Chapter 2
13 April, 23
Hari Lagi • Sepulang Sekolah
Bersamaan dengan
terbenamnya matahari, perkumpulan perkawanan pun berakhir, dan para peserta
bubar menuju kota di malam hari.
Yang satu jalan pulang
denganku adalah tiga orang - Chiaki, Yuno, dan Kakeru yang menarik sepeda
sekolahnya.
"Ngomong-ngomong,
Yuno, sekarang kamu tinggal di daerah mana?"
"Di apartemen tempat
aku tinggal sebelumnya. Cuman kamarnya beda."
"Kalau gitu, berarti
kita searah."
Aku memulai percakapan
dengan Yuno yang memimpin jalan.
"Ngomong-ngomong,
kurang asyik nih kalau ngobrolnya cuma segini. Mau lanjut di tempat lain?"
Itu usulan dari Kakeru.
Karena aku juga merasa demikian, aku melirik dua orang lainnya.
"Aku sih tidak
masalah, tapi gimana dengan Chiaki dan Yuno? Kalau kalian capek..."
"Aku tidak capek,
tapi sebaiknya jangan di tempat makan. Aku sedikit kekurangan uang saku."
"Kebanyakan makan
juga tidak baik, sih."
Chiaki dan Yuno sepertinya
juga tidak keberatan lanjut bersama kami. "Kalau gitu, gimana kalau di
rumah Seiji? Dulu kita sering berkumpul di sana, kan?"
"Yah, aku tidak bisa
menjamu dengan baik, tapi kalau kalian tidak keberatan."
"Kalau
gitu, ayo kita beli camilan di tengah jalan. Karena Seiji udah nyediain tempat,
jadi kami yang akan mentraktir."
"Kalau gitu, aku akan
pulang duluan untuk beresin tempatnya dulu."
Menerima usulan Kakeru,
untuk pertama kalinya dalam waktu lama, aku mengundang teman-teman akrab masa
kecilku ke rumah.
Begitu sampai di rumah,
aku mulai mempersiapkan penyambutan mereka.
Aku menyusun meja dan
bantal di kamar, dan saat aku mengganti pakaian, bel rumah berbunyi.
"Wah... tidak ada
apa-apa, ya."
"Yuno, mungkin lebih
baik kamu mengatakan 'Ternyata cukup rapi, ya?' atau semacamnya kan?"
Reaksi Yuno ketika melihat
kamarku, sejujurnya agak mengecewakan.
Seharusnya ada komputer di
meja, rak buku dan tempat tidur, robot pembersih berbentuk cakram, dan
barang-barang lain yang diperlukan.
"Rak bukumu... hampir
semuanya buku pelajaran, ya. Dulu kamu punya beberapa komik, kan?"
"Aku menjualnya pas
masa ujian. Sejak saat itu, aku menggunakan tablet untuk membaca buku
elektronik."
"Katanya kamar
mencerminkan hati seseorang, tapi sepertinya hati Seiji-kun bahkan tidak
memiliki konsol game..."
"Apakah perlu
bereaksi seolah-olah aku ini orang yang malang?"
Bagi Kakeru dan Chiaki,
kamarku seperti goa hati yang terbengkalai.
Meski meninggalkan isu
soal hati, hanya mengobrol saja dengan teman yang diundang juga tidak enak.
Mungkin aku harus menyediakan sesuatu sebagai perantara. Ketika mengedarkan
pandangan ke sekeliling kamar, mataku tertumbuk pada lemari.
"Ah iya, aku punya
permainan papan yang diberikan paman. Yang bergambar monster itu."
"Seiji-kun! Bolehkah
aku melihatnya!?"
Karena Chiaki bersemangat,
aku memutuskan untuk mengeluarkannya.
Yang aku keluarkan dari
lemari adalah kotak dangkal selebar meja kecil.
Di permukaannya, ada
ilustrasi monster-monster yang selama bertahun-tahun dilempari penangkap bola,
dan karakter utama anime yang baru saja tamat beberapa waktu lalu.
"Wah, kayak barang
antik..."
Ketika Yuno terkagum
melihat gambar yang sudah kuno, di sampingnya Chiaki dan Kakeru terkejut.
"Ini dari era ketika
karakter utama generasi sebelumnya masih pendatang baru!? Saat dia belum
menguasai daerah asalnya!"
"Bener-bener
'Generasi Pertama', ya. Dari zaman sebelum ada kepribadian dan kemampuan
khusus!"
Bagi generasi yang bermain
konsol game portabel, ini sudah seperti barang kuno.
Saat membuka kotaknya,
terlihatlah papan seperti permainan ular tangga, kepingan kertas bergambar
monster, dan beberapa dadu – tidak ada perangkat elektronik sama sekali.
"...Cara mainnya
gimana?"
"Mungkin sama kayak
ular tangga, kan?"
Melihat ekspresi bingung
Yuno dan aku, Kakeru melanjutkan.
"Aku pernah merasakan
perasaan ini. Sama seperti saat aku melihat telepon kabel hitam di rumah kakek
di pedesaan terpencil..."
Di hadapan barang lawas
ini, kami bagaikan orang-orang zaman pertengahan yang menghadapi komputer.
Yang paling jago soal hal
seperti ini di antara kami adalah Chiaki yang sejak tadi memotret dengan
ponselnya.
"Hah? Tidak ada di
antara kalian yang ingin menjadi Master?"
"Baiklah, ayo main."
Begitulah, kami pun terjun
ke dalam permainan lawas itu.
Dengan posisi Chiaki di
depanku, Yuno di kiri, dan Kakeru di kanan, kami mengelilingi meja kecil dalam
posisi duduk.
"Ngomong-ngomong,
Yuno, gimana setelah kamu pindah?"
"Maksudnya?"
"Kayak di mana
tempatmu pindah, apa aja yang kamu lakukan di sana, dan sebagainya."
Sambil memasukkan camilan
yang baru dibeli ke mulutnya, Kakeru meminta laporan dari Yuno.
"Hmm, pertama-tama
aku pindah ke Hiroshima. Tempatnya cukup terpencil di pedesaan..."
Yuno yang duduk bersila di
atas bantal, memandang ke atas miring seolah mengenang kampung halamannya.
"Pedesaan? Lebih
pedesaan daripada di sini?"
Tempat yang dimaksud
Kakeru dengan "sini" adalah kompleks perumahan sepi yang tidak bisa
dibilang kota atau desa.
"Tentu saja, di sana
hanya ada satu sekolah untuk tingkat dasar, menengah, dan atas. Logat daerahnya
juga agak kental, lho."
Rupanya Yuno tinggal di
pedesaan yang cukup terpencil.
"Logat daerah?
Maksudnya logat Hiroshima, kan... Langsung kebayang adegan film samurai."
Di pikiranku, logat
Hiroshima yang terdengar tidak beretika itu tidak cocok dengan penampilan Yuno.
“Tidak perlu memintaku
mengucapkannya, kan? Aku sudah berusaha keras mengupdate diri sejak pindah ke
sini.”
Mungkin karena salah
mengartikan pandanganku, Yuno mendahuluiku dengan menolak. Senyumnya agak
menekan.
“Kalau gitu... ah, kamu
ikut klub apa pas di sana?”
“Yuu-chan pandai olahraga,
jadi pasti klub olahraga?”
Menanggapi pertanyaanku,
Chiaki yang baru saja mengocok dadu melanjutkan.
“Di SMP aku ikut bulu tangkis,
dan sebelum pindah, aku bergabung dengan klub daerah di sini. Kalau tidak
salah, Seiji-kun juga ikut, kan?”
“Ah iya, benar. Tapi aku
berhenti setelah masuk SMP.”
Klub bulu tangkis yang
awalnya hanya kuanggap sebagai latihan ringan. Di antara kami semua di sini,
hanya aku dan Yuno yang memiliki kenangan itu.
“Dengan tinggi Yuu-chan, kamu
pasti jago ya. Kamu masih main di SMA?”
“Hmm, sekarang aku sudah
tidak main lagi, sih...”
Mendengar kata-kata
Chiaki, Yuno mengaburkan jawabannya.
“Itu karena alasan
kesehatan?”
Ketika aku menanyakan
alasannya, Yuno berkedip.
Tidak seperti di kelas
yang banyak mata mengawasinya, di sini aku bisa menggali lebih dalam.
Karena di masa mendatang
hubunganku dengan Yuno bisa jadi semakin dekat, hingga aku mungkin harus
memanggil ambulans untuknya lagi.
“...Sejak pagi tadi aku
merasa, apa kalian menganggapku anak yang sakit-sakitan?”
“Eh? Bukan begitu?”
Aku mengira jeda aneh tadi
karena dia menyembunyikan penyakitnya, tapi ternyata...
“Ya iyalah, kita dengar
kamu itu murid pindahan yang terlambat masuk karena operasi.”
“Aku juga dengar soal
ambulans itu dari Seiji, jadi mungkin sebagian besar teman sekelas berpikiran
sama.”
Kakeru dan Chiaki
menambahkan kesaksian mereka.
Yuno lalu menggerakkan
sudut bibirnya dan berkeringat dingin di pipinya.
“...Maaf, sebenarnya aku
sama sekali tidak apa-apa. Sungguh, cuman operasi kecil.”
“Ah, tidak perlu memasang
wajah meminta maaf begitu.”
Saat aku berusaha
menenangkan Yuno yang terlihat prihatin, Kakeru angkat bicara.
“Oh, aku tahu.
Jangan-jangan itu? Wasir atau penyakit saluran kencing?”
“Kakeru diam! Minum Cola
sekali tenggak aja sana!”
Ucapan Kakeru yang
benar-benar tidak peka itu membuatnya dimarahi Chiaki.
“...Bukan itu.”
Terdengar suara seperti
nyamuk dari Yuno yang mukanya memerah.
“Ini usus buntu, Cuma usus
buntu biasa. Usus buntu yang sembuh setelah dioperasi sedikit.”
Istilah resminya adalah
apendisitis, penyakit yang menyebabkan nyeri perut hebat.
“Usus buntu? Bukannya itu
yang diderita kakek-kakek rakus?”
Aku setuju dengan image
Kakeru, tapi justru kaum muda yang lebih rentan terkena penyakit ini.
“Ya, benar. Aku gadis
model kakek yang menderita usus buntu karena menolak sayur dan makan makanan
berminyak terus...Aku terkena saat upacara penerimaan siswa baru dan dirawat di
rumah sakit.”
Mendengar pengakuan Yuno,
kami saling pandang dengan tampang bingung.
“Ah, Yuu-chan, berarti
bekalmu itu juga...?”
“Sejak operasi, ibuku jadi
ketat soal pola makan, menyediakan apa pun yang baik untuk usus.”
Kata Chiaki, bekal Yuno
seperti makanan rumah sakit.
“Jadi karena organ
dalamnya terluka, ya...”
Saat aku lemas, Yuno
menitikkan air mata dan meringkuk kecil.
“Maaf, aku tidak perlu
cangkok organ apa pun... Maaf, aku tidak divonis menderita penyakit jantung
kronis... Aku dulu anak kuat yang tidak mudah sakit di desa. Sekarang setelah
memperbaiki pola makan, aku anak sehat istimewa.”
“Ah bukan, ini bukan salah
Yuno. Ngomong-ngomong, kenapa kamu menyembunyikannya?”
“Seiji-kun. Soal usus
buntu itu, kan...”
Sementara aku panik
melihat Yuno menangis, Chiaki berusaha mengatakan sesuatu tapi terbata-bata.
Justru Kakeru yang
menyadarinya.
“Oh iya, aku pernah dengar
di acara kesehatan kalau sembelit bisa jadi penyebab usus buntu juga. Dan soal
usus buntu, bukankah setelah operasi, pasien tidak boleh pulang sampai bisa
buang angin?”
“Ya, minum 2 liter
sekaligus untuk melonggarkannya kan?”
“Eh, serius nih?”
Yuno menutup mukanya yang
merah padam dengan tangan, sementara Kakeru membuat Chiaki memberinya Cola
hingga mukanya pucat.
“Pftt!”
Adegan itu sangat lucu
sehingga aku tak bisa menahan tawa.
“Seiji-kun, jangan tertawa!”
“Hahaha, memang tidak
mungkin bilang begitu di kelas!”
Meski aku berusaha
menahannya, Kakeru mulai tertawa, dan aku pun ikut tak bisa menahan diri.
“Padahal aku tidak
bermaksud mengatakannya!”
Yuno yang mengangkat
wajahnya, buru-buru menutup mulutnya.
Sepertinya, tanpa sengaja
logat daerahnya keluar dalam percakapan spontan itu.
“Updatenya sepertinya
terhenti, ya.”
“Ah, tapi itu gemesin
kok.”
Mendengar komentarku dan
Chiaki, Yuno memalingkan pandangan seolah memelototi lantai.
Mungkin dia sangat malu,
hingga rona merah di wajahnya seperti menjalar ke telinga.
Akhirnya, setelah mencapai
batas rasa malunya, Yuno...
“Huaaa! Kalian semua jahat!
Aku sudah susah-susah berkarakter supaya tidak dianggap anak desa sejak pindah
ke sini!”
...Meledak.
Aku, Chiaki, dan Kakeru
terkejut sesaat, lalu tertawa lagi.
Caranya marah terlihat
sangat menggemaskan dan kata-katanya seperti anak-anak.
Penampilannya benar-benar
seperti “Yuu-chan” yang sering kami lihat saat masih kecil dulu.
Meski telah berubah
seiring waktu, Yuno yang kami kenal ternyata tidak pernah menghilang.
“Jadi gitu, ternyata itu
rencanamu.”
“Yuu-chan, pantas aja aku ngerasa
ada yang aneh...”
“Ah, jadi kamu bermaksud
meninggalkan image gadis desa dan menjadi anak kota ya. Tapi lapisan samaran
itu sangat tipis.”
Aku, Chiaki, dan Kakeru
pun mulai memahami semuanya.
“Habisnya...Siapa yang
mengira di kelas baru akan ada kalian semua jadi satu.”
Yuno memeluk kepalanya dan
mengenang kejadian pagi ini.
“Saat Seiji dan Chii-chan
menyapaku, aku hampir kehilangan kendali karena senang. Shou juga masih sama kayak
dulu, jadi aku hampir jadi kekanakan lagi. Dan tanpa sadar, aku sudah
diperlakukan seolah-olah menderita penyakit parah!”
Cara Yuno memanggil kami
mulai berubah.
Chiaki masih “Chii-chan”,
tapi aku Seiji dan Kakeru dipanggil “Shou” seperti dulu.
“Jadi, rencanaku untuk
berpenampilan baru sejak hari pertama sudah seperti berjalan di tali dari awal?
Kalian bayangin aja susahnya menekan logat dan kebiasaan lama biar tidak
muncul, sambil berusaha tidak membocorkan penyakitku agar tidak dicurigai
penyakitan?”
Yuno menelungkup di meja
sambil menangis.
Rupanya pertemuan kembali
dengan kami telah menggagalkan rencana debutnya sebagai murid pindahan.
“Yuu-chan, harusnya kamu
bersikap seperti biasa aja.”
Chiaki dengan senang hati
mengelus kepala Yuno.
“Dari pengalamanku,
tiba-tiba bersikap tidak seperti diri sendiri pasti tidak akan berhasil.”
Itulah nasihatku yang
pernah menjadi ketua OSIS di SMP entah kesambet apa.
“Lagian, mustahil seorang
gadis cantik dan lemah lembut seperti itu dulu si Jendral Cilik Yuu yang rakus.
Justru kalau kamu sampai sakit perut dan buang angin karena kebanyakan makan,
itu lebih mirip Yuu yang kami kenal.”
“Jangan berlebihan ah.”
“Ah tidak, maksudku itu
lebih alami bagimu untuk jadi dirimu sendiri!”
Saat Yuno yang berurat di
dahi mengancam dengan senyum, Kakeru menarik kembali kata-katanya yang kasar.
Ditambah logat Hiroshima,
kharisma si Jendral Cilik yang kembali semakin menyeramkan.
“Tapi, gitu ya. Hmm,
mungkin lebih baik aku sadar sejak hari pertama...”
Yuno berdeham dan
memperbaiki nada bicaranya. Lalu dia mengambil botol Cola di depan Kakeru,
menuangkannya ke gelas dengan berisik seperti peminum sake, dan meneguknya
habis dengan suara lantang. Tenggorokannya kuat juga.
“Puah!”
Setelah menghembuskan
napas keras, aura Yuno berubah total.
Kakinya terbuka lebar,
punggungnya sedikit membungkuk, dan semua kepura-puraan dalam nada suara dan
ekspresinya menghilang.
“Baiklah, aku berhenti
jadi anak baik-baik.”
Sambil memutar-mutar dadu
di tangan di samping wajahnya, dia tersenyum seperti anak nakal.
Begitulah --- “Yuu-chan”
kami telah kembali.
“Hei tikus kecil, sejak
sukses besar di anime, kamu terus bersikap seolah-olah penting kan?”
“Bukannya itu kamu, tuan
kadal, yang masih bertingkah sebagai bangsawan meski sudah mundur?”
Kakeru mewakili dinosaurus
berekor menyala, sementara Yuno membantahnya atas nama tikus penghasil listrik,
maka pertempuran dimulai.
“Ya, kelinci berselendang
yang pintar berevolusi juga mulai menonjol lho.”
“Dan di sini muncullah
kuda hitam, makhluk aneh dalam wujud terakhirnya.”
Chiaki menyusul kedua
orang itu, sementara aku dengan tenang menggerakkan bidakku sambil mengingat
kembali sejarah besar game ini.
“—Eh, Yuu-chan, kamu
belajar make-up itu sebelum pindah sekolah?”
“Iya. Sekolah lamaku cukup
ketat, dan aku juga ikut klub olahraga. Jadi saat akan pindah ke kota, aku
pikir mungkin sudah waktunya berdandan sedikit.”
“Kalau gitu, lain kali ayo
kita pergi belanja bersama. Ada beberapa toko yang terlihat terlalu mewah untuk
didatangi sendiri...”
Topik pembicaraan entah
sejak kapan berubah, setelah Chiaki dan Yuno membahas make-up dengan antusias,
“Ngomong-ngomong, sakitnya
usus buntu itu kayak apa?”
“Hmm, dari malam
sebelumnya sudah terasa tidak nyaman di perut bagian bawah, lalu paginya terasa
seperti ditusuk di perut samping?”
Kakeru menanyakan
bagaimana rasanya usus buntu, dan Yuno pun tanpa malu menceritakannya.
Yang merasa heran justru
aku yang memanggil ambulans saat itu.
“Harusnya waktu itu kamu
mendingan langsung ke rumah sakit aja. Kalau dibiarkan bisa membahayakan nyawa,
lho?”
“Yah, aku hanya terlalu
tegang karena hari pertama, jadi aku coba tahan dengan tekad kuat.”
Yuno tertawa
terbahak-bahak. Aku ingin mengembalikan waktu saat aku mengkhawatirkannya sakit
parah hanya karena dia ceroboh.
Jarum panjang jam bergerak
maju.
Meskipun jarum itu belum
mengelilingi satu putaran, beberapa tahun yang tidak bisa kami habiskan
bersama, tiba-tiba saja terasa terhapus.
“—Ngomong-ngomong, kenapa
Seiji dipanggil Seiji?”
Di tengah permainan, Yuno
tiba-tiba berkata aneh.
“Kenapa tiba-tiba? Aku
bukan Romeo, lho.”
“Bukan, aku juga tidak
bermaksud jadi Juliet.”
Dengan mulut penuh
keripik, Yuno memang tidak cocok berperan sebagai putri yang meratapi cinta
terlarang di balkon.
“Maksudku nama panggilan.
Aku Yuu atau Yuu-chan, Kakeru dibaca Shou, Chiaki dipanggil Chii atau
Chii-chan. Tapi kenapa kamu tetap Seiji? Aku tiba-tiba jadi penasaran.”
Ternyata dia membahas nama
panggilan.
“Nama panggilan, ya...”
Nama panggilan – sering
muncul seperti sticky note saat mengingat masa lalu, panggilan yang memanggil
dan dipanggil. Ada yang hanya singkatan nama, ada juga yang entah bagaimana
muncul dengan alasan yang tak jelas, tergantung orangnya.
Meski akhir-akhir ini
banyak sekolah dasar yang melarang untuk mencegah bullying, kami dulu saling
memanggil begitu.
“Ngomong-ngomong, kenapa
kamu dipanggil seperti nama rempah-rempah?”
“Mungkin hanya pengucapan
yang diplesetkan?”
Aku mencoba mengingat,
sementara Kakeru hanya menebak asal.
“Aku ingat alasannya lho.”
Lalu Chiaki tiba-tiba
mengacungkan tangan dengan semangat seolah tahu jawabannya.
Rupanya jika ada empat
sahabat akrab sejak kecil, meski ada yang lupa, pasti ada yang masih ingat.
“Kalian ingat pas main
kartu waktu itu? Permainan kartu berdasarkan manga untuk anak-anak, bertarung
dengan makhluk panggilan.”
Kata “permainan kartu”
yang tidak terduga muncul.
“Itu kan yang sempat
populer di kalangan anak laki-laki waktu itu?”
Kata-kata Chiaki seperti
memancing ingatan Yuno.
“Oh, yang memilih
pekerjaan seperti Shaman atau Witch untuk menggunakan sihir, lalu bertarung
dengan dek masing-masing?”
Kakeru sudah mendahuluinya
menjelaskan.
Aku memang ingat ada manga
dan kartu seperti itu, tapi tidak ingat hubungannya dengan nama panggilan.
“Benar. Dan dek yang
dipakai Seiji-kun saat itu adalah Sage, yang artinya petapa bijaksana. Karena
nama Seiji artinya sama, dia terus memakainya dan mengasahnya. Makanya
dipanggil Seiji-kun.”
(Tln : Sage itu di baca
nya sej, nah karena di jepang ga ada huruf pakem jadi di bacanya seji)
“...Begitu rupanya.”
Seiji (せいじ) jadi sage (セージ)... Itukah alasan aku
mendapatkan julukan itu?
Jadi selama ini aku di
panggil ‘Petapa’, rasanya tiba-tiba aku menjadi malu.
“Aku ingat lho? Waktu itu
kamu anak sombong yang bangga dengan nilai belajarmu yang bagus kan? Kamu tidak
suka kalah dalam pertandingan menggunakan otak seperti itu.”
Guuh! Aku kehabisan napas
dengan tuduhan Kakeru.
“Ya, ya, Seiji-kun selalu
membanggakan nilai tinggi di tes ya,”
Guah! Aku tertusuk dengan
kata-kata Chiaki.
“Benar, aku juga ingat
dengan jelas wajah sombongmu sambil memegang rapor itu.”
Guoooh... Aku dikuasai
rasa malu saat dihadapkan dengan kesaksian Yuno, dan memegang kepalaku.
Ah, aku ingat, ingat
sekali. Diriku waktu itu yang menganggap orang lain bodoh!
“Jangan murung, Seiji. Aku
baru aja cek internet, sepertinya sage juga berarti ‘orang sombong’ lho Seiji. Pas
banget untukmu. Ini pasti apa yang disebut ‘ramalan nama’ ya, Sa-g-e♪”
(Tln : mengingatkan
kembali Sage di baca Seiji, jadi ya sama ae)
“Jangan panggil aku dengan
nama itu sekarang...!”
Kakeru menepuk bahuku.
Kalian anak-anak masa kecilku ini—kalau begitu aku juga punya sesuatu untuk
diingat.
“Aku juga baru ingat.
Misalnya Shou, kamu anak nakal yang tidak berhenti melakukan ‘kancho’ bahkan
setelah kelas naik kelas. Saat upacara penerimaan rapor, saat kamu menyerang
guru wanita itu secara tiba-tiba, aku pikir kamu benar-benar bodoh.”
“Jangan ungkit masa lalu,
ibuku dimarahi sampai menangis di depan teman sekelas!”
Mungkin ada yang tidak
tahu, gerakan menyerang pantat orang dengan membentuk tangan seperti ninja.
(Tln: di Naruto, jurus
rahasia Kakashi :v)
Yuno dan Chiaki menatap
Kakeru dengan pandangan putih, tapi mereka berdua juga punya kisah sendiri.
“Chiaki, selalu berakting
penuh semangat saat ‘membaca buku’ di kelas bahasa.”
“Eh, Seiji-kun!? Kamu
mengungkit hal yang sudah kulupakan!”
Dulu sewaktu SD, apakah
pernah ada sesi membacakan cerita dari buku pelajaran?
Di antara anak-anak yang
membaca datar, kadang ada yang ‘benar-benar menghayati’ kan?
“Karena guru muda itu
memberimu nilai tinggi, kamu mengabaikan perbedaan suhu dengan teman sekelas
dan berakting dengan penuh semangat—“
“Nih, Pocky enak lho!”
Chiaki mencolokkan Pocky
cokelat ke mulutku dengan wajah memerah.
Sembari menggigit dan
melipat, aku mengarahkan wajah ke target terakhir, Yuno.
“Yuno—Aku tidak melupakan
kejadian saat liburan musim panas itu, ketika kamu berlari dari belakang dan
memasukkan belalang hidup ke dalam celanaku.”
“......Uwaa, itu
perbuatanku! Aku kejam!”
Sebenarnya aku ingin
mengubur kenangan itu di kegelapan.
“Heh, maaf, waktu itu aku
benar-benar... hhkkk...”
“Kamu malah tertawa saat
mengingatnya, benar-benar kurang ajar.”
“Soalnya waktu itu... Kamu
berusaha menurunkan celanamu dengan putus asa, lalu saat pantatmu menghadap ke arahku,
kamu jatuh dan... di tengah celana dalammu yang putih bersih, belalang itu...
berkelotak ‘miiin-miiin’...!”
Sepertinya karena
mengingat kejatuhanku yang memalukan waktu kecil, bukan hanya Yuno tapi Chiaki
dan Kakeru pun sampai tertawa terbahak-bahak.
“Ah benar, waktu itu
kalian menertawakanku seperti itu ya.”
“Maaf ya. Sudah, udahan
oke? Siapa tahu apa lagi yang akan terbongkar nanti.”
Setelah Yuno menyatakan
menyerah, Chiaki dan Kakeru pun mengangguk.
“Kalau teman masa kecil
saling membongkar kejelekan semasa kecil, pasti berakhir dengan kehancuran
bersama ya.”
“Benar-benar perang nuklir
yang memusnahkan semua pihak.”
“Yah, serangan balasan
sudah selesai, kurasa aku bisa memaafkan sampai di sini.”
Dalam cerita, ‘kenangan
masa kecil’ sering menjadi bagian penting.
Tapi dalam kenyataan,
memang seperti ini.
Hanya omong kosong yang
tak menghasilkan apa pun selain mengenang masa lalu.
Kecanggungan di antara aku
dan Yuno benar-benar sirna, selain itu—tidak ada artinya.
“Ahh seru banget. Ternyata
hal seperti ini masih bisa dirasakan walau sudah SMA ya.”
Yuno mengangkat tangannya
dan meregangkan tubuhnya. Dadanya yang berben tuk bagus ikut terangkat jadi aku
mengalihkan pandangan.
“Ah, maaf ya Seiji-kun,
aku berantakan di kamarmu.”
“Tidak apa, toh tidak ada
yang kotor.”
Kamarku yang tadinya
gersang, sekarang berserakan dengan bungkus-bungkus permen kosong, botol
minuman kemasan yang sudah dihabiskan, serta permainan papan dan kartu yang
berceceran.
Sungguh berantakan,
seperti kamar anak kecil yang tidak bisa membereskan barang-barangnya.
“Untuk hari ini sudah
selesai ya. Masih ada yang belum dibicarakan sih.”
“Kita bisa mengobrol lagi
di sekolah, nanti cari waktu buat ngumpul lagi aja.”
Melihat jam, Kakeru yang
kecewa, aku menjawab sambil merenggangkan badan.
Berkumpul lagi—kata-kataku
meluncur begitu saja, dan tidak ada yang membantahnya.
“Aku pulang.”
Setelah membereskan
sedikit, ketika aku keluar kamar, terdengar suara dari pintu depan.
Ibuku – Aikage Manami,
yang pergi ke luar, baru saja kembali.
“Ara, Shou-kun dan
Chii-chan! Sedang main ya?”
Bukannya menyambut
anaknya, Ibu malah tersenyum cerah pada Kakeru dan Chiaki yang berada di
belakangku.
“Maaf mengganggu,
Manami-san.”
“Maaf mengganggu...”
Kedua orang yang kukenal
sejak kecil menjawab dengan santai.
Chiaki memanggil Ibu
dengan nama depannya, karena dulu Ibu berkata “Panggil aja Manami-san oke?”
Mungkin Ibu tidak ingin
dipanggil bibi, benar-benar tidak mau terlihat tua.
“Aah kalian berdua sudah
besar ya. Lalu—“
“Ah, sudah lama tidak
bertemu.”
Ketika mendapat perhatian
Ibu, Yuno memberi salam dan Ibu memandangi wajahnya sejenak lalu terkejut.
“Jangan-jangan kamu
Yuu-chan? Masa sih! Kamu jadi secantik ini!”
Tanpa diduga, dalam sekali
lihat Ibu langsung mengenali Yuno.
Rupanya meski Yuno sudah
tumbuh dewasa, Ibu masih bisa mengenalinya.
“Iya, sudah lama tidak
bertemu...Ah maksudku, Manami-san? Kamu masih terlihat muda...”
“Hahaha jangan merayu bibi
begitu dong. Mau pulang sekarang? Kalau gitu tunggu sebentar, kebetulan aku
baru pulang jadi ada oleh-oleh.”
Seperti yang terlihat, Ibu
dengan pakaian kantornya memegang bungkusan oleh-oleh di satu tangan.
Ibu menyuruh kami menunggu
sebentar, lalu membuka bungkusannya dan membagi isinya menjadi tiga bagian
untuk Yuno, Chiaki, dan Kakeru.
“Maaf menunggu, hanya
bungkusan kertas biasa tapi terima aja oke? Terutama untuk Yuu-chan, tolong
sampaikan salamku pada ibumu. Nanti aku akan meneleponnya, semoga nomornya
tidak berubah.”
“Ah, baik, terima kasih
banyak.”
Seperti kami yang berteman
sejak kecil, ibu kami juga saling mengenal sedikit.
Karena Yuno sudah kembali,
mungkin orang tuanya juga ada di sini, jadi Ibu ingin menghangatkan kembali
persahabatan lama.
“Seiji, kamu antar mereka
sampai depan oke?”
“Iya, biar aku aja yang
nganter, Ibu tidak usah repot-repot.”
Karena lokasinya,
apartemen tempat Yuno tinggal paling jauh, jadi setelah berpisah dengan Chiaki
dan Kakeru, Yuno harus berjalan sendiri di malam hari. Lebih baik mengantarnya
sampai dekat sana dulu.
“Manami-san tetap aja kayak
dulu ya, penuh energi gitu.”
Setelah keluar rumah,
Kakeru berkomentar sambil menoleh ke belakang.
“Seiji-kun, tadi ibumu
bilang ‘beristirahatlah’, memangnya Manami-san sakit?”
“Bukan, maksudnya biar Ibu
beristirahat karena baru pulang dari luar kota dan dia pasti lelah.”
“Ah, baiknya.”
Menjawab pertanyaan
Chiaki, Yuno mencondongkan badannya dari samping dengan nada mengejek.
“Malam masih dingin, ayo
kita segera berangkat.”
Karena jika aku merespons
hal semacam ini, mereka akan semakin menggodaku. Jadi aku mengambil inisiatif
untuk mulai berjalan lebih duluan.
○
Pertama kami berpisah
jalan dengan Kakeru, lalu aku mengantarkan Chiaki sampai depan rumahnya. Hingga
akhirnya hanya tinggal aku dan Yuno.
“Eh? Jadi taman
kanak-kanak itu sudah tidak ada lagi!?”
“Bukan tidak ada lagi,
tapi pindah tempat. Sekarang tanahnya jadi lahan kosong.”
“Wah begitu ya... Ah,
lihat! Di sana dulu bukannya sawah ya, sebelum ada supermarket besar itu? Kita
dulu sering menangkap kecebong di sana.”
“Ah iya, dulu itu emang
sawah ya...”
Perubahan yang diceritakan
Yuno tidak ada habisnya.
Di sini dulu tidak ada
apartemen.
Jalanan ini tidak semewah
sekarang.
Toko manisan lenyap, di
sana dulu rumah kosong, hutan tempat kita menangkap serangga sudah jadi
perumahan baru.
Pemandangan yang
kulupakan, Yuno yang baru kembali setelah 5 tahun mengingatkanku satu per satu.
“Kamu masih ingat banyak
ya.”
“Justru aneh kalau Seiji
yang lupa.”
“Mungkin karena aku jarang
lewat daerah sini, jadi lupa begitu saja.”
“Eh? Kenapa? Kan tidak
terlalu jauh dari rumahmu.”
“Karena aku cuman lewat
jalan ini kalau mau ke rumah Yuu-chan doang.”
“Oh gitu ya. Pantesan...”
Ternyata meski hanya berjarak
sekitar 10 menit jalan kaki dari rumah, aku tidak melewati jalan ini selama
beberapa tahun.
Selain tempat-tempat
seperti itu yang terlupakan dari lalu lintas kehidupan sehari-hari, masih
banyak ‘sudut buta’ lainnya.
Seperti jalan menuju rumah
teman yang sudah lama tidak kujenguk, atau rute ke sekolah yang sudah lulus.
Atau gang-gang di sekitar
rumah yang tidak kulalui lagi sejak bisa naik sepeda dan wilayah aktivitasku
meluas.
Seiring kita tidak lagi
melewati jalan-jalan itu, kenangan tentang apa yang kita lakukan dan dengan
siapa di sana juga akan terlupakan.
Ketika dewasa nanti dan
sudah bisa mengendarai mobil, akankah semakin banyak ‘sudut buta’ seperti itu?
“Eh? Ngomong-ngomong, kamu
tadi memanggilku ‘Yuu-chan’ ya?”
Aku yang tenggelam dalam
kenangan, tersadar dari lamunan karena diingatkan Yuno.
“...Tidak kok.”
“Tidak tidak, aku
benar-benar mendengarnya. Gak papa sih.”
Yuno yang menengadahkan
kepala seperti bertanya-tanya kenapa aku enggan memanggilnya begitu, lalu
menyeringai.
“Jangan-jangan karena
tidak mau terlihat kekanak-kanakan? Makanya gayamu juga kaku begitu?”
Saat itu, ekspresiku pasti
sudah sangat jelas mengatakan “Tepat sekali.”
“...Dulu memang begitu,
tapi sekarang ini sudah jadi karakterku.”
Figur ketua kelas SD dan
SMA tentu berbeda – begitu pikirku.
Aku terus berusaha
menciptakan kesan demikian, hingga akhirnya terjebak dalam karakter yang
kubentuk sendiri.
Lebih parah lagi, karena
tidak membangun pola interaksi lain, aku jadi tidak bisa mengubahnya sekarang.
Menurut Kakeru, aku
‘sejenis orang idiot’ seperti itu.
“Dulu memang begitu,
heh...” m
“Kenapa?”
“Tidak, cuman merasa kalau
kamu benar-benar berbeda dari masa kecil.”
Yuno menatapku dengan
pandangan yang agak tidak puas.
“Aku banyak berubah ya?”
“Berubah. Yang jelas kamu
jadi tinggi banget. Kepalamu jadi tinggi, sungguh tidak tahu malu.”
“Ah jangan bilang begitu
dong...”
“Lalu sifatmu, dulu kamu
lebih pemalu.”
“Menurutku tidak terlalu
berubah kok?”
“Berubah kok. Lihat tadi
di perkumpulan teman lama, kamu terlihat lebih berani.”
Aku terlihat berani?
Padahal itu hanya karena sudah terbiasa.
“Tidak adil ah... Seiji
sombong begitu.”
“Emangnya kenapa?”
Yuno mengerutkan
bibirnya.
Mungkin ini yang disebut
pikiran gadis remaja yang masih misterius bagi kaum adam? Lucu tapi aku tidak
mengerti maksudnya.
“Gimana ya, secara
keseluruhan, kamu lebih dewasa.”
Lebih dewasa – apakah
penilaian Yuno barusan bisa dianggap sebagai pujian?
Memang penampilanku dan
sikapku lebih dewasa dibanding saat masih membawa ransel sekolah dulu.
Sebagai remaja laki-laki
di ambang kedewasaan, aku juga sudah berusaha memperbaiki sikap kejantananku
dengan berbagai cara. Meski kebanyakan gagal, setidaknya beberapa berhasil.
Tapi sepertinya bukan itu
yang ingin dikatakan Yuno.
(Ah, begitu...)
Menatap Yuno dengan
santai, aku menyadari makna sebenarnya dari kata-katanya ‘lebih dewasa’.
“Kurasa Yuno juga lebih
dewasa sekarang?”
“Eh? Apa maksudmu?”
“Seperti tadi pagi, kamu
tampak seperti gadis SMA seutuhnya, membuatku agak gugup.”
“Ah, memang aku menjaga
penampilan, tapi pada dasarnya aku masih sama seperti dulu...”
Yuno kebingungan dengan
ucapanku.
Ah, mungkin tadi
ekspresiku mirip seperti Yuno barusan.
“Nah itu dia. Aku juga
tidak berubah.”
Maksud dari kata ‘lebih
dewasa’ seperti itu.
Karena kita bukan
anak-anak lagi, bukan berarti kita harus berubah total dari diri kita yang
dulu, kan?
“Kita sama-sama masih
meraba-raba karena sudah lama tidak bertemu.”
Kurasa Yuno juga mengalami
hal yang sama sepertiku.
Tidak bisa memperlakukan
seperti dulu, tapi juga tidak bisa seolah baru pertama bertemu.
Pasti dia juga mencoba
membaca situasi sembari meraba-raba sikapku.
Padahal jika kita langsung
saling berhadapan, akan segera terselesaikan dengan mudah.
Kalau memang begitu, bodoh
sekali kita masih sungkan satu sama lain.
“Hee...”
“...Kenapa tertawa aneh
begitu?”
“Hahaha ternyata Seiji
sempat gugup ngobrol denganku tadi ya.”
“Senyum penuh kemenangan
itu bikin aku kesal aja.”
Sepertinya karena aku dulu
memang anak nakal, begitu melihat celah aku langsung jadi sombong.
“Ah, sampai di sini aja.
Maaf jauh-jauh mengantarku.”
“Ya, sampaikan salamku
untuk ibumu.”
“Baik. Sampai jumpa lagi.”
“Sampai besok.”
Aku mengucapkan salam
perpisahan pada Yuno dan berbalik pergi.
Sampai jumpa lagi, sampai
besok – aku bahkan tidak percaya sudah 5 setengah tahun berlalu, sekarang bisa
mengucapkannya dengan begitu lancar.
(...Sekalian pulang
mungkin sedikit jalan-jalan)
Kami memang tidak bisa
lagi bergandengan tangan dengan ringan seperti masa kecil.
Tapi, aku merasa hal yang
menghubungkan kami melalui genggaman tangan itu telah tersambung kembali.
---Aku kembali ke rumah
dan masuk ke kamar.
Yang pertama tertangkap
mataku adalah papan permainan monster yang tadi.
(Sebenarnya aku berpikir
untuk membuangnya, tapi...)
Mainan seperti ini yang
hanya terbuat dari kertas, mungkin tidak akan pernah dimainkan lagi.
Tapi jika aku membuangnya,
akankah aku bisa mengingat hari ini 10 tahun lagi nanti?
(...Kurasa lebih baik
kusimpan sedikit lebih lama)
Dengan pikiran seperti
mencari-cari alasan, aku menyimpan papan permainan itu ke lemari. Setelah itu
aku membersihkan kamar seadanya, lalu mandi, dan kembali ke kamar.
Saat itulah ponselku
berbunyi, menandakan panggilan masuk.
[Asahi Yuno]
Nama yang barusan
kutambahkan muncul di layar.
“Maaf menunggu, ini
Seiji.”
Meski aku menjawab, tidak
terdengar suara Yuno.
Setelah mengatakan “Halo?”
sekali lagi, baru terdengar balasan.
---Mengingat kembali, aku
baru menyadari sebelumnya aku sangat menikmati waktuku tadi.
[“Seiji.....Beneran kamu mau
pindah sekolah?”]
Hingga Yuno mengatakannya,
aku bahkan lupa fakta itu.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.