Chapter 1
13 April, 23
Hari Lagi • Pagi
Pernah menemukan orang
yang sakit parah, lalu memanggil ambulans?
Pengalaman pertama
menghubungi 119 (nomor ambulans) dalam hidupku adalah minggu lalu – di jalan
menuju upacara penerimaan siswa baru.
“Kamu baik-baik saja!?”
Di pinggir jalan pagi itu.
Seorang gadis dengan wajah kesakitan sedang memeluk perutnya sambil berlutut.
Jika dia mengenakan
seragam sekolah yang sama, aku tak bisa mengabaikannya begitu saja.
“Maaf...sakit...sekali...”
Ketika aku mendekat, dia
mengerutkan keningnya dan suaranya terdengar serak.
“Bisa bergerak? Bahaya
kalau di pinggir jalan, ke sini dulu. Aku akan memanggil ambulans.”
Sambil membantunya menjauh
dari jalanan, aku mengeluarkan ponsel.
Memalukan jika kuakui
bahwa aku sempat bingung untuk nomor 119 di tengah kepanikan itu.
“...Sei-ji?”
Rasanya dia memanggil
namaku – meski aku yakin ini pertemuan pertama kami. Tapi saat itu bukan
waktunya memperdebatkan hal itu, aku harus memanggil ambulans.
Masalahnya...Entah
bagaimana, dia menggenggam tanganku dan aku tak punya pilihan selain ikut ke
rumah sakit bersamanya.
“Nyawanya tidak terancam.
Orang tuanya juga sudah datang, jadi semuanya baik-baik saja.”
Akhirnya setelah
menunggunya di rumah sakit, petugas menjelaskan situasinya dan aku bisa lega.
Aku bahkan tak sempat
menanyakan namanya, tapi rasanya juga kurang sopan jika harus menemuinya lagi.
Kupikir lebih baik aku pergi begitu saja tanpa memperkenalkan diri.
Tentu saja ambulans tak
bisa mengantarku pulang, jadi ayahku harus menjemputku dengan mobil. Akibatnya
aku absen di upacara penerimaan dan terlambat masuk sekolah – memalukan sekali.
“Ah, kamu tidak usah
khawatir soal keterlambatanmu. Orang tua gadis itu menghubungi dan berterima
kasih padamu yang sudah menolongnya. Kamu sudah berbuat baik.”
Untungnya, ketika aku
sampai di ruang guru, para guru tidak memarahiku.
Benar, meski itu hanya
pertolongan kecil, aku sudah menolong orang.
Jika aku membahasnya di
kelas, aku mungkin akan mendapat sedikit pujian, kan? Kurasa mereka tidak akan
menghukumku.
Tapi yang kudengar dari
teman-teman sekelasku malah –
“Ah, maaf. Kamu jadi ketua
kelas.”
Klasik sekali, tugas ketua
kelas selalu dibebankan pada yang absen.
○
Oke, dengan begitu,
perkenalkan Aikage Seiji, sang ketua kelas.
Aku adalah anak laki-laki
berkacamata yang sering ditunjuk menjadi ketua kelas, jadi penjelasan singkat
ini cukup, kan?
(Ternyata benar dia ya...)
Perkenalan diri murid
pindahan baru saja selesai, dan masa SHR dimulai.
(Tln: SHR mungkin short
homeroom atau special homeroom)
Asahi Yuno duduk di kursi
kosong yang ada sejak upacara penerimaan siswa.
Guru kami menjelaskan
bahwa ada murid yang berhalangan hadir karena sakit mendadak.
Sejak saat itu aku sudah
menduganya, dan ternyata benar, dialah gadis yang kuantar dengan ambulans.
(Jodoh memang ada ya)
Di kelas baru, tempat
duduk diatur berdasarkan abjad.
Berkat nama margaku, Aikage,
aku selalu di barisan paling depan, sementara Asahi Yuno beberapa bangku di
belakangku.
Ketika aku menoleh ke
belakang, sepertinya dia juga menyadari keberadaanku dan tersipu sambil
mengangguk sopan.
“Hei, Seiji.”
Suara pelan yang tidak
akan menarik teguran guru memanggilku dari bangku di belakangku.
Akemaru Kakeru – teman
dekatku sejak taman kanak-kanak.
Bertubuh pendek, dengan
rambut cokelat yang ditegakkan dengan gel rambut, dan selalu mengacak-acak
seragamnya – penampilannya agak berantakan.
Orang-orang dekat
memanggilnya ‘Shou dengan pembacaan ‘Shou dari kanji nama depannya.
(Tln: kanji itu setau gw
gabungan dari bbrp kata, nah mungkin nama panggilan dia di ambil dari salah
satu bagian kata di kanji itu, lebih jelasnya cari sendiri :v)
“Hei, apa kamu pernah
bertemu si murid pindahan di belakang itu sebelumnya?”
Kakeru menunjuk Asahi Yuno
yang duduk di belakangnya sambil memiringkan kepala.
“Ah, dia gadis yang
kuantar pakai ambulansnya waktu itu.”
“Bukan, itu memang
kebetulan. Tapi bukan itu maksudku. Aku termasuk, apa kita pernah bertemu
dengannya sebelumnya? Dia bilang dulu pernah tinggal di kota ini, kan?”
Sepertinya Kakeru juga
merasa pernah bertemu Asahi Yuno sebelumnya.
Jika dia berasal dari kota
yang sama, tidak heran jika dia bersekolah di tempat yang sama sewaktu kecil.
(Hm?)
Saat aku berusaha
mengingat, ponsel di sakuku bergetar.
Diam-diam aku melihat
layarnya, aplikasi pesan memberitahu ada pesan masuk.
(Chiaki?)
Pengirimnya adalah teman
sekelas perempuan.
Amaya Chiaki – rambut
hitam sebahu dengan tatapan sayu, dia tampak biasa saja pada pandangan pertama,
tapi jika lebih diperhatikan dia itu imut.
Seperti Kakeru, aku sudah
mengenalnya sejak kecil dan dia duduk tepat di belakang Asahi Yuno.
[Anak yang di depan, bukannya
dia Yuu-chan?]
Begitulah isi pesannya.
Ah, pantas dia mengirim
pesan rahasia, karena Yuno duduk di depannya.
Tapi, ‘Yuu-chan’? Apa itu
panggilan untuk nama depan ‘Yuno’?
[Kamu tidak ingat?
Yuu-chan yang pindah pas kelas 5 SD]
“Ah!”
Pesan keduanya
menghamburkan ingatanku tentang masa kecil. Duduk berdekatan adalah awal
pertemanan.
Jika diurutkan berdasarkan
nomor, kita pasti akan ditempat yang berdekatan, dan mulai akrab dari situ.
Di SD yang punya 6
tingkat, setiap kali naik kelas, kita pasti akan bertemu lagi seperti “Kau
lagi?”.
Bagiku, mereka adalah
Akemaru Kakeru, Amaya Chiaki, dan satu lagi –
“Yuu-chan! Itu Yuu-chan
kan?”
Tanpa kusadari, SHR telah
usai dan kelas mulai riuh.
Yang pertama bersuara
adalah Chiaki, suaranya tertuju ke arah Yuno di depan.
“Eh? ...Ah!”
Yuno terkejut dan menoleh,
lalu membelalak melihat Chiaki yang sumringah
.
Sepertinya ingatannya
tentang masa kecil juga kembali.
“Aku Chiaki, lho? Amaya
Chiaki. Ingat? Kamu memanggilku Chii-chan.”
“Ingat, ingat! Chii-chan,
sudah lama sekali ya. Kamu jadi imut banget!”
“Yuu-chan juga, jadi manis
mendadak, makanya aku kaget tidak sadar kalau itu kamu.”
Yuno dan Chiaki berjabat
tangan dari balik meja, bahagia bertemu kembali.
“Iya, iya, ini Yuu, Yuu!”
Kakeru juga sepertinya
mengingat dan memanggil nama kecil Yuno.
Ketika mata mereka
bertemu, Yuno terkejut melihat wajah Kakeru.
“Eh, tidak mungkin,
Shou-kun?”
“Yo. Maaf, penampilanmu banyak
berubah jadi aku telat ingat.”
Siswa lain memperhatikan,
tapi segera sadar hubungan mereka dari percakapan itu.
Ya, dialah Yuno, dengan
panggilan “Yuu-chan” –
Teman kecil kami sebelum
masuk SMP yang pernah pindah.
“Kalau gitu, mungkin...”
Pandangan Yuno beralih
dari Kakeru, sedikit ke arahku.
“Lama tak bertemu, waktu
itu kamu baik-baik aja kan?”
Aku berdiri di sisinya.
“Ternyata benar, kamu
Seiji-kun waktu itu!”
Yuno berdiri dari kursinya
dengan suara terkejut dan gembira.
Benar, jika berbicara
tentang aku dan Yuno, pertemuan kami bukanlah hari ini, melainkan minggu lalu.
Reuni kecil kami terjadi
saat insiden ambulans itu. Berbeda denganku yang tidak menyadarinya, sepertinya
Yuno tahu, meski tidak sempat memastikan.
“Kamu masih mengingatku
ya.”
“Tentu aja. Dan terima
kasih untuk waktu itu, kamu menolongku.”
Meski suaranya mengecil
karena sadar pandangan orang lain, Yuno mengucapkan terima kasih atas kejadian
waktu itu.
Sepertinya dia tidak ingin
kejadian ambulans itu terlalu diekspos.
Jika kami tidak
menyapanya, mungkin Yuno yang akan mendatangi kami diam-diam nanti.
“Tidak usah dipikirkan.
Syukurlah tidak ada yang serius.”
Ucapan terima kasih memang
menyenangkan, tetapi sedikit memalukan jika diungkapkan di depan banyak orang.
“Hee... kamu jadi tinggi
ya.”
Yuno menatapku dengan
tatapan heran.
Dari jarak sedekat ini,
wanginya membuatku berdebar. Berbeda dari dulu, Yuno benar-benar sudah menjadi
seorang gadis.
“Ah, kau juga banyak
berubah ya.”
“Benarkah? Hehe, terima
kasih.”
Ketika aku menyinggung
secara tak langsung bahwa dia menjadi imut, dia membalasnya dengan senyum
malu-malu.
Pandangan Yuno kemudian
beralih ke Shou.
“Tapi di sisi lain,
Shou-kun sama sekali tidak berubah ya.”
“Hei, hei, jangan
merendahkanku begitu. Apa ini perbedaan perilaku kita selama ini?”
Ketika Kakeru menggerutu
soal perbedaan perlakuan, teman-teman sekelas lain pun mulai bergabung.
“Apa apa? Kenalan kalian
dan ketua kelas?”
Kanae, teman sekelas yang
msrupakan seorang gal, memiringkan kepalanya penasaran dengan hubungan kami.
“Ah, kami sekelas waktu SD
dulu.”
Karena siswa lain juga
memperhatikan, aku menjelaskan.
Yuno dan Chiaki tampak nostalgia.
“Aku pindah saat kelas 5
SD... jadi sudah sekitar 5-6 tahun ya?”
“Sudah lama banget sejak
Yuu-chan pergi ya.”
Wajar jika melupakan teman
sekelas yang pindah setelah sekian lama.
Kami bisa mengingatnya
pasti karena dulu kami sangat dekat.
“Ngomong-ngomong Yuu-chan,
aku dengar dari guru dan Seiji-kun, katanya kamu dirawat di rumah sakit, ya?”
Chiaki bertanya dengan
nada khawatir.
Kudengar nyawanya tidak
terancam, tapi aku juga penasaran.
“Ah... tidak terlalu parah
sih. Cuma agak ada cedera bagian dalam...”
Yuno tampak canggung dan
mengalihkan pandangannya.
“Sudah sembuh total? Ada
yang harus diwaspadai?”
“Ah, tidak apa-apa kok.
Cuma operasi kecil.”
Saat ditanya, Yuno
terlihat gugup dan mengibas-ngibaskan tangannya.
“...Gimana menurutmu?”
Kakeru bertanya dengan
suara rendah.
“Tidak baik jika
memaksanya bercerita. Untuk saat ini, tunggu aja dulu.”
Ada banyak alasan mengapa
seseorang tidak mau membahas riwayat penyakit atau operasi. Sebaiknya jangan
bertanya terlalu dalam.
Ketika aku melihat
sekeliling, sepertinya teman-teman sekelas lain juga mendengarkan percakapan
kami.
“Jangan-jangan dia punya
penyakit kronis?”
“Dia pindah untuk
keperluan perawatan?”
Baik siswa laki-laki
maupun perempuan, berbisik satu sama lain.
Mendengar itu, Yuno mulai
berkeringat dingin.
Kakeru panik dan mencari
di ponselnya, ‘penyakit organ dalam’, ‘berkeringat’.
“Penyakit kardiovaskular,
endokrin dan metabolisme, tumor ganas, gangguan kecemasan, penyakit
Parkinson...”
Teman-teman sekelas mulai
tampak pucat mendengar terminologi medis yang menakutkan itu.
Baru saja aku bilang untuk
menunggu dulu, tapi Kakery malah berlebihan, jadi aku menyikutnya.
“Yuu-chan beneran tidak
apa-apa?! Jangan-jangan nanti kamu tiba-tiba muntah darah dan pingsan!”
“Aku Mochizuki si wakil
ketua kelas. Jika ada masalah, jangan sungkan untuk konsultasi.”
“Aku anggota komite
kesehatan lho, bilang aja kalau ada apa-apa.”
Sudah terlambat, Chiaki
dan teman-teman sekelas lain mulai mengkhawatirkan kesehatan Yuno.
“Aku baik-baik aja, beneran!”
Yuno panik menghadapi
teman-teman sekelasnya yang terlihat sangat serius.
Yang jelas, tempat Yuno
pindah sekarang bukanlah kelas yang damai.
Lalu bel tanda masuk
berbunyi –
“Yah, nanti aja kalau
begitu.”
“Yuu-chan, makan siang
bareng yuk? Di kantin, tidak apa-apa kan?”
“Ah, oke. Aku bawa bekal,
tapi boleh dibawa masuk kan?”
Chiaki dan Yuno membuat
janji. Aku dan Kakeru sempat berpikir untuk bergabung, tapi sepertinya itu perkumpulan
anak perempuan, jadi kami mengurungkan niat. Masalah kesehatannya dan alasan
kepindahannya, pasti akan terungkap nanti.
Meski kami teman dekat
sejak kecil, sekarang kami sudah SMA, pasti ada hal-hal yang tidak bisa
diceritakan.
Hal-hal yang tak bisa
diceritakan – ya.
○
Suasana bercampur aduk
dengan para siswa, suara, dan aroma makanan.
Kantin SMA Tokiomi hari
ini pun ramai seperti biasa.
Di salah satu sudut, aku
dan Kakeru mulai menyantap makan siang kami.
“Serius deh, itu
benar-benar Yuu?”
Kakeru yang sedang makan
kari besar mengarahkan sendoknya padaku yang memegang mangkuk nasi set makan
siang.
“Beda banget. Ke mana anak
kecil tomboy itu?”
“Yah, aku juga merasa
begitu.”
Aku pun merasa ‘Yuu-chan’
yang kuingat tidak sesuai dengan ingatanku.
Yang muncul di benakku
secara alami adalah gambaran masa kecilnya – Asahi Yuno saat masih SD.
“Dulu aku pernah berkelahi
dengannya sampai mimisan lho.”
“Rambutnya dikerasin pakai
gel rambut, gayanya juga tomboy, jauh lebih keren daripada anak laki-laki pada
umumnya.”
“Oh iya, waktu Valentine,
dia selalu dapat banyak cokelat dari anak perempuan.”
Di usia anak SD, banyak anak perempuan yang
terlihat seperti anak laki-laki.
Yuno bahkan melebihi itu,
bisa dibilang anak perempuan bergaya laki-laki tampan.
“Yah, itu kan 5 tahun
lalu. Wajar kalau dia jadi orang yang berbeda.”
Sup miso yang kumakan pun,
seperti kata-kataku, tidak enak tapi juga tidak buruk.
Wajar kalau fisik dan
mental seseorang berubah setelah melewati masa puber dari SD ke SMA.
Tapi kita bahkan masih
bisa mengenali namanya, pasti hubungan kita dulu cukup dekat.
“Jadi Yuu yang kita kenal
sudah tidak ada lagi ya. Agak sedih rasanya.”
Perasaan sedikit
melankolis yang muncul di benakku diungkapkan Kakeru.
“Mungkin berlebihan bilang
tidak ada, tapi bagaimana kita harus memperlakukannya...”
“Hah? Maksudmu?”
“Tentu aja kita tidak bisa
memperlakukannya kayak anak SD kan? Tapi juga tidak bisa seperti orang asing.”
Meski sama-sama teman
dekat lawan jenis, aku bisa menyesuaikan sikap dengan Chiaki seiring
pertumbuhan kami.
Tapi dengan Yuno, aku
tidak bisa, ingatanku terhenti di masa SD.
“Masalah ya? Mending kita
mulai dari awal, perlakukan dia seperti teman sekelas aja?”
Kakeru bersandar ke meja
dengan tampang bosan. Tidak sopan.
“Itu...masih belum bisa.”
Usulnya tidak buruk, tapi
untuk saat ini aku menolaknya.
“Bagi Yuno, meski dulu
pernah tinggal di sini, orang-orang di sekitarnya sekarang hampir semuanya
orang baru. Mungkin dia mengandalkan ikatan masa kecil sebagai teman dekat yang
baru ditemuinya lagi setelah bertahun-tahun, seperti di komik.”
Jika aku jadi Yuno, aku
pasti khawatir apakah bisa mendapat teman di sekolah baru.
Kalau ada teman masa kecil
di sana, itu pasti keberuntungan. Itu bisa membantunya menyesuaikan diri di
kelas.
“Tapi kalau kita bersikap
‘ah itu kan masa lalu’, dia bisa menafsirkannya dengan cara lain. Jika ingin
memulai dari awal, lakukan setelah Yuno benar-benar menyesuaikan diri di kelas
tanpa masalah.”
“Jadi itu buat jaga-jaga
kalau dia tidak bisa menyesuaikan diri.”
Sepertinya Kakeru mengerti
maksudku, tapi wajahnya tetap terlihat bosan.
“Kamu terlalu banyak
berpikir Seiji, biarin aja mengalir.”
“Justru kamu yang terlalu
tidak memikirkannya Shou. Pikirkan sedikit lah.”
“Mikirin apa?”
“Apakah dia bisa dengan
lancar berteman dengan anak perempuan di kelas, apakah ada keluhan setelah
operasi itu, dan alasan kepindahannya sebenarnya – mulai dari kemungkinan tidak
ada masalah sama sekali sampai dia kesepian, penyakitnya kambuh, bahkan
lingkungannya memprihatinkan. Semoga kamu baik-baik aja, Yuno.”
“Itu sih kebanyakan mikir,
nanti kamu jadi botak lho.”
“Aku memikirkannya biar
tidak menyesal pas sudah botak nanti.”
Mungkin aku terlalu
memikirkannya, tapi inilah caraku menghadapi teman semasa kecil.
Nama ‘Seiji’ yang kubawa
berarti aku harus menjalani hidup sesederhana dan sejujur mungkin, itulah
prinsip rahasiaku.
“Kalau sampai membeku
begitu sih percuma. Kamu pintar tapi tetap aja bodoh ya.”
Kakeru tertawa tanpa
maksud buruk, tapi perkataannya cukup mengenai sasaran.
Kebiasaan burukku yang
kusadari sendiri adalah terlalu lama memikirkan sesuatu hingga kehabisan waktu
untuk bertindak.
“Jadi gitu, ternyata Shou
akhirnya bisa serius mencatat juga ya.”
“Tunggu, tunggu. Lihat,
Yuu sedang makan juga kan? Setidaknya dia tidak sendirian.”
Setelah diberitahu Kakeru,
aku menoleh dan melihat Yuno sedang makan siang.
○
Saat itu – Asahi Yuno
sedang membuka kotak bekalnya di kantin.
“Bekal Yuu-chan terlihat
sehat banget ya?”
Chiaki yang duduk di
sebelahnya mengamati isi bekal Yuno sambil mengerjapkan mata.
Chiaki memang orang yang
tidak bisa makan banyak yang hanya makan sandwich, tapi bekalnya masih lebih
lengkap dari Yuno.
“Daging ayam tanpa kulit,
bayam, kacang rebus... Seperti makanan rumah sakit, sangat berhati-hati ya?”
Mochizuki si wakil ketua
kelas yang duduk di depan Yuno, seorang gadis berkacamata yang terlihat anggun,
melirik kotak bekalnya sendiri yang berisi nasi dengan lauk harian sembari
menyuapkan nasinya.
Wajahnya seperti
menyiratkan kekhawatiran.
Yuno pernah dioperasi,
tapi apakah penyakitnya separah itu sampai harus membatasi makanan seperti itu
setelah keluar rumah sakit?
“I-ini untuk kecantikan
dan kesehatanku!”
Yuno mengalihkan
pembicaraan sambil menyuap makanannya seolah menyembunyikan bukti.
“Ngomong-ngomong,
Seiji-kun juga jadi ketua kelas di SMA ya?”
Ketika Chiaki mengalihkan
topik, Yuno sepertinya luput dari pertanyaan soal kesehatannya untuk sementara.
“Dari SD sampai sekarang
sih. Bahkan dia jadi ketua OSIS waktu SMP lho.”
“Ah iya benar juga,
Seiji-kun memang terlihat seperti itu. Penampilannya banyak berubah tapi...”
Aikage Seiji – di antara
empat sekawan teman masa kecil kami, dialah si anak laki-laki yang paling
rajin.
Sifatnya masih sama, tapi
penampilannya sangat berbeda.
(Kalau dipikir-pikir, aku
benar-benar mengenalinya saat itu ya...)
Saat diantar ambulans
waktu itu.
Ibuku pernah bilang, kita
sering teringat teman lama begitu bertemu mereka di usia dewasa seperti upacara
kedewasaan. Mungkin itu yang terjadi padaku saat itu.
“Ketua kelas itu beda
banget dari yang dulu ya?”
Mochizuki-san yang tidak
sekelas dengan kami di SD sepertinya tertarik.
“Dulu Seiji-kun badannya
lebih kecil di antara anak laki-laki lho. Dia juga tidak pakai kacamata.”
“Sampai ada yang ngira dia
itu perempuan kan? Tapi rahasia ya, dia pasti tidak suka.”
Mochizuki yang hanya
mengenal Seiji si ketua kelas yang serius sepertinya terkejut.
“Sejujurnya... di benakku,
Seiji si anak laki-laki manis yang membangkitkan rasa melindungi dulu dan Seiji
si pemuda berkacamata yang agak galak sekarang, belum bisa aku satukan...”
Jari-jari yang memegang
sumpit menekan dahinya, lalu Chiaki yang memegang roti lapis selada di kedua
tangannya menggelengkan kepalahnya.
"Hmm, kayak ngeliat
keponakan laki-laki setelah lama tidak bertemu terus terkejut gara-gara dia
tiba-tiba tumbuh besar?"
"Kayak gitulah,"
sahutnya mengangguk.
"Aku mengerti. Memang
dikatakan bahwa anak perempuan lebih cepat matang saat masih SD, tapi ini juga
berarti setelah itu anak laki-laki akan tumbuh cepat menjadi lebih
dewasa."
Kata-kata Mochizuki-san
yang menopang pipinya membuat mereka merasa simpati. Anak laki-laki memang
tumbuh tinggi badannya. Ketika melihat anak laki-laki setingkat yang dulu
sejajar, kini harus mendongak dan merasa jadi lebih kecil, anak perempuan akan
merasa terkejut.
Seiji mengatakan aku
"terlihat berbeda", tapi itu juga berlaku untuknya sendiri.
"Mungkinkah Yuu-chan
tidak menyukai Seiji-kun? Dia tidak sesulit kelihatannya, lho."
"Bukan masalah tidak
suka. Aku berterima kasih soal insiden ambulans itu. Hanya saja...Aku juga
tidak bisa memperlakukannya seperti anak SD lagi, tapi juga tidak bisa bersikap
terlalu formal..."
Dia sendiri tidak bisa
menjelaskannya dengan baik.
Karena tidak ingin
diperlakukan seperti anak kecil, tapi juga tidak ingin merasa jauh karena
diperlakukan seperti "orang dewasa" - melihat perasaan rumit itu,
Mochizuki-san tersenyum kecil.
"Mungkin dia juga merasakan
hal yang sama?"
Seseorang bersin di suatu
tempat di kantin, dan terdengar keluhan orang yang kena semburannya.
"Sebenarnya bersikap
biasa aja sudah cukup, tapi jika dipikirkan, apa arti 'biasa' itu ya?"
Chiaki sepertinya memahami
kegelisahan ini, tapi tidak menemukan jawabannya.
Mochizuki-san yang telah
meletakkan sumpitnya, mengusap bibirnya dengan tisu sebelum berbicara.
"Tidak perlu
dipikirkan terlalu jauh, ada kesempatan bagus kok? Pertemuan perkawanan
kelas."
Mendengar pertemuan
perkawanan kelas, Chi Aki tersentak dan mengambil ponselnya.
"Ah iya! Yuu-chan,
kamu ada waktu sepulang sekolah hari ini?"
"Sepulang sekolah?
Aku cuman berencana mampir ke klub aja... pertemuan perkawanan itu apa?"
Mochizuki-san menjelaskan.
"Karena sudah masuk
semester baru, ada rencana mengadakan acara perkawanan kelas. Tapi tadi pagi
Asahi-san terlambat datang, kan? Agar dia tidak ditinggalkan, ketua kelas
menundanya."
Ternyata tanpa disadari,
mereka telah dipikirkan.
Saat itu, Seiji sepertinya
belum menganggap 'murid pindahan yang terlambat' itu sebagai teman masa kecil.
"Eh, maaf. Boleh aku
ikut meski mendadak begini?"
Wajahnya berubah, lalu Chiaki
tersenyum dan mengambil ponselnya.
"Tentu aja boleh boleh
nambah 1 orang. Aku kabari dulu ya. Yuk tukeran kontak LINE juga?"
"Aku juga mau."
"Ah, iya, ayo tukeran!"
Dengan gembira dia
mengeluarkan ponsel dan bertukar kontak.
Saat bertukar kontak
dengan Mochizuki-san, terlihat pesan yang diketik Chiaki di sebelahnya.
【Yuu-chan
sepertinya bisa datang ke pertemuan perkawaannya hari ini】
Tak lama kemudian, Seiji
membalas.
【Oke,
nanti aku kabari ketua dulu】
Seperti biasa, balasannya
singkat.
Ketua yang dimaksud Ketua
OSIS sekolah ini kah? Sepertinya dia punya banyak koneksi. Selama lima setengah
tahun ini, masih banyak sisi teman masa kecilku yang tidak diketahui.
○
Setelah makan siang - aku
berpisah dengan Kakeru dan menuju ke ruang OSIS.
Tidak ada yang berlebihan
seperti di manga, ini hanya ruang OSIS biasa.
Ada meja panjang yang bisa
dilipat dan kursi, laptop yang tidak terlalu baru, serta rak tua dengan
berkas-berkas di atasnya.
Jika harus menunjuk
sesuatu yang spesial dari ruang OSIS ini, maka itu adalah...
"Ini aku, Aikage.
Bolehkah aku masuk?"
"Seiji-kun? Silakan
masuk."
...Ketua OSIS yang cantik.
Yang menyambut ketika aku
memasuki ruang OSIS adalah Ketua OSIS Hibiya Rin.
Rambut hitam panjang dan
berkilau, wajah yang lebih tepat disebut "cantik" daripada "imut",
tubuh ramping yang terlihat anggun meski dibalut seragam, suara merdu seperti
memainkan biola -
Bahkan duduk di kursi
sambil memegang cangkir kopi kecil dengan jari-jari lentiknya pun terlihat
seperti lukisan.
"Mau kopi?"
"Ah tidak usah
repot-repot, ini tidak akan lama."
"Kalau begitu aku
akan menyajikan kopi biar kamu tidak segera pergi."
Rin-san sepertinya tidak
mengizinkanku untuk langsung pergi setelah menyelesaikan urusan.
Karena masih ada waktu
tersisa di jam istirahat siang, aku memutuskan untuk menemaninya.
“Maki, apa yang sedang kau
baca hari ini?”
Di ruang OSIS ada satu
siswa lagi yang diam bagaikan patung.
Sekretaris OSIS, Maki
Airi.
Dia menarik perhatian
dalam arti yang berbeda dari Rin-san.
Rambutnya pirang
kecokelatan, bukan hasil diwarnain melainkan warna alami.
Matanya sewarna tahi lalat
dengan semburat kehitaman, dan kulitnya putih pucat seperti keturunan Nordik.
Wajahnya yang diangkat
tampak seperti elf dari game CGI terbaru.
...Kalau aja penampilannya
tidak dengan gaya osage ala siswi zaman Showa dan kacamata berbingkai
tebal.
(Tln: gw ga tau indonya di
sebut apa, jadi cari sendiri aja)
“Kunci karya Tanizaki
Jun’ichiro.”
Buku yang dijawabnya
dengan suara sedikit serak itu juga tidak sesuai dengan penampilannya.
Dia mengangkat bukunya
seperti memperlihatkan sampulnya, dan aku sudah memberengut bahkan sebelum
menyesap kopiku.
“Untuk buku yang dibaca
seorang kutu buku di sekolah, itu hampir melanggar batas kan?”
“Jika ada di perpustakaan
sekolah, berarti sekolah menilai ada nilai edukatifnya. Jadi ya masih aman.”
Jika diperhatikan, ada
stiker nomor identifikasi perpustakaan seperti yang biasa ditemukan di buku
perpustakaan.
“Lho, apa kamu punya
masalah zama Tanizaki?”
Rin-san mengalihkan
pandangannya dari teko dan menoleh ke arah percakapan kami.
Dia bahkan mulai
menggilingkan bijinya sendiri, sungguh orang yang perfeksionis.
Tapi ini memalukan.
Sepertinya Rin-san hanya tahu Tanizaki dari pelajaran sastra modern.
Mengambil alih karena aku kebingungan
untuk menjawab, Airi berkata tanpa mengalihkan pandangannya, “Soal Kunci,
ceritanya seorang pria paruh baya yang jenuh dengan istrinya lantas berusaha
menjadikan istri dan calon menantu putrinya selingkuh agar dirinya terangsang
lagi. Kalau dikatakan dengan gaya modern, jadi semacam cerita nikmatnya
dikhianati istri.”
Rin-san menjatuhkan
cangkirnya. Untungnya belum diisi kopi.
“Hei Airi, dari tadi kau
kelihatan anteng banget membaca buku cabul begitu!”
“Ini sangat sehat dan vaik.”
Penjelasan Airi bukanlah
ringkasan yang disengajakan, tapi ya memang begitu isi ceritanya.
“Seiji-kun, itu buku yang
aman untuk etika sekolah tidak ya?”
“Katanya saat itu sempat
jadi masalah hingga dibawa ke parlemen.”
“Isinya sampai
menggemparkan negara!? Eh, apa tidak apa-apa di baca oleh anak-anak...”
Rin-san tampak terguncang
mendengar fakta mengejutkan itu, atau hanya perasaanku saja dia terlihat
sedikit tertarik?
“Memang Jepang punya akar
budaya hentai yang tua, dari jaman kakek cabul legenda sastra mereka.”
“Demi kehormatan sang
penulis, bukan berarti karyanya selalu gitu kan? Dia ini tipe serba bisa, tahu
banyak hal di luar topik imoral. Multitalenta seperti master seni bela diri
gitu lah.”
“Seperti yang diharapkan
dari Aikage, kamu sangat mengenalinnya.”
Airi berkata dengan nada
kagum, lalu menutup buku itu dengan memasukkan pembatas buku. Bukan pembatas
sederhana dari toko buku, melainkan pembatas bergambar gadis bermotif kaca
patri dengan bunga. Andai saja buku yang dibacanya bukan tentang kakek cabul.
“...Ini Seiji-kun,
kopinya.”
Rin-san menghindari
pembicaraan lebih lanjut dan menyodorkan cangkir putih dengan ekspresi rumit.
“Hahaha, lucu ya.
Seharusnya aku berperan sebagai kakak anggun yang menyajikan kopi untuk
keponakan yang berkunjung ke ruang OSIS di jam istirahat. Tapi malah direbut
cerita kakek cabul...”
Rin-san bersandar ke meja
dengan siku di atas meja dan jari-jari tertaut, seperti politisi yang
menghadapi masalah.
“Tidak apa-apa, Rin-san
tetap anggun. Cuman timingnya kurang tepat aja.”
“Terima kasih, Seiji-kun –
barusan kau bilang ‘kurang tepat’ lagi’? Hei, lihat ke sini dong?”
Beginilah sepupuku Hibiya
Rin.
Ketua OSIS yang disegani
dengan bakat dan penampilan memukau. Tapi entah kenapa selalu terasa “kurang
lengkap”.
Melihat sepupunya yang
terlahir di bawah bintang seperti itu, Airi memiringkan kepalanya.
“Kupikir lebih mudah
dibahas daripada Souseki. Atau sebaiknya membahas Shunrou Oshikawa aja yang
lebih ringan?”
Jangan-jangan anak ini
adalah penjelmaan pelajar zaman Meiji yang terlahir di zaman modern?
“Maki, jika ingin mendapat
teman lewat sastra, caranya adalah berhenti membaca sendiri.”
“Tidak bisa dipahami.”
“Menggunakan ungkapan
seperti ‘perasaan mendaki tebing terjal’ pun terlalu tinggi tingkatannya untuk
percakapan sehari-hari.”
Itu merupakan pesan
terakhir dari seorang murid Natsume Soseki. Bukan sesuatu yang
menggembirakan.
“Aku khawatir Airi tidak
bisa bergaul dengan baik di kelas.”
Rin-san menghela nafas.
“Sepengetahuanku, sejak
SMP bangkunya sudah menjadi ‘wilayah suci elf sastra’.”
“Apa? Itu seperti judul
manga atau novel ringan.”
“Penampilannya tidak lazim
sehingga sulit berkomunikasi, dan meski bisa berkomunikasi, dia hanya membaca
sastra serius yang tidak menarik bagi orang lain.”
Begitulah julukan ‘elf
sastra’ melekat padanya, seorang selebriti tersembunyi di SMA Tokiomi.
“Kau salah. Dia punya
teman sesama kutu buku, contohnya Chiaki. Dia tidak sendiri.”
Seperti yang disebutkan
Airi, mereka berdua memang dalam klub sastra yang sama.
Adapun hubunganku
dengannya bermula dari kami sama-sama menjadi pengurus OSIS di SMP dulu.
“Selain itu, dengan
menunjukkan pengetahuan sastra Jepang, aku bisa meremehkan orang-orang yang
menganggapku bukan orang Jepang meski lahir dan besar di Jepang.”
“Airi, Onee-san ingin
mengatakan dengan baik hati, tapi itu memang seperti dirimu ya?”
Sifatnya yang sedikit
sarkastik ini membuatnya tidak mengejar banyak teman.
“Nah – intinya, Rin-san,
aku ingin menambah satu orang untuk acara perkawanannya.”
Setelah menikmati kopi,
aku mengutarakan maksud utamaku pada Rin-san.
“Ah, murid pindahan yang
terlambat itu akan ikut ya.”
Berkat penjelasanku
sebelumnya, Rin-san langsung menangkap maksudku.
“Nambah satu orang aja
pasti tidak masalah. Itu restoran langganan sekolah kita untuk acara besar,
jadi mereka pasti terbiasa. Aku akan memberi tahu mereka.”
SMA Tokiomi memiliki
restoran langganan untuk acara klub atau acara perpisahan lulusan.
Biasanya, jika akan
menggunakan restoran itu untuk kelompok besar, pihak OSIS akan memesan terlebih
dulu.
Kali ini, karena Yuno yang
tadinya belum pasti ikut akhirnya bisa hadir, makanya aku datang untuk memberi
kabar.
“Murid pindahan?”
Airi bertanya dengan
polosnya, jadi aku jelaskan ada murid pindahan yang terlambat masuk karena
operasi.
“Oh iya, murid pindahan
dari SMP Shinryo kan?”
“Shinryo?”
Kali ini giliranku yang
mengulang perkataan Rin-san dengan bingung.
“Itu sekolah lamanya. Aku
masih ingat karena kami pernah bertanding di turnamen nasional.”
Benar juga, di koridor ada
koran sekolah yang memberitakan tim tenis meja putra dan bulu tangkis putri
berprestasi di tingkat nasional.
Sepertinya Rin-san pernah
menonton untuk mendukung temannya di tim putri.
“Jadi hari ini kau tidak
bisa bantu OSIS ya Seiji-kun. Sepertinya kami akan sibuk.”
“Meskipun aku sering
membantu, aku bukan anggota lOSIS lho?”
“Karena tidak ada yang mau
jadi OSIS di sekolah kita. Aku jadi ketua karena mantan ketua dan guru-guru
memohon padaku. Jadi aku juga butuh bantuan dari sepupu tersayang.”
Rin-san memainkan kukis
camilan sambil menghela nafas.
“Jadi alasan tidak
menggunakan ponsel untuk berkomunikasi adalah agar aku datang ke ruang OSIS
sendiri hanya untuk hal sepele begini?”
“Iya dong, aku kan ingin
bertemu sepupu yang kucinta secara langsung.”
Begitulah, hanya dengan
imbalan teh dan kue, dia sering menyuruhku membantunya bekerja.
“- Kurasa aku harus
kembali sekarang.”
Kata Airi, lalu kami
berdua melihat jam, memang sudah waktunya istirahat siang berakhir.
“Kalau gitu ketua, sampai
nanti sepulang sekolah.”
“Ya, sampai nanti.”
Di depan tangga, Rin-san
dan Airi berpisah setelah saling mengucapkan salam.
Aku dan Airi yang seangkatan
berjalan bersama di koridor hingga persimpangan.
“Ngomong-ngomong, murid
pindahan yang kamu sebut tadi seperti apa?”
Di persimpangan itu, Airi
mengajukan topik tentang Yuno.
“Ah, kebetulan dia adalah
teman masa kecilku dulu.”
“Teman masa kecil? Jadi
itu benar-benar ada ya...”
“Tentu saja ada, cuman ya
tidak biasa aja.”
Meskipun aku tidak
memiliki teman atau kenalan yang sudah kukenal sejak kecil, tidak aneh jika
orang lain memilikinya di dunia ini.
“Perempuan? Imut?”
“Iya perempuan, dan
menurutku dia imut. Kalau kamu penasaran, tanya aja ke Chiaki.”
“...Tidak usah, pasti
nanti akan jadi cerita cinta persahabatan yang indah. Seperti Kokoro.”
“Bukannya itu cerita yang
punya bad ending yang membosankan? Apa aku melakukan kesalahan?”
Tanpa menjawab
kebingunganku, Airi kembali ke kelasnya sendiri. Memang sesuatu yang tidak
terpecahkan.
○
Sepulang sekolah – para
murid kelas 2-B berkumpul di restoran yang direkomendasikan Rin-san.
“Baik, silakan duduk di
meja terdekat. Untuk makanan, kalian bisa mengambil sendiri dengan sistem
prasmanan. Setelah makanan dan minuman siap, kita bersulang.”
Sebagai ketua kelas, aku
memimpin teman-teman sekelas hari ini.
“18, 19, 20... Eh?
Kuhitung lagi! 1234 5...”
“Chiaki, semuanya sudah
lengkap kok.”
“Ah, terima kasih... nah,
selanjutnya kumpulin patungannya dan... Eh tidak, buka acaranya dulu.”
“Tenanglah, belum
waktunya.”
Aku menenangkan Chiaki
yang terlihat bingung di sampingku, lalu terdengar suara dari dekat kami.
“Lho? Chii-chan jadi
panitia ya?”
Itu Yuno. Ternyata kami
hanya sempat mengobrol sebentar pagi tadi.
“Ya, Chiaki juga perlu
pengalaman mengurus acara seperti ini.”
“Hm? Maksudnya?”
Yuno memiringkan
kepalanya. Sepertinya penjelasanku kurang jelas bagi Yuno yang baru pindah.
“Chiaki akan menjadi ketua
OSIS nanti.”
Kakeru yang baru mengambil
makanan menjelaskan dengan singkatnya.
“Eh, Chii-chan jadi
ketua!?”
“Bukan, aku hanya
mencalonkan diri, belum tentu kepilih!”
Chiaki membantah
pernyataan Yuno yang membelalak kaget, meski sebenarnya tidak perlu.
“Dia dapat rekomendasi
dari ketua OSIS sekarang dan guru-guru.”
Aku menambahkan
penjelasan, lalu Chiaki menatapku dengan pandangan protes.
“Kalau dipikir-pikir lagi,
seharusnya Seiji-kun yang jadi ketuanya ya, soalnya dia pernah jadi ketua OSIS
di SMP, kan?”
“Menurut aturan sekolah
ini, ketua kelas tidak boleh mencalonkan diri.”
Pemilihan ketua OSIS di
SMA Tokiomi tidak pernah meriah.
Tidak ada yang maju
sebagai calon, jadi mantan ketua dan guru-guru yang harus menunjuk “korban”.
Aku tidak tahu detailnya,
tapi sepertinya Rin-san merekomendasikan Chiaki, dan Chiaki menyetujuinya.
“Tapi hebat! Dulu Chiaki
sangat pemalu, ternyata dia sudah tumbuh dewasa ya.”
Yuno menyatukan kedua
tangannya dengan kagum, tapi Chiaki hanya membuang muka dengan wajah cemberut.
“Aku akan memilihnya
nanti! Eh, tapi kenapa jadi panitia acara perkawanan begini?”
“Ini sebagai latihahan
mental buat ngatasin tekanan nanti.”
Yuno langsung mengerti
begitu aku jelaskan.
“Oh gitu, sedang
memperkuat hatinya ya.”
“Chiaki kan suka
berpura-pura kuat tapi sebenernya penakut. Harus dilatih biar nggak megap-megap
di acara nanti.”
Yuno mengangguk mengerti,
lalu Kakeru melanjutkan perkataannya dan membuat Chiaki menggembungkan pipinya
karena kesal.
“Sudahlah, kalian semua
kuangkat jadi anggota kalau aku jadi ketua nanti.”
Ancaman Chiaki membuat
Yuno dan Kakeru sedikit merinding.
“Wa, kalau aku sih mungkin
hanya jadi sekretaris?”
“Aku pasti gagal jadi
bendahara. Itu pekerjaan untuk Seiji kan?”
“Maaf, tapi sama seperti aturan
ketua, ketua kelas juga tidak bisa gabung jadi pengurus OSIS.”
Aku dengan tenang
mengingatkan aturan, tapi Chiaki mendengus.
“Tidak masalah. Ketua OSIS
juga menyuruh Seiji-kun membantunya kan? Aku akan melakukan hal yang sama.
Mengubah sesuatu yang gelap jadi putih.”
“Pemilih mulia harap
mencobloskan calon yang memasukkan pelanggaran aturan dalam manifestonya.”
Sepertinya tanpa
sepengetahuanku, Chiaki telah mendapat pengaruh buruk dari Rin-san.
“Ketua kelas, sepertinya
makanan dan minuman sudah siap.”
“Ah, terima kasih.”
Setelah wakil ketua
Mochizuki memanggilku, aku memandang sekeliling restoran.
Aku, Chiaki, Yuno, Kakeru
yang sudah seperti teman masa kecil mengelilingi meja, dengan Mochizuki
bergabung.
“Chiaki, beri sambutan.”
“Ba-Baik.”
Chiaki yang duduk di
sebelahku tampak gugup mencari sesuatu.
“Ah, Eh... Mm...?”
Chiaki terlihat panik
dengan suara pelan. Sepertinya kehilangan kertas catatan sambutannya.
Teman-teman sekelas mulai
bereaksi, “Hm?” “Kenapa?” “Sudah boleh makan?”
Aku meletakkan tangan di
bahu Chiaki yang kebingungan dan berdiri menggantikannya.
“Baiklah, terima kasih
sudah berkumpul hari ini. Aku Aikage Seiji, ketua kelas kalian. Kami senang
dapat memulai tahun ajaran baru dengan selamat, dan karena ada teman baru
bergabung di kelas ini, maka acara ini sekalian untuk menyambutnya. Semoga
kalian dapat semakin mengenal dan berteman melalui kesempatan ini. Sekarang
silakan angkat gelas kalian – bersulang!”
Para teman sekelas
bersahutan “Bersulang!”.
Setelah keheningan sesaat
ketika mereka meminum minuman, suara percakapan dan dentingan piring mulai
bersahutan.
“Terima kasih Seiji-kun.
Maaf ya.”
“Ah, nanti kamu yang beri
sambutan penutupnya ya.”
Chiaki mengatupkan tangan
meminta maaf begitu aku duduk kembali.
Aku hanya menirukan orang
dewasa dengan menyampaikan frasa-frasa baku, tapi itu sudah cukup untuk
sambutan acara perkawanan.
“Fueh...”
Yuno memandangiku dengan
mata terbelalak sambil memegang gelas.
“Kenapa?”
“Ah, tidak. Tadi itu keren
sekali, kayak guru aja.”
“Yah, aku sudah sering
disuruh begitu sih...”
Aku sedikit tergagap
ketika Yuno memuji langsung seperti itu.
Orang-orang di sekitarku
sudah terbiasa, jadi jarang memuji secara eksplisit, makanya aku tidak tahu
harus bereaksi apa.
“Ngomong-ngomong Yuno...”
Aku sempat ragu memanggil
namanya, tapi kulanjutkan saja.
“Kamu cuman ngambil sayur
doang ya? Kudengar kamu baru operasi, apa ada hubungannya?”
“Oh ini? Ada kaitannya
sih, tapi aku hanya meninjau ulang pola makanku doang.”
Makanan di piring Yuno
hampir sepenuhnya sayuran, nyaris seperti vegetarian.
Aku teringat tentang
insiden operasinya. Karena aku yang memanggil ambulans, aku tidak bisa
mengabaikannya begitu saja.
“Omong-omong, tidak ada
makanan yang tidak boleh kamu makan kan?”
“Tidak ada kok, aku juga
tidak alergi apapun.”
“Begitu. Kalau kedinginan
karena AC, bilang aja ya.”
“Ah, terima kasih...”
Yuno terlihat sedikit
canggung. Apa dia mengira aku punya maksud tertentu dengan terlalu perhatian?
“...”
Jeda sejenak.
Gawat. Seharusnya ada
banyak topik untuk dibicarakan, tapi entah kenapa tidak ada yang terpikirkan.
Jika dengan teman
perempuan lain, aku pasti bisa mengobrol lancar sebagai ‘ketua kelas’. Tapi
dengan Yuno, aku harus berperan sebagai ‘teman masa kecil’, bukan ketua kelas.
Namun hubungan ‘teman masa kecil’ kami sudah berkarat selama 5 setengah tahun.
“Oh iya, yang manggil ambulans
waktu itu Seiji kan? Kejadian mengerikan di awal semester baru.”
Meski mungkin bukan
maksudnya, Kakeru dengan riang menanyakan hal itu.
“Aku cuman kebetulan ada
di sana, yang mengalami bencana itu Yuno.”
“Iya. Sekali lagi terima
kasih soal itu ya. Dokter bilang kalau dibiarkan bisa jadi bahaya, jadi
menelpon ambulans adalah keputusan tepat. Oh iya, waktu itu kan hari upacara
penerimaan murid baru, Seiji-kun pasti telat ya? Makanya kamu jadi ketua kelas
lagi...”
Yuno mengucapkan terima
kasih, padahal bukan dia yang bersalah.
“Tidak usah dipikirkan. Lagian
tidak ada pelajaran, dan yang mengusulkanku sebagai ketua adalah Kakeru.”
Aku menunjuk Kakeru dengan
ibu jari, tapi yang bersangkutan tidak ambil pusing dan terus makan.
“Bukan Cuma aku kok?
Chiaki juga mengusulkanmu.”
“Karena Seiji-kun orangnya
begitu sih. Hampir semua setuju.”
Apa mereka menganggap aku
terlahir untuk menjadi ketua kelas?
“Ngomong-ngomong Seiji, waktu
itu kamu bisa aja tidak ikut naik ambulans dan nunggu aja kan?”
Apa yang dikatakan Kakeru
memang masuk akal, tapi aku tidak mau mengungkitnya karena khawatir membuat
Yuno tidakk nyaman.
“Waktu itu...”
“Maaf, itu juga salahku.
Waktu itu sakitnya sudah kayak perutku mau pecah. Saat akan dibawa ke ambulans,
aku jadi ketakutan sendiri, ‘Apa aku akan mati ya?’ Makanya aku memegangi
tangan Seiji-kun dengan erat.”
Yuno menjelaskan dengan
malu-malu.
Memang saat itu Yuno yang
kesakitan memegangi tanganku erat sehingga aku tidak bisa melepaskannya.
“...”
Melihat keheningan di
antara kami, Yuno memasang wajah bingung.
Mungkin dia mengira kami
akan menertawakan insiden dia memegang tangan laki-laki, tapi reaksi
teman-teman justru berbeda.
“Sepertinya memang serius
ya?”
“Dokter bilang bisa bahaya
kalau dibiarkan.”
“Ambulans dan operasi, itu
hampir merenggut nyawanya ya...”
“Sebaiknya kita cari tahu
rumah sakit terdekat dan penanganan darurat.”
Teman-teman sekelas yang
mendengarnya justru terlihat khawatir secara alami. Kelas yang baik.
“Yuu-chan, kepalamu sakit?”
“Enggak, tidak apa-apa...”
Yuno tampak memegangi
kepalanya. Apakah penyakit organ dalamnya juga menimbulkan sakit kepala?
“Chiakii, main permainan
papan yuk?”
Lalu dari sudut restoran,
beberapa teman perempuan Chiaki mengajaknya bermain permainan.
“Ah, ehm...”
“Pergilah, tidak ada
pekerjaan untuk panitia untuk sementara ini.”
“Kalau gitu aku pergi dulu
ya.”
“Ah, Chii-chan! Aku juga
mau lihat!”
Begitu Chiaki berpindah,
Yuno mengikutinya dan menjauh dariku.
“Wah, daging ini enak
banget. Nambah lagi sebelum habis lat.”
Kakeru berdiri untuk
mengambil makanan yang cepat habis.
“Seperti biasa, ketua
kelas dan yang lainnya itu akrab ya.”
Mochizuki yang tetap di
sisiku tersenyum seperti menertawakan sesuatu.
“Maksudmu Kakeru?”
“Dia juga, tapi juga
Amaya-san dan Asahi-san. Mereka teman masa kecilmu kan?”
Sepertinya dia malah
merasa canggung dengan Yuno.
“Aku juga pernah bermain
dengan teman sekitar rumah, tapi kami bersekolah di tempat berbeda.”
“Normalnya gitu. Kami
masih bisa berteman karena bersekolah di tempat yang sama.”
“Tapi melihat kalian,
entah kenapa aku jadi merasa sedikit sedih. Apa nanti aku juga akan kehilangan
kontak seperti itu dan tidak mengenali mereka lagi di jalan ya?”
“Ya... sebenarnya memang
ada teman sekelas lama yang kita lewati begitu saja tanpa sadar.”
Setelah berpisah ke SMP
dan SMA yang berbeda, seragam dan rute menuju sekolah jadi berbeda, hingga pada
akhirnya kita tidak lagi punya interaksi dan berubah hingga tidak saling
mengenali dari kejauhan.
Semua orang pasti pernah
mengalami hal seperti itu.
Tidak seperti Airi,
mungkin teman masa kecil yang sebenarnya tidak sebanyak dalam fiksi.
“Tapi sekalipun pindah
sekolah atau lingkungan baru, kita akan sibuk menjalin hubungan baru di sana.
Justru mengabaikan hubungan sebelumnya yang ‘benar’.”
“Benar?” Mochizuki
mengulang kata itu dengan nada sedikit terkejut.
“Ya... contohnya kayak
Yuno dan kami.”
Dia menunjuk ke arah Yuno
dengan pandangannya. Yuno terlihat bersemangat mengobrol dengan beberapa gadis
dari klub olahraga.
“Setelah Yuno pindah, kita
berjanji akan sering mengontak. Tapi lama-kelamaan kontak itu menghilang.”
Bukan hanya karena saat
itu kami belum punya ponsel.
“Saat itu kami masih SMP
kan. Mungkin ada banyak hal memalukan, tapi itu masa penting.”
Mochizuki yang memegang
teh oolong mengangguk malu, “Memang benar sih.”
“Kalau di masa seperti itu
kita terlalu memaksakan diri untuk mempertahankan hubungan dengan orang yang
jauh, kita bisa mengabaikan kehidupan di depan mata. Cepat atau lambat kita
akan melupakannya, meski terlihat tak acuh tapi itu bukan kesalahan.”
Itu mungkin ketidakacuhan
yang harus saling dimaafkan.
“Mungkin karena pengaruh
drama remaja ya. Ada anggapan kalau melepas teman dengan mudah berarti
‘dingin’, padahal kalau terus terikat satu sama lain barulah disebut
persahabatan. Aku kurang setuju dengan itu.”
Aku sadar aku sudah mulai
berlebihan, tapi aku tidak bisa berhenti bicara.
“Bangkit dari kepergian
seseorang itu sesuatu yang patut dihormati. Tapi kalau tidak bisa move on dari
hubungan pertemanan yang terputus malah dibilang kejam, justru itu yang
kejam.”
Entah bagaimana pandangan
Mochizuki terhadapku, tapi ekspresinya seperti tersinggung.
“Ah maaf, aku jadi
berlebihan. Mungkin aku minum terlalu banyak?”
“Ini tidak ada alkoholnya
kok? Kamu tidak boleh mengatakan hal yang kontroversial.”
Memang itu perkataan yang
bermasalah.
“Aku mau ke toilet
sebentar.”
Aku menolak dan beranjak
dari kursi.
Setelah masuk dan menutup
pintu toilet, menjauh dari kebisingan, aku menghela nafas.
(Memalukan, aku bahkan
menggurui teman sekelas sendiri...)
Tanpa maksud apa-apa, aku
hanya duduk di toilet sambil memegangi kepala.
Sebenarnya aku hanya ingin
meyakinkan Mochizuki bahwa aku bukan orang yang cuek...
Setelah puas menyesali
diri, aku keluar dari toilet dan kembali ke ruangan acara.
(Tidak perlu terus
bersedih atas perpisahan ya...)
Kulihat sekilas Yuno
sedang bertukar kontak dengan beberapa gadis.
Dari arah Chiaki terdengar
sorakan, sepertinya baru terjadi pembalikan keadaan dalam permainan papan
mereka.
Kakeru bahkan mengadakan
semacam kontes makan cepat secara spontan.
(Seharusnya aku
mengatakannya setelah benar-benar mengucapkan selamat tinggal...)
Aku masih belum bisa
mengucapkan kata itu pada orang yang seharusnya aku ucapkan.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.