Story About Buying My Classmate chap 9 v1

Ndrii
0

 bab 9

Tidak Masalah Jika Sandai san Menyadarinya




Aku tahu tidak ada apa-apa di dalam kulkas sebelum aku membukanya.


Dengan berat hati, aku menghela napas di dapur.


Tanpa Sendai-san yang membeli bahan-bahannya, aku tidak bisa membuat ayam goreng.


──Yah, meskipun ada bahannya pun, aku tak bisa membuatnya.

 

"Apa ya yang mau aku makan?"


Aku bergumam seakan-akan ada banyak pilihan, padahal di rumah ini hanya ada satu pilihan makanan yang bisa langsung dimakan. Aku menutup pintu kulkas dan mengambil dua cup ramen dari rak dapur, membuka salah satunya. Saat hendak membuka yang satu lagi, aku sadar itu tidak perlu.

 

"Ahh, sudahlah!"


Setelah pencarian penghapus yang impulsif itu, entah kenapa situasinya jadi canggung dan aku membiarkan Sendai-san pulang. Tapi kebiasaan untuk menyiapkan makanan untuk dua orang masih ada karena biasanya kami makan malam bersama saat dia datang. Seperti kebiasaan yang sudah melekat, tubuhku bergerak sendiri tanpa sadar.


Aku meletakkan cup ramen yang tidak terpakai kembali ke rak dan menuangkan air panas dari teko ke cup ramen yang telah kubuka di atas counter dapur. Lalu, aku mengatur kitchen timer dan menunggu selama tiga menit.

 

Ruang dapur dan ruang tamu yang terlalu luas ini seakan menyembunyikan sesuatu di suatu tempat dan membuatku tidak tenang saat sendirian.


Meskipun ini rumahku, bagian selain kamarku terasa seperti rumah orang lain.


Aku menoleh dan melihat TV yang tidak ada yang menonton dan meja yang tidak ada yang menggunakan.

 

"Kapan ya terakhir kali aku makan bersama Ayah di sini?"


Aku mencoba mengingat, tapi tidak bisa. Kenangan yang tidak bisa aku temukan membuatku menghela napas sekali lagi, dan kitchen timer berbunyi dengan suara yang tajam membuat tubuhku terkejut.

 

"Kaget banget."


Itu tidak baik untuk jantung.


Sama buruknya untuk jantung seperti hal-hal yang dilakukan Sendai-san.


Hari ini, saat dia memanggilku 'Shiori', jantungku hampir berhenti. Hanya Maika dan Ami yang memanggilku Shiori, dan Sendai-san tidak pernah memanggilku begitu. Makanya, aku terguncang dengan panggilan yang tidak kusangka-sangka itu.

 

Aku membuka tutup cup ramen dan membawa mi ke mulutku.

 

"Tidak terlalu enak ya."


Cup ramen memang tidak terlalu enak, tapi rasanya lebih baik jika dimakan bersama seseorang.


Meskipun itu Sendai-san, lebih baik jika dia ada di sini.


Tapi karena Sendai-san melakukan sesuatu yang berbeda, aku harus makan sendirian.

 

"Apa sih, hari ini?"


Sendai-san memang sudah tidak asing, tapi dia menjadi lebih tidak asing dari sebelumnya. Jaraknya terasa aneh, dia menjilat jariku tanpa perintah, dan tiba-tiba memanggilku Shiori. Sepertinya dia memberi sinyal bahwa aku bisa lebih mendekat, jadi aku pun jadi ingin menyentuhnya.

 

Dan itu berujung pada pencarian penghapus itu.

 

Sendai-san aneh.

 

Ada yang salah.

 

Jika dia normal, aku tidak akan makan malam sendirian.


Apa yang terjadi hingga menjadi seperti ini?


Aku tidak punya petunjuk──.

 

Aku mengambil teh barley dan meletakkan gelas di atas meja.


Saat aku menyentuh leherku dengan ujung jari, rasanya tangan ku sangat dingin.


Mungkin, Sendai-san sadar dengan apa yang sudah kulakukan.

 

Pada hari Sendai-san melipat sampul buku teksnya, aku menyentuh lehernya. Sejak saat itu, dia mulai berbuat nakal kepadaku. Meski sebelumnya cukup patuh, belakangan ini Sendai-san menjadi sangat memberontak dan sering melakukan hal-hal yang tidak perlu. Aku tidak ingin namaku dipanggil, dan aku juga tidak ingin dia melakukan hal-hal yang tidak kuperintahkan.

 

Ada aturan di sini.

 

Jika dia mengikutinya, Sendai-san akan menuruti perintah apa pun.

 

Aku bebas memberikan perintah apa pun selama masih dalam batasan aturan. Jika aku ingin menyentuhnya, aku boleh melakukannya, dan aku juga bisa membuatnya mengubah sikapnya yang memberontak. Jika aku mau, aku bahkan bisa memerintahkannya untuk 'lupakan' hal-hal yang ingin kuhapus dari ingatannya, jadi tidak masalah jika Sendai-san menyadari apa yang telah kulakukan. Tidak ada masalah sama sekali.

 

Meski begitu, hari ini aku merasa canggung seperti telah melakukan sesuatu yang tidak seharusnya.

 

Aku makan ramen yang sudah mulai melunak dan minum teh gandum.

 

Tetap saja rasanya tidak enak.

 

Bukan sesuatu yang layak dinikmati, jadi aku mendorong sisa mie ke dalam perutku dan bangkit berdiri. Aku membereskan sampah dan mematikan lampu.

 

Ruang tamu yang gelap gulita itu tidak memungkinkan aku melihat bahkan bayanganku sendiri.

 

Jari yang telah disentuh oleh lidah Sendai-san kuhadapkan ke arah lampu yang telah padam.

 

Tidak bisa melihat apa-apa, aku meraba-raba ujung jari dengan bibirku.

 

Tentu saja tidak ada rasa apa-apa, dan aku kembali ke kamarku.

 

"Ah, penghapusnya."

 

Melihat tas yang masih terbuka, aku teringat. Aku belum mendapatkan kembali penghapus dari Sendai-san.

 

"Harusnya kamu mengembalikannya."

 

Aku tidak bisa mengerjakan PR.

 

Bukan karena aku punya semangat untuk melakukannya, tapi aku sudah berencana untuk mengerjakannya. Dan karena Sendai-san, aku tidak bisa melakukannya. Seandainya saja, aku memikirkan bahwa seharusnya aku meminta Sendai-san untuk mengerjakan PR tersebut. Tapi, Sendai-san sudah pulang ke rumahnya, dan mengeluh juga tidak akan membuat penghapus itu kembali. PR-ku juga tidak akan selesai seperti dengan sihir.

 

Mungkin aku bisa meminta Maika untuk menunjukkannya kepadaku.

 

Aku memutuskan untuk menyerahkan PR itu kepada Maika besok dan tidur lebih awal.

 

Pada akhirnya, pagi berikutnya, aku membeli penghapus baru di toko serba ada sebelum pergi ke sekolah.

 

Sendai-san ada di kelas sebelah, tapi dia tidak datang untuk mengembalikan penghapus itu. Bahkan ketika kami berpapasan, dia tidak membicarakan tentang penghapus itu. Karena ada kesepakatan untuk tidak berbicara di sekolah, begitulah adanya. Aku tidak merasa tidak puas sedikit pun. Aku bisa bertanya tentang penghapus itu saat aku memanggilnya lagi. Aku tidak kesulitan karena aku punya penghapus baru, dan jika dia mengatakan bahwa dia kehilangannya, itu juga tidak masalah karena penghapus hanyalah barang murah.

 

Namun, setelah itu tidak ada hal buruk yang cukup membuatku ingin memanggil Sendai-san lagi. Aku pikir aku bisa menahan hal-hal buruk yang kecil, dan entah mengapa aku merasa ragu untuk memanggilnya. Tapi, setelah lebih dari seminggu sejak aku memanggilnya terakhir kali, aku merasa tidak bisa tidak memanggilnya lagi.

 

Akan terasa aneh jika aku tiba-tiba berhenti memanggil Sendai-san.

 

Untuk pertama kalinya, aku mengirim pesan ke Sendai-san tanpa alasan yang jelas.

 

"Hari ini, datang ke rumahku."

 

Sebuah balasan datang segera bahwa dia memiliki kelas tambahan, dan dia datang ke rumahku keesokan harinya.

 

◇◇◇

 

Bukan seperti sudah lama tidak bertemu.


Namun, karena seragamnya telah berganti dengan pakaian biasa, ada kesan berbeda dari Sendai-san. Mungkin karena itu, aku merasa sedikit tidak nyaman meskipun berada di kamarku sendiri.

 

"Miyagi, ada yang terjadi?" tanya Sendai-san sambil membuka kancing blusnya.

 

"Kenapa kamu pikir begitu?"

 

"Hmm, karena kamu jarang memanggilku."

 

"Hanya sibuk saja."

 

"Oh ya?"

 

Sendai-san tidak bertanya lebih lanjut tentang kesibukanku. Tentu saja, bahkan jika dia bertanya, aku tidak berniat untuk menjawab. Sebenarnya, aku tidak sibuk sama sekali, jadi jika ditanya, aku tidak akan bisa memberikan jawaban yang konkret.

 

Aku membawa teh gandum dan soda, lalu memberikan lima ribu yen kepada Sendai-san.

 

"Terima kasih,"

 

Setelah berkata begitu, dia menerima uang dan duduk di tempat tidur. Aku, seperti biasa, lega menerima lima ribu yen dari dia. Kecuali bahwa seragamnya telah berganti dari blazer ke rompi rajutan, Sendai-san tidak berubah. Seperti biasa, dia membuka dua kancing blusnya dan melonggarkan dasinya.

 

"Kamu nggak mau buka itu?" tanyaku sambil menunjuk rompinya yang duduk di seberang meja Sendai-san. Kemudian, aku mendengar suara yang seolah-olah sedang mengejek.

 

"Miyagi itu cepet banget ya nyuruh orang buka baju."

 

"Bukan gitu maksudnya. Kamu kan sering lepas blazer."

 

"Aku tahu kok. Jadi, hari ini kita mau ngapain?"

 

"Kamu keburu banget, Sendai-san."

 

Aku memanggil Sendai-san hari ini meskipun tidak ada hal buruk yang membuatku ingin melakukannya. Jadi, tidak ada perintah khusus yang langsung terlintas di pikiranku.

 

"Untuk sekarang, aku mau mengerjakan PR dulu."

 

Bukan karena aku ingin belajar, tapi karena tidak ada cara lain untuk membuat Sendai-san diam. Aku bisa saja menyuruhnya mengerjakan PR, tapi nanti aku sendiri yang nggak ada kerjaan.

 

Aku takut kalau nggak ada yang dilakukan hari ini, aku malah akan melakukan sesuatu yang nggak perlu.

 

"Kalau begitu, pinjam dulu ya."

 

Sendai-san bangkit dan duduk di sebelahku.

 

"Aku yang akan mengerjakannya, jadi kamu bebas mau ngapain aja."

 

Aku kembali duduk menghadap Sendai-san, lalu mengeluarkan buku teks dan buku catatan matematika ke atas meja.

 

"Miyagi mau mengerjakan sendiri?"

 

Sendai-san terkejut berlebihan.

 

"Iya, kenapa?"

 

"Jadi, hari ini kamu nggak nyuruh aku mengerjakan PR, ya?"

 

"Enggak."

 

"Miyagi tiba-tiba jadi rajin, ya?"

 

"Aku memang sudah rajin dari dulu."

 

"Kalau begitu, mungkin aku juga harus mengerjakan PR."

 

Sendai-san berkata dengan suara yang terdengar tidak terlalu bersemangat, sambