Story About Buying My Classmate chap 4 v3

Costos Obscurus
0

Bab 4:

Yang Pengen Aku Lakukan sama Miyagi, Yang Pengen Miyagi Lakukan

 

 

aku nggak tahu apakah Miyagi memilih atau menyerah.

Tapi dia nggak lari.

 

Meskipun aku melepaskan tangannya, dia tetap ada di depan aku.

 

aku memanggil Miyagi ke ruang persiapan musik bukan karena aku ingin menciumnya, tapi karena aku hanya ingin sedikit berbicara dengan dia yang tampaknya menikmati festival budaya tanpa kehadiran aku.

 

Rencana aku adalah setelah mengeluh sedikit atau dua, aku akan membiarkannya pergi. Jadi, apa yang ada di dalam diri aku mungkin sedikit tertekan, tapi itu adalah pikiran yang cukup sehat.

 

Tapi ternyata...

Selama dua hari festival budaya, dia menungguku.

 

Meskipun tidak sepenuhnya benar, kata-kata yang bisa dipahami Miyagi seperti itu membuat semuanya berubah seperti ini.

 

Semuanya disebabkan oleh perkataan tak terduga dari Miyagi.

 

aku nggak pernah berpikir bahwa dia akan ingat perkataanku yang setengah bercanda, atau bahwa dia akan mengatakannya seperti itu. aku pikir itu menjadikan alasan mengapa aku beraksi lebih dari biasanya.

 

"Miyagi,"

 

aku memanggilnya pelan dan menyentuh pipinya tanpa dia melarikan diri. Meski terlihat sedikit enggan, dia tetap berada di depanku. Itu berarti dia juga setuju dengan apa yang akan aku lakukan selanjutnya, dan aku perlahan mendekatkan wajahku. Miyagi tidak bergerak. Tapi, dia melihat aku dengan wajah yang seakan-akan akan mengeluh.

"Pejamkan matamu,"

 

aku memberitahu Miyagi yang masih melihat aku.

 

"aku akan memejamkannya tanpa perlu dibilang,"

 

Suara yang terdengar dari dia terlihat tidak puas, menunjukkan bahwa dia tidak berniat untuk dengan mudah memejamkan matanya. Hal seperti ini sering terjadi, dan tangan yang masih menyentuh pipi aku menyentuhnya lebih dekat.

 

Namun, Miyagi masih belum memejamkan mata, seakan dia bukan orang yang akan dicium.

 

Persahabatan kita nggak sampai ke tahap memperhatikan suasana hati satu sama lain sih.

 

Dengan berat hati, aku yang memejamkan mata terlebih dahulu dan menempelkan bibir aku.

 

Sensasinya, sama seperti ketika kita berciuman di liburan musim panas.

Kelembutan dan kehangatannya, semua sudah dikenal dengan baik. Tapi hanya detak jantungku yang berbeda. Entah karena tempatnya atau tidak, aku terkejut sendiri betapa kerasnya detak jantungku.

 

aku hanya menyentuhnya sebentar dengan bibir sebelum melepaskannya karena tidak tahan dengan detak jantung yang terus berdengung di dalam tubuh, saat itu, lenganku ditarik dengan kuat.

 

Bukan sampai harus meronta, tapi tangannya memegang lenganku kuat-kuat.

 

Mengikuti tangannya, aku menatap Miyagi. Matanya terlihat seperti akan menggigit, tapi dia tidak menggigit. Matanya sulit untuk dikatakan menerima aku dengan tulus, tapi sepertinya dia tidak menolak.

 

Kalau Miyagi memang ingin menggigit, dia pasti sudah melakukannya dari dulu.

 

Jadi, apa arti tangannya ini—

 

Melihat ke bawah, aku melihat tangan yang memegang lenganku.

 

"Miyagi, sakit,"

 

Tidak ada jawaban.

 

Suaraku pasti terdengar, tapi tangannya tidak melepaskan lengan aku. Malah, dia memegangnya lebih kuat sampai kukunya terasa menusuk.

 

Melihat wajahnya, dia terlihat tidak puas.

Mendekat sedikit,

 

Miyagi tidak berkata apa-apa dan tidak bergerak.

 

Ketika aku menjauh tanpa mendekat, lenganku ditarik.

 

aku tidak membenci Miyagi yang mencoba menahan aku dengan gerakan kecil seperti ini.

 

"Bolehku ulangi satu lagi?"

 

 

Aku tau jawabannya tanpa perlu ditanya, tapi sengaja aku tanya. Miyagi tidak buka mulut, juga tidak mengangguk. Sebagai gantinya, dia tarik lenganku lagi, seperti minta diperhatikan.

 

Aku tidak bilang ke dia karena takut dia kabur, tapi reaksi seperti ini menurutku lucu.

 

Perlahan-lahan, aku dekatkan wajahku.

 

Kali ini, Miyagi yang lebih dulu menutup matanya, dan bibir kami bertemu.

 

Suara jantung terdengar begitu keras dan cepat.

 

Aku dan Miyagi sering berciuman.

 

Sering sampai terbiasa.

 

Tapi, mungkin aku sedang gugup.

 

Bibir kami hanya saling menyentuh lembut, tidak kuat menekan atau menjilat, tapi bagian yang bertemu terasa sangat panas. Saat kugenggam bahu Miyagi, tangan rasanya juga jadi hangat. Semakin banyak bagian yang bersentuhan, jantung semakin tak tenang, dan aku merasa sesak.

 

Aku tidak ingin berpisah tapi ketika ku lepas wajahku, tangan Miyagi masih memegangku. Namun, tidak terlalu kuat sehingga tidak sakit.

 

Aku ragu sebelum memutuskan mencium lebih kuat dari sebelumnya.

 

Miyagi tidak kabur.

 

Jantungku jadi sedikit lebih tenang.

 

Aku tidak ingin terpisah dari Miyagi, jadi, lebih lama dari pertama atau kedua, kami berciuman.

 

Miyagi ada di jarak lebih dekat daripada saat bersama orang lain.

 

Panasku bercampur dengan panasnya di bagian yang bersentuhan.

 

Semua itu terasa nyaman.

 

Ingin merasakan lebih banyak kehangatan Miyagi, aku sentuh bibirnya dengan ujung lidah, tapi langsung di dorong. Aku mundur tiga langkah secara patuh, lalu Miyagi buka mulut.

 

"Katanya, ciuman yang seperti itu belum boleh."

 

"Ciuman yang seperti apa?"

 

"Seperti yang barusan itu."

 

"Kalau kamu nggak jelasin, aku nggak bakal tau."

 

"Kalau kamu nggak tau, ya sudah jangan ciuman sama sekali."

 

Biasanya, Miyagi suka memutarbalikkan kata-kata. Itu reaksi yang aku sukai, tapi aku jadi penasaran apa jadinya kalau aku terus dikejar. Di saat seperti ini, Miyagi biasanya jadi bete, dan suaranya jadi lebih rendah.

 

Aku bisa saja menganggapnya biasa saja, tapi hari ini aku tidak ingin membuatnya kesal. Namun, aku juga ingin melihat reaksi Miyagi lebih lanjut.

 

"Jadi, selama tidak seperti tadi, boleh dong?"

 

Meski aku pikir aku bakal dimarahi, aku maju dua langkah dan dekatkan wajahku, lalu suara yang tidak senang terdengar.

 

"Sudah sebulan lewat dari itu. Sabar dikit dong."

 

"Apa" yang dimaksud, pasti hari terakhir liburan musim panas. Sejak hari itu, bibir kami tidak pernah bersentuhan lagi.

 

"Jadi, Miyagi sabar itu artinya kamu ingin berciuman dong?"

 

Pikiranku agak nakal sih, tapi aku penasaran dengan jawabannya.

 

"Jangan salah tafsir. Kamu seneng ngomong hal kayak gitu?"

 

"Iya, seneng."

 

"Kamu tuh, paling parah."

 

Aku ingin Miyagi bilang itu.

 

Tidak mungkin Miyagi akan mengatakannya, tapi ada bagian dariku yang ingin dia mengatakannya.

 

Jika terjadi sesuatu seperti musim panas lalu, akan merepotkan.

 

Tidak seharusnya kami terus melakukan hal seperti itu.

 

Itulah yang kupikirkan, tapi setelah berciuman lagi dengan Miyagi, aku jadi lupa kenapa dulu aku berpikir demikian. Bahkan aturan yang kutetapkan di hari aku diberikan lima ribu yen di toko buku, sekarang terasa tidak berguna.

 

"Berciuman sih, nggak apa-apa kan. Ini juga sudah bukan pelanggaran aturan lagi."

 

"Enggak boleh."

 

Miyagi dengan tegas berkata,

 

"Kalau gitu, tetapkan sebagai aturan yang baik dong."

 

"Aku nggak mau."

 

Menukarkan lima ribu yen demi mematuhi perintah Miyagi. Meski pada awalnya aku menerima ini sebagai cara menghabiskan waktu luang, kini hal itu telah melampaui batas sekadar mengisi waktu luang. Janji yang ku tetapkan sebelumnya terasa menyebalkan, dan Miyagi, yang keras kepala dalam menjaga aturan, membuatku merasa muak.

 

Di dunia ini, ada kata "fleksibel" yang sangat berguna.

 

Tidak masalah berbicara di sekolah atau bahkan berciuman, jika tidak ada yang tahu. Jika hubungan kita tidak diketahui orang lain, seharusnya aturan yang fleksibel seperti itu tidak menjadi masalah.

 

"Miyagi, kamu nggak mau berciuman?"

 

"Cara kamu bertanya itu licik."

 

"Berarti, kamu mau dong. Ayo, berkompromi."

 

"...Terus terang, walaupun kita terus melakukan ini, toh nantinya Sendai-san akan pergi jauh, kan?"

 

"Kita bisa daftar ke universitas yang sama."

 

"Aku ingin Sendai-san tetap di sini."

 

"Hah?"

 

Aku terkejut mendengar kata-kata yang sepertinya tidak akan pernah dikatakan oleh Miyagi, hingga aku menatap wajahnya dengan intens. Bibirnya terkatup rapat.

 

"Miyagi?"

 

Tidak ada jawaban.

Alih-alih, dia mengalihkan pandangannya. Aku ingin dia melihat ke arahku, maka aku menyentuh pipinya, namun Miyagi berkata dengan suara dingin, "Jangan sentuh aku."

 

Seperti menolak suaranya, aku menekan telapak tanganku. Biasanya, Miyagi akan menyingkirkan tanganku, tapi hari ini dia tidak melakukannya.

 

"Sendai-san, kembalikan dasiku."

 

Miyagi menyebutkan kata-kata yang secara logis membuatku melepaskan tanganku dari pipinya. Tidak ada alasan untuk menolak, jadi dengan patuh aku melepas dasi dan memberikannya padanya, dan Miyagi mengembalikan dasiku.

 

Sebelum dia berkata apa-apa lagi, aku menyebutkan benda lain yang harus kuserahkan.

 

"Aku akan memberikan blusku pada Miyagi. Aku tidak akan memakainya lagi, jadi simpan saja. Apakah aku harus mengembalikan blus Miyagi?"

Aku bilang kepadanya bahwa aku membawa blus untuknya, tetapi dalam tas tidak ada barang yang harus kembali. Aku tidak bisa mengembalikannya meski diminta, tapi aku merasa hal itu tidak akan menjadi masalah bagiku.

 

"Tidak harus hari ini."

 

Kata-katanya ambigu, namun Miyagi menyerahkan blusnya padaku. Kemudian, untuk mengganti topik, dia menambahkan,

 

"Kenapa kamu memanggilku hari ini?"

 

"Aku ingin menikmati festival budaya bersama. Itu yang aku katakan tadi."

 

"Jawab dengan benar."

 

"Aku ingin bertemu karena kita sudah lama tidak bertemu, dan aku ingin sedikit bicara."

 

Sebelum festival kebudayaan, Miyagi tampak tidak terlalu tertarik dengan acara tersebut. Tapi hari ini, dia tampak sangat menikmati dirinya.

 

Pada akhirnya, Miyagi tampak senang bahkan tanpa bertemu denganku, dan jika aku menemuinya, dia pasti hanya akan tampak kesal. Juga, aku tak bisa berbicara dengannya di sekolah.

 

Belum lagi, festival kebudayaan tahun lalu yang menyenangkan, tahun ini tidak terasa begitu menyenangkan. Meskipun aku menghabiskan waktu seperti tahun lalu, rasanya tidak sama.

 

Jadi, aku mengirimkan pesan kepada Miyagi.

 

Aku tidak ingin festival kebudayaan berakhir menjadi tidak menarik.

 

Itulah kurang lebih alasan aku.

 

"Omongan itu, maksudmu? Itu tidak disebut berbicara."

 

Miyagi berkata dengan suara rendah.

 

"Mungkin agak berlebihan, tapi kita kan sudah berbicara."

 

Selain berbicara, memang ada hal lain yang kami

lakukan, tapi berbicara juga termasuk di dalamnya.

 

Secara umum jika diringkas, seharusnya tidak ada masalah mengatakan kita telah berbicara.

 

"Tidak ada."

 

"Kita sudah berbicara kok. Jika kamu merasa belum cukup, kita bisa berbicara lebih banyak lagi."

 

"Aku tidak bilang belum cukup."

 

Miyagi menambahkan dengan wajah yang tampak kesal, "Itu menyebalkan", tetapi tampaknya dia tidak berniat untuk mengeluh lebih banyak lagi kepadaku.

 

"Bagaimana kalau kita mulai pulang?"

Daripada bertanya, itu lebih seperti mengumumkan keputusan, dan Miyagi mengangguk. Kami tidak berada di sini untuk waktu yang lama, tetapi sudah cukup waktu sejak festival kebudayaan berakhir. Waktu matahari terbenam semakin cepat, dan sekarang sudah gelap di luar.

 

"Aku keluar duluan?"

 

Dengan mempertimbangkan Miyagi yang tampaknya tidak ingin dilihat berjalan bersamaku, aku bertanya.

 

"...Kamu keluar duluan, Sendai-san. Aku akan mengikuti sampai ke loker."

 

"Mengikutiku, kamu tidak khawatir akan dilihat orang?"

 

"Tidak akan terlalu dekat sampai itu jadi masalah jika dilihat, dan lagi──"

 

"Dan lagi?"

 

Kata-katanya terputus, dan aku bisa membayangkan apa yang akan dia katakan selanjutnya.

 

Meski begitu, aku tetap bertanya, dan suara kesal

terdengar sebagai jawaban.

 

"Karena aula lama itu menakutkan."

 

"Mau aku pegangi tangannya?"

 

"Tidak perlu segala tambahan itu, cepatlah pergi. Kan jadi gelap."

 

"Sudah gelap kok, jalan bersamaku gimana?"

 

"Aku pasti tidak akan jalan bersama. Cepat keluar dari koridor."

 

Miyagi menarik kerutan di dahi sambil membuka pintu. Dan, dia mendorong punggungku.

 

Aku, dengan terpaksa, mulai berjalan.

 

Dengan jejak langkah ringan, petah-petah-petah, suara langkah lain terdengar seolah-olah mengejarku.

 

Ketika aku menoleh, Miyagi terlihat, dan aku merasa lebih baik daripada saat festival sekolah.

 

◇◇◇

 

Meskipun Miyagi sudah berusaha menghentikanku, aku

tidak bisa menghentikan diriku sendiri.

 

Tanpa perlu dipikirkan lagi, sudah jelas.

 

Hari ini, aku bertingkah aneh.

 

Di musim panas, aku dengan napas kecil duduk di tempat terpisah yang Miyagi sebut "kamar biasa", dan duduk di tepi tempat tidurnya.

 

Memanggil Miyagi di sekolah dan memintanya untuk berciuman sungguh gila.

 

Lebih dari itu, aku benar-benar menciumnya.

 

Tapi, aku tidak menyesal.

 

Karena Miyagi tidak lari, dia juga bersalah. Tidak ada bedanya denganku. Miyagi juga ingin mencium, jadi itu pasti tidak salah.

 

─ Itu semua bohong.

 

Miyagi yang membiarkan ciuman itu, tapi yang memulai adalah aku, dan jika aku tidak melakukan itu, hal itu tidak akan terjadi. Aku tahu aku hanya menipu diri sendiri. Aku tahu, tapi masih ingin mencium lagi di tengah semua ini, aku pikir aku layak terjatuh ke

neraka.

 

Aku mendesah seolah-olah mengeluarkan segalanya

sampai ke otak.

 

Namun, dengan desahan yang seolah-olah mengosongkan paru-paru, aku rebah di tempat tidur.

 

Blus tergantung di dinding kamar, hanya satu, di gantungan.

Yang berlengan pendek itu adalah milik Miyagi. Ternyata, itu tidak pernah dikembalikan dan selalu tergantung di dinding, sehingga menjadi tempat

tetapnya.

 

"Harusnya ku tata."

 

Aku berdiri dan melipat blus itu. Disimpan di samping kaos panjang yang diberikan, atau lebih tepatnya, diterima secara paksa dari Miyagi. Barang-barang Miyagi semakin banyak, menguasai kamarku. Lima ribu yen di dalam celengan juga dari Miyagi. Bahkan setelah lulus, jejaknya akan terus ada.

 

Lima ribu yen seharusnya aku habiskan, dan pakaian seharusnya aku buang.

 

Aku tahu, tapi masih tidak bisa melakukan hal-hal yang tampaknya dapat dilakukan oleh siapa saja itu. Aku bahkan tidak bisa menahan diri dari ciuman, karenanya, hal-hal yang berkaitan dengan Miyagi terasa sulit dan tidak bisa kulakukan dengan baik.

 

Sebagai gantinya desahan, aku menghela napas besar

dan ponselku berbunyi di atas meja.

 

Pasti hanya Himena, pikirku sambil melihat layar dan memang benar itu Himena, dengan kata-katanya yang tampak melompat-lompat, mengatakan hari ini menyenangkan, dan lain kali ingin pergi ke festival sekolah SMA lain. Aku malas untuk memberikan jawaban yang layak, hanya membalas dengan "iya", membanting ponselku ke tempat tidur, dan menghadap meja.

 

Jadwalnya mungkin tidak terlalu baik karena festival sekolah baru saja berakhir, tapi dalam dua minggu lagi akan ada ujian tengah semester. Aku harus mempertahankan nilai agar bisa masuk universitas pilihan, meskipun tidak ada yang pasti sehingga aku tidak boleh berhenti belajar.

 

Sekarang bukan waktu untuk mengubah pilihan universitas.

 

Tapi, aku terus memikirkan kata-kata Miyagi.

 

"Semoga kamu tetap di sini."

Itu tampak seperti dia benar-benar serius saat mengatakannya, tapi ini tidak seperti kata-kata yang biasa Miyagi ucapkan. Namun, terasa seperti kata-kata yang terlalu berat untuk sekedar diucapkan secara spontan.

 

Mengubah pilihan universitas dan tetap di sini.

Itu adalah pilihan yang tidak pernah kupikirkan sebelumnya, dan rasanya tidak mungkin. Karena jika aku tidak bisa meninggalkan rumah ini, tidak ada gunanya pergi ke universitas. Sampai lulus universitas, apa pun universitasnya, orang tuaku pasti akan mengurusku. Jadi, lebih baik pilih universitas yang bisa buatku pergi dari sini.

 

Jika aku tetap di sini, bahkan setelah upacara kelulusan selesai, hubunganku dengan Miyagi tidak akan berakhir.

 

Aku tidak ingin memikirkannya, tapi aku rasa itu tidak akan terjadi.

 

Bahkan jika aku tetap di sini, masa depan dimana

Miyagi berjalan di sisiku tidak akan datang.

Si keras kepala Miyagi pasti akan memegang janji untuk "berakhir ketika lulus," dan meskipun dia tidak memegangnya, dia tidak akan datang lagi seperti hari ini, mengatakan, "Aku pasti tidak akan berjalan."

Aku mengangkat tangan kananku seolah menembus cahaya, menatapnya.

 

Di penghujung hari, kata-kataku kepada Miyagi tentang berpegangan tangan adalah setengah serius.

Kalau kamu takut, aku bisa sih pegang tangannya.

 

Itulah yang kupikirkan, dan lebih jauh lagi, aku ingin berjalan sambil menggenggam tangan Miyagi yang secara diam-diam mengikutiku dari belakang.

 

Menggenggam tangan yang terangkat ke arah langit, lalu membukanya.

 

Selama liburan musim panas, aku sama sekali tidak ingin berpegangan tangan dengan Miyagi.

 

Bahkan ketika aku bertabrakan dengan Miyagi di sekolah, aku tidak ingin berpegangan tangan.

 

Mungkin ada keinginan untuk menyentuh, tapi itu saja.

 

Namun, hari ini aku ingin berpegangan tangan dengan Miyagi.

 

Sejak bertemu dengan Miyagi, aku hidup dengan menyangkal diriku yang lama. Seperti itulah, aku menjadi cemas karena tak tahu apa yang akan terjadi esok hari.

 

Tangan yang tercermin di mataku adalah tangan biasa saja, tidak terlalu berbeda dari tangan Miyagi.

 

Mungkin sedikit lebih besar karena perbedaan tinggi badan, tapi tidak ada yang spesial. Tangan yang sama selama liburan musim panas tidak seharusnya berubah, namun aku ingin berpegangan tangan dengan Miyagi. Rasanya, jika tangan ini lepas dan jatuh, akan menuju ke arah Miyagi.

 

Jika hanya memikirkan tindakan menggenggam tangan, aku bisa melakukannya dengan Siapapun, dengan Homina ataupun dengan Mariko. Dengan mereka, aku bisa berpegangan tangan kapanpun aku mau. Bahkan bisa dengan orang lain. Seharusnya, siapapun bisa berpegangan tangan, tapi orang yang aku ingin genggam tangannya terbatas.

 

Barang terbatas seperti "edisi terbatas" atau "kuantitas terbatas" membuatku merasa spesial dan meningkatkan semangatku, tapi "edisi Miyagi" itu masalah. Semuanya menjadi terbatas pada Miyagi dan aku merasa tidak bisa bergerak bebas. Aku merasa kegiatanku terlalu dibatasi.

 

Aksiku seharusnya hanya dibatasi oleh Miyagi setelah sekolah.

 

Kami sudah berciuman dan bahkan sudah mencoba hal yang lebih. Merasa aneh sekarang ingin berpegangan tangan.

 

Dengan desahan, aku menurunkan tangan.

 

Tidak perlu berpegangan tangan.

 

Aku bisa menahan itu. Itu yang bisa kukatakan dengan yakin.

Masalahnya, aku tidak bisa dengan pasti mengatakan bahwa aku tidak akan mencium.

 

Desahan yang tidak kutahu berapa kali terlepas tanpa sengaja hari ini.

 

"...ini semua gara-gara Miyagi."

 

Hari ini, aku mengetahui kalau aku ingin berciuman, Miyagi akan menerima meski dengan berat hati. Kalau aku mengatakannya lagi, tentu saja Miyagi akan menerima. Dengan pikiran seperti itu, aku tidak bisa dengan pasti mengatakan bahwa aku tidak akan melakukan hal yang sama seperti hari ini. Jika segalanya berakhir di upacara kelulusan, tidak perlu terlalu memaksakan diri untuk menahan.

 

Sebanyak aku mengatakan kami bukan teman, aku tahu bukan berarti aku bisa melakukan apapun yang aku mau.

 

Mungkin, aku meninggalkan salah satu sekrup yang sengaja tidak kukendurkan di ruang persiapan musik. Dan yang mengkhawatirkan, aku tidak berniat mencarinya atau menggantinya dengan yang baru.

 

"Ahh, sebaiknya aku belajar untuk ujian dulu deh."

 

Meratapi hubungan kita dengan Miyagi tak akan membuat ku tahu apa yang benar. Sekarang, belajar untuk ujian tengah semester yang pasti punya jawaban tepat terasa lebih mudah. Lagi pula, melakukan sesuatu bisa mengalihkan pikiran.

 

Aku meletakkan buku teks dan catatan di atas meja.

 

Meski ponselku berbunyi lagi di atas tempat tidur, aku memusatkan pandangan pada buku teks.

 

◇◇◇

 

Sudah sekitar seminggu sejak festival budaya berakhir. Sekolah sepenuhnya tenggelam dalam suasana ujian tengah semester. Tidak terlalu lama, tapi juga tidak terlalu sebentar. Namun, untuk hari ini, rasanya cukup lama. Pesan rutin dari Miyagi tiba. Aku tidak tahu harus berbuat apa jika dia memanggilku segera setelah itu, jadi periode ini yang terasa cukup lama bagiku sebenarnya cukup bagus.

 

Mungkin Miyagi juga merasa canggung untuk bertemu denganku, jadi memiliki sedikit waktu membuatku bisa duduk di sampingnya tanpa kehilangan ketenangan.

 

Meskipun kami tidak sering bertemu, kenyamanan di ruangan ini tetap sama. Mungkin aku merasa terbakar oleh pandangannya karena cuaca yang masih terasa panas seperti musim panas, membuatku melepas rompi seragamku. Aku sudah melepas dua kancing atas blusku, jadi tidak ada alasan untuk ia mengeluh karena terlihat berbeda dari biasanya.

 

"Ujian tengah semester, kayaknya bakal berjalan lancar gak?" Aku bertanya sambil membalik halaman buku teks, menanyakan tentang ujian yang sudah dekat.

 

"Entahlah,"

 

Miyagi mengalihkan pandangannya dariku.

 

"Kan aku udah ngajarin kamu selama liburan musim panas."

 

"Iya, tapi karena diajarin bukan berarti ujiannya pasti lancar."

 

"Aku pikir nilaimu bakal naik."

 

Selama liburan musim panas, kami melalui hal-hal yang tak bisa diceritakan pada orang lain, tapi lebih dari itu, kami juga belajar. Akan aneh jika nilainya tidak naik, dan akan jadi masalah jika tidak. Namun, Miyagi tidak mengatakan bahwa nilainya "sepertinya akan naik" atau "kayaknya akan berjalan lancar."

 

"Setelah ujian tengah semester, tunjukin hasilnya ke aku," aku mendesaknya dengan mengetuk lengannya dengan pulpen.

 

"Kenapa harus aku tunjukin ke Sendai-san?"

 

"Karena aku jadi tutor mu selama liburan musim panas. Aku mau tau hasilnya dong."

 

"Tapi, kan..."

 

"Aku juga akan nunjukin hasilku."

 

"Enggak perlu."

 

"Yaudah, aku enggak akan nunjukin milikku, jadi kamu nunjukin milikmu."

 

"Gak penting juga, kan. Nilai aku apa."

 

Miyagi berkata dengan nada pasrah, tapi aku tidak akan memintanya menunjukkan kalau itu tidak penting.

 

Jika aku benar-benar tahu nilai Miyagi, aku akan tahu universitas apa yang mungkin ia lulusi. Lebih lanjut, akan tahu apakah ada kemungkinan kami bisa pergi ke universitas yang sama. Aku tidak memiliki hak untuk mengubah pilihan universitas Miyagi, dan aku juga tidak berniat memaksanya. Namun, aku ingin tahu hasil tesnya.

 

"Itu penting. Aku berencana jadi guru les saat masuk universitas, jadi ini buat referensi."

 

"Kedengarannya bohong."

 

"Serius, kok."

 

Aku berencana untuk melakukan semacam pekerjaan paruh waktu saat masuk universitas, tapi tidak terpaku hanya pada menjadi tutor. Meskipun begitu, menjadi tutor tetap menjadi salah satu pilihan, jadi bukan berarti itu sepenuhnya bohong. 

 

"Lihatkan dong," perkataanku sekali lagi, dan Miyagi dengan suara sungguh-sungguh tidak suka menjawab. 

 

"......Kalau kamu nggak ngomong apa-apa, aku tunjukin deh." 

 

"Maksudnya nggak ngomong apa?"

 

"Kayak, nilainya rendah banget sih, atau salah di bagian ini itu,"

 

"Aku kan nggak bakalan bilang begitu,"

 

"Ya udah, aku tunjukin." 

 

Wajahnya masih menunjukkan dia sebenarnya tidak

ingin menunjukkan apa-apa, tapi aku tidak punya pilihan selain percaya pada kata-katanya. Aku tidak menambahkan kata-kata seperti, itu janji ya, atau benar tidak kamu ngomong begitu, karena kalau aku terlalu menekan, dia mungkin malah akan merubah pikirannya dan memutuskan untuk tidak menunjukkan sama sekali. 

 

Aku berkata, "Aku cuma mau lihat doang, nggak akan ngomong apa-apa," sebelum aku memulai melihat buku teks. Setelah aku menyelesaikan beberapa soal, aku melirik ke samping dan melihat Miyagi, yang sebenarnya tidak melihat buku teks atau buku soal sama sekali. 

 

Dalam ruangan yang sunyi, terdengar suara ritmis jari mengetuk meja. 

 

Itu adalah suara yang dibuat oleh Miyagi, tidak mengganggu tapi cukup untuk membuatku merasa terganggu dan tidak bisa berkonsentrasi. Tentunya, orang yang membuat suara itu tampaknya juga tidak bisa berkonsentrasi. 

 

Ada apa sebenarnya. 

 

Belakangan ini, bahkan sebelum festival kultur, Miyagi adalah tipe yang belajar dengan serius. Tapi hari ini, aku tidak bisa merasakan semangat belajarnya. 

 

Ujian tengah semester sudah dekat. 

 

Aku akan kesulitan jika dia tidak belajar dengan serius. 

 

Saat aku hendak memanggil Miyagi, yang terus mengetuk meja dengan jarinya, dia yang lebih dulu memanggilku. 

 

"Sendai-san,"

 

"Apa?" 

 

Suara ketukan berhenti. 

 

Dan Miyagi juga menjadi tenang. 

 

Walaupun dia yang memanggilku, dia tidak berbicara apa-apa. 

 

"Miyagi?" 

 

Aku menatap Miyagi, yang tidak seharusnya memanggilku tanpa alasan. Setelah jeda sejenak, terdengar suara kecil. 

 

"......Kapan ulang tahun Sendai-san?" 

 

"Eh, milikku? Kenapa tiba-tiba?" 

 

Aku terkejut dengan pertanyaan yang tidak terduga itu. 

 

"Kenapa saja." 

 

"Kapan punya Miyagi?" 

 

"September. Sudah lewat. Lupakan saja aku, kasi tau aku kapan ulang tahunmu." 

Aku pikir akan ada keluhan seperti, aku tidak ingin memberitahu atau aku yang bertanya, tapi jawaban itu datang dengan mudah. Sikapnya seolah-olah tidak punya energi untuk mengeluh, dan aku pun memutuskan untuk jawab dengan jujur. 

 

"Hazuki." 

 

"Itu nama deh." 

 

"Bukan gitu. Satsuki, Minazuki, Fumizuki,"

 

menyebut nama bulan dari Mei secara berurutan dalam kalender kuno Jepang, sampai Miyagi menyadari bahwa 'Hazuki' tidak hanya merupakan nama tetapi juga memiliki arti lain. 

 

(Tln: Jepang juga mengenal penamaan bulan-bulan berdasarkan kalender lunar Jepang (Inreki 陰歴). Nama-nama bulan berdasarkan kalender Inreki, sampai saat ini masih digunakan dalam dunia sastra dan masih dikenal luas oleh orang Jepang:

 

 

1 睦月    Mutsuki    Januari

 2 如月    Kisaragi   Februari

 3 弥生    Yayoi      Maret

 4 卯月    Uzuki      April

 5 皐月    Satsuki    Mei

 6 水無月  Minazuki   Juni

 7 文月    Fumizuki   Juli

 8 葉月    Hazuki     Agustus

 9 長月    Nagatsuki  September

10 神無月  Kannazuki  Oktober

11 霜月    Shimotsuki November

12 師走    Shiwasu    Desember

Ya kira kira gitu yoweslah lanjutin aja )

 

"──Agustus?" 

 

"Iya, aku lahir di bulan Agustus, jadi Hazuki. Sederhana kan?" 

 

Dalam kalender Jepang, Agustus disebut "Hazuki." 

Jadi, aku yang lahir di bulan Agustus diberi nama Hazuki. Aku merasa tidak ada kekhususan dalam cara penamaan itu, tapi aku suka dengan bunyinya 'Hazuki'. 

 

"Jadi, kenapa tanya?"

 

Aku bingung dengan maksud di balik pertanyaan tentang tanggal lahir yang tiba-tiba ditanyakan, dan ketika aku menanyakan hal itu kepada Miyagi, dia tidak memberikan komentar tentang hubungan antara bulan lahir dan nama, atau bertanya tentang tanggal lahirku, dia hanya diam. Padahal dia yang minta tahu tanggal lahirku, reaksinya terasa sangat datar.

 

Situasi apa yang hanya membutuhkan bulan lahir ya? Miyagi hanya bilang Agustus lalu menunduk, jadi aku semakin bingung dengan alasan dia menanyakan tentang tanggal lahirku.

 

"Kalau nggak ada artinya, mending belajar aja," kata Miyagi. Walaupun dia mengatakan hal yang tidak jelas, dia jarang mengucapkan kata-kata tanpa makna. Jadi, aku pikir pasti ada maksud tertentu di balik pertanyaannya, tapi karena dia tidak menjawab, ya sudahlah.

 

Aku menundukkan kepala ke buku pelajaranku.

 

Namun, Miyagi, daripada belajar, tiba-tiba berdiri dan menarik sebuah kotak kecil dari laci meja.

 

"Ini, aku kasih ke kamu."

 

Dia meletakkan kotak itu di atas buku pelajaranku dengan suara yang tanpa emosi.

 

"Kasih, apa ini?" tanyaku sambil melihat kotak kecil di depanku.

 

"...Apa itu, sesuatu untuk dikasih."

 

"Aku tahu sih, tapi bukan itu. Kenapa tiba-tiba ada yang kayak hadiah gitu?"

 

"Ya udah, kan aku bilang aku kasih. Terima aja."

 

Sebenarnya, aku sudah tahu kotak itu buat apa tanpa harus bertanya. Aku hanya ingin mendapatkan konfirmasi dari kata-kata Miyagi.

 

"Ini, boleh aku anggap sebagai kado ulang tahun?"

 

Tidak ada gunanya menuntut jawaban yang benar, jadi aku yang mengatakannya.

 

"Kalau Sendai-san pikir begitu, ya sudah, itu kado ulang tahun."

 

Dia benar-benar tidak bisa jujur.

 

Kotak kecil itu dibungkus dengan rapi, seolah-olah berusaha mengatakan bahwa itu memang disiapkan khusus. Jika aku ditanya tentang tanggal lahir lalu kotak ini muncul, jelas sekali ini kado ulang tahun tanpa harus dikatakan. Aku tidak mengerti mengapa Miyagi tidak mengakui itu. Apalagi, aku tidak mengerti alasan dia menyiapkan kado ulang tahun untukku.

 

Menyiapkan kado untuk ulang tahun yang belum kutau samasekali itu aneh, dan kami tidak dalam hubungan yang biasa tukar-menukar kado ulang tahun.

 

"Kalau ulang tahunku belum datang, kamu mau ngapain?"

 

"Tidak apa-apa. Meskipun ini kado ulang tahun, tidak ada aturan yang bilang harus di hari itu kan."

 

"Pasti ada alasan kamu sampai mau kasih kado ulang tahun?"

 

"Kalau nggak mau, kembalikan saja."

 

Miyagi ngomong kasar dan, tanpa nunggu jawabanku, langsung mau ngambil kotak yang ada di atas buku pelajaranku, makanya aku langsung nyegat tangannya.

 

"Tunggu dong. Kalau aku kembaliin ini, bakal gimana?"

 

"Buang."

 

"Langsung aja bilang gitu. Enggak perlu dibuang kok."

 

"Aku enggak pake, dan nggak ada orang lain buat kuberi."

 

Misteri hadiah ulang tahun yang kayaknya enggak mungkin disiapkan tanpa alasan masih belum terpecahkan. Tapi, kayaknya aku nggak punya waktu buat santai-santai mikirin ini. Kalau aku terus-terusan ragu-ragu, Miyagi mungkin beneran bakal buang kotak sama isinya ke tempat sampah.

 

"Oke, aku terima deh, kasih sini."

 

Aku nyelametin kotak kecil dari tangan Miyagi, terus tanya.

 

"Boleh aku buka?"

 

"Kalau enggak buka, berarti aku kasih hadiahnya nggak ada gunanya."

 

Miyagi ngomong dengan nada yang kayaknya melemparkannya kepadaku. Melihat cara dia mangkel terus-terusan, sepertinya dia lagi nggak ada dalam mood yang baik.

 

Dia kayak orang yang ngemil cokelat kadar kakao sembilan puluh sembilan persen - mukanya bete gitu - sambil nyimak kotak yang udah dibungkus rapi. Ini pertama kali aku liat orang ngasih hadiah ulang tahun sambil muka bete. Mungkin Miyagi yang pertama dan terakhir.

 

Ini susah juga ya dibuka.

 

Nafas sedikit terhembus oleh tatapan menusuk. Aku pelan-pelan mengupas kertas bungkusnya dan

 

membuka kotak. Nah, di dalamnya ada kalung perak — mungkin lebih tepat disebut sebagai liontin, tapi apapun itu, intinya perhiasan.

 

Ada hiasan kecil yang motifnya bulan menggantung di sana, rasanya terlalu imut buatku. Sepertinya lebih cocok buat Miyagi sambil aku pegang dan melihat hiasan dan rantainya. Aku cek merknya, khawatir kalau-kalau ini mahal, tapi sepertinya bukan merk yang gitu.

 

Dari Miyagi, aku udah terima lima ribu yen. Mau hadiah ulang tahun atau bukan, rasanya aku nggak mungkin nerima barang lagi tanpa merasa bersalah.

 

"Aku bakal kasih sesuatu balik. Mau apa?"

Sambil ngembaliin liontin itu ke kotak, aku nanya.

 

"Enggak usah kasih apa-apa."

 

"Berarti apa aja boleh?"

 

"Enggak usah repot-repot kasih balik lah."


 



Miyagi berkata dengan nada yang terdengar lebih keras dari biasanya.

 

"Kau tahu, cara bicara itu bisa menyakitkan."

 

Memberi balasan atas kue yang diterima, atau mengembalikan buku catatan yang dipinjam dengan memberikan sedikit hadiah, adalah hal yang umum terjadi. Bahkan, bisa dibilang memberi balasan atas hadiah ulang tahun adalah sopan santun. Miyagi yang keras menolak terkesan tidak mengerti situasi. Atau mungkin, dia tidak akan menerima dari orang lain.

 

Misalnya, dari Utsunomiya.

 

Sepertinya lebih baik tidak terlalu memikirkannya, aku menutup kembali tutup kotak itu.

 

"Hanya aku yang akan memberikan sesuatu, dan kau, Sendai-san, tidak perlu. Daripada itu, kenakan ini sekarang. Ini perintah."

 

Seolah-olah, Miyagi kemudian membuka kembali tutup kotak yang telah kusemprot.

"Boleh saja. Tapi, bukannya orang yang

 

memberikannya yang seharusnya membantumu

memakainya?"

 

"Kamu sendiri yang memakainya."

 

"Orang biasanya bilang mereka akan membantu memakainya."

 

"Tidak akan aku katakan."

 

Meskipun aku sudah mengantisipasi, Miyagi berkata dengan nada dingin.

 

Hal seperti ini tidak menggemaskan.

 

"Begitu."

 

Bukan karena aku ingin dia membantuku memakainya, tapi cara bicara Miyagi tidak menyenangkan. Namun, berbicara apa pun padanya sekarang rasanya percuma. Jika berkata hal yang tidak penting, pasti akan ada perintah yang tidak menyenangkan ditambahkan.

Aku mengambil pendant dari dalam kotak.

 

Lalu, aku membuka clasp dan perlahan memasangnya.

 

"Sudah kupakai."

 

Sambil membelai permukaan pendant dengan ujung jariku, aku memandang Miyagi. Aku tidak membenci aksesoris, tapi karena tidak pernah memakainya bersama seragam sekolah, rasanya tidak nyaman di dada.

 

"Kau akan tahu jika melihat."

 

"Bukan itu. Tidak ada yang ingin kau katakan?"

 

"Boleh aku sentuh?"

 

"Katakan impresi tentangnya."

 

Bukan izin untuk menyentuh, tapi aku sudah meminta impresinya. Namun, tangan Miyagi, seolah-olah sudah biasa saja, meraih mendekat. Aku tidak mengharapkan dia akan mengatakan sesuatu yang menyenangkan seperti cocok atau tidak, jadi tidak mendapat respons sudah kutau. Tapi, aku tidak menyangka akan disentuh. Aku refleks menarik tubuh, tapi tangan Miyagi sudah menyentuhku lebih dulu.

 

Ujung jarinya menyusuri rantai dengan lembut.

 

Sentuhan ringan pada kulitku terasa menggelitik.

 

"Rantainya, agak panjang ya? Aku lebih suka yang lebih pendek."

 

Aku menangkap ujung jarinya, yang tidak begitu menyenangkan, dan mengeluh tentang hal yang sebenarnya tidak terlalu kusuka.

 

"Kalau lebih pendek dari ini, nanti terlihat saat di sekolah."

 

Miyagi menarik dan melepaskan rantai untuk memeriksa panjangnya.

 

"Kamu akan memakainya di sekolah juga?"

 

"Pakai sampai lulus."

 

"Kamu akan memakainya terus sampai lulus SMA?"

 

"Ya, terus-menerus. Baik di sekolah maupun di rumah, pakailah."

 

"Itu juga perintah?"

 

"Perintah."

 

Dengan suara yang tidak terlalu kuat tapi juga tidak lemah, Miyagi berbicara,

 

"Kalung ini hanya sebuah kalung. Tidak kelihatan seperti apa pun selain aksesori, dan aku pikir tidak ada masalah memakainya terus-menerus."

 

Tapi, dari kata-kata Miyagi, aku jadi paham. Ini pasti bukan hanya sekedar aksesori. Miyagi bukan tipe orang yang memberikan hadiah tanpa makna. Aku tidak mengucapkannya karena Miyagi akan dengan mudah mengiyakannya, tapi kalung ini terasa seperti sebuah tanda kepemilikan, hampir seperti kerah. Jika tidak, tidak akan ada batasan "sampai upacara kelulusan" untuk memakainya.

 

"Di luar lingkup perintah sekolah."

 

Meskipun hanya aksesori, pikiran tentang mendapatkannya dari Miyagi membuat aku merasa seperti sedang dicekik.

 

Hal-hal serupa sudah terjadi sebelumnya.

 

Seperti bekas ciuman atau gigitan.

 

Tapi, itu hanya bekas yang hilang seiring waktu, tidak seperti aksesori yang terus ada. Hadiah ini, meski hampir tidak terasa beratnya, terasa sangat berat.

 

Aku terkadang ingin melepasnya saat di sekolah.

 

"Lalu, buat aturan saja kalau memakainya itu cukup bagus. Sesekali, berkompromilah, Sendai-san."

 

Miyagi mengucapkan kalimat yang sama dengan yang aku katakan di ruang persiapan musik. Aku tidak pernah menyangka akan merasa ditusuk oleh kata-kata masa laluku sendiri.

 

"Kompromi? ...Kalau Miyagi meminta dengan baik, aku akan mendengarkan."

 

Menjadikan sesuatu yang dia pasti tidak akan lakukan sebagai syarat.

 

"Lalu, terserah. Mau pakai atau tidak, up to you."

 

"Miyagi. Kenapa tidak minta dengan baik di saat seperti ini?"

 

"Tidak mau."

 

Seperti yang kukira, Miyagi menarik kembali perintah yang sudah diucapkannya.

 

Sekarang, memakai atau melepas kalung itu menjadi pilihan bebas.

 

Melihat ke Miyagi, dia terlihat murung dalam diam di sampingku.

Dengan "Toon", ujung jarinya mengetuk meja.

 

Suara "Toon" terdengar sekali lagi, dan Miyagi mengambil kotak yang berisi kalung itu.

 

Mungkin dia menyesal telah memberikan hadiah itu.

Aku tahu.

 

Tidak perlu berkompromi.

 

Miyagi tidak meminta.

 

Oleh karena itu, perintah tidak berfungsi.

 

Aku tahu itu, tapi mulutku bergerak sendiri.

 

"...Kalau hanya memakainya sudah cukup, aku akan memakainya sampai upacara kelulusan, tapi kalau ketahuan dan disita, jangan salahkan aku."

 

Aku mengambil kotak kecil itu dari tangan Miyagi.

Aku sadar dan telah melakukan ini berkali-kali, tapi aku memang lemah terhadap Miyagi. Aku memilih untuk menerima perintah di luar lingkup dan terus memakai kalung itu.

 

"Kalau kamu melepaskan dua kancing teratas, aku rasa tidak akan kelihatan."

 

Miyagi berkata dengan tenang sambil melihat blusku.

"Sepertinya akan kelihatan."

 

"Coba kancing yang kedua itu."

 

Sesuai perintah, aku mengancingkan kembali blusku setelah melepaskan dua kancing, dan dengan hanya meninggalkan kancing paling atas terbuka, aku bertanya, "Tidak kelihatan kan?"

 

"Tidak apa-apa, tidak kelihatan."

 

"Kalau begitu oke."

 

"...Sendai-san. Jangan tunjukkan itu kepada siapa pun dari sekarang."

 

"Eh? Tidak menunjukkannya itu susah lho, ada olahraga dan pergantian pakaian."

 

"Pastikan hanya aku yang bisa melihatnya."

 

Tuntutan dari Miyagi bisa dibilang adalah sesuatu yang sangat tidak masuk akal. Memang aku bisa mencoba sebisa mungkin untuk tidak menunjukkannya, namun karena ada pelajaran di mana aku harus berganti pakaian, sulit untuk melalui hari tanpa menunjukkan kalung itu. Lagipula, sudah jelas jika kata-kata 'kecuali aku' itu menggantung di benakku. Artinya, Miyagi adalah pengecualian, dan aku langsung menyimpulkan sesuatu.

 

"Jadi, aku harus menunjukkannya ke Miyagi?"

 

"Kamu di sini selalu membuka dua kancing pertama

kok, jadi terlihat. Lagi pula, kalau diperintah, tunjukkan,"

 

"Kalau terlihat begitu saja, nggak perlu repot-repot perintah dong."

 

"Dia mau lihat lebih jelas."

 

"…Perintah itu, nggak aneh ke?"

 

Memerintahkan untuk membuka seragam bukan berarti meminta untuk menunjukkan kalung, jadi itu masih dalam batasan.

 

Namun, ada perbedaan psikologis besar antara "Aku membuka kancing secara sukarela sehingga terlihat"

 

dan "Diperintah untuk menunjukkannya dengan jelas".

Merasa harus menunjukkan hanya karena Miyagi bilang begitu, terasa seperti tindakan yang sangat

tidak pantas.

 

"Bukan, nggak aneh. Tunjukkan sekarang."

 

Hanya beberapa saat sebelumnya dia berkata untuk memasang kancingnya, dan sekarang dia memaksaku untuk membukanya.

 

"Kan emang aneh."

 

"Enggak seaneh kamu, Sendai. Lagian, kamu biasanya

membuka dua kancing, jadi diam-diam buka saja."

 

"Emangnya aku harus buka lagi?"

 

"Kalau nggak dibuka, nggak kelihatan."

 

Meski biasanya aku memang membuka dua kancing atas seperti yang Miyagi bilang, menyertakan kondisi untuk menunjukkan kalung membuatku merasa agak sulit untuk membukanya. Sementara aku ragu-ragu, Miyagi menambahkan, "Karena itu perintah."

 

"Ya sudah, aku buka."

 

Membuat sesuatu yang sepele jadi terkesan besar hanya akan membuatnya berlebihan, jadi dengan rasa pasrah, aku membuka kancing yang baru saja kusematkan.

 

"Ini cukup?"

 

Aku bisa merasakan pandangan Miyagi di dada ku.

Aku tahu dia sedang melihat kalung itu, tapi daerah tulang selangkaku terasa geli.

 

"Kayaknya nggak perlu terlalu diperhatiin gitu deh."

 

"Aku hanya melihat apa yang aku berikan, aku bebas melihatnya sebagaimana adanya."

 

"Jadi kamu sengaja siapin hadiah itu karena mau lihat ini?"

 

Membuka kancing untuk melihat dada.

 

Tidak aneh jika ada alasan lain dibalik pemberian kalung selain sebagai pengganti kalung.

 

"Untuk apa aku menyiapkannya, kamu nggak perlu tahu."

 

Miyagi dengan tenang berkata, dan menambahkan,

 

"Lagi pula."

 

"Kancing, buka satu lagi."

"Kan sudah kelihatan dalam kondisi ini, cukup lah."

 

"Tak bisa dilihat dengan jelas."

 

"Kamu terus memandang, kan?"

 

"Aku ingin melihat lebih dekat lagi. Ini perintah, dengarkan."

 

Secara dasar, tiga kancing paling atas itu bukanlah yang biasa dibuka.

 

Namun, Miyagi hari ini sepertinya tidak akan menyerah.

 

Dasar-dasarnya memang seperti itu, tapi ada kalanya perlu diaplikasikan secara berbeda, atau ada pengecualian, jadi untuk hari ini, aku bisa membuka kancing ketiga untuknya. Meskipun aku merasa dia tidak hanya ingin melihat kalung, tapi menghindari tawar-menawar juga merepotkan.

 

"Baiklah."

Dengan respons yang agak acuh tak acuh, aku melepas dasiku. Setelah membuka kancing ketiga, tangan Miyagi meraih ke arahku. Ujung jarinya menyentuh blouseku, tapi ia tidak membuatnya sangat terbuka. Namun, dibuka cukup lebar agar kalung itu bisa dilihat.

 

Aku sudah sering dilihat dalam pakaian dalam dan kulitku, jadi tidak ada hal yang harus kurasakan malu.

 

Namun, di suatu tempat di dalam hatiku, aku merasa tidak tenang, seolah mengambang di udara.

 

Miyagi meraih rantai itu dengan jarinya.

Seperti menghitung cincin kecil yang terikat, tangannya yang menyentuh dengan perlahan terasa menggelitik.

 

Berat badan bertumpu pada tangan yang sedang mengusap rantai itu.

 

Saat menyentuh kalung, tangan yang seolah hanya menyentuh kulitku, mendorongku sehingga aku kehilangan keseimbangan. Kemudian, tubuh Miyagi menutupi tubuhku, mendorongku ke lantai.

 

"Ei, Miyagi. Itu sakit."

 

Meski tidak jatuh dengan kuat, tapi karena terjatuh dengan cukup kencang, punggung dan bahu aku rasanya sakit. Namun, Miyagi tidak mengatakan apa-apa dan mendekatkan wajahnya ke dada aku. Lalu, dia mencium pendant di kalung aku.

 

Perhiasan itu kecil dan menciumnya hampir sama seperti mencium dadaku, tapi bisa dilihat dari cara bibirnya ditekan bahwa itu adalah ciuman yang dimaksud untuk menyentuh benda kecil itu.

 

Bukan berarti seluruh berat badannya diletakkan di bibir aku.

 

Tapi, itu terasa berat.

 

Menyesakkan.

 

Bagian yang tersentuh bibirnya terasa terlalu panas tanpa alasan.

 

Miyagi tampak tenang, melakukan hal seperti ini pada aku.

 

Aku merasa dia tidak memikirkan bagaimana perasaan aku.

 

Tarik napas, buang napas.

 

Hanya bernapas saja menjadi sesuatu yang sulit, saat aku menarik rambutku yang ada di dada, Miyagi mengangkat wajahnya.

 

Kali ini, jari-jarinya menyentuh rantai kalung itu.

 

Melihat tindakannya, aku menyadari pemikiran aku benar. Baik sebelum maupun setelah mencium pendant, Miyagi tidak mengatakan apa-apa, tetapi tindakan seperti ini tidak bisa dipikirkan selain sebagai klaim kepemilikan. Lebih dari itu, aku merasa ini adalah tindakan klaim kepemilikan seperti yang belum pernah ada sebelumnya.

 

Mungkin, pasti, mungkin, tidak, pasti pendant ini berarti, "Sendai Hazuki adalah milik Miyagi sampai upacara kelulusan."

 

Sungguh, aku bingung harus berkata apa.

 

Aku tidak ingin mengatakannya pada orangnya, tapi aku menerima hadiah ini. Meskipun terasa sesak atau merepotkan, aku tidak merasa kesal.

 

"Miyagi, sudah cukup ya," kataku tanpa menemukan kata-kata yang tepat dan menepuk punggungnya, tapi Miyagi tidak bergeser. Malahan, dia mencium pendant itu sekali lagi. Lalu, ujung jarinya menyentuh hiasan kecil itu. Jari itu tanpa terhindarkan juga menyentuh kulit aku.

 

Rasanya geli.

 

Bukan sesuatu yang membuat aku tertawa, tapi kulitku merasa gatal.

 

Jari yang menyentuh pendant tersebut menekan kulit aku dengan lembut.

 

Dinginnya hiasan bulan dan kehangatan tubuh Miyagi bercampur bersama mengalir ke aku.

 

Aku teringat tentang hari terakhir liburan musim panas.

 

Ujung jari tersebut, bersama dengan kenangan hari itu, membawa emosi yang bukan hanya rasa geli.

 

Miyagi mencoba untuk membuka kancing keempatku tanpa izin.

 

Aku merasa ini berbahaya.

 

Emosi yang seharusnya tidak aku arahkan kepada Miyagi saat itu semakin membesar, dan aku menahan tangannya.

 

"Miyagi, stop. Lebih dari ini berbahaya,"

 

"Karena melanggar aturan, harus berhenti gitu?"

 

"Itu juga, tapi aku mungkin kehilangan kendali,"

 

Aku hanya bisa mengabaikan hal-hal seperti ini sampai sekarang, dan jika ini tidak dihentikan, sesuatu yang buruk mungkin terjadi pada kami. Aku tidak percaya pada kontrol diriku. Saya harap Miyagi juga menyadarinya, jika tidak, itu tidak akan baik bagi kita berdua.

 

"Apa sih kontrol dirimu itu? Jangan sembarangan buang itu, ikatlah supaya tidak kemana-mana,"

 

"Itu agak sulit, tahu,"

 

"…kenapa kamu terlihat tidak yakin gitu?"

 

Miyagi berkata dengan tampak agak kecewa.

 

"Tapi, meskipun kamu bilang begitu, aku juga tidak tahu. Aku bahkan tidak mengerti mengapa Miyagi masih percaya pada rasionalitasku di saat-saat seperti ini. Jadi, jawabanku jadi sembarang saja."

"Aku juga bingung sendiri, jadi Miyagi, tolong jaga dirimu sendiri ya."

 

Setelah aku berkata seperti menyalahkan, Miyagi menjadi diam.

 

Ia tampak sedang berpikir, kerutan muncul di antara alisnya.

 

Setelah mengerutkan wajah seolah menyelesaikan masalah sulit selama sekitar sepuluh detik, ia akhirnya berbicara dengan tenang.

 

"Bagaimana kalau aku membuka satu kancing lagi sebagai gantinya kamu boleh menciumku?"

 

Kesimpulan yang ditawarkan Miyagi membuatku tak bisa berkata-kata, karena aku tidak pernah menduga ia akan mengatakan hal seperti itu.

 

Aku mengunyah kata-katanya dalam pikiranku.

 

Dan memastikan apakah aku telah memahaminya dengan benar.

"––Jadi, aku boleh mencium Miyagi?"

 

"Ya."

 

Aku tidak menyangka tawaran semacam ini akan muncul.

 

Tombol keempat itu, aku pernah membukanya di depan Miyagi sebelumnya.

 

Ini bukan kondisi yang membuatku ragu.

 

"Boleh, aku akan membukanya."

 

Harusnya aku menghentikan Miyagi karena berpikir ini akan berakhir dengan sesuatu yang buruk.

 

Aku merasa apa yang kukatakan bukanlah sesuatu yang seharusnya aku ucapkan.

 

“Sendailah yang membukanya sendiri.”

 

"Baiklah."

 

Aku membuka kancing keempat seperti yang diminta.

 

Saat jari-jari Miyagi menyentuh perutku, tubuhku sedikit tegang.

 

Telapak tangannya menekan dengan lembut.

 

Itu hangat secara meresap, namun bukanlah kehangatan yang menenangkan, melainkan membuat napasku tertahan sejenak, seolah panasnya sampai ke organ dalam, aku menahan pergelangan tangannya.

 

Namun, aku tidak merasakan adanya niat dari Miyagi untuk bergerak lebih jauh ke bawah. Ia dengan lembut mengusap ke samping perutku dan kemudian melepaskan tangannya.

 

"Kamu boleh menciumku."

 

Miyagi berkata dengan suara kecil. Aku sedikit mengangkat tubuhku dan menyentuh lehernya. Aku menggeser tanganku ke belakang lehernya, menariknya agar wajah kami semakin dekat. Meskipun belum lama sejak kami terakhir kali berciuman, aku tidak bisa menahan diri untuk segera merasakannya lagi, hingga ciuman itu terasa agak mendesak. Aku merasakan sensasi lembut yang sudah lama ingin aku rasakan lagi, dengan perlahan menggigit bibirnya.

 

Miyagi, yang biasanya akan mendorong tubuhku agar cepat berpisah, kali ini anehnya bersikap tenang.

 

Sepertinya aku bisa terlepas hanya dengan membuka satu kancing blusnya, sehingga aku melepaskan ciuman dan mulai melonggarkan dasinya.

 

Miyagi tidak menolak. Membuka satu kancing tampaknya tidak menjadi masalah, dan aku mendekatkan bibirku ke lehernya. Namun, sebelum aku menciumnya, aku didorong dengan cukup kuat sehingga tubuhku kembali ke lantai.

 

"Selesai," katanya dengan tegas, dan Miyagi bangkit.

 

"Cepat sekali, ya?"

 

 

"Kalau begitu, aku juga boleh melakukan sesuatu yang lebih dari sebelumnya, kan? Karena ini adalah kesepakatan, jika Sendai-san akan menciumku lagi, aku juga akan melakukan sesuatu."

 

"Kamu tidak bilang ciuman hanya satu kali, kan?"

 

"Meskipun tidak dikatakan, tetap saja hanya satu kali."

 

"Bukankah itu sewenang-wenang?"

 

"Aku hanya menyentuh sedikit, menurutku itu setara dengan satu ciuman."

 

Miyagi mengungkapkan ketidakpuasannya dengan suara yang tidak bisa disembunyikan, sambil mengancingkan kembali kancing blusnya.

 

"Baiklah. Selesai saja."

 

Aku merasa jika terus berargumen, aku mungkin akan diberi perintah yang tidak diinginkan. Bukan berarti aku ingin melakukan lebih dari ini. Aku hanya ingin bisa bersentuhan sedikit lebih lama jika diizinkan.

 

Aku dengan malas-malasan bangkit. Saat aku mencoba mengancingkan kembali kancing yang masih terbuka, tangan Miyagi mencapai dan mulai mengancingkan untukku. Satu demi satu, semua kancing diancingkan hingga ke atas.

 

"Ini terasa sesak, tau."

 

Ketika aku mengeluh, aku mendapatkan jawaban yang acuh tak acuh.

 

"Biarkan saja."

 

"Perintah?"

 

"Bukan perintah."

 

Miyagi berkata dengan nada kesal dan berjalan menuju meja. Aku merasa sesak, jadi aku membuka satu kancing dan mengikat dasiku lagi.














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !