Chapter 6
15 April, 21 Hari Lagi • Siang
“Setelah kita semua
mengumpulkannya, ternyata lumayan banyak ya.”
Pada jam istirahat makan
siang keesokan harinya. Kami sekali lagi berkumpul di ruang klub fotografi dan
membentangkan foto-foto yang telah kami kumpulkan.
“Ah syukurlah, tadinya aku
khawatir fotonya sedikit doang.”
“Aku juga. Foto-fotoku
diambil oleh orang tuaku, tapi ternyata tidak banyak yang bersama teman-teman.”
Chiaki menghela napas
lega, diikuti Yuno yang mengungkapkan rasa leganya.
“Dengan semua ini, untuk
mengambil foto T&N antara masa kini dan masa lalu, harusmya nanti bakalan
jadi dua kali lipat kan? Pasti cukup untuk satu album fotonya.”
Kakeru menyuarakan
harapannya, lalu Aya-senpai mengambil salah satu foto.
“Kawaiiii. Kalian semua
imut sekali. Ah, perasaan memperoleh nutrisi yang hanya bisa didapat dari
melihat foto teman-teman saat masih anak-anak yang polos seperti ini
benar-benar terpenuhi. Ufufu, kalian benar-benar tumbuh dengan baik ya.”
Bibirnya bergetar
sementara tangannya menutupi mulutnya.
“Kayaknya ada sesuatu yang
hanya bisa dimengerti oleh fotografer ya.”
“Dia bahkan sudah
memperlakukan kita seperti anak-anaknya sendiri padahal baru ketemu kemarin.”
Melihat aku dan Kakeru
tertawa masam, Aya-senpai berdeham.
“Jadi, ayo kita periksa
satu per satu. Lokasi, pakaian, komposisi, dan hal-hal lain yang memungkinkan
untuk direkonstruksi.”
Ya, itulah yang
menyulitkan untuk melakukan T&N.
Tergantung situasi ketika
foto diambil, ada kalanya tidak memungkinkan untuk direkonstruksi.
“Kalau gitu, gimana dengan
ini? Ini aku dan Seiji waktu kecil.”
Kakeru memulai dengan
melemparkan selembar foto ke tengah, seperti memulai pertandingan kartu.
“Memancing ya.”
Difoto itu, aku dan Kakeru
yang masih anak-anak memegang joran pancing dan memamerkan ikan tangkapan kami.
“Ayahku dulu hobinya
memancing. Karena ini di breakwater dekat sini, kita masih bisa pergi ke
sana lagi kan?”
Aku teringat liburan musim
panas beberapa tahun yang lalu, saat aku diajak keluarga Akemaru untuk
menghabiskan waktu bersama.
“Hee, ternyata kalian
melakukan hal kayak gitu tanpa sepengetahuan aku dan Chiaki ya.”
“Keren! Kayak anak
laki-laki sejati!”
Entah kenapa Yuno
terdengar tidak puas, sementara Chiaki terdengar bersemangat.
“—Ini adalah shota
yang bagus.”
“Aya-senpai, apa yang barusan
kamu katakan?”
“Ah maaf. Kaki dan
peralatan memancingnya bisa disiapkan, tapi pertanyaannya apakah kita bisa
mendapatkan ikan yang sama?”
Meskipun Aya-senpai
bergumam dengan wajah serius, tetapi dia memikirkan tahapan pemotretan dan itu
sangat membantu.
“Ah, ikan ini mudah
ditangkap jadi tidak masalah. Mobilnya nanti aku minta pinjam dari ayah atau
kakakku.”
Kakeru menjamin. Meskipun
tidak bisa langsung, foto ini cocok untuk T&N.
“Kalau gitu, kita catat
sebagai kandidat lokasi pemotretan.”
Aya-senpai mengoperasikan
komputer di ruang klub untuk memasukkan foto itu sebagai kandidat untuk
T&N.
“Langsung satu kandidat
nih. Ayo cepat, kalian juga keluarkan foto bagus lainnya.”
Kakeru mendesak dengan
wajah seperti orang yang memenangkan lomba lari.
“Kalau gitu, sekarang
giliranku.”
Yuno mengeluarkan fotonya
seperti menyahut tantangan.
Itu adalah foto anak
laki-laki dan perempuan dari sekolah dasar mengelilingi meja dengan makanan di
ruang tamu sebuah rumah.
“Ah, ini foto pesta
perpisahan sebelum Yuu-chan pindah!”
Chiaki mengenalinya dan
aku serta Kakeru pun teringat.
Itu adalah foto dari pesta
perpisahan di rumah Yuno sebelum dia pindah sekolah dulu.
“Ini satu-satunya foto
yang kita berempat lengkap yang aku punya.”
Yuno menggaruk pipinya
dengan malu-malu.
“Pesta perpisahan ya.
Waktu SD, aku ingat bikin kado tangan untuk teman sekelas yang pindah. Untuk
ini, setidaknya makanan dan minumannya bisa disiapkan...”
Aya-senpai mengamati foto
itu sambil berpikir.
“Tapi rumah dan
perabotannya pasti sudah berbeda dari waktu itu, jadi mungkin tidak bisa
direkonstruksi sama persis...”
Yuno mengungkapkan
kekhawatirannya,
“Tapi tidak perlu terlalu
dipaksakan ya.”
“Yang penting kita
berempat ada di foto itu.”
“Cukup samakan hal-hal
yang bisa disamakan aja, kayak pakai taplak meja yang mirip.”
Kakeru, aku, lalu Chiaki
menyetujui, diikuti oleh Aya-senpai yang menambahkan,
“Mengingat bagaimana Asahi
kembali, bukannya ‘pesta perpisahan’, ini menjadi semacam ‘pesta penyambutan’
kan? Kalau memikirkan kontras itu, foto ini benar-benar akan menjadi foto yang
hanya bisa diambil oleh kalian!”
Wah... kami terpana
mendengar pandangan yang sangat masuk akal itu.
“Disetujui kalau begitu.”
Tidak ada yang membantah
kata-kataku, dan foto Yuno pun dimasukkan sebagai kandidat lokasi pemotretan.
“Kalau gitu, sekarang
giliranku.”
Setelah suasana membaik,
Chiaki pun menyodorkan sebuah foto dengan kedua tangannya.
“Taman kanak-kanak ya...”
Aku langsung mengenali
bahwa kami di foto itu mengenakan seragam taman kanak-kanak.
“Ini perosotan di taman
kanak-kanak kita dulu kan?”
“Wah, kita benar-benar
kecil ya dulu.”
Yuno dan Kakeru menatap
diri mereka semasa kanak-kanak dengan pandangan segar.
Di foto itu, empat anak
taman kanak-kanak itu berpose sesuai gaya masing-masing di atas perosotan.
“Ah tapi, taman
kanak-kanak itu sudah tidak ada lagi kan?”
Yuno seperti teringat
bahwa aku mengatakan itu telah menjadi lahan kosong beberapa waktu lalu.
“Oh, perosotannya masih
ada tahu?”
“Masih ada?!”
Yuno memekik kaget setelah
mendengar informasi dari Kakeru, dan aku serta Chiaki juga terkejut.
“Ya. Waktu aku kebetulan
lewat sana, aku lihat perosotannya masih ada meskipun lokasinya sudah jadi
lahan kosong. Mungkin sedang dalam tahap pembongkaran bertahap?”
“Kalau gitu sebaiknya kita
cepat ambil fotonya. Dari yang terlihat, foto ini sepertinya diambil pada sore
hari, jadi kita bisa mengambil foto dengan mengenakan seragam sekolah sepulang
sekolah. Jadi ceritanya seolah anak taman kanak-kanak itu sudah tumbuh menjadi
remaja SMA.”
Aya-senpai juga memasukkan
foto ini ke dalam kandidat.
Berdasarkan urutan, kini
giliranku untuk menunjukkan foto.
“Ngomong-ngomong, bisa
lihat foto ini sebentar?”
Aku memutuskan untuk mengeluarkan
satu foto yang paling menarik menurutku dari barang-barang peninggalan ayahku.
“Whoaa” “Hee” “Wah” “...”
Yang lain memberi reaksi
kagum saat melihat foto itu.
Foto itu sepertinya
diambil di area kuil.
Kami yang saat itu
sepertinya masih SD berpose dengan gaya masing-masing.
“Foto ini bagus ya...”
Aya-senpai seperti terpana
melihatnya. Reaksinya terlihat lebih serius dibanding saat melihat foto-foto
sebelumnya.
“Ya, memang sulit
diungkapkan dengan kata-kata.”
Kakeru juga sepertinya
merasakan sesuatu dari foto itu.
“Kayak foto dari
fotografer profesional ya.”
“Kayaknya bisa dipakai buat
iklan.”
Yuno dan Chiaki juga
sepertinya merasa ada sesuatu yang istimewa dari hasil jepretan foto itu.
“Kalau tidak salah, ini
foto yang diambil saat festival di kuil kota sekitar bulan Mei.”
Setelah aku menyebutkan
waktu pengambilannya, teman-teman masa kecilku serentak teringat.
“Oh iya ya.”
“Kalau tidak salah festival
Hari Anak-anak kan?”
Yuno memandangi foto itu
dengan rasa nostalgia, sementara Chiaki mengingat nama festivalnya.
“Iya benar, festival yang
berbeda dari festival musim panas. Semacam perayaan ‘Kodomo no Hi’.
Entah kenapa kota kita merayakan Hari Anak-anak dengan semarak sekali ya,
lengkap dengan boneka kakaidan koi-nya.”
(Tln : kondom no hi, hari
anak-anak / hari untuk anak anak)
Seperti kata Kakeru, jika
membicarakan festival di Jepang, yang terpikirkan pasti festival musim panas.
Namun di beberapa daerah,
ada juga perayaan besar seperti Hi na matsuri pada tanggal 3 Maret.
(Tln : Hi no Matsuri, hari
festival)
Di kota Omikai ini salah
satunya, dengan merayakan Hari Anak-Anak pada tanggal 5 Mei secara
besar-besaran.
“5 Mei ya, pas liburan
musim semi. Kalau tidak salah, Aikage-kun...”
Aya-senpai melihat
kalender dinding sambil mengonfirmasi jadwalku.
“Pindah rumahnya besoknya.”
(Tln : finalnya bakal di
sini berarti ;v, btw ini romancenya mana bsjir)
Hari setelah festival itu,
aku harus meninggalkan kota Omikai.
Karena masuk sekolah barunya
setelah libur musim semi berakhir, kepindahanku tidak bisa ditunda lebih lama
lagi.
“Jadi intinya, festival
ini menjadi semacam acara terakhir kita ya.”
Chiaki berkata dengan nada
sedih dan itu memang benar.
“Justru itu kesempatan
yang bagus kan? Artinya kita memiliki acara yang pas untuk dirayakan sebagai
penutup.”
Yuno memberikan
interpretasi positif yang khasnya.
“Memang bagus sih kalau
ada acara penutup.”
“Kalau begitu, melakukan
T&N untuk foto festival ini bisa menjadi foto penutup yang sempurna.”
Kakeru mengangguk setuju,
dan Aya-senpai sekali lagi memperhatikan foto itu.
“Ya, asal kita tidak
terlalu memaksakan harus mengambil fotonya di hari festival itu.”
“Justru itu penting untuk
diperhatikan.”
Aya-senpai menegaskan
dengan nada tegas.
“Foto ini, dari latar
belakang dekorasinya dan suasana menjelang malam hari, suasana festivalnya
berhasil di tangkap dengan baik. Jika ingin merekonstruksinya, hal-hal seperti
itu juga harus dipertimbangkan.”
Sepertinya foto
peninggalan ayahku ini telah membakar semangat seorang fotografer.
“Jika fotografernya bilang
begitu, tidak masalah lah.”
“Aku setuju. Dengan
menetapkan ini sebagai ‘tujuan akhir’, kita jadi punya motivasi yang berbeda.”
Setelah Kakeru, Yuno juga
mendukung untuk memotret ulang foto ini.
“Ya, kita semua terfoto
dengan bagus di sini. Sayang kalau melewatkan kesempatan untuk melakukan
T&N pada foto seindah ini.”
Chiaki juga sepertinya
ingin melihat hasil T&N untuk foto tersebut.
Aku memang sempat
berpikiran begitu, tapi tidak menyangka akan disambut seantusias ini.
Namun kemudian—
“Syukurlah. Tapi ada satu
masalah dengan foto ini.”
Begitu aku mengatakannya,
yang lain menunggu lanjutannya.
Atau mungkin mereka juga
sudah menyadarinya sejak memperhatikan foto tadi.
“—Siapa anak ini?”
Aku menunjuk pada seorang
anak yang tertangkap di foto.
Yang ada di foto adalah
aku, Kakeru, Yuno, dan Chiaki saat kecil.
Namun ada satu anak lagi –
seorang “anak kelima” yang kutunjuk.
“........”
Yuno, Chiaki, dan Kakeru
menatap lekat si “anak kelima” itu, lalu mengangkat wajah.
“Eh? Serius, kalian tidak
tahu siapa dia?!”
“Kupikir dia salah satu
teman kalian.”
Yuno dan Chiaki sepertinya
mengira yang lain mengenalnya.
“Ah, tunggu dulu, aku
ingat ada anak lain waktu itu. Tapi aku tidak ingat namanya!”
Kakeru tampak berusaha
keras untuk mengingatnya.
Ya, di foto ini – ada satu
anak yang tidak kami kenali.
“Eh? Kalian sampai berfoto
bersamanya, apa dia tidak sekelas dengan kalian sewaktu SD?”
“Mungkin tidak... atau
mungkin memang aku lupa kalau dia teman sekelas.”
Aku hanya bisa memberikan
jawaban tidak pasti atas pertanyaan Aya-senpai.
Tidak bisa dipastikan
apakah dia teman sekelas waktu itu.
Aku tidak bisa mengingat
nama dan wajah semua teman sekelasnya sewaktu SD.
Ada beberapa teman sekelas
yang sebenarnya berteman, tapi aku lupa nama dan fakta itu.
“Hmm, kalau tidak salah,
hari itu kita tidak ada janji apa-apa tapi pergi ke festival, terus aku ketemu
kalian di sana, makanya abis itu kita lanjut bareng.”
Kakeru memijat pelipisnya
dengan jari, berusaha mengingat.
“Iya benar, lalu ada anak
yang tidak biasa kita lihat, tapi kita ikutan main bersama terbawa suasana
festivalnya.”
Yuno mengerutkan kening
sementara Chiaki menerawang ke kejauhan, mencoba mengingat.
“Aku sepertinya tidak
bertanya namanya karena mengira dia salah satu teman dari kalian.”
Tanpa sadar, anak itu
sudah bergabung bersama kita, tanpa perkenalan, kita berjalan beriringan dan
menyambangi berbagai kios festival.
“Terus, ayahku yang waktu
itu bersama kita memotret foto ini, dan entah kapan kita berpisah begitu aja
bsrpisah dengannya.”
Aku menelengkan kepala,
dan hanya bisa mengingat sebatas itu.
“Jadi kalian main dan
bahkan berfoto bersama meski tidak mengenalnya sama sekali, terus berpisah
begitu aja?”
Aya-senpai merangkum
kesaksian kami dan tersenyum geli.
“Inilah yang bisa
dilakukan oleh atmosfer festival dan keluguan anak-anak.”
Sepertinya waktu kecil
dulu kami dengan mudah berteman bahkan dengan orang asing yang sama sekali
tidak kami kenal.
Dengan begitu, tidak ada jaminan bahwa anak itu teman sekelas.
Bisa jadi dia pengunjung dari luar kota
yang datang ke festival.
“Ngomong-ngomong... anak
ini laki-laki atau perempuan ya?”
Yuno sekali lagi menunjuk
si ‘anak kelima’ di foto itu.
Soal apakah laki-laki atau
perempuan, tentu saja—
“Eh? Bukannya
laki-laki?”
“Tidak, kayaknya
perempuan.”
Kakeru dan aku berbeda
pendapat.
“Dari pakaian sih... tidak
bisa dipastikan ya, itu pakaian yang bisa dipakai laki-laki maupun perempuan.”
Chiaki mencoba mengamati
dari pakaiannya, tapi yang dikenakan hanya jaket, jins, dan sepatu kets.
“Banyak anak perempuan SD
yang tidak suka rok dan lebih memilih berpenampilan tomboy.”
Setelah Yuno
mengatakannya, anak itu memang terlihat seperti anak perempuan yang tomboi.
“Tapi lihat, tingginya
sama kayak kita, pasti laki-laki kan?”
“Aku dan Shou waktu itu juga belum setinggi itu.
Justru rambut anak ini terlihat kayak perempuan.”
“Tidak, itu rambut pendek
biasa. Hanya karena rambutnya lembut, makanya kelihatan kayak perempuan.”
Yuno pun ikut dalam
perdebatan kami.
“Bentuk wajahnya...
perempuan? Ah tapi Seiji di sampingnya juga wajahnya sedikit
keperempuanan.”
“Maaf aja, kamulah yang
terlihat seperti akan tumbuh menjadi pria jantan di masa depan.”
Dengan aku yang berwajah
keperempuanan dan Yuno yang termasuk jenis perempuan cantik, bentuk wajah tidak
bisa dijadikan patokan. Jika bahkan gendernya pun tidak jelas, apakah anak itu
benar-benar bukan kenalan siapa pun dari kami?
“...Jangan-jangan, dari
awal anak ini memang tidak benar-benar eksis di dunia ini?”
Kakeru tiba-tiba
mengumamkan hal menakutkan.
“Ada makhluk yang menyamar
sebagai anak-anak untuk mengajak bermain anak-anak lain, terus membawa mereka
ke dunia lain. Mungkin anak ini gagal menculik kita waktu itu, tapi tidak
menyerah dan suatu hari akan muncul dengan wujud yang sama di depan kita
untuk—“
“Hentikan!”
Yuno membentak marah. Ah
iya, dia memang tidak tahan cerita-cerita menakutkan.
“Bahkan tanpa teori hantu
pun, kayaknya bakal sulit menemukan siapa ‘anak kelima’ ini ya...”
Aya-senpai menghembuskan
nafas dengan kecewa.
“Gimana kalau kita
mengabaikan anak ini dan hanya melibatkan kita berempat aja?”
“Menggantikannya dengan
boneka? Kalau penutupnya kayak gitu rasanya kurang greget.”
Chiaki mengajukan usulan
dengan ragu, tapi Kakeru mendengus dengan tangan terlipat.
“Sebagai fotografer—itu
tidak boleh. Foto ini simetris lahir dengan sempurna. Kalau harus diganti,
minimal cari orang lain untuk berperan sebagai penggantinya...”
Aya-senpai bergidik ngeri
sambil memelototi foto itu.
Wajahnya seperti seniman
yang diancam untuk mencoret-coret karya seninya.
“Kita tunda dulu aja.
Meski T&N-nya tidak bisa, kita masih bisa mengambil foto kenangan biasa di
hari festivalnya.”
Sebagai ketua, aku
memutuskan untuk mengesampingkan masalah yang bisa membuat jalan buntu.
Dan meskipun aku bilang
ditunda, sebenarnya ini hampir mirip dengan dibatalkan.
Mencari siapa ‘anak
kelima’ yang tidak kami kenal sama sekali itu terlalu membutuhkan usaha besar.
“Ah, kita harus segera
kembali ke kelas.”
Chiaki melihat jam dan
menyadari istirahat makan siang sudah hampir berakhir.
“Ah benar. Masih ada foto
lain yang belum dibahas...”
Yuno bergumam sambil
menatap foto-foto lain yang berjajar di meja.
“Tidak harus semuanya
diputuskan hari ini kan?”
“Ya, kurasa lebih baik
kita membahas foto-fotonya di jam istirahat besok dan seterusnya, lalu
mengambil fotonya sepulang sekolah.”
Aku mempertimbangkan usul
Kakeru dan Aya-senpai dalam benakku.
“Ya benar, mendingan ambil
fotonya pas pulang sekolah aja. Kalau gitu, foto-fotonya biar disimpan
masing-masing dulu...”
“Lalu gimana dengan
sepulang sekolah hari ini?”
Menanggapi perkataanku,
Aya-senpai menunjuk salah satu foto kandidat.
“Prioritas utama kita
adalah ‘foto perosotan” yang dibawa Amaya-chan.”
Untuk foto Kakeru yang
memancing, atau foto pesta perpisahan Yuno, kita perlu melakukan beberapa
persiapan untuk bisa merekonstruksikannya.
Sebaliknya, untuk foto perosotan
yang dibawa Chiaki, kita hanya perlu pergi ke lokasinya untuk bisa langsung
memotretnya.
Saat yang lain mengangguk,
bel tanda waktu masuk kelas pun berbunyi.
○
Saat kecil dulu, jika
disuruh menunggu teman untuk kumpul bermain, biasanya dimana ya?
Bahkan tanpa janji
bertemu, apakah ada tempat dimana kita bisa pergi dan pasti ada teman yang
sudah menunggu di sana?
Taman di suatu tempat,
toko tertentu, depan rumah seseorang, atau area kuil di suatu tempat.
Untuk kami, tempatnya
adalah taman kanak-kanak di dekat rumah.
“Jalanan ini membawa banyak
kenangan. Jalanan sepi yang jarang dilewati mobil, jadi kita bisa menendang
bola seenaknya.”
Yuno mengenang jalanan
biasa di kawasan perumahan yang kami lalui.
Ini adalah salah satu
‘sudut mati’ yang dulu sering kami lewati, tapi sekarang tidak lagi.
“Ternyata jalannya sempit
dan pendek begini...Dulu perasaan kayak terbentang sampai cakrawala.”
Apa yang diutarakan Chiaki
pasti dirasakan siapa pun yang mengunjungi tempat masa kecilnya setelah lama
tidak ke sana.
“Rumah-rumahnya juga
terasa kecil ya. Jelas karena kita yang jadi lebih besar.”
Aku merasakan perbedaan
antara ingatanku yang samar dengan kenyataan saat melihat rumah-rumah di
sekitar.
“Anak kecil kan tingginya
sekitar segini? Wajar semua terasa besar waktu itu.”
Yuno menggerak-gerakkan
tangannya di sekitar pinggangnya.
Ya, memang sudah pasti,
waktu kecil dulu kita berukuran mungil.
Rumah-rumah terlihat
seperti istana, tiang listrik seperti menara, gang-gang tampak panjang, kota
terasa luas, dan orang dewasa seperti raksasa.
Sebaliknya, tanah terasa
dekat, bunga liar dan serangga mudah tertangkap mata, dan kita tertarik pada
garis-garis dan selokan di jalan.
Dari perspektif anak-anak
yang harus jongkok untuk berjalan, kita dulu benar-benar sering berlarian ke
mana-mana di sekitar kota.
“Lihat, taman
kanak-kanaknya dulu di sana...” Chiaki menunjuk ke satu sudut pemandangan lalu
menghentikan kata-katanya.
Jika terus berjalan di
jalan ini, kita akan sampai di taman kanak-kanak dengan berbagai peralatan
bermain berwarna-warni.
Di sana, tempat janjian untuk berkumpul di mana
teman-teman selalu menunggu, atau justru sudah bermain duluan.
Tapi tempat itu—sudah
menghilang dari pemandangan.
Bangunannya sudah tidak
ada, pagar dan peralatan bermainnya juga lenyap.
Dari kejauhan saja sudah
terlihat adanya bagian yang hilang, dan semakin jelas saat mendekat.
Di lahan kosong bekas
bangunan yang sudah dibongkar, hanya ada ilalang yang ditiup angin musim semi.
Seperti lubang angin
terbuka di tengah kawasan perumahan.
“Whoa, benar-benar sudah
tidak ada ya...”
Yuno bersuara miris dan
mempercepat langkahnya.
Aku dan Chiaki, dengan
perasaan yang sama, mengikutinya dari belakang.
Kami memandangi bekas
lahan taman kanak-kanak dari balik pagar hijau yang membatasinya dengan jalan.
Ayunannya sudah tidak ada.
Ayunan yang dulu kami
pakai untuk berlomba siapa yang bisa mengayunkan kaki paling kuat hingga sepatu
terlempar, sudah tidak ada.
Gedung taman
kanak-kanaknya tidak ada.
Sudah tidak ada tempat
untuk bernyanyi, menggambar, membuat origami, atau pementasan drama.
Tidak ada kotak pasirnya,
tidak ada peralatan olahraganya, tidak ada panjatan talinya.
Hal-hal yang seharusnya
membawa kenangan akan betapa kecilnya diri kami dulu, sudah lenyap tak tersisa.
Meski begitu—
“Oh, kalian sudah datang.
Itu dia, perosotannya masih ada, kan?”
Kakeru memanggil kami.
Kakeru dan Aya-senpai yang
berangkat dengan sepeda datang lebih dulu, sementara aku, Yuno, dan Chiaki yang
berjalan kaki agak tertinggal.
Kami memasuki lahan itu
melalui akses yang tidak ada pintunya.
Bau hijau ilalang yang
terinjak-injak menguar dan ditiup angin, menghilang terlarut di bawah sinar
matahari yang miring, dan di sana—sebuah seluncuran kusam dan berkarat berdiri
dengan tenang.
“Benar, perosotannya masih
ada! Lihat, sama persis kayak di foto!”
Chiaki menunjukkan foto
yang dibawanya kepada aku dan Yuno.
“Kayaknya sedikit ke sini.
Mungkin dari sini sudut pengambilannya.”
Aku mengintip foto di
tangan Chiaki dan menunjukkan posisi yang kurasa menjadi titik pengambilan foto
ini dulu.
Dengan memandang dari
posisi itu dan menyesuaikan pandangan dengan foto, perosotan di masa kini dan
masa lalu terlihat bertumpang tindih sempurna.
Rangkanya memang sudah
berkarat dan catnya juga terkelupas, tapi tidak salah lagi itu perosotan yang
sama.
“Aya-senpai, boleh kami
mendekat?”
Sepertinya mereka sudah
cukup akrab, Kakeru memanggil Aya-senpai begitu saja. Senpai sedang membidikkan
kameranya ke arah perosotan.
Sepertinya dia sudah
memotret perosotan dengan serius bahkan sebelum kami tiba.
“Apa itu latihan pemanasan?”
“Itu benar, tapi... entah
kenapa pemandangannya terlihat artistik, jadi aku jadi ingin memotretnya.”
Menanggapi pertanyaanku,
Aya-senpai menunjukkan layar kameranya sambil tersenyum malu-malu.
Itu adalah foto perosotan
berkarat yang berdiri sendirian di lahan kosong yang ditumbuhi rumput hijau
muda.
Difoto dari sudut rendah
itu, tidak ada rumah-rumah di sekelilingnya yang terlihat di foto itu.
Seolah perosotan usang itu
berdiri di padang rumput yang terisolasi dari hiruk-pikuk kota, dikelilingi
bunga liar dan langit senja.
“Wah, Aya-senpai, hasil
fotonya bagus banget!”
“Aku juga mau, boleh minta
data fotonya?”
Chiaki dan Yuno
membelalakkan mata dengan takjub.
“Tidak, justru foto ini
juga harus dimasukkan ke dalam album kita nanti.”
“Setuju. Sayang banget
kalau tidak dimasukkin.”
Kakeru dan aku pun tak
dapat menyembunyikan rasa kagum kami.
“Ah sudahlah, jangan
merayuku, ayo kita lanjut ke sesi pemotretan!”
Aya-senpai tampak sedikit
malu-malu.
Biasanya dia hanya
mengambil foto-foto formal untuk klub fotografi OSIS, jadi jarang mendapat
perhatian. Tapi melihat hasil jepretannya yang penuh sentuhan seni ini, kami
bisa melihat kemampuannya sebagai fotografer.
Jika kemampuan
fotografernya mumpuni, tinggal bagian kami sebagai model yang bekerja dengan
baik.
“Kalau direkonstruksi
seperti di foto, kami semua harus naik ke atas perosotan itu. Tapi tidak bakalan roboh kan?”
“Aku sudah mencobanya
sebelum kalian datang, dan sepertinya masih kuat. Selama kita tidak petakilan,
seharusnya baik-baik aja.”
Kekhawatiranku sepertinya
sudah dijawab Kakeru setelah ia mencobanya lebih dulu.
“Kalau gitu, ayo kita
bahas tentang posisi kalian.”
Aya-senpai membidikkan
kameranya dan kami naik ke atas perosotan yang sudah tidak kami naiki selama
lebih dari sepuluh tahun.
“Akemaru-kun paling atas,
lalu Asahi-chan, Aikage-kun, dan Amaya-chan. Pegang pundak orang yang di depanmu
kayak main kereta kereta-keretaan.”
Berbeda saat kecil dulu,
dengan ukuran tubuh kami yang sekarang, sedikit merepotkan untuk menempati
posisi sesuai instruksi.
“Ah maaf Seiji, kakiku
mengenaimu. Mau lepas sepatu aja?”
“Tidak apa-apa, kena dikit
doang. Tapi kakinya jadi susah masuk ya.”
“Sudah lama tidak duduk di
sini, ternyata perosotannya cukup terjal ya.”
“Jangan goyang-goyang
dong, sekarang kita jauh lebih berat dari dulu!”
“Kami tidak berat!” Yuno
dan Chiaki memprotes bersamaan.
Kami berusaha menempati
urutan sesuai instruksi, melipat lutut, dan mendekatkan badan satu sama lain,
lalu mengarahkan pandangan pada Aya-senpai.
“Hmm, ayo kufoto dulu buat
ngetes.”
Aya-senpai berkata begitu,
lalu mengambil satu jepretan dan menunjukkannya kepada kami.
...Dan kami semua
mengeluarkan erangan tidak yakin.
“Fotonya bagus...Mungkin?”
“Kelihatannya sempit banget
ya.”
Chiaki tidak dapat
memberikan pujian tulus, sementara Yuno mengatakannya dengan gamblang.
“Sama sekali tidak ada
keserasian dengan foto aslinya.”
“Jelas karena kita semua
sudah besar. Aku juga agak khawatir Shou dan Chiaki yang di ujung jadi agak
terpotong.”
Kakeru dan aku pun merasa
hasilnya kurang memuaskan sebagai foto rekonstruksi.
Ternyata meskipun diambil
di tempat dan pose yang sama, tidak menjamin akan menghasilkan foto yang kita
harapkan.
“Baik, mungkin tidak bisa
lagi sama persis, tapi mari kita atur ulang posisi kalian. Aikage-kun dan
Akemaru-kun, bisa lebarkan kaki dan luruskan? Asahi-chan dan Amaya-chan masuk
di antara kaki mereka. Asahi-chan duduk bersila.”
Aya-senpai memberi
instruksi penyesuaian posisi untuk kami.
“Begini?”
“Chiaki, aku naro kakinya
di samping kamu.”
“Ya, tidak apa-apa.”
Perosotannya cukup lebar,
jadi aku membuka kakiku dan sedikit meluruskan lututku.
Sambil memegang pinggir perosotan
dengan satu tangan agar tidak tergelincir, aku melewatkan kakiku di samping
kiri dan kanan Chiaki.
“Amaya-chan, ke atasan
dikit. Kayak kamu mau jatuh terlentang gitu.”
“Um, maaf, Seiji-kun.”
Chiaaki juga mengangkat tubuhnya dan menutup
jarak diantara aku dan dirimya, duduk di antara kedua kakiku.
Jaraknya sangat dekat... Mau tak mau aku
menyadari jaraknya.
Seorang gadis duduk di antara kedua kakiku,
aku menyandarkan dadaku ke punggungnya – seperti jarak seorang kekasih.
“Jadi, apakah aku harus duduk tegak? Jangan
terlalu gegabah. Seiji, aku minjam sedikit bahumu dong.”
Di belakangku, Yuno
bergerak dari posisi duduk olahraga ke posisi setengah berlutut.
Dia meletakkan tangannya
di bahuku dan mengubah posisi kakinya, sehingga tubuh bagian atas kami lebih
merapat dibanding sebelumnya.
“Mungkin lebih ke depan
lagi? Dengan begitu akan ada ruang untuk Akemaru-kun.”
“Lebih ke depan lagi?!”
Meski sedikit tergesa
dengan instruksi Aya-senpai, Yuno mendekatkan jaraknya lebih rapat ke
punggungku.
(Tidak tercium...! Masih
aman!)
Aku masih remaja
laki-laki, jadi kuharap dimaklumi kalau jadi sedikit sadar dengan dada Yuno
yang bergesekan di balik punggungku.
“Hey, masih ada jarak
kosong tuh? Keakraban sahabat masa kecil yang seharusnya masih belum terasa!”
Tapi sepertinya Aya-senpai
mulai memaksakan pendapatnya sendiri.
Seperti sutradara yang
memberi arahan tegas kepada aktor-aktrisnya.
“Cepat dong, kakiku
kesemutan nih!”
“Aku juga, lututku mulai
sakit.”
Kakeru dan Yuno mulai
mengeluh kesakitan.
“Aya-senpai memang gitu
kalau sudah dalam mode ini. Kita tahan dulu rasa malunya!”
Aku yang terhenti di
pertengahan perosotan juga mulai merasakan kakiku bergetar menahan posisi.
“Benar juga
ya...Seiji-kun, aku nyender ke kamu ya?”
Chiaki mendekatkan jarak
dan menyandarkan punggungnya menempel di dadaku.
“Ayolah Seiji, kamu juga
ke sini!”
Yuno menarik bahuku hingga
aku pun dalam posisi bersandar di dadanya.
Fuwaaa--- Sensasi lembut
di bagian belakang kepalaku membuatku sedikit kehilangan fokus.
Ah tidak, maksudku “kita
tahan dulu rasa malunya” itu agar ekspresiku tidak kaku, bukan supaya
benar-benar berdesakan seperti ini.
Tapi Yuno dan Chiaki sudah
mendekat dan saling menempel.
(Tln : uwahh kejepit di
antara 2 cewek)
Dengan posisi Chiaki di
depanku dan Yuno di belakangku, kami seperti berpelukan.
“Nah begitu, senyum ya. 3,
2, 1—“
Dengan semangat yang
tinggi, Aya-senpai menekan shutter kameranya.
Bukan hanya satu, tapi
berkali-kali dengan penyesuaian posisi, hingga matahari terbenam.
“Fuhh, akhirnya selesai
juga. Kerja bagus semuanya!”
Belasan menit kemudian,
kami yang sudah kelelahan beringsut menjauhi Aya-senpai yang terlihat
puas.
“Capeknya......”
“Siapa sangka perosotan
bisa menguras tenaga sebegininya?”
Yuno dan Chiaki
mengusap-usap kaki dan pinggangnya yang kelelahan.
“Aduuh, otot-ototku yang
jarang dipakai jadi kram nih.”
“Aku juga...kakiku agak
kesemutan...”
Kakeru memutar-mutar
bahunya sementara aku mengusap-usap pangkal pahaku.
“Maaf maaf. Tapi kerja
keras kalian terbayar kok?”
Aya-senpai membawa
kameranya mendekat ke arah kami.
“Woaah...”
Entah siapa yang
mengeluarkan seruan kagum itu. Setidaknya bukan hanya aku seorang.
“Ini foto kalian waktu
kecil.”
Aya-senpai menampilkan
foto masa kecil di samping hasil jepretannya di layar kamera.
Memang karena panjang kaki
dan tangan kita berbeda dari waktu kecil, kami tidak bisa mengulang pose sama
persis. Namun ekspresi ceria, pose polos, dan kedekatan tanpa memedulikan
gender, masih sama seperti dulu.
“Aku bakal nyatuin foto
lama dan barunya nanti di komputer rumah. Tapi—“
Aya-senpai menatapku,
seolah meminta pendapatku tentang hasil fotonya.
“Aku rasa bagus. Bahkan,
mungkin aku sedikit meremehkan prosesnya...”
Aku tulus terkagum.
Hanya dengan satu foto
yang baru saja diambil saja sudah memuaskan, apalagi nanti digabungkan dengan
foto lama.
Inilah maksud dari konsep
T&N, tapi baru benar-benar kurasakan setelah menjadi modelnya langsung.
“Sejujurnya, hanya dengan
foto ini udah sudah cukup bikin senang.”
Jika suatu hari nanti aku
ingin membanggakan teman-temanku, hanya dengan foto ini saja sudah lebih dari
cukup.
Aku bisa berkata – Sejak
kecil aku sudah berteman dengan mereka, hingga bisa mengambil foto seperti ini
bersama.
“Jangan nangis lagi lah.”
“Siapa yang nangis?”
“Mengingat kembali momen
memalukan saat terjatuh di kelas, Kakeru tidak dapat menahan untuk berteriak,
membuat Yuno dan Chiaki tertawa.
‘Meski pujian itu patut
disyukuri, tapi aku tidak berniat berhenti di satu foto aja.’ Aya-senpai
menutup layar kamera digitalnya.
‘Ya, ya, kita masih punya
banyak waktu.’
Ketika Yuno mengatakan
itu, aku menerima guncangan keras dalam diam.
Tersisa dua puluh satu
hari lagi sebelum aku pindah sekolah.
Kesempatan untuk mengambil
foto seperti ini tersisa dua puluh satu hari lagi.
Apa yang kuanggap sebagai
batas waktu, berubah menjadi sebaliknya hanya dengan satu jepretan foto.
○
Saat kami mendengar
pengumuman kalau anak-anak harus pulang, kami memutuskan untuk bubar.
Kakeru dan Aya-senpai
pulang dengan sepeda, sementara aku, Yuno, dan Chiaki berjalan kaki.
“Haa, ngomong-ngomong...”
“Ada apa, Yuu-chan?”
“Yah, meskipun kita senang
karena psrosotannya masih ada, tapi sayang tidak bisa melihat permainan
lainnya.”
Yuno menjawab, diikuti
ekspresi senada dari Chiaki, “Aku paham banget apa yang kamu rasain.”
“Dekat perosotan itu, ada
permainan yang seperti ini. Aku lupa namanya, tapi yang muter-muter.”
Dia mencoba mengingat
sambil mengisyaratkan, namun kalimatnya menjadi terlalu panjang.
“Oh, yang kayak
menjungkirbalikkan jungkat-jungkit berbentuk bola itu kan? Belakangan ini,
permainan itu jadi jarang terlihat gara-gara banyak kecelakaan.”
Yuno menirukan gerakan
berputar, lalu Chiaki tersenyum menatapku.
“Dulu, kamu dan Kakeru
memasukanku ke dalamnya lalu memutar-mutarnya sampai aku nangis kan?”
“Maaf ya.”
Sudahlah, tidak perlu
diungkit lagi kejahilan lama seperti itu.
“Ada juga kandang hewan
ya? Apa itu kandang kelinci?”
“Bukannya itu kandang
ayam?”
“Dua-duanya ada. Aku ingat
Chiaki dikejar-kejar ayam.”
“Hei, aku masih anak-anak
waktu itu! Ayam sebesar itu udah kayak Cockatrice bagiku.”
(Tln : Cockatrice adalah
makhluk legendaris dalam mitologi Eropa, sering digambarkan sebagai makhluk
yang memiliki tubuh seekor ayam jantan dan ekor seekor naga atau ular.)
Sepertinya ada monster
berbentuk ayam di game.
“Ah, kalian masih ingat pas
guru kita pindah tugas dan kita mengadakan pesta perpisahan?”
“Oh iya! Kita bernyanyi
bersama lalu guru itu menangis tersedu-sedu!”
Begitulah Yuno dan Chiaki
berbagi kenangan masa kecil.
“Ah!”
Tiba-tiba—Yuno
menghentikan langkahnya.
Chiaki yang mengikuti
pandangannya juga terdiam.
Ketika aku melihat ke
depan, aku pun menyadari alasan mereka berhenti.
Bersamaan dengan itu, aku
teringat kata-kata Kakeru.
“Mungkin sejak awal dia
tidak benar-benar ada di dunia ini?”
—Ada seorang anak di
sana.
“Dia berpura-pura jadi
anak-anak, mengajak bermain, lalu membawanya ke dunia lain.”
Seorang anak dengan tubuh
seperti anak SD.
Terlihat seperti anak
laki-laki yang feminim atau anak perempuan yang tomboy.
“Si ‘anak itu’ yang kabur
dari kita waktu itu, masih belum menyerah rupanya.”
Di waktu senja ketika
rumah-rumah merona kemerahan dan bayangan memanjang—waktu roh-roh muncul.
Sosok yang sama seperti
‘anak itu’ yang tak seorang pun tahu namanya, muncul dengan penampilan yang
sama seperti hari itu—
“Lalu muncul di depan kita
dengan penampilan yang sama.”
—Dengan langkah tegap
menuju ke arah kami.
“...”
Karena berdiri
membelakangi matahari terbenam, wajah anak itu tidak terlihat jelas.
Namun dari kejauhan,
sepertinya bibirnya tersenyum lebar.
Seolah baru saja bertemu
kembali dengan teman lama.
Aku tahu di dalam hati—ini
mustahil.
Kami sudah tumbuh dewasa
sementara dia masih anak-anak, ini mustahil.
Tapi entah kenapa, kami
memiliki firasat yakin bahwa dia adalah ‘anak itu’.
Di depan kami yang membeku
dengan punggung menegang seperti kena guna-guna, anak itu—
“Aku pulang.”
—berbelok dan masuk ke
salah satu rumah.
...Ternyata hanya anak
yang tinggal di rumah itu.
“Beuhh, kaget banget.”
Seperti diriku yang tanpa
sadar berteriak, Yuno dan Chiaki juga kehilangan tenaga.
“Ah, aku kaget. Ya benar,
ini waktunya anak-anak pulang ke rumah ya.”
Chiaki tertawa sambil
melepaskan tangannya yang mencubit seragamku.
“Karena Yuu-chan membuat
ekspresi kayak gitu, aku juga jadi ikut-ikutan.”
Ketika kulihat, Yuno masih
mencengkeram lengan bajuku.
“Yuno?”
Saat kupanggil, bibir Yuno
yang tertunduk mulai bergerak.
“Buh...”
Buh? Suara kami berdua
serempak.
“Buhampir mati aku!”
Yuno mengangkat wajahnya
dengan mata berkaca-kaca.
Matanya berair, tubuhnya
gemetar, tidak ada sedikitpun sisa keberaniannya yang sama seperti biasa.
Sepertinya dia mudah
meneteskan air mata saat mendapat tekanan dari hal-hal berbau mistis.
“Kamu penakut banget sih.”
“A-Abisnya! Kakeru cerita
kisah horor di sekolah! Penampilannya juga mirip!”
Yuno terburu-buru
melepaskan lenganku.
Memang bukan kisah seram
yang terlalu menakutkan, tapi sepertinya itu tertanam di kepala Yuno yang mudah
takut.
“I-Iya kan! Aku hampir
saja diseret ke alam lain!”
“Benar, aku kira itu
semacam legenda urban penculikan seperti Hachikubi-sama atau Slenderman!”
“Sudah sudah! Jangan
sebutkan istilah mistis mengerikan begitu!”
Chiaki dan aku panik
menyesuaikan obrolan, sementara Yuno menutup telinganya.
Timbul sedikit niat jahil
di benakku...
“Ngomong-ngomong Yuno, di
Jepang para dewa meninggalkan kuil mereka saat senja, dan makhluk jahat yang
takut pada kekuatan dewa mulai beraktivitas di waktu itu lho?”
“Kenapa malah bilang hal
mengerikan begitu sekarang?!”
“Sudahlah Seiji-kun, kalau
kamu menggoda gadis seperti itu, menurut aturan horor, kalian akan jadi korban
pertama lho?”
“Chii-chan juga
ikut-ikutan nakal!”
Kami masing-masing pulang
ke rumah.
Melintasi jalan pulang
seperti masa kecil dulu, dengan suasana riang seperti anak-anak.
○
Setelah makan malam, saat
sedang bersantai di kamar, ponselku memberi notifikasi pesan baru.
Pesan itu dari grup LINE
yang dibuat untuk album kenangan sebelum kepindahanku.
[Aya : Aku sudah
mengunggah foto ke album. Cek di aplikasinya ya.]
Aku membuka aplikasi album
foto yang kupasang saat istirahat siang hari ini.
Aplikasi sederhana yang
memungkinkan kami untuk mengunggah foto dan saling mengomentari, tanpa perlu
khawatir tentang pandangan pihak luar seperti di media sosial.
Ada tiga foto. Perosotan doang,
kami semasa kecil menaikinya, dan kami hari ini.
[Aya : Nanti aku juga bakalan
nambahin foto dulu dan saat ini yang sudah di gabungin dalam satu bingkai]
Ada juga ruang obrolan
dengan keterangan dari Aya-senpai.
Sepertinya aku yang harus
merespons pertama.
[Seiji : Terima kasih.
Fotonya bagus.]
[Seiji : Untuk foto
tambahannya, tidak usah buru-buru]
Sepertinya yang lain juga
menerima pesan yang sama, teman-teman masa kecil mulai merespons.
[Chiaki : Fotonya
bagus!]
[Yuno : Keren banget! Ini
bisa disimpan selamanya?]
[Kakeru : Bisa pilih
bingkainya juga ya. Aplikasinya lumayan juga.]
Dari ikon mereka, Chiaki
menggunakan foto kucing peliharaannya, Yuno mengejutkan dengan karakter manga,
Kakeru entah kenapa memakai gambar tari Singa, Aya-senpai menggunakan foto
pemandangan, sementara aku masih ikon default.
Aku mencoba mengetuk
gambar untuk melihatnya lebih dekat lagi.
Fotoku yang berada di
antara Chiaki dan Yuno, terlihat sedikit menguntungkan.
(Akan kujaga baik-baik)
Dengan hati yang tulus
tanpa cela, aku membuat tekad seperti itu.
“Seiji?”
“Ya, ada apa Bu?”
Terdengar suara ibuku
disertai ketukan di pintu. Setelah meletakkan ponsel dan bangkit dari kursi
untuk membuka pintu...
“Ini, ada foto tambahan.”
Foto-foto yang dibawa
ibuku rupanya adalah tambahan.
“Tambahan? Oh, jadi Ibu
mencarinya . Maaf, terima kasih.”
Sepertinya ada foto lain
yang disimpan di tempat berbeda selain yang kuterima kemarin.
“Mau masak apa untuk makan
malam?”
“Terserah Ibu aja. Kalau
Ibu bilang, aku bisa memasaknya sendiri.”
“Ibu kan bukan orang
sakit. Nanti kalau perutku sudah lebih besar, baru minta tolong ya.”
Ibuku tertawa lebar lalu
keluar dari kamar.
Mungkin lebih baik meminta
dimasakkan sesuai selera, karena wanita hamil biasanya mengalami perubahan
rasa.
Yang jelas, kulihat dulu
foto-foto tambahan ini.
“Oh, waktu ini ya...”
Fotonya dari masa SD
kelas, di gedung olahraga kotaku.
Yang berfoto bersamaku
adalah—Yuno.
Ini foto dari kelas
badminton yang kami ikuti waktu kecil.
Aku dan Yuno saat kelas 2
atau 3 SD, berpose memegang raket dengan senyum lebar.
(Waktu itu aku masih lebih
kuat darinya)
Setelah itu Yuno terus
mengungguliku, hingga akhirnya aku kalah telak darinya sampai pindah sekolah.
Ngomong-ngomong—
“Di SMP aku ikut klub
badminton, tapi sebelum pindah ada klub di daerah ini.”
“Yuu-chan tinggi ya, pasti
jago. Kamu ikut di SMA juga?”
“Hmm, sekarang sih tidak,
tapi...”
Aku teringat percakapan
seperti itu antara Yuno dan Chiaki.
(Waktu itu kukira karena
dia kurang sehat, tapi ternyata bukan ya. Kenapa dia berhenti?)
Sepertinya aku lupa
bertanya alasannya.
Terselip makna lain dari
‘sekarang tidak bermain’ yang dia katakan.
(...Karena aku pindah
sekolah?)
Mungkin dia bermain saat
SMA tapi berhenti setelah aku pindah sekolah?
Tentu saja, belum tentu
ada alasan berat di baliknya.
Cukup masuk akal jika
alasannya karena sulit bergabung ke klub yang anggotanya sudah menjalin
hubungan dekat, sebagai murid pindahan.
Tapi—
“Nanti kamu akan menyesal.”
Saat Yuno mengusulkan ide
membuat album kenangan, dia mengatakan itu.
(Yuno...)
Hanya sesaat saat itu,
wajahnya seperti orang yang sudah mengerti sesuatu secara mendalam.
“Apakah dia menyesal...?”
Aku terlalu fokus pada
foto bersama, sampai melupakan hal ini.
Asahi Yuno adalah—seorang
‘murid pindahan’.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.