Ato 1-kagetsu de tenkō suru boku no seishun rabukome bab 3

Ndrii
0

 Chapter 3

13 April, 23 Hari Lagi • Malam




Izinkan aku mengatakan ini lagi – kata ‘pindah sekolah’ terasa sangat istimewa entah kenapa.

 

Dalam kasus ini bukan seperti kepindahan Yuno yang ‘masuk’ ke sekolah baru, tetapi kebalikannya, pindah sekolah dalam arti meninggalkan sekolah lama.

 

Seperti adegan di mana teman-teman sekelas berlarian keluar stasiun untuk mengucapkan ‘selamat tinggal’, atau ‘berjuang’ untuk menghalangi kepindahan itu terjadi, lalu membuat keributan layaknya pasangan bodoh yang tak bisa dipisahkan selama tiga hari.

 

Mungkin bagi orang-orang zaman dulu yang belum ada ponsel, jarak terasa lebih berat.

 

Sebaliknya, kami anak zaman sekarang tidak seperti itu.

 

Dengan telepon, email, dan media sosial, kita bisa saling membagikan kehidupan sampai batas tertentu. Jika fasilitasnya memadai, kita bahkan bisa main game atau nonton film bersama secara online.

 

Jadi kepindahan sekolah bukanlah hal yang harus diributkan.

 

Setidaknya itu yang kupikirkan – sampai akhirnya aku sendiri yang terlibat.

 

“Tolong rahasiakan ini dulu.”

 

Setelah menjawab pertanyaan Yuno soal kepindahanku dengan jeda sejenak, aku berkata demikian. 

 

 

[“............”]

 

Keheningan Yuno terdengar dari seberang telepon.

 

Aku mengira dia akan bertanya alasannya, tapi justru aku yang tidak tahan dan balik bertanya lebih dulu.

 

“Ngomong-ngomong, dari mana kamu mendengarnya? Aku bahkan belum memberitahu wali kelas.”

 

[“Dari ibu. Katanya Manami-san yang memberitahu.”]

 

“Oh dari sana. Yah aku juga tidak bisa melarang ibu untuk tidak memberitahu teman-temannya.”

 

[“......Kenapa?”]

 

Pertanyaannya bisa berarti kenapa aku pindah, kenapa tidak memberitahu, atau kenapa menyembunyikannya – terlalu ambigu.

 

“Ah, gimana ya... Tiba-tiba ada masalah keluarga, gitulah.”

 

Sambil mendorong nosepad kacamataku dengan jari, aku menjawab sekedarnya seperti mencari-cari alasan.

 

“Pokoknya untuk sementara tolong rahasiakan ini dulu ya. Nanti akan kujelaskan alasannya.”

 

Kalau sudah begini, lebih baik aku beri tahu Yuno keadaan sebenarnya.

 

Malah bisa jadi Yuno yang lebih dulu pindah sekolah bisa lebih memahami perasaan orang yang akan pindah sepertiku. Dia mungkin bisa kujadikan tempat berbagi.

 

[“............”]

 

Tapi Yuno hanya terdiam lagi, tidak bisa melihat ekspresinya membuatku semakin kesal.

 

[“Maaf, sepertinya aku sudah keceplosan...”] 

 

“Eh? Keceplosan gimana?”

 

Sembari mendengarkan, aku sudah mendapat firasat buruk.

 

[“Setelah mendengar dari ibu kalau kalian akan pindah, sebelum meneleponmu tadi, aku menghubungi Chii-chan untuk memastikan apakah itu salah paham.”]

 

Aku merasa lesu.

 

[“Lalu, Chii-chan juga  kaget banget...”] 

 

Dia mengonfirmasi ke Chiaki. “Aku dengar Seiji akan pindah, apa itu benar?” katanya.

 

[“Chii-chan lalu terdiam lama sekali, dan pada akhirnya mematikan teleponnya, jadi aku terpaksa meneleponmu langsung...”] 

 

Sepertinya begitu.

 

“Ini... gawat...”

 

Orang yang paling tidak ingin kuberi tahu justru sudah mengetahuinya.

 

“Aku... mungkin tidak akan dimaafkan dengan mudah...”

 

[“Eh, maksudnya apa? Kok jadi menakutkan gini?”]

 

Sepertinya Yuno juga mulai merasa ada yang tidak beres.

 

Saat aku kebingungan memikirkan apa yang harus kulakukan,

 

Ding dong – bel rumahku berbunyi.

 

Sepertinya Yuno juga mendengarnya dari telepon. Ada keheningan seperti menahan napas.

 

Seperti sedang ada di film horor atau semacamnya.

 

“...Nanti aku telepon lagi.” 

 

Aku menjauhkan ponsel dari telinga dan memutus sambungan dengan Yuno yang berteriak “Tunggu, Seiji!”

 

Ding dong... Bel berbunyi lagi dengan nada tergesa-gesa.

 

Meski tidak terus-menerus, nada bel seolah menyatakan tidak ada niat untuk pergi.

 

“Biar aku yang buka.”

 

Aku menyuruh ibu yang mengintip dari dalam kamar untuk tidak repot-repot, lalu menghampiri pintu depan. 

 

Sambil menstabilkan napasku, aku membuka pintu.

 

---Wajah Chiaki dengan tatapan seperti hantu yang membara muncul dari celah pintu yang terbuka.

 

“Hh!?” 

 

Aku memekik tertahan, refleks hendak menutup pintu lagi.

 

Namun tangan Chiaki bergerak seperti makhluk hidup, mencengkeram pinggir pintu untuk membuatnya tetap terbuka.

 

“Seiji-kun.”

 

“Ya?”

 

Pintu terbuka dengan suara berderit, memperlihatkan Chiaki seutuhnya.

 

Penampilannya sederhana dengan sweter dan celana ketat.

 

“Kita perlu bicara.”

 

“Silakan masuk.”

 

Aku tidak punya nyali untuk melawan tatapan datarnya dan raut wajah yang kehilangan ekspresi itu.

 

Karena sudah malam, tidak baik jika hanya berdua di kamar, jadi aku mengantarnya ke ruang keluarga.

 

“Ah, mau kusiapkan teh atau—“

 

“Tidak usah repot-repot.”

 

Chiaki menunjuk sofa di ruang keluarga.

 

Dengan perasaan seperti suami yang ketahuan selingkuh, aku menuruni pantat di sofa, sementara Chiaki yang tanpa ekspresi duduk di hadapanku.

 

“Maaf, aku terlambat mengatakannya.” Chiaki sedikit membungkukkan kepala, membuat bahunya yang kaku turun seolah putus asa.

 

“Pindah rumah... pindah sekolah, ya?”

 

“Ya.”

 

“...Kapan?”

 

“Sekitar sebulan lagi. Pertengahan Liburan Musim Semi mendatang.”

 

“....Tiga minggu lagi.”

 

Dia melirik kalender di dinding, rupanya hanya tinggal tiga minggu lagi sampai tanggal pindah.

 

Ah benar, karena aku tidak mengatakannya, waktu terus berlalu dan tersisa tiga minggu tanpa kusadari.

 

“Aku tidak tahu...”

 

“Maaf.”

 

-Tentu saja dia tidak tahu karena aku baru mengatakannya sekarang, bodoh sekali kalau aku menyebutkan itu.

 

“Aku tidak tahu, aku tidak tahu!”

 

Chiaki mengulang kalimat yang sama dengan suara lebih kencang.

 

Lalu menatapku dengan sorot mata yang seperti mencengkeram erat.

 

“Padahal... setelah ini...”

 

Air mata mulai menggenang di sudut mata Chiaki.

 

“Setelah liburan dimulai... Yuu-chan juga sudah kembali... Aku pikir, semuanya pasti akan baik-baik saja... Kenapa baru memberitahuku sekarang?”

 

Kata-kata Chiaki menjadi terputus-putus, tapi aku mengerti apa yang dia inginkan.

 

Memang, hari ini seharusnya menjadi awalan yang baik.

 

Dimulai dengan kepulangan teman masa kecil secara mengejutkan, dilanjutkan perkumpulan santai dengan teman-teman yang menyenangkan, dan aku juga bisa rileks bersama Yuno seperti dulu.

 

Aku bisa merasakan firasat bahwa tahun kedua di SMA akan menyenangkan.

 

Tapi ternyata aku juga harus pindah sekolah.

 

Seperti dihempaskan setelah dijanjikan hal yang indah, meski tidak ada yang merencanakan ini, aku merasa dipermainkan.

 

“Kenapa?”

 

Setelah jeda yang cukup lama, sepertinya Chiaki sudah bisa menenangkan diri dan bertanya.

 

Sepertinya yang dia dengar hanya ‘pindah sekolah’ saja.

 

“Itu...”

 

Saat aku ragu apakah harus menjelaskan atau tidak, Chiaki tiba-tiba mengangkat wajah dan melihat ke arah belakangku.

 

“Mengganggu pembicaraan ya, tapi boleh aku ikutan?”

 

Di ambang pintu ruang keluarga, ibu berdiri di sana.

 

Ibu sudah berganti dari setelan kantor menjadi pakaian rumah sederhana, dengan senyum masam sambil menggaruk pipi.

 

“Ah, maaf, aku mengganggu lagi...”

 

Chiaki sepertinya juga terkejut dengan kemunculan orang tua secara tiba-tiba, lalu memperbaiki postur duduknya dengan canggung.

 

“Ibu, maaf tapi sekarang sedang...”

 

“Tidak boleh begitu. Meski ibu mengganggu pembicaraan penting anak muda, tapi soal kepindahan ini, ibu juga terlibat langsung bukan? Sebagai penyebabnya, sudah seharusnya ibu yang menjelaskan dengan jelas.”

 

Ibu memotong perkataanku dan menyelinap masuk dengan nada ramah.

 

Setelah mengambil alih suasana, dengan cekatan ibu menyiapkan teh untuk semua dan duduk di sofa.

 

“Manami-san... apa maksudnya ‘penyebab’?” 

 

Sepertinya sudah sedikit tenang, Chiaki mengajukan pertanyaan lagi.

 

“Yah, biar singkat –“

 

Ibu meletakkan cangkirnya dan menghadap Chiaki.

 

“Aku hamil☆”

 

Mata Chiaki terbelalak bulat seperti di komik.

 

Sementara aku, melihat ibu mengetuk-ngetuk kepalanya sendiri, semua tenagaku seolah lenyap.

 

“Ja..di? Eh? Ehhhh!?”

 

Chiaki membungkam mulutnya sendiri dan separuh bangkit dari sofa melihat ibu mengelus perutnya.

 

“Kamu terlalu mempersingkatnya...”

 

“Justru langsung menyampaikan intinya itu penting kan?”

Aku menyalahkan penjelasan ibu yang kurang lengkap, tapi dia membalasnya dengan enteng.

 

“Ha-mil? Manami-san itu...anak?”

 

“Iya. Bulan ini ‘telat’ dan tiba-tiba aku muntah-muntah.”

(Tln : telat mens)

 

Apakah sebaiknya kutamsilkan bagian ini? Sebagai laki-laki aku tidak tahu.

 

“Se-Selamat ya...”

 

Chiaki mengucapkannya dengan ekspresi bingung, seperti melupakan kemarahannya saat tiba di sini tadi.

 

Memang aneh kalau seorang siswi SMA tidak terkejut mendapat kabar kehamilan dari kenalan.

 

“Terima kasih. Yah, aku juga agak tidak enak pada mendiang suamiku sih.”

 

Mendengar ucapan ibu, Chiaki tersentak dan memandang ke sudut ruang keluarga.

 

Yang dipandangnya adalah foto keluarga kami – dengan mendiang ayahku di dalamnya.

 

Sudah tiga tahun berlalu sejak kami mendirikan altar untuk ayah di ruangan lain.

 

Untuk seorang janda yang memikirkan menikah lagi, waktu tiga tahun mungkin tidak terlalu cepat.

 

“Pasanganku itu orang kampung halamanku. Dia juga kehilangan istrinya, lalu entah gimana kami jadi dekat.” 

 

Ibu mulai bercerita.

 

“Sebenarnya rencana kami untuk menikah lagi baru setelah anak-anak kami dewasa, paling cepat setelah Seiji lulus SMA. Tapi...sepertinya sang bangau sedang mabuk saat mengantar bayi ini.”

 

“Apa maksudnya bangau...”

 

Intinya karena ‘khilaf’. Aku rasa aku berhak marah.

 

“Hah? Jadi Seiji-kun yang hamil? Seiji-kun yang akan melahirkan bayi dan jadi kakak?”

 

Chiaki terlihat bingung. Barusan dia masih terlihat marah, lalu tiba-tiba mendapat kabar menggembirakan ini, membuatnya kehilangan arah emosi.

 

“Ngomong-ngomong, aku baru tahu kabar ini seminggu lalu, malam setelah hari pertama masuk sekolah.”

 

“Kamu sampai menjatuhkan sumpit dengan ekspresi lucu begitu lho.”

 

Berlawanan dengan ibu yang tertawa terbahak, wajahku pasti terlihat lelah.

 

“Yah pokoknya begitulah, jadi kami akan segera mengadakan pertemuan dengan keluarga pasanganku.”

 

Karena aku khawatir menyerahkan penjelasan pada ibu, aku yang melanjutkan. 

 

“Pasangannya dan juga anak tirinya kelihatan sangat merasa tidak enak karena situasi ini. Ini bukan masalah menerima atau menolak pernikahan lagi kan?”

 

Dalam situasi seperti itu, biasanya anak-anak tiri yang akan menjadi saudara tiri bertemu dan saling memperkenalkan diri, sementara orang tua masing-masing mengawasi dengan khawatir.

 

Tapi itu semua jadi nomor dua.

 

Karena sebelum terikat sebagai saudara tiri, ada hal lebih penting – bahwa “aku” mendapat adik kandung lebih dulu.

 

“Jadi diputuskan untuk kami tinggal bersama secepat mungkin demi kepentingan di masa depan.” 

 

Setelah kupikirkan lagi, itu keputusan yang wajar.

 

Yang harus diprioritaskan tentu persiapan kelahiran yang akan terjadi 10 bulan lagi.

 

“Sebenarnya aku ingin melahirkan di sini dulu, lalu setelah Seiji lulus baru pindah. Atau mungkin Seiji bisa tinggal sendiri di rumah ini, lalu bergabung setelah lulus—“

 

Chiaki tersentak mendengar usulan berani ibu.

 

Wajahnya seperti melihat jalan keluar, tapi...

 

“Tidak bisa.” 

 

Aku terpaksa menolak dengan tegas.

 

“Pertama, melahirkan di sini berisiko tinggi. Satu-satunya yang bisa membantu hanya aku. Sebaliknya di rumah pasangan ibu, di kampung halaman, bisa dibantu keluarga besar seperti kakek nenek. Yang harus diprioritaskan adalah bayi dalam kandungan.”

 

Demi adik atau adikku yang belum lahir, aku tidak bisa berkompromi soal ini.

 

“Soal aku tinggal sendiri, aku pernah mempertimbangkannya tapi...”

 

Chiaki menampakkan ekspresi yang suram ketika menghadapnya, maka aku melanjutkan penjelasanku.

 

“Ayah... Orang yang menjadi pasangan barunya, sejauh yang kutemui dan kubicarakan dengannya, dia orang yang serius. Meskipun anaknya pasti terkejut dengan keadaan yang tiba-tiba ini, dia mengajak untuk hidup bersama sebagai keluarga – dia menunjukkan niat yang sungguh-sungguh.”

 

Nama depanku mengandung aksara ‘makoto’ yang menjadi prinsip rahasia hidupku. Maka aku tak boleh menganggap remeh kesungguhan dari orang lain.

 

“Tapi menunda hal itu selama dua tahun hingga kelulusanku, rasanya terlalu lama.”

 

Jika ingin membangun hubungan yang akrab dalam keluarga tiri, lebih cepat lebih baik.

 

Bukan hanya ibu, tapi aku sendiri juga harus menyesuaikan diri dengan perubahan kehidupan ini.

 

Saat waktu yang penting ini, sebuah tahap krusial untuk memberkahi kehidupan ke depanku –

 

“Alasan seperti ‘tak ingin berpisah dari teman’ saja tidak cukup untuk menolaknya.”

 

Perubahan ekspresi yang Chiaki tunjukkan saat itu terasa menyakitkan bagiku.

 

Aku memahaminya. Meskipun niatku tulus, itu tetaplah kata-kata yang menyakitkan.

 

Aku seolah berkata langsung padanya, ‘Ada hal yang lebih penting daripada bersamamu.’

 

“Dia ini sudah dewasa atau masih kekanak-kanakan?”

 

Aku mengabaikan suara ibu yang terdengar jengkel dan rumit.

 

“Yah pokoknya, ini pembicaraan yang aneh padahal hari ini Yuno pindah ke sini.”

 

Aku sekali lagi menyatakan pada Chiaki.

 

“Aku akan pindah sekolah.” 

 

“...” Ekspresi Chiaki ketika menatapku terlihat familiar.

 

Seperti ekspresi saat melepas kepergian Yuno yang akan pindah dulu.

 

Ekspresi ketika mobil sudah terlalu jauh hingga tak terlihat lagi, menyadari bahwa tak bisa menggapainya lagi.

 

“Begitu ya...”

 

Chiaki akhirnya menyunggingkan senyum kecut, dan melanjutkan dengan nada menyerah.

 

“Kalau begitu, tidqk ada yang bisa kulakukan ya.”

 

Setelah mendengar alasan kehamilan ibu, dia tak bisa membantah soal pindah rumah dan sekolah lagi.

 

Tapi tetap saja, ini ‘pengecut’ bagiku.

 

Maksudku, ini pengecut dalam artian jika kuajukan keberatan, aku yang akan jadi pihak jahat.

 

“Maaf ya Chii-chan. Ini semua keegoisanku sebagai orang dewasa.”

 

Seperti memikirkan hal yang sama, ibu meminta maaf dengan nada lembut pada Chiaki.

 

“Jangan minta maaf.”

 

Namun Chiaki menjawab dengan senyum jelas dan nada yang lebih tegas.

 

“Apa pasangannya orang yang baik kan?”

 

“Tentu aja. Ini juga menyangkut masa depan anakku. Aku memilihnya dengan standar yang lebih ketat dibanding mantan suamiku dulu.”

 

“Pindahnya juga biar kalian semua bisa hidup bahagia bersama keluarga baru kan?”

 

“Ya, aku sudah memikirkannya matang-matang sebelum memutuskan.”

 

Menghadapi pertanyaan serius dari Chiaki, ibu pun menjawab – dengan kewibawaan yang bahkan baru kali ini kulihat.

 

“Kalau begitu jangan minta maaf. Sekarang Manami-san yang paling utama.”

 

“... Terima kasih. Chii-chan, kau sudah dewasa ya.”

 

Kepada Chiaki yang tersenyum bagaikan sedang memberi semangat, ibu mengucapkan terima kasih dengan mata berkaca-kaca.

 

Seperti ada semacam ikatan kuat di antara wanita yang tak bisa dipahami anak laki-laki SMA sepertiku.

 

“Hmm, kurasa sudah waktunya aku permisi. Maaf sudah mengganggu di jam seperti ini.”

 

Chiaki bangkit dari sofa.

 

Aku sempat ingin mengantarnya pulang, tapi tak ada alasan untuk menahannya di sini.

 

“Biar kuantar sampai depan ya.” 

 

“Tidak usah, rumahku kan dekat.”

 

Aku mengikutinya ke arah pintu depan, tapi dia menolak untuk diantar sampai rumah.

 

“Tapi kan-“

 

“Maaf. Lanjutnya nanti aja, setelah aku mendinginkan kepala dulu...”

 

Ketika aku akan membantah, Chiaki menyampaikan isi hatinya dengan nada pelan tanpa menoleh ke arahku.

 

Tak bisa diganggu, aura itu membuatku terpaku di tempat.


“Kalau begitu aku permisi.”

 

Chiaki membungkukkan badannya lebih kepada ibu di belakangku, lalu meninggalkan rumah kami.

 

“Anakku sekarang sudah bisa membuat wanita menangis ya.”

 

“Bukan waktunya membahas itu. Gimana ini... Aku khawatir kalau dia jadi terlalu tertekan dan malah memburuk.”

 

Mengabaikan sindiran ibu, aku menggaruk kepalaku pelan.

 

Jika hubungan kami jadi merenggang dan aku harus pindah sekolah dalam suasana canggung begini, tentu saja aku tidak inginkan hal itu.

 

“Mungkin tidak akan ada masalah.”

 

Namun ibu berkata dengan santai. 

 

Aku menoleh dengan tatapan menyalahkan, tetapi ibu meresponnya dengan senyum seolah sudah menduganya, “Bukannya kamu punya teman yang bisa kamu mintai saran sebelum terlalu tertekan? Kebetulan dia juga baru aja kembali hari ini kan?”

 

 

[“Yah begitulah katanya.”]

 

Aku – mendengar detail kejadiannya dari Chiaki lewat telepon.

 

Setelah pembicaraanku dengan Seiji membuatku gelisah, akhirnya Chiaki pun menghubungiku.

 

“Ah, jadi begitu situasinya...”

 

Helaan napasku mengisyaratkan rasa simpati, untuk Seiji maupun Chiaki. 

 

“Aku mengerti. Dari ceritanya, keputusan pindah sekolahnya diambil kemarin atau dua hari lalu kan?”

 

Kehamilan ibunya terbongkar akhir pekan lalu saat masuk sekolah – tepatnya hari di mana aku dilarikan ke rumah sakit dengan ambulan.

 

Setelah itu, selama akhir pekan, dia bertemu keluarga pasangan barunya dan memutuskan untuk pindah sekolah.

 

Selama aku sibuk dengan operasi usus buntu, ternyata Seiji juga mengalami keadaan yang bergejolak.

 

“Seharusnya secara normal, dia bisa mengabarkan soal pindah sekolahnya hari ini, Senin. Tapi karena aku sudah pindah duluan ke sini...”

 

Aku memijat kepalaku. Sadar ada hal penting. 

 

“Pas dia minta buat tidak memberi tahu, aku berpikir ‘kenapa?’. Tapi sekarang semuanya jelas. Alasannya, karena ada aku kan...”

 

Jika dia memberitahu kepindahannya di kelas yang sedang menyambutku sebagai murid baru, itu akan membuat suasana sebaliknya... Sesuatu yang sulit dilakukan. 

 

Teman-teman sekelas pasti akan kebingungan, dan aku sebagai murid baru juga bisa merasa tidak nyaman.

 

[“Dia pasti berpikir, akan mengganggu waktu penting bagimu untuk membaur di kelas baru.”]

 

Suara Chiaki terdengar seperti menahan tawa getir. 

 

Masalah waktu. Waktu yang sangat tidak tepat.

 

Saat Seiji menghubungiku tadi, aku belum menyadari kebodohanku itu.

 

“Apa sih yang kulakukan... Seharian ini, aku malah berlagak seperti tamu kehormatan di depan Seiji... Ah memalukan!”

 

Dengan satu tangan menutupi wajah, kugenggam erat ponselku.

 

Di sampingku yang menerima sambutan hangat, Seiji justru bersikap pengertian yang berlebihan.

 

[“Ini bukan salahmu Yuu-chan. Cuman kebetulan yang tidak menguntungkan saja...]

 

Kebetulan – memang kebetulan yang aneh.

 

Asahi Yuno si ‘murid pindahan’, dan Aikage Seiji yang bak ‘murid pindah’.

 

Secara garis besar, kami sama-sama ‘murid pindahan’. Hanya berbeda apakah sebelum atau sesudah pindah sekolah.

 

Dan ‘murid pindahan’ tersebut, secara kebetulan bertemu di kelas yang sama hari ini.

 

Tapi...yang mengharapkan sambutan hangat hanya aku seorang.

 

“Tunggu, aku mau naruh ponselku ya.”

 

Eh? Kulepaskan ponsel dari telinga setelah Chiaki berkata begitu, lalu meletakkannya di meja.

 

Kemudian, aku menampar keras kedua pipiku sendiri.

 

“Hei sadarlah aku!”

 

[“Suaranya keras banget, tapi kamu baik-baik aja? Tidak sedang menonton film action kan?”]

 

Sepertinya suara tamparan dan semangatku terdengar seperti tembakan dan teriakan di film aksi.

 

“Maaf, aku jadi mikirin diriku doang. Padahal Chii-chan pasti lebih syok lagi.”

 

[“Aku rasa... Tidak bisa dibandingkan begitu...”]

 

Kepindahan Seiji memang mengejutkan. Tapi yang lebih menderita pasti Chiaki.

 

Waktu yang dihabiskan bersama jelas lebih lama bagi Chiaki. Dari yang kulihat hari ini, Chiaki juga sangat mengandalkan Seiji. 

 

[“Ngomong-ngomong, Yuu-chan-“] 

 

Chiaki tiba-tiba memanggilku, seperti baru teringat sesuatu.

 

[“Seiji-kun menyuruhmu merahasiakan soal kepindahannya dariku dan Shou-kun juga kan?”]

 

“Ah, iya... Katanya ingin memilih waktu yang tepat atau semacamnya.”

 

Nada suara Chiaki berubah tajam, dan aku mulai merasa gugup.

 

Fakta bahwa aku lebih dulu tahu dibanding Chiaki, membuatku merasa sedikit canggung.

 

“Bukan berarti aku ini spesial atau apa. Ah iya, maksudku, justru dengan orang yang tidak terlalu dekat, kadang lebih mudah membicarakan situasi seperti ini tanpa menciptakan suasana berat.”

 

Entah kenapa aku memberikan alasan yang terdengar seperti dalih.

 

[“...Kurasa bukan cuman itu aja.”] 

 

Aku mengernyitkan dahi menanggapi kata-kata Chiaki.

 

[“Yuu-chan, tidak apa-apa kalau kita mengobrol lama?”]

 

“Sampai pagi pun tidak masalah.”

 

Meski sudah larut malam, aku menjawab tanpa ragu.

 

 

Ponselku berdering dari Kakeru, tak lama setelah aku mengantarkan kepergian Chiaki. 

 

[“Hei hati dingin, Chii marah padamu ya?”]

 

“Langsung to the point.”

 

Aku mengangkat ponsel ke telinga sembari mendudukkan diri di kursi kamar.

 

“Yuno yang memberitahumu?”

 

[“Ya, mungkin pas Seiji lagi diinterogasi Chii. Yuu menghubungiku dengan panik.]

 

Sepertinya setelah aku memutuskan panggilan pada Chiaki, Yuno kemudian menghubungi Kakeru.

 

“Maaf, kamu jadi yang terakhir diberitahu-“

 

Aku juga menjelaskan alasan kepindahanku pada Kakeru.

 

[“Ah pantesan Seiji merasa bersalah.”]

 

“Tidak, alasan kepindahanku bukan salahku kan.”

 

[“Bukan itu masalahnya.”]

 

Kakeru berkata dengan nada jengkel.

 

Jika bukan itu, aku menunggu penjelasan selanjutnya.

 

[“--Kamu pasti berniat merahasiakannya dari Chii sampai dia mencalonkan diri di pemilihan OSIS.”]

 

Seperti seorang kriminal yang kejahatannya diungkap detektif handal. Sekali lagi aku sadar, sahabat masa kecilku Kakeru tak sebodoh yang terlihat.

 

“...Gimana kamu tahu?”

 

[“Kamu ‘minta Yuu merahasiakannya’ kan? Kalau Cuma teman sekelas, aku masih bisa mengerti. Tapi kamu juga mau merahasiakannya dari kita, makanya aku curiga.”]

 

“Aku memang bodoh, meminta Yuno untuk merahasiakan sesuatu.”

 

[“Hahaha, ya dulu kamu juga sering begitu. Mau merahasiakan sesuatu tapi malah keceplosan tidak lama kemudian.]

 

Begitu Chiaki mengetahuinya, pasti Kakeru sadar tak ada gunanya menyembunyikannya darinya juga. 

 

Dan memang begitu, jadi aku tidak punya alasan untuk menyalahkan Yuno.

 

[“Yah, aku paham maksud Seiji melakukan itu—“]

 

Kakeru, yang mengenal Chiaki sama baiknya denganku, lalu menebak pikiranku.

 

 

[“Mungkin dia mengira aku tidak akan mencalonkan diri lagi.”]

 

Di kamar, aku melanjutkan percakapan telepon dengan Chiaki.

 

Saat itu aku terlentang di atas kasur, menatap ke samping dengan kepalaku miring. 

 

“’Mencalonkan diri’, maksudmu pemilihan OSIS?”

 

Bahwa Chiaki berencana ikut pemilu, baru kuketahui hari ini. 

 

Meski tadi Chiaki terdengar tidak percaya diri, sikapnya bukan seperti tidak mau mencalonkan diri. Dari persiapannya sebagai panitia, sepertinya dia memang punya niat untuk mencobanya.

 

“Apa kepindahan Seiji ada hubungannya dengan itu?”

 

Karena aku masih belum memahaminya, aku memintanya menjelaskan.

 

[Hmm, dari mana aku harus memulai ya...]

 

Setelah pindah, aku tidak terlalu mengetahui kehidupan Chiaki selanjutnya. 

 

Jadi aku menunggu penjelasan tentang kisah yang mungkin berkaitan dengan masa lalunya.

 

[“Kamu pernah dengar istilah ‘debut SMA’ kan? Semangat untuk mendapatkan pacar begitu masuk SMA, atau ingin berbeda dari diri sebelumnya, hasrat kayak gitu.”]

 

“Ya, ada... Ngomong-ngomong perasaan seperti itu bisa muncul juga setelah pindah sekolah lho.”

 

Mendengar suaraku yang terdengar menyimpan luka lama, Chiaki terkikik geli.

 

Siswa SMP dulu melihat kakak kelas SMA sebagai sosok yang sangat dewasa. Tapi begitu memakai seragam yang sama, muncul semacam kegelisahan dari entah berasal dari mana—

 

Ini hal yang normal, tapi manifestasinya berbeda di setiap orang.

 

Berlagak keren, mencari perhatian, dan jika sampai keterusan, bisa kena batunya. 

 

Chiaki sengaja membahasnya, berarti dia juga pernah merasakan dorongan seperti itu.

 

[“Bagiku, aku ingin terlihat keren.]

 

Nada suara Chiaki terasa lebih berisi daripada kata-katanya.

 

“Keren? Maksudnya soal penampilan?”

 

[“Bukan, penampilan itu penting sih, tapi... Lebih ke, jadi orang yang keren sebagai manusia gitu...”]

 

Meski kata-kataku ambigu, aku mulai sedikit menangkap apa yang Chiaki harapkan.

 

[“Misalnya... Ketua OSIS kami, namanya Hibiya-san.”]

 

Meski belum pernah bertemu, aku sudah mendengar bahwa sepupu Seiji adalah ketua OSIS.

 

[“Dia cantik, pintar, dan terlihat dewasa... Aku jadi ingin seperti itu juga.”]

 

Nada suara Chiaki yang terdengar seperti bernostalgia, membuatku tersenyum lega.

 

--Ngomong-ngomong, saat ini Hibiya Rin sedang membaca diam-diam di kamarnya novel “Kagi” karya Tanizaki Jun’ichiro yang tadi siang tidak sengaja didengarnya, dengan wajah merona malu karena konten amoral di dalamnya. Tapi tidak ada yang tahu hal itu.

 

[“Aku menjadikannya target, mencoba bergaya seperti dia, belajar giat... Lalu di akhir semester lalu.”]

 

Hibiya bertanya langsung pada Chiaki apakah dia ingin mencoba jadi ketua OSIS selanjutnya. 

 

[“Bukannya aku sangat ingin meniru dia, aku merasa tidak pantas. Tapi... yah...”]

 

“Kamu ingin mencoba tantangan itu?”

 

Aku mendorongnya dengan nada simpatik. 

 

[“Ya. Salah satu alasannya karena memang kekurangan anggota.”]

 

Dari dorongan saat masuk SMA, Chiaki menemukan arah ‘mengidolakan sosok tertentu’. 

 

Lebih jauh lagi, hasrat yang tadinya hanya bisa diungkapkan dengan kata ‘keren’, kini mendapat bentuk sebagai ‘menjadi ketua OSIS’.

 

Itulah makna ‘menjadi ketua OSIS’ bagi Chiaki.

 

[“Lalu saat aku masih bingung, Seiji-kun yang memberiku d”]

 

Kata-kata Seiji yang mendorong Chiaki:

 

--Kalau kamu benar-benar mau mencobanya, aku akan membantumu.

 

 

“Saat itu aku sama sekali tidak menyangka akan pindah sekolah.” 

 

Dalam percakapan dengan Kakeru, aku mengutuki keusilan takdir.

 

Sungguh, aku berniat mendukung Chiaki sepenuhnya jika dia menjadi ketua OSIS.

 

[“Waktu itu Chii juga punya semangat untuk mengubah dirinya sendiri. Aku pikir ini kesempatan bagus. Siapa tahu sifatnya yang setengah-setengah itu bisa membaik.]

 

“Ya, kesempatan yang bagus banget.”

 

Saat itu Chiaki sepertinya punya alasan tertentu untuk ingin mengubah dirinya. 

 

Menjadi penerus Rin-san yang dikaguminya juga sangat cocok untuknya.

 

[“Jadi kamu berniat merahasiakannya sampai Chii mencalonkan diri dan tidak bisa mundur lagi ya?”]

 

“...Aku tidak bisa membantah kalau aku memang punya pemikiran seperti itu.”

 

Rasanya sangat disayangkan.

 

Aku khawatir jika kepindahanku membuat Chiaki kembali tidak percaya diri dan mengurungkan niatnya mencalonkan diri... Semua kerja kerasnya selama ini untuk menumbuhkan keberanian akan sia-sia.

 

[Ah, istilahnya gimana ya? Itu lho, ‘menarik tangga’.”]

 

Kritikan Kakeru menohok hatiku.

 

Menarik tangga – memberi pujian lalu menarik dukungan dan membiarkan orang tersisihkan.

 

Dengan aku yang akan pindah setelah mendorongnya, sama saja aku melakukan hal itu pada Chiaki.

 

 

“Begitu ya keadaannya.”

 

Setelah akhirnya memahami detailnya, aku menghela napas panjang.

 

“Memang benar, Seiji memang agak keterlaluan. Memang kepindahannya bukan salahnya, dan ide soal OSIS itu datang dari Kaichou sendiri, tapi...”

 

Yang terpenting adalah-

 

“Berjanji untuk membantu lalu membiarkanmu benar-benar mengandalkannya sebelum pergi, itu keterlaluan ya.”

 

[“Kan!? Itu namanya pembohong kan!?”]

 

Suara Chiaki yang tadinya tenang, kini terdengar bertenaga.

 

Aku pikir ini kecenderungan baik. Akhirnya Chiaki bisa mengungkapkan emosinya.

 

[“Kita ‘kan pernah berjanji akan saling membantu di OSIS...”]

 

Aku membayangkan Chiaki dengan mata berkaca-kaca dan pipi menggembung, lalu tersenyum kecil.

 

“Ngomong-ngomong, terus gimana soal soal pemilihan nanti?”

 

[“...Aku tidak tahu. Aku jadi bingung.”]

 

“Kalau begitu lupain aja.”

 

Aku mengatakannya dengan ringan, dan Chiaki memberikan respons terkejut.

 

Namun jika kupikir lagi, masalah apakah akan mencalonkan diri atau tidak di pemilu itu bisa ditunda sampai batas akhir pendaftaran. Aku akan mendukung Chiaki sepenuhnya dalam pilihannya nanti.

 

“Bukan itu, tapi soal Seiji. Kenapa dia mikir kamu tidak akan mencalonkan diri kalau dia tidak ada? Itu terlalu sombong kan?”

 

[“Benar! Seiji-kun memang ada sisi seperti itu! Rasa pedulinya terkesan menggurui!”]

 

Setelah kulemparkan pertanyaan, Chiaki mengungkapkan ketidaksukaannya pada Seiji.

 

[“Dia serius tapi kaku, perhatian tapi kadang berlagak baik hati! Dewasa tapi ada sisi sombongnya, dan hanya karena dia lebih tua beberapa bulan, dia jadi sok kakak!]

 

Meski Chiaki menyebutkan kekurangan Seiji, nada bicaranya seperti mengaitkan semuanya dengan kelebihan Seiji, seolah menunjukkan perasaannya yang sebenarnya.

 

[“Kalau dia sehebat itu, harusnya dia bertanggung jawab sampai akhir kan!? Tapi malah-“]

 

Meski aku merasa tidak enak pada Seiji, tapi rasanya menyenangkan mendengar keluhan Chiaki.

 

Sesempurna apa pun seseorang, jika kamu dekat dengannya, kamu akan melihat kekurangannya. Semakin akrab, semakin sering kekurangan itu membuatmu kesal, dan ketidaksukaanmu pun akan menumpuk.

 

Membiarkan temanmu mengeluhkan hal-hal seperti itu agar tidak memendam dalam hati, itulah gunanya sahabat.

 

Setelah bertahun-tahun berpisah, sekarang aku bisa melakukannya lagi dengan sahabat masa kecilku ini.

 

“Chii-chan?”

 

Tiba-tiba aku sadar Chiaki berhenti bicara.

Setelah keheningan mencekam seperti menelan sesuatu, terdengar suara pedihnya.

 

[“Bukan begitu... Aku salah sudah marah pada Seiji-kun.”]

 

Nada suaranya seperti menahan tangis membuatku berubah serius.

 

[“Soalnya Seiji-kun akan pindah... Aku Cuma harus berpisah dengannya, tapi dia harus berpisah dengan semuanya... Pasti dia lebih kesepian...Kan?”]

 

Mendengar kata-kata Chiaki, aku pun menjadi khidmat.

 

Aku juga pernah melewati ‘perpisahan’ itu. Aku bisa membayangkan betapa kesepian Seiji nanti. Meski tak sebaiknya membandingkan, mungkin memang pihak yang berangkat justru merasakan kesepian lebih besar daripada yang ditinggalkan.

 

[“Tapi aku malah membentak Seiji-kun... Ah, aku benar-benar buruk.”]

 

Chiaki mengungkapkan penyesalannya yang mendalam.

 

Sepertinya dia menyesal karena membentak Seiji saat mendengar soal kepindahannya dalam luapan emosi. Jika saja tidak dikejutkan dengan kehamilan Manami-san, mungkin dia akan mengeluarkan kata-kata lebih kasar.

 

“Itu hal yang normal kok.”

 

Setelah jeda sejenak, kata-kataku terdengar lebih tegas dari dugaanku sendiri.

 

[“Eh?”] 

 

“Wajar kalau kita marah saat harus berpisah dengan orang yang sangat tidak ingin kita tinggalkan.”

 

Pandanganku tertuju pada sebuah raket tipis yang disandarkan di sudut ruangan.

 

“Meski tidak ada yang salah, kita jadi marah tanpa alasan, bahkan timbul rasa benci. Sepertinya manusia memang begitu.”

 

Mantan kekasih biasanya akan bertengkar saat putus hubungan, kata orang.

 

Mereka bisa mengatakan hal yang tidak dipikirkan, bahkan sampai memalukan diri sendiri.

 

Mungkin karena semakin dekat hubungan mereka, semakin menyakitkan rasanya ketika ‘tercabik’.

 

Wajar saja merasa marah dan jengkel karena sakit hati.

 

“Bukannya wajar merasa kesal saat harus berpisah dengan orang yang sangat disayangi?”

 

Nada bicaraku bernada ceria untuk mencairkan suasana.

 

[“Gitu ya... Aku mengerti rasanya.”]

 

Suara Chiaki yang tadi termangu-mangu pun menjadi lembut.

 

“Yang penting untuk saat ini, ungkapin aja dulu perasaanmu itu. Biarkan Seiji kesusahan sehari atau dua hari dulu.”

 

Mendengar Chiaki terkikik membuatku lega.

(Hmm, giamana ya cara mendamaikan mereka nanti...)

 

Secara bersamaan, aku memikirkan hal itu.

 

Pertengkaran antara Seiji yang bijak dan Chiaki, bahkan sejak kecil adalah hal yang jarang terjadi. Apalagi mereka sudah bukan anak-anak lagi. Ini misi yang cukup sulit.

 

Tapi kurasa aku harus mencobanya.

 

Karena akulah ‘murid pindahan’ di sini.

 

Mungkin ada yang bisa kulakukan untuk membantu Seiji yang akan pindah nanti.

 

Yang paling penting, tanpa kusadari, Seiji telah memberiku ‘hutang’.

 

(Dia dengan seenaknya memberi kebaikan padaku. Tapi aku tidak akan mendengarkan persyaratannya untuk membalasnya...)

 

Dengan ekspresi setengah kesal setengah tersenyum, aku mengambil keputusan.

 

Hari ini – Seiji telah memberiku ‘kepindahan’ yang baik. 

 

Kalau begitu, aku juga harus membalas dengan memberikan ‘kepindahan’ yang baik untuknya.

 

Bersiaplah Aikage Seiji, aku ini dari klub olahraga yang bermotto ‘jika diambil satu poin, aku akan mengambil tiga poin darimu’.

 

(Masih tiga minggu lagi...)

 

Aku melihat jam.

 

Sudah larut malam. Saat lidah Chiaki mulai kering, mungkin hari sudah berganti.

 

Hitung mundun sebelum Seiji pindah sekolah – akan segera berkurang lagi.



Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !