BAB
5:
Sandai-san
tidak pernah Berbaik hati
Sebelum liburan musim dingin, kita memang sudah berjanji.
Jadi, seharusnya kita berciuman setelah selesai belajar, dan memang sekarang
bukan waktunya, tapi kalau Sendai-san ingin melakukannya, aku pikir tidak
apa-apa, dan aku berpikir bisa memberikan izin khusus saat dia berkata,
"Aku akan menggunakan hakku sedikit lagi." Tapi, jelas batasan
"sedikit lagi" itu tidak masuk akal.
Dia menciumku setelah berkata, "Jangan marah," dan
sekarang aku dicium untuk yang ketiga kalinya. Tidak apa-apa menggunakan haknya,
tapi aku pikir dia harus tetap pada batasan "sedikit lagi" yang dia
tambahkan sendiri.
Sendai-san yang mendekatkan wajahnya seolah-olah belum cukup,
jelas melakukan terlalu banyak ciuman.
Sebelum dia menciumku untuk keempat kalinya, aku menekan
dahinya.
"Sendai-san,"
Aku menekan wajahnya yang mendekat dengan keras.
Namun, dia melepaskan tanganku dan menciumku seolah-olah
merampas kata-kataku.
Kelembutan dan kehangatan yang sangat aku kenal terasa, dan
kami segera berpisah.
Lalu, bibir kami bertemu lagi.
Bibir Sendai-san terasa sangat nyaman.
Ketika aku menyentuh tubuhnya tadi, rasanya seperti jantungku
akan pecah.
Detak jantungku berdetak dua kali lebih cepat dari biasanya,
aku tidak bisa bernapas dengan baik.
Tangan dan wajahku terasa panas, dan aku merasa seperti bukan
diriku sendiri.
Aku masih merasa deg-degan, tapi berbeda dari sebelumnya. Aku
memiliki ruang untuk merasakan kelembutan dan kehangatan dari bibir yang
bertemu itu sebagai sesuatu yang menyenangkan.
Tapi, aku akan kesulitan jika ini tidak segera berakhir.
Aku mendorong bahu Sendai-san dan menjauhkan tubuh kami.
"Meski sebagai ganti, kamu terlalu banyak cium. Ini bukan
sedikit."
Ketika aku berkata demikian, jari-jarinya menyentuh bibirku.
"Tidak ada yang menentukan jumlahnya."
"Maka, aku akan menentukannya sekarang."
"Penerapan aturan itu mulai dari pertemuan
berikutnya."
Suara yang menolak kata-kataku terdengar ringan, dan bibir
Sendai-san menyentuhku lagi.
Berkali-kali, lagi dan lagi.
Hak yang digunakan Sendai-san sebanyak itu semuanya hanya
ciuman singgung, dan sekarang juga hanya menyentuh bibir. Mungkin dia
berhati-hati agar tidak menjadi "hal aneh", tapi ini tidak seperti
Sendai-san.
Sendai-san yang aku kenal itu dominan, nakal, dan tidak
lembut.
Dia yang hanya melakukan ciuman singgung ini terlalu lembut,
bukan bahwa aku tidak merasa puas dengan ciuman yang nyaman ini, tapi rasanya
aneh.
Aku merasa, mungkin tidak apa-apa untuk melakukan ciuman yang
lebih intens sedikit lagi.
Jika aku terus membiarkan Sendai-san seperti ini, akan menjadi
aneh lagi. Lagipula, Sendai-san tidak akan bersikap baik kepadaku tanpa alasan.
"Jika kamu melakukannya lagi, aku benar-benar akan
marah."
Aku menyatakan itu sebelum ciuman berikutnya bisa terjadi
begitu bibir kami berpisah.
"Ayo, sedikit lagi tidak apa-apa."
"Tidak baik. 'Sedikit' milik Sendai-san itu banyak."
"Kamu pelit."
"Pelit juga tidak apa-apa, jadi berhentilah."
Aku mundur dan mencoba menjauh dari Sendai-san. Lalu, aku
mematikan lampu malam, membuat ruangan menjadi gelap gulita.
"Ayo tidur."
Aku menyampaikan apa yang seharusnya dilakukan di malam hari,
dan menarik selimut. Namun, Sendai-san menghalangi sehingga aku tidak bisa
menariknya dengan baik.
"Kalau begitu, aku akan tidur, jadi kembali ke wilayahmu
sendiri, Miyagi."
Sebuah tangan yang terulur mendorongku.
"...Tidak mau."
Setelah Sendai-san pulang, hampir tidak ada orang lain di
rumah ini selain aku. Baik di hari yang cerah maupun buruk, saat malam tiba,
aku selalu sendirian. Meskipun sudah terbiasa dengan kesendirian, waktu hingga
fajar terasa terlalu lama untuk dihabiskan sendirian. Meski hanya tidur,
terkadang muncul sesuatu yang tak dikenal dalam mimpi, membuatku merasa tidak
nyaman.
Namun, malam ini, ada seseorang selain aku.
Kalau begitu, orang itu harus dimanfaatkan.
Bahkan jika itu Sendai-san.
Dan, lebih baik jika jaraknya dekat.
Perutnya hangat, begitu juga bibirnya.
Merasa dingin sendirian, jadi tidak masalah jika dia bisa
menjadi pengganti kantong air hangat.
Aku menarik selimut ke arahku dengan paksa dan masuk ke dalamnya
lebih dulu dari pada Sendai-san.
"Hey, kenapa kamu ingin tidur di sini? Kalau Miyagi tidur
di sini, aku akan pergi ke tempat tidur."
Aku bisa mendengar suara gerakan, Sendai-san berusaha untuk
bangun.
"Tempat tidur itu wilayahku, jadi tidak bisa."
Aku menarik Sendai-san.
"Tapi kamu tidak menggunakannya?"
"Ya. Meski tidak digunakan, itu tetap wilayahku, dan
wilayah Sendai-san ada di sini."
"Kalau kamu ingin tidur bersama, bilang saja ingin tidur
bersama."
"Bukan itu masalahnya. Daripada itu, ambilkan bantal saya
dari tempat tidur."
"Tidak terlihat."
Lampu malam yang padam membuat seluruh ruangan tenggelam dalam
kegelapan, tidak ada yang bisa dilihat.
Tapi, Sendai-san sudah terlalu sering datang ke kamar ini.
"Kamu seharusnya tahu di mana letak tempat tidurnya,
meski tidak terlihat."
"Miyagi itu, benar-benar manja, ya."
Suara yang terdengar kecewa itu menjauh, tapi segera mendekat
lagi, dan sesuatu yang tampak seperti bantal diletakkan di atas selimut.
"Pergi sedikit ke sana."
Sendai-san berkata sambil mendorongku.
Setelah meraba-raba dan menarik bantal mendekat untuk membuat
ruang, Sendai-san merapikan selimut sebelum masuk ke sampingku.
"Sempit."
Suara tidak puas terdengar, dan betisku sedikit ditendang,
tapi jika aku bergeser lebih jauh ke tepi, aku akan keluar dari selimut, jadi
aku memalingkan badan dan menutup mata.
Kegelapan di ruangan menjadi lebih pekat.
Tidak akan mengherankan jika ada hantu di belakangku,
terbungkus dalam kegelapan seperti ini.
Tapi, hari ini Sendai-san ada di sini.
"Apa tujuanmu sebenarnya?"
Suara rendah itu menyentuh punggungku.
"Biarkan saja. Tidak masalah tidur di mana pun."
Aku menarik selimut, membulatkan punggungku.
"Kalau terlalu banyak menarik, akan menjadi dingin."
Dari belakang, aku mendengar keluhan, tapi saat aku diam,
bukan selimut yang ditarik, tapi entah kenapa sweatshirtku. Telapak tangan
menekan punggungku.
Meski lewat kain, sedikit terasa geli, tapi hangat dan nyaman.
Dari panas yang terasa, aku teringat pada tubuh Sendai-san
yang tersembunyi di bawah sweatshirt.
Saat itu, jika aku menyentuh Sendai-san, mungkin aku bisa
percaya pada kata-kata tak terduga darinya, dan kecemasan bisa hilang.
Namun, kecemasan tidak hanya hilang, malah bertambah besar.
Meski aku melihat kalung itu dengan mata kepala sendiri dan
tahu dia memegang janji, aku tidak bisa percaya dia akan terus memegang janji
itu.
Sekarang pun, Sendai-san ada di sampingku, aku bisa
menyentuhnya, tapi saat aku berbalik, aku merasa dia akan menghilang seperti
hantu.
Tidak takut.
Aku mengucapkan mantra yang sering aku ucapkan sendiri di
malam hari dalam hati.
Aku membungkuk lebih dalam, menggenggam ujung selimut.
Mataku terbuka, dan saat aku menutupnya lagi, panas yang
terasa dari punggungku menjadi kabur, seakan-akan aku sendirian. Sedikit takut,
bahu dan tanganku menjadi kaku.
"Miyagi"
Aku mendengar suara pelan yang memanggilku, dan panas yang
semula kabur menjadi nyata.
Tidak salah lagi ada seseorang di ruangan ini, dan itu adalah
Sendai-san.
Tangan yang menekan punggungku kembali menarik sweatshirtku.
Aku merasa dia akan memanggilku dengan nama depan, jadi aku
berinisiatif.
"Kalau kamu memanggilku 'Shiori', aku akan membuat hari
kamu datang ke sini tanpa syarat untuk mencium."
Memanggil seseorang dengan nama depan bukanlah hal yang
istimewa. Maika dan Ami juga memanggilku "Shiori", dan di masa lalu,
ada orang yang memanggilku demikian. Namun, entah mengapa, dipanggil Sendai-san
dengan nama depan terasa sangat istimewa, sehingga aku tidak ingin dipanggil.
"Memanggilku 'Miyagi' tidak masalah, kan?"
Ketika aku berkata begitu, Sendai-san memanggilku
"Miyagi".
Miyagi.
Miyagi, Miyagi.
Mendengar suara yang terus memanggilku, kekakuan di tubuhku
mereda.
"Sendai-san, kamu berisik. Ayo tidur sekarang."
Yah, aku mendengar suara, tapi Sendai-san tidak tidur dan
menyentuh rambutku.
Dia meraba rambutku seperti menyisir dengan jarinya.
Berulang kali, berulang kali.
Ketika kelembutan tangannya dan kehangatan tubuhnya menyeruak,
kelopak mataku menjadi sedikit lebih berat.
Ketika aku sedikit meregangkan punggungku yang melengkung,
tangannya terlepas seraya berbisik "Selamat malam".
Aku lupa memasang alarm jam.
Aku juga tidak ingat sudah mengatur alarm di ponsel.
Tidak masalah karena hari ini libur sekolah, dan aku tidak
perlu bangun pagi.
Tapi, mataku terbuka sendiri dan ketika aku menggerakkan
tubuhku, Sendai-san ada di sebelahku.
"......Kenapa?"
Aku menutup mataku sekali lagi, lalu membukanya dengan lebar.
Aku melihat ke samping.
Wajah Sendai-san yang tertidur nyenyak terlihat jelas di
mataku.
Dengan kepala yang masih setengah sadar, aku mencoba mengingat
kembali.
Kemarin, Sendai-san datang ke rumah, dan kita makan bersama.
Dia menginap.
Karena aku yang berkata kepadanya untuk menginap.
Ingatan ini benar.
Ketika aku mencoba mengingat lebih jauh, aku menemukan sesuatu
yang tidak ingin aku akui sebagai benar.
Itu karena aku sendiri yang masuk ke dalam futon yang aku
siapkan untuknya dan tertidur.
"Badanku sakit, kan?"
Mungkin karena futon itu terlalu sempit untuk dua orang,
persendianku terasa seperti akan berderak.
Aku menghela nafas pelan dan meraih sedikit rambut depanku.
"Nh—"
Mulutnya bergerak-gerak dan suara yang tidak jelas terdengar.
Tapi, Sendai-san tidak bangun.
Aku menyentuh pipinya dengan ujung jariku, dan
mengelus sampai ke ujung dagunya.
Dia tidak bergerak sedikit pun, sepertinya dia tertidur
sangat nyenyak.
"......Hazuki"
Aku mencoba memanggil namanya dengan lembut, tapi tidak ada
jawaban, jadi aku mengambil segenggam rambut panjangnya. Mendekatkannya ke
tanganku, aku menyentuh rambutnya yang sedikit cokelat dan tidak pernah kena
marah meskipun melanggar aturan sekolah, dengan bibirku.
Aku tidak menyadarinya kemarin, tapi rambutnya yang lembut itu
memiliki aroma yang sama denganku.
Aku melepaskan bibirku dan mendekat sedikit ke Sendai-san.
Tidak hanya rambutnya, tapi seluruh tubuhnya juga memiliki
aroma yang sama denganku.
Sendai-san yang memakai baju ku dan memiliki aroma yang sama
denganku ini hanya aku yang tahu. Aku pikir bisa dibilang dia Sendai-san
milikku sendiri. Tapi, aku yakin aku tidak akan pernah melihat Sendai-san yang
sedang tidur seperti ini lagi.
Aku meraih ke bawah leher sweatshirt-nya untuk menyentuh
rantai kalungnya.
Hari janji kita semakin dekat.
Liburan musim dingin akan segera berakhir, dan setelah tahun
baru, jika beberapa lembar kalender terlepas, upacara kelulusan akan tiba dalam
sekejap. Begitu hari itu tiba, kehidupan SMA akan berakhir, dan mau tidak mau
kehidupan baru akan dimulai.
Aku menghela napas kecil.
Ketika aku menyentuh rantai kalungnya dengan ujung jariku,
Sendai-san tiba-tiba bergerak, dan hatiku hampir berhenti.
Aku tergesa-gesa melepaskan tangan dari kalungnya dan dengan
diam-diam keluar dari selimut, membawa pakaian ganti, dan keluar dari kamar
tanpa membuat suara untuk pergi ke kamar mandi. Aku menyikat gigi, berganti
pakaian, dan menuju ke dapur.
Aku sudah tahu isi dari kulkas tanpa harus membukanya, tapi
aku tetap membukanya untuk memastikan.
Seperti yang diduga, hampir tidak ada apa-apa di dalamnya. Aku
mengambil roti beku dari freezer, memasukkannya ke dalam toaster, dan
menyiapkan piring dan gelas, ketika Sendai-san datang sebelum aku memanggilnya.
"Selamat pagi. Lagi apa?"
Dengan suara yang masih mengantuk, Sendai-san yang masih
memakai sweatshirt-nya, menatap ke arah toaster.
"Selamat pagi. Aku pikir keliatan apa yang aku
lakukan."
"Jangan-jangan kamu sedang menyiapkan sarapan?"
"Tidak 'jangan-jangan', memang sarapan."
"…Miyagi, aku punya kelas persiapan dari siang hari. Aku
akan kesulitan jika tiba-tiba salju turun."
"Kalau kamu tidak ingin makan, cukup bilang saja."
Aku sedikit menendang kaki Sendai-san yang berkata kasar.
Aku memang tidak pandai masak, dan sering kali makan
sembarangan, tapi aku jarang melewatkan sarapan.
Setidaknya aku bisa memanggang roti.
"Cuma bercanda. Boleh aku ganti baju dulu?"
Sendai-san bertanya sambil menarik ujung sweatshirt-nya.
"Tidak. Rotinya sebentar lagi matang."
Saat aku membuka kulkas, entah bagaimana Sendai-san juga ikut
mengintip ke dalam.
"Ada selai kan?"
Suara itu terdengar di telingaku, dan aku menekan dahi
Sendai-san.
"Ada, tapi mungkin sudah kadaluarsa."
"Serius?"
"Ada mentega kok, itu juga enak."
Aku mengeluarkan wadah mentega dari belakang kulkas dan
memberikannya kepada Sendai-san, yang terdengar sangat kecewa.
"Kalau dicampur pasti lebih enak."
"Kamu bisa jadi gemuk, loh."
"Ya, memang. Eh, tapi tanggal kadaluarsanya gimana?"
Dengan suara yang mendesak, aku terpaksa mengambil toples
selai dan memeriksa angka yang tertulis.
"Masih bisa dimakan."
Aku memberikan selai itu kepada Sendai-san dan kemudian
mengeluarkan jus jeruk, menutup kulkas.
Ketika Sendai-san meletakkan mentega dan selai di meja bar,
toaster berbunyi dengan suara yang menyenangkan.
Aku mengeluarkan roti dan meletakkannya di piring, menuangkan
jus jeruk ke dalam gelas, dan membawanya ke meja bar.
Kami duduk berdampingan, dan menghadap sarapan yang tidak
mewah itu, kami berkata, "Selamat makan."
Suara kami serasi, dan aku menatap Sendai-san.
Pagi hari, ayahku jarang ada di rumah.
Pagi hari, ibuku tidak pernah ada di rumah.
Pagi hari dengan seseorang di sisiku adalah hal yang langka.
Aku mengoleskan mentega ke roti. Setelah mengambil gigitan,
Sendai-san yang baru saja mengolesi jam di atas mentega, menatapku.
"Miyagi, kamu juga oles."
Toples selai itu meluncur di atas meja ke arahku. Biasanya di
restoran, aku sering melihat roti yang diolesi dengan mentega dan selai
bersamaan, tapi aku tidak terbiasa mengoleskan keduanya secara bersamaan.
Mentega adalah mentega, selai adalah selai.
Bagiku, roti yang diolesi secara terpisah sudah cukup.
Tapi, karena Sendai-san menatapku dengan penuh harapan, aku
menambahkan sedikit selai di atas mentega dan mulai menggigit rotinya.
Tepi roti itu renyah, dan rasa susu dengan stroberi menyebar
di mulutku. Semakin aku makan, garam dari mentega dan manis dari selai
tercampur dengan pas.
"Enak?"
Ketika ditanya, aku menjawab "Lebih dari yang
kubayangkan."
Sarapan biasanya hanya untuk mengisi perut, dan selama tidak
ada yang kubenci, rasanya tidak terlalu penting.
Tapi, kali ini aku berpikir mungkin akan baik jika menambahkan
lebih banyak selai lain kali karena rasanya cukup enak.
"Bagus deh,"
Sendai-san tersenyum lebar dan minum jus jeruk.
Oh ya, di musim panas kita membuat French toast bersama.
Selain itu, kita sering memasak dan makan bersama di sini.
Kalau dipikir-pikir, makanan dan Sendai-san sangat terkait erat. Makan bersama
sudah menjadi hal yang biasa, dan aku pikir makanan akan terasa hambar jika aku
tidak bertemu dengan Sendai-san lagi.
Aku menyesap jus jeruk.
Makan malam dengan Sendai-san membuatku merasa enak.
Sarapan dengan Sendai-san membuatku merasa enak.
Meskipun selama bertahun-tahun aku makan sendirian, baik pagi
maupun malam, kini aku merasa tidak ingin makan sendirian karena Sendai-san.
Aku yang selalu sendirian kini berubah.
Aku menghabiskan jus jeruk dan menghabiskan semua sisa roti.
Mentega dan selai dengan sedikit gosong pada roti, seolah-olah
mengisi lubang yang mulai terbuka di suatu tempat di tubuhku.
"Biarkan aku mencuci, kamu bisa ganti baju. Oh, dan aku
sudah menyiapkan sikat gigi baru di kamar mandi,"
kataku sambil membereskan piring.
"Terima kasih. Masih ada waktu sebelum bimbel, aku akan
membantu mencuci dulu,"
"Kamu tidak perlu membantu. Kalau kamu tidak mau
ganti baju, itu juga tidak masalah,"
"Aku akan ganti baju."
Sendai-san mengambil sepotong toast yang sudah dipotong-potong
dan memakannya dalam satu gigitan, kemudian ia berdiri dan kembali ke kamarnya,
meninggalkanku sendirian.
Aku membawa piring dan gelas yang digunakan Sendai-san, lalu
mulai menyalakan air panas.
Sambil mencuci piring dengan spons yang penuh busa, aku
melihat jam.
Hanya beberapa jam lagi.
Meskipun rasanya belum lama Sendai-san datang ke rumah ini,
tapi sebentar lagi aku akan sendirian lagi.
Ada rasa sedih entah dari mana, mungkin karena aku tahu orang
yang semalaman berada di sampingku malam ini tidak akan ada.
Tidak mungkin Sendai-san tidak pergi ke bimbel, dan tidak
mungkin juga dia menginap lagi malam ini.
Aku tahu itu, tapi entah kenapa, pikiran tentang dia yang akan
pulang terasa sangat membosankan.
Aku mencuci semua piring dan mematikan air panas.
Saat aku kembali ke ruangan, Sendai-san yang sudah selesai
berdandan menungguku.
"Masih ada waktu, yuk belajar," katanya sambil
menyebarkan buku referensi di atas meja.
"Aku sih mau... tapi..."
"Tapi apa?"
"Tidak ada ciuman untuk hari ini."
Sendai-san tampak bingung. "Kenapa?"
Mungkin dia tahu tapi tetap bertanya.
Mengatakan bahwa ciuman kemarin sebagai ganti mengajar, dan
meminta lagi hari ini terasa terlalu serakah.
"Ada batasannya. Kemarin itu sudah termasuk untuk hari
ini juga."
"Limitnya berapa? Aku kan nggak tahu."
"Aku tidak akan memberitahu Sendai-san."
"Itu gimana sih. Kalau aku nggak tahu, bagaimana aku bisa
tahu batasannya?"
"Kalau aku bilang tidak, berarti sudah."
Aku menundukkan pandangan ke buku referensi yang terbuka. Aku
tidak bisa menjawab karena aku sendiri tidak menentukan berapa kali, dan
walaupun aku menentukannya, Sendai-san pasti akan langsung melanggarnya.
Lagipula, kalau dicium seperti kemarin, sepertinya sesuatu akan terjadi dan aku
sama sekali tidak ingin itu terjadi.
"Kamu itu, egois ya, orang Miyagi."
"Sendai-san juga kan?"
Ketika aku menjawab tanpa melihat wajahnya, aku mendengar
suara dari sebelah, "Yah, aku nggak akan menyangkal," dan pembicaraan
kami terhenti di situ.
Kami terus belajar dalam diam sampai siang hari dan makan
siang bersama. Tak lama kemudian, tiba saatnya Sendai-san harus pulang, dan
suara yang mengatakan sudah saatnya berangkat terdengar.
"Aku antar ke bawah."
Sendai-san, yang sudah memegang coat dan tasnya, berkata,
"Tidak perlu, dingin di luar."
"Tidak apa-apa. Aku langsung kembali kok."
Setelah mengambil jaket down dari lemari, Sendai-san berkata,
"Yah, kalau begitu, sampai di bawah saja."
Kami berdua keluar dari apartemen dan mengunci pintu. Berjalan
di koridor apartemen, kami masuk ke lift.
Melewati entrance dan membuka pintu yang menuju ke luar, angin
kencang langsung menerpa kami. Aku refleks menarik leherku, dan dari belakang
terdengar suara.
"Dingin banget."
Sendai-san yang tidak tahan panas terlihat kedinginan.
Angin yang masuk lebih dingin dari yang kuduga, jadi aku bisa
mengerti.
Saat keluar dan berjalan beberapa langkah, rasanya ingin
kembali karena dinginnya, dan melihat wajah Sendai-san yang tidak ceria.
Napas yang kuhembuskan tidak berwarna putih, tapi matahari dan
awan terlihat jauh.
Langit berwarna biru pucat seperti gunung es, hanya melihatnya
saja membuat tubuhku merinding.
"Ini sudah cukup. Terima kasih sudah menampungku,"
kata Sendai-san sambil memasukkan tangan ke saku coatnya,
kemudian menambahkan, "Sampai jumpa."
Biasanya, kami akan berpisah di sini, dan aku akan kembali ke
dalam apartemenku. Namun, kali ini aku menahan lengan Sendai-san yang hendak
berjalan.
"Miyagi?"
Bukan karena ada yang lupa kukatakan atau harus kukatakan.
Tanganku hanya bergerak sendiri menahan lengan Sendai-san, dan aku tidak bisa
menemukan kata-kata yang tepat untuk diucapkan. Aku tidak bisa melepaskan
tanganku dan hanya bisa menatap Sendai-san.
"Kamu akan terlambat ke bimbel," katanya, lalu
mengeluarkan tangannya dari saku. Dan dia memegang tanganku yang tidak bisa
melepaskannya.
"Kamu tidak takut terlambat?"
Ketika kutanya, dia menjawab, "Iya, makanya aku harus
pergi sekarang," tapi Sendai-san tidak berjalan dan tidak melepaskan
tanganku.
"Miyagi, kita bertemu lagi tahun depan?"
Sendai-san memegang tanganku erat.
"Itu rencananya. Aku akan menghubungimu kalau sudah
menentukan hari untuk belajar bersama."
"Mengerti."
Tanganku yang dipegang itu akhirnya dilepaskan.
Sendai-san tidaklah lembut. Meski aku sudah tahu, baginya
belajar dan bimbel itu penting, dan dia tidak terlalu menganggapku penting.
Jadi, aku akan kembali sendirian ke rumah itu.
"Sampai jumpa,"
"Sampai jumpa," jawabku, dan tanganku melambaikan
salam.
Punggung Sendai-san semakin menjauh.
Meskipun aku sudah terbiasa sendirian, pikiran tentang harus
kembali sendirian ke kamar dimana Sendai-san selalu ada membuatku merasa sangat
murung.
Selamat tahun baru.
Saat aku terbangun dan melihat smartphone di samping bantal,
ada pesan yang tampaknya dari Maika dan Ami yang mengucapkan selamat tahun
baru, dan aku juga membalas dengan ucapan yang sama.
Tidak ada pesan dari Sendai-san.
Tentu saja, tidak ada panggilan juga. Dia tidak pernah
menelepon tepat saat tahun baru berganti atau mengirim pesan ucapan.
Meskipun aku juga tidak menelepon atau mengirim pesan, aku
pikir tidak ada salahnya dia menghubungiku.
Aku terbaring sambil menatap layar smartphone.
Tidak tiba-tiba ada panggilan masuk.
"Tidak apa-apa sih."
Meskipun Sendai-san tidak ada, hari ini aku tidak sendirian.
Ini langka, ayah ada di rumah, dan kami telah menetapkan untuk makan bersama.
Ketika aku masih anak-anak, aku menyukai malam Tahun Baru dan Tahun Baru ketika
ayah ada di rumah.
Ketika aku masuk SMP, itu tidak terasa sebagai acara yang
sangat spesial lagi, tetapi merasa ada seseorang di rumah membuatku merasa
tenang.
Sekarang, daripada makan dengan ayah, aku lebih khawatir
tentang ponselku yang tidak mendapat kabar apapun dari Sendai-san.
Aku berbaring menghadap ke samping, mengelus kepala boneka
kucing hitam yang ada di sisi bantal.
Kemudian, aku meletakkan ponsel di samping boneka kucing hitam
itu dan merangkak keluar dari selimut.
Aku meregang besar-besaran dan keluar dari kamar.
Setelah menyikat gigi dan kembali ke kamar untuk berganti
pakaian, aku menuju ke ruang tamu. Aku menyapa ayah dengan ucapan "Selamat
Tahun Baru," dan kami makan sarapan bersama.
Hari berlalu lebih cepat dibandingkan hari-hari sekolah, tapi
karena tidak ada yang terlalu menarik, juga terasa lama.
Sambil asal membuka buku referensi dan duduk di meja,
tiba-tiba sudah sore, dan aku telah selesai makan malam tanpa melakukan apa-apa
selain belajar.
Meskipun ada beberapa pesan di ponsel yang dijaga oleh boneka
kucing hitam, semuanya dari Maika atau Ami, tidak ada yang dari Sendai-san.
Pada akhirnya, hanya karena hari itu adalah hari pertama bulan
Januari, tidak berarti ada sesuatu yang berbeda terjadi. Selain belajar, hari
itu tidak berbeda dari tahun lalu, dan aku tidur lebih awal dari biasanya.
Keesokan harinya, itu tidak berubah. Ketika aku terbangun, aku
di rumah sendirian seperti tahun lalu, dan sebelum aku menyadarinya, sudah
malam.
Melihat jam sudah lewat jam 10, aku berbaring di tempat tidur.
Sendirian di kamar tempat aku pernah tidur bersama Sendai-san
beberapa hari yang lalu.
Aku tidak merasa kesepian, tapi merasa bosan.
Aku menarik boneka kucing hitam itu ke arahku dan menarik
telinganya. Kucing hitam itu tidak berbunyi apa-apa, tapi sebagai gantinya,
ponselku berbunyi. Aku mengambilnya yang ada di samping bantal dan melihat
layar, ada pesan dari Sendai-san yang tidak biasa untuk hari Tahun Baru,
"Kamu sendirian sekarang?" Aku membalas "Iya," dan kemudian
Sendai-san menelepon.
Nada dering berbunyi sekali, aku ragu. Jika aku langsung
menjawab, itu seolah-olah aku menunggu panggilan dari Sendai-san, jadi setelah
nada dering berbunyi tiga kali, aku mengangkat tubuhku dan menjawab telepon.
"Halo," kataku ke sisi lain ponsel, dan "Selamat Tahun
Baru," balasan yang kudapat.
Suara di telepon terasa dekat. Aku teringat saat kami tidur di
bawah selimut yang sama.
Saat itu juga, suara Sendai-san terasa dekat.
Aku menggenggam tangan kuat-kuat.
Tidak ada yang perlu dikhawatirkan tentang telepon.
"......Selamat Tahun Baru."
Tahun lalu, aku tidak menyampaikan salam yang seharusnya aku
sampaikan kepada Sendai-san dan menunggu kata-katanya. Namun, dia tidak
mengatakan apa-apa.
"Apa yang kamu butuhkan?"
Terpaksa, aku yang memulai pembicaraan.
"Kapan ya sebaiknya aku ke rumah di Miyagi?"
"Kan sudah bilang kalau sudah memutuskan akan kontak
kamu."
"Tapi karena kamu tidak kontak, makanya aku tanya."
"Kalau belum ada kontak, berarti belum ada keputusan.
Tunggu sedikit lagi dong."
Tahun baru dan hari berikutnya bukanlah waktu yang tepat untuk
meminta diajarkan pelajaran. Setidaknya aku memiliki kesadaran itu. Hari ini
masih tanggal dua, masih dalam suasana tahun baru, jadi sulit untuk memanggil.
Jadi rasanya tidak adil jika aku dibilang salah karena tidak segera
menghubungi.
"Kalau menunggu terus, liburan dingin akan berakhir, ayo,
putuskan sekarang."
Dengan nada yang seolah-olah menyalahkan, Sendai-san berkata.
"Aku juga punya rencana, kalau kamu bilang sekarang, aku
tidak bisa memutuskannya."
Sebenarnya, aku tidak memiliki rencana khusus, tapi aku tidak
ingin memutuskannya sekarang. Jika urusan Sendai-san adalah menentukan jadwal
berikutnya, begitu jadwal ditentukan, semuanya akan selesai, dan pembicaraan
pun akan berakhir.
Aku pikir tidak ada salahnya berbicara sedikit lebih lama
untuk menghabiskan waktu.
"Sendai, kamu punya rencana ya?"
Suara yang seakan-akan terkejut terdengar, dan itu sedikit
mengganggu. Aku merasa kesal karena dianggap wajar jika aku tidak memiliki
rencana.
"Kenapa, tidak boleh?"
"Tidak, tidak boleh. ...Apa yang kamu lakukan setelah
itu?"
Setelah itu, mungkin maksudnya adalah hari terakhir aku
bertemu dengan Sendai-san.
"Tidak ada yang spesial."
"Termasuk malam tahun baru dan hari tahun baru?"
"Tidak ada yang bisa dilakukan."
"Bertemu dengan teman-teman atau sesuatu?"
"Sendai-san itu, cepat banget ya kayak orang tua."
Ayahku tidak mencoba mengetahui apa yang aku lakukan, tapi
orang tua yang sering kulihat di manga atau TV biasanya ingin mengetahui apa
yang dilakukan anak-anak mereka. Sendai-san sama seperti orang tua itu,
kadang-kadang ingin tahu apa yang aku lakukan. Aku tidak menganggapnya
mengganggu, tapi aku pikir tidak akan menarik bagi dia untuk mengetahui apa
yang telah aku lakukan.
"Gak apa-apa kan, kalau aku tanya. Lagian, gak ada lagi
obrolan lain. Jadi, kamu tidak bertemu dengan Utsunomiya atau orang lain?"
Sendai-san berkata dengan suara yang tidak jelas apakah dia
tertarik atau tidak.
Sambil hendak berkata "Kamu pasti tidak akan
melakukannya," aku teringat sesuatu. Tapi, sebelum aku sempat mengucapkan
apa yang teringat, Sendai-san sudah lebih dulu menyebutkan nama Ibaraki-san.
"Aku pergi ke kuil bersama Homina dan yang lainnya untuk
berdoa agar lulus ujian,"
Mendengar nama yang kurang ingin aku dengar, aku langsung
berbaring di tempat tidur.
Aku meraih ke arah kucing hitam itu dan mencubit telinganya.
"Aku juga sudah mendoakan bagian Miyagi loh."
"Tidak usah repot-repot."
"Tapi kan, Miyagi tidak pergi ke kuil untuk berdoa,
kan?"
Aku merasa seperti dipaksa menerima ketika dia berkata dengan
nada yang seolah-olah sudah menentukan.
"Aku tidak percaya hal seperti itu."
"Aku juga tidak benar-benar percaya, tapi ini kan tentang
perasaan. Perasaan."
Sendai-san tampaknya bukan tipe orang yang akan berdoa untuk
keberhasilan. Lebih terlihat seperti tipe yang akan belajar daripada
menghabiskan waktunya berdoa kepada Tuhan. Jika Sendai-san sendirian berdoa
untukku, mungkin rasanya akan berbeda. Tapi, dia tidak sendirian. Dia pergi
bersama Ibaraki-san.
Rasanya seperti tidak ada perasaan yang terlibat.
Namun, merasa buruk untuk terus menolak Sendai-san, aku
memilih untuk diam. Kemudian, aku menjadi tidak tahu harus berkata apa.
"Sudah ada rencana selanjutnya?"
Sendai-san mengingatkan tentang janji belajar selanjutnya yang
hampir terlupakan dan menghubungkan kembali percakapan yang terputus.
"Besok lusa, kamu ada waktu?"
"Bukan besok, tapi besok lusanya?"
"Iya."
"Kalau sore hari boleh?"
"Kalau begitu, datanglah besok lusa."
"Kenapa bukan besok?"
"Karena masih tiga hari pertama tahun baru."
Mempertimbangkan situasi keluarga Sendai-san, aku merasa
seperti tiga hari pertama tahun baru itu seharusnya tidak masalah. Tapi, aku
tetap mempertimbangkannya.
"Kamu memperhatikan hal seperti itu?"
"Aku sih tidak, tapi Sendai-san juga punya belajar
sendiri, kan?"
Saat aku bilang begitu, dia balas dengan "iya deh,"
lalu menambahkan, "jadi, besok lusa ya," kata Sendai-san.
Dan telepon pun terputus, suara yang tadinya dekat sekarang
bukan hanya menjauh, tapi benar-benar menghilang. Ruangan tanpa seseorang untuk
berbicara menjadi terlalu sunyi, membuatku merasa tertekan.
Liburan musim dingin itu singkat.
Kalau bertemu besok lusa, mungkin, itu akan jadi pertemuan
terakhir.
Aku dan Sendai-san sama-sama siswa yang sedang bersiap-siap
ujian.
Aku gak mau dibilang mengganggu belajarnya sampai gagal masuk
universitas. Bukan berarti aku harus masuk universitas yang sama dengan Maika,
tapi tentu saja aku lebih ingin lulus daripada gagal. Kita berdua harus lebih
serius dalam belajar di masa-masa seperti ini.
Kalau bukan karena kita siswa yang sedang bersiap-siap ujian,
mungkin aku bisa lebih sering memanggil Sendai-san.
Kalau tahun lalu, berapapun kali memanggilnya tidak
masalah.
Satu tahun lalu, kami punya janji untuk tidak bertemu di hari
libur, jadi aku tidak bertemu dengannya, tapi aku jadi memikirkan hal itu.
Sungguh, liburan musim dingin ini membosankan.
Aku menghela napas dalam-dalam.
Meletakkan kucing hitam di atas handphoneku yang ada di
samping bantal, lalu mematikan lampu.
Meski masih awal untuk tidur, aku menutup mata.
Malam berlalu dengan cepat dan pagi tiba, aku belajar dengan
lebih serius dari tahun lalu, menghabiskan hari yang panjang.
Sebelum tidur, handphoneku tidak berbunyi.
Tidak ada pesan yang masuk, tidak ada telepon yang datang.
Aku tidur lebih awal dan bangun lebih pagi, meletakkan kucing
hitam di rak buku. Saat waktu pertemuan tiba, bel rumah berbunyi, dan aku
menyambut Sendai-san ke rumah yang tidak ada orang lain kecuali aku.
Dia berkata, "Sudah lama," setelah melepas
sepatunya, mengulangi ucapan "Selamat tahun baru" yang seharusnya
telah dia katakan lewat telepon. Terpaksa, aku juga membalas dengan
"Selamat tahun baru."
"Tunggu di kamar ya,"
Aku memberitahu Sendai-san yang sedang melepas coatnya, lalu
pergi ke dapur.
Sambil meletakkan kue kering di piring, aku berpikir.
Suara Sendai-san adalah yang aku dengar lewat telepon dua hari
lalu.
Memikirkan itu, kata-kata "Sudah lama" yang dia
ucapkan seharusnya tidak tepat, tapi melihat wajahnya memang sudah lama, dan
aku juga merasa demikian.
Berbeda dengan liburan musim dingin tahun lalu yang tidak
pernah bertemu Sendai-san. Dan saat aku memikirkan itu, kata-kata "Sudah
lama" itu terasa seperti tas yang terlalu penuh, membuat bahu terasa
berat. Kata-kata yang sepele terasa penting.
Aku membuka kulkas, mengambil soda dan teh barley.
Memikirkan terlalu dalam membuat kata-kata yang tidak penting
menjadi bermakna. Tidak perlu memberi makna pada sesuatu yang sepele dengan
sengaja.
Aku menuangkan soda dan teh barley ke dalam gelas, lalu
menyimpan botolnya kembali ke kulkas.
Membawa baki yang sudah berisi piring dan gelas kembali ke
kamar, Sendai-san sudah menunggu dengan buku referensi terbuka.
Setelah meletakkan piring dan gelas di ruang kosong di meja,
aku mendengar suara "Terima kasih."
Sendai-san, yang mengenakan sweater turtleneck dan
celana jeans.
Sendai-san yang tidak biasa tidak terlihat lehernya dan
rambutnya tidak diikat, terlihat seperti orang yang tidak aku kenal menatapku.
"Kamu tidak duduk?"
Aku yang tadinya cuma berdiri bengong, ditarik oleh
kata-katanya dan akhirnya duduk di sebelahnya.
Sambil nggak sengaja menyentuh kancing blusku, aku dipanggil
dengan "Miyagi".
"Hari ini juga nggak ada siapa-siapa?"
"Nggak ada."
"Orang tuamu kerja?"
Sandai-san mengambil sepotong kue kering dan menggigitnya.
"Iya, tapi..."
"Besok?"
"Sama seperti hari ini."
Tidak ada arti khusus.
Pertanyaan itu dilemparkan dengan nada ringan. Jika sebelum
liburan musim dingin, mungkin aku bisa langsung menjawab dan mengakhiri
pembicaraan.
Tapi, sekarang beda. Aku nggak merasa itu pertanyaan yang
nggak ada artinya.
Aku buru-buru memberitahu Sandai-san terlebih dahulu.
"...Aku nggak akan menginap hari ini, ya."
"Aku juga nggak minta diinapin kok."
Kata-kataku langsung dibantah, dan sekarang giliranku yang
bertanya.
"Jadi, apa maksud pertanyaanmu tadi?"
"Hanya karena sepertinya nggak ada siapa-siapa, jadi aku
tanya."
Setelah mengatakan itu, Sandai-san menyentuh buku soalku
dengan ujung penanya.
"Ada yang nggak kamu mengerti?"
"Ada sih."
"Di mana?"
Aku bisa melihat Sandai-san mencoba mengelak.
Meskipun dia bilang nggak ingin menginap, pertanyaannya terasa
seperti ada maksud lain.
Tapi, nggak ada gunanya terus bertanya karena aku rasa jawaban
yang benar nggak akan kembali, jadi aku membiarkan perasaanku yang ingin
bertanya menjadi kabur dan mulai menyebutkan bagian yang nggak aku mengerti
dari buku soal.
Kali ini, penjelasan yang diberikan tepat dan nggak mengelak.
Dibandingkan mendengarkan suara guru yang membuatku mengantuk
di ruangan yang kadang dingin atau terlalu panas, lebih baik mendengarkan suara
Sandai-san.
Belajar mungkin nggak terasa menyenangkan, tapi lebih efektif
daripada melakukan sendirian.
Itulah sebabnya aku memanggil Sandai-san hari ini, jadi jika
aku bisa memecahkan masalah yang nggak aku mengerti, itu sudah cukup.
Namun, aku masih penasaran dan melihat Sandai-san.
Rambut panjangnya yang menutupi bahu terasa mengganggu.
Meskipun itu hal yang biasa, leher yang biasanya terlihat
jelas kini tersembunyi.
Rambut dan sweter turtle necknya terasa nggak menyenangkan.
"Kalau mau lihat, lihat ini, bukan aku."
Sandai-san menunjuk bukunya.
Sesuai instruksi, aku menundukkan pandangan ke buku dan
Sandai-san mulai belajar sendiri, berkata, "Kalau
ada yang nggak kamu mengerti, tanya saja."
Ruangannya menjadi tiba-tiba tenang.
Saat aku diam-diam menggerakkan pen, waktu berlalu cukup lama,
dan ketika aku mencapai gelas, soda yang tadinya dingin sekarang sudah hangat.
Aku melihat ke dalam gelas yang masih menyisakan cairan
bening.
Aku berpikir untuk pergi ke dapur, tapi memutuskan untuk
tidak.
Pandanganku beralih dari gelas ke Sandai-san.
Rambut panjang dan sweter turtle necknya terasa sangat
mengganggu.
Mereka menyembunyikan apa yang ingin aku lihat.
"Apa? Kamu mau istirahat?"
Merasa dipandang, Sandai-san mengangkat wajahnya.
"Bisa istirahat, tapi waktunya masih oke?"
Sambil terus melihat ke arah lehernya, aku bertanya.
"Masih oke. Istirahat sebentar?"
"Ayo makan. Kamu pasti mau makan kan, Sandai-san?"
"Aku akan makan."
Sendai-san menutup buku referensinya dan bertanya, "Mau
makan apa?" tanpa menunggu jawaban, aku malah meraih ke arah lehernya yang
tersembunyi dan tidak terlihat. Ujung jariku menyentuh sweater.
Namun, tangan itu segera ditolak oleh Sendai-san.
"Kita makan malam, bukan?"
"Aku pikir, lebih baik istirahat sebentar dulu."
"Kalau mau istirahat, istirahat yang benar dong. ...Atau,
kau berencana 'istirahat' seperti yang dulu?"
Kata-kata yang ditekankan itu membuatku teringat liburan musim
panas.
Selama liburan panjang tahun lalu, istirahat tidak hanya
berarti "beristirahat sejenak".
Kami menggunakan kata 'istirahat' sebagai sinyal untuk
melakukan hal-hal yang bukan teman biasanya lakukan.
"Aku nggak mau 'istirahat'. Cuma penasaran karena nggak bisa
lihat lehernya aja."
Musim dingin berbeda dengan musim panas.
Liburannya pendek, dan kelulusan sudah dekat.
Kami harus bersiap menuju dunia yang berbeda.
"Bukan lehernya yang ingin kau lihat, kan?"
Sendai-san berkata dengan nada kesal, lalu membalikkan
badannya ke arahku dan menyentuh rambutku, sambil menelusuri leherku dengan
jarinya.
"Kalau kau sudah tahu, kenapa nggak tunjukin aja?"
Aku pikir Sendai-san itu jahil.
Dia tahu apa yang ingin aku lihat, tapi dia nggak mau
mengatakannya.
Dia juga nggak mau menunjukkannya, malah menyentuhku.
Jari yang perlahan menelusuri leherku itu membuatku geli.
Aku mencoba menangkap tangannya dan menariknya ke arahku, tapi
tangannya licin dan berhasil lolos.
"Kita nggak janji akan menurut selama liburan musim
dingin, kan? Lagipula, kau pikir aku nggak pakai kalung itu?"
"Mungkin kamu nggak pakainya."
"Coba percaya dong."
Kalau bisa, aku ingin percaya.
Begitu, aku nggak perlu merasa perlu untuk memastikan.
Aku nggak perlu berpikir untuk membiarkan sesuatu seperti
kalung menjaga dia tetap dekat.
Tapi, Sendai-san selalu melakukan hal-hal yang membuatnya
tidak layak dipercaya. Bahkan ketika aku melihat dengan mata kepala sendiri,
ada hal-hal yang dia sengaja sembunyikan. Jadi, aku jadi curiga.
"...Kamu sengaja nggak mau nunjukin hari ini, kan?"
Aku menatap leher yang tertutup sweater itu.
"Emang nggak sengaja sih, tapi kamu pengen liat?"
"Kalau aku bilang pengen liat, kamu bakal nunjukin?"
Mendengar kata-kataku, Sendai-san tersenyum.
"Kalau Miyagi bisa menepati janji, aku akan
nunjukin."
"Janji apa?"
"Boleh cium, kan?"
Begitu dia berkata, dia langsung membuka satu kancing blusku
tanpa permisi.
"Eh"
Aku terkejut dengan tindakannya yang tidak terduga itu, dan
sebelum sempat menangkap tangan yang membuka kancing, suaraku keluar duluan.
"Kenapa?"
"Aku nggak bilang boleh buka kancing."
Aku mencoba memprotes Sendai-san yang egois, tapi tangannya
tidak mau mendengarkan.
Dia membuka satu lagi kancingnya dan mulai mengelus tulang
selangkaku.
"Kalau mau lihat kalungnya, harusnya kamu tenang
aja."
"…apa yang akan kamu lakukan?"
"Aku bilang mau cium, kan?"
Sendai-san mengeluarkan janji yang tidak bisa ditolak.
Sekarang, setelah selesai belajar, aku tidak bisa menolak
ciuman yang sudah dijanjikan itu.
Ujung jarinya merayap ke leher dan bergerak menuju ke belakang
leher.
Ini bukan bagian dari janji, tapi sebelum aku bisa mengeluh,
sebuah ciuman ditinggalkan sedikit di atas tulang selangka saya.
Apakah ciuman seperti ini termasuk dalam janji?
Aku merenungkan sesuatu yang sepertinya penting tapi
sebenarnya mungkin tidak terlalu penting, ketika bibirnya menyentuh leherku.
Ditekan dengan lembut, dan ciuman lain diberikan di tempat yang berbeda.
Menyentuh, kemudian melepaskan.
Bibir itu melacak leherku, bergerak ke atas.
Hembusan napasnya membuat saya geli, dan leherku menjadi kaku.
Aku hampir tidak bisa bernapas karena sensasi hangat dari
bibirnya.
Aku tidak yakin apakah ini boleh, tapi aku tidak merasa perlu
mendorong Sendai-san menjauh.
Mungkin, ini masih dalam batas janji, jadi tidak apa-apa.
Bibir yang telah mencium leherku berulang kali kini ditekan
lebih kuat dekat telinga, membuat aku secara refleks menangkap lengan
Sendai-san.
Namun, dia tanpa ragu mengisap kulitku dengan kuat, sangat kuat. Bukan sampai sakit, tapi ada
sensasi seperti ditusuk jarum.
Daripada mendorong bahunya, aku mencakar lengan Sendai-san
saat dia menggigit leherku.
Tapi, bibirnya segera terlepas dan sesuatu yang basah menempel
pada daun telingaku.
Itu pasti lidah, lebih hangat dari bibir, menjilati kontur
telingaku.
Saat lidah itu menekan telingaku, seolah bergerak bersama,
bagian belakang jantungku mulai merasa geli.
Aku bisa mendengar napas Sendai-san menghirup dan
menghembuskan udara sangat dekat, seolah jantung
kami berdetak bersama.
Aku hampir kehilangan ritme napas saya karena panas tubuhnya
yang terlalu dekat.
Aku menyesuaikan napasku yang tercekat saat kami menghirup
udara bersamaan, dan aku mendorong bahu Sendai-san dengan keras.
"Ini bukan ciuman."
"Kamu tidak bilang berhenti, jadi aku lanjut."
"Tidak bilang berhenti bukan berarti boleh. Lagipula,
kenapa kamu buka dua kancing? Bisa kok tanpa itu. Dan pasti,
ada bekasnya kan?"
Aku mencoba meraba tempat Sendai-san mengisap
dengan kuat.
Tapi, karena jari-jariku tidak memiliki mata, aku tidak bisa
melihat apa yang terjadi di sana.
"Kita tidak menentukan tempat ciuman waktu itu, kan?
Jadi, aku bisa mencium di mana saja dan kamu tidak bisa komplain."
Dia berkata begitu dengan tenang, kemudian menekan tempat yang
mungkin meninggalkan bekas dengan tanganku.
Jari-jarinya bergerak, menyentuh telinga saya dan menyisir
rambutku..
Dan, seolah itu hal yang biasa, dia mendekatkan wajahnya lagi,
membuat saya harus mendorong bahunya sekali lagi.
"Ambilkan aku cermin di atas meja itu."
Bisa dianggap itu salahku karena aku tidak menentukan tempat
untuk berciuman. Tapi, itu bukan alasan buat dia untuk mengikuti jejakku.
Sendai-san juga bilang berulang kali ke aku untuk tidak
mengikuti jejak orang lain, jadi aku rasa aku berhak memberi perintah ke dia
kalau dia melakukan sesuatu yang bisa meninggalkan jejak.
"Kalau jejak, tidak ada kok."
"Aku akan cek sendiri."
Dengan tegas aku berkata, dan Sendai-san dengan enggan
mengambil cermin.
Ini bukan pertama kalinya aku dicium di leher.
Tapi, belum pernah ada ciuman yang meninggalkan jejak seperti
ini.
Ada kalanya kulitku merah karena digigit.
Tapi, bekas gigitan itu tidak bertahan sampai sehari pun.
"Ini dia."
Sendai-san memberikan cermin ke aku, dan aku melihat leherku
di dalamnya.
Tidak perlu membuka kancing, di leherku ada bekas merah yang
jelas. Itu berada di posisi yang sangat pas, tidak tersembunyi walaupun semua
kancing blusku ditutup, tapi juga tidak terlalu mencolok.
"Ada sedikit jejak sih, tapi bisa ditutupi dengan rambut,
kan?"
Sendai-san berkata dengan tidak bertanggung jawab.
Memang terasa seperti itu kalau dia bilang bisa ditutupi
dengan rambut, tapi sepertinya tidak bisa sepenuhnya tersembunyi.
Ini sengaja.
Dia sengaja meninggalkan jejak di tempat yang bisa dilihat.
"Ini mungkin tidak mencolok, tapi pasti bisa dilihat
dong."
"Tidak lah. Bisa ditutupi kok."
Sendai-san berkata dengan sembarangan sambil menyentuh
rambutku untuk menutupi jejak tersebut. Sentuhan ujung rambutnya di leherku
membuatku geli, dan aku menepis tangannya dan memberikan cermin itu kembali ke
dia.
"Gak akan bisa. Gimana kalau ada yang melihat?"
"Sekolah kan libur, harusnya aman."
"Kalau orang tua melihat gimana?"
"Kan mereka bilang hari ini dan besok kerja, katanya
Miyagi. Lusa pasti sudah hilang, jadi harusnya tidak masalah."
Oh, jadi begitu.
Sekarang aku mengerti maksud dari pertanyaan yang diajukan
sebelum kita mulai belajar.
"Orang tua mungkin tidak ada, tapi bisa jadi aku bertemu
dengan teman-teman."
"Siapa sih yang bilang kalau semua orang sibuk dengan
belajar buat ujian masuk?"
"...Bilang begitu, kayaknya sifatnya buruk deh."
"Tidak seburuk Miyagi."
Sendai-san tersenyum dan berkata sesuatu yang cukup buruk.
Lalu, dia memegang lengan aku.
"Bisa cium aku lagi tidak?"
Karena dia berkata begitu dengan santainya, aku menghalangi
hak Sendai-san untuk melakukannya.
"Tidak bisa. Daripada itu, tunjukkan kalungmu."
Kali ini giliran aku yang menepati janji, dan aku meraih ke
arah Sendai-san. Tapi, sebelum aku bisa menyentuh leher, kalung itu sudah
dikeluarkan dari sweater.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.