Ato 1-kagetsu de tenkō suru boku no seishun rabukome bab 1

Ndrii
0

Chapter 1

13 April, 23 Hari Lagi • Pagi




Pernah menemukan orang yang sakit parah, lalu memanggil ambulans?

 

Pengalaman pertama menghubungi 119 (nomor ambulans) dalam hidupku adalah minggu lalu – di jalan menuju upacara penerimaan siswa baru.

 

“Kamu baik-baik saja!?”

 

Di pinggir jalan pagi itu. Seorang gadis dengan wajah kesakitan sedang memeluk perutnya sambil berlutut.

 

Jika dia mengenakan seragam sekolah yang sama, aku tak bisa mengabaikannya begitu saja.

 

“Maaf...sakit...sekali...”

 

Ketika aku mendekat, dia mengerutkan keningnya dan suaranya terdengar serak.

 

“Bisa bergerak? Bahaya kalau di pinggir jalan, ke sini dulu. Aku akan memanggil ambulans.”

 

Sambil membantunya menjauh dari jalanan, aku mengeluarkan ponsel.

 

Memalukan jika kuakui bahwa aku sempat bingung untuk nomor 119 di tengah kepanikan itu.

 

“...Sei-ji?”

 

Rasanya dia memanggil namaku – meski aku yakin ini pertemuan pertama kami. Tapi saat itu bukan waktunya memperdebatkan hal itu, aku harus memanggil ambulans.

 

Masalahnya...Entah bagaimana, dia menggenggam tanganku dan aku tak punya pilihan selain ikut ke rumah sakit bersamanya.

 

“Nyawanya tidak terancam. Orang tuanya juga sudah datang, jadi semuanya baik-baik saja.”

 

Akhirnya setelah menunggunya di rumah sakit, petugas menjelaskan situasinya dan aku bisa lega.

 

Aku bahkan tak sempat menanyakan namanya, tapi rasanya juga kurang sopan jika harus menemuinya lagi. Kupikir lebih baik aku pergi begitu saja tanpa memperkenalkan diri.

 

Tentu saja ambulans tak bisa mengantarku pulang, jadi ayahku harus menjemputku dengan mobil. Akibatnya aku absen di upacara penerimaan dan terlambat masuk sekolah – memalukan sekali.

 

“Ah, kamu tidak usah khawatir soal keterlambatanmu. Orang tua gadis itu menghubungi dan berterima kasih padamu yang sudah menolongnya. Kamu sudah berbuat baik.”

 

Untungnya, ketika aku sampai di ruang guru, para guru tidak memarahiku.

 

Benar, meski itu hanya pertolongan kecil, aku sudah menolong orang.

 

Jika aku membahasnya di kelas, aku mungkin akan mendapat sedikit pujian, kan? Kurasa mereka tidak akan menghukumku.

 

Tapi yang kudengar dari teman-teman sekelasku malah –

 

“Ah, maaf. Kamu jadi ketua kelas.”

 

Klasik sekali, tugas ketua kelas selalu dibebankan pada yang absen.

 

 

Oke, dengan begitu, perkenalkan Aikage Seiji, sang ketua kelas.

 

Aku adalah anak laki-laki berkacamata yang sering ditunjuk menjadi ketua kelas, jadi penjelasan singkat ini cukup, kan?

 

(Ternyata benar dia ya...)

 

Perkenalan diri murid pindahan baru saja selesai, dan masa SHR dimulai.

(Tln: SHR mungkin short homeroom atau special homeroom)

 

Asahi Yuno duduk di kursi kosong yang ada sejak upacara penerimaan siswa.

 

Guru kami menjelaskan bahwa ada murid yang berhalangan hadir karena sakit mendadak.

 

Sejak saat itu aku sudah menduganya, dan ternyata benar, dialah gadis yang kuantar dengan ambulans.

 

(Jodoh memang ada ya)

Di kelas baru, tempat duduk diatur berdasarkan abjad.

 

Berkat nama margaku, Aikage, aku selalu di barisan paling depan, sementara Asahi Yuno beberapa bangku di belakangku.

 

Ketika aku menoleh ke belakang, sepertinya dia juga menyadari keberadaanku dan tersipu sambil mengangguk sopan.

 

“Hei, Seiji.”

 

Suara pelan yang tidak akan menarik teguran guru memanggilku dari bangku di belakangku.

 

Akemaru Kakeru – teman dekatku sejak taman kanak-kanak.

 

Bertubuh pendek, dengan rambut cokelat yang ditegakkan dengan gel rambut, dan selalu mengacak-acak seragamnya – penampilannya agak berantakan.

 

Orang-orang dekat memanggilnya ‘Shou dengan pembacaan ‘Shou dari kanji nama depannya.

(Tln: kanji itu setau gw gabungan dari bbrp kata, nah mungkin nama panggilan dia di ambil dari salah satu bagian kata di kanji itu, lebih jelasnya cari sendiri :v)

 

“Hei, apa kamu pernah bertemu si murid pindahan di belakang itu sebelumnya?”

 

Kakeru menunjuk Asahi Yuno yang duduk di belakangnya sambil memiringkan kepala.

 

“Ah, dia gadis yang kuantar pakai ambulansnya waktu itu.”

 

“Bukan, itu memang kebetulan. Tapi bukan itu maksudku. Aku termasuk, apa kita pernah bertemu dengannya sebelumnya? Dia bilang dulu pernah tinggal di kota ini, kan?”

 

Sepertinya Kakeru juga merasa pernah bertemu Asahi Yuno sebelumnya.

 

Jika dia berasal dari kota yang sama, tidak heran jika dia bersekolah di tempat yang sama sewaktu kecil.

 

(Hm?)

 

Saat aku berusaha mengingat, ponsel di sakuku bergetar.

 

Diam-diam aku melihat layarnya, aplikasi pesan memberitahu ada pesan masuk.

 

(Chiaki?)

 

Pengirimnya adalah teman sekelas perempuan.

 

Amaya Chiaki – rambut hitam sebahu dengan tatapan sayu, dia tampak biasa saja pada pandangan pertama, tapi jika lebih diperhatikan dia itu imut.

 

Seperti Kakeru, aku sudah mengenalnya sejak kecil dan dia duduk tepat di belakang Asahi Yuno.

 

[Anak yang di depan, bukannya dia Yuu-chan?]

 

Begitulah isi pesannya.

 

Ah, pantas dia mengirim pesan rahasia, karena Yuno duduk di depannya.

 

Tapi, ‘Yuu-chan’? Apa itu panggilan untuk nama depan ‘Yuno’?

 

[Kamu tidak ingat? Yuu-chan yang pindah pas kelas 5 SD]

 

“Ah!”

 

Pesan keduanya menghamburkan ingatanku tentang masa kecil. Duduk berdekatan adalah awal pertemanan.

 

Jika diurutkan berdasarkan nomor, kita pasti akan ditempat yang berdekatan, dan mulai akrab dari situ.

 

Di SD yang punya 6 tingkat, setiap kali naik kelas, kita pasti akan bertemu lagi seperti “Kau lagi?”.

 

Bagiku, mereka adalah Akemaru Kakeru, Amaya Chiaki, dan satu lagi –

 

“Yuu-chan! Itu Yuu-chan kan?”

 

Tanpa kusadari, SHR telah usai dan kelas mulai riuh.

 

Yang pertama bersuara adalah Chiaki, suaranya tertuju ke arah Yuno di depan.

 

“Eh? ...Ah!”

Yuno terkejut dan menoleh, lalu membelalak melihat Chiaki yang sumringah

.

Sepertinya ingatannya tentang masa kecil juga kembali.

 

“Aku Chiaki, lho? Amaya Chiaki. Ingat? Kamu memanggilku Chii-chan.”

 

“Ingat, ingat! Chii-chan, sudah lama sekali ya. Kamu jadi imut banget!”

 

“Yuu-chan juga, jadi manis mendadak, makanya aku kaget tidak sadar kalau itu kamu.”

 

Yuno dan Chiaki berjabat tangan dari balik meja, bahagia bertemu kembali.

 

“Iya, iya, ini Yuu, Yuu!”

 

Kakeru juga sepertinya mengingat dan memanggil nama kecil Yuno.

 

Ketika mata mereka bertemu, Yuno terkejut melihat wajah Kakeru.

 

“Eh, tidak mungkin, Shou-kun?”

 

“Yo. Maaf, penampilanmu banyak berubah jadi aku telat ingat.”

 

Siswa lain memperhatikan, tapi segera sadar hubungan mereka dari percakapan itu.

 

Ya, dialah Yuno, dengan panggilan “Yuu-chan” –

Teman kecil kami sebelum masuk SMP yang pernah pindah. 

 

“Kalau gitu, mungkin...”

 

Pandangan Yuno beralih dari Kakeru, sedikit ke arahku.

 

“Lama tak bertemu, waktu itu kamu baik-baik aja kan?”

 

Aku berdiri di sisinya.

 

“Ternyata benar, kamu Seiji-kun waktu itu!”

 

Yuno berdiri dari kursinya dengan suara terkejut dan gembira.

 

Benar, jika berbicara tentang aku dan Yuno, pertemuan kami bukanlah hari ini, melainkan minggu lalu.

 

Reuni kecil kami terjadi saat insiden ambulans itu. Berbeda denganku yang tidak menyadarinya, sepertinya Yuno tahu, meski tidak sempat memastikan.

 

“Kamu masih mengingatku ya.”

 

“Tentu aja. Dan terima kasih untuk waktu itu, kamu menolongku.”

 

Meski suaranya mengecil karena sadar pandangan orang lain, Yuno mengucapkan terima kasih atas kejadian waktu itu.

 

Sepertinya dia tidak ingin kejadian ambulans itu terlalu diekspos.

 

Jika kami tidak menyapanya, mungkin Yuno yang akan mendatangi kami diam-diam nanti.

 

“Tidak usah dipikirkan. Syukurlah tidak ada yang serius.”

 

Ucapan terima kasih memang menyenangkan, tetapi sedikit memalukan jika diungkapkan di depan banyak orang.

 

“Hee... kamu jadi tinggi ya.”

 

Yuno menatapku dengan tatapan heran.

 

Dari jarak sedekat ini, wanginya membuatku berdebar. Berbeda dari dulu, Yuno benar-benar sudah menjadi seorang gadis.

 

“Ah, kau juga banyak berubah ya.”

 

“Benarkah? Hehe, terima kasih.”

 

Ketika aku menyinggung secara tak langsung bahwa dia menjadi imut, dia membalasnya dengan senyum malu-malu.

 

Pandangan Yuno kemudian beralih ke Shou.

 

“Tapi di sisi lain, Shou-kun sama sekali tidak berubah ya.”

 

“Hei, hei, jangan merendahkanku begitu. Apa ini perbedaan perilaku kita selama ini?”

 

Ketika Kakeru menggerutu soal perbedaan perlakuan, teman-teman sekelas lain pun mulai bergabung.

 

“Apa apa? Kenalan kalian dan ketua kelas?”

Kanae, teman sekelas yang msrupakan seorang gal, memiringkan kepalanya penasaran dengan hubungan kami.

 

“Ah, kami sekelas waktu SD dulu.” 

 

Karena siswa lain juga memperhatikan, aku menjelaskan.

 

Yuno dan Chiaki tampak nostalgia.

 

“Aku pindah saat kelas 5 SD... jadi sudah sekitar 5-6 tahun ya?”

 

“Sudah lama banget sejak Yuu-chan pergi ya.”

 

Wajar jika melupakan teman sekelas yang pindah setelah sekian lama.

 

Kami bisa mengingatnya pasti karena dulu kami sangat dekat. 

 

“Ngomong-ngomong Yuu-chan, aku dengar dari guru dan Seiji-kun, katanya kamu dirawat di rumah sakit, ya?”

 

Chiaki bertanya dengan nada khawatir.

 

Kudengar nyawanya tidak terancam, tapi aku juga penasaran.

 

“Ah... tidak terlalu parah sih. Cuma agak ada cedera bagian dalam...” 

 

Yuno tampak canggung dan mengalihkan pandangannya.

 

“Sudah sembuh total? Ada yang harus diwaspadai?”

 

“Ah, tidak apa-apa kok. Cuma operasi kecil.”

 

Saat ditanya, Yuno terlihat gugup dan mengibas-ngibaskan tangannya.

 

“...Gimana menurutmu?”

 

Kakeru bertanya dengan suara rendah.

 

“Tidak baik jika memaksanya bercerita. Untuk saat ini, tunggu aja dulu.”

 

Ada banyak alasan mengapa seseorang tidak mau membahas riwayat penyakit atau operasi. Sebaiknya jangan bertanya terlalu dalam.

 

Ketika aku melihat sekeliling, sepertinya teman-teman sekelas lain juga mendengarkan percakapan kami.

 

“Jangan-jangan dia punya penyakit kronis?” 

“Dia pindah untuk keperluan perawatan?”

 

Baik siswa laki-laki maupun perempuan, berbisik satu sama lain.

 

Mendengar itu, Yuno mulai berkeringat dingin. 

 

Kakeru panik dan mencari di ponselnya, ‘penyakit organ dalam’, ‘berkeringat’.

 

“Penyakit kardiovaskular, endokrin dan metabolisme, tumor ganas, gangguan kecemasan, penyakit Parkinson...”

 

Teman-teman sekelas mulai tampak pucat mendengar terminologi medis yang menakutkan itu.  

 

Baru saja aku bilang untuk menunggu dulu, tapi Kakery malah berlebihan, jadi aku menyikutnya.

 

“Yuu-chan beneran tidak apa-apa?! Jangan-jangan nanti kamu tiba-tiba muntah darah dan pingsan!” 

 

“Aku Mochizuki si wakil ketua kelas. Jika ada masalah, jangan sungkan untuk konsultasi.”

 

“Aku anggota komite kesehatan lho, bilang aja kalau ada apa-apa.”

 

Sudah terlambat, Chiaki dan teman-teman sekelas lain mulai mengkhawatirkan kesehatan Yuno. 

 

“Aku baik-baik aja, beneran!”

 

Yuno panik menghadapi teman-teman sekelasnya yang terlihat sangat serius.  

 

Yang jelas, tempat Yuno pindah sekarang bukanlah kelas yang damai. 

 

Lalu bel tanda masuk berbunyi –

 

“Yah, nanti aja kalau begitu.” 

 

“Yuu-chan, makan siang bareng yuk? Di kantin, tidak apa-apa kan?”

 

“Ah, oke. Aku bawa bekal, tapi boleh dibawa masuk kan?”

 

Chiaki dan Yuno membuat janji. Aku dan Kakeru sempat berpikir untuk bergabung, tapi sepertinya itu perkumpulan anak perempuan, jadi kami mengurungkan niat. Masalah kesehatannya dan alasan kepindahannya, pasti akan terungkap nanti. 

 

Meski kami teman dekat sejak kecil, sekarang kami sudah SMA, pasti ada hal-hal yang tidak bisa diceritakan.

 

Hal-hal yang tak bisa diceritakan – ya.

 

 

Suasana bercampur aduk dengan para siswa, suara, dan aroma makanan.

 

Kantin SMA Tokiomi hari ini pun ramai seperti biasa.

 

Di salah satu sudut, aku dan Kakeru mulai menyantap makan siang kami.

 

“Serius deh, itu benar-benar Yuu?”

 

Kakeru yang sedang makan kari besar mengarahkan sendoknya padaku yang memegang mangkuk nasi set makan siang.

 

“Beda banget. Ke mana anak kecil tomboy itu?”

 

“Yah, aku juga merasa begitu.”

Aku pun merasa ‘Yuu-chan’ yang kuingat tidak sesuai dengan ingatanku.

 

Yang muncul di benakku secara alami adalah gambaran masa kecilnya – Asahi Yuno saat masih SD.

 

“Dulu aku pernah berkelahi dengannya sampai mimisan lho.”

 

“Rambutnya dikerasin pakai gel rambut, gayanya juga tomboy, jauh lebih keren daripada anak laki-laki pada umumnya.”

 

“Oh iya, waktu Valentine, dia selalu dapat banyak cokelat dari anak perempuan.”

 

 Di usia anak SD, banyak anak perempuan yang terlihat seperti anak laki-laki.

 

Yuno bahkan melebihi itu, bisa dibilang anak perempuan bergaya laki-laki tampan.

 

“Yah, itu kan 5 tahun lalu. Wajar kalau dia jadi orang yang berbeda.”

 

Sup miso yang kumakan pun, seperti kata-kataku, tidak enak tapi juga tidak buruk.

 

Wajar kalau fisik dan mental seseorang berubah setelah melewati masa puber dari SD ke SMA.

 

Tapi kita bahkan masih bisa mengenali namanya, pasti hubungan kita dulu cukup dekat.

 

“Jadi Yuu yang kita kenal sudah tidak ada lagi ya. Agak sedih rasanya.”

 

Perasaan sedikit melankolis yang muncul di benakku diungkapkan Kakeru.

 

“Mungkin berlebihan bilang tidak ada, tapi bagaimana kita harus memperlakukannya...”

 

“Hah? Maksudmu?”

 

“Tentu aja kita tidak bisa memperlakukannya kayak anak SD kan? Tapi juga tidak bisa seperti orang asing.”

 

Meski sama-sama teman dekat lawan jenis, aku bisa menyesuaikan sikap dengan Chiaki seiring pertumbuhan kami.

 

Tapi dengan Yuno, aku tidak bisa, ingatanku terhenti di masa SD.

 

“Masalah ya? Mending kita mulai dari awal, perlakukan dia seperti teman sekelas aja?”

 

Kakeru bersandar ke meja dengan tampang bosan. Tidak sopan.

 

“Itu...masih belum bisa.”

 

Usulnya tidak buruk, tapi untuk saat ini aku menolaknya.

 

“Bagi Yuno, meski dulu pernah tinggal di sini, orang-orang di sekitarnya sekarang hampir semuanya orang baru. Mungkin dia mengandalkan ikatan masa kecil sebagai teman dekat yang baru ditemuinya lagi setelah bertahun-tahun, seperti di komik.”

 

Jika aku jadi Yuno, aku pasti khawatir apakah bisa mendapat teman di sekolah baru.

 

Kalau ada teman masa kecil di sana, itu pasti keberuntungan. Itu bisa membantunya menyesuaikan diri di kelas.

 

“Tapi kalau kita bersikap ‘ah itu kan masa lalu’, dia bisa menafsirkannya dengan cara lain. Jika ingin memulai dari awal, lakukan setelah Yuno benar-benar menyesuaikan diri di kelas tanpa masalah.”

 

“Jadi itu buat jaga-jaga kalau dia tidak bisa menyesuaikan diri.”

 

Sepertinya Kakeru mengerti maksudku, tapi wajahnya tetap terlihat bosan.

 

“Kamu terlalu banyak berpikir Seiji, biarin aja mengalir.”

 

“Justru kamu yang terlalu tidak memikirkannya Shou. Pikirkan sedikit lah.”

 

“Mikirin apa?”

 

“Apakah dia bisa dengan lancar berteman dengan anak perempuan di kelas, apakah ada keluhan setelah operasi itu, dan alasan kepindahannya sebenarnya – mulai dari kemungkinan tidak ada masalah sama sekali sampai dia kesepian, penyakitnya kambuh, bahkan lingkungannya memprihatinkan. Semoga kamu baik-baik aja, Yuno.”

 

“Itu sih kebanyakan mikir, nanti kamu jadi botak lho.”

“Aku memikirkannya biar tidak menyesal pas sudah botak nanti.”

 

Mungkin aku terlalu memikirkannya, tapi inilah caraku menghadapi teman semasa kecil.

 

Nama ‘Seiji’ yang kubawa berarti aku harus menjalani hidup sesederhana dan sejujur mungkin, itulah prinsip rahasiaku. 

 

“Kalau sampai membeku begitu sih percuma. Kamu pintar tapi tetap aja bodoh ya.”

 

Kakeru tertawa tanpa maksud buruk, tapi perkataannya cukup mengenai sasaran.

 

Kebiasaan burukku yang kusadari sendiri adalah terlalu lama memikirkan sesuatu hingga kehabisan waktu untuk bertindak. 

 

“Jadi gitu, ternyata Shou akhirnya bisa serius mencatat juga ya.”

 

“Tunggu, tunggu. Lihat, Yuu sedang makan juga kan? Setidaknya dia tidak sendirian.”

 

Setelah diberitahu Kakeru, aku menoleh dan melihat Yuno sedang makan siang.

 

 

Saat itu – Asahi Yuno sedang membuka kotak bekalnya di kantin.

 

“Bekal Yuu-chan terlihat sehat banget ya?”

 

Chiaki yang duduk di sebelahnya mengamati isi bekal Yuno sambil mengerjapkan mata.

 

Chiaki memang orang yang tidak bisa makan banyak yang hanya makan sandwich, tapi bekalnya masih lebih lengkap dari Yuno.

 

“Daging ayam tanpa kulit, bayam, kacang rebus... Seperti makanan rumah sakit, sangat berhati-hati ya?”

 

Mochizuki si wakil ketua kelas yang duduk di depan Yuno, seorang gadis berkacamata yang terlihat anggun, melirik kotak bekalnya sendiri yang berisi nasi dengan lauk harian sembari menyuapkan nasinya.

 

Wajahnya seperti menyiratkan kekhawatiran.

 

Yuno pernah dioperasi, tapi apakah penyakitnya separah itu sampai harus membatasi makanan seperti itu setelah keluar rumah sakit?

 

“I-ini untuk kecantikan dan kesehatanku!”

 

Yuno mengalihkan pembicaraan sambil menyuap makanannya seolah menyembunyikan bukti.

 

“Ngomong-ngomong, Seiji-kun juga jadi ketua kelas di SMA ya?”

 

Ketika Chiaki mengalihkan topik, Yuno sepertinya luput dari pertanyaan soal kesehatannya untuk sementara.

 

“Dari SD sampai sekarang sih. Bahkan dia jadi ketua OSIS waktu SMP lho.”

 

“Ah iya benar juga, Seiji-kun memang terlihat seperti itu. Penampilannya banyak berubah tapi...”

 

Aikage Seiji – di antara empat sekawan teman masa kecil kami, dialah si anak laki-laki yang paling rajin.

 

Sifatnya masih sama, tapi penampilannya sangat berbeda.

 

(Kalau dipikir-pikir, aku benar-benar mengenalinya saat itu ya...)

 

Saat diantar ambulans waktu itu. 

 

Ibuku pernah bilang, kita sering teringat teman lama begitu bertemu mereka di usia dewasa seperti upacara kedewasaan. Mungkin itu yang terjadi padaku saat itu.

 

“Ketua kelas itu beda banget dari yang dulu ya?”

 

Mochizuki-san yang tidak sekelas dengan kami di SD sepertinya tertarik.

 

“Dulu Seiji-kun badannya lebih kecil di antara anak laki-laki lho. Dia juga tidak pakai kacamata.”

 

“Sampai ada yang ngira dia itu perempuan kan? Tapi rahasia ya, dia pasti tidak suka.”

 

Mochizuki yang hanya mengenal Seiji si ketua kelas yang serius sepertinya terkejut.

 

“Sejujurnya... di benakku, Seiji si anak laki-laki manis yang membangkitkan rasa melindungi dulu dan Seiji si pemuda berkacamata yang agak galak sekarang, belum bisa aku satukan...”


Jari-jari yang memegang sumpit menekan dahinya, lalu Chiaki yang memegang roti lapis selada di kedua tangannya menggelengkan kepalahnya.

 

"Hmm, kayak ngeliat keponakan laki-laki setelah lama tidak bertemu terus terkejut gara-gara dia tiba-tiba tumbuh besar?"

 

"Kayak gitulah," sahutnya mengangguk.

 

"Aku mengerti. Memang dikatakan bahwa anak perempuan lebih cepat matang saat masih SD, tapi ini juga berarti setelah itu anak laki-laki akan tumbuh cepat menjadi lebih dewasa."

 

Kata-kata Mochizuki-san yang menopang pipinya membuat mereka merasa simpati. Anak laki-laki memang tumbuh tinggi badannya. Ketika melihat anak laki-laki setingkat yang dulu sejajar, kini harus mendongak dan merasa jadi lebih kecil, anak perempuan akan merasa terkejut.

 

Seiji mengatakan aku "terlihat berbeda", tapi itu juga berlaku untuknya sendiri.

 

"Mungkinkah Yuu-chan tidak menyukai Seiji-kun? Dia tidak sesulit kelihatannya, lho."

 

"Bukan masalah tidak suka. Aku berterima kasih soal insiden ambulans itu. Hanya saja...Aku juga tidak bisa memperlakukannya seperti anak SD lagi, tapi juga tidak bisa bersikap terlalu formal..."

 

Dia sendiri tidak bisa menjelaskannya dengan baik.

 

Karena tidak ingin diperlakukan seperti anak kecil, tapi juga tidak ingin merasa jauh karena diperlakukan seperti "orang dewasa" - melihat perasaan rumit itu, Mochizuki-san tersenyum kecil.

 

"Mungkin dia juga merasakan hal yang sama?"

 

Seseorang bersin di suatu tempat di kantin, dan terdengar keluhan orang yang kena semburannya.

 

"Sebenarnya bersikap biasa aja sudah cukup, tapi jika dipikirkan, apa arti 'biasa' itu ya?"

 

Chiaki sepertinya memahami kegelisahan ini, tapi tidak menemukan jawabannya.

 

Mochizuki-san yang telah meletakkan sumpitnya, mengusap bibirnya dengan tisu sebelum berbicara.

 

"Tidak perlu dipikirkan terlalu jauh, ada kesempatan bagus kok? Pertemuan perkawanan kelas."

 

Mendengar pertemuan perkawanan kelas, Chi Aki tersentak dan mengambil ponselnya.

 

"Ah iya! Yuu-chan, kamu ada waktu sepulang sekolah hari ini?" 

"Sepulang sekolah? Aku cuman berencana mampir ke klub aja... pertemuan perkawanan itu apa?"

 

Mochizuki-san menjelaskan.

"Karena sudah masuk semester baru, ada rencana mengadakan acara perkawanan kelas. Tapi tadi pagi Asahi-san terlambat datang, kan? Agar dia tidak ditinggalkan, ketua kelas menundanya."

 

Ternyata tanpa disadari, mereka telah dipikirkan.

Saat itu, Seiji sepertinya belum menganggap 'murid pindahan yang terlambat' itu sebagai teman masa kecil.

 

"Eh, maaf. Boleh aku ikut meski mendadak begini?"

 

Wajahnya berubah, lalu Chiaki tersenyum dan mengambil ponselnya.

 

"Tentu aja boleh boleh nambah 1 orang. Aku kabari dulu ya. Yuk tukeran kontak LINE juga?"

 

"Aku juga mau."

 

"Ah, iya, ayo tukeran!"

 

Dengan gembira dia mengeluarkan ponsel dan bertukar kontak.

 

Saat bertukar kontak dengan Mochizuki-san, terlihat pesan yang diketik Chiaki di sebelahnya.

 

Yuu-chan sepertinya bisa datang ke pertemuan perkawaannya hari ini

 

Tak lama kemudian, Seiji membalas.

 

Oke, nanti aku kabari ketua dulu

 

Seperti biasa, balasannya singkat.

 

Ketua yang dimaksud Ketua OSIS sekolah ini kah? Sepertinya dia punya banyak koneksi. Selama lima setengah tahun ini, masih banyak sisi teman masa kecilku yang tidak diketahui.

 

 

Setelah makan siang - aku berpisah dengan Kakeru dan menuju ke ruang OSIS.

 

Tidak ada yang berlebihan seperti di manga, ini hanya ruang OSIS biasa.

 

Ada meja panjang yang bisa dilipat dan kursi, laptop yang tidak terlalu baru, serta rak tua dengan berkas-berkas di atasnya.

 

Jika harus menunjuk sesuatu yang spesial dari ruang OSIS ini, maka itu adalah...

 

"Ini aku, Aikage. Bolehkah aku masuk?"

 

"Seiji-kun? Silakan masuk."

 

...Ketua OSIS yang cantik.

 

Yang menyambut ketika aku memasuki ruang OSIS adalah Ketua OSIS Hibiya Rin.

 

Rambut hitam panjang dan berkilau, wajah yang lebih tepat disebut "cantik" daripada "imut", tubuh ramping yang terlihat anggun meski dibalut seragam, suara merdu seperti memainkan biola -

Bahkan duduk di kursi sambil memegang cangkir kopi kecil dengan jari-jari lentiknya pun terlihat seperti lukisan.

 

"Mau kopi?"

 

"Ah tidak usah repot-repot, ini tidak akan lama."

 

"Kalau begitu aku akan menyajikan kopi biar kamu tidak segera pergi."

 

Rin-san sepertinya tidak mengizinkanku untuk langsung pergi setelah menyelesaikan urusan.

 

Karena masih ada waktu tersisa di jam istirahat siang, aku memutuskan untuk menemaninya. 

 

“Maki, apa yang sedang kau baca hari ini?”

 

Di ruang OSIS ada satu siswa lagi yang diam bagaikan patung.

Sekretaris OSIS, Maki Airi.

 

Dia menarik perhatian dalam arti yang berbeda dari Rin-san.

Rambutnya pirang kecokelatan, bukan hasil diwarnain melainkan warna alami.

 

Matanya sewarna tahi lalat dengan semburat kehitaman, dan kulitnya putih pucat seperti keturunan Nordik.

 

Wajahnya yang diangkat tampak seperti elf dari game CGI terbaru.

 

...Kalau aja penampilannya tidak dengan gaya osage ala siswi zaman Showa dan kacamata berbingkai tebal.

(Tln: gw ga tau indonya di sebut apa, jadi cari sendiri aja)

 

“Kunci karya Tanizaki Jun’ichiro.”

 

Buku yang dijawabnya dengan suara sedikit serak itu juga tidak sesuai dengan penampilannya.

 

Dia mengangkat bukunya seperti memperlihatkan sampulnya, dan aku sudah memberengut bahkan sebelum menyesap kopiku.

 

“Untuk buku yang dibaca seorang kutu buku di sekolah, itu hampir melanggar batas kan?” 

 

“Jika ada di perpustakaan sekolah, berarti sekolah menilai ada nilai edukatifnya. Jadi ya masih aman.”

 

Jika diperhatikan, ada stiker nomor identifikasi perpustakaan seperti yang biasa ditemukan di buku perpustakaan.

 

“Lho, apa kamu punya masalah zama Tanizaki?”

 

Rin-san mengalihkan pandangannya dari teko dan menoleh ke arah percakapan kami.

 

Dia bahkan mulai menggilingkan bijinya sendiri, sungguh orang yang perfeksionis.

 

Tapi ini memalukan. Sepertinya Rin-san hanya tahu Tanizaki dari pelajaran sastra modern.

 

Mengambil alih karena aku kebingungan untuk menjawab, Airi berkata tanpa mengalihkan pandangannya, “Soal Kunci, ceritanya seorang pria paruh baya yang jenuh dengan istrinya lantas berusaha menjadikan istri dan calon menantu putrinya selingkuh agar dirinya terangsang lagi. Kalau dikatakan dengan gaya modern, jadi semacam cerita nikmatnya dikhianati istri.”

 

Rin-san menjatuhkan cangkirnya. Untungnya belum diisi kopi.

 

“Hei Airi, dari tadi kau kelihatan anteng banget membaca buku cabul begitu!”

 

“Ini sangat sehat dan vaik.”

 

Penjelasan Airi bukanlah ringkasan yang disengajakan, tapi ya memang begitu isi ceritanya.

 

“Seiji-kun, itu buku yang aman untuk etika sekolah tidak ya?”

 

“Katanya saat itu sempat jadi masalah hingga dibawa ke parlemen.”

 

“Isinya sampai menggemparkan negara!? Eh, apa tidak apa-apa di baca oleh anak-anak...”

 

Rin-san tampak terguncang mendengar fakta mengejutkan itu, atau hanya perasaanku saja dia terlihat sedikit tertarik?

 

“Memang Jepang punya akar budaya hentai yang tua, dari jaman kakek cabul legenda sastra mereka.”

 

“Demi kehormatan sang penulis, bukan berarti karyanya selalu gitu kan? Dia ini tipe serba bisa, tahu banyak hal di luar topik imoral. Multitalenta seperti master seni bela diri gitu lah.”

 

“Seperti yang diharapkan dari Aikage, kamu sangat mengenalinnya.” 

 

Airi berkata dengan nada kagum, lalu menutup buku itu dengan memasukkan pembatas buku. Bukan pembatas sederhana dari toko buku, melainkan pembatas bergambar gadis bermotif kaca patri dengan bunga. Andai saja buku yang dibacanya bukan tentang kakek cabul.

 

“...Ini Seiji-kun, kopinya.” 

 

Rin-san menghindari pembicaraan lebih lanjut dan menyodorkan cangkir putih dengan ekspresi rumit.

 

“Hahaha, lucu ya. Seharusnya aku berperan sebagai kakak anggun yang menyajikan kopi untuk keponakan yang berkunjung ke ruang OSIS di jam istirahat. Tapi malah direbut cerita kakek cabul...”

 

Rin-san bersandar ke meja dengan siku di atas meja dan jari-jari tertaut, seperti politisi yang menghadapi masalah.

 

“Tidak apa-apa, Rin-san tetap anggun. Cuman timingnya kurang tepat aja.”

 

“Terima kasih, Seiji-kun – barusan kau bilang ‘kurang tepat’ lagi’? Hei, lihat ke sini dong?”

 

Beginilah sepupuku Hibiya Rin.

Ketua OSIS yang disegani dengan bakat dan penampilan memukau. Tapi entah kenapa selalu terasa “kurang lengkap”.

 

Melihat sepupunya yang terlahir di bawah bintang seperti itu, Airi memiringkan kepalanya.

 

“Kupikir lebih mudah dibahas daripada Souseki. Atau sebaiknya membahas Shunrou Oshikawa aja yang lebih ringan?”

 

Jangan-jangan anak ini adalah penjelmaan pelajar zaman Meiji yang terlahir di zaman modern?

 

“Maki, jika ingin mendapat teman lewat sastra, caranya adalah berhenti membaca sendiri.”

 

“Tidak bisa dipahami.”

 

“Menggunakan ungkapan seperti ‘perasaan mendaki tebing terjal’ pun terlalu tinggi tingkatannya untuk percakapan sehari-hari.”

 

Itu merupakan pesan terakhir dari seorang murid Natsume Soseki. Bukan sesuatu yang menggembirakan.

 

“Aku khawatir Airi tidak bisa bergaul dengan baik di kelas.”

 

Rin-san menghela nafas.

 

“Sepengetahuanku, sejak SMP bangkunya sudah menjadi ‘wilayah suci elf sastra’.”

 

“Apa? Itu seperti judul manga atau novel ringan.”

 

“Penampilannya tidak lazim sehingga sulit berkomunikasi, dan meski bisa berkomunikasi, dia hanya membaca sastra serius yang tidak menarik bagi orang lain.”

 

Begitulah julukan ‘elf sastra’ melekat padanya, seorang selebriti tersembunyi di SMA Tokiomi.

 

“Kau salah. Dia punya teman sesama kutu buku, contohnya Chiaki. Dia tidak sendiri.”

 

Seperti yang disebutkan Airi, mereka berdua memang dalam klub sastra yang sama.

 

Adapun hubunganku dengannya bermula dari kami sama-sama menjadi pengurus OSIS di SMP dulu.

 

“Selain itu, dengan menunjukkan pengetahuan sastra Jepang, aku bisa meremehkan orang-orang yang menganggapku bukan orang Jepang meski lahir dan besar di Jepang.”

 

“Airi, Onee-san ingin mengatakan dengan baik hati, tapi itu memang seperti dirimu ya?”

 

Sifatnya yang sedikit sarkastik ini membuatnya tidak mengejar banyak teman.

 

“Nah – intinya, Rin-san, aku ingin menambah satu orang untuk acara perkawanannya.”

 

Setelah menikmati kopi, aku mengutarakan maksud utamaku pada Rin-san.

 

“Ah, murid pindahan yang terlambat itu akan ikut ya.”

 

Berkat penjelasanku sebelumnya, Rin-san langsung menangkap maksudku.

 

“Nambah satu orang aja pasti tidak masalah. Itu restoran langganan sekolah kita untuk acara besar, jadi mereka pasti terbiasa. Aku akan memberi tahu mereka.”

 

SMA Tokiomi memiliki restoran langganan untuk acara klub atau acara perpisahan lulusan.

 

Biasanya, jika akan menggunakan restoran itu untuk kelompok besar, pihak OSIS akan memesan terlebih dulu.

 

Kali ini, karena Yuno yang tadinya belum pasti ikut akhirnya bisa hadir, makanya aku datang untuk memberi kabar.

 

“Murid pindahan?”

 

Airi bertanya dengan polosnya, jadi aku jelaskan ada murid pindahan yang terlambat masuk karena operasi.

 

“Oh iya, murid pindahan dari SMP Shinryo kan?”

 

“Shinryo?”

 

Kali ini giliranku yang mengulang perkataan Rin-san dengan bingung.

 

“Itu sekolah lamanya. Aku masih ingat karena kami pernah bertanding di turnamen nasional.”

 

Benar juga, di koridor ada koran sekolah yang memberitakan tim tenis meja putra dan bulu tangkis putri berprestasi di tingkat nasional.

 

Sepertinya Rin-san pernah menonton untuk mendukung temannya di tim putri.

 

“Jadi hari ini kau tidak bisa bantu OSIS ya Seiji-kun. Sepertinya kami akan sibuk.”

 

“Meskipun aku sering membantu, aku bukan anggota lOSIS lho?”

 

“Karena tidak ada yang mau jadi OSIS di sekolah kita. Aku jadi ketua karena mantan ketua dan guru-guru memohon padaku. Jadi aku juga butuh bantuan dari sepupu tersayang.”

 

Rin-san memainkan kukis camilan sambil menghela nafas.

 

“Jadi alasan tidak menggunakan ponsel untuk berkomunikasi adalah agar aku datang ke ruang OSIS sendiri hanya untuk hal sepele begini?”

 

“Iya dong, aku kan ingin bertemu sepupu yang kucinta secara langsung.”

 

Begitulah, hanya dengan imbalan teh dan kue, dia sering menyuruhku membantunya bekerja.

 

“- Kurasa aku harus kembali sekarang.”

 

Kata Airi, lalu kami berdua melihat jam, memang sudah waktunya istirahat siang berakhir.

 

“Kalau gitu ketua, sampai nanti sepulang sekolah.”

 

“Ya, sampai nanti.”

 

Di depan tangga, Rin-san dan Airi berpisah setelah saling mengucapkan salam.

 

Aku dan Airi yang seangkatan berjalan bersama di koridor hingga persimpangan.

 

“Ngomong-ngomong, murid pindahan yang kamu sebut tadi seperti apa?”

 

Di persimpangan itu, Airi mengajukan topik tentang Yuno.

 

“Ah, kebetulan dia adalah teman masa kecilku dulu.”


“Teman masa kecil? Jadi itu benar-benar ada ya...”

 

“Tentu saja ada, cuman ya tidak biasa aja.”

 

Meskipun aku tidak memiliki teman atau kenalan yang sudah kukenal sejak kecil, tidak aneh jika orang lain memilikinya di dunia ini. 

 

“Perempuan? Imut?”

 

“Iya perempuan, dan menurutku dia imut. Kalau kamu penasaran, tanya aja ke Chiaki.”

 

“...Tidak usah, pasti nanti akan jadi cerita cinta persahabatan yang indah. Seperti Kokoro.”

 

“Bukannya itu cerita yang punya bad ending yang membosankan? Apa aku melakukan kesalahan?”

 

Tanpa menjawab kebingunganku, Airi kembali ke kelasnya sendiri. Memang sesuatu yang tidak terpecahkan.

 

○ 

 

Sepulang sekolah – para murid kelas 2-B berkumpul di restoran yang direkomendasikan Rin-san.

 

“Baik, silakan duduk di meja terdekat. Untuk makanan, kalian bisa mengambil sendiri dengan sistem prasmanan. Setelah makanan dan minuman siap, kita bersulang.”

 

Sebagai ketua kelas, aku memimpin teman-teman sekelas hari ini.

 

“18, 19, 20... Eh? Kuhitung lagi! 1234 5...”

 

“Chiaki, semuanya sudah lengkap kok.” 

 

“Ah, terima kasih... nah, selanjutnya kumpulin patungannya dan... Eh tidak, buka acaranya dulu.”

 

“Tenanglah, belum waktunya.”

 

Aku menenangkan Chiaki yang terlihat bingung di sampingku, lalu terdengar suara dari dekat kami.

 

“Lho? Chii-chan jadi panitia ya?”

 

Itu Yuno. Ternyata kami hanya sempat mengobrol sebentar pagi tadi.

 

“Ya, Chiaki juga perlu pengalaman mengurus acara seperti ini.”

 

“Hm? Maksudnya?”

 

Yuno memiringkan kepalanya. Sepertinya penjelasanku kurang jelas bagi Yuno yang baru pindah.

 

“Chiaki akan menjadi ketua OSIS nanti.” 

 

Kakeru yang baru mengambil makanan menjelaskan dengan singkatnya.

 

“Eh, Chii-chan jadi ketua!?”

 

“Bukan, aku hanya mencalonkan diri, belum tentu kepilih!” 

 

Chiaki membantah pernyataan Yuno yang membelalak kaget, meski sebenarnya tidak perlu.

 

“Dia dapat rekomendasi dari ketua OSIS sekarang dan guru-guru.”

 

Aku menambahkan penjelasan, lalu Chiaki menatapku dengan pandangan protes.

 

“Kalau dipikir-pikir lagi, seharusnya Seiji-kun yang jadi ketuanya ya, soalnya dia pernah jadi ketua OSIS di SMP, kan?”

 

“Menurut aturan sekolah ini, ketua kelas tidak boleh mencalonkan diri.”

 

Pemilihan ketua OSIS di SMA Tokiomi tidak pernah meriah. 

Tidak ada yang maju sebagai calon, jadi mantan ketua dan guru-guru yang harus menunjuk “korban”.

 

Aku tidak tahu detailnya, tapi sepertinya Rin-san merekomendasikan Chiaki, dan Chiaki menyetujuinya.

 

“Tapi hebat! Dulu Chiaki sangat pemalu, ternyata dia sudah tumbuh dewasa ya.”

 

Yuno menyatukan kedua tangannya dengan kagum, tapi Chiaki hanya membuang muka dengan wajah cemberut.

 

“Aku akan memilihnya nanti! Eh, tapi kenapa jadi panitia acara perkawanan begini?” 

 

“Ini sebagai latihahan mental buat ngatasin tekanan nanti.”

Yuno langsung mengerti begitu aku jelaskan.

 

“Oh gitu, sedang memperkuat hatinya ya.” 

 

“Chiaki kan suka berpura-pura kuat tapi sebenernya penakut. Harus dilatih biar nggak megap-megap di acara nanti.”

 

Yuno mengangguk mengerti, lalu Kakeru melanjutkan perkataannya dan membuat Chiaki menggembungkan pipinya karena kesal.

 

“Sudahlah, kalian semua kuangkat jadi anggota kalau aku jadi ketua nanti.”

 

Ancaman Chiaki membuat Yuno dan Kakeru sedikit merinding.

 

“Wa, kalau aku sih mungkin hanya jadi sekretaris?”

 

“Aku pasti gagal jadi bendahara. Itu pekerjaan untuk Seiji kan?”

 

“Maaf, tapi sama seperti aturan ketua, ketua kelas juga tidak bisa gabung jadi pengurus OSIS.”

 

Aku dengan tenang mengingatkan aturan, tapi Chiaki mendengus.

 

“Tidak masalah. Ketua OSIS juga menyuruh Seiji-kun membantunya kan? Aku akan melakukan hal yang sama. Mengubah sesuatu yang gelap jadi putih.”

 

“Pemilih mulia harap mencobloskan calon yang memasukkan pelanggaran aturan dalam manifestonya.”

 

Sepertinya tanpa sepengetahuanku, Chiaki telah mendapat pengaruh buruk dari Rin-san.

 

“Ketua kelas, sepertinya makanan dan minuman sudah siap.”

 

“Ah, terima kasih.”

 

Setelah wakil ketua Mochizuki memanggilku, aku memandang sekeliling restoran.

 

Aku, Chiaki, Yuno, Kakeru yang sudah seperti teman masa kecil mengelilingi meja, dengan Mochizuki bergabung.

 

“Chiaki, beri sambutan.”

 

“Ba-Baik.”

 

Chiaki yang duduk di sebelahku tampak gugup mencari sesuatu.

 

“Ah, Eh... Mm...?”

 

Chiaki terlihat panik dengan suara pelan. Sepertinya kehilangan kertas catatan sambutannya.

 

Teman-teman sekelas mulai bereaksi, “Hm?” “Kenapa?” “Sudah boleh makan?”

 

Aku meletakkan tangan di bahu Chiaki yang kebingungan dan berdiri menggantikannya.

 

“Baiklah, terima kasih sudah berkumpul hari ini. Aku Aikage Seiji, ketua kelas kalian. Kami senang dapat memulai tahun ajaran baru dengan selamat, dan karena ada teman baru bergabung di kelas ini, maka acara ini sekalian untuk menyambutnya. Semoga kalian dapat semakin mengenal dan berteman melalui kesempatan ini. Sekarang silakan angkat gelas kalian – bersulang!”

 

Para teman sekelas bersahutan “Bersulang!”.

 

Setelah keheningan sesaat ketika mereka meminum minuman, suara percakapan dan dentingan piring mulai bersahutan. 

 

“Terima kasih Seiji-kun. Maaf ya.”

 

“Ah, nanti kamu yang beri sambutan penutupnya ya.”

 

Chiaki mengatupkan tangan meminta maaf begitu aku duduk kembali.

 

Aku hanya menirukan orang dewasa dengan menyampaikan frasa-frasa baku, tapi itu sudah cukup untuk sambutan acara perkawanan.

 

“Fueh...”

 

Yuno memandangiku dengan mata terbelalak sambil memegang gelas.

 

“Kenapa?”

 

“Ah, tidak. Tadi itu keren sekali, kayak guru aja.”

 

“Yah, aku sudah sering disuruh begitu sih...”

 

Aku sedikit tergagap ketika Yuno memuji langsung seperti itu.

 

Orang-orang di sekitarku sudah terbiasa, jadi jarang memuji secara eksplisit, makanya aku tidak tahu harus bereaksi apa. 

 

“Ngomong-ngomong Yuno...”

 

Aku sempat ragu memanggil namanya, tapi kulanjutkan saja.

 

“Kamu cuman ngambil sayur doang ya? Kudengar kamu baru operasi, apa ada hubungannya?”

 

“Oh ini? Ada kaitannya sih, tapi aku hanya meninjau ulang pola makanku doang.”

 

Makanan di piring Yuno hampir sepenuhnya sayuran, nyaris seperti vegetarian.

 

Aku teringat tentang insiden operasinya. Karena aku yang memanggil ambulans, aku tidak bisa mengabaikannya begitu saja.

 

“Omong-omong, tidak ada makanan yang tidak boleh kamu makan kan?”

 

“Tidak ada kok, aku juga tidak alergi apapun.”

 

“Begitu. Kalau kedinginan karena AC, bilang aja ya.”

 

“Ah, terima kasih...”

 

Yuno terlihat sedikit canggung. Apa dia mengira aku punya maksud tertentu dengan terlalu perhatian?

 

“...”

 

Jeda sejenak.

 

Gawat. Seharusnya ada banyak topik untuk dibicarakan, tapi entah kenapa tidak ada yang terpikirkan.

 

Jika dengan teman perempuan lain, aku pasti bisa mengobrol lancar sebagai ‘ketua kelas’. Tapi dengan Yuno, aku harus berperan sebagai ‘teman masa kecil’, bukan ketua kelas. Namun hubungan ‘teman masa kecil’ kami sudah berkarat selama 5 setengah tahun. 

 

“Oh iya, yang manggil ambulans waktu itu Seiji kan? Kejadian mengerikan di awal semester baru.”

 

Meski mungkin bukan maksudnya, Kakeru dengan riang menanyakan hal itu.

 

“Aku cuman kebetulan ada di sana, yang mengalami bencana itu Yuno.” 

 

“Iya. Sekali lagi terima kasih soal itu ya. Dokter bilang kalau dibiarkan bisa jadi bahaya, jadi menelpon ambulans adalah keputusan tepat. Oh iya, waktu itu kan hari upacara penerimaan murid baru, Seiji-kun pasti telat ya? Makanya kamu jadi ketua kelas lagi...”

 

Yuno mengucapkan terima kasih, padahal bukan dia yang bersalah. 

 

“Tidak usah dipikirkan. Lagian tidak ada pelajaran, dan yang mengusulkanku sebagai ketua adalah Kakeru.”

 

Aku menunjuk Kakeru dengan ibu jari, tapi yang bersangkutan tidak ambil pusing dan terus makan. 

 

“Bukan Cuma aku kok? Chiaki juga mengusulkanmu.”

 

“Karena Seiji-kun orangnya begitu sih. Hampir semua setuju.” 

 

Apa mereka menganggap aku terlahir untuk menjadi ketua kelas?

 

“Ngomong-ngomong Seiji, waktu itu kamu bisa aja tidak ikut naik ambulans dan nunggu aja kan?”

 

Apa yang dikatakan Kakeru memang masuk akal, tapi aku tidak mau mengungkitnya karena khawatir membuat Yuno tidakk nyaman. 

 

“Waktu itu...”

 

“Maaf, itu juga salahku. Waktu itu sakitnya sudah kayak perutku mau pecah. Saat akan dibawa ke ambulans, aku jadi ketakutan sendiri, ‘Apa aku akan mati ya?’ Makanya aku memegangi tangan Seiji-kun dengan erat.” 

 

Yuno menjelaskan dengan malu-malu.

 

Memang saat itu Yuno yang kesakitan memegangi tanganku erat sehingga aku tidak bisa melepaskannya.

 

“...”

 

Melihat keheningan di antara kami, Yuno memasang wajah bingung.

 

Mungkin dia mengira kami akan menertawakan insiden dia memegang tangan laki-laki, tapi reaksi teman-teman justru berbeda.

 

“Sepertinya memang serius ya?”

“Dokter bilang bisa bahaya kalau dibiarkan.”

 

“Ambulans dan operasi, itu hampir merenggut nyawanya ya...”

 

“Sebaiknya kita cari tahu rumah sakit terdekat dan penanganan darurat.” 

 

Teman-teman sekelas yang mendengarnya justru terlihat khawatir secara alami. Kelas yang baik.

 

“Yuu-chan, kepalamu sakit?” 

 

“Enggak, tidak apa-apa...”

 

Yuno tampak memegangi kepalanya. Apakah penyakit organ dalamnya juga menimbulkan sakit kepala?

 

“Chiakii, main permainan papan yuk?”

 

Lalu dari sudut restoran, beberapa teman perempuan Chiaki mengajaknya bermain permainan.

 

“Ah, ehm...”

 

“Pergilah, tidak ada pekerjaan untuk panitia untuk sementara ini.”

 

“Kalau gitu aku pergi dulu ya.” 

 

“Ah, Chii-chan! Aku juga mau lihat!”

 

Begitu Chiaki berpindah, Yuno mengikutinya dan menjauh dariku. 

 

“Wah, daging ini enak banget. Nambah lagi sebelum habis lat.”

 

Kakeru berdiri untuk mengambil makanan yang cepat habis.

 

“Seperti biasa, ketua kelas dan yang lainnya itu akrab ya.”

 

Mochizuki yang tetap di sisiku tersenyum seperti menertawakan sesuatu.

 

“Maksudmu Kakeru?”

 

“Dia juga, tapi juga Amaya-san dan Asahi-san. Mereka teman masa kecilmu kan?” 

 

Sepertinya dia malah merasa canggung dengan Yuno.

 

“Aku juga pernah bermain dengan teman sekitar rumah, tapi kami bersekolah di tempat berbeda.”

 

“Normalnya gitu. Kami masih bisa berteman karena bersekolah di tempat yang sama.”

 

“Tapi melihat kalian, entah kenapa aku jadi merasa sedikit sedih. Apa nanti aku juga akan kehilangan kontak seperti itu dan tidak mengenali mereka lagi di jalan ya?”

 

“Ya... sebenarnya memang ada teman sekelas lama yang kita lewati begitu saja tanpa sadar.”

 

Setelah berpisah ke SMP dan SMA yang berbeda, seragam dan rute menuju sekolah jadi berbeda, hingga pada akhirnya kita tidak lagi punya interaksi dan berubah hingga tidak saling mengenali dari kejauhan. 

 

Semua orang pasti pernah mengalami hal seperti itu.

 

Tidak seperti Airi, mungkin teman masa kecil yang sebenarnya tidak sebanyak dalam fiksi.

 

“Tapi sekalipun pindah sekolah atau lingkungan baru, kita akan sibuk menjalin hubungan baru di sana. Justru mengabaikan hubungan sebelumnya yang ‘benar’.”  

 

“Benar?” Mochizuki mengulang kata itu dengan nada sedikit terkejut.

 

“Ya... contohnya kayak Yuno dan kami.”

 

Dia menunjuk ke arah Yuno dengan pandangannya. Yuno terlihat bersemangat mengobrol dengan beberapa gadis dari klub olahraga.

 

“Setelah Yuno pindah, kita berjanji akan sering mengontak. Tapi lama-kelamaan kontak itu menghilang.”

 

Bukan hanya karena saat itu kami belum punya ponsel.

 

“Saat itu kami masih SMP kan. Mungkin ada banyak hal memalukan, tapi itu masa penting.”

 

Mochizuki yang memegang teh oolong mengangguk malu, “Memang benar sih.”

 

“Kalau di masa seperti itu kita terlalu memaksakan diri untuk mempertahankan hubungan dengan orang yang jauh, kita bisa mengabaikan kehidupan di depan mata. Cepat atau lambat kita akan melupakannya, meski terlihat tak acuh tapi itu bukan kesalahan.”

 

Itu mungkin ketidakacuhan yang harus saling dimaafkan.

 

“Mungkin karena pengaruh drama remaja ya. Ada anggapan kalau melepas teman dengan mudah berarti ‘dingin’, padahal kalau terus terikat satu sama lain barulah disebut persahabatan. Aku kurang setuju dengan itu.”

 

Aku sadar aku sudah mulai berlebihan, tapi aku tidak bisa berhenti bicara.

 

“Bangkit dari kepergian seseorang itu sesuatu yang patut dihormati. Tapi kalau tidak bisa move on dari hubungan pertemanan yang terputus malah dibilang kejam, justru itu yang kejam.” 

 

Entah bagaimana pandangan Mochizuki terhadapku, tapi ekspresinya seperti tersinggung.

 

“Ah maaf, aku jadi berlebihan. Mungkin aku minum terlalu banyak?”

 

“Ini tidak ada alkoholnya kok? Kamu tidak boleh mengatakan hal yang kontroversial.”

 

Memang itu perkataan yang bermasalah.

 

“Aku mau ke toilet sebentar.”

 

Aku menolak dan beranjak dari kursi.

 

Setelah masuk dan menutup pintu toilet, menjauh dari kebisingan, aku menghela nafas.

 

(Memalukan, aku bahkan menggurui teman sekelas sendiri...)

 

Tanpa maksud apa-apa, aku hanya duduk di toilet sambil memegangi kepala.

 

Sebenarnya aku hanya ingin meyakinkan Mochizuki bahwa aku bukan orang yang cuek...

 

Setelah puas menyesali diri, aku keluar dari toilet dan kembali ke ruangan acara.

 

(Tidak perlu terus bersedih atas perpisahan ya...)

 

Kulihat sekilas Yuno sedang bertukar kontak dengan beberapa gadis.

 

Dari arah Chiaki terdengar sorakan, sepertinya baru terjadi pembalikan keadaan dalam permainan papan mereka.

 

Kakeru bahkan mengadakan semacam kontes makan cepat secara spontan.

 

(Seharusnya aku mengatakannya setelah benar-benar mengucapkan selamat tinggal...)

 

Aku masih belum bisa mengucapkan kata itu pada orang yang seharusnya aku ucapkan.


Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !