Ato 1-kagetsu de tenkō suru boku no seishun rabukome bab 8

Ndrii
0

 Chapter 8

16 April, 20 Hari Lagi • Sepulang Sekolah




Sesuatu yang tidak terduga terjadi.

 

“Ah, maafkan ibuku ya, dia benar-benar...”

 

“Tidak apa-apa, kamilah yang mengundang ke sini.”

 

Di kamarku, Yuno tampak mengecil dengan cangkir teh di tangannya.

 

“Mou, aku mengerti mengapa ibu mengantarkan Chii-chan dan Seiji pulang kerumah dengan mobil. Tapi kenapa ibu harus terus tinggal dan ngobrol panjang lebar? Benar-benar berlebihan.”

 

Setelah sesi pemotretan, Kakeru dan Aya-senpai pulang dengan sepeda, sedangkan aku dan Chiaki yang berjalan kaki diantar ibu Yuno dengan mobilnya. Yuno pun ikut bersamanya.

 

Setelah mengantar Chiaki di depan rumahnya, mereka datang ke rumahku dan disambut oleh ibuku untuk mampir.

 

Dengan demikian, karena sopirnya tidak ada, Yuno tidak bisa pulang dan akhirnya mampir ke kamarku. 

 

Sebenarnya jaraknya bisa ditempuh dengan berjalan kaki, tapi mungkin dia merasa aneh jika hanya dia yang pulang sendiri dalam situasi seperti ini.

 

“Yah mau gimana lagi. Maaf ya, kamu harus menghabiskan waktumu di sini dulu.”

 

“Tidak masalah.”

 

Yuno duduk di atas bantal tapi sepertinya sedikit gelisah.

 

Baru kemarin kami bermain permainan papan di kamar ini bersama Chiaki dan Kakeru.

 

Tetapi kali ini hanya ada aku dan Yuno di sini. Meski orang tua kami ada di ruang tamu, rasanya agak canggung kalau cuman berdua saja di rumah setelah matahari terbenam pada usia seperti kami. 

 

“...Ngomong-ngomong, ada yang ingin kutanyakan.”

 

“Eh, apa?”

 

Aku membuka mulut, tidak tahan dengan keheningan yang canggung.

 

“Kapan kita sepakat kalau ‘sepulang sekolah untuk pemotretan’ ya? Yuno tidak ada kegiatan lain sepulang sekolah?”

 

“Kegiatan lain?”

 

“Maksudku kayak ekskul atau kerja sambilan, apa tidak ada kegiatan lain yang ingin Yuno lakukan sepulang sekolah?”

 

“Oh itu, tidak masalah kok. Kalau ada pasti aku bakal bilang.”

 

Yuno melirikkan matanya sejenak lalu bertanya dengan nada ingin tahu.

 

“Ngomong-ngomong, kalian bertiga tidak ada yang ikut ekskul atau semacamnya?”

 

“Ah, aku dan Shou ikut ‘klub pulang ke rumah’, Chiaki di klub sastra tapi kayaknya cuman dateng sesekali doang.”

 

Memang tidak ada yang terikat kegiatan setelah pulang sekolah.

 

“Shou ikut klub pulang ke rumah? Bukannya dia berbakat di bidang olahraga?”

 

“Katanya dia dulu main basket sampai SMP, tapi berhenti karena tinggi badannya tidak bertambah lagi.”

 

Canggungnya mulai hilang saat kami membicarakan hal itu.

 

“Kalau Seiji?”

 

“Aku di klub renang waktu SMP. Tapi tidak begitu bersemangat, jadi di SMA aku fokus belajar doang.”

 

“Bukan klub bulu tangkis?”

 

Yuno memasang wajah tak puas.

 

Memang dulu waktu kecil, kami berdua pernah main bulu tangkis.

 

“Abisnya aku selalu kalah dan kamu kabur setelah menang melawanku. Jadi motivasiku hilang.”

 

Mendengar itu, Yuno terlihat sedikit menyesal.

 

“Seharusnya kamu terus main aja, siapa tahu nanti bisa bertemu dan bertanding denganku di tingkat nasional.”

 

“Kayaknya kamu suka jalan cerita yang kayak gitu ya. Tapi di bulu tangkis, putra dan putri tidak pernah bertanding langsung.

 

“Kalau ganda campuran gimana?”

 

Ganda campuran adalah pertandingan dua lawan dua dengan pasangan pria dan wanita.

 

“Sejauh ini tidak ada ganda campuran di turnamen antar SMA sih. Lagian, emangnya Yuno dulu main ganda campuran?”

 

“...Aku main ganda, tapi bukan ganda campuran.”

 

“Jadi cerita reuni dengan teman masa kecil sebagai lawan di hadapan tidak akan pernah terjadi ya.”

 

Aku tertawa dan Yuno mengerutkan bibirnya. 

 

Sepertinya dia tidak terima kalau aku berhenti bermain bulu tangkis, sementara dia tetap melanjutkannya.

 

Tapi kemudian Yuno tiba-tiba tersenyum seperti dapat ide jahil.

 

“Kalau gitu lain kali kita main yuk?”

 

“Lain kali? Main bulu tangkis maksudmu?”

 

“Iya. Bukannya Seiji pengen ngalahin aku?”

 

“Seriusan? Sekarang kan kita sudah beda ukuran tubuh dibanding dulu.”

 

“Seiji terakhir main pas masih SD kan? Jadi aku yang terlalu diuntungkan nantinya.”

 

Yuno menggodaku dengan senyum menantang.

 

Mungkin dia ingin melihat sosokku yang dulu frustrasi karena kalah darinya. Jadi aku meladeninya:

 

“Bukannya Yuno juga sudah lama tidak main?”

 

“Tidak kok. Aku masih terus main sampai sebelum pindah ke sini, malah sampai latihan sendiri selama liburan musim semi.”

 

Aku bisa menanyakan hal yang mengganjal pikiranku.

 

“Begitu ya. Jadi maksud Yuno waktu bilang ‘tidak main lagi sekarang’ itu setelah pindah ke sini ya?”

 

Rupanya Yuno berhenti bermain bulu tangkis bukan saat masuk SMA, melainkan setelah pindah sekolah. 

 

“Yah...begitulah...”

 

Senyum Yuno tampak meredup. Dari ekspresinya, aku bisa memastikan sesuatu.

 

“Jadi ‘penyesalan’ yang dimaksud Yuno waktu itu...adalah soal itu?”

 

Beberapa waktu lalu, Yuno pernah berkata ‘nanti kamu akan menyesal’.

 

Dari nadanya yang seolah tahu sesuatu, aku berspekulasi masalahnya di sini.

 

“...Eh? Barusan aku diinterogasi ya?”

 

Yuno mengerjapkan mata, seperti menyadari dirinya baru saja terjebak. 

 

“Tidak sampai seperti diinterogasi sih. Aku cuman sedikit menyelidiki.”

 

Aku memanfaatkan Yuno yang dengan sendirinya mengangkat topik bulu tangkis untuk mengalirkan pembicaraan ke sana.

 

“Lagian, setiap membahas bulu tangkis, raut wajahmu selalu berubah murung.”

 

“Keliatannya sampai segitunya ya?”

 

“Ya. Terutama tadi siang, saat aku menunjukkan foto ini.”

 

Aku mengeluarkan foto yang tadi siang kusarankan sebagai kandidat untuk album T&N.

 

“Saat kamu mengusulkan album kenangan, kamu bilang ‘nanti kamu akan menyesal’. Jadi kukira mungkin ada sesuatu yang terjadi di klub bulu tangkis sebelum kamu pindah sekolah...atau aku?”

 

Yuno memasang ekspresi seperti campuran kagum dan heran.

 

“Ternyata di sini ada detektif...” 

 

“Ah, tidak juga. Aku cuman kelewat mencolok doang. Chiaki dan Shou mungkin juga sudah menyadarinya.”

 

Mereka hanya tidak bertanya lebih lanjut saja.

 

Seperti menyadari kejanggalan sikapnya, Yuno menghela nafas mengakui.

 

“Maaf ya, kayaknya aku membuat Seiji menanyakan hal yang menyakitkan...”

 

“Ah tidak, aku sama sekali tidak mengira ini masalah berat kok.” 

 

Aku menyuarakan dugaan dalam pikiranku kepada Yuno yang tampak panik.

 

“Dugaanku mulai dari hal sederhana kayak kalah dalam pertandingan sampai jadi terlalu kuat sampai tak ada yang mampu mengimbangi. Atau mungkin ada masalah perselisihan di klub, atau kisah cinta terlarang dengan pelatih, di kampung halaman yang suram.”

 

“Terlalu berlebihan! Sama sekali tidak seperti itu!” 

 

Sepertinya semua dugaan burukku meleset.

 

“Syukurlah kalau begitu.” Aku menatapnya tanpa berkata-kata, bertanya soal kebenaran yang sebenarnya.

 

“...Kalau kayak waktu isu penyakitku dulu nanti jadi runyam, ya sudahlah.”

 

Yuno membiarkan pikirannya lepas begitu saja, lalu menatapku lurus.

 

“Yah, sebenarnya tidak terlalu besar sih...”

 

Kemudian Yuno mulai bercerita dengan suara pelan.

 

“Hampir tidak ada apa-apa di sana. Kayak kubangan air di tengah gunung begitu.” 

 

Yuno menuturkan bahwa kota barunya setelah pindah dari Tokiomi adalah sebuah desa terpencil di pegunungan. 

 

Bukan desa terpencil di mana hewan liar lebih banyak daripada penduduknya. Tetapi cukup sepi hingga satu-satunya hiburan di hari libur hanyalah mal besar jaringan toko swalayan. 

 

“Seenggaknya di sana ada klub bulu tangkis di SMP dan SMA sebagai penyelamat.”

 

Kehidupan dan pertemanan Yuno pun secara alami berkisar di sekitar itu. 

 

“Aku paling cocok dengan satu anak, dan bersama anak itu kami bisa mencapai tingkat nasional di kategori ganda.”

 

Itu sangat menakjubkan.

 

Rupanya sejak SMP mereka sudah langganan turnamen nasional, dan di tahun pertama SMA langsung bisa lolos.

 

“Tapi kemudian aku harus pindah lagi.”

 

Setelah melewati kejuaraan prefektur, Yuno diberitahu dengan nada bersalah oleh orangtuanya.

 

Di tempat yang sudah seperti kampung halaman keduanya itu.

 

“Turnamen nasional pertama di SMA, ternyata jadi ajang terakhir bersama semuanya.”

 

Turnamen itu akan menjadi perpisahan.

 

Dengan perasaan seperti itulah Yuno dan teman-teman seklub bulu tangkisnya di SMA lamanya menghadapi turnamen tersebut. 

 

“...Terus, gimana hasilnya?”

 

“Kami langsung kalah di babak pertama. Kekalahan terburuk yang belum pernah dialami sebelumnya.”

 

Meski disampaikan dengan nada ringan, itu merupakan hasil yang menyedihkan.

 

Memang dalam format turnamen, setengah peserta pasti akan tersingkir. Tapi setidaknya mereka pasti ingin meraih kemenangan sekali.

 

“Meski begitu, kami sempat menangis dan berpelukan sambil mengucapkan terima kasih.”

 

Meskipun membayangkannya saja sudah begitu menyentuh, namun—

 

“...Sebenarnya kami berencana melakukan itu sih.”

 

Ekspresi Yuno menampakkan kepahitan dan kebencian pada diri sendiri yang menyakitkan untuk dilihat.

 

“Permainan kami benar-benar jelek banget. Kami terus melakukan kesalahan yang tidak masuk akal, tidak bisa melakukan hal-hal yang bisa kami lakukan kemarin, tubuh kami semakin kaku, dan begitulah...”

 

Jadi mereka tidak bisa mengeluarkan kemampuan terbaik mereka.

 

Namun penyesalan Yuno bukan terletak di situ—

 

“Setelah pertandingan, aku menyalahkan partner gandaku.” 

 

Seperti mengaku di ruang pengakuan dosa gereja, Yuno melanjutkan ceritanya dengan suara pelan.

 

“Aku bertanya ‘kenapa’ dan bilang ‘padahal ini terakhir kalinya’. Lalu partnerku membalas dan kami bertengkar mulut—yang paling memalukan di turnamen itu adalah kami.”

 

“Jadi Seiji jangan sampai seperti itu.”

 

Dengan ekspresi seperti memberi nasihat kepada adik laki-laki, Yuno menatapku. 

 

“Jangan pura-pura santai atau mengadakan acara perpisahan formal doang. Jangan prioritaskan menghindari stres. Kalau kayak gitu, setelah berpisah nanti, yang akan kamu pikirkan hanyalah – ‘oh, ternyata memang seperti ini’.”

 

Sepertinya Yuno pernah mengalami hal itu.

 

Seperti menaiki kereta dan melihat pemandang melalui jendela , Yuno melanjutkan,.

 

“Begitu memikirkan hal itu, teman-teman, sekolah lamaku, bahkan diriku yang dulu, semuanya terasa ‘tidak berarti’. Seolah semua hal yang sebenarnya berarti, dibuang begitu saja seperti janji.”

 

Suaranya yang penuh keyakinan membuatku sedikit merinding.

 

“Pernah merasa seperti ini? ‘Kehidupan SMA memang seperti ini’ atau ‘Aku tidak memiliki apa pun’ – Tentu saja, kamulah yang membuangnya sendiri.”

 

Yuno berkesimpulan seperti itu tentang dirinya di masa lalu. 

 

“Terutama pas dirawat di rumah sakit setelah operasi, aku selalu memikirkan hal kayak gitu.”

 

Sepertinya Yuno terus dibayangi perasaan hampa itu.

 

Lalu dia mencari sesuatu untuk mengisinya, dan bertemu kembali dengan kita saat pertama masuk sekolah barunya. 

 

Dia merasa berhasil memenuhi harapannya.

 

Meskipun tak disengaja, setidaknya kami tidak membiarkannya merasa “tidak memiliki apa-apa”.

 

Namun, sepertinya di sudut hati Yuno, masih tersisa memori kelam dari masa sebelum kepindahannya. 

 

"Jadi ya, ini kayak aku memaksakan penyesalanku padamu tapi--"

 

Yuno tersenyum kembali.

 

"Seiji jangan sampai menyesal oke?"

 

Aku tidak langsung meresponnya.

 

Aku mengerti sekarang. Mengapa Yuno begitu ngotot soal kepindahanku.

 

Mengapa dia mengusulkan membuat album kenangan yang merepotkan seperti ini.

 

Itu untuk mencegahku merasakan hal yang sama seperti dirinya -- berpikir "begini aja".

 

"Begitu rupanya."

 

Aku menarik nafas dan memberi jeda, berusaha memilih kata-kata dengan seksama.

 

"Yang jelas, yang bisa kukatakan, Yuno mengusulkan ide album kenangan ini adalah keputusan yang sangat tepat."

 

Sebelum Yuno mengusulkan album, aku berniat untuk pergi begitu saja.

 

Acara perpisahan sederhana, ucapan selamat tinggal basi. Kepergian seperti kucing yang sudah pasrah akan ajalnya.

 

Dan Yuno mencegahku melakukan hal itu.

 

"Aku sama sekali tidak merasa kalau kamu memaksakan penyesalanmu. Padahal kamu bisa aja milih buat mengantarku pergi dengan cara 'biasa' aja."

 

Yuno bisa melakukannya.

 

Jika aku pindah, Yuno bisa saja mengadakan perpisahan 'tanpa stres' dan 'formal saja' seperti katanya. Itulah yang biasa dilakukan orang. Tidak ada salahnya sama sekali.

 

Tapi Yuno tidak melakukannya. Dia tidak membiarkanku melakukannya. Karena penyesalannya itu, Yuno malah membuatkanku album kenangan seumur hidup.

 

"Jadi ya, terima kasih. Aku berterima kasih atas albumnya."

 

"Ah, iya! Um, sama-sama."

 

Yuno tertawa malu dan aku merasa tidak enak dengan ketulusan kata-kataku sendiri.

 

Untuk tidak membuang-buang suasana ini, aku membuka mulut.

 

"Ngomong-ngomong, kamu pasti akrab banget partner gandamu itu ya."

 

"Entahlah...setelah kata-kata kasarku waktu itu, dia mungkin membenciku. Komunikasi kami cuman formalitas doang sekarang."

 

Yuno melirik ponselnya di atas meja dengan sikap acuh tak acuh.

 

Atau lebih tepatnya, nama teman akrabnya yang mungkin tercatat di sana.

 

Meskipun aku tidak tahu apa yang sedang dipikirkan anak itu sekarang, tapi...

 

"Kalau begitu, temanmu itu salah besar."

 

Yuno melotot mendengar kata-kataku yang terlontar begitu saja.

 

"Ah maaf, bukan bermaksud menghakimi. Cuman ya, kalau Yuno merasa pantas dibenci, aku harus membantahnya."

 

Setidaknya aku ingin meluruskan persepsi Yuno yang telah membuka hatinya padaku. 

 

Aku memilih kata-kata dengan hati-hati, lalu melanjutkan:

 

"Ini pendapatku, tapi... 'Apa yang disesali seseorang' menunjukkan seperti apa orang itu sebenarnya."

 

Ini adalah pendapat yang terbentuk sejak Yuno berkata “kamu akan menyesal' waktu itu.

 

"Orang yang menyesali kekurangan keberanian, berarti ia mampu menjadi orang yang pemberani. Orang yang menyesali kurangnya kebijaksanaan atau kebaikan, berarti itulah yang diidamkannya. Sebaliknya, pilihan yang sama sekali tidak disesali, berarti tidak pernah terlintas dalam pikirannya."

 

Penyesalan adalah lonceng peringatan batin agar tidak mengulangi kesalahan yang sama.

 

Jadi, dari apa yang disesali seseorang, kita bisa mengetahui isi hatinya.

 

"Bukannya Yuno menyesali telah mengabaikan momen berharga bersama teman-temanmu? Terus menyesalinya bahkan setelah berpisah? Kalau gitu, sebenarnya Yuno bukanlah orang yang seperti itu kan?" 

 

Itulah mengapa aku berkata kamu pasti sangat akrab dengan partner gandamu.

 

Aku tidak mengerti mengapa harus membenci orang yang lebih menyesali kekecewaannya pada teman daripada kekalahan dalam pertandingan.

 

"Kalau menilai seseorang cuman dari momen terburuknya, dan terus membencinya tanpa melihat siapa dirinya selama ini, itu sama aja kayak mengatakam orang itu buta."

 

Yuno membelalakkan matanya, lalu berkedip pelan.

 

Setelah menyadari makna tersirat dari kata-kataku yang berbelit-belit, dia mendengus seperti merasa bodoh.

 

"...Laki-laki memang suka berteori ya."

 

Meski mendengus, dia tersenyum seolah melihat dirinya dari sudut pandang yang tak pernah dilihatnya.

 

"Ah ya..."

 

Yuno bergumam dan bersandar ke lantai di belakangnya, mendongak ke langit-langit.

 

"Aku benar-benar melakukan hal yang bodoh ya."

 

"Soal temanmu?"

 

"Itu juga, tapi juga soal turnamen."

 

Yuno kembali menyebutkan penyesalannya, namun ekspresi dan nada bicaranya jauh lebih tenang dibanding sebelumnya.:

 

“Andai aja waktu bisa diputar kembali dan aku bisa mencobanya lagi. Pertandingan itu...”

 

Sambil memandangi langit-langit, Yuno sepertinya mengingat langit-langit tempat pertandingan.

 

“Aku tidak keberatan kalah, tetapi aku ingin mengulang sekali lagi di saat pertandingan sudah berakhir.”

 

Dia ingin mengulang kembali suatu bagian dalam hidupnya.

 

Meskipun Yuno memiliki kepribadian seperti itu, rupanya dia juga memikirkan hal semacam ini.

 

“Mengulangi sekali lagi, yah... Kurasa itu tidak mustahil?”

 

Kata-kataku sepertinya di luar dugaan, Yuno membelalakkan matanya dengan ekspresi “Eh?”

 

“Sekolah kita juga punya klub bulu tangkis. Kalau kamu bergabung dan berkompetisi di tingkat nasional, mungkin kamu akan bertemu dengan sekolah lamamu. Yah, kalian akan menjadi lawan, tetapi seenggaknya kamu punya kesempatan bertemu dan mengobrol lagi.”

 

“Ah, Seiji? Tapi aku sudah berhenti bermain bulu tangkis—“

 

“Aku tidak pernah mendengarmu mengatakannya. Yang kudengar hanyalah ‘saat ini aku tidak memainkannya’.”

 

Aku menegaskan dengan tegas dan melanjutkan, “Kalau kamu benar-benar ingin berhenti, kamu tidak akan berlatih sendiri selama liburan musim semi, bukan?”

 

Ah... Yuno menyadari bahwa dirinya telah mengungkapkan hal itu tanpa sengaja.

 

Ketika dia menantangku untuk bermain bulu tangkis, Yuno mengatakan bahwa dia telah berlatih sendiri.

 

“Kamu pasti sudah tahu sekolah kita memiliki klub bulu tangkis. Karena klub yang mengalahkan ‘Shinryou’ tempat kamu bersekolah dulu pada turnamen nasional adalah SMA Tokiomi, sekolah kita.”

 

Yuno benar-benar terperangah.

 

“Gi-Gimana kamu bisa tahu sejauh itu... Apa kamu menanyakannya pada seseorang?”

 

“Rin-san – ketua OSIS yang memberitahuku. Dia masih ingat kalau sekolah lamamu bernama ‘Shinryou’ karena mereka pernah bertanding melawan kita di turnamen nasional. Dan klub olahraga putri satu-satunya yang baru-baru ini maju ke tingkat nasional adalah klub bulu tangkis.”

 

Itu adalah informasi yang kudengar pada hari Yuno pindah ke sekolah ini.

 

“Kalau kalian kalah di pertandingan pertama, berarti kalian cuman melawan satu sekolah. Dan satu-satunya yang memenuhi kriteria itu adalah SMA Tokiomi.”

 

Dari hal-hal lain yang kulihat dan kudengar sampai hari ini, ada sesuatu yang bisa kurangkai.

 

“Ah, ngomong-ngomong, pas perkumpulan persahabatan, kamu mengobrol dengan beberapa gadis dari klub olahraga, kan? Murid dari klub bulu tangkis kayaknya juga ada di sana. Jangan-jangan saat itu kamu sudah direkrut?”

 

“Mengerikan! Seiji terlalu peka, membuatku merinding!”

 

Yuno memeluk kedua lengannya sendiri dengan ekspresi seperti orang yang baru saja diikuti penguntit.

 

“Maaf. Tapi kayaknya aku benar, kan?”

 

“Ugh... Yah, memang benar anak-anak klub bulu tangkis menghampiriku dan merekrutku, tapi...”

 

“Saat itu kamu tidak bergabung?”

 

Saat perkumpulan persahabatan, tidak ada pembicaraan tentang proyek ‘Ten’aru”. Karena tahu sekolah ini memiliki klub bulu tangkis dan masih berlatih selama liburan musim semi, seharusnya dia mempertimbangkan untuk bergabung.

 

“Ada beberapa hal, jadi aku meminta waktu untuk memikirkannya. Terus...”

 

“Kemudian insiden albumku membuatmu merasa tidak nyaman untuk bergabung, ya? Maafkan aku.”

 

“Ini bukan salahmu Seiji! Aku juga menggunakannya sebagai alasan untuk menolak!”

 

Yuno sepertinya bimbang apakah akan melanjutkan bulu tangkis atau tidak. Sementara dia ragu, aku pindah dari sekolah ini dan keesokan harinya Yuno mengusulkan proyek album.

 

Lalu, keputusan “mengambil foto  T&N setelah “pulang sekolah” terdengar seperti kegiatan klub, sehingga Yuno yang mengusulkan album merasa tidak nyaman untuk bergabung klub lain.

 

Tanpa sadar, aku telah mendorong keputusan Yuno untuk pensiun dari bulu tangkis.

 

“Ini salahku. Begitu diputuskan untuk mengambil foto setelah sekolah, seharusnya aku menanyakan apakah Yuno berencana bergabung klub atau tidak. Aku terlalu terbawa suasana...”

 

Aku begitu senang semua orang membuat album untukku.

 

Namun aku terlalu larut dalam kegembiraan itu hingga tidak sadar telah menghilangkan pilihan Yuno untuk mengikuti kegiatan klub.

 

“Seiji terlalu memikirkan hal sepele. Aku tidak benar-benar mengandalkan masa remajaku pada olahraga, kok?”

 

“Benarkah? Terlepas dari itu, jangan terlalu memikirkanku. Jadwal pengambilan foto masih bisa diatur, dan kalau kamu berencana kembali berkompetisi di tingkat nasional, sebaiknya segera bergabung klub lagi, kan?”

 

“Yah, benar sih...”

 

Ironis, pikirku.

 

Ketika Yuno mengusulkan ide album padaku, akulah yang merasa ragu.

 

Jadi, inikah penampilan yang kuberikan pada Yuno saat itu?

 

“Tentu aja keputusannya ada di tanganmu. Tapi aku tidak ingin menjadi alasan kamu melewatkan kesempatan penting. Jika itu terjadi, pada akhirnya kamu akan menyesali kepindahanmu ke sekolah ini.”

 

Meskipun itu adalah kata-kata yang tulus, Yuno menatapku dengan sedikit ekspresi tidak puas.


“...Seiji, bukannya itu sedikit curang?”

 

“Memang benar. Terdengar kayak mengancam dan pengecut. Lupain aja.”

 

Untuk menunjukkan aku tidak akan mengatakan apa-apa lagi, aku mengangkat kedua tanganku dengan ringan.

 

Tak lama setelah itu, ibu Yuno datang memanggil, “Ayo, sudah waktunya pulang.”

 

Setelah itu – Yuno pulang bersama ibunya.

 

Setelah mengantarkan mereka dengan pandangan, aku kembali ke kamar dan membuka aplikasi album di ponselku.

 

[Aya : Aku sudah mengupload foto hari ini-]

 

Foto T&N yang diambil di rumah Yuno terlihat.


Foto “perpisahan” saat SD dan “penyambutan” hari ini berdampingan dalam satu gambar.

 

Bukan hanya T&N, tapi juga foto-foto selama memasak.

 

Hanya dalam dua hari semenjak terbentuknya panitia album kepindahan, sudah terkumpul banyak foto yang tidak bisa dihitung dengan satu tangan.

 

(Dari waktu itu sampai sekarang, ya)

 

Masa kecil dan masa sekarang yang sudah tidak kecil lagi, tergabung dalam satu gambar.

 

Namun, “selama” di antara “dulu dan sekarang” tidak dapat direkam dalam foto.

 

Misalnya, sampai kejadian yang dialami Yuno di SMA sebelumnya yang dia ceritakan.

 

(...Ah, sial. Tetap aja bikin penasaran)

 

Penyesalan yang Yuno ceritakan masih tersisa di kepalaku.

 

Soal pertandingan itu, juga soal teman dekatnya yang jadi partner ganda, kalau dipikir lagi memang sudah jadi cerita lama. Setelah itu, Yuno bertemu kembali dengan kita dan menjalani kehidupan SMA yang menggembirakan.

 

Meski tidak berakhir bahagia, masalah ini sudah selesai sampai tingkat di mana tidak perlu lagi diungkit.

 

Jadi kita hanya perlu memberikan hari-hari yang bisa membuatnya melupakan soal sekolah lamanya.

 

Seharusnya itu sudah cukup, seharusnya itu tidak masalah... tapi entah kenapa rasanya tidak puas.

 

Yang tetap ada di kepalaku adalah Yuno yang mengungkapkan keinginan yang mustahil terwujud untuk bisa mengulang masa lalu.

 

-     Pada saat itulah, sebuah ide melintas di kepalaku.

 

Setelah terpikirkan, ternyata hanya ide sederhana, tapi dengan tantangan yang tinggi.

 

“...Akan kucoba sebisaku”

 

Aku menutup album di ponselku dan membuka kontak telepon.

 

“Ah, halo, ini Seiji. Maaf menelepon malam-malam, apamu punya waktu?”

 

Sudah cukup – aku sudah mendapatkan lebih dari cukup.

 

Dengan hanya foto-foto sejak hari ini saja, sudah jadi koleksi untuk dibanggakan seumur hidup.

 

Jadi, mungkin sudah waktunya untuk melangkah ke tahap selanjutnya.

 

Maksudku, bukan memikirkan “apa yang kudapat” sebelum pindah sekolah, tapi –

 

Aku harus memikirkan “apa yang bisa kutinggalkan” sebelum pindah sekolah.

 

 

17 April – tinggal 19 hari lagi.

 

“Gimana dengan sesi pemotretan? Kalo yang di luar pasti mustahil buat di lakukan.”

 

Kakeru membuka pembicaraan tentang jadwal pemotretan.

 

Hari ini hujan jadi kami tidak dapat menggunakan sepeda dan harus berangkat bersama dengan keretam.

 

“Maaf, tapi aku harus pergi ke ruang OSIS pas istirahat makan siang.


 Kemungkinan aku juga akan sibuk setelah pulang sekolah nanti.”

 

“Eh? Terus gimana dengan sesi pemotretan hari ini?”

 

Yuno menangkap perkataanku dan memberi reaksi.

 

“Ada beberapa berkas dan keperluan yang harus kuurus sebelum pindah sekolah. Kalau hujan seperti ini, lebih baik kuselesaikan aja hari ini.”

 

Dengan cara tidak langsung, aku menyampaikan bahwa hari ini aku mungkin tidak bisa ikut sesi pembuatan album pindah sekolah.

 

“Hoo, ternyata kamu sudah bosan dengan kita dan memilih sang ketua OSIS yang cantik, dasar bajingan.”

 

“Bukan gitu, tapi maaf ya.”

 

Kakeru mengatakan itu dengan gamblang, tapi bukan dengan nada menyalahkan. Mungkin karena menurutnya lebih baik mengungkapkan ketidakpuasan daripada memendam dalam hati, berdasarkan sifatnya yang perhatian.

 

“Kamu memang sudah biasa sibuk. Kalau gitu, hari ini kau istirahat aja ya.”

 

Chiaki juga mengatakan hal yang sama.

 

Meski dipikir lagi hari-hariku yang tersisa sebelum pindah sekolah akan terasa berat, tapi aku tidak ingin menciptakan suasana di mana aku dipaksa untuk tetap ikut sesi pembuatan album pindah sekolah. Jika aku yang pertama kali absen, maka mereka yang lain akan lebih mudah untuk melakukan hal yang sama di lain waktu—begitulah pemikiranku yang positif.

 

Sebenarnya aku juga berbohong kecil untuk menyembunyikan rasa bersalah karena merahasiakan sesuatu.

 

 

Istirahat makan siang – Suara hujan yang tenang di luar terpantul oleh kebisingan di kantin.

 

Aku pun menjadi bagian dari kebisingan itu.

 

“Jadi, ternyata Asahi-san tidak benar-benar sakit?”

 

Yang mengatakan itu adalah Mochizuki-san, wakil ketua dari komite yang makan siang bersamaku.

 

“Uuh, maaf. Aku telah membuat kesalahpahaman.”

 

“Tidak, tidak apa-apa. Yang penting kamu sehat.”

 

Dugaan soal penyakit lemah yang terjadi beberapa hari lalu perlahan sirna.

 

“Ngomong-ngomong soal badan, Yuu-chan hebat banget di pelajaran olahraga pagi ini.”

 

“Ah, tidak juga, aku aja yang terlalu bersemangat sampai jadi malu sendiri.”

 

Chiaki membahas permainan voli yang diadakan di gedung olahraga.

 

Itu menjadi kesempatan bagus untuk membuktikan keadaan kesehatannya tidak ada masalah.

 

“Katanya kamu juga main bulu tangkis ya? Tidak tertarik bergabung di klub bulu tangkis sekolah ini?”

 

“Ah, kemarin Seiji juga bilang gitu, tapi aku masih mempertimbangkannya...”

 

Pertanyaan polos Mochizuki-san mengingatkanku pada pembicaraan dengan Seiji kemarin.

 

Aku menceritakan singkat kejadian kemarin kepada Chiaki yang menengok dengan kepala dimiringkan.

 

Setelah menceritakannya pada seseorang, rasanya jadi lega, jadi aku juga bisa menjelaskan dengan mudah soal SMA lamaku.

 

“Aduh, Seiji-kun ini nanya nya terlalu maksa...”

 

“Benar. Meski aku merasa sayang kalau Asahi-san yang sampai tingkat nasional itu berhenti, tapi kalau bermain bulu tangkis membuatmu merasa tersiksa, pensiun juga merupakan pilihan yang baik.”

 

Chiaki menegur sikap Seiji yang memaksa, sementara Mochizuki-san mengatakan hal yang sama seperti Seiji.

 

“Tidak sampai tersiksa sih, aku juga tidak pengen membuang sia-sia latihanku selama ini. Mmm, entah kenapa ya. Aku tidak yakin bisa bermain dengan perasaan menikmati seperti dulu...”

 

Aku mengungkapkan perasaan rumitku terhadap bulu tangkis.

 

Chiaki dan Mochizuki-san menjadi pendengar yang baik.

 

Berbeda dengan Seiji yang menyarankan aku kembali bermain, mereka berdua membuatku bisa mengungkapkan isi hati tanpa memaksaku memilih.

 

“Ah, yang di omongin muncul.”

 

Chiaki menggerakkan kepalanya.


Mengikuti arah pandangannya, kulihat Seiji mengantri di mesin penjual makanan.

 

Seiji yang keluar kelas begitu istirahat makan siang dimulai, tampaknya telah menyelesaikan urusannya dan datang untuk membeli makan siang, bersama seorang siswi.

 

“Yang baremg dia itu siapa?”

 

“Ah, itu Hibiya-san kan? Ketua OSIS yang dia telepon waktu itu. Dia seniornya Chiaki yang dulu pengen di tiru Chiaki.”

 

Pantas saja, Hibiya-san memang terlihat anggun dan memikat, wajar jika Chiaki mengaguminya.

 

“Rin-san, makan nasi sekaligus lauknya tapi memakai sendok?”

 

“Eh? Ah, sudahlah. Habis Seiji-kun pesan kari aku jadi pengen...”

 

Seiji kembali mengambil sumpit untuk Hibiya-san, lalu mereka membawa makanannya ke bagian dalam kantin.

 

Di sana, mereka diundang duduk oleh seorang siswi yang sepertinya kenalan Ketua OSIS.

 

“Fufufu, Seiji-kun ini, menolak makan siang bersama kita tapi malah dikelilingi kakak-kakak cantik.”

 

“Bukan gitu, mungkin ada pembicaraan soal kepindahannya?”

 

Chiaki mengatakan sesuatu dengan nada agak sinis, sementara Mochizuki-san membela.

 

Memang benar, Seiji tidak melakukan hal yang salah.

 

Dia sudah izin terlebih dulu sebelum pergi, dan alasannya bergabung dengan para senior seperti yang dikatakan Mochizuki-san. Aku tahu Seiji tidak bermaksud menganggap remeh kami.

 

Namun, melihat Ketua OSIS yang rupawan dan anggun itu berbincang akrab dengan Seiji, entah kenapa membuatku jadi memperhatikan gaya rambut dan riasanku sendiri.


“Ah, Airi-chan.”

 

  Pada saat itu, Chiaki tiba-tiba memanggil seseorang.

 

  Aku terkejut.  Saat aku melihat rambut pirangnya, aku mengira dia adalah seorang berandalan, namun dia memiliki kepang yang terlihat seperti era Showa.  Kacamata bundar ada di depan mata coklat gelapnya.  Meski begitu, dia adalah gadis cantik keturunan Skandinavia yang begitu cantik hingga menurutku dia cantik.

 

 “Di sini ramai, jadi bisakah kamu duduk di sebelahku?”

 

 “Terima kasih. Maaf mengganggumu.”

 

  Duduk di sebelah Chiaki, dia memperhatikan tatapanku dan mengangguk.

 

“Maki Airi desu. Bahasa Jepang tidak masalah.”

 

Sambil memutarkan bola mata mendengar nada suaranya yang terdengar sangat bosan, aku membalas, “Asahi Yuno.”

 

“Ah, ini pindahan yang kuceritakan itu loh?” 

 

“Ya, aku sudah mendengarnya dari Aikage. Dia msmang imut.”

 

Dipuji imut oleh gadis cantik seperti boneka itu membuatku merasa sedikit malu. 

 

Mungkin salah satu alasannya karena pujian itu berasal dari Seiji melalui Airi.

 

“Tidak biasanya Airi-chan datang ke kantin.”

 

“Ya, karena Rin-senpai lagi ada urusan. Mendingan aku makan di sini daripada makan sendirian di ruang OSIS.”

 

“Maki-san, apa kamu tahu pembicaraan apa yang sedang dilakukan ketua dan ketua OSIS?”

 

Mochizuki-san bertanya, dan Airi menggelengkan kepalanya. 

 

“Tidak tahu. Kayaknya pembicaraan yang rumit jadi aku tidak ingin mengganggu.”

 

“Pembicaraan yang rumit, ya... Apakah ada masalah dengan prosedur kepindahan?” 

 

Mochizuki-san yang khawatir lalu menatapku yang juga murid pindahan.

 

“Hmm, aku sih cuman mengisi formulir dan menyerahkannya ke guru...”

 

“Ini kan keputusan mendadak, mungkin ada sesuatu yang membuatnya terburu-buru.”

 

Saat Chiaki melanjutkan, Airi menarik alisnya dengan ekspresi bingung. 

 

“Ngomongin apa?”

 

“Ah... jangan-jangan Airi-chan belum dengar?”  Chiaki terlihat sedikit panik, dan Airi menatapnya seolah memintanya melanjutkan.

 

“Seiji-kun mau pindah sekolah.”

 

Sejauh yang kulihat, ekspresi Airi tidak terlalu berubah.

 

“........................................” 

 

Namun keheningannya terlalu panjang, kedua matanya yang cantik sedikit terbelalak, dan sumpitnya hampir terjatuh dari tangannya.

 

“Gitu, ya sayang sekali.” 

 

Setelah itu, Airi mulai makan dengan mata yang seperti tanpa emosi. 

 

Melihat sikapnya, aku bisa membayangkannya meski baru pertama kali bertemu.

 

Entah apa yang dipikirkan Seiji, tapi – sepertinya cukup banyak yang merasa sedih dengan kepindahannya.

 

 

[Kakeru : kalau kita melihat sakura mekar?]

 

Malam itu – pesan mendadak dari Kakeru membuka rapat produksi album kepindahan.

 

[Aya : Walau sudah melewatkan masa mekarnya bunga sakura di Someiyoshino, tapi masih bisa melihat bunga sakura ganda yang masih bagus lho]

 

Respon dari sang fotografer cepat sekali.

 

Sepertinya dia sensitif terhadap musim mekar sakura karena memotret adalah hobinya.

 

[Yuno : Benar, kita bisa melihat sakuranya! Tapi sekarang sedang hujan, apa bisa ya?]

 

[Chiaki : Katanya besok Minggu akan berhenti. Hujan dan anginnya juga tidak terlalu kuat, jadi tidak akan terlalu banyak kelopak yang berguguran kurasa] 

 

Dari jendela, hujan panjang musim semi yang masih turun membasahi pemandangan malam dengan tenang.

 

[Kakeru : Kalau mau foto sakura, akhir pekan ini sepertinya jadi kesempatan terakhir loh?]

 

Sepertinya dia mengusulkan ide yang syahdu itu dengan alasan tersebut.

 

Meski melewatkan masa puncak mekarnya memang disayangkan, tapi akan lebih disayangkan lagi jika tidak memanfaatkan musim semi untuk menikmati pemandangan sakura.

 

[Seiji : Ide untuk mengambil foto dengan latar sakura meski tidak harus T&N sepertinya bagus juga ya]

 

[Aya : Bagi orang Jepang, sakura memang cocok untuk foto pertemuan maupun perpisahan. Semangat khas Jepang untuk pembukaan semester April!]

 

Yuno dan Chiaki mengirim stiker yang intinya menyatakan mereka setuju.

 

[Kakeru : Kalau cuman foto kenangan biasa, ayo kita undang yang lain juga selain kita berlima]

 

[Kakeru : Kita juga sudah janji mau main bareng kan]

 

Memang benar, bukan hanya T&N saja yang akan ada di album. 

 

Di kelas juga ada teman-teman yang berjanji akan membantu proyek album kepindahan.

 

Mengumpulkan teman-teman itu dan mengambil foto dengan latar sakura – pasti akan jadi kenangan yang tak terlupakan.

 

“Oh”

 

Saat aku hendak mengetik pesan, ponselku berdering. 

 

Aku menghentikan jariku dan melihat layar – nama “Hibiya Rin” terpampang di sana.

 

Aku menjeda percakapan LINE dengan teman-teman untuk menjawab panggilan itu.

 

“Ya, ini Seiji – Ya, ya...Benarkah?! Ya, terima kasih banyak! Hari Minggu? Baik, mohon bantuannya.”

 

Tampaknya benih yang aku tabur saat istirahat makan siang tumbuh lebih cepat dari yang kuperkirakan.

 

 “Permisi”

 

  Aku menutup panggilan dengan Rin-san dan membuka layar LINE lagi.

 

 [Seiji : Ini hari Minggu, tapi bisakah aku menambahkan satu hal lagi ke jadwalnya?]

 

 [Seiji : Ada gambar bulu tangkis yang kutunjukkan tadi, kan?  Aku pengen mengambil gambar T&N itu]

 

 [Seiji : Aku juga mendapat izin dari penasihat dan manajer klub. Katanya kita bisa menggunakan gedung olahraganya.]

 

 [Chiaki : Jangan-jangan orang yang kamu ajak bicara pas tadi makan siang di kantin itu mereka?]

  Aku menjawab ya.  Aku meminta Rin-san untuk membantuku, dan aku memesannya saat istirahat makan siang.

 

 [Kakeru : Itu berbeda dari yang kamu bilang]

 

[Aiya/Apakah ini makhluk yang disebut ketua kelas?]

 

 Daripada melihat keduanya dengan kaget atau kagum, aku menunggu jawaban Yuno.

 

 Balasan yang tidak datang dengan mudah menunjukkan keragu-raguan Yuno.

 

 Aku tahu bahwa Yuno memiliki perasaan campur aduk tentang bulu tangkis.  Yuno tahu bahwa aku juga mengetahuinya.  Ini adalah proposal yang sedikit lebih mendalam berdasarkan hal tersebut.

 

 [Yuno : Yah, tidak apa-apa. Kita cuman harus mengangkat raket dan berpose, kan?]

 

  Yossha! Aku menelan suara yang hendak keluar.

 

  Setelah menelan, aku menyadari bahwa karena aku tidak melakukan panggilan lain, aku tidak membutuhkannya.

 

 [Seiji : itu cukup buat pemotretan. Waktunya adalah──

 

  Setelah memberitahu Yuno dan yang lainnya jam berapa, aku menutup aplikasinya.

 

 (Dia mungkin akan marah...)

 

 Aku memperkirakan akan ada kesulitan pada hari Minggu, namun taruhannya sudah ditentukan.

 

 Jalan apa yang akan aku ambil untuk pindah sekolah...

 

  Bukan ide yang buruk untuk mencoba mempertaruhkan masa mudamu dalam petualangan seperti siswa SMA setidaknya sekali.



Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !