Story About Buying My Classmate chap 8 v1

Ndrii
0

 bab 8

Karena Miyagi Menyentuhku




Melihat Miyagi yang bingung itu seru banget.


Kayaknya sifatku jadi kelihatan jahat, tapi sebenarnya yang bermasalah itu adalah reaksi Miyagi yang kayak lagi mengaku dosa.

 

"Jangan gerak."

 

Aku menjangkau Miyagi yang sedang duduk di seberang meja dan membaca komik. Tapi sebelum jari-jariku menyentuhnya, dia mengeluarkan suara yang terdengar bingung.

 

"Apa?"

 

"Ada rambut di kamu."


Ketika aku memberi tahu alasanku, Miyagi mengangkat wajahnya dari buku dan bertanya, "Di mana?"

 

"Aku ambilin ya."


Aku mencondongkan badan ke depan, menopang meja dengan tangan, dan dengan jari-jariku yang terulur ke arah dada, aku menyentuh leher Miyagi.

 

Aku nggak menyentuhnya dengan kuat.

 

Cuma sebentar, sangat sebentar.

 

Meskipun sentuhanku cuma sekejap, Miyagi bereaksi berlebihan dengan menengadahkan kepalanya.


Beberapa hari yang lalu.

 

Pada hari aku tertidur di ruangan ini, aku terbangun karena geli di leher. Tapi karena aku masih setengah tidur, aku nggak yakin apakah aku benar-benar disentuh atau itu cuma perasaanku aja.


Tapi, yah.

 

Kejadian yang kukira cuma mimpi, ternyata bukan mimpi.


Dari reaksi Miyagi, aku jadi yakin. Pada hari itu, yang menyentuh leherku adalah bibir Miyagi. Aku menarik rambutnya yang sedikit lebih panjang dari bahu.

 

"Itu sakit!"

 

"Maaf. Masih ada yang belum keambil."


Meskipun yang kutarik jelas-jelas bukan rambut yang lepas, aku bilang begitu aja.

 

"Kamu sengaja kan?"

 

"Kan kelihatan kayak ada rambut lepas, jadi aku mau ambilin."


Aku nggak menyangkal karena memang itu sengaja.

 

Aku teringat saat aku masuk ke ruangan ini hari ini.


Saat aku coba buka kancing kedua dan dia suruh berhenti.


Cuma karena melihat Miyagi, dia langsung mengalihkan pandangannya.


Dan dari situ dia terus bertingkah aneh. Bahkan sekarang, dia terkejut banget cuma karena sedikit usil.

 

"Selesaikan PR-nya cepetan."


Miyagi bilang dengan tampang nggak senang.

 

Kucing liar yang kayaknya mulai nyaman, sekarang menunjukkan kehati-hatiannya lagi.

 

Miyagi hari ini kelihatannya kayak gitu.

 

"Nggak usah tergesa-gesa, aku hampir selesai kok."

 

Selesaikan PR-nya.


Perintah yang diberikan sekitar satu jam lalu jadi agak ribet setelah kelas kami pisah. Kalau satu kelas, PR-nya sama dan aku bisa cukup menyalin PR yang sudah aku kerjakan. Tapi sekarang, karena PR yang diberikan beda, aku harus mengerjakan PR hanya untuk Miyagi.

 

Nilai Miyagi nggak terlalu bagus, dan kayaknya dia punya mata pelajaran yang dia nggak suka, tapi nggak seharusnya seburuk itu juga.


Apalagi ada ujian masuk universitas, seharusnya dia serius aja.


Kenapa sih, padahal kalau nilainya bagus, pilihannya juga bakal lebih banyak.

 

Lebih baik bisa belajar daripada nggak bisa. Kalau gitu, pilihan universitas yang bisa dipilih juga bertambah, dan masa depan yang bisa dipilih juga jadi lebih banyak.


Tentu aja, semua ada batasnya, dan ada tempat-tempat yang nggak bisa dicapai, jadi kadang usaha itu jadi sia-sia.

 

"Udah mutusin mau masuk universitas mana?"


Ketika aku tanya hal serupa di awal April, Miyagi yang jawab "nggak tahu" sekarang memberikan jawaban yang berbeda.

 

"Belum mutusin. Kalau pun aku masuk, yang penting bisa keterima di mana saja."

 

"Itu terlalu sembarangan."


"Aku nggak tertarik sih. Daripada itu, mendingan selesain PR."

 

"Iya, iya. Aku tahu kok."


Sayang banget.

 

Aku nggak bermaksud bilang harus masuk bimbel yang sama dengan aku, atau harus belajar mati-matian, tapi Miyagi itu terlalu nggak punya motivasi.

 

Dia selalu terlihat pasrah.


Pada hari itu, dia yang biasanya pasif, tiba-tiba aja mendekat dan menyentuh dengan bibir tanpa permisi.

 

Aku menyentuh leherku.


Nggak ngerti kenapa dia mau menempelkan bibirnya di tempat seperti itu. Mungkin karena dia mau meninggalkan tanda ciuman, tapi kalau itu tujuannya, seharusnya ada bekas di leherku.

 

Apa artinya cuma menyentuh seperti itu?


Kalau hubungan kami yang Miyagi tolak sebagai teman jadi lebih dekat, itu nggak masalah buatku. Tapi, tindakannya kayaknya ingin mengubah hubungan kami menjadi sesuatu yang lebih dari sekadar teman.

 

Senang sih kalau Miyagi jadi lebih dekat, tapi kalau kejadian-kejadian seperti itu terus berlanjut, aku bakal kerepotan.

 

Hubunganku dengan Miyagi sepertinya bisa jadi lebih dalam dan itu bikin takut.

 

Aku nggak menginginkan hubungan yang terlalu intens. Aku hanya ingin pertemanan yang nggak terlalu putih atau hitam, cukup abu-abu saja. Kalau menjadi lebih dari itu, aku khawatir nggak bisa berpisah dengan baik tahun depan.

 

Meskipun begitu, aku nggak terlalu membenci apa yang dilakukan Miyagi padaku.

 

Ini nggak baik.

 

Aku nggak bisa menjelaskan apa yang nggak baik, tapi aku tahu ini nggak baik.

 

Aku mengambil penghapus dan melemparkannya ke arah Miyagi.


Penghapus itu menggambar lengkungan lembut, melampaui buku teks, dan berguling di sampingnya.

 

"Kamu hari ini nggak banyak bicara ya. Ada apa?"


Aku memanggil Miyagi yang mengangkat wajahnya dan saat aku membuka kancing kedua blusku, dia mengalihkan pandangannya dengan cara yang nggak wajar.

 

Rasanya nggak enak kalau hanya aku yang terjebak dalam perasaan yang nggak jelas ini.

 

Harusnya Miyagi juga merasa sedikit kesulitan.

 

"Tidak ada."


Miyagi menjawab dengan suara yang dingin, dan segera kembali fokus pada buku yang dibacanya.

 

"Mau ngomongin tentang orang yang kamu suka?"

 

"Tidak mau."


Aku tahu.


Dia nggak terlihat seperti orang yang suka membicarakan hal seperti itu.

 

Aku pikir dia nggak terlalu tahu tentang gosip, tapi itu salah. Dia tahu bahwa aku telah didekati seseorang, jadi sepertinya dia punya jaringannya sendiri.

 

"Miyagi, kamu nggak punya orang yang kamu suka?"

 

"Aku nggak suka membicarakan hal seperti itu."

 

"Lalu, kenapa waktu itu kamu yang mulai membicarakannya?"

 

Dia bahkan bersikeras ingin tahu kenapa aku menolak pengakuan seseorang.


Aku nggak akan membiarkannya lupa tentang itu.

 

"..."

 

Sepertinya dia nggak berniat menjawab dan hanya suara halaman komik yang terdengar berbalik.

 

"Miyagi."

 

Aku mendesaknya untuk menjawab, tapi dia nggak bergerak sedikit pun. Namun, kalau diperhatikan, ada kerutan di antara alis Miyagi. Aku mengusap leherku dengan ringan.


Ini semua karena kamu yang mencium di tempat seperti itu.


Kamu harusnya menyesal.


Itulah yang kupikirkan, tapi berada di ruangan yang sama dengan Miyagi yang mengabaikanku itu juga membosankan.

 

"Itu dia. Selama Golden Week, pinjamkan aku bukumu."


Aku mencoba mengubah topik sebagai bentuk pengampunan.

 

"Tidak mau."

 

"Aku tahu kamu akan bilang itu."

 

Di sisi seperti ini, Miyagi selalu seperti biasanya.


Seandainya dia selalu seperti ini, itu akan lebih baik.


Jika semuanya terus berulang seperti biasa, waktu yang damai akan berlangsung lama. Aku nggak mau merasakan roller coaster emosi. Jadi, jawaban Miyagi yang tetap sama itu terasa menyenangkan.

 

◇◇◇

 

Miyagi yang nggak banyak bicara bukanlah hal yang aneh. Dia memang nggak terlalu banyak bicara saat bersamaku. Kalau dipikir-pikir, Miyagi yang seperti itu adalah Miyagi yang kembali ke operasi normalnya.

 

Meskipun nggak terlalu menyenangkan, aku pikir itu nggak bisa dihindari.


Suasana hatinya nggak bisa aku ubah hanya dengan perasaanku saja.

 

Meski aku sudah menerima sikapnya yang tidak ramah, Golden Week tiba-tiba datang dan sejak itu aku tidak bertemu dengan Miyagi lagi.

 

Dan sekarang, dua hari setelah libur berakhir.

 

Aku belum melihat Miyagi di sekolah sama sekali hari ini.

 

Kami tidak pernah berpapasan di koridor.

 

Kalau kelasnya berbeda, ya begitulah.

 

Aku tidak merasa kesepian. Aku tidak kekurangan teman untuk berbicara, dan aku juga mendapatkan teman baru. Aku tidak memiliki keluhan besar tentang kehidupan sekolahku. Aku menangani semuanya dengan cukup baik dan hidupku cukup menyenangkan. Meski terkadang aku mendengar orang berkomentar bahwa aku bersikap terlalu baik pada semua orang, tapi itu tidak penting bagiku.

 

"Sebentar, aku ke sebelah dulu."

 

Di tengah kegaduhan kelas saat istirahat, Homina yang duduk di bangku diagonal depan tiba-tiba berkata demikian.

 

"Kenapa?"

 

"Aku lupa bawa buku pelajaran."

 

Homina berkata dengan malas, "Ah, mungkin aku akan bolos saja," lalu Mariko segera mencoba menghentikannya.

 

"Jangan deh. Kalau kamu bolos lagi, kan katanya harus nulis surat permohonan maaf."

 

"Hmm, nggak apa-apa sih nulis surat begitu. Tapi, kali ini aku pinjam dari sebelah saja."

 

Dengan suara yang tidak terdengar bersemangat, Homina meninggalkan kelas.

 

Homina yang tidak bisa dibilang rajin, terus menerus melakukan 'kejahatan' dengan membolos kelas. Dia sudah beberapa kali dipanggil karena itu, dan meskipun sudah kelas 3, dia masih belum jera. Mariko yang tahun lalu satu kelas dengannya, sempat ikut-ikutan membolos, tapi sekarang di kelas 3 dengan masa depan yang terlihat nyata, dia berubah pikiran.

 

Persahabatan itu bisa merepotkan di saat-saat seperti ini.

 

Jika satu orang berbuat salah, maka teman-temannya juga dianggap melakukan hal yang salah.

 

Itulah pandangan yang sering muncul.

 

Makanya, Mariko tahun ini memperhatikan nilai rapotnya dan berusaha menghentikan homina.

 

Rasanya sudah terlambat untuk memikirkan hal tersebut sekarang.

 

Tapi, lebih baik melakukan sesuatu daripada tidak sama sekali.

 

Aku mengeluarkan buku pelajaran dan buku catatanku dari dalam meja.

 

Aku tidak terlalu menikmati pelajaran, tapi aku tidak berniat untuk membolos. Aku juga perlu berusaha untuk menjaga citra baikku yang berbeda dari teman-temanku.

 

"Ah, buku catatan. Hazuki, pinjamkan nanti ya. Aku ingin fotokopi."


Aku mengangguk pada kata-kata Mariko, lalu suara ringan terdengar.

 

"Aku pinjam."

 

Homina menunjukkan buku pelajaran yang dia pegang di satu tangan dan kembali ke tempat duduknya.

 

"Itu."

 

Suara itu keluar tanpa sengaja.

 

Yang kutangkap dengan mataku adalah buku pelajaran Bahasa Jepang modern untuk pelajaran selanjutnya, dan tidak ada yang aneh.


Hanya saja, ada bekas lipatan di sampulnya.

 

"Ini?"


Homina dengan wajah bingung melihat buku pelajaran yang dia pegang.


Aku menggenggam tanganku erat-erat.

 

Buku pelajaran yang dipegang Homina terasa seperti sesuatu yang spesial hanya karena "itu"...

 

Seharusnya aku tidak mengucapkannya. Tapi, membatalkan kata-kata yang sudah terucap akan terdengar lebih aneh, dan homina mungkin akan tertarik dan menanggapi dengan antusias.

 

"Bukan punya Ruka, kan? Dari siapa kamu pinjam?"

 

Ruka adalah teman yang seharusnya homina pinjam buku pelajarannya.

 

Namun, buku yang dia pegang bukan milik Ruka, atau pun milik teman

lainnya.

 

Buku pelajaran yang ada di tangan Homina itu adalah milik Miyagi.


Aku yakin karena bekas lipatan di sampulnya adalah bekas yang kubuat, jadi tidak mungkin salah.

 

"Mengapa kamu tahu?"

 

"Insting saja."

 

Aku tidak bisa menjelaskan lebih lanjut, tapi aku tahu itu pasti buku Miyagi. Ada rasa penasaran yang menggoda dalam benakku, tapi aku menahannya. Aku tidak ingin membuat situasi menjadi lebih rumit lagi dengan bertanya-tanya tentang Miyagi yang sudah cukup lama tidak berinteraksi denganku.

 

Aku memutuskan untuk menyimpan alasan itu untuk diriku sendiri.


Humina tidak tahu bahwa aku dan Miyagi cukup dekat untuk bisa mengenali buku teks milik siapa hanya dengan sekilas, dan tidak perlu untuk memberitahunya.

 

"Ingin pinjam dari Ruka tapi dia nggak ada. Aku pinjam dari anak yang satu kelas dengan kita di tahun kedua. Eh, siapa ya namanya. Anak yang rambutnya hitam dan terlihat biasa aja itu."

 

Sambil berkata "siapa ya itu anak," Homina mencoba mengingat.


Tapi aku yakin dia tidak akan bisa mengingatnya.


Makanya aku yang menjawab.

 

"...Miyagi?"

 

"Oh, iya, Miyagi. Hazuki, kamu ini ingatannya bagus banget ya? Nggak pernah lupa nama orang."

 

Homina berkata dengan kagum, lalu menatap buku teks itu dengan seksama. Dan segera dia mulai tertawa.

 

"Ngomong-ngomong, Miyagi itu kelihatannya sederhana banget tapi buku tekstnya dilipat dengan sembrono ya, lucu banget."

 

Homina tertawa terbahak-bahak, dan tawa itu seakan ditelan oleh suara bel yang berbunyi. Mariko bergegas kembali ke tempat duduknya, dan guru masuk ke dalam kelas.


"Diam. Kita mulai pelajaran."

 

Guru itu mengetuk meja guru dengan keras dan berkata.


Dan sebelum keributan di kelas mereda, pelajaran dimulai. Tulisan di papan tulis yang jauh dari kata rapi sulit untuk dibaca seperti cacing yang merangkak keluar dari tanah.

 

Pandanganku berpindah ke tempat duduk di depan serong.


Yang bisa kulihat sebagian besar adalah punggung Homina, dan buku teksnya tidak terlihat jelas.

 

Pandanganku kembali ke papan tulis, dan aku mulai menyalin tulisan ke dalam buku catatanku. Aku tidak berniat mengatakan bahwa buku teks yang terlipat itu adalah milikku, tapi ketika aku berpikir bahwa itu digunakan oleh Homina, lenganku yang menulis rasanya berat sekali.


Suara serak guru itu terasa tidak menyenangkan, dan membuatku kesal.

 

Pak!

 

Suara patah yang kecil terdengar ketika isi pensil mekanikku patah.

 

Homina bahkan tidak ingat nama Miyagi.

 

Aku menutup mataku.

 

Perasaan yang dibawa oleh buku teks ini tidak boleh kukejar. Perasaan yang tidak masuk akal ini akan membawa pada sesuatu yang merepotkan.


Buku teks itu bukanlah sesuatu yang penting, tidak layak untuk dipikirkan.

 

Aku membuka mataku dan melihat ke papan tulis.

 

Mendengarkan suara guru dan menyalin catatan.


Sambil pikiranku penuh dengan hal-hal yang tidak penting, pelajaran pun berakhir.

 

Waktu terus berlalu.

 

Tanpa kusadari, pelajaran sore hampir berakhir.

 

Di hari-hari seperti ini, Miyagi tidak pernah menghubungi.

 

Hari ini seharusnya kamu yang menghubungi.

 

Dalam hati aku mengeluh.

 

Aku akan ke rumahmu hari ini.

 

Meskipun aku tidak pernah mengirim pesan seperti itu, tidak ada aturan yang mengatakan aku tidak boleh menghubungi dari sini. Hanya saja sudah menjadi kebiasaan jika Miyagi yang menghubungi, tapi seharusnya tidak masalah jika aku yang menghubungi.

 

Bel yang menandakan akhir pelajaran berbunyi, dan aku mengambil ponselku.

 

Aku menatap layar kecil itu dengan tajam.

 

"Menunggu pesan? Dari pacar, mungkin?"

 

Suara Homina terdengar, dan aku mengangkat wajahku.

 

"Nggak punya waktu buat pacaran sih."

 

"Kamu selalu bilang begitu. Aku kenalin kamu ke orang baik, yuk cari pacar."


"Mungkin nanti. Setelah ujian selesai."

 

"Kamu terlalu serius. Kamu ada les hari ini, kan?"


Homina bertanya,


Q


Aku menyangkal meski sudah berkali-kali Homina salah menyebut bimbel sebagai les, "Enggak, hari ini enggak ada."

 

"Kalau begitu," katanya.

 

Dia ingin pergi ke suatu tempat, dia juga ingin pergi ke tempat lain.


Humina menyatakan keinginannya dan Mariko yang datang belakangan setuju. Aku menyimpan ponselku kembali ke tas. Miyagi seharusnya yang menghubungi.

 

Harusnya bukan aku yang menghubungi.


Ketika homeroom berakhir, tujuan sudah ditentukan dan kami meninggalkan kelas.

 

◇◇◇

 

Aku pikir Miyagi akan segera menghubungi setelah liburan berakhir.


Tapi Miyagi tidak menghubungi dan ponselku baru berbunyi tiga hari setelah Humina meminjam buku teks itu.


Aku sama sekali, tidak, peduli.

 

Miyagi yang bayar, jadi Miyagi bisa kontak aku kapan aja yang disuka. Aku mampir ke minimarket, beli kripik kentang sama cokelat. Rumah Miyagi jarang banget ada camilan. Toh hari ini juga gak bakalan banyak ngomong, kayaknya lebih enak kalau ada yang dimakan sambil ngabisin waktu.

 

Sambil bawa tas plastik putih yang berisi camilan, aku berjalan menuju rumah Miyagi.

 

Ketika aku menengadah ke langit, gak ada awan sama sekali, cuacanya bagus banget tanpa alasan. Langitnya biru banget, kayak dicat tebal-tebal, gak ada yang mengganggu sama sekali. Tapi, seperti bayangan yang dibuat matahari, ada sesuatu yang gelap di sudut hatiku, dan aku terus berjalan dengan perasaan yang gak terangkat. Jalan menuju rumah Miyagi, yang seharusnya nyaman, terasa menyebalkan, dan kakiku terasa berat.

 

Kenapa aku harus merasa seperti ini?

 

Aku mengayunkan tas plastik dari minimarket yang berisi camilan itu.

 

Aku mengusir Miyagi yang berusaha bertengger di kepala aku, dan mulai berlari.

 

Kira-kira lima menit.

 

Aku berlari dengan nafas yang masih teratur, dan tepat seperti yang aku duga, aku sampai di apartemen itu. Aku memanggil Miyagi lewat interkom di pintu masuk, dan dia membiarkan aku masuk. Naik lift ke lantai enam, dan di depan pintu, aku menekan interkom sekali lagi. Pintunya terbuka.

 

"Ya."

 

Setelah melepas sepatu, Miyagi langsung memberikan lima ribu yen dengan kata-kata yang hanya secukupnya. Meskipun baru bertemu setelah lama, Miyagi terasa dingin.

 

"Terima kasih."


Aku secara formal menyimpan lembaran kertas yang diberikan itu ke dalam dompet, lalu masuk ke kamar Miyagi. Aku meletakkan tas plastik dari minimarket itu, lalu Miyagi keluar dari kamar. Aku berdiri di depan rak buku, memandang judul-judul manga yang tersusun dan terlihat ada banyak buku baru.

 

Aku mengambil satu buku manga yang belum pernah aku baca, dan duduk di atas tempat tidur. Saat aku pelan-pelan membuka halamannya, Miyagi kembali dengan membawa teh gandum dan soda.

 

"Buku baru, beli?"

 

"Karena bosan saat libur."

 

Miyagi tidak mengatakan dia membelinya, tapi menjelaskan alasan kenapa dia membeli lalu diam.

 

Suasana kamar tampak tidak berubah dari sebelum liburan.

 

Sikap Miyagi juga tidak berubah, tetap tidak ramah.

 

Aku menutup manga itu, lalu menunjuk tas plastik dari minimarket.

 

"Itu, aku yang bawa. Boleh dibuka kok."

 

"Buka sendiri aja."

 

Miyagi bilang tanpa melihat "itu" dan berjalan ke rak buku.


Sikapnya yang seperti memberontak, atau jawaban yang terkesan tidak puas saat aku bicara juga tidak berubah. Biasanya aku tidak terlalu peduli, tapi hari ini sikap Miyagi yang seperti itu membuat aku kesal.

 

"Shiori."


Aku menyebut nama depan Miyagi.

 

"......Eh?”

 

Setelah berhenti sejenak, Miyagi menoleh dengan wajah yang jelas-jelas menunjukkan ketidaksukaannya, dan aku menyebut namanya sekali lagi.

 

"Boleh aku panggil kamu Shiori?"

 

Sejauh yang aku tahu, semua temannya memanggilnya dengan nama depan.

 

Jika begitu, seharusnya tidak apa-apa jika aku memanggilnya begitu.


Kami bukan teman, tapi kami melakukan hal-hal yang tidak dilakukan oleh teman. Kami berbagi rahasia yang tidak bisa kami ceritakan pada siapa pun, jadi seharusnya tidak masalah jika kami menggunakan panggilan yang lebih akrab. Namun, Miyagi sepertinya tidak setuju.

 

"Tidak boleh."

 

Dia berkata dengan suara dingin sambil duduk di sisi yang berlawanan dengan buku di tangannya.

 

"Pelit."

 

Aku turun dari tempat tidur dan duduk di lantai.


Aku mengeluarkan kripik kentang dan cokelat dari tas plastik dari minimarket dan membuka kemasan kripik kentang. Lalu, aku mulai membawa irisan kentang yang terlalu tipis itu ke mulutku.


Satu lembar, dua lembar, tiga lembar.

 

Aku mengunyah kripik kentang dan menelannya ke dalam perutku.


Miyagi mengatakan bahwa aku bukan temannya, tapi dia ingin tahu tentangku seperti teman.

 

Dia ingin tahu tentang laki-laki yang mengaku padaku, dan menjadi kesal.


Itu terlihat seperti cemburu.


Namun, dia tidak membiarkan aku memanggilnya Shiori.


Itu tidak masuk akal.

 

Aku menatap Miyagi. Dia sedang membaca manga dan tidak mau menoleh. Dia juga tidak makan kripik kentang.

 

"Hey, Miyagi. Mau aku suapin?"


Aku mengambil selembar kripik kentang dari dalam tas.

 

"Tidak perlu. Aku tidak mau."

 

"Tidak usah malu-malu."

 

Aku membawa selembar kripik kentang yang tipis ke depan mulut Miyagi. Namun, dia tidak mengambil kripik kentang dari tanganku dan malah mengambil selembar baru dari dalam tas.

 

"Aku akan makan sendiri."


Setelah berkata demikian, dia membuka mulutnya lebar-lebar dan memakan kripik kentang itu dalam satu gigitan.

 

"Bagaimana dengan ini?"


Aku menunjukkan irisan kentang yang tidak terpakai.

 

"Tidak butuh."

 

Miyagi berkata dengan tegas dan mengambil selembar lagi kripik kentang dari dalam tas dan memakannya. Aku menelan irisan kentang yang tidak terpakai itu ke dalam perutku, lalu menangkap tangan Miyagi.

 

"Apa?"

 

Suara yang bingung terdengar, tapi aku mengabaikannya.


Aku menghisap jari-jarinya yang beberapa kali aku jilat atas perintahnya.

 

Ketika aku menekan lidahku dengan kuat ke jari-jarinya, rasa asin menyebar ke dalam mulutku.

 

"Sendai-san, berhenti."

 

Miyagi menarik rambut depanku, tapi aku tidak berniat untuk menurutinya. Aku meluncurkan lidahku dengan lembut di sekitar jarinya dan menggigitnya ringan. Ketika tulangnya menyentuh gigiku dan aku menambahkan sedikit kekuatan, jarinya ditarik dengan paksa.

 

"Aku tidak suka!"

 

Dia melempar kata-kata dengan kasar dan Miyagi mengerutkan dahi.


Melihat wajahnya yang jelas-jelas tidak puas, detak jantungku menjadi cepat.

 

"Begitu ekspresi wajahmu."


Suatu kali, ketika aku sedang tidak bersemangat, Miyagi berkata begitu kepadaku.

 

Miyagi terlihat senang ketika aku tidak suka.

 

Aku tidak mengerti dia seperti itu, tapi sekarang aku mengerti. 


Melihat Miyagi yang menumpahkan emosinya padaku, aku merasa bersemangat.

 

"Miyagi, rasanya asin ya."


Aku tersenyum dan berkata begitu, dan Miyagi mengerutkan wajahnya.

 

"Itu rasa kripik kentang."

 

"Itu juga bisa dikatakan."

 

"Hari ini, kenapa sih? Jangan aneh-aneh."

 

"Kalau kamu nggak mau hal aneh terjadi lagi, kenapa nggak kamu perintah aja?"

 

Bersama Miyagi, aku merasa ada sisi diriku yang tidak kukenal muncul. Kalau aku yang dulu, mungkin tidak akan menjilat jari Miyagi tanpa diperintah. Aku tidak berniat untuk terlibat lebih dalam, tapi semuanya tidak berjalan seperti yang diharapkan.

 

"Belum ada yang kupikirkan."


Miyagi berbicara dengan suara yang pelan.

 

"Mau kita kerjakan pekerjaan rumah?"

 

"Sendai-san, berisik. Biar aku yang mikir sendiri, jadi diam saja."

 

Sepertinya hari ini dia tidak mood untuk memerintahku mengerjakan pekerjaan rumah.

 

Miyagi meletakkan manganya di atas meja dan perlahan minum sodanya.


Dia suka memerintah, tapi tidak suka diperintah.


Bisa kuduga dari wajahnya saat dia mulai mengobrak-abrik tasnya. Aku menjadi tidak tahu harus berbuat apa dan meraih tas kripik kentang itu. Tapi, aku segera menghentikan tanganku dan menjilat ujung jari-jariku sendiri, merasakan rasa yang sama dengan Miyagi.

 

"Sendai-san."


Suara yang sama seperti biasa terdengar, sepertinya dia telah menemukan apa yang dicarinya.

 

"Perintah. Ini, sembunyikan."

 

"Penghapus?"


Aku melihat ke arah benda yang diletakkan di atas meja.

 

"Iya."

 

"Menyembunyikannya di mana saja, boleh?"

 

"Tidak, tidak boleh sembarang tempat. Sembunyikan di seragammu. Nanti, aku akan mencarinya."

 

"…Miyagi itu, selalu punya pikiran yang aneh ya.”

 

Mungkin permainan menyembunyikan penghapus di suatu tempat di ruangan bisa terasa menyenangkan, tapi ketika dikatakan untuk menyembunyikannya di suatu tempat di seragam, makna permainannya berubah.

 

"Ini bukan hal yang aneh kok,"

 

"Pasti kamu berencana untuk melakukan sesuatu yang aneh, kan?"

 

"Yang aneh itu apa sih menurutmu, Sendai-san?"

 

"Miyagi akan menyentuh tempat yang aneh."

 

"Yang mikir ke arah situ malah yang aneh. Sendai-san ini yang hentai."

 

"Hentai itu Miyagi, bukan aku."

 

"Gapapa kok kalau aku dianggap hentai, yang penting cepat sembunyikan itu."

 

Toh aku sudah menerima lima ribu yen darinya, jadi tidak punya hak untuk menolak. Lagipula kalau disentuh juga pasti lewat baju, jadi tidak akan terlalu parah.

 

Aku mengambil penghapus dari meja dan berdiri.

 

"Oke, hadap belakang ya."

 

Setelah aku berkata demikian, Miyagi langsung menurut dan membelakangi.

 

Blazer, rok, dan blus.

 

Aku menatap seragamku sendiri.

 

Perintahnya adalah menyembunyikan penghapus di seragam, tapi setelah diperhatikan lagi, tidak ada tempat lain untuk menyembunyikannya kecuali di kantong. Mungkin bisa saja aku sembunyikan di dalam kaos kaki, tapi pasti langsung ketahuan. Dasinya tidak mungkin, dan tidak ada selotip untuk menempelkannya di bagian dalam kerah. Bahkan jika ada, itu akan terlalu mencolok.

 

Pilihan tempat persembunyian sangat terbatas.

 

Miyagi pasti sadar akan itu, jadi dari awal sudah ditentukan kalau aku akan kalah dalam permainan ini. Dia mungkin hanya ingin melihat ekspresi kesalku sambil pura-pura mencari penghapus, atau ingin melihat reaksiku.

 

Lagipula, ini bukan permainan dan tidak ada hukuman jika aku kalah.

 

Yang penting aku sembunyikan dengan sembarangan dan mengalihkan perhatian Miyagi.

 

Aku memasukkan penghapus yang sudah setengah terpakai ke kantong kanan blazerku. Karena penghapus bakal ketahuan dimana pun aku sembunyikan, lebih baik aku letakkan di tempat yang mudah diambil.

 

"Udah aku sembunyiin, bisa balik lagi."

 

Ketika aku memanggil Miyagi, dia berbalik dengan tenang dan menatapku.

 

Kantongnya sedikit menggembung, jadi tidak mungkin Miyagi tidak tahu di mana penghapus itu. Sebenarnya, pandangannya berhenti sejenak di sekitar kantong kanan. Tapi dia tidak mengatakan bahwa dia sudah menemukannya. Tanpa berkata apa-apa, dia mendekati dan mulai memeriksa tubuhku dari atas blazer seperti petugas inspeksi yang aku lihat di TV.

 

Ya kan.

 

Aku tahu ini yang akan terjadi.

 

Miyagi secara mekanis menyentuh bahu dan punggungku. Meskipun tidak sampai terasa menjijikkan, tidak ada yang menyenangkan dari disentuh-sentuh begitu, hatiku tidak sebesar itu. Tapi karena hanya dari atas blazer, aku tidak terlalu peduli.

 

Tangan Miyagi menghindari sengaja kantong dan menyentuh rok.

 

Dia menyentuh sekitar tulang pinggul dan mencari penghapus dengan menepuk-nepuk paha.

 

Namun, karena tidak mungkin ada di tempat lain, akhirnya tangan Miyagi mencapai kantong rok. Dengan lembut, dia mengelus bagian atas kantong sebelum bergerak ke belakangku. Aku hampir berbalik untuk melihat apa yang ia lakukan, tapi sebelum itu, tangan Miyagi sudah masuk ke dalam kantong.

 

Mungkin karena lebih sulit untuk memasukkan tangan dari depan.

 

Aku mengerti saat itu juga, dan tangan yang merayap di dalam membuatku secara refleks menarik lengan Miyagi.

 

"Jangan gerakkan tanganmu."

 

Kain yang membentuk kantong lebih tipis dibandingkan dengan kain rok. Meskipun aku tahu tidak ada penghapus di sana, tangan yang teliti memeriksanya terasa menjijikkan, seperti menyentuh langsung kakiku.

 

"Kalau tidak gerakkan tangan, bagaimana bisa tahu ada penghapus atau tidak?"

 

"Orang normal langsung tahu saat mereka memasukkan tangan."

 

"Tidak tahu."

 

Miyagi yang tidak mau mendengarkan mencoba menggerakkan tangannya lagi, dan aku dengan paksa menarik tangannya keluar dari kantong.

 

Aku tahu ini akan terjadi.

 

Mungkin ini balas dendam.

 

Balas dendam karena aku telah memanggilnya dengan nama kecil dan menjilat jari-jarinya sebagai lelucon. Aku tidak tahu apa yang akan dilakukan selanjutnya, tapi yang pasti ini bukan sesuatu yang menyenangkan bagiku.

 

"Apa kita bisa berhenti?"

 

"Tidak."

 

Miyagi berkata demikian dan berdiri di depanku, membuka kancing blazernya.

 

Aku sudah mengantisipasi bahwa ia tidak akan berhenti, dan juga kancing blazer yang dibuka. Namun, secara refleks tubuhku menjadi kaku. Miyagi membuka bagian depan blazer dengan lebar, menatap blus dimana ia seharusnya tahu tidak ada penghapus di sana. Pandangannya bergerak dari atas ke bawah. Tangan kanannya meraih dan menyentuh sisi tubuhku.

 

Tangan yang mencari-cari bergerak, dan aku mendorong lengan Miyagi.

 

Geli.

 

Aku bisa tahan jika hanya dari atas blazer, tapi kain blus terlalu tipis. Setiap gerakan tangan membuatku merasa tidak enak, aku tidak ingin disentuh seperti itu. Meskipun seragam seharusnya memisahkan aku dengan Miyagi, rasanya seperti ia menyentuh tubuhku langsung.

 

Ini hanya permainan.

 

Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.

 

Aku mencoba meyakinkan diri sendiri, tapi blus terlalu rapuh. Kain tipis itu mentransfer panas tubuh Miyagi kepadaku, membuat otakku nyaris salah mengerti bahwa kami sedang melakukan sesuatu yang tidak seharusnya.

 

Aku merasa seharusnya sudah berhenti, tapi tangan Miyagi tidak hanya berhenti, melainkan semakin menekan. Ia mencubit sisi tubuhku seperti mencabik-cabik roti, dan tubuhku bergerak dengan tiba-tiba. Tanpa sadar, tangan kirinya sudah bergerak ke atas tulang pinggulku.

 

"Kamu lemah di sisi tubuh ya?" tanya Miyagi dengan nada yang jelas menikmati.

 

"Bukan lemah, tapi geli."

 

"Itu berarti kamu lemah."

 

Ujung jari Miyagi perlahan mengelus naik sisi tubuhku.

 

Kain blus bergesekan, membuatku merinding.

 

Ujung jarinya bergerak menuju punggung, menulis huruf di atas kain blus dengan kukunya.

 

Aku menarik lengan Miyagi.

 

Cara menyentuhnya berbeda dari sebelumnya.

 

Ekspresinya sama seperti biasa, tapi ada sesuatu yang tidak senonoh, bukan cara menyentuh seorang teman. Ini berbeda dari cara teman-teman seperti Humina yang bermain-main dan saling menyentuh.

 

Jika sentuhan itu tanpa emosi seperti sebelumnya, aku bisa meyakinkan diri bahwa ini hanya permainan.

 

"Tapi ini geli, jadi tolong berhenti.”

 

Rasa tidak enak mulai muncul dalam diriku saat aku memperkuat genggaman di lenganku.

 

"Aku akan mencari tempat lain, jadi lepaskan tanganku."

 

"Aku akan melepaskan, tapi kalau kamu melakukan hal yang sama, aku akan menampar."

 

"Kekerasan itu melanggar aturan, bukan?"

 

Suara yang tenang terdengar, tapi aku sudah tahu tanpa harus dikatakan, dan aku tidak ingin menampar orang lain.

 

"Pastikan kamu mencari tempat lain."

 

Setelah menekankan itu, aku melepaskan tangannya, dan Miyagi tidak melakukan hal yang sama lagi. Sebaliknya, tangan yang kini bebas itu merayap ke dalam saku kemeja di dada, dan aku teringat apa yang telah dilakukan pada saku rokku.

 

"Kamu tahu itu tidak ada di sana kan?"

 

Aku menendang kaki Miyagi sebagai protes.

 

Aku tidak ingin disentuh melalui kain kemeja yang tipis itu.

 

"Sendai-san, itu melanggar aturan. Lagipula, kalau tidak memeriksa, bagaimana kamu tahu kalau aku benar-benar tidak menyembunyikannya?"

 

"Menyebalkan."

 

Suara Miyagi terdengar gembira dan benar-benar membuat kesal.

 

"Tenang saja. Aku sudah tahu itu tidak ada di sana, jadi aku akan mencari di tempat lain."

 

Aku tidak tahu apa yang 'tenang saja' itu, tapi tangannya keluar dari saku kemeja.

 

"Sudahlah, selesaikan saja. Jawabannya sudah jelas."

 

Aku sudah lelah bermain game ini.


Aku tahu itu, tapi tidak ada gunanya melanjutkan.

 

"Bertahan sedikit lagi."

 

"Masih ada apa lagi?"

 

"Aku akan melepas dasi."

 

"Apa?"

 

Kata-kata yang tanpa sadar keluar dari mulutku diabaikan, dan Miyagi mulai melonggarkan dasiku. Lalu, tangan gadis itu tanpa ragu menyentuh leherku. Telapak tangannya menempel erat pada kulitku tanpa celah.

 

Sensasi yang jelas berbeda dari melalui kain.

 

Tangan Miyagi terasa sangat panas.


Mungkin aku sendiri yang sedang panas, tapi aku tidak yakin.

 

Tangannya menekan lebih keras, dan batas antara diriku dan Miyagi menjadi kabur, mungkin karena itu adalah tempat dimana bibirnya telah menyentuh.

 

"Shiori."

 

Aku memanggil Miyagi dengan nama yang seharusnya tidak aku gunakan, dan meletakkan tanganku di atas tangannya.

 

"Berhenti memanggilku dengan nama itu."

 

Miyagi, dengan alis berkerut dan tampak marah, melepaskan tangan yang hampir menempel di leherku bersama dengan tanganku.

 

Wajahnya yang penuh kegetiran membuat perasaanku yang hampir berat menjadi lebih ringan.


Miyagi juga harus merasa kesulitan sedikit. Tidak adil jika aku saja yang terus merasa kesulitan.

 

"Mau aku panggil lagi?"

 

Saat aku bertanya dengan lembut, kerutan di dahi Miyagi semakin dalam. Entah kenapa, sepertinya dia tidak suka dipanggil namanya olehku.

 

"Diam saja."


Miyagi berkata dengan nada kesal dan mulai membuka kancing kemejanya.

 

"Apa yang akan kamu lakukan?”

 

Tidak ada jawaban.

 

Miyagi terdiam sambil membuka kancing blusnya.


Dua kancing atas sudah terbuka dari awal. Jadi, kancing yang terlepas adalah yang ketiga, dan aku mendorong bahu Miyagi yang sedang mencoba membuka kancing keempat.

 

"Hei!"

 

"Apa?"

 

"Lebihkan tangannya. Kamu mau buka baju? Tidak perlu melakukan itu kan?"


Aku menarik tangan Miyagi dan mengancingkan kembali kancing yang telah terlepas.

 

Pasti dia tidak benar-benar berniat untuk membuka baju. Permainan ini sudah berubah menjadi kontes kesabaran, dan kita hanya bersaing untuk melihat siapa yang akan menyerah duluan. Ada garis yang tidak boleh kita lewati, dan itu harusnya sudah kita pahami.

 

"Aku hanya berpikir mungkin kamu menyembunyikan sesuatu di dalam sana."

 

"Tidak mungkin aku menyembunyikan apa pun, dan ini melanggar aturan."


"Aturannya hanya mengatakan tidak boleh seks, tapi tidak mengatakan tidak boleh membuka baju, kan?"

 

"Kalau begitu, mari kita tambahkan aturan itu sekarang."

 

"Cuma bercanda kok. Aku nggak akan benar-benar membuka baju."

 

Aku tahu.


Aku tahu ini hanya bercanda.

 

Ini hanya permainan kata-kata, dan dia hanya menunggu aku meminta untuk berhenti.


Namun, menurutku lelucon seperti ini tidak baik.

 

"Kamu tahu di mana aku menyembunyikannya, kan?"


Aku menginjak kaki Miyagi dengan keras, dan dia meraba-raba saku blazer kananku.

 

"Di sini?"

 

"Benar. Permainan selesai."

 

Sebelum dia bisa mengatakan akan bermain lagi, aku mengumumkan bahwa permainan telah berakhir dan merapikan dasiku lagi. Aku mengeluh "Miyagi si mesum" dan kemudian duduk di tepi tempat tidur.

 

"Jadi, apakah perintah sudah selesai?"

 

Ketika aku bertanya, Miyagi dengan tampang bosan menjawab "Selesai," dan dia minum cider. Dia meletakkan gelas kosong di meja dan duduk di lantai dengan tempat tidur sebagai sandaran.

 

Aku tidak bisa melihat wajahnya.


Aku tidak tahu apa yang dia pikirkan.

 

Dia hanya melakukan hal-hal aneh.

 

Kadang dia mendekat seolah-olah tertarik, lalu membuangku seperti

mainan yang dia bosankan.

 

Seragam Miyagi menyentuh kakiku.


Blazer itu membuatku geli, dan aku menepuk bahunya.


Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !