Chapter 9
19 April, 17 hari lagi • Pagi
Melewati hari Sabtu, hari
Minggu tiba.
Hujan telah berhenti dan
langit cerah. Sisa tetesan hujan yang tersisa di sepanjang jalan mengering
dalam cuaca hangat.
Bunga sakura di lapangan SMA
Tokiomi melepaskan kelopak terakhirnya yang tersisa ke angin.
Di dalam gedung olahraga
dekat pohon sakura itu –
“SMA Tokiomi vs SMA
Shinryou.”
Itulah yang tertulis di
papan skor yang menunjukkan angka setelah membuka kain kuningnya.
“...Eh!?”
Tentu saja yang terkejut
adalah Yuno.
Di gedung olahraga itu ada
klub bulu tangkis Tokiomi yang sedang bersiap untuk pertandingan latihan.
Sepertinya kami, anggota “Panitia
Ten’aru”, ikut menyaksikan di sana.
“Oh, kalian datang ya.
Aikage-kun.”
“Mohon bantuannya,
Senpai.”
Siswi senior yang
menghampiriku adalah teman Rin-san.
Dia adalah kapten klub
bulu tangkis, yang diperkenalkan padaku saat istirahat makan siang beberapa
hari lalu di kantin.
“Lawan kita kayaknya akan
segera datang.”
Kapten melirik Yuno
sekilas lalu tersenyum riang.
“Kalau mau ikut
bertanding, bersiaplah ya?”
Meski mendengar suara
Kapten, pandangan Yuno masih terpaku ke papan skor.
Kapten kembali ke para
anggotanya, dan perhatian kami semua tertuju pada Yuno.
Akhirnya, dengan suara
derit yang seperti terdengar di pendengaranku, Yuno menoleh ke arah kami.
“...A...pa...mak...sudnya...ini?”
Tatapan Yuno bukan tertuju
pada Chiaki, Kakeru, atau Aya-senpai, melainkan padaku.
“Kenapa klub bulu tangkis
Shinryou, SMA lamaku, dijadwalkan untuk latih tanding dengan kita?”
“Karena akulah yang
mengaturnya.”
Aku menjawab jujur, tapi
kalimatku terdengar seperti perkataan seorang penipu licik.
“Mengatur katamu? Gimana
caranya!?”
“Aku mengusulkannya pada
Kapten klub dan guru pembimbing. Rin-san membantuku sebagai penghubung.”
“Membantumu? Di istirahat
makan siang beberapa hari lalu itu?”
Aku mengangguk. Saat itu
aku pergi meninggalkan Yuno dan yang lain.
“Kamu bilang pengen
mencobanya lagi kan?”
“Iya sih, tapi aku tidak
menyangka bakalan beneran terjadi!?”
- Malam
setelah mendengar cerita Yuno tentang SMA lamanya, aku menelepon Rin-san.
-
Isinya adalah memintanya
menjadi penghubung dengan klub bulu tangkis Tokiomi.
Lalu melalui guru
pembimbing, kami mengajukan latih tanding ke Shinryou.
“Kayaknya pertandingan
terakhir bagi klub bulu tangkis kami kurang memuaskan. Ditambah dengan
kebetulan Yuno pindah ke sekolah ini, akhirnya mereka menyetujui latih
tanding.”
“Tapi tetap aja, ini
terlalu mendadak...”
“Ya, aku sendiri juga
merasa memaksakan keinginanku. Tapi begitu aku bilang ini kesempatan merekrut
mantan ace Shinryou yang dulu lolos ke tingkat nasional, mereka langsung
setuju.”
“Haaahh!?”
Yuno berteriak kaget
mendengar dirinya dijadikan umpan.
“Wajar kalau kamu marah, kamu
boleh memukulku nantinya nanti. Tapi sebagai gantinya, dengarkan aku dulu
sampai selesai.”
Aku memegang pundak Yuno
dan menatapnya lekat-lekat.
Yuno terkejut dan menahan
suaranya. Orang-orang di sekeliling mulai menatap penasaran.
“Aku juga sudah menelepon
pelatih dan kapten Shinryou. Setelah aku ceritakan kalau Yuno masih terbebani
soal pertandingan itu dan ragu untuk bergabung di klub bulu tangkis di
sini...mereka terdengar kecewa.”
Hanya dengan mendengar
kesan yang kusampaikan, Yuno menahan napas.
“Pas aku bilang pengen
memberikan kesempatan bagi Yuno yang sedang bimbang, mereka langsung setuju
tanpa ragu.”
Saat mengingat momen itu
dan tersenyum, keraguanpun lenyap dari wajah Yuno.
“Mustahil... padahal aku
sudah pindah sekolah...”
Yuno terlihat bingung.
Setelah kekalahan telak di
turnamen nasional dan suasana canggung setelahnya, dia akhirnya pindah sekolah.
Dia tidak menyangka mereka
akan datang jauh-jauh untuknya.
Ah, mungkin memang begitu.
Setelah pindah sekolah, dia jadi murid sekolah lain, jadi tak perlu terlalu
dipikirkan. Bahkan jika dipikirkan, mereka tak akan repot-repot naik kereta
hingga kemari.
Tapi, mungkin terdengar
mengejutkan – itulah yang akan dilakukan “orang-orang baik” itu.
“Yuno, aku akan mengatakan
sesuatu yang sedikit lancang – ikutlah bertanding untuk SMA lamamu. Ulangi lagi
pertandingan nasional waktu itu.”
“Eh!?”
Yuno yang sekarang adalah
murid Tokiomi, tapi aku ingin dia bertanding untuk pihak sekolah lain dalam
latih tanding.
Dengan begitu, dia bisa
mengulang lagi pertandingan yang meninggalkan penyesalan di hatinya.
“Tapi, mana bisa begitu...
sekarang aku murid di sini.”
“Memang tidak normal. Tapi
Yuno belum resmi bergabung di klub bulu tangkis Tokiomi.”
Saat aku menegaskan fakta
itu, Yuno tersentak kaget.
“Ini bukan pertandingan
resmi dan kedua pihak sekolah juga sudah menyetujui. Kita bisa merekonstruksi
pertandingan waktu itu dengan pemain yang sama di sini sekarang. Keraguan Yuno
untuk bergabung di klub bulu tangkis di sini secara tidak sengaja membuka
pilihan ini.”
Akhir-akhir ini aku memang
tengah berusaha menuju situasi ini.
Berkat kerja sama kedua
klub bulu tangkis, rencana ini bisa terwujud lebih cepat dari dugaanku.
“Waktu itu dan sekarang
(Then and Now) – ya, kita bisa mengulangnya hari ini di sini?”
Ini bagaikan T&N –
rekonstruksi pertandingan dengan situasi yang disamakan semirip mungkin.
Aku bukan pesulap, jadi
tidak bisa mengulang masa lalu.
Tapi kalau ada masa lalu
yang ingin diulang, inilah cara satu-satunya.
Sebagai ketua dengan sikap
serius seperti biasa, negosiasi dengan cara yang benar adalah satu-satunya
cara.
“Bohong kan? Kenapa sampai
segininya?”
“Sudah kubilang kan? Aku
tidak pengen kamu menyesal.”
“Caramu bicara! Kamu kira
berapa orang yang mendengar!?”
Aku mendapat protes yang
tidak masuk akal. Yuno memandang sekeliling lalu kembali menatapku.
“Maksudku ini curang! Ini
benar-benar curang kan!”
“Curang gimana?”
“Kalau mau merencanakan
hal seperti ini, kamu harus memberitahuku dari awal! Dengan begini aku tidak
punya pilihan lain kan!”
“Tidak, kamu masih punya
pilihan. Meski Yuno tidak ikut bertanding, latih tandingnya akan tetap
dilangsungkan kok. Kalau menolak, tidak ada yang menyalahkan Yuno dan tidak
merepotkan siapa pun.”
Dari pihak Tokiomi maupun
Shinryou, aku sudah dapat janji bahwa jika Yuno ingin ikut, mereka akan
memperbolehkannya.
“Aduuhh, jangan lupakan
kami dan lakukan kencan masa muda kalian sendiri dong.” Lalu Kakeru angkat bicara seolah sudah tidak
tahan.
“Aku juga mau ikut.”
Kakeru menyunggingkan
senyum iseng dan menatap Yuno.
“Aku sudah dengar
ceritanya dari Seiji. Kayaknya kamu punya masalah, jadi biar kukatakan.”
Sambil menunjuk Yuno,
Kakeru melanjutkan:
“Dengar ya? Dari awal kita
membuat album kepindahan bukan untuk ‘perpisahan’, tapi biar kita tetap bisa
berteman setelah Seiji pindah. Terus apa kamu berniat ‘menghapus’ teman yang
begitu berharga sampai kamu menyesal begitu? Itu bertentangan dengan semangat Panitia
Ten’aru!”
Kata-katanya terdengar
seolah dia mengungkapkan apa yang dia pikirkan begitu saja.
Namun apa yang hendak
disampaikan Kakeru sepertinya sampai ke Yuno.
“Baikanlah dengan mereka.
Kalau kamu menyelesaikan masalah lamamu dengan baik, kamu mungkin bisa tertawa
dan berpikir ‘kenapa dulu aku sampai dibuat bingung dengan hal sekecil ini?’ Dah
itu aja.”
Setelah mengatakan apa
yang ingin dia katakan, Kakeru mengipasi wajahnya yang sedikit memerah dengan
tangan.
Anggota klub bulu tangkis
yang tidak tahu situasinya menepuk tangan sambil berkata “Wooaah~”.
“Tidak, tapi ini terlalu
mendadak... ah benar juga, perlengkapan bulu tangkisku ada di rumah!”
“Ini, Yuu-chan.”
Yang disodorkan Chiaki
kepada Yuno adalah seperangkat perlengkapan bulu tangkis milik Yuno.
“Aku minta Bibi buat
membawanya kemari.”
Perlengkapan yang
diberikan ke tangan Yuno yang terbengong itu dibawakan oleh ibunya menggunakan
mobil.
“Eh? Itu
artinya...Chii-chan dan yang lain juga terlibat?”
Yuno akhirnya
menyadarinya, dan Chiaki tersenyum padanya.
“Maaf ya? Kami terpaksa
bekerja sama dengan rencana Seiji-kun.”
“Jangan berlebihan. Aku cuman
ngingetin kalian gimana awal mula terbentuknya Panitia Ten’aru.”
Aku menambahkan penjelasan
Chiaki.
“Yuu-chan, tenangkan
dirimu.”
Chiaki menggenggam tangan
Yuno.
“Kamu pasti marah kan?
Diatur di belakang seperti ini, jadi pusat perhatian. Pasti canggung bertemu
teman-teman dari SMA lamamu. Tapi – semuanya bekerjasama setelah tahu
semuanya.”
Kali ini Chiaki, yang
biasanya tidak terdengar begitu tegas, terlihat serius.
“Yuu-chan, semua sangat
mengharapkanmu!”
Kata-kata ‘diharapkan’ itu
memiliki bobot tersendiri dari Chiaki.
Chiaki juga pernah
direkomendasikan untuk pencalonan ketua OSIS.
Di satu sisi dia tahu
beban dari ‘harapan’, di sisi lain dia juga tahu rasa bangga dari itu.
“Kalau kamu bisa memenuhi
harapan ini, pasti akan sangat keren!”
“Ah, uh...”
Seperti kehabisan
kata-kata untuk membantah, Yuno memandang sekeliling.
Pandangannya terhenti di
pintu masuk gedung olahraga.
“Permiisi! Shinryou sudah dataaang!”
Diiringi suara lantang
khas orang olahraga, beberapa orang pria dan wanita muncul.
Seperti yang mereka sebut,
mereka adalah mantan teman-teman Yuno dari Shinryou.
“Yui-chan......”
Yuno bergumam menyebut
nama seseorang.
Siswi Shinryou yang
bertatapan dengan Yuno terlihat terkejut sebelum tersenyum lembut.
Dia adalah gadis desa yang
sederhana dengan rambut hitam pendek – maaf jika terdengar tidak sopan.
Siswa-siswi Shinryou lain
juga menyadari, dan melambaikan tangan dengan senyum.
Mungkin di saat itulah
hati Yuno telah bulat.
“Seiji.”
“Ya.”
Dengan wajah cerah, Yuno
menatapku dan aku mengangguk untuk menyemangatinya.
Namun tiba-tiba Yuno
mendekat dan mencengkeram dadaku –
“Ingat ini nanti ya?”
Dengan wajah tertutupi
bayangan, Yuno mendelik dengan tatapan menusuk, lalu berlari menghampiri siswa
Shinryou.
Logat Hiroshima yang
ditahannya...sangat menakutkan.
Tapi sepertinya dia akan
ikut dalam latih tanding.
Kekhawatiran berikutnya
adalah apakah suasana akan canggung antara Yuno dan siswa Shinryou.
“Eh, bukan gitu! Dia bukan
pacarku atau apa-“
Melihat Yuno disambut
dengan sorak-sorai dan digoda, sepertinya kekhawatiran itu tidak beralasan.
Setelah memutuskan, Yuno
bergerak cekatan.
Pertama dia menyapa
pelatih dan kapten Shinryou, lalu dengan terburu-buru menyapa klub bulu tangkis
Tokiomi juga.
Setelah masuk ke ruang
ganti, dia kembali dengan pakaian olahraga bulu tangkis.
Yuno mengikat rambutnya ke
belakang dan mengenakan baju olahraga berlengan pendek dan celana pendek.
Dengan raket di tangan dan
tas berisi perlengkapan lain di bahu, penampilannya sudah seperti atlet yang
akan bertanding.
“Ah, memang foto inilah
yang kumaksud.”
Di sana, Aya-senpai
bersuara setelah melihat kamera digitalnya.
Saat aku melihatnya,
sebuah foto terpampang di layar kamera digital itu.
“Aku mencari-cari di data
klub fotografi karena merasa familier.”
Foto itu memperlihatkan
pertandingan bulu tangkis di sebuah gedung olahraga entah di mana.
Bukan di gedung olahraga Tokiomi.
Namun di pakaian pemain tertulis ‘Tokiomi”.
“Ini foto Turnamen
Nasional. Seharusnya jadi kandidat foto untuk diunggah di website sekolah, tapi
lihat ini.”
Aya-senpai memperbesar bagian yang
memperlihatkan pemain dari lawan Tokiomi, Shinryou –
“Ini Asahi-chan kan?”
Itu adalah Yuno saat masih
di Shinryou.
Rambut hitam naturalnya,
wajah berkilau karena keringat tanpa riasan.
Penampilannya yang sangat menggambarkan
anggota klub olahraga, memperlihatkan bahwa dia benar-benar menaruh masa
mudanya di sana.
Di sampingnya, ada
temannya yang terlihat polos seperti yang tadi dilihat.
“Eh? Seriusan?”
Kakeru terlihat terkejut.
Chiakijuga, membandingkan
foto dan Yuno sekarang dengan pandangan yang sama.
“Begitu... Dia benar-benar
berjuang ya.”
Daripada penampilannya
yang lebih modis dibanding dulu, ekspresi Yuno saat menghadapi pertandingan
lebih membuat mereka terhanyut.
Menurut cerita Yuno, ini
adalah pertandingan yang sangat tidak berjalan sesuai keinginannya, di tengah
tekanan yang kuat.
Dalam situasi seperti itu,
dia tidak menyerah dan terus berjuang – wajah seseorang yang petarung.
“Mungkin aku bisa
merekonstruksi komposisinya... Biarkam aku cari sudut yang bagus dulu!”
Aya-senpai mulai mencari
posisi terbaik untuk memotret, menjauh dari kami.
“Oh, mereka datang. Hei, sini
sini!”
Lalu Kakeru melambai ke
arah pintu masuk gedung olahraga.
“Hei, bukannya mau lihat
bunga sakura?”
“Eh? Bukannya kita mau
jalan-jalan di kota?”
“Oh? Asahi-san, bisa ikut
latihan tanding hari ini?”
Ada Umizu siswa ergaya
klub olahraga, Kanae siswi bergaya gal, wakil ketua, dan beberapa teman sekelas
lainnya.
“Shou yang mengundang
mereka?”
“Rencananya hari ini kita
semua mau lihat bunga sakura sambil bermain, kan? Semakin banyak yang mendukung
semakin baik.”
Sepertinya Kakeru yang
mengumpulkan mereka.
“Ah syukurlah, kayaknya
masih belum mulai.”
Bahkan Rin-san juga
datang.
“Rin-san? Repot-repot
datang menonton?”
“Aku juga cukup tertarik.
Aku juga punya teman di klub bulu tangkis.”
Siswa lain yang kebetulan
ada di sekolah di hari libur karena kegiatan klub atau komite, juga muncul
setelah mendengar ada latihan tanding.
“Penontonnya jadi banyak
nih, tapi Yuu-chan baik-baik aja tidak ya? Grogi atau apa gitu...”
Chiaki menarik lengan
bajuku dengan khawatir, mengawasi keadaan Yuno.
“Dibanding pertandingan
nasional, ini pasti terasa sepi.”
Tidak ada ketakutan di
wajah Yuno yang sedang pemanasan meskipun menjadi pusat perhatian.
Teman, lawan tanding,
pertandingan dan penonton... Semuanya direkonstruksi sama persis.
‘Saat itu’ yang ingin Yuno
ulang kembali, telah terpenuhi. Selebihnya hanya tinggal—
(Tunjukkan ‘momen’ yang
ingin kamu rekam itu, Yuu-chan)
--Yuno sendiri harus
memainkan pertandingan (T&N) yang memuaskannya.
Pertandingan dimulai.
Shuttlecock melayang di
udara dari servis Yuno dan rekannya , dibalas oleh raket Tokiomi.
Bagi penonton awam, ini
hanya pertarungan tenang. Mungkin di antara penonton yang terdiam itu, ada yang
mulai merasa bosan—
“Uh!”
Bunyi keras seperti
letusan senjata, shuttlecock berputar-putar di udara sebelum menghantam lantai.
Yuno telah menyerangkan
smash ke arah Tokiomi tanpa suara sedikit pun.
“Bagus!”
“Sial, ketinggalan....Aku
harus membaca gerakannya.”
Kakeru bersorak,
bersahutan dengan teriakan teman sekelas dan siswa Shinryou, juga suara Aya-senpai
yang kecewa karena ketinggalan momen itu.
“Wah, Yuno-chan
hebat!”
“Ya, mengambil poin
pertama dengan situasi kayak gitu memang patut diacungi jempol.”
Yang penting, Yuno yang
tadi agak kaku bisa mencetak poin itu.
Ini hanya latihan
pertandingan dan masih awal, seharusnya mereka masih mengamati satu sama lain
sambil menaikan tempo perlahan – namun Yuno dengan pukulan itu merebut
inisiatif dan mengubah suasana.
“Setidaknya, mentalnya
sedang bagus banget.”
Ekspresi Yuno saat
pertandingan ini sama persis dengan fotonya di turnamen nasional dulu.
Smash dari Yuno mengubah
atmosfer di sekitar. Mata kami sebagai penonton mengikuti laju shuttlecock
dengan seksama.
Ketika Tokiomi membuat
serangan balik dan menyamakan skor, siswa Tokiomi mengeluarkan sorakan
kecil.
Bagian kuning papan skor
dibalik, menunjukkan “1-1”.
“Seiji, dulu kamu main bulu
tangkis kan? Ada yang bisa kamu jelaskan?”
“Ya tapi aku cuman main
waktu SD...”
Saat aku mengangkat wajah
dari pertanyaan Kakeru, Chiaki dan teman sekelas lain juga seperti menunggu
penjelasanku.
“Untuk sementara, formasi
pasangan Tokiomi adalah tipe fleksibel, sementara pasangan Yuno dan Shinryou
adalah tipe agresif yang kaku.”
“Formasi? Cara bertahan
atau semacamnya?”
Chiaki memiringkan
kepalanya. Cara bertahan juga penting, tetapi lebih dari itu –
“Posisi. Dalam ganda, gaya
permainan berubah tergantung gimana dua orang itu berbaris.”
Rin-san yang berada di
dekatnya mulai menjelaskan seperti peran eksplikasi dalam manga olahraga.
“Kalau dua pemain berbaris
berdampingan, itu disebut ‘Side to Side’, formasi bertahan. Pasangan
Yuno dan Shinryou berbaris depan dan belakang, yang disebut ‘Top & Back’,
formasi menyerang. Sedangkan Tokiomi berbaris menyilang, yang disebut ‘Diagonal’,
formasi yang dapat dengan luwes beralih antara menyerang dan bertahan.”
Mereka secara alami
menggunakannya sesuai situasi, tetapi ada perbedaan dalam hal penekanan
prioritas.
“Mana yang lebih
menguntungkan?”
“Tidak bisa dikatakan
karena ini bukan suit.”
Jawaban kepada Kakeru
terputus oleh poin yang dicetak Tokiomi. 2-1, Yuno dan yang lainnya tertinggal.
“Inilah kelemahan pasangan
Yuno.”
Penyebab kekalahan Yuno dan
rekannya di turnamen nasional terlihat.
Tidak bisa menyerang
hingga akhir, juga tidak bisa bertahan hingga akhir – mereka dikalahkan oleh
formasi menyerang berisiko tinggi yang ditopang kemampuan lawan.
4-1.
Mengingat turnamen itu
baru berlalu, mereka belum sempat berlatih untuk membalikkan keadaan.
Dalam pertandingan ini,
keadaan tidak menguntungkan bagi Yuno dan rekannya.
7-1.
Ekspresi Yuno dan rekannya
mulai mengeras. Terutama ekspresi anak yang menjadi pasangannya – yang
dipanggil Yui, terlihat jelas.
Ini pasti mengingatkannya
pada kekalahan di turnamen nasional.
Saat tubuhnya tidak
bergerak sesuai keinginan, setiap gerakannya menjadi kesalahan, dan menyebabkan
retakan permanen dalam persahabatannya – kekalahan itu pasti menjadi trauma
bagi Yuno dan juga Yui.
Pertandingan yang sudah
berjalan sepihak itu membuat aku dan teman-teman yang dekat dengan Yuno
terdiam.
“Aku sudah mendengar
situasinya, tapi ini bisa jadi fatal kalau salah langkah ya?”
Rin-san memperingatkanku.
“Aku mengerti. Kalau
sampai fatal, tidak hanya persahabatan mereka yang hancur dan membuat mereka
muak pada bulu tangkis, tapi mereka juga mungkin akan membenciku dan memutuskan
hubungan.”
“Seiji-kun, itu....”
Chiaki menatapku dengan
wajah ngeri.
Situasi yang kubuat memang
cukup berisiko secara persahabatan.
Meskipun hanya
pertandingan latihan, ini adalah taruhan besar yang mempertaruhkan hubunganku
dengan Yuno.
“Aku agak mengerti
pemikiran Seiji. Bertekad bulat untuk bisa berteman dengan Yuno setelah pindah
sekolah?”
Kakeru tersenyum melihat
jalannya pertandingan.
“Tapi – aku tidak suka
caranya.”
Kakeru mengkritik Yuno
meski menilai niatnya baik.
“Rasanya seperti dia memandang
kemari hanya untuk memunggungi masa lalunya.”
Perkataan Kakeru membuat
kami terdiam.
“Ugh!!”
Mungkinkah Yuno mendengar
perkataan Kakeru barusan?
“Wah, suaranya
menggelegar.”
Kakeru terkejut mendengar
dentuman smash keras dari Yuno.
11-1.
Meski sedikit melenceng
dari garis, pasangan Tokiomi sudah hampir menangkisnya dengan raket mereka.
Yuno menghela nafas
kecewa, namun helaan itu tidak terdengar berat.
Dalam bulu tangkis, pertandingan
dimainkan hingga 21 poin, dengan istirahat singkat saat salah satu pihak
mencapai 11 poin.
Menggunakan jeda itu, Yuno
berbicara kepada pasangannya, Yui.
“Ayo menyerang.”
Tanpa peduli selisih poin
yang mengharuskannya bertahan, Yuno tersenyum.
Yui yang tadinya berkedip,
kini juga tersenyum dan menyahut “Ya.”
11-2.
Sepertinya ketegangannya
sudah hilang, Yui membalas dengan pukulan push yang tenang.
13-6.
Meski poin mereka diambil,
namun mereka tidak menyerah dan berusaha membalas.
“14-8”
Skor memang berbeda,
tetapi Kakeru dan Chiaki mulai menyadari bahwa mereka saling kejar-mengejar.
“16-11”
Ah, bukan hanya saling
kejar-mengejar, mereka bahkan mempersempit jarak. Tingkat perolehan poin Yuno
dan rekannya meningkat dengan cepat.
“17-13”
Perbedaan nyata
dibandingkan sebelumnya adalah bahwa mereka tidak merasa tertekan saat
kehilangan poin.
“18-15”
Pukulan keras Yuno mulai
efektif.
Meski pukulan keras bisa
dikembalikan, tapi sulit mengarahkannya ke arah yang ideal. Mereka memaksa
lawan mengembalikan ke arah yang buruk, lalu menyerangnya dengan tajam hingga
menyentuh lantai. Yuno lah yang menciptakan peluang itu, dan rekan gandanya Yui
yang mematikannya.
“19-17”
“Ngomong-ngomong, aku baru
ingat...”
Chiaki tiba-tiba
bernostalgia sambil mengamati pertandingan.
“Yuu-chan adalah yang
paling lambat bisa naik sepeda kan?”
Dia membawa kisah lama
yang sudah lama terlupakan.
Meski punya bakat
olahraga, entah kenapa Yuno lemah dalam hal kendaraan.
Ketika waktunya melepas
roda bantuan sepeda tiba, Kakeru bisa duluan, lalu aku dan Chiaki juga melepas
roda bantuan, sementara Yuno hanya bisa maju beberapa meter dengan gemetaran.
“Shou ngeledek dia sampai
nangis ya.”
“Ah iya, aku ingat Yuu
melempar sepedanya ke kita karena kesal diledek waktu jatuh.”
Aku dan Kakeru tertawa
kecil sambil mengikuti laju shuttlecock, teringat memori lama itu.
“20-19”
“Tapi besoknya, Yuu-chan tiba-tiba
muncul dengan wheelie keren kan?”
Suara riang Chiaki
mengingatkanku dan Kakeru pada kejutan saat itu.
Bagi anak kecil yang baru
bisa lepas roda bantuan, wheelie adalah trik pahlawan.
(Tln : "Wheelie"
adalah tindakan mengangkat roda depan kendaraan bermotor, seperti sepeda motor
atau sepeda, sehingga hanya roda belakang yang menyentuh tanah. )
“20-20”
Poin keduanya sama-sama 20.
Pemenangnya adalah pihak yang mendapat 30 poin duluan atau berjarak dua poin
dari lawan.
“Dia pasti berlatih sampai
larut malam ya.”
Chiaki menggumam, lalu
Yuno kembali melancarkan pukulan keras.
Pasangan Tokomi berusaha
mengembalikan, tapi Yui langsung memotong dan mendaratkan shuttlecock di area
belakang lawan.
“20-21”
Akhirnya mereka
membalikkan keadaan. Yuno dan Yui mengancam Tokomi.
Rin-san dan yang lain yang
mendukung Tokomi terdiam membisu.
“Tapi maksudku...”
Aku paham apa yang ingin
dikatakan Chiaki dengan senyumnya.
Asahi Yuno – Panglima
cilik kami, keras kepala dan pantang menyerah.
Aku mengatakan ini meski
masih siswa di sini, tapi bagi kalian anggota bulu tangkis Tokomi –
“Jangan remehkan Yuu-chan
kami hanya karena kalian menang sekali doang ya,” kata Chiaki, tepat sebelum
shuttlecock mendarat.
“20-22”
Setelah membuat comeback
menggempur, Yuno dan rekannya memenangkan set pertama.
○
“0-1”
Tidak ada ‘seandainya’
dalam hidup.
Namun manusia tidak bisa
membiarkan ‘saat itu’ yang disesalinya, tanpa mencoba ulang.
“0-2”
Aku juga begitu –
kekalahan di turnamen nasional, berulang kali kubayangkan ulang dalam
pikiranku.
Jika saja kukembalikan
shuttlecock itu seperti ini, jika saja tak perlu mengambil pukulan keras itu,
jika saja tak melewatkan peluang itu, jika saja tak melakukan kesalahan itu –
terus memutar khayalan sia-sia tanpa bosan.
“1-3”
Karena itu, ini pasti
semacam kesalahan.
Khayalan seperti itu
diputar dengan mudahnya untuk mengurangi stres diri sendiri.
Namun kini – pertandingan
nyata malah berjalan seperti khayalanku!
“2-6”
Di set kedua, kami unggul
dari awal.
Alasannya bisa apa saja.
Ada pemain yang bergerak
berbeda di pertandingan dan latihan, meski kalah tapi karena sudah pernah
bertanding bisa menangkap kebiasaaan lawan. Tapi aku tahu alasan utamanya.
Jawabannya tersebar dalam
hari-hari yang kuhabiskan setelah pindah sekolah.
“Mou, Yuu-chan, bersikap
aja kayak biasanya.”
Saat teman-teman dekatku menyadari
kepura-puraanku yang kekanak-kanakan setelah kepindahanku.
“Menurut pengalamanku,
menjadi diri yang berbeda secara tiba-tiba, itu tidak akan berhasil loh.”
Ketika aku kembali menjadi
diriku sendiri setelah menciptakan karakter yang tidak sesuai diriku dan gagal.
“Ah, tunggu, itu loh, bertahan
hidup saat masuk hutan, itulah yang pengen aku bilang!”
Kata-kata ringan dari
Chiaki, Seiji, dan Kakeru secara tidak sengaja membentuk penyebab kekalahannya.
- Aku
gagal saat mencoba berperan sebagai orang lain.
-
Aku bertahan dengan cara
yang tidak biasa saat menghadapi tekanan turnamen resmi sebelum pindah sekolah.
Aku berusaha tidak
kebobolan, khawatir dengan penampilannya.
Kesalahan yang sama
seperti saat aku mencoba memperbaiki diriku untuk kepindahan sekolah.
Seorang siswi SMA yang
modis dan berani? Seorang murid pindahan yang lemah dan lembut? – Siapa diriku
sebenarnya?
Jika aku hanya
berpura-pura tegar tapi malah menjadi penakut, baik serangan maupun pertahananku
akan berantakan. Tentu saja aku akan kalah.
“3-8”
Bukan masalah kebobolan,
yang penting bisa mencetak poin lebih banyak.
Sejak awal, gaya seorang
samurai desa adalah membalas 3 poin setelah kebobolan 1 poin.
Ketika aku kembali menjadi
diriku sendiri seperti biasanya, keadaan pertandingan berubah drastis.
“5-10”
Serangan melengkapi
pertahanan – tentu saja lawan tidak bodoh dan akan mengambil peluang untuk
membalas, tapi mengatur serangan untuk memancing serangan balik bukanlah hal
sulit jika sudah terbiasa. Bisa menghadapi serangan balasan yang sudah
diperkirakan dengan tenang.
Aku tidak bisa melakukan
ini di turnamen. Tapi sekarang aku bisa.
“6-12”
“Yossha!”
Setiap kali mencetak poin,
dipandu oleh seruan Kakeru, Chiaki, teman sekelas lainnya mengeluarkan teriakan
kegembiraan.
Sementara Seiji memberi
komentar dengan wajah serius, Aya-senpai memotret momen itu.
“Hei, kalian ini ngedukung
siapa?”
“Jelas, ngedukung teman
sekelas kami lah.”
Meski sang Ketua OSIS
tersenyum masam, Kakeru membalasnya tanpa rasa bersalah.
Dia tersenyum geli. Rekan
gandaku Yui, dan anak-anak lain dari klub Shinryou, semuanya seperti bermain di
rumah sendiri.
Pertandingan bulu tangkis
adalah pertandingan dua game menang, mereka mulai mendekati kemenangan.
“Teman yang baik ya.”
“Iya kan?”
Aku menjawab rekan gandaku
- Yui selama jeda istirahat.
Tapi nanti aku akan
mengomeli Seiji. Sulit berlatih dengan cara seperti ini.
Meski begitu, Seiji juga
lah yang membuat ronda ulang menjadi nyata, sesuatu yang seharusnya hanya
menjadi penyesalan seorang pecundang.
“8-14”
Aku bisa mengulangnya.
Sesuatu yang mirip “saat
itu” dihadirkan kembali, dan “sekarang” yang berbeda benar-benar tersaji.
Apakah ini – seperti
sedang dikenai mantra sihir!
“10-17”
Setelah pertandingan ini
selesai, aku akan memperkenalkan diriku lagi kepada teman sekelas.
Jika pertandingan ini bisa
diulang, “kepindahan sekolah” juga perlu diulang.
“12-19”
- Aku
Asahi Yuno.
-
Seorang gadis desa yang
belum sepenuhnya matang, pendatang daerah yang masih membawa logat, pecinta
makanan daging yang bergaya santai.
Yang di sana adalah Aikage
Seiji, Amaya Chiaki, Akemaru Kakeru, teman masa kecilku.
Aku jago bermain bulu
tangkis.
“16-21”
Berbeda dengan waktu itu,
sekarang – pertandingan telah berakhir.
○
Hasilnya, tim Yuno menang
straight.
Yuno berpelukan dengan
rekan gandanya merayakan kemenangan, sementara anggota Shinryou lainnya juga
berkumpul penuh sukacita.
Aku memberi isyarat pada
Aya-senpai dengan tatapan. Tanpa perlu kuminta, Aya-senpai memotret momen itu.
Nanti akan kukirimkan foto
itu kepada Yuno dan anak-anak Shinryou sebagai kenang-kenangan.
“Haha, lihat Yuu menangis
tuh.”
Kakeru tersenyum melihat
dari kejauhan.
Sepertinya dia terlalu
terharu, hingga Yuno menjatuhkan air mata ketika dikelilingi oleh teman-teman
dari Shinryou.
Itu dia. Yuno selalu
menyesali karena tidak dapat melakukan ‘itu’.
Jika dia bisa mendapatkan
‘itu’, menang atau kalah tidak masalah baginya.
(Berhasil)
Bukan dalam artian baikan
layaknya anak baik.
Lihat – aku sudah
mengatakannya dengan jelas, bukan?
Ah tidak, memang tidak
kuucapkan, tapi aku sudah memutuskannya.
- Selanjutnya
kalian yang akan kubuat menangis.
“Mengejutkan, Asahi-san
ternyata sangat kuat ya.”
“Siapa yang bilang dia
lemah? Penampilannya benar-benar keren!”
Teman-teman sekelas
seperti Wakil Ketua Mochizuki tampak antusias melihat aksi heroik Yuno.
Sepertinya ini menjadi
kesempatan untuk memperkenalkan sosok Yuno sang murid pindahan.
“Seiji!”
Mendengar panggilan Yuno,
bahuku tersentak kaget.
Seingatku dia bilang untuk
bersiap-siap nanti, tapi wajah Yuno tersenyum cerah.
“Gimana kalau kita foto?
Ayo, buat salah satu foto T&N.”
“Eh? Ah, benar juga.”
Ada foto bulu tangkis
denganku dan Yuno, di salah satu kandidat untuk T&N.
Ini sebenarnya jadi alasan
untuk memanggilnya ke sini hari ini, tapi kalau disuruh memotret, aku sangat
setuju. Aya-senpai yang mendengar percakapan itu datang dan mengonfirmasi foto
referensi.
Foto saat kami kecil
berpose mengacungkan raket dalam posisi menyilang sambil tersenyum polos.
Meski lokasi pemotretan di
gedung olahraga kota, bentuk gedung olahraga di sekolah ini tidak terlalu
berbeda. Aku dan Yuno mengambil posisi dengan latar belakang yang mirip di
gedung olahraga kota.
Berdiri berdampingan
dengan jarak bahu saling bersentuhan. Tapi aku tidak merasa secanggung
dulu.
“Seiji.”
Di sampingku yang
mengacungkan raket pinjaman, Yuno bergumam pelan sambil mengacungkan raketnya.
“Terima kasih.”
Senyumnya terasa kaku –
tidak ada instruksi untuk mengulang pengambilan gambar.
○
Pertandingan latihan
antara SMA Tokiomi dan SMA Shinryou berakhir dengan hasil yang memuaskan.
Setelahnya, aku mendapat
kesempatan untuk mengobrol dengan teman-teman lamaku setelah lama tidak
bertemu.
Kami tidak kekurangan
bahan pembicaraan.
Tentang penampilanku yang
berubah modis, pertandingan tadi. Operasi usus buntu sebelum pindah yang
membuatku disangka penyakitan. Teman-teman masa kecilku, album pindah sekolah
yang akan kami buat bersama.
Rasanya baru sekitar
sepuluh hari sejak kepindahanku, tapi banyak hal yang bisa kuceritakan.
“Kayaknya kamu baik-baik
saja di sana. Syukurlah.”
Rekan gandaku Yui lega
mendengarnya.
Sepertinya dia
mengkhawatirkan apakah aku baik-baik saja di sekolah baruku.
(Ah, benar-benar...)
Rupanya aku telah salah
sangka selama ini.
Apa karena canggung usai
turnamen nasional, perpisahan kami jadi kikuk? Aku terlihat membohongi
kalian?
Itu semua tidak benar –
hanya saja pikiranku yang negatif.
Sumber penyesalan yang
masih kupendam hingga beberapa hari lalu, kini sudah hilang sepenuhnya.
Jika ini memang tujuan
Seiji -
(Aku benar-benar dikerjai
habis-habisan...)
Aku menghela napas
dalam-dalam sambil menunduk dengan tangan di loker yang tertutup.
Ini balasan darinya karena
aku terlalu memaksakan ide album kepindahan waktu itu.
Rencanaku untuk membuat
album kepindahan dengan niat baik tapi sedikit memaksa, kini terbalaskan dengan
cara seperti ini.
Semua teman dari Shinryou
memuji-muji Seiji.
Sepertinya cerita
bagaimana dia mengatur pertandingan latihan ini tersebar ke anggota klub
melalui pelatih dan ketua klub.
“Beruntung banget ya punya
pacar seperhatian itu.”
Kira-kira itulah komentar
rata-rata dari teman-temanku.
Ketika kuberitahu kalau
Seiji bukan pacarku, mereka malah spontan menjawab “Kalau gitu lebih hebat lagi
dong!”
Memang benar. Karena
semuanya berjalan lancar, aku bisa mengatakannya – dia benar-benar melakukan
sejauh ini demi diriku.
Maka dari itu,
(Kalau begini....rasanya bakalan
jadi berat buat berpisah pas Seiji pindah nanti.)
Meski sudah mendengarnya
di hari reuni, rasanya masih belum terasa nyata.
Bagaimanapun, aku tidak menghabiskan
banyak waktu dengannya seperti Chiaki dan Kakeru, jadi ikatan kami tidak terlalu
dalam.
Namun insiden kali ini
telah mempererat ikatan itu.
Sedalam keyakinannya bahwa
jika diputus akan terasa sakit.
Menghitung mundur
hari-hari menuju kepindahan mendadak terasa menakutkan.
○
Pada hari yang sama – Mari
Aki, si Elf Sastra, berjalan-jalan di kota di hari libur.
Dengan bahu membelah
angin, wajahnya yang serius terlihat hampir seperti marah.
Gadis berkacamata berambut
kepang dari Nordik itu berjalan lurus seolah seorang istri yang akan
menghampiri kekasih suaminya untuk meminta pertanggungjawaban, membuat
orang-orang yang berpapasan memandangnya dengan heran.
“Seiji-kun, dia mau
pindah sekolah”
Aikage Seiji – dulu dia
adalah rekan di OSIS saat SMP.
Kurasa dia bisa
memperlakukan diriku yang bermasalah dalam hubungan hubungan antar manusia
karena penampilan dan kepribadianku dengan baik.
Setidaknya saat bertemu di
ruang OSIS, kami masih bisa sedikit berbincang.
Untuk diriku yang seperti
ini, hubungan kami bisa dibilang cukup dekat untuk disebut teman
laki-laki...atau begitulah seharusnya.
“.....…”
Dia memasuki toko kacamata
besar ternama.
Setelah menyelesaikan
urusannya di sana, dia menuju tujuan berikutnya.
Jika si gadis Nordik
berkepang itu berjalan dengan wajah seperti detektif yang mengusut kasus dendam
di masa lalu dengan tekad kuat sebelum pensiun, orang-orang yang berpapasan
akan menoleh dan mengerjapkan mata.
“Ah...jangan-jangan
Airi-chan belum dengar kabarnya ya?”
Dia memang belum dengar.
Dengan lingkaran
pertemanan seluas itu, tentu Seiji punya banyak orang yang harus diberitahu
soal kepindahannya.
Hanya saja, saat menyusun
prioritas, Airi merasa dirinya seharusnya ada di urutan “lebih awal”.
Namun kenyataannya, dia
baru tahu dari rumor seminggu kemudian, seperti sebuah tantangan langsung.
“.....…”
Dia berhenti di depan
salon.
Setelah mengonfirmasi
jadwal, saat masuk, stylist wanita yang melihat penampilannya tampak luar biasa
semangat saat mempersilakan Airi duduk.
“Penampilan seperti apa
yang Anda inginkan hari ini?”
Ketika stylist standar itu bertanya, Airi menjawab setelah sedikit berpikir, “Tolong buat aku terlihat sanggup membuat laki-laki yang meremehkanku terpukul.”
Stylist itu mengusap
keringat dinginnya lalu dengan hati-hati mulai bekerja.
Setelah keluar dari salon,
dia menuju tujuan berikutnya.
Tujuannya adalah
departement store terbesar di kota, khususnya toko pakaian dan kosmetik di
sana. Saat si gadis Nordik berambut pirang bergerak melambai, pengunjung lain
secara tak sengaja memandanginya.
“Ya, sungguh disayangkan.”
Ya – yang merasa
disayangkan justru dirinya sendiri, tak termaafkan.
Pindah sekolah berarti dia
tidak akan bisa bertemu dengannya lagi, dan dia harus menyesalinya.
Atau dia akan membiarkan
perpisahan ini hanya menjadi goresan kecil baginya?
“.....…”
Kemudian keesokan harinya
– Airi berangkat sekolah.
Si Elf Sastra yang tak
berkacamata bundar atau berkepang, berangkat ke sekolah dengan penampilan
seragam yang berbeda.
Para siswa yang berpapasan
dengannya berhenti melangkah dengan wajah terpana.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.