foto lain yang belum dibahas...”

 

Yuno bergumam sambil menatap foto-foto lain yang berjajar di meja.

 

“Tidak harus semuanya diputuskan hari ini kan?”

 

“Ya, kurasa lebih baik kita membahas foto-fotonya di jam istirahat besok dan seterusnya, lalu mengambil fotonya sepulang sekolah.”

 

Aku mempertimbangkan usul Kakeru dan Aya-senpai dalam benakku.

 

“Ya benar, mendingan ambil fotonya pas pulang sekolah aja. Kalau gitu, foto-fotonya biar disimpan masing-masing dulu...”

 

“Lalu gimana dengan sepulang sekolah hari ini?”

 

Menanggapi perkataanku, Aya-senpai menunjuk salah satu foto kandidat.

 

“Prioritas utama kita adalah ‘foto perosotan” yang dibawa Amaya-chan.”

 

Untuk foto Kakeru yang memancing, atau foto pesta perpisahan Yuno, kita perlu melakukan beberapa persiapan untuk bisa merekonstruksikannya.

 

Sebaliknya, untuk foto perosotan yang dibawa Chiaki, kita hanya perlu pergi ke lokasinya untuk bisa langsung memotretnya.

 

Saat yang lain mengangguk, bel tanda waktu masuk kelas pun berbunyi.

 

 

Saat kecil dulu, jika disuruh menunggu teman untuk kumpul bermain, biasanya dimana ya?

 

Bahkan tanpa janji bertemu, apakah ada tempat dimana kita bisa pergi dan pasti ada teman yang sudah menunggu di sana?

 

Taman di suatu tempat, toko tertentu, depan rumah seseorang, atau area kuil di suatu tempat.

 

Untuk kami, tempatnya adalah taman kanak-kanak di dekat rumah.

 

 

“Jalanan ini membawa banyak kenangan. Jalanan sepi yang jarang dilewati mobil, jadi kita bisa menendang bola seenaknya.”

 

Yuno mengenang jalanan biasa di kawasan perumahan yang kami lalui.

 

Ini adalah salah satu ‘sudut mati’ yang dulu sering kami lewati, tapi sekarang tidak lagi.

 

“Ternyata jalannya sempit dan pendek begini...Dulu perasaan kayak terbentang sampai cakrawala.”

 

Apa yang diutarakan Chiaki pasti dirasakan siapa pun yang mengunjungi tempat masa kecilnya setelah lama tidak ke sana.

 

“Rumah-rumahnya juga terasa kecil ya. Jelas karena kita yang jadi lebih besar.”

 

Aku merasakan perbedaan antara ingatanku yang samar dengan kenyataan saat melihat rumah-rumah di sekitar.

 

“Anak kecil kan tingginya sekitar segini? Wajar semua terasa besar waktu itu.”

 

Yuno menggerak-gerakkan tangannya di sekitar pinggangnya.

 

Ya, memang sudah pasti, waktu kecil dulu kita berukuran mungil.

 

Rumah-rumah terlihat seperti istana, tiang listrik seperti menara, gang-gang tampak panjang, kota terasa luas, dan orang dewasa seperti raksasa.

 

Sebaliknya, tanah terasa dekat, bunga liar dan serangga mudah tertangkap mata, dan kita tertarik pada garis-garis dan selokan di jalan.

 

Dari perspektif anak-anak yang harus jongkok untuk berjalan, kita dulu benar-benar sering berlarian ke mana-mana di sekitar kota.

 

“Lihat, taman kanak-kanaknya dulu di sana...” Chiaki menunjuk ke satu sudut pemandangan lalu menghentikan kata-katanya.

 

Jika terus berjalan di jalan ini, kita akan sampai di taman kanak-kanak dengan berbagai peralatan bermain berwarna-warni.

 

Di sana,   tempat janjian untuk berkumpul di mana teman-teman selalu menunggu, atau justru sudah bermain duluan.

