Chapter 7
16 April, 20
Hari Tersisa • Pagi
Keesokan paginya, aku
bertemu Yuno dan Chiaki di stasiun seperti biasa.
Beberapa hari lalu
suasananya agak kaku, tapi kali ini perjalanan ke sekolah terasa santai.
"Kayaknya ramai
banget ya?"
Melihat ke luar stasiun,
Yuno menghentikan langkahnya.
Kerumunan orang yang
bergerak seperti diangkut konveyor, derap langkah berirama seperti deburan
ombak, sayup-sayup pengumuman membelah kebisingan, bercampur aroma parfum yang
khas—pemandangan stasiun yang ramai seperti biasa.
"Jam segini memang
puncak keramaian."
"Setelah kereta
berikutnya lewat, akan jauh lebih sepi. Yuu-chan biasanya naik kereta
setelahnya."
Seperti aku dan Chiaki
jelaskan, kemarin Yuno memang menaiki kereta berikutnya.
Jika di wilayah ibu kota,
melewati satu atau dua kereta belum cukup, tapi untuk kota kecil seperti
Tokiomi, melewatkan satu kereta sudah membantu.
Namun hari ini, kami
sengaja datang di waktu ramai. Alasannya adalah—
"Seperti kubilang
sebelumnya, kalau memilih kereta sedikit lebih awal, waktunya bakalan pas-pasan
sampai bel masuk. Mendingan pake itu buat jatah telat bangun tidur. Naik jam
segini lebih aman kan?"
Aku memimpin sambil
menjelaskan, menuju ke pintu masuk stasiun.
"Pemandangan stasiun
ini di luar pemahamanku...emangnya manusia sebanyak ini ya?"
Yuno yang mengkhawatirkan
populasi dunia bersembunyi di antara aku dan Chiaki saat melewati pintu masuk.
Jika aku yang dari kota
kecil ini melihat stasiun di ibu kota, mungkin aku akan membuat ekspresi yang
sama.
"Di tempat tinggalmu
sebelumnya, tidak seramai ini ya? Keretanya?"
"Dulu pas SD aku
pernah senam di dalam kereta sampai ditegur petugas."
Lebih mengejutkan dari
adanya rute sepi seperti itu adalah fakta bahwa dia memiliki keberanian dan
kelenturan tubuh untuk melakukan hal tersebut di dalam kereta.
"Tunggu, emangnya
kalau ramai begini aman? Gimana kalau ada pencopet atau pelecehan?"
"Aku belum pernah
dengar soal pencopet sih, tapi kalau pelecehan seksual kita memang dapat
peringatan di sekolah kan?"
"Beneran ada
ya?"
Yuno terkejut dengan
jawaban Chiaki, membuat beberapa paman tak berdosa tersenyum masam dan memberi
jarak.
"Itu cuman pengumuman
soal keamanan doamg. Disarankan untuk tidak sendirian sebisa mungkin."
Aku menambahkan sembari
menuruni tangga dan bergabung dengan barisan menunggu kereta.
"Untuk sementara,
kalau mau naik kereta ke sekolah, kamu harus bareng Chiaki."
Berkelompok akan lebih
aman bagi anak perempuan daripada sendirian.
"Baiklah. Kota besar
memang menakutkan ya...ah, pantas aja Seiji juga naik kereta."
Yuno seperti baru
menyadari sesuatu dan menoleh ke arahku.
"Hm? Apa
maksudmu?"
"Sebelum aku datang,
kalian pasti berangkat berdua kan? Kalau Seiji tidak ada, Chii-chan sendirian
dong."
...Dia memang teman masa
kecil yang peka di saat yang tidak perlu.
"Bukan, aku memang
naik kereta ke sekolah..."
"Waktu ke rumahmu,
ada sepeda bagus kan? Itu punya Seiji kan?"
Yuno menggodaku dengan
senyum nakal. Sepertinya dia memperhatikan sepedaku saat main ke rumah kemarin.
"...Aku pakai sepeda
itu karena tidak ikut kegiatan klub, jadi buat olahraga doang."
"Kalau gitu, kenapa
tidak naik sepeda aja ke sekolah? Kamarmu juga kelihatan hemat kan."
Aku memalingkan wajah dari
Yuno yang mencondongkan tubuh ke arahku.
Akibatnya aku bertatapan
dengan Chiaki yang mengerjapkan mata.
Seperti baru menyadari
sesuatu yang selama ini tidak disadarinya.
Yah, setelah pindah nanti
aku tidak bisa berangkat bersamanya lagi, jadi kalau Yuno mengambil posisiku,
aku akan merasa lega...begitulah pikirku.
"Ayo naik."
Menggunakan kedatangan
kereta sebagai momen untuk mengakhiri percakapan, kami ikut arus masuk ke dalam
gerbong.
Dari belakang, kudengar
Yuno tertawa geli dan suara...
"..."
Aku merasakan sensasi
Chiaki mencengkeram ujung roknya dalam diam.
—Begitu memasuki kelas,
Kakeru dikelilingi oleh sekelompok orang.
Dari rombongan itu, ada
Usui dari klub olahraga dan Kanae si cewek bergaya gal.
Mereka termasuk teman
sekelas yang cukup akrab di kelas baru semester ini.
“Pa-Pagi.”
“Ah, aku dengar kabar
tentang Ketua? Katanya memotret foto-foto lucu?”
Usui dan Kanae menyadari
kehadiran kami dan menoleh.
Sepertinya mereka sudah
mendengar soal T&N dari Kakeru.
“Kebetulan banget, aku
bermaksud menunjukkan foto itu pada kalian. Sekalian beri akses ke albumnya
juga ya. Aku kurang mahir dengan yang serba digital begini.”
“Ah, tentu aja. Install
dulu aplikasinya, terus Kaitin sama akun LINE—“
Setelah meletakkan
barang-barangku di meja, aku mengirim undangan akses melalui akun.
Saat ini yang terdaftar di
album hanya aku, Yuno, Chiaki, Kakeru, dan Aya-senpai.
Sepertinya teman-teman
sekelas ini juga akan bergabung.
“Wah, lucunya! Ini kalian
semua ya?!”
“Hee, ternyata bisa dipotret
dengan cara begini ya.”
Kanae terkagum-kagum
melihat foto kami semasa kecil, sementara Usui terkesan dengan konsep T&N.
Foto itu diunggah Aya-senpai
baru-baru ini.
Dua foto kami semasa kecil
dan yang baru-baru ini bermain di perosotan yang sama, diedit dan disatukan
menjadi satu bingkai.
“Nah, siapa yang mau lihat
foto Ketua Kelas pakai seragam TK?”
“Hentikan, itu bisa salah
diartikan lho.”
Kanae meneriakkannya ke
kelas dan membuat kegaduhan.
Yang memakai seragam anak
TK itu kami semasa kecil, bukan kami saat ini.
Entah kenapa, Wakil Ketua
Mochizuki berdiri tegak dan menerobos untuk mengintip foto itu.
“Wah, ternyata Ketua bisa
tersenyum selepas itu ya.”
Sepertinya orang-orang jarang
melihatku tertawa lepas seperti itu. Apa wajahku sekaku itu di kehidupan
sehari-hari?
“Jadi ini foto-foto yang
buat album kenangan itu?”
Usui menunjuk foto
T&N.
“T&N hanya fokus
utamanya aja. Kami juga berencana memotret foto kenangan biasa sebanyak
mungkin.”
Bukan berarti hanya
T&N saja yang akan difoto, dan subjeknya juga tidak terbatas pada teman
masa kecilku.
Bahkan aku juga bisa
memotret orang lain dengan kamera jika mau.
“Kalau gitu, kita bisa
foto bareng dong? Ayo jalan-jalan ke mana gitu!”
Kanae mengusulkan dengan
semangat.
“Oke, ayo kita rencanakan aja
dulu. Bowling, karaoke, atau apa aja. Seiji kan jarang mau diajak beginian,
sebelum pindah sekolah mendingan kita habiskan semua tempat wisata di kota ini
dulu.”
Kakeru mendukung usulan
itu.
Memang benar, aku jarang
bisa menyempatkan waktu untuk hal-hal seperti itu karena banyak kegiatan OSIS
dan belajar.
Mungkin aku ini teman yang
kurang asik ya.
“Jelajahi kota kelahiran
ya...tidak terpikirkan olehku sebelumnya.”
Menghabiskan waktu dengan
teman-teman untuk lebih mengenal kota yang membesarkan kami sebelum pergi.
Meski bukan soal kecintaan
pada kampung halaman, setidaknya ini bentuk ketulusan pada teman dan tempat
kelahiran.
“Aku ikut!”
Yuno sepertinya setuju dan
matanya berbinar-binar.
“Lho, kenapa Yuu jadi
bersemangat gitu?”
“Kan Yuu-chan dari
desa...”
Sepertinya fasilitas
hiburan di kota kecil seperti Tokiomi cukup menarik bagi Yuno yang berasal dari
desa.
“Oke kalau gitu, kita
tentukan dulu tempatnya dan jadwalnya—“
Ketika aku hendak
mengambil alih pembicaraan sambil membenarkan kacamata, “Ah, Seiji-kun tunggu
dulu. Kalau diserahin ke Seiji-kun, yang aea malah jadi tur keliling kota.”
Chiaki menyuruhku menunggu
dengan senyum ramah.
“Ah, bisa jadi. Seiji
pasti bakal sampai bikin buku panduan segala.”
Bahkan Yuno juga
berpendapat begitu.
“Untuk awalnya, gimana
kalau dari tempat hiburan di dekat stasiun dulu?”
“Sekalian makan juga ya?
Keliling restoran-restoran terkenal di sana gitu.”
Kanae dan Usui juga
mengembangkan rencana. Sepertinya aku tidak perlu terlalu memaksakan gaya ketua
kelas.
“Seiji.”
Yuno membisikiku
diam-diam.
“Apa kamu masih berpikir
‘ingin pindah dengan biasa aja’ seperti itu?”
Senyumnya seperti
menggoda, tapi nada bicaranya terdengar serius.
“...Sekarang aku
benar-benar tidak mengerti kenapa dulu aku bisa mikir kayak gitu.”
Aku mengangkat bahu,
mengakui kekalahanku.
Sejujurnya, aku
benar-benar tidak mengerti.
Sebelum Yuno mengusulkan
album kenangan, sepertinya aku berpikir untuk tidak mengharapkan hal seperti
‘ini’, dimana semua orang melakukan sesuatu untuk melepas kepindahanku.
Apa yang kuharapkan bisa
kudapatkan, dan apa yang ingin kuhindari dengan bersikap seperti itu?
“Begitu ya.”
Yuno tersenyum mendengar
jawabanku.
Senyumnya terlihat lega,
tapi juga ada riak kesedihan tersembunyi yang membuatku penasaran dengan
maksudnya.
Lalu bel tanda masuk
berbunyi, rencana jalan-jalan bersama teman sekelas ditunda dulu.
(Ini ‘utang’ yang besar
ya)
Album kenangan yang
diinisiasi Yuno. Jika memikirkan nilainya, aku tak bisa mengabaikan kebaikan
ini begitu saja. Aku harus membayar ‘utang’ ini selama sisa waktu sebelum
pindah sekolah nanti...
○
Saat istirahat makan
siang—kami kembali ke ruang klub fotografi seperti kemarin.
“Ayo tentukan ketua panita
produksinya!”
Aya-senpai membuka usulan
dengan suara tegas.
“Seiji aja.”
“Seenggaknya jelasin dulu
tugasnya sebelum menyeretku.”
Aku menghentikan Kakeru
yang asal serobot dan meminta penjelasan pada Aya-senpai.
“Yah, kemarin aku terlalu
bersemangat dan jadi kurang mempertimbangkan subjek fotonya ya? Aku jadi
introspeksi, yang seharusnya dibuat adalah album kenangan, bukan kumpulan foto
berkualitas tinggi. Padahal kalian kliennya lho.”
Aya-senpai melipat tangan
sambil menggeleng.
“Ah benar juga, kalau
seterusnya diseriusim begitu nanti bisa capek.”
Kakeru dengan cara
bicaranya yang to the point menyuarakan apa yang sulit dikatakan.
Yuno dan Chiaki tertawa
masam, menyetujuinya. Aku meminta Aya-senpai untuk melanjutkan.
“Aku senang kamu
memerhatikan kami, tapi maksudnya Ketua Panita Produksi itu gimana?”
“Ya, kalau kita bertindak
gegabah kayak kemarin, cepat atau lambat pasti akan ada masalah. Kita perlu
menyusun rencana, mempersiapkan diri, dan memanfaatkan aku untuk memotret. Kita
butuh orang yang mengambil kendali ini. Dari pengalamanku, kalau cuman
main-main doang nanti bisa berantakan.”
Sepertinya Aya-senpai
pernah mengalami hal merepotkan, hingga tatapannya menerawang.
“Um, kalau dipikir-pikir,
kemarin memang terlalu seenaknya ya.”
Chiaki mengakui dengan
lembut. Aku juga setuju.
“Benar juga. Kemarin sih
tidak masalah karena di lahan kosong, tapi untuk lokasi mendatang, mungkin
perlu izin atau persiapan terlebih dulu.”
Beberapa lokasi yang sudah
direncanakan untuk T&N memang seperti itu.
“Belakangan ini banyak
orang merekam aksi bodoh sampai menyebabkan keributan yang mengganggu pihak
sekolah kan. Meski niatnya baik, kita tetap harus menyusun rencana matang biar
tidak membuat keributan—“
Aku menghentikan
kata-kataku di tengah jalan, tapi terlambat.
“Siapa yang setuju kalo
Seiji aja yang jadi ketuanya?”
“”Aku!””
Kakeru, Yuno, Chiaki,
bahkan Aya-senpai mengacungkan tangan.
“Rasanya seperti melihat
adegan ini berkali-kali sejak SD...”
Saat aku memijat kening,
Kakeru menepuk bahuku.
“Tunggu Seiji, pikirkan
baik-baik, siapa yang paling cocok untuk ini. Tadi sudah kita bahas kan? Tau
kan akibatnya kalo di anggap remeh?”
Di sisi lain, Yuno membuka
mulut dengan ekspresi berpikir.
“Aya-senpai harus fokus
pada pemotretan, sementara aku baru pindah jadi tidak terlalu paham situasinya.
Kalau Shou atau Chiaki yang mengambil alih, pada akhirnya Seiji juga harus
membantu kan?”
“Ya ya, memang Seiji-kun
yang paling cocok buat hal beginian.”
Saat Chiaki dengan sengaja
merayuku, aku menghela napas.
“Etto, meskipun aku yang mengusulkan,
tapi ini kan album untuk kalian semua...”
Aya-senpai terlihat
sedikit khawatir. Sepertinya helaan napasku disalahartikan.
Memang aneh jika
memaksakan posisi pemimpin produksi album kenangan untukku.
“Bukan berarti ‘album
hanya untukku’ kok. Ini akan tetap menjadi milik bersama meski aku sudah pindah
nanti, jadi tidak perlu sungkan.”
Bukan hal baru bagiku
mendapat posisi pemimpin seperti ini, termasuk ketua kelas.
“Kalau ini album kita
bersama, mending di jalanin kayak biasa aja.”
Yang terpenting, aku juga
ingin menyukseskan produksi album ini.
Jika ketiadaan pemimpin
bisa memicu kecelakaan, lebih baik mencegahnya. Lagipula tidak masalah bagiku
untuk mengambil alih kendali album kenangan kepindahanku sendiri meskipun
konyol.
“—Dengan ini, aku Aikage
Seiji yang tidak berguna akan memimpin Panitia Produksi Album Kenangan!”
Satu detik kemudian, aku
sudah berdiri di depan papan tulis.
“Aku tidak menolak, tapi
kamu yakin mau begini?”
“Ini memang yang terbaik
untuk Seiji-kun.”
Aku sedikit tertarik
dengan bisik-bisik Yuno dan Chiaki, tapi sudah terlanjur, jadi akan kulakukan
sepenuh hati saja.
“T&N untuk hari ini,
foto ‘Pesta Perpisahan’ yang diambil di rumah Yuno.”
Ini bahan T&N yang
diberikan Yuno kemarin, diambil sebelum dia pindah sekolah dulu.
“Aya-senpai, apa poin
utama untuk merekonstruksi foto ini?”
“Yang paling penting
adalah posisi kalian. Untuk interior rumah, akan sulit merekonstruksinya jadi
kita bisa mengeditnya. Sebagai gantinya, kita persiapkan makanan, peralatan
makan, taplak meja, dan semacamnya yang sama kayak di foto.”
Masuk akal. Merekonstruksi
interior berarti harus memindahkan perabot rumah.
“Yuno, kamu sudah izin sama
orang tuamu?”
“Sudah, aku memberi tahu
ibu soal T&N dan dia bilang silakan datang kapan aja. Taplak meja dan
peralatannya juga masih tersimpan di rumah, jadi bisa pakai yang sama.”
“Bagus. Kabari lagi kalau
semuanya sudah diatur. Chiaki, kamu lumayan bisa masak kan? Bisa buat ulang
menu yang sama di hari ini?”
Kali ini aku menanyai
Chiaki yang jago memasak di antara kami semua.
“Untuk pesta sederhana sih
gampang, tapi kalau masak dari bahan mentah agak repot.”
“Ya, tidak enak kalau
mengambil alih dapur orang terlalu lama. Makanan yang bisa dibeli kita beli aja,
pinjam dapurnya buat masakan yang di masak aja. Tolong buatkan daftar bahan
yang dibutuhkan.”
Seperti praktik memasak
atau bazzar makanan saat acara sekolah. Kita bisa merujuk pada pengalaman itu.
“Makanan yang sudah jadi
sebisa mungkin kita habiskan. Sisanya bisa untuk makan malam keluarga Yuno,
atau kita bawa pulang dengan kotak makan. Jangan sampai ada makanan yang
dibuang setelah difoto seperti orang bodoh.”
“Setuju!” Aya-senpai
mengaminkan.
“Setelah selesai jangan
lupa membersihkan semuanya, sampah yang berserakan juga harus diangkut, dan
kita pergi sebelum waktu makan malam.”
“Seiji? Tidak usah
seformal itu ah. Ibu pasti akan membantu kok.”
“Tidak boleh. Kalau
anak-anak sih tidak masalah, tapi kita sudah sebesar ini tidak mungkin
merepotkan ibumu. Yang boleh dibantu hanya membuka bingkisan oleh-oleh doang.”
“Seiji terlalu serius
ah...”
Meski yang bersangkutan
bilang tidak masalah, tetap saja kita tidak boleh merepotkan. Harus
diminimalisir.
“Aya-senpai mengambil
foto, Chiaki dan Yuno memasak, aku dan Shou menyiapkan sebelum dan membersihkan
setelahnya. Sepulang sekolah kita beli perlengkapan dulu, lalu ke rumah Yuno.
Kabari aku kalau ada yang perlu diperhatikan di bagian kalian masing-masing.”
Begitu aku menghela
napas—Yuno terdiam, sementara Chiaki tersenyum penuh arti sambil berkata, “Nah
kan?”
“Benar-benar persis kayak
gosip tentang Ketua Kelas yang disiplin.”
“Aku sudah 10 tahun
menjalani peran ini.”
Entah kenapa Kakeru ikut
menyombongkanku di depan Aya-senpai yang terkesan.
Apapun itu, ketika aku
melihat jam, masih tersisa seperempat waktu istirahat siang. Aku bahkan
berjalan dengan cepat untuk itu.
“Karena masih ada waktu
lebih... Kayaknya aku bisa nunjukin foto lain yang bisa digunakan untuk
T&N.”
Foto yang kukeluarkan
adalah foto saat di sekolah bulu tangkis kemarin.
“Ah, ini...”
Yuno seperti terkejut
melihatnya.
“Nostalgia banget! Ah
benar, ada foto kayak gini ya!”
Setelah jeda aneh, Yuno
akhirnya tersenyum.
“Kalau kayak gini kayaknya
tidak terlalu susah. Apakah kalian berdua masih memiliki raket waktu itu?”
Aya-senpai bertanya.
“Kalau yang waktu itu,
seharusnya masih ada di gudang.”
“Aku juga... Ya, kurasa
masih ada.”
Setelah aku, Yuno juga
mengangguk, tapi nada bicaranya tidak seceria biasanya.
“Kalau gitu kita bisa
mengambil fotonya nanti. Kita bahkan bisa meminjam gedung olahraga sekolah.”
Dengan demikian, foto bulu
tangkis yang kubawa juga menjadi kandidat untuk T&N.
Waktu kecil, di hari-hari
istimewa seperti ulang tahun, kami dibuatkan makanan spesial.
Seperti kue utuh atau
taplak meja spesial yang tidak biasa digunakan.
Perasaan istimewa
sederhana itu mengubah makanan sehari-hari menjadi kenangan.
Begitulah cara kita
mengingat, meskipun samar, kenangan itu tertinggal di memori kita.
Ketika sudah dewasa, hari
ini kami mempelajari sesuatu baru.
“Ternyata menyiapkan pesta
makanan cukup merepotkan ya.”
Setelah pulang sekolah,
kami pergi ke department store.
“Maaf menunggu, ini semua
sayurannya.”
“Hei, di mana bagian kulit
lumpia dijual?”
Di bagian makanan yang
ramai dengan ibu-ibu rumah tangga, Aya-senpai dan Kakeru menghampiriku yang
membawa keranjang belanja.
“Aku bawa
daging-dagingannya. Wah kota besar memang banyak pilihan sampai terpana.”
Kemudian Yuno datang dari
bagian makanan siap saji dengan ayam panggang dan bakso daging.
“Terima kasih. Jadi
tinggal sandwich dan sushi—-“
Di sampingku, Chiaki
memeriksa daftar belanjaan di aplikasi memo di ponselnya.
“Shou, tanya petugas soal
kulit lumpia, juga beli roti untuk sandwich. Aya-senpai, beli kentang goreng
beku aja. Yuno, kamu lupa beli sosis. Aku dan Chiaki akan memilih sushi.”
“Siap!”
Mereka bertiga bereaksi
seperti prajurit setelah aku memberi instruksi.
“Seiji-kun, kamu cukup
mahir ya? Apa kamu suka memasak?”
“Baru belakangan ini doang.
Aku tidak bisa membiarkan ibu yang sedang hamil kerepotan sendirian, kan?”
“Oh gitu. Fufufu,
Seiji-kun memang pengertian ya.”
Chiaki tersenyum geli.
Sejak tahu ibu mengandung,
aku berusaha belajar mengurus pekerjaan rumah sebisaku.
Ngomong-ngomong,
sepertinya percakapan kami tadi menarik perhatian ibu-ibu di sekitar. Atau
cuman hanya perasaanku doang?
“Setelah mencari tahu,
ternyata banyak makanan yang harus dihindari saat hamil ya.”
“Benar, yang mentah-mentah
sebaiknya tidak usah.”
“Katanya terlalu banyak
makan hati atau unagi juga tidak baik. Kelebihan vitamin A bisa berisiko
bagi janin.”
“Wah, aku suka banget tuh
makanan. Kayaknya aku harus membatasinya.”
“Ya, aku juga akan menahan
diri agar tidak memakannya di depan ibu.”
Ibu-ibu di sekitar tampak
memasang ekspresi heran sambil berbisik “Wah” “Masih pelajar ya?”
Mungkin jarang melihat
murid SMA berbelanja dengan seragam seperti itu.
Chiaki sepertinya
menyadari sesuatu dan menoleh ke sekeliling.
“Masalah pola makan aja
sudah sebanyak ini. Ternyata dibutuhkan banyak dukungan untuk ibu hamil ya. Aku
harus bertanggung jawab.”
Tahun depan aku akan
menjadi seorang kakak. Aku harus bersiap.
“Err, Seiji-kun? Itu
bagus, tapi kayaknya ada sedikit kesalahpahaman...”
Chiaki menarik lengan
bajuku dengan ragu-ragu.
“Chiaki juga harus
berhati-hati ya? Kamu pilih-pilih makanan soalnya.”
“Makanya, dalam konteks ini maknanya jadi
berubah. Aku sudah menyadarinya dari tadi.”
Entah kenapa, wajah Chiaki memerah.
Aku tidak yakin, tapi sepertinya dia ingin
kami mengubah topik.
“Benarkah? Lagi pula, menjadi orang tua itu
sulit, bukan? Kalau soal memasak pun, aku akhirnya paham suka, tidak suka, dan
nutrisi anak saat aku dalam posisi membuat makanan sendiri. Tapi itu agak
bermanfaat.”
“Itulah mengapa kamu tidak boleh mengatakan
hal-hal baik kayak gitu sekarang…!”
Chiaki berteriak dengan suara yang terdengar
seperti nyamuk.
Di sisi lain, para ibu rumah tangga
mengangguk-angguk, seolah tergerak oleh sesuatu.
“Ah, hai, Chiaki?”
Chiaki, yang telinganya merah, menarik lengan
bajuku dan membawaku pergi.
Saat aku hendak pergi, aku merasa seolah-olah
para ibu rumah tangga di dekatku mengepalkan tangan mereka dan menyemangatiku.
“Ah, kalian berdua ada di sini---apa yang
terjadi?”
Yuno, yang membawa barang yang diminta,
memperhatikan kami dan menatap kami dengan curiga.
“Seiji-kun bodoh. Aku tidak bisa datang ke
toko ini lagi...!”
Entah kenapa, Chiaki menyuarakan kebencian
kepadaku sambil menutupi wajahnya dengan kedua tangannya.
Kawasan perumahan yang
tenang di mana bisa mendengar suara kereta berjalan di kejauhan.
Siswa dalam perjalanan pulang dari sekolah
dan ibu rumah tangga dalam perjalanan pulang dari berbelanja sedang
berjalan-jalan.
Kami menaikan tas belanjaan kami ke sepeda
Kakeru dan menuju ke apartemen tempat tinggal Yuno.
“Selamat datang. Wah, kalian semua sudah
dewasa.”
Yang menyambut kami adalah
ibu Yuno yang akan dikenang dalam ingatan.
“Lama tidak bertemu. Maaf
kami datang tiba-tiba dengan rombongan sebesar ini.”
Aku menyapanya. Pada
saat-saat seperti ini, aku secara natural menjadi juru bicara, kebiasaan
seorang ketua kelas.
“Ah, Seiji-kun? Kamu
terlihat semakin tampan!”
“Aku terkejut melihat kamu
tidak berubah, bibi.”
“Aah, apakah aku terlihat
semuda itu?”
Ibu Yuno tertawa renyah,
dan seperti Yuno, logat Hiroshima terdengar jelas dalam ucapannya.
Kakeru bergumam pelan,
“Mereka benar-benar mirip,” dan Chiaki serta Aya-senpai mengangguk.
“Ibu, ajak mereka semua
masuk aja!”
Dengan malu-malu, Yuno
mempersilakan kami masuk.
Aku mengerti.
Memperlihatkan orang tua kepada teman-teman, entah sejak kapan, telah menjadi
semacam permainan memalukan.
Bahkan sampai logat
daerahnya keluar saat emosinya meninggi, mereka benar-benar mirip. Tidak
menyinggung hal itu adalah bentuk kebaikan.
“Baiklah, persiapan
makanannya sudah siap.”
Begitulah kami diundang ke
kediaman keluarga Asahi.
“Bahannya aku letakkan di
meja. Apakah ibu sudah nemuin piring dan yang lainnya?”
“Itu di sana. Syukurlah
aku menyimpannya dengan baik.”
Sesuai instruksi Yuno, aku
dan Kakeru yang membawa kantong belanjaan menuju meja.
“Seiji-kun.”
Lalu, ibu Yuno memanggil
namaku.
“Yuno bercerita padaku.
Kamu yang memanggil ambulans waktu itu kan? Terima kasih banyak. Maaf aku baru
mengucapkan terima kasih sekarang.”
“Ah, tidak perlu sungkan.
Aku cuman menelepon doang kok.”
Ibu Yuno juga berterima
kasih kepadaku atas insiden usus buntu Yuno waktu itu.
Kalau kuingat lagi,
sepertinya aku berpapasan dengannya di lobi setelah mengantarkan Yuno ke rumah
sakit.
Dia pasti terburu-buru
datang setelah mendengar putrinya dibawa ambulans.
Sepertinya itulah alasan dia
menyambut kami dengan hangat untuk acara T&N klub.
“Dan ini, meski cuman
sesuatu yang sederhana—“
Aku menyerahkan kotak
bingkisan kue yang kubeli sekalian dengan bahan makanan, kepada ibu Yuno.
Posisi kotak kuhadapkan dengan benar ke arahnya, dan pilihannya sudah kususuri
sesuai selera Yuno.
“Ah, kamu tidak perlu repot-repot
kayak gitu.”
“Tidak, ini cuman sekadar
tanda terima kasih sederhana. Semoga sesuai dengan selera bibi.”
“Kamu benar-benar
bertanggung jawab ya. Aku khawatir Yuno tidak bisa menyesuaikan diri di sekolah
barunya, tapi kalau ada Seiji-kun, aku bisa tenang.”
“Bibi tidak perlu
khawatir. Yuno sudah benar-benar menyatu di kelas kami.”
Aku menekankan hal itu
untuk menenangkan hatinya.
Sebenarnya, dengan
kepribadian ceria dan terus terangnya, Yuno juga sudah mendapatkan teman-teman
baru di kelas selain kami.
“Ah syukurlah. Tolong jaga
Yuno ya ke depannya.”
“Ah tidak, justru saya
yang banyak dibantu oleh Yuno—“
Ketika aku hendak
menceritakan tentang proyek album kenangan yang diusulkan Yuno, tiba-tiba
terdengar suara:
“Tunggu, ada yang aneh
dengan percakapan Seiji!”
Yuno memotong dengan wajah
memerah.
“Apanya yang aneh?”
“Ya, kayak pembicaraan
untuk... Ah sudahlah, tidak usah dengarkan ibuku!”
Yuno keras kepala mengusir
ibunya pergi.
“Gerakan Seiji mencari
mertua itu agresif sekali...”
“Seiji kan memang jago
menjaga penampilan luarnya.”
“Senyum palsunya itu
memang menarik minat ibu-ibu tua ya.”
Aya-senpai, Kakeru, dan
Chiaki mengatakan hal-hal yang tidak karuan.
Sudah lama menjadi ketua
kelas, secara alami aku terbiasa memberikan kesan baik di depan orang dewasa.
“Yah, ayo siap-siap. Kita
lakukan sesuai pembagian tugas yang sudah diputuskan.”
Mendengar suaraku, yang
lain menyahut dan melepas jas seragam mereka.
“Tempat pengambilan gambar
di sini ya? Aikage-kun, Akemaru-kun, bisa geser meja ini sebentar?”
Aku dan Kakeru mengerjakan
tugas berat sesuai instruksi Aya-senpai.
“Chii-chan, mau pakai
apron ini?”
“Wah, lucu banget. Punyamu
juga bagus ya, Yuu-chan.”
Yuno dan Chiaki mengenakan
apron untuk bertugas memasak, ibu Yuno juga bergabung dengan mereka.
Apron Chiaki berbentuk
sedikit modis seperti dress, sedangkan milik Yuno hanya menutupi bagian bawah
pinggangnya.
Chiaki seperti pengasuh di
taman kanak-kanak, sementara Yuno seperti pegawai kafe.
Tapi di balik apron mereka
masih mengenakan seragam kemeja dan rok...kombinasi yang unik.
“Mumpung ada kesempatan,
ayo kita ambil foto juga.”
Karena Aya-senpai akan
memotret, meski sedikit tidak rela, aku mengalihkan pandangan.
Setelah membersihkan meja
dan menyusun kursi, menghidangkan masakan yang sama dengan di foto menggunakan
piring yang sama, berulang kali membandingkan dengan fotonya saat menyusun,
waktu pun berlalu dan—
“Yosh! Selesai!”
Seperti yang diklaim
Kakeru, hidangan di meja kini sama persis seperti di foto.
“Nah, sekarang kalian
duduk di kursi ya. Posisinya sama kayak di foto.”
Di bawah pengawasan ibu
Yuno yang terlihat gembira, kami duduk di tempat masing-masing sesuai instruksi
Aya-senpai.
“Aikage-kun, pegang sumpit
dan tatap lurus ke depan. Akemaru-kun, berhenti dengan posisi seperti hendak
memasukkan ayam goreng ke mulut. Asahi-chan dan Amaya-chan, saling tatap dengan
senyuman.”
Karena aku harus menatap
lurus ke depan, aku jadi memandang Yuno dan Chiaki yang duduk di sampingku.
“Ah, jadi pengen tertawa.”
“Kita kayak lagi main suit
mata aja.”
Yuno dan Chiaki terkikik
geli.
Melihat pemandangan itu,
tiba-tiba ingatan lama muncul kembali dalam benakku.
Bukan dari foto, melainkan
dari sudut pandangku sendiri saat itu, ingatan tentang Yuno dan Chiaki di masa
lalu.
Yuno yang dahulu seperti
anak laki-laki, dan Chiaki yang belum matang pada saat “Perpisahan” itu...kini
mereka tumbuh begitu berbeda tapi tetap bisa tertawa bersama seperti dulu.
Aroma memang terkait erat
dengan ingatan. Mungkin hidangan yang sama di meja memicu kembali memori lama.
“Senpai, cepat ambil
fotonya, ayam goreng di depan mataku ini jadi tersia-sia baunya.”
Teriakan Kakeru membuat
tawa Yuno dan Chiaki kembali menjadi senyuman alami.
Aya-senpai tidak
menyia-nyiakan kesempatan itu dan memotret dengan mode burst.
“Kalian mulai terbiasa ya.
Tuh, sekali jepret aja sudah dapat hasil bagus.”
Sepertinya Aya-senpai juga
merasa puas.
“Kalau harus memilih,
mungkin yang ini? Aikage-kun, kamu bawa tablet milikmu? Aku akan mengirimkan
fotonya.”
Atas permintaan
Aya-senpai, aku mengeluarkan tablet dari tas.
Kamera digital zaman
sekarang bahkan bisa mengunggah video, jadi pengiriman foto pun mudah.
“Hmm...”
“Hmm...”
Tanpa kusadari, Yuno dan
Chiaki yang tadi di sampingku kini memelototi foto dengan wajah serius.
“Mungkin sedikit ubah
sudut pandangnya...”
“Mungkin lebih terangkan
cahayanya ya?”
Memang sepertinya
gadis-gadis, temasuk Yuno dan Chiaki, sangat memperhatikan hasil jepretan.
“Meski sudah bagus
sih...tapi mau diedit dulu kah?”
Akhir-akhir ini foto mudah
diedit, dan mengedit foto bagi gadis-gadis sama seperti berdandan. Tapi Yuno
dan Chiaki hanya mengangkat bahu pasrah.
“Sudahlah, aku tidak yakin
bisa melakukannya dengan baik.”
“Iya, nanti malah jadi
berantakan kalau ngasal.”
“Ngomong-ngomong, ayo kita
makan hidangannya? Nanti keburu dingin lho.”
Ajakan Kakeru mengingatkan
kami pada hidangan di meja.
Setelah sesi pemotretan,
waktunya acara makan-makan. Kami mengambil kursi yang tadi disingkirkan dan
menyiapkan tempat untuk Aya-senpai dan ibu Yuno.
“Mereka benar-benar sudah
besar ya...”
Tiba-tiba aku melihat ibu
Yuno memandangi foto dengan wajah serius.
Foto “Perpisahan” yang
diambil kali ini memang hasil jepretan ibu Yuno sendiri. Jadi wajar jika beliau
merasa nostalgia melihat momen T&N club.
“Bibi, gimana kalau unduh
aplikasi ini? Dengan begitu Bibi bisa melihat album kenangan yang sedang kami
buat.”
“Eh? Boleh?”
Yuno mendengar ini dan
melihat ke atas. Aku dengan senang hati
mengangguk.
“Sudah kubilang, ini bukan cuman albumku.”
Aku ingin melihat lebih banyak orang
membagikan album ini.
Mudah-mudahan bisa bermanfaat bagi orang lain
selain aku sendiri.
"Ya ampun, Seiji-kun telah menjadi anak
yang sangat perhatian. Aku juga akan membuatkan okonomiyaki untukmu, jadi
pastikan kamu makan yang banyak!"
Saat ibu Yuno yang bahagia itu menuju ke
dapur, Yuno menghentikannya dan berkata, "Sudah cukup."
Aya-senpai menunjukkan ponselnya kepada kami
saat kami melihat wajahnya yang tersenyum.
“Untuk sekarang, aku akan mengupload foto saat
ini di album.”
Melihat foto yang ditampilkan, Chiaki, dan Kakeru
saling bertukar pandang.
Kemudian, saat Yuno tidak melihat, dia
memberikan komentar yang sama.
"A……"
Yuno, yang kembali, menyadari hal ini dan
mengedipkan matanya.
【Selamat
Datang kembali】
Inilah mengapa saya memilih “Foto dari Pesta
Perpisahan” untuk T&N hari ini.
Seperti yang Aya-senpai katakan, ini adalah “pesta
selamat datang” sebagai tanggapan terhadap pesta perpisahan yang lama.
Tidak ada jaminan akan bisa bertemu dengan
teman yang pindah ke sekolah lain untuk kedua kalinya dalam hidup.
Sekarang kalau dipikir-pikir, ini adalah
kesempatan bagus untuk menyampaikan kata-kata yang belum pernah aku ucapkan
sebelumnya.
"...Ada makanan penutup juga."
Yuno, yang tampak malu dan cemberut, ikut
makan.
“Pesta selamat datang” hari ini, yang
memiliki tujuan berbeda dari album, baru saja dimulai.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.