Bab
5:
Sendai-san
Itu Orang Egois
Aku melihat ke kertas ujian yang aku letakkan di atas meja
tulis. Hasilnya tidak buruk, malah bisa dibilang membaik. Tapi, nilainya masih
belum cukup untuk bisa masuk ke universitas yang sama dengan Sendai-san.
Segera Sendai-san akan datang ke ruangan ini dan melihat
kertas ujian ini, dan dia pasti akan memiliki pendapat yang sama.
Sejak awal aku tahu itu bukan universitas yang bisa aku masuki
hanya dengan sedikit belajar, dan aku tidak pernah berpikir bisa mengejar
Sendai-san. Jadi, ini adalah hasil yang wajar. Aku tidak terlalu kecewa, hanya
merasa sedikit berat, mungkin karena cuacanya yang buruk.
Aku memalingkan pandangan ke luar jendela. Hujan yang mulai
turun sejak siang masih berlanjut. Langit gelap, cuaca yang membuat mood turun.
Sendai-san sudah bilang akan sedikit terlambat saat aku menghubunginya, jadi
dia belum datang.
Untuk menghabiskan waktu, aku mengambil smartphone dan melihat
brosur digital universitas.
Setelah beberapa halaman, aku menghela nafas.
Brosur di layar bukanlah untuk universitas pilihanku,
melainkan universitas pilihan Maika. Aku sudah melihatnya berkali-kali, jadi
hampir hapal isinya.
Meski bukan seberat universitas pilihan Sendai-san, itu adalah
universitas yang akan membuat guruku berpikir keras jika aku bilang ingin
mendaftar beberapa waktu lalu. Tapi sekarang, itu bukan lagi universitas yang
aku anggap mustahil untuk dicoba, dan letaknya dekat dengan universitas pilihan
Sendai-san.
Masih ada waktu. Aku tidak terbatas hanya pada universitas di
daerahku. Setelah aku menelusuri brosur hingga halaman terakhir, aku
menutupnya. Lalu, meski aku tahu tidak akan ada perubahan, aku menampilkan
brosur universitas yang akan Sendai-san masuki. Aku sudah melihatnya beberapa
kali dan isi brosurnya tidak akan berubah hanya karena aku melihatnya hari ini,
jadi aku hanya melewatinya secara mekanis sebelum akhirnya menutupnya.
Aku meletakkan smartphone di atas meja. Dari dalam pena case,
aku mengambil salah satu dari dua penghapus, penghapus yang Sendai-san
kembalikan kepadaku dengan susah payah memanggilku keluar saat di sekolah.
Kenangan bersama dia pasti akan bertambah, dan mungkin beberapa di antaranya
akan menjadi kenangan. Berbeda dengan penghapus, kalung yang aku berikan
sebelum ujian tengah semester juga sepertinya akan menjadi salah satu dari
kenangan itu.
──Meskipun bukan hal
yang baik.
Kalau mau meninggalkan kenangan, aku hanya ingin itu tersimpan
dalam ingatan Sendai-san saja.
Aku tidak ingin itu tersisa dalam diriku.
Meskipun begitu, melakukan sesuatu yang akan tersimpan dalam
ingatan Sendai-san berarti juga akan tersimpan dalam diriku sendiri. Entah itu
berbentuk fisik atau tidak, ingatan tentang Sendai-san terus bertambah dalam
diriku. Bahkan pada sebuah
penghapus pun, bayangan Sendai-san telah melekat.
Padahal aku tidak berniat menambah kenangan bersamanya, tapi
entah kenapa aku terus melakukan hal-hal seperti itu. Aku sudah memutuskan
bahwa aku tidak akan mengubah hari terakhir bersama Sendai-san. Tapi aku malah
melakukan hal-hal yang tidak penting seperti melihat brosur universitas yang
tidak mungkin aku masuki, rasanya ingin aku buang saja diriku ini.
Seharusnya aku tidak memanggil Sendai-san hari ini.
Aku menghela napas, memikirkan hal-hal yang sudah tidak bisa
diubah lagi, ketika bel pintu berbunyi.
Tanpa perlu memeriksa, aku sudah tahu siapa yang
datang.
Aku menyimpan penghapus kembali ke kotak pensil dan membuka
kunci pintu masuk. Tak lama kemudian, Sendai-san datang ke ruanganku.
"Hari ini dingin, ya," kata Sendai-san sambil
bersin.
Sudah mendekati akhir Oktober dan seragam telah berganti dari
seragam musim gugur ke seragam musim dingin. Mengingat cuaca hari ini, tidak
heran jika Sendai-san yang biasanya tidak tahan panas mengatakan kalau dia
merasa dingin.
"Hujannya parah?"
"Sudah jadi gerimis."
"Bahunya basah. Pinjamkan blazermu."
Aku mengulurkan tangan, dan Sendai-san melepas
blazernya yang sedikit basah sambil membuka kancing kedua
blusnya. Aku bisa melihat kalung di lehernya.
Aku ingin menyentuhnya, tapi aku hanya menerima blazernya dan
menggantungnya di hanger. Lalu, aku menuju ke dapur.
Aku membuka lemari es, melihat pot, dan memastikan masih ada
air panas. Aku mengambil sebuah kantong teh dari rak dan membuat teh. Aku
mengambil soda untuk diriku sendiri dari lemari es dan kembali ke ruangan,
dimana Sendai-san sudah duduk di tempat biasanya.
Aku meletakkan cangkir di atas meja, dan suara ceria
terdengar.
"Ini, teh?"
"Kalau mau soda, minum saja soda."
"Aku mau teh. Makasih."
Sendai-san tersenyum gembira kepadaku. Aku menoleh, mengambil
kertas ujian dari meja tulis.
Meski enggan, aku telah berjanji akan menunjukkannya, jadi aku
meletakkannya di atas meja bersama uang lima ribu rupiah dan duduk di sebelah
Sendai-san.
"Nah, ini dia."
Sendai-san yang sedang minum teh menaruh cangkirnya dan
berkata terima kasih sambil menyimpan uang lima ribu itu. Kemudian, dia
mengambil kertas ujian itu.
"Kamu akan menunjukkan tesnya padaku?"
"Kan kamu yang minta dilihat."
"Memang, tapi aku tidak menyangka kamu benar-benar akan
menunjukkannya."
"Kalau tidak mau lihat, kembalikan saja."
Aku mengulurkan tangan, tapi kertas tes itu tidak kembali,
begitu pula kata-katanya.
Sendai-san terdiam, hanya menatap kertas tes itu.
"Kamu tidak akan berkata apa-apa?"
"Kan kamu yang bilang jangan bicara apa-apa,
Miyagi."
Memang aku sudah bilang, tapi merasa aneh kalau hanya
diperiksa nilai dan isi tes tanpa dikatakan apa-apa. Kalau dikomentari satu per
satu, rasanya bisa jadi down, tapi kalau tanpa kata-kata baik atau buruk juga
bikin hati ini gundah.
"Bisa ngomong kok, kasih tahu dong sedikit."
"Enggak tahu nilai sebelumnya sih, tapi kayaknya, sudah
jauh lebih baik ya?"
"Iya, sudah."
"Masih mau belajar lagi?"
"Enggak. Dengan ini kayaknya masuk universitas gampang
deh. Udah cukup kali ya."
Aku merebut lembaran tes dari Sendai-san.
"Mau lihat punyaku juga?"
"Dibanding tes, lebih pengen lihat kalungnya."
Aku menarik seragam Sendai-san yang sedang mencoba membuka
tasnya.
"Mau lihat kalung, itu perintah?"
"Iya."
"Sebenarnya, kalau berbicara tentang klasifikasi,
aksesoris yang ada liontinnya itu disebut pendant, bukan kalung."
"Apapun itu, sama aja."
"Mungkin ya, masalah perasaan kali ya."
Sendai-san berkata dengan nada acuh tak acuh sambil melihatku.
"Silakan, lihat sepuasnya."
Suara yang terdengar terasa sangat tidak peduli, tapi karena
itu adalah perintah, tidak ada masalah.
Aku menyentuh kancing ketiga blus yang bisa dilepas, dan bisa
tidak dilepas.
Tangan Sendai-san mencoba memegang lenganku, tapi segera
ditarik kembali.
Rupanya, kancing ketiga itu boleh untuk dibuka.
Aku ingin melihat kalungnya lebih dekat, jadi aku melepas
dasinya dan membuka kancing itu. Meski tidak membuka bagian dada terlalu lebar,
tapi pakaian dalamnya terlihat. Tentu saja aku tidak bisa menyentuh itu, jadi
aku menyentuh kalungnya.
"Geli."
"Sabar ya."
Dasinya dikembalikan.
Kalung ini adalah janji untuk dipakai sampai lulus.
Aku sedikit menarik rantai kalungnya.
"Miyagi, kasar."
"Sendai-san, diem dong. Diam sebentar ya."
"Iya-iya."
Aku menyusuri rantai kalung dengan ujung jari.
Akhir-akhir ini, Sendai-san terlalu seenaknya.
Dia memanggilku ke sekolah, menciumku.
Dia mencoba melakukan sesuatu yang tidak kuperintahkan.
Aku tidak keberatan berciuman dengan Sendai-san, tapi kalau
dia bilang ingin melakukannya di sekolah, itu lain cerita. Sendai-san harus
menurutiku, dan dia tidak seharusnya bilang ingin melakukan sesuatu dari
dirinya sendiri. Kalau kita melakukan sesuatu, itu membutuhkan imbalan, dan
yang memberi hanya aku.
Bukan Sendai-san.
Yang bisa memerintah setelah memberikan sesuatu adalah aku,
dan Sendai-san hanya bisa menurut. Aku harus membuatnya jelas.
Batas waktunya sampai lulus.
Selama itu, tidak perlu mendengarkan apa yang dikatakan orang
lain seperti Ibaraki-san.
Sendai-san hanya perlu melihat aku saja, dan hanya aku yang
boleh menyentuhnya.
"Sudah puas?"
Sendai-san tampaknya bosan diam dan menekan keningku sambil
terus menyentuh kalungnya.
"Sendai-san, bisa kancingin lagi."
"Miyagi, apa syarat tukarnya?"
Sendai-san mengingatkan tentang hari dia memberikan kalung
itu.
Hari itu, aku mendapatkan hak untuk membuka kancing
keempatnya, dengan memberikan hak kepadanya untuk menciumku. Tapi, hari ini aku
hanya membuka tiga kancing, dan tidak berencana meminta lebih.
"Kita enggak sedang menetapkan syarat tukar apa-apa
kan?"
"Kupikir kamu akan melakukannya."
"Enggak. Kancingin lagi."
"Kasih syarat tukarnya dong."
Aku bingung apakah kata-kata Sendai-san itu serius atau tidak.
Sepertinya dia bisa saja mengatakan itu hanya candaan dan seolah-olah tidak
pernah terjadi.
Bahkan kata-katanya sebelum tes bahwa dia kehilangan akal
sehatnya, terlihat seperti hanya lelucon. Sama sekali, aku tidak merasa ada
sesuatu padaku yang bisa membuatnya kehilangan akal
sehatnya.
"Tidak mau."
Aku tahu apa yang dia inginkan, dan aku menolak.
Aku tidak keberatan dicium, tapi aku jadi benci karena tidak
keberatan. Aku bisa menciumnya jika dia memerintahkannya. Tapi, pasti dia akan
bilang aku ingin mencium karena aku memerintahkannya, makanya aku tidak ingin
melakukannya.
Lagipula─.
Aku khawatir jika kita terus berciuman, dia akan bosan
menciumku.
Aku memasang kembali kancing ketiganya dan memberikan perintah
yang dia tidak minta.
"Bacakan buku."
"Bagaimana dengan belajar?"
"Aku akan melakukannya setelah selesai."
Tanpa mengatakan "oke" atau "ya ya",
Sendai-san berdiri sambil mengikat dasinya dan berdiri di depan rak buku.
"Yang mana yang bagus?"
"Yang Sendai-san suka saja."
"Yang aku suka, ya."
Setelah gumaman yang terdengar seperti bicara sendiri, aku
mendengar suara bersin kecil.
"Kamu kena flu?"
"Hanya ada yang ngomongin aku."
Sendai-san tampak tidak tertarik dan berkata demikian,
kemudian membawa sebuah buku komik.
◇◇◇
Pemanggilan biasanya ditolak dengan pesan yang berbeda dari
biasanya.
Akibatnya, aku jadi harus pergi ke rumah Sendai-san.
"Kena flu jadi tidak masuk sekolah hari ini, jadi tidak
bisa."
Aku hanya membalas dengan mengerti, meski di kepala terus
terngiang bersin Sendai-san yang kudengar tiga hari lalu.
Kalau penyebab absennya itu bersin-bersin di hari hujan itu,
mungkin aja dia bakal bolos sekolah beberapa hari. Sebenernya, berapa lama pun
dia absen bukan urusan aku. Aku cuma jadi penasaran apakah dia baik-baik saja
karena belum pernah liat Sendai-san bolos sekolah sebelumnya.
Lagian, mendengar dia sakit dan terbaring di rumah yang
keluarganya kayaknya nggak terlalu akur itu terdengar menyedihkan. Aku nggak
tahu mana yang lebih berat, terus terang sakit sendirian di rumah atau
situasinya itu sendiri, tapi yang pasti situasinya nggak menyenangkan.
Aku tahu kedatanganku nggak akan mengubah situasi apa-apa.
Tapi, setidaknya aku bisa bawa sebotol air minum atau makanan. Aku nggak yakin
itu akan membantu banyak, tapi lebih baik daripada nggak sama sekali.
Aku udah menghabiskan waktu lebih dari setahun bersama
Sendai-san, jadi nggak aneh kalau aku mau menjenguk. Aku punya perasaan, jadi
wajar dong kalau aku khawatir. Jadi, nggak ada yang aneh dengan itu.
Sambil mengingat-ingat jalan yang pernah aku lalui bersama
Sendai-san di musim panas, aku menuju ke rumahnya.
Aku masih ingat percakapan kami dengan jelas, tapi karena aku
belum pernah ke rumahnya sejak itu, aku nggak yakin apakah aku ingat jalan
dengan benar.
Di tengah jalan, aku melihat sebuah minimarket yang pernah
kami singgahi bersama dan memutuskan untuk masuk.
Aku langsung ambil botol teh dan yogurt, memasukkannya ke
dalam keranjang.
Hmm, apa aku perlu yang buat ditempel di dahi ya?
Setelah ragu-ragu, aku juga masukkan lembaran pendingin yang
ditempel di dahi ke dalam keranjang.
Mengingat hubungan Sendai-san dengan ibunya,
barang-barang seperti ini mungkin akan berguna.
Setelah membayar, aku keluar dari minimarket.
Karena aku nggak memberi tahu kalau aku akan datang, bisa jadi
aku nggak akan bertemu siapa-siapa.
Tapi, kakiku tetap melangkah. Setelah berjalan sekitar lima
menit, aku sampai di rumah yang terlihat familiar.
Di depan pintu, aku mulai menyesal.
Aku nggak bisa hanya mengirim pesan dan memanggil orang sakit
keluar. Jadi, satu-satunya cara untuk masuk adalah dengan menekan bel pintu
ini.
Mungkin ayah Sendai-san nggak ada di rumah karena kerja, tapi
aku nggak yakin tentang ibunya. Dia mungkin kerja, atau mungkin juga nggak.
Sendai-san nggak pernah ngomong soal itu, dan dia juga nggak pernah membuka
pembicaraan tentang itu. Tapi, kemungkinan besar yang akan menjawab interkom
adalah ibunya. Kemungkinan Sendai-san yang sakit akan keluar sangatlah kecil.
Imajinasiku tentang ibunya nggak terlalu baik.
─ Mungkin aku harus
pulang saja.
Di depan pintu, sambil melihat tas belanjaan dari minimarket.
Aku tarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya.
Aku memutuskan kalau nggak ada yang menjawab setelah aku
menekan bel sekali, aku akan pulang.
Aku letakkan jari telunjukku di atas tombol bel dan memberikan
tekanan.
Bel berbunyi, lalu keheningan.
Tidak ada yang menjawab.
Mungkin ayah dan ibunya sedang kerja, dan di rumah nggak ada
siapa-siapa selain Sendai-san.
Mungkin aku memang harus pulang.
Saat aku hendak berbalik meninggalkan pintu masuk, dari
interkom terdengar suara wanita yang bukan milik Sendai-san. Meskipun ini
pertama kali aku mendengarnya, aku yakin itu pasti ibunya Sendai-san.
Aku jadi ingin langsung putar balik dan pulang.
Tapi, sebagai siswa SMA, tidak mungkin aku hanya menekan bel
interkom lalu lari dan pulang. Sambil gugup, aku menyampaikan bahwa aku datang
untuk menjenguk. Pintu depan pun terbuka dan munculah ibu Sendai-san yang aku
lihat saat liburan musim panas.
Dengan suara yang tidak terlalu ramah, dia menyuruhku masuk,
dan aku berterima kasih lalu menuju ke kamar Sendai-san.
Naik tangga, dan di depan dua pintu yang berdampingan.
Aku hendak mengetuk, tapi menghentikan tanganku.
Sampai di sini, aku merasa ini adalah penyesalan terbesar yang
kualami tahun ini.
Entah kenapa, aku datang tanpa alasan yang jelas, tanpa
memberi tahu terlebih dahulu. Sendai-san mungkin akan marah karena aku datang
ke rumahnya tanpa izin, atau mungkin dia tidak akan membiarkanku masuk ke
kamarnya.
Seharusnya aku tidak menekan interkom itu.
Aku memutuskan untuk meninggalkan barang yang kubeli dan
pulang, dan menggantungkan tas belanjaan di gagang pintu. Namun, karena gugup,
botol minuman di dalam tas tersebut menabrak pintu dan mengeluarkan suara yang
cukup keras. Sambil bingung memikirkan apa yang harus dilakukan, pintu terbuka.
"...Kenapa Miyagi ada di sini?"
Sendai-san, yang mengenakan piyama, berkata.
"Aku lagi mau pulang."
Aku berbalik membelakanginya.
"Eh, tunggu. Ini gimana sih?"
"Enggak apa-apa kok, jangan dipikirin."
Tanpa menoleh, aku menjawab dan berjalan di koridor.
Saat aku hendak turun tangga, Sendai-san yang tampaknya telah
keluar ke koridor, menarik ujung seragamku. Mungkin karena sedang flu,
tenaganya tidak kuat. Namun, rasanya tidak enak untuk lari meninggalkan orang sakit,
jadi aku berhenti.
"Meski kamu bilang jangan dipikirin, aku tetap penasaran.
Enggak mungkin Miya-san ada di rumahku tanpa alasan."
Tampaknya Sendai-san tidak terlalu pusing karena flu. Dia
mulai memperhatikan hal-hal kecil yang sebenarnya tidak ingin dia temukan.
"Apa ini? Miyagi yang bawa?"
Sendai-san menunjuk tas belanjaan yang tergantung di gagang
pintu.
"Itu, aku kasih ke Sendai-san."
"…Makasih. Jangan-jangan, kamu bawa ini sebagai bentuk
menjenguk?"
"Bukan begitu sih."
"Bukan begitu tapi kamu datang ke rumahku?"
Aku memang datang dengan alasan itu, tapi aku tidak ingin
mengatakannya. Jadi, aku hanya bisa diam.
Koridor yang tidak familiar itu tiba-tiba menjadi sangat sepi,
dan Sendai-san berkata dengan nada keheranan.
"Masuk ke kamar dulu aja."
Saat aku tengah mencoba melepaskan tas belanja dari pintu,
Sendai-san menahan seragamku, membuatku tak punya pilihan selain masuk. Dengan
seragamku yang dijadikan sandera, aku melangkah masuk ke kamar Sendai-san
dengan langkah berat dan menutup pintu.
Ada lemari buku, sebuah tempat tidur, dan meja. Semuanya
terlihat rapi, tak berbeda jauh dari saat liburan musim panas. Aku melihat
sebuah celengan besar di atas lemari, yang bisa menampung ratusan ribu yen
hanya dengan koin lima ratusan. Celengan itu tidak ada saat aku terakhir kali
datang.
Melihat Sendai-san lebih dekat, dia tampaknya tidak memakai
makeup hari ini. Rambutnya juga tidak dikepang seperti biasa. Namun, dia tetap
memakai kalungnya. Dan, entah karena tidak ada di rumah atau demamnya sudah
turun, keningnya tidak terlihat dingin.
"Sendai, duduk saja di sana. Aku akan membawa
sesuatu,"
"Minum dan makanan sudah ada di tas itu," Sendai-san
menjawab saat aku menunjuk ke tas belanja yang aku letakkan di samping tempat
tidur.
"Aku yang akan mengambilnya," ujarku, mencoba
menghentikannya saat dia hendak keluar dari kamar.
"Tidak perlu, kamu kan sakit. Aku juga tidak akan
lama,"
"Tidak akan lama sampai kapan?" tanya Sendai-san,
sambil duduk di tepi tempat tidur, mungkin berpikir aku akan pergi saat dia
meninggalkan kamar.
"Aku bisa pulang sekarang juga."
"Kamu tidak bisa tidur terus, jadi lebih baik kamu
menemani aku ngobrol."
"Aku tidak punya banyak hal untuk dibicarakan."
"Kamu tidak perlu bicara, cukup tinggal sebentar
lagi," kata Sendai-san dengan suara lembut. Suaranya tidak berubah, tapi
dia terlihat sangat seperti pasien tanpa makeup dan dalam piyama, membuatku
merasa buruk jika meninggalkannya begitu saja.
"Demamnya bagaimana?"
"Masih ada."
"Kamu harus mendinginkan kepalanya. Ada di dalam tas
itu," kataku, menunjuk ke tas belanja yang berisi lembaran pendingin di
tempat yang sedikit jauh dari tempat tidur.
"Kamu yang tempelkan."
"Tempelkan sendiri. Kamu bisa melakukan itu meskipun
sedang sakit," mencoba bersikap dingin.
"Kamu tidak terlalu dingin untuk orang sakit?"
"Kamu demam, jadi sedikit dingin itu bagus,"
jawabku. Aku tidak secara langsung mengakui bahwa aku datang untuk menjenguk,
tapi tidak ada keraguan bahwa aku datang untuk melihat keadaannya. Namun, aku
merasa tidak perlu bersikap terlalu baik.
"Hari ini kamu bisa mendengarkan aku, kan?" kata
Sendai-san, sambil melempar kotak yang berisi lembaran pendingin ke arahku.
Kotak itu menggambarkan parabola dan jatuh di depanku.
"Itu berbahaya, tau."
"Tempelkan, aku kan sedang sakit," kata Sendai-san
seolah-olah itu adalah haknya.
Biasanya, aku akan melempar balik kotak itu dan menyuruhnya
melakukan sendiri. Namun, hari ini berbeda karena orang di depanku, seperti
yang dia katakan, adalah pasien. Melihatnya dalam keadaan seperti itu membuatku
tidak bisa bersikap seperti biasa.
Aku mengambil kotak itu dan mendekati tempat tidur.
"Kamu bisa duduk di sini."
Aku duduk di tepi tempat tidur, dan Sendai-san menepuk tempat
di sebelahnya. Aku tidak bermaksud mengatakan bahwa aku akan menularkan flu,
tapi aku tidak bisa tidak memikirkan apa yang terjadi di kamar ini selama
liburan musim panas. Pada hari itu, tanpa diminta, Sendai-san menjilati kaki
yang aku letakkan di tempat tidur.
Aku tidak berpikir dia akan melakukan hal yang sama sekarang,
tapi itu menjadi alasan untuk ragu duduk di tempat tidur.
"Miyagi, duduk dong."
Saat aku ragu, kata-kata Sendai-san berubah dari lembut
menjadi lebih memaksa. Aku bisa saja tetap berdiri dan memasang koyo dingin,
tapi kalau aku tidak mengikutinya, sepertinya akan ribut. Hari ini, sepertinya
dia ingin memanfaatkan statusnya sebagai orang sakit sebisa mungkin.
Akhirnya, aku duduk di sebelahnya dengan sedikit jarak dan
membuka kotak itu.
"Aku akan menempelkannya, jadi hadap ke sini."
Ketika aku menunjukkan koyo dingin yang aku ambil, dia dengan
patuh menghadap ke arahku. Tapi, dia tidak menunjukkan dahinya. Saat aku meraih
untuk mengangkat poni yang hanya mengganggu itu, tanganku ditangkap.
Panas.
Kehangatan yang terasa di punggung tangan menunjukkan bahwa
dia sedang demam, dan aku sejenak terkejut. Tangan ditarik dengan kuat sehingga
koyo dingin jatuh di atas tempat tidur.
Jarak antara aku dan Sendai-san mengecil, dan bibir kami
saling bersentuhan.
Bibirnya, seperti tangannya, terasa lebih panas dari biasanya.
Ujung lidahnya tanpa ragu masuk ke dalam mulutku.
Kelembutan yang juga pastinya panas itu, aku tidak punya
pilihan selain menerimanya.
Suhu tubuhnya membatasi pilihanku.
Mendorong bahunya.
Menggigit lidahnya.
Semua gerakanku dibatasi, tidak bisa melakukan apa-apa.
Aku hanya bisa pasrah pada lidah panas yang menjelajahi
mulutku.
Lidah yang mencoba melilit lidahku terasa terbakar panas.
Aku tidak bisa mengeluh karena kepanasan tubuhnya.
Tangannya yang memegangku, bibir yang bersentuhan, lidah yang
lembut, semuanya panas sehingga aku tidak bisa melarikan diri.
Aku ingin dia menjauh.
Namun, entah kenapa, aku tidak terlalu membencinya.
Karena panas yang berpindah, aku tidak bisa berpikir jernih.
Meskipun aku tidak berniat membalas permainan lidahnya, aku
juga tidak ingin mengusirnya. Bibir yang terus bertemu terasa menyenangkan, dan
aku tidak tahu berapa lama kami berciuman.
Rasa waktu hilang, dan pikiranku hanya dipenuhi oleh
Sendai-san.
Sulit untuk bernapas, aku merasa sesak.
Aku berhasil melepaskan tangan yang bertumpuk dan memegang
piyama Sendai-san, yang kemudian perlahan menjauh. Tanpa sadar, aku hampir
menarik piyamanya yang aku pegang dan, dalam upaya menyembunyikan rasa tidak
puasku, aku berkata,
"…Ini bukan saatnya untuk berciuman, kan?"
"Kamu yang mendekat,"
"Kamu yang membuatku mendekat. Kau menjatuhkan koyo
dingin itu, dan Sendai-san, jangan lakukan apa-apa lagi. Lagipula, ciuman
seperti tadi itu aneh."
Aku merasa bodoh karena mendengarkan dia hanya karena dia
bilang dia sakit. Begitu aku sedikit baik padanya, dia langsung berbuat seperti
ini. Aku tidak terlalu keberatan sampai-sampai ingin mengeluh, tapi aku tidak
ingin dia menciumku lagi.
"Cobalah bicara dengan lebih lembut. Aku
tersinggung,"
"Aku tidak akan melakukannya. Jika kamu bilang
tersinggung, lebih baik tidak melakukan hal seperti tadi lagi,"
"Kamu benar-benar marah?"
Aku pikir suaraku tidak terdengar terlalu keras. Namun,
biasanya Sendai-san tidak peduli apakah aku marah atau sedang tidak dalam mood,
tapi kali ini suaranya terdengar cemas.
Mungkin karena dia sedang demam, dia jadi lebih lemah.
Sikapnya yang seperti ini membuatku merasa tidak nyaman. Mendengar dia berkata
begitu membuatku merasa seolah-olah aku yang bersalah. Meski aku sudah bilang
ke Sendai-san bahwa aku merasa tidak enak, itu bohong, sebenarnya aku sudah
mulai terbiasa dengan ciuman seperti itu. Mungkin aku terlalu keras padanya.
Jadi, meski aku tidak mencabut ucapanku, aku tidak menyangkal kata-katanya.
"Aku tidak marah, tapi aku tidak dalam mood yang
baik,"
"Kalau begitu, mari kita buat kesepakatan. Kamu boleh
memberiku perintah,"
"Apa maksudmu dengan 'kalau begitu'? Aku tidak akan
memberimu perintah,"
"Kenapa?"
"Kamu pikir aku seburuk itu sampai-sampai memberi
perintah pada orang sakit?"
Ada hal yang ingin kuperintahkan, tapi aku bukan orang jahat
yang memberi perintah pada orang yang sedang demam. Dibandingkan dengan
Sendai-san yang memanfaatkan posisinya sebagai orang sakit, aku merasa aku ini
orang yang cukup baik, dan aku pikir tidak apa-apa kalau aku sedikit
mendengarkan apa yang dia katakan.
"Bagiku, tidak apa-apa kalau Miyagi itu orang
terburuk,"
"Daripada ngomong aneh-aneh, lebih baik kamu tidur
sekarang," kataku sambil mendorong bahunya. Namun, dia tidak berbaring,
malah batuk.
"Lihat, batukmu semakin parah. Tidurlah,"
"Aku tidak mau tidur," jawabnya sambil batuk.
"Orang normal, kalau batuk seperti itu karena flu,
biasanya tidak mencium. Kalau aku tertular flu, itu salah Sendai-san,
loh,"
"Aku menciummu karena aku ingin kamu tertular flu,"
kata Sendai-san dengan nada yang membuatku
terkejut, sambil menarik lengan seragamku.
"Itu kejam, bukan? Aku benci tidur sendirian saat aku
flu,"
Dia biasanya sudah susah ditebak apa yang dipikirkannya, tapi
mungkin karena demam, hari ini dia jadi lebih sulit dimengerti lagi. Orang
normal nggak akan bilang mau menulari orang lain flu, dan belum pernah
sebelumnya aku dengar dia ngomong kayak gitu.
"Aku yang akan merawat Miyagi,"
"Ngga usah dirawat."
"Ngga usah sungkan. Kalau perlu, aku rela merawatmu
sampai menginap loh?"
"Jangan sampai menginap. Siapa tahu Sendai-san ngapain
aja. Udah, tidur aja."
Hari ini Sendai-san kayaknya ngga mau denger apa yang aku
bilang. Dibikin repot dengan tawaran rawat yang dipaksakan, apalagi kalau
sampai di rumah. Walaupun ngga mungkin dia benar-benar datang untuk menginap,
tapi sebaiknya aku menghindari kesalahan-kesalahan yang mungkin terjadi meski
cuma becanda.
"Miyagi, kau pasti pulang kalau aku sudah tidur,
kan?" Sendai-san berbicara dengan nada yang agak merajuk.
Aku menelan napas yang hampir keluar sebagai desahan. Aku ngga
bisa terlalu dingin, dan memang agak repot sih ngurusin orang sakit.
"Menurutku sudah cukup baik kalau aku di sini sampai kau
tidur."
"Harusnya lebih baik lagi ke orang sakit."
"Lebih dari ini?"
"Iya."
"Kalau kamu mau aku lebih baik lagi, jangan bikin ulah
dong."
"Kamu ngga akan lebih baik kalau aku ngga bikin ulah
pun."
Ini benar-benar di luar dugaan.
Hari ini, aku merasa cukup baik hati bahkan kepada Sendai-san
yang melakukan hal-hal yang tidak perlu.
Tapi, sepertinya apa yang kukatakan tidak bisa sampai ke dia
sekarang. Aku mengambil cooling pad yang jatuh, mengeluarkan yogurt dan sendok
dari tas belanjaan, dan memberikannya kepada Sendai-san.
"Makan ini dan tetap tenang ya."
"…Terima kasih."
Dia menerima yogurt dengan patuh, membuka tutupnya, dan mulai
makan.
"Miyagi, tinggal di sini sedikit lagi. Kalau begitu,
flu-nya mungkin cepat sembuh."
"Aku bukan obat flu, tau."
"Aku tahu."
"Daripada ngomong hal-hal konyol, makan dan
tidurlah."
"Aku bilang tadi, aku tidak bisa tidur karena terlalu
banyak tidur."
"Tidur saja."
"Kalau Miyagi cium aku, aku akan tidur."
Tangannya yang sedang makan yogurt berhenti.
Sendok diletakkan di wadah, dan ujung jari menyentuh bibirku.
Suhu tubuh Sendai-san tetap tidak berubah.
Masih panas.
Namun, panas yang ditransfer dari ujung jarinya terasa
menyenangkan. Ingin disentuh lebih lama lagi, aku menangkap jari yang menyentuh
bibirku. Mendekatkan wajahku dan menghembuskan nafas kecil.
"Sendai-san, kamu terlalu berani. Tidak perlu tidur,
cukup berbaring saja."
Aku mengambil yogurt yang belum habis dan
meletakkannya di atas meja.
Merasa hampir salah paham karena diminta ciuman seperti itu
adalah hal yang biasa, tapi aku tidak datang ke sini untuk itu. Aku mengambil
cooling pad dari kotak dan menempelkannya di dahi Sendai-san yang tampak ingin
mengeluh.
"Dingin."
"Kalau panas, berarti barangnya rusak."
"Ya, itu sih iya."
"Kalau kamu tidak tidur, aku akan pulang."
Setelah mengumumkan itu dengan suara yang tidak se-dingin
cooling pad, Sendai-san tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata,
"Kalau begitu."
Aku tidak merasa ini akan berakhir baik.
Namun, ketika aku bertanya "Apa?", suara yang tenang
menjawab.
"Kalau kamu pegang tanganku, aku akan tidur."
"Tangan?"
"Iya."
"…Kalau itu sih oke."
Menerima proposal yang lebih lembut dibandingkan dengan
ciuman, Sendai-san tampak puas dengan jawabanku dan berbaring di tempat tidur.
Dia mengulurkan tangannya seolah-olah meminta, dan aku meletakkan tanganku di
atasnya.
"Senang ya, pegang tangan?"
Sambil duduk di sisi tempat tidur dan memegang tangannya yang
tetap panas, aku bertanya. Tangannya memegang tanganku dengan erat.
"Cukup senang."
Setelah mengatakan itu, Sendai-san perlahan menutup matanya.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.