 

Tapi tempat itu—sudah menghilang dari pemandangan.

 

Bangunannya sudah tidak ada, pagar dan peralatan bermainnya juga lenyap.

 

Dari kejauhan saja sudah terlihat adanya bagian yang hilang, dan semakin jelas saat mendekat.

 

Di lahan kosong bekas bangunan yang sudah dibongkar, hanya ada ilalang yang ditiup angin musim semi.

 

Seperti lubang angin terbuka di tengah kawasan perumahan.

 

“Whoa, benar-benar sudah tidak ada ya...”

 

Yuno bersuara miris dan mempercepat langkahnya.

 

Aku dan Chiaki, dengan perasaan yang sama, mengikutinya dari belakang.

 

Kami memandangi bekas lahan taman kanak-kanak dari balik pagar hijau yang membatasinya dengan jalan.

 

Ayunannya sudah tidak ada.

 

Ayunan yang dulu kami pakai untuk berlomba siapa yang bisa mengayunkan kaki paling kuat hingga sepatu terlempar, sudah tidak ada.

 

Gedung taman kanak-kanaknya tidak ada.

 

Sudah tidak ada tempat untuk bernyanyi, menggambar, membuat origami, atau pementasan drama.

 

Tidak ada kotak pasirnya, tidak ada peralatan olahraganya, tidak ada panjatan talinya.

 

Hal-hal yang seharusnya membawa kenangan akan betapa kecilnya diri kami dulu, sudah lenyap tak tersisa.

 

Meski begitu—

 

“Oh, kalian sudah datang. Itu dia, perosotannya masih ada, kan?”

 

Kakeru memanggil kami.

 

Kakeru dan Aya-senpai yang berangkat dengan sepeda datang lebih dulu, sementara aku, Yuno, dan Chiaki yang berjalan kaki agak tertinggal.

 

Kami memasuki lahan itu melalui akses yang tidak ada pintunya.

 

Bau hijau ilalang yang terinjak-injak menguar dan ditiup angin, menghilang terlarut di bawah sinar matahari yang miring, dan di sana—sebuah seluncuran kusam dan berkarat berdiri dengan tenang.

 

“Benar, perosotannya masih ada! Lihat, sama persis kayak di foto!”

 

Chiaki menunjukkan foto yang dibawanya kepada aku dan Yuno.

 

“Kayaknya sedikit ke sini. Mungkin dari sini sudut pengambilannya.” 

 

Aku mengintip foto di tangan Chiaki dan menunjukkan posisi yang kurasa menjadi titik pengambilan foto ini dulu.

 

Dengan memandang dari posisi itu dan menyesuaikan pandangan dengan foto, perosotan di masa kini dan masa lalu terlihat bertumpang tindih sempurna.

 

Rangkanya memang sudah berkarat dan catnya juga terkelupas, tapi tidak salah lagi itu perosotan yang sama.

 

“Aya-senpai, boleh kami mendekat?”

 

Sepertinya mereka sudah cukup akrab, Kakeru memanggil Aya-senpai begitu saja. Senpai sedang membidikkan kameranya ke arah perosotan. 

 

Sepertinya dia sudah memotret perosotan dengan serius bahkan sebelum kami tiba.

 

“Apa itu latihan pemanasan?”

 

“Itu benar, tapi... entah kenapa pemandangannya terlihat artistik, jadi aku jadi ingin memotretnya.”

 

Menanggapi pertanyaanku, Aya-senpai menunjukkan layar kameranya sambil tersenyum malu-malu.

 

Itu adalah foto perosotan berkarat yang berdiri sendirian di lahan kosong yang ditumbuhi rumput hijau muda.

 

Difoto dari sudut rendah itu, tidak ada rumah-rumah di sekelilingnya yang terlihat di foto itu.

 

Seolah perosotan usang itu berdiri di padang rumput yang terisolasi dari hiruk-pikuk kota, dikelilingi bunga liar dan langit senja.

 

“Wah, Aya-senpai, hasil fotonya bagus banget!”

 

“Aku juga mau, boleh minta data fotonya?”

 

Chiaki dan Yuno membelalakkan mata dengan takjub.

 

“Tidak, justru foto ini juga harus dimasukkan ke dalam album kita nanti.”

 

“Setuju. Sayang banget kalau tidak dimasukkin.”

 

Kakeru dan aku pun tak dapat menyembunyikan rasa kagum kami.

 

“Ah sudahlah, jangan merayuku, ayo kita lanjut ke sesi pemotretan!”

 

Aya-senpai tampak sedikit malu-malu.

 

Biasanya dia hanya mengambil foto-foto formal untuk klub fotografi OSIS, jadi jarang mendapat perhatian. Tapi melihat hasil jepretannya yang penuh sentuhan seni ini, kami bisa melihat kemampuannya sebagai fotografer.

 

Jika kemampuan fotografernya mumpuni, tinggal bagian kami sebagai model yang bekerja dengan baik.

 

“Kalau direkonstruksi seperti di foto, kami semua harus naik ke atas perosotan  itu. Tapi tidak bakalan roboh kan?”

 

“Aku sudah mencobanya sebelum kalian datang, dan sepertinya masih kuat. Selama kita tidak petakilan, seharusnya baik-baik aja.”

 

Kekhawatiranku sepertinya sudah dijawab Kakeru setelah ia mencobanya lebih dulu.

 

“Kalau gitu, ayo kita bahas tentang posisi kalian.”

 

Aya-senpai membidikkan kameranya dan kami naik ke atas perosotan yang sudah tidak kami naiki selama lebih dari sepuluh tahun.

 

“Akemaru-kun paling atas, lalu Asahi-chan, Aikage-kun, dan Amaya-chan. Pegang pundak orang yang di depanmu kayak main kereta kereta-keretaan.”

 

Berbeda saat kecil dulu, dengan ukuran tubuh kami yang sekarang, sedikit merepotkan untuk menempati posisi sesuai instruksi.

 

“Ah maaf Seiji, kakiku mengenaimu. Mau lepas sepatu aja?”

 

“Tidak apa-apa, kena dikit doang. Tapi kakinya jadi susah masuk ya.”

 

“Sudah lama tidak duduk di sini, ternyata perosotannya cukup terjal ya.”

 

“Jangan goyang-goyang dong, sekarang kita jauh lebih berat dari dulu!”

 

“Kami tidak berat!” Yuno dan Chiaki memprotes bersamaan.

 

Kami berusaha menempati urutan sesuai instruksi, melipat lutut, dan mendekatkan badan satu sama lain, lalu mengarahkan pandangan pada Aya-senpai.

 

“Hmm, ayo kufoto dulu buat ngetes.” 

 

Aya-senpai berkata begitu, lalu mengambil satu jepretan dan menunjukkannya kepada kami.

 

...Dan kami semua mengeluarkan erangan tidak yakin.

 

“Fotonya bagus...Mungkin?”

 

“Kelihatannya sempit banget ya.”

 

Chiaki tidak dapat memberikan pujian tulus, sementara Yuno mengatakannya dengan gamblang.

 

“Sama sekali tidak ada keserasian dengan foto aslinya.” 

 

“Jelas karena kita semua sudah besar. Aku juga agak khawatir Shou dan Chiaki yang di ujung jadi agak terpotong.”

 

Kakeru dan aku pun merasa hasilnya kurang memuaskan sebagai foto rekonstruksi.

 

Ternyata meskipun diambil di tempat dan pose yang sama, tidak menjamin akan menghasilkan foto yang kita harapkan.

 

“Baik, mungkin tidak bisa lagi sama persis, tapi mari kita atur ulang posisi kalian. Aikage-kun dan Akemaru-kun, bisa lebarkan kaki dan luruskan? Asahi-chan dan Amaya-chan masuk di antara kaki mereka. Asahi-chan duduk bersila.” 

 

Aya-senpai memberi instruksi penyesuaian posisi untuk kami.

 

“Begini?”

 

“Chiaki, aku naro kakinya di samping kamu.”

 

“Ya, tidak apa-apa.” 

 

Perosotannya cukup lebar, jadi aku membuka kakiku dan sedikit meluruskan lututku.

 

Sambil memegang pinggir perosotan dengan satu tangan agar tidak tergelincir, aku melewatkan kakiku di samping kiri dan kanan Chiaki.


“Amaya-chan, ke atasan dikit. Kayak kamu mau jatuh terlentang gitu.”

 

 “Um, maaf, Seiji-kun.”

 

  Chiaaki juga mengangkat tubuhnya dan menutup jarak diantara aku dan dirimya, duduk di antara kedua kakiku.

 

  Jaraknya sangat dekat... Mau tak mau aku menyadari jaraknya.

 

  Seorang gadis duduk di antara kedua kakiku, aku menyandarkan dadaku ke punggungnya – seperti jarak seorang kekasih.

 

 “Jadi, apakah aku harus duduk tegak? Jangan terlalu gegabah. Seiji, aku minjam sedikit bahumu dong.”

 

Di belakangku, Yuno bergerak dari posisi duduk olahraga ke posisi setengah berlutut.

 

Dia meletakkan tangannya di bahuku dan mengubah posisi kakinya, sehingga tubuh bagian atas kami lebih merapat dibanding sebelumnya.

 

“Mungkin lebih ke depan lagi? Dengan begitu akan ada ruang untuk Akemaru-kun.”

 

“Lebih ke depan lagi?!”

 

Meski sedikit tergesa dengan instruksi Aya-senpai, Yuno mendekatkan jaraknya lebih rapat ke punggungku.

 

(Tidak tercium...! Masih aman!)

 

Aku masih remaja laki-laki, jadi kuharap dimaklumi kalau jadi sedikit sadar dengan dada Yuno yang bergesekan di balik punggungku.

 

“Hey, masih ada jarak kosong tuh? Keakraban sahabat masa kecil yang seharusnya masih belum terasa!”

 

Tapi sepertinya Aya-senpai mulai memaksakan pendapatnya sendiri.

 

Seperti sutradara yang memberi arahan tegas kepada aktor-aktrisnya.

 

“Cepat dong, kakiku kesemutan nih!”

 

“Aku juga, lututku mulai sakit.”

 

Kakeru dan Yuno mulai mengeluh kesakitan.

 

“Aya-senpai memang gitu kalau sudah dalam mode ini. Kita tahan dulu rasa malunya!”

 

Aku yang terhenti di pertengahan perosotan juga mulai merasakan kakiku bergetar menahan posisi. 

 

“Benar juga ya...Seiji-kun, aku nyender ke kamu ya?”

 

Chiaki mendekatkan jarak dan menyandarkan punggungnya menempel di dadaku.

 

“Ayolah Seiji, kamu juga ke sini!”

 

Yuno menarik bahuku hingga aku pun dalam posisi bersandar di dadanya.

 

Fuwaaa--- Sensasi lembut di bagian belakang kepalaku membuatku sedikit kehilangan fokus.

 

Ah tidak, maksudku “kita tahan dulu rasa malunya” itu agar ekspresiku tidak kaku, bukan supaya benar-benar berdesakan seperti ini.

 

Tapi Yuno dan Chiaki sudah mendekat dan saling menempel.

(Tln : uwahh kejepit di antara 2 cewek)

 

Dengan posisi Chiaki di depanku dan Yuno di belakangku, kami seperti berpelukan.

 

“Nah begitu, senyum ya. 3, 2, 1—“  

 

Dengan semangat yang tinggi, Aya-senpai menekan shutter kameranya.

 

Bukan hanya satu, tapi berkali-kali dengan penyesuaian posisi, hingga matahari terbenam.

 

“Fuhh, akhirnya selesai juga. Kerja bagus semuanya!”

 

Belasan menit kemudian, kami yang sudah kelelahan beringsut menjauhi Aya-senpai yang terlihat puas. 

 

“Capeknya......”

 

“Siapa sangka perosotan bisa menguras tenaga sebegininya?”

 

Yuno dan Chiaki mengusap-usap kaki dan pinggangnya yang kelelahan.

 

“Aduuh, otot-ototku yang jarang dipakai jadi kram nih.”

 

“Aku juga...kakiku agak kesemutan...”

 

Kakeru memutar-mutar bahunya sementara aku mengusap-usap pangkal pahaku.

 

“Maaf maaf. Tapi kerja keras kalian terbayar kok?”

 

Aya-senpai membawa kameranya mendekat ke arah kami.

 

“Woaah...”

 

Entah siapa yang mengeluarkan seruan kagum itu. Setidaknya bukan hanya aku seorang.

 

“Ini foto kalian waktu kecil.”

 

Aya-senpai menampilkan foto masa kecil di samping hasil jepretannya di layar kamera.

 

Memang karena panjang kaki dan tangan kita berbeda dari waktu kecil, kami tidak bisa mengulang pose sama persis. Namun ekspresi ceria, pose polos, dan kedekatan tanpa memedulikan gender, masih sama seperti dulu.

 

“Aku bakal nyatuin foto lama dan barunya nanti di komputer rumah. Tapi—“ 

 

Aya-senpai menatapku, seolah meminta pendapatku tentang hasil fotonya.

 

“Aku rasa bagus. Bahkan, mungkin aku sedikit meremehkan prosesnya...”

 

Aku tulus terkagum.

 

Hanya dengan satu foto yang baru saja diambil saja sudah memuaskan, apalagi nanti digabungkan dengan foto lama.

 

Inilah maksud dari konsep T&N, tapi baru benar-benar kurasakan setelah menjadi modelnya langsung.

 

“Sejujurnya, hanya dengan foto ini udah sudah cukup bikin senang.”

 

Jika suatu hari nanti aku ingin membanggakan teman-temanku, hanya dengan foto ini saja sudah lebih dari cukup.

 

Aku bisa berkata – Sejak kecil aku sudah berteman dengan mereka, hingga bisa mengambil foto seperti ini bersama.

 

“Jangan nangis lagi lah.”

 

“Siapa yang nangis?”

 

“Mengingat kembali momen memalukan saat terjatuh di kelas, Kakeru tidak dapat menahan untuk berteriak, membuat Yuno dan Chiaki tertawa.

 

‘Meski pujian itu patut disyukuri, tapi aku tidak berniat berhenti di satu foto aja.’ Aya-senpai menutup layar kamera digitalnya.

 

‘Ya, ya, kita masih punya banyak waktu.’

 

Ketika Yuno mengatakan itu, aku menerima guncangan keras dalam diam.

 

Tersisa dua puluh satu hari lagi sebelum aku pindah sekolah.

 

Kesempatan untuk mengambil foto seperti ini tersisa dua puluh satu hari lagi.

 

Apa yang kuanggap sebagai batas waktu, berubah menjadi sebaliknya hanya dengan satu jepretan foto.

 

 

Saat kami mendengar pengumuman kalau anak-anak harus pulang, kami memutuskan untuk bubar.

 

Kakeru dan Aya-senpai pulang dengan sepeda, sementara aku, Yuno, dan Chiaki berjalan kaki.

 

“Haa, ngomong-ngomong...”

 

“Ada apa, Yuu-chan?”

 

“Yah, meskipun kita senang karena psrosotannya masih ada, tapi sayang tidak bisa melihat permainan lainnya.”

 

Yuno menjawab, diikuti ekspresi senada dari Chiaki, “Aku paham banget apa yang kamu rasain.”

 

“Dekat perosotan itu, ada permainan yang seperti ini. Aku lupa namanya, tapi yang muter-muter.”

 

Dia mencoba mengingat sambil mengisyaratkan, namun kalimatnya menjadi terlalu panjang.

 

“Oh, yang kayak menjungkirbalikkan jungkat-jungkit berbentuk bola itu kan? Belakangan ini, permainan itu jadi jarang terlihat gara-gara banyak kecelakaan.”

 

Yuno menirukan gerakan berputar, lalu Chiaki tersenyum menatapku.

 

“Dulu, kamu dan Kakeru memasukanku ke dalamnya lalu memutar-mutarnya sampai aku nangis kan?”

 

“Maaf ya.”

 

Sudahlah, tidak perlu diungkit lagi kejahilan lama seperti itu.

 

“Ada juga kandang hewan ya? Apa itu kandang kelinci?”


“Bukannya itu kandang ayam?” 

 

“Dua-duanya ada. Aku ingat Chiaki dikejar-kejar ayam.”

 

“Hei, aku masih anak-anak waktu itu! Ayam sebesar itu udah kayak Cockatrice bagiku.”

(Tln : Cockatrice adalah makhluk legendaris dalam mitologi Eropa, sering digambarkan sebagai makhluk yang memiliki tubuh seekor ayam jantan dan ekor seekor naga atau ular.)

 

Sepertinya ada monster berbentuk ayam di game.

 

“Ah, kalian masih ingat pas guru kita pindah tugas dan kita mengadakan pesta perpisahan?”

 

“Oh iya! Kita bernyanyi bersama lalu guru itu menangis tersedu-sedu!”

 

Begitulah Yuno dan Chiaki berbagi kenangan masa kecil.

 

“Ah!”

 

Tiba-tiba—Yuno menghentikan langkahnya. 

 

Chiaki yang mengikuti pandangannya juga terdiam.

 

Ketika aku melihat ke depan, aku pun menyadari alasan mereka berhenti.

 

Bersamaan dengan itu, aku teringat kata-kata Kakeru.

 

“Mungkin sejak awal dia tidak benar-benar ada di dunia ini?”

 

—Ada seorang anak di sana. 

 

“Dia berpura-pura jadi anak-anak, mengajak bermain, lalu membawanya ke dunia lain.”

 

Seorang anak dengan tubuh seperti anak SD.

 

Terlihat seperti anak laki-laki yang feminim atau anak perempuan yang tomboy.

 

“Si ‘anak itu’ yang kabur dari kita waktu itu, masih belum menyerah rupanya.”     

 

Di waktu senja ketika rumah-rumah merona kemerahan dan bayangan memanjang—waktu roh-roh muncul.

 

Sosok yang sama seperti ‘anak itu’ yang tak seorang pun tahu namanya, muncul dengan penampilan yang sama seperti hari itu—

 

“Lalu muncul di depan kita dengan penampilan yang sama.”

 

—Dengan langkah tegap menuju ke arah kami.

 

“...”

 

Karena berdiri membelakangi matahari terbenam, wajah anak itu tidak terlihat jelas.

 

Namun dari kejauhan, sepertinya bibirnya tersenyum lebar.

 

Seolah baru saja bertemu kembali dengan teman lama.

 

Aku tahu di dalam hati—ini mustahil.

 

Kami sudah tumbuh dewasa sementara dia masih anak-anak, ini mustahil.

 

Tapi entah kenapa, kami memiliki firasat yakin bahwa dia adalah ‘anak itu’.

 

Di depan kami yang membeku dengan punggung menegang seperti kena guna-guna, anak itu—

 

“Aku pulang.”

 

—berbelok dan masuk ke salah satu rumah.

 

...Ternyata hanya anak yang tinggal di rumah itu. 

 

“Beuhh, kaget banget.”

 

Seperti diriku yang tanpa sadar berteriak, Yuno dan Chiaki juga kehilangan tenaga.

 

“Ah, aku kaget. Ya benar, ini waktunya anak-anak pulang ke rumah ya.”

 

Chiaki tertawa sambil melepaskan tangannya yang mencubit seragamku.

 

“Karena Yuu-chan membuat ekspresi kayak gitu, aku juga jadi ikut-ikutan.”

 

Ketika kulihat, Yuno masih mencengkeram lengan bajuku.

 

“Yuno?”

 

Saat kupanggil, bibir Yuno yang tertunduk mulai bergerak.

 

“Buh...”

 

Buh? Suara kami berdua serempak.

 

“Buhampir mati aku!”

 

Yuno mengangkat wajahnya dengan mata berkaca-kaca.

 

Matanya berair, tubuhnya gemetar, tidak ada sedikitpun sisa keberaniannya yang sama seperti biasa.

 

Sepertinya dia mudah meneteskan air mata saat mendapat tekanan dari hal-hal berbau mistis.

 

“Kamu penakut banget sih.”

 

“A-Abisnya! Kakeru cerita kisah horor di sekolah! Penampilannya juga mirip!”

 

Yuno terburu-buru melepaskan lenganku.

 

Memang bukan kisah seram yang terlalu menakutkan, tapi sepertinya itu tertanam di kepala Yuno yang mudah takut.

 

“I-Iya kan! Aku hampir saja diseret ke alam lain!”

 

“Benar, aku kira itu semacam legenda urban penculikan seperti Hachikubi-sama atau Slenderman!”

 

“Sudah sudah! Jangan sebutkan istilah mistis mengerikan begitu!”

 

Chiaki dan aku panik menyesuaikan obrolan, sementara Yuno menutup telinganya.

 

Timbul sedikit niat jahil di benakku...

 

“Ngomong-ngomong Yuno, di Jepang para dewa meninggalkan kuil mereka saat senja, dan makhluk jahat yang takut pada kekuatan dewa mulai beraktivitas di waktu itu lho?”

 

“Kenapa malah bilang hal mengerikan begitu sekarang?!”

 

“Sudahlah Seiji-kun, kalau kamu menggoda gadis seperti itu, menurut aturan horor, kalian akan jadi korban pertama lho?”

 

“Chii-chan juga ikut-ikutan nakal!”

 

Kami masing-masing pulang ke rumah.

 

Melintasi jalan pulang seperti masa kecil dulu, dengan suasana riang seperti anak-anak.

 

 ○

 

Setelah makan malam, saat sedang bersantai di kamar, ponselku memberi notifikasi pesan baru.

 

Pesan itu dari grup LINE yang dibuat untuk album kenangan sebelum kepindahanku.

 

[Aya : Aku sudah mengunggah foto ke album. Cek di aplikasinya ya.]

 

Aku membuka aplikasi album foto yang kupasang saat istirahat siang hari ini.

 

Aplikasi sederhana yang memungkinkan kami untuk mengunggah foto dan saling mengomentari, tanpa perlu khawatir tentang pandangan pihak luar seperti di media sosial.

 

Ada tiga foto. Perosotan doang, kami semasa kecil menaikinya, dan kami hari ini.

 

[Aya : Nanti aku juga bakalan nambahin foto dulu dan saat ini yang sudah di gabungin dalam satu bingkai]

 

Ada juga ruang obrolan dengan keterangan dari Aya-senpai.

 

Sepertinya aku yang harus merespons pertama.

 

[Seiji : Terima kasih. Fotonya bagus.] 

 

[Seiji : Untuk foto tambahannya, tidak usah buru-buru]

 

Sepertinya yang lain juga menerima pesan yang sama, teman-teman masa kecil mulai merespons.

 

[Chiaki : Fotonya bagus!] 

 

[Yuno : Keren banget! Ini bisa disimpan selamanya?]

 

[Kakeru : Bisa pilih bingkainya juga ya. Aplikasinya lumayan juga.]

 

Dari ikon mereka, Chiaki menggunakan foto kucing peliharaannya, Yuno mengejutkan dengan karakter manga, Kakeru entah kenapa memakai gambar tari Singa, Aya-senpai menggunakan foto pemandangan, sementara aku masih ikon default.

 

Aku mencoba mengetuk gambar untuk melihatnya lebih dekat lagi.

 

Fotoku yang berada di antara Chiaki dan Yuno, terlihat sedikit menguntungkan.

 

(Akan kujaga baik-baik)

 

Dengan hati yang tulus tanpa cela, aku membuat tekad seperti itu.

 

“Seiji?”

 

“Ya, ada apa Bu?” 

 

Terdengar suara ibuku disertai ketukan di pintu. Setelah meletakkan ponsel dan bangkit dari kursi untuk membuka pintu...

 

“Ini, ada foto tambahan.”

 

Foto-foto yang dibawa ibuku rupanya adalah tambahan.

 

“Tambahan? Oh, jadi Ibu mencarinya . Maaf, terima kasih.”

 

Sepertinya ada foto lain yang disimpan di tempat berbeda selain yang kuterima kemarin.

 

“Mau masak apa untuk makan malam?”

 

“Terserah Ibu aja. Kalau Ibu bilang, aku bisa memasaknya sendiri.”

 

“Ibu kan bukan orang sakit. Nanti kalau perutku sudah lebih besar, baru minta tolong ya.”

 

Ibuku tertawa lebar lalu keluar dari kamar.

 

Mungkin lebih baik meminta dimasakkan sesuai selera, karena wanita hamil biasanya mengalami perubahan rasa.

 

Yang jelas, kulihat dulu foto-foto tambahan ini.

 

“Oh, waktu ini ya...”

 

Fotonya dari masa SD kelas, di gedung olahraga kotaku.

 

Yang berfoto bersamaku adalah—Yuno.

 

Ini foto dari kelas badminton yang kami ikuti waktu kecil.

 

Aku dan Yuno saat kelas 2 atau 3 SD, berpose memegang raket dengan senyum lebar.

 

(Waktu itu aku masih lebih kuat darinya)

 

Setelah itu Yuno terus mengungguliku, hingga akhirnya aku kalah telak darinya sampai pindah sekolah.

 

Ngomong-ngomong—

 

“Di SMP aku ikut klub badminton, tapi sebelum pindah ada klub di daerah ini.”

 

“Yuu-chan tinggi ya, pasti jago. Kamu ikut di SMA juga?” 

 

“Hmm, sekarang sih tidak, tapi...”

 

Aku teringat percakapan seperti itu antara Yuno dan Chiaki.

 

(Waktu itu kukira karena dia kurang sehat, tapi ternyata bukan ya. Kenapa dia berhenti?)

 

Sepertinya aku lupa bertanya alasannya.

 

Terselip makna lain dari ‘sekarang tidak bermain’ yang dia katakan.

 

(...Karena aku pindah sekolah?)

 

Mungkin dia bermain saat SMA tapi berhenti setelah aku pindah sekolah?

 

Tentu saja, belum tentu ada alasan berat di baliknya.

 

Cukup masuk akal jika alasannya karena sulit bergabung ke klub yang anggotanya sudah menjalin hubungan dekat, sebagai murid pindahan.

 

Tapi—

 

“Nanti kamu akan menyesal.”

 

Saat Yuno mengusulkan ide membuat album kenangan, dia mengatakan itu.

 

(Yuno...)

 

Hanya sesaat saat itu, wajahnya seperti orang yang sudah mengerti sesuatu secara mendalam.

 

“Apakah dia menyesal...?”

 

Aku terlalu fokus pada foto bersama, sampai melupakan hal ini.

 

Asahi Yuno adalah—seorang ‘murid pindahan’.


Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !