Ato 1-kagetsu de tenkō suru boku no seishun rabukome Epilog

Ndrii
0

 Epilog

20 April, 16 Hari Lagi • Siang




Keesokan harinya – tinggal 16 hari lagi sebelum kepindahanku.

 

Saat istirahat makan siang, kami berkumpul lagi di ruang klub fotografi OSIS untuk membahas pembuatan album.

 

“Foto ini diambil pas SD, menurutmu bisa dipakai?”

 

Yuno memperlihatkan sebuah foto.

 

“Kalau kita minta izin buat pemotretan, sekolah pasti mengizinkan kan?”

 

Kakeru memberikan dugaan.

 

“Kalau alumni yang meminta di hari libur, mungkin bisa dipertimbangkan?”

 

Aya-senpai menyahut, diikuti anggukan Chiaki.

 

“Katanya alumni yang menikah kadang diizinkan mengambil foto kenangan di sekolah lama mereka.”

 

Aku segera mencari kontak sekolah dasar kami dulu.

 

“Sebaiknya kita hubungi setelah mengumpulkan foto referensi. Apakah ini satu-satunya foto dengan latar sekolah dasar?”

 

Foto-foto yang sudah dikumpulkan masih banyak, termasuk milikku.

 

Album yang baru saja ditambah foto bulu tangkis kemarin pasti akan semakin banyak isinya.

 

“Ah, ini pas festival olahraga!”

 

“Kita sempat foto begini ya?” 

 

Seperti Yuno dan Chiaki, setiap melihat foto lawas, pekerjaan pasti akan tertunda.

 

Tapi aku tidak keberatan, ini semua bagian dari ‘Ten’aru.

 

“Hm? Silakan masuk.”

 

Pintu ruangan diketuk. Aya-senpai yang berada di dekatnya mempersilakan masuk.

 

Pandangan kami semua tertuju ke arah pintu saat tamu itu menampakkan sosoknya.

 

“.....…”

 

Keheningan dari rasa terkejut melanda kami semua.


Rambut pirang sepanjang leher bergerak melambai.

 

Wajah cantik putih bersih yang biasanya dibalut kacamata bundar, kini terpampang. 

 

Sepasang mata berwarna toska terbuka dengan tatapan menantang. Kaki jenjangnya melangkah masuk dengan rok yang lebih pendek dari biasanya.

 

Sungguh seperti Elf cantik berambut pirang dari karya fantasi.

 

Namun dia bukan si “Elf Sastra” berkacamata dan berkepang yang menjadi maskot sekolah. 

 

“Maki?”

 

“Airi-chan!”

 

Dia Maki Airi, yang telah memotong pendek rambutnya dan mengganti kacamata dengan lensa kontak.

 

“Sayang sekali. Aku mengharapkan reaksi ‘siapa dia’ lho.”

 

Suaranya agak serak dan datar saat berbicara. Tidak diragukan lagi, ini Airi.

 

“Ya, aku dengar Aikage mau pindah sekolah. 


Aku sama sekali tidak mendengarnya langsung darinya, tapi aku mendengar kabar kepindahannya!”

 

Airi memberiku senyum seperti mengajukan protes, membuatku tersentak di kursi.

 

“Ah maaf, aku tidak punya kesempatan untuk mengatakannya.”

 

Sejak hari pengumuman kepindahanku di kelas, aku terus sibuk dengan proyek album hingga tidak ada waktu bicara dengan Airi.

 

Meski hubungan kami tidak sedekat itu, ini masih ketidak sopanan dariku.

 

“Airi-chan mau ikut berpartisipasi juga!? Ah kamu jadi imut banget! Benar-benar imut!”

 

Mungkin sebagai bantuan, Chiaki berseru girang.

 

“Aku cuman pakai kontak lensa dan menata rambut doang kok...”

 

“Tapi tetap keren! Makanya kubilang kan, Airi-chan pasti akan jadi kece kalau bergaya modis.”

 

Airi tampak malu-malu saat Chiaki memujinya terus terang.

 

“Ah, untuk sementara Maki juga ikut berpartisipasi ya. Aku akan membagikan aplikasi album kita.”

 

Karena tidak ada yang keberatan, aku menyarankan untuk membagikan aplikasi yang berfungsi seperti kartu anggota.

 

Kami bahkan sudah membagikannya ke orang tua, jadi siapa saja bisa bergabung tanpa batasan dalam proyek album pindah sekolah ini.

 

“Oh iya, soal album itu – aku dengar kalian mengumpulkan foto-foto lama, jadi aku bawa beberapa.”

 

Airi mengeluarkan amplop dari saku seragamnya.

 

“Ada foto-fotoku bersama Aikage dan Chiaki saat SMP dulu.”

 

Rupanya isi amplopnya adalah foto-foto. 


Memang benar kami bersekolah di SMP yang sama, jadi mungkin ada foto-foto yang tidak dimuat di album kenangan.

 

“Ah Airi-chan, tunggu dulu! Tunjukin dulu ke aku!” 

 

Sepertinya tanpa diduga, Chiaki tiba-tiba panik dan menyeret Airi ke sudut ruangan.

 

Airi yang lengannya ditarik tanpa perlawanan itu menyerahkan amplopnya sambil berkata “Silakan.”

 

“Ada apa sih Chii, kok terburu-buru begitu? Tidak mau difoto?”

 

“Entahlah...mungkin hati seorang gadis?”

 

Kakeru dan aku hanya dapat memandang heran. 

 

“Ah dasar laki-laki, tidak peka.”

 

“Untuk anak SMP, perasaan malu di foto memang agak berbeda dibanding anak SD ya kawan. Wajah mungkin mirip sekarang, tapi belum tahu soal make up.”

 

Yuno dan Aya-senpai memberi penjelasan. 

 

Benar juga, untuk siswi SMA yang peduli penampilan, foto masa remaja tanpa riasan mungkin terasa memalukan.

 

“Ini dan ini juga rahasia ya... yang ini pas SD ya? Wah Airi-chan imut banget waktu kecil...”

 

“Chii, cara ngomongmu kayak lolicon.”

 

Chiaki dan Airi saling mengobrol sambil melihat foto-foto itu. Aku jadi ingin segera melihatnya.

 

“Eh? Ini... Airi-chan! Ini “anak itu” kan!”

 

Chiaki berubah pucat melihat sesuatu di foto itu. 

 

“Se-Semuanya lihat ini dulu!”

 

Chiaki kembali dan menunjukkan salah satu foto yang dibawa Airi agar kami semua bisa melihatnya.

 

Aku mengamati foto itu dengan saksama. “Ini Maki pas kecil kan?”

 

“...Sebaiknya jangan dilihat.”

 

Tidak diragukan lagi, anak perempuan dalam foto itu adalah Airi.

 

Sepertinya foto saat acara sekolah, menunjukkan seorang gadis pirang berseragam olahraga tengah tertawa lebar memamerkan giginya yang putih.

 

Meski melihat si Elf Sastra tertawa lepas seperti itu sudah merupakan pemandangan langka...

 

“Bukan, bukan! Anak di sampingnya!”

 

Chiaki menunjuk anak lain di sebelah Airi.

 

“Ah!”

 

Aku memperhatikan anak itu lalu meraih tumpukan foto yang kukantongi sebagai kandidat T&N.

 

Aku mengambil satu foto yang baru beberapa hari lalu kumasukkan dalam ‘cadangan’.

 

Aku menyodorkan fotoku itu dan menatanya sejajar dengan foto Chiaki.

 

“Ah!”

 

Yuno, Kakeru, dan Aya-senpai juga memekik.

 

Foto hari anak-anak yang hampir kulupakan karena gagal merekonstruksinya – seorang anak SD yang tidak bisa kukenali.

 

Di foto Airi, terdapat anak yang wajahnya sama persis dengan anak SD itu.

 

-     Ingatan memang datang tiba-tiba tanpa diduga.

-      

Walau kita berusaha mengingat, kadang tidak berhasil. Tapi ingatan akan muncul sendiri saat kita tidak sedang mencarinya.

 

Makanya manusia membuat kenangan. 

 

Agar saat ini tidak terlupakan dan menjadi ‘saat itu’ kelak.

 

Agar ‘saat itu’ dan ‘sekarang’ tidak terpisah, tanpa ada satu pun hal yang terlupakan.

 

Album kami akan semakin tebal seiring berlalunya hari-hari menghitung mundur hingga kepindahanku.

 

Tinggal 16 hari lagi sebelum aku pindah sekolah.



Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !