Chapter 4
14 April, 22 Hari Lagi • Pagi
Setelah kupikir-pikir
kembali, kemarin memang hari yang sibuk.
Mungkin karena itu tidurku
tidak nyenyak, dan aku berangkat sekolah agak terlambat.
Jarak dari rumahku ke SMA
Tokiomi tidak terlalu dekat juga tidak terlalu jauh.
Terlalu jauh untuk naik
sepeda, tapi terlalu dekat untuk naik kereta. Pilihannya selalu membuatku
berpikir “Ah mungkin seharusnya aku pilih opsi sebaliknya sama aja ya?”
Pada akhirnya, aku memilih
naik kereta.
Dan ternyata Chiaki yang
rumahnya dekat pun memilih opsi yang sama.
“Ah, selamat pagi Seiji.”
Di peron stasiun aku
bertemu Chiaki dan Yuno sedang berdua.
Sepertinya Yuno juga
memilih naik kereta untuk berangkat sekolah.
Yang menyapaku adalah
Yuno, sementara Chiaki sedikit menghindari tatapanku dengan canggung.
“Ah, pagi... Jadi Yuno
juga naik kereta ya.”
“Iya dong. Wah, rasanya
berbeda sekali ya, rame banget.”
Yuno yang dibesarkan di
desa melempar candaan merendah diri sambil membandingkanku dan Chiaki.
Ini pertama kalinya aku
bertemu Chiaki sejak tadi malam. Tentu saja rasanya canggung, tapi tidak
mungkin tidak kusapa.
“Pagi.”
“Ya.”
Hanya itu jawaban Chiaki.
Yuno tersenyum getir dan membuka percakapan.
“Seiji selalu berangkat
jam segini?”
“Tidak, biasanya lebih
cepat satu kereta. Kalau berangkat jam segini, waktunya mepet banget.”
“Kalau Chii-chan? Selalu
berangkat bareng Seiji?”
“Ya kurang lebih. Bukan
janji sih, tapi kalau ketemu di peron, ya berangkat bareng.”
Di antara aku dan Chiaki,
Yuno berusaha aktif mengambil alih pembicaraan.
“Ah iya, Shou naik sepeda
kan? Di liat di GPS, jarak dari rumah dia ke sekolah lumayan jauh, tapi dia
masih kuat ya.”
Aku dan Chiaki hanya
merespon sekadarnya.
“...Semangat ya, aku.”
Yuno bergumam lirih pada
dirinya sendiri, hampir tenggelam di kebisingan stasiun.
Maaf Yuno. Kamu baru saja
pindah tapi langsung kurepotin begini.
Begitu memasuki kelas
seperti biasa, suasana canggung di antara kami pun tak terlalu mencolok.
Yang menyadarinya hanya –
“Wah, perang dinginnya sedang berlangsung rupanya.”
-Kakeru yang datang di
detik-detik terakhir sebelum terlambat.
“Shou.”
“Iya iya, soal kemarin aku
tidak dengar apa-apa.”
Saat aku mengisyaratkan
agar tak dibahas, Kakeru pun mengiyakan.
Aku berencana mengabarkan
kepindahanku pada teman sekelas nanti, tapi sekarang waktunya menyambut Yuno si
murid baru. Masalah dengan Chiaki pun bisa diselesaikan setelah itu, tak
masalah terlambat sedikit.
(Kapan terakhir kali jadi
canggung begini sama Chiaki ya...)
Saat pelajaran – dalam
jeda menulis di papan tulis, aku teringat masa lalu.
Dulu waktu kecil, kami
sering bertengkar karena hal sepele.
Entah soal berebut makanan
atau tidak mengikuti urutan bermain, kami mengumbar kata ‘benci’ atau ‘putus
hubungan’ lalu beberapa hari kemudian kembali seperti semula.
(Waktu itu cara baikannya
gimana ya?)
Setelah besar, cara itu
jadi tidak jelas.
Orang dewasa bisa dapat
masalah besar meski sudah minta maaf dengan tulus, ada ancaman pengadilan atau
serangan daring. Kadang meminta maaf jadi terlihat seperti kalah. Namun anak-anak cukup bilang ‘maaf’ dan
semuanya selesai seperti sulap.
Padahal baru kemarin aku
bersikap dewasa untuk bersaing, tapi sekarang aku malah merindukan masa
kekanakanku.
(...Aku juga harus
mengabarkan soal kepindahanku pada teman-teman sekelas nanti)
Begitu guru masuk, SHR
dimulai dan aku memandang sekeliling kelas.
Tinggal kurang dari
sebulan, jadi kurasa sudah waktunya mengabarkan kepindahanku kalau tidak ingin
dianggap tidak sopan.
Melihat diriku menyusun
kalimat-kalimat standar seperti saat perkumpulan pembinaan, entah kenapa
membuatku tidak nyaman.
(Kalau aku pindah nanti...
apa yang akan terjadi pada kelas ini?)
Ketika berjalan menuju
kelas, tiba-tiba aku mempertanyakan hal itu.
...Tidak akan terjadi
apa-apa, hanya satu murid yang berkurang – Aikage Seiji.
Bukan berarti kelas ini
akan kacau hanya karena aku tidak ada.
Mochizuki si wakil ketua
pasti akan menggantikanku menjadi ketua kelas. Yuno si murid pindahan akan
dibantu Chiaki dan Kakeru. Dan Chiaki juga Kakeru masih punya teman-teman lain
selain aku.
(Setelah aku pergi, mereka
akan membicarakannya sebentar lalu melupakannya – ya kira-kira begitu.)
“Salah satu teman sekelas
kita pindah sekolah.”
“Ya, sayang sekali kita
tidak bisa lulus bersama. Ngomong-ngomong, mau mampir ke suatu tempat setelah
pulang nanti?”
Begitulah biasanya.
Dengan menggeser sedikit
demi sedikit, kekosongan karena kepergianku pasti akan segera terisi.
Mungkin ada yang lega
ketua kelas yang mereka benci sudah pergi.
(Jadi begitu ‘keadaan
normal’ itu?)
Ah ya, kemarin aku juga
bilang begitu pada Mochizuki.
Aku mengingatkan agar dia
tidak terlalu terpaku dengan orang-orang yang tak bisa ditemuinya lagi,
meskipun itu terdengar kejam.
Aku memperingatkannya
lebih dulu karena setelah aku pindah, aku ingin dia bersikap seperti itu. Tapi
berkata dengan percaya diri, dan benar-benar menginginkannya, adalah hal yang
berbeda.
(Ah, tidak beres nih...
Pikiranku berantakan...)
Aku mengakhiri pelajaran
dengan dipenuhi pikiran-pikiran campur aduk.
Ngobrol ringan dengan Kakeru
atau teman sekelas di dekatku pun tidak bisa membuatku fokus.
Kepalaku terasa pusing
seperti awal gejala dehidrasi.
(Ngomong-ngomong apa yang
harus kulakukan dulu ya... mengisi formulir pengunduran diri dan
menyerahkannya, memberitahu semuanya soal kepindahanku, ah tidak, pertama harus
berbaikan dengan Chiaki dulu... dan bagaimana kondisi Ibu...)
“Seiji.”
Suara itu memanggilku.
Seperti bunyi alarm
membangunkan dari mimpi, aku tersadar dari lamunan ke kenyataan.
“Ah... Yuno ya.”
Yuno memanggilku di
koridor tepat sebelum masuk kelas.
Aku sedikit terkejut
karena bahkan tidak menyadarinya sampai dia berdiri di depanku dan memanggilku.
“Kamu baik-baik aja?
Pikiranmu kayak melayang-layang.”
“Ah, aku baik-baik aja. Cuman
lagi mikirin sesuatu aja tadi.”
Yuno menatapku dengan
ekspresi aneh, lalu wajahnya berubah seperti menahan kesal.
“Pinjam wajahmu sebentar.”
“Eh, tunggu du-“
Tanpa membiarkanku
menolak, Yuno menarik lenganku dan mulai berjalan di koridor.
“Aku akan kembali duluan
ke kelas.”
Kakeru yang ada di dekatku
tadi berkata begitu dan berjalan menuju kelas. Sepertinya dia tidak berniat
menolongku.
Yuno terus menyeretku
sampai ke area tangga yang agak tersembunyi dari pandangan orang lain.
“Yuno?”
Dengan ragu aku memanggil
namanya.
Yuno mengecek ponselnya
lalu membuka suatu aplikasi dan mengarahkannya padaku.
Sepertinya aplikasi edit
foto – dan di saat yang bersamaan aku menyadarinya,
“Ayo buat album foto!”
Dengan wajah seperti orang
yang akan berlayar mencari harta karun, dia mengatakannya.
“Album foto?”
Usulan Yuno benar-benar di
luar dugaanku.
Kukira dia akan memprotes
soal masalahku dengan Chiaki, aku hanya bisa mengulang kata-katanya dengan
wajah bodoh.
“Iya, album foto. Seiji
akan pindah sekolah kan?”
Yuno mengangguk percaya
diri meski aku masih belum menangkap maksudnya.
“Dulu aku juga begitu,
kalau pindah sekolah, kita tidak dapat album kelulusan dari sekolah
sebelumnya.”
“Ah gitu. Karena kita
bukan alumni di sana.”
Album kelulusan diberikan
khusus untuk lulusan sekolah itu saja.
Kalimat “Seorang siswa
yang telah pindah sekolah bukanlah lulusan. Karena mempertimbangkan hak atas
citra, terkadang foto siswa tersebut “yearbook.”
“Siswa yang pindah sekolah
memang dirugikan dalam hal itu. Dalam kasusmu, kamu bukan cuma tidak mendapat
album yearbook dari sekolah lamamu, tetapi juga di sekolah baru, kamu
hanya akan dapat sedikit foto karena kamu bergabung di tengah jalan.”
“Benar sih...”
Jika memikirkannya,
rasanya memang merugikan.
Album yearbook
semacam itu cukup besar dan sulit mencari tempatnya, lalu bertahun-tahun hanya
akan mengumpulkan debu. Bagi mereka yang tidak percaya diri dengan penampilan
fotonya, mungkin tradisi ini justru lebih baik hilang saja.
Tetapi, jika justru hanya
kamu sendiri yang tidak punya, rasanya pasti kesepian.
“Ah itu, seperti buku catatan
yang diberi tempelan foto?”
Buku catatan – sebuah kertas
yang ditulis pesan-pesan dari teman sekelas.
Kudengar ada yang
menambahkan foto ke dalamnya, membuat semacam album sederhana.
“Hmm, bukan berarti yang
itu buruk, tapi yang lebih berisi lagi?”
“Apa maksudnya berisi?”
“Bukan cuma kertas dengan
satu foto, tapi yang lebih memadai. Mengumpulkan foto-foto yang diambil selama
ini bersama teman sekelas, atau kalau kurang bisa mengambil yang baru.”
Yang dimaksud Yuno
sepertinya album tebal layaknya album yearbook.
“Awalnya aku pengen
membuatnya sebagai kejutan, tapi karena objeknya ‘foto’, tanpa persetujuan
orang yang difoto, membuatnya semakin sembrono ya. Gimana?”
“Meski kamu tanya gimana...”
Entah kenapa, aku tidak
bisa begitu saja menerima usulannya dengan tulus.
“Apa? Jangan-jangan kamu
merasa terganggu?”
Dengan ekspresi sedikit
cemberut dan sepertinya sedikit cemas, Yuno menatapku tajam.
“Bukan gitu. Aku senang
banget dengan niat baiknya. Cuman...”
Aku memang benar-benar
merasa senang. Hanya dengan mendengar Yuno menyusun rencana seperti itu dalam
semalam setelah tahu aku akan pindah sekolah saja sudah membuatku terharu.
“Membuatnya, bukannya
terlalu merepotkan?”
Itulah masalahnya. Aku
ingin menghindari membebaninya terlalu banyak demi merayakan keberangkatanku.
“Tidak sampai ratusan
lembar, sekarang ada aplikasi di ponsel yang membuatnya jadi cukup mudah, tidak
semerepotkan itu kok.”
Yuno menjamin dengan
senyum, tetapi aku masih merasa sedikit ragu di dalam hatiku.
Bahkan aku sendiri tidak
mengerti perasaanku sendiri.
Itu usulan yang bagus.
Hampir menjadi pilihan terbaik untuk hadiah perpisahan bagi sahabat karib yang
harus pindah sekolah.
“Tidak, tapi...”
Tetapi entah kenapa – aku
tidak terlalu antusias.
Yuno yang dengan senyum
cerianya memberikan ide cemerlang ini, namun aku tidak bisa sepenuhnya
menanggapinya.
“...Seiji, biar kutebak
apa yang sedang kamu pikirkan.”
Tiba-tiba, Yuno sedikit
menajamkan tatapannya, dan melihatku dari bawah.
“Sekarang kamu memikirkan,
‘Aku ingin kepindahanku lebih ringan aja, kan?”
Perkataan Yuno membuatku
kehilangan kata-kata.
(Eh? Kenapa... kalimatnya bisa
pas bangst? Aku...)
Seperti keinginan yang
selama ini tidak terlihat bagiku, diungkapkan dengan akurat.
“Kamu tidak ingin
dirayakan dengan pesta perpisahan yang meriah, kamu tidak ingin merepotkan
orang lain, kan?”
Kata-kata Yuno seolah
menguraikan benang kusut dalam hatiku.
“Kamu membayangkan suasana
aneh jelang perpisahan, khawatir diperlakukan seperti luka menahun, makanya
kamu merasa lebih baik sekadar pamit dengan ringan kan?”
Satu per satu,
perasaan-perasaan yang kurasakan sejak memutuskan pindah sekolah diungkapkan.
“Bahkan, kamu ingin pergi
dari kelas tanpa sepatah kata pun pada siapapun, kan?”
Aku tersentak dan
mengangkat wajah.
Benar – Yuno adalah ‘siswa
pindahan’.
Dia adalah ‘senpai’ yang
telah mengalami lebih dulu kegelisahan yang baru kurasakan sejak memutuskan
pindah sekolah.
“Kamu akan menyesalinya
nanti, lho.”
Yuno tersenyum, tapi Yuno
yang satu ini adalah sisi lain dirinya yang tak kukenal.
Bahkan terlihat
seolah-olah dia jauh lebih berpengalaman dalam hidup daripada aku, seperti
seorang wanita yang lebih tua dariku.
“Ah, maaf. Bukannya aku
pengen nyalahin Seiji.”
“Tidak… aku mengerti apa yang ingin kamu
katakan.”
Saat Yuno meminta maaf karena bersikap
blak-blakan, aku tersadar dan mengatur napas.
“Soal albumnya...Maaf, tapi saat ini aku tidak
bisa bilang itu ide bagus atau tidak.”
“Kenapa?”
“Album yang pengen di bikin Yuno, adalah album
yang melibatkan semua orang, kan?”
“Begitulah,” Yuno menegaskan.
“Aku tidak ingin terlalu
merepotkan dengan situasiku, dan juga... ada masalah dengan Chiaki.”
Itulah masalahnya. Sejak
pagi tadi, aku sedang dalam perang dingin kecil dengan Chiaki yang belum
terselesaikan.
Jika memulai pembuatan
album dalam kondisi seperti ini, bisa berakhir dengan kenangan buruk yang
berlarut-larut.
“Kalau gitu, selama yang
lain cukup antusias dan Chiaki mengizinkan, tidak masalah kan?”
“Bukan, bukan itu
masalahnya—hei”
Yuno tidak menunggu
jawabanku dan berjalan keluar dari area tangga menuju koridor.
“Yuk kembali ke kelas dulu?
Kita lanjutkan pembicaraannya nanti.”
Memang benar, jam
istirahat juga sudah hampir selesai jadi kita harus kembali ke kelas.
Mengenai usulan pembuatan
album dari Yuno, untuk sementara ditunda dulu.
Begitu kembali ke kelas,
aku merasa semua memandangku.
Aku lihat jam, tapi masih
ada waktu tersisa banyak.
Sambil menengok ke arah
tatapan aneh itu, aku berjalan menuju tempat dudukku, lalu
“Hei, hei, Ketua Kelas!”
Lenganku ditarik oleh
Kanae, murid gal.
Aku menoleh dengan
bingung, dan dengan ekspresi terkejut dia berkata,
“—Ketua Kelas, kamu mau pindah
sekolah?”
Aku melotot kaget.
Dengan panik aku menengok
sekeliling dan teman-teman sekelas lainnya juga menghentikan obrolan mereka
menunggu jawabanku.
“Kenapa kamu bisa tahu hal
itu...?!”
Jelas ada yang
memberitahunya. Aku bertatapan dengan Yuno. Waktu kembalinya sama denganku,
jadi bukan dia.
Aku bertatapan dengan
Chiaki. Dia menggelengkan kepalanya seolah berkata ‘Bukan aku!’.
Pandangan Yuno dan Chiaki
tertuju ke satu orang, dan aku pun mengikutinya.
“~~♪”
Kakeru sedang bersiul
sambil memalingkan wajah ke arah lain.
Aku bisa merasakan sudut
bibirku berkedut sendiri.
(Si brengsek ini, dia yang
nyebarin informasinya!!!)
Satu-satunya alasan aku
tidak berteriak adalah karena masih tersisa secuil logika.
“Hei Shou.”
“Hahaha, mulutku terlanjur
keceplosan.”
Meski aku mencengkeram
kerahnya, Kakeru tetap tersenyum-senyum saja.
“Tidak, kurasa kamu memang
sengaja menyebarkannya ya? Sebelum Aikage kembali, kamu mengalihkan perhatian
semua orang, lalu bilang ‘Sepertinya dia mau pindah sekolah lho?’”
Usui, siswa berandalan di
kelas sebelah, mengungkapkannya.
“Begitu rupanya. Kalau
begitu mari kita tenang dan—“
“Ketua Kelas?”
Kata-kataku dipotong oleh
Mochizuki, Wakil Ketua Kelas yang meletakkan tangannya di bahuku. “Tolong
jelaskan.”
Senyum melengkungnya di
balik kacamatanya sama seperti biasa, tapi entah kenapa terasa mengintimidasi.
Tahun lalu kami di kelas
yang sama. Jadi dia sedikit tahu sifatku—dan sepertinya dia marah.
“Ah ya, itu... karena
sebentar lagi pelajaran akan dimulai.”
Aku beralasan sambil
melihat ke arah meja guru.
Kebetulan guru untuk
pelajaran berikutnya baru saja datang. Melihat jam, guru itu berkata,
“Kalau begitu, 10 menit
saja.”
Keramahan yang tidak
diharapkan.
“Hei hei Seiji, laki-laki
sejati itu harus tegas!”
Aku ingin menjitak Kakeru,
tapi untuk saat ini aku tahan diri dan menghadap teman-teman sekelas.
“Ehem. Ya karena ada
kesempatan, izinkan aku menyampaikannya. Untuk alasan pribadi, aku Aikage Seiji
akan pindah dari SMA Tokiomi ke sekolah lain.”
Suasana kelas riuh.
Dalam situasi begini,
satu-satunya hal yang bisa kulakukan adalah melaporkan kepindahanku yang
sebelumnya kutunda.
“Ya, pertanyaan!”
Ketika Kanae mengacungkan
tangan, aku memberinya isyarat untuk bertanya seperti seorang politisi
menanggapi pertanyaan wartawan.
“Kenapa kamu harus pindah
sekolah?”
“Bisa dibilang masalah
keluarga. Aku cuman akan menjelaskannya secara pribadi pada yang pengen tahu
detailnya. Selanjutnya?”
Karena waktu terbatas, aku
akan menunda penjelasan detailnya dulu.
“Kapan kamu pindah
sekolah?”
“Pertengahan liburan musim
semi bulan depan. Selanjutnya.”
“Kamu mau pindah ke mana?”
“Kampung halaman ibuku.
Cukup jauh. Lanjut.”
Dengan menanggapi
langsung, aku bisa menjawab semua pertanyaan teman-teman sekelas.
“Ya, aku ingin
mengusulkan!”
Suara itu berasal dari –
Yuno.
“Terkait kepindahan Seiji,
aku berencana membuat album kenangan untuknya secara sukarelawan!”
Di saat itulah, Yuno
dengan waktu yang sempurna, mengumumkan rencana pembuatan album.
Sikapnya sama sekali tidak
seperti siswa pindahan.
Seolah-olah sejak awal dia
sudah menjadi bagian dari kelas ini.
“Album?”
“Ah, gitu. Album
kepindahan, bukan album kelulusan ya?”
Dengan respon positif dari
Kanae dan Usui, Yuno melanjutkan, “Aku juga menerima ide foto apa aja yang
ingin dimasukkan dalam album dan foto-foto baru yang akan diambil!”
Wooah... desahan kagum
datang menghampiri Yuno, dan sebagian bahkan bertepuk tangan.
Sepertinya semua mengerti
maksudnya.
Semangat tulus Yuno untuk
melakukan sesuatu bagi temannya yang akan pindah sekolah.
Terlebih lagi Yuno yang
baru bergabung ke kelas ini membutuhkan keberanian besar untuk berbicara di
depan teman-teman sekelas.
“........” Aku bertatapan
dengan Yuno.
Sambil menatapku yang
terpana, dia menunjukkan senyum menantang seolah berkata ‘Ini balasannya’.
“Ide bagus. Luar biasa.”
Mochizuki menepuk
tangannya, dan yang lain pun mengikuti.
“Jadi tinggal memberi foto
saja?”
“Aku punya beberapa foto
dari festival budaya dan wisata sekolah tahun lalu.”
“Foto-foto yang seharusnya
dimuat di album kelulusan, mungkin bisa minta dari guru?”
Di dalam kelas, rencana
pembuatan album kepindahanku sudah bergulir.
“Shou, kamu sengaja
melakukan ini ya...”
Ketika aku menatapnya,
Kakeru mengangkat ponselnya.
“Ya. Pagi tadi, Yuno
memberitahuku soal rencana album kepindahan ini.”
Ternyata sebelum
memberitahuku, Yuno juga telah berkonsultasi dengan Kakeru mengenai rencana
album kepindahan ini.
Lalu Kakeru menduga aku
akan merasa sungkan, jadi dia memanfaatkan orang lain untuk membuatku tidak
bisa menolak.
Pelaksanaannya dimulai
siang ini, ketika Yuno membawaku keluar kelas, Kakeru menyebarkan berita
kepindahanku, dan begitu ada kesempatan, Yuno mengusulkan rencana album dan
melibatkan teman-teman sekelas.
Meski detailnya agak
spontan, namun rencananya berjalan sukses.
“Seiji-kun”
Lenganku ditarik pelan
saat aku terpaku. Itu Chiaki. Tak ada lagi sisa kemarahan tenang dari semalam
di senyumnya kali ini.
“Ayo buat?”
Dari kata-katanya yang
singkat dan sedikit ragu, aku bisa merasakan banyak makna tersirat.
Bahwa dia telah memaafkan
masalah kemarin, dan dia juga ingin membuat album kepindahanku.
- Itulah
yang membuatku ‘luluh’.
“Eh? Seiji-kun!?”
Ketika Chiaki memanggilku
dengan nada terkejut, yang lain pun memperhatikan.
“Seiji...?”
“Kamu menangis terlalu
cepat, bro.”
Karena Kakeru
menunjukkannya, aku baru menyadari ada air mata di sudut mataku.
“Eh, tunggu! Ini bukan
seperti itu!”
Aku melepas kacamataku,
mengusap sudut mataku, dan memalingkan wajah.
Aku tidak bisa menatap
teman-teman sekelasku yang menatapku seolah melihat fenomena aneh.
“Ma-Maafkan aku Seiji-kun!
Ini salahku ya! Karena pagi tadi Shou-kun dan Yuu-chan memberitahuku rencana
album itu! Aku berusaha keras agar tidak keliatan di wajahku!”
Sepertinya karena mengira
dialah penyebabku menangis, Chiaki panik memberi penjelasan.
Ah begitu, sikapnya yang
kaku sejak bertemu di stasiun bukanlah karena masih marah, tapi karena dia
terlibat dalam rencana ini.
Aku akan menanyakannya
nanti, tapi bukan karena Chiaki aku menangis.
Mungkin semacam
pelampiasan perasaan.
Terjemahan lanjutan:
Karena waktu terbatas,
penjelasan detailnya akan kutunda dulu.
“Kapan kamu pindah
sekolah?”
“Pertengahan liburan musim
semi bulan depan. Selanjutnya.”
“Kamu akan pindah ke
mana?”
“Kampung halaman ibuku.
Cukup jauh. Lanjut.”
Dengan menanggapi
langsung, aku bisa menjawab semua pertanyaan teman-teman sekelas.
“Ya, dengan ini saya
mengusulkan!”
Suara itu berasal dari –
Yuno.
“Terkait kepindahan Sage,
kami merencanakan membuat album kenangan darinya oleh sukarelawan!”
Di saat itulah, dengan
waktu yang sempurna, Yuno mengumumkan rencana pembuatan album.
Sikapnya sama sekali tidak
seperti siswa pindahan.
Seolah-olah sejak awal dia
sudah menjadi bagian dari kelas ini.
“Album?”
“Ah, begitu. Album
kepindahan, bukan album kelulusan ya?”
Dengan respon positif dari Kanae dan Usui, Yuno melanjutkan, “Kami juga menerima ide foto apa saja yang ingin dimasukkan dalam album dan foto-foto baru yang akan diambil!”
Wooah... desahan kagum
datang menghampiri Yuno, dan sebagian bahkan bertepuk tangan.
Sepertinya semua mengerti
maksudnya.
Semangat tulus Yuno untuk
melakukan sesuatu bagi temannya yang akan pindah sekolah.
Terlebih Yuno yang baru
bergabung ke kelas ini membutuhkan keberanian besar untuk berbicara di depan
teman-teman sekelas.
“.......” Aku bertatapan
dengan Yuno.
Sambil menatapku yang
terpana, dia menunjukkan senyum menantang seolah berkata ‘Ini balasannya’.
“Ide bagus. Luar biasa.”
Mochizuki menepuk
tangannya, dan yang lain pun mengikuti.
“Jadi tinggal memberi foto
saja?”
“Aku punya beberapa foto
dari festival budaya dan wisata sekolah tahun lalu.”
“Foto-foto yang seharusnya
dimuat di album kelulusan, mungkin bisa minta dari guru?”
Di dalam kelas, rencana
pembuatan album kepindahanku sudah bergulir.
“Shou, kau sengaja
melakukan ini ya...”
Ketika aku menatapnya,
Kakeru mengangkat ponselnya.
“Ya. Pagi tadi, Yuno
memberitahuku soal rencana album kepindahan ini.”
Ternyata sebelum
memberitahuku, Yuno juga telah berkonsultasi dengan Kakeru mengenai rencana
album kepindahan ini.
Lalu Kakeru menduga aku
akan merasa sungkan, jadi dia memanfaatkan orang lain untuk membuatku tidak
bisa menolak.
Pelaksanaannya dimulai
siang ini, ketika Yuno membawaku keluar kelas, Kakeru menyebarkan berita
kepindahanku, dan begitu ada kesempatan, Yuno mengusulkan rencana album dan
melibatkan teman-teman sekelas.
Meski detailnya agak
spontan, namun rencananya berjalan sukses.
“Seiji-kun”
Lenganku ditarik pelan
saat aku terpaku. Itu Chiaki. Tak ada lagi sisa kemarahan tenang dari semalam
di senyumnya kali ini.
“Ayo buat?”
Dari kata-katanya yang
singkat dan sedikit ragu, aku bisa merasakan banyak makna tersirat.
Bahwa dia telah memaafkan
masalah kemarin, dan dia juga ingin membuat album kepindahanku.
- Itulah
yang membuatku ‘luluh’.
“Eh? Seiji-kun!?”
Ketika Chiaki memanggilku
dengan nada terkejut, yang lain pun memperhatikan.
“Sage...?”
“Kau menangis terlalu
cepat, bro.”
Karena Kakeru
menunjukkannya, aku baru menyadari ada air mata di sudut mataku.
“Eh, tunggu! Ini bukan
seperti itu!”
Aku melepas kacamataku,
mengusap sudut mataku, dan memalingkan wajah.
Aku tidak bisa menatap
teman-teman sekelasku yang menatapku seolah melihat fenomena aneh.
“Ma, maafkan aku
Seiji-kun! Ini salahku ya! Karena pagi tadi Shou-kun dan Yu-chan memberitahuku
rencana album itu! Aku berusaha keras agar tidak keliatan di wajahku!”
Sepertinya karena mengira
dialah penyebabku menangis, Chiaki panik memberi penjelasan.
Ah begitu, sikapnya yang
kaku sejak bertemu di stasiun bukanlah karena masih marah, tapi karena dia
terlibat dalam rencana ini.
Aku akan menanyakannya
nanti, tapi bukan karena Chiaki aku menangis.
Mungkin semacam
pelampiasan perasaan.
Sejak ibu memberitahuku kalau
dia akan menikah lagi, keputusan kepindahan sekolah ini datang begitu cepat,
berbagai kekhawatiran dan kesibukan terkait hal itu, dan di tengah semua itu
stres tanpa pelampiasan yang terus menumpuk – hatiku pasti sudah seperti gelas
yang dipenuhi air sampai batasnya.
Di atas semua itu, ada
rencana album dari Yuno, Chiaki, dan Kakeru, teman-teman sepermainanku sejak
kecil.
Keseimbangan hati yang
kujaga dengan keras akhirnya runtuh.
(Aku ditangisi? Aku
menangis? Aku menangis di kelas saat sudah SMA!?)
Sungguh memalukan! Kalau
masih SD mungkin bisa dimaafkan, tapi aku sudah SMA!
Aku menangis, dan merasa
malu sekaligus kasihan pada diriku sendiri – sudah berapa lama sejak terakhir
kali merasakan perasaan ini.
“Imut banget...”
Salah seorang siswi
menggumamkan itu.
“Maaf, aku sedikit terbawa
suasana.”
Aku menenangkan Chiaki
yang masih meminta maaf sambil menangis, lalu mengangkat wajahku.
Aku memakai kembali
kacamataku, dan menyembunyikan wajahku yang mungkin memerah dengan sebelah
tangan.
“Tentang album itu...”
Aku berkata dengan suara
sepelan desis nyamuk kepada Yuno, Chiaki, Kakeru, Wakil Ketua Kelas, dan
teman-teman sekelas lainnya.
“Tolong buatkan...”
Kelas menjadi riuh.
Suara-suara bahagia,
menyambut, memuji-mujiku.
Kakeru menepuk-nepuk
bahuku, Yuno datang untuk meminta maaf atas tipu muslihatnya.
Meski semua itu terasa
jauh bagiku, aku tiba-tiba teringat pertanyaan yang sempat kupikirkan
sebelumnya. ‘Gimana cara kami baikan waktu itu ya?’
Aku tahu jawabannya
sekarang.
Waktu kecil, setiap hari
terasa baru, dan kegembiraan baru segera datang.
Ini bukan waktunya untuk menunda pertarungan
kemarin karena aku menantikan hari esok.
“...Ah, sangat sulit untuk menghentikannya.”
Ucap suara ragu-ragu dari meja guru.
“Sensei, bisakah kita memulai kelas sekarang?”
Seluruh kelas berkata, “Ah!”
Yuno dan Chiaki buru-buru kembali ke tempat
duduk mereka, dan aku yang tadi meringkuk bersama Kakeru juga kembali ke tempat
dudukku.
Sebelum itu, “──Terima kasih.”
Aku meninggalkan pesan terima kasih sehingga
hanya Kakeru yang bisa mendengarnya.
○
Setelah itu, selama kelas──
Aku sedang menulis di papan sambil merasakan
tatapan teman-teman sekelasku.
(Sial, aku dikalahkan...)
Aku dikalahkan, aku dihancurkan sepenuhnya
oleh Kakeru dan yang lainnya---mereka melakukannya untukku.
(Ah, terima kasih sudah datang sejauh ini!
Tapi tetep aja...)
Meskipun aku bahagia, aku juga marah karena
merasa malu.
Rasa frustrasi anak laki-laki itu karena
dibuat menangis sepertinya tidak berubah bahkan setelah dia menjadi siswa
SMA. (Sudah kuputuskan)
Yuno, Chiaki, dan Kakeru---inilah setidaknya
tiga teman masa kecilku yang tidak akan bisa kutemui lagi dalam waktu dekat.
Aku tidak membenci mereka, aku sedih karena
tidak bisa melihat mereka.
Namun sekarang, lebih dari itu, aku ingin
menyatakan hal ini.
(Lain kali, aku yang akan membuat kalian
menangis...!)
Masih ada 22 hari lagi sampai aku pindah
sekolah.
Kepindahanku seharusnya menjadi pengalaman
yang sangat “normal”,
Sepertinya ini bisa di buat menjadi lebih
istimewa.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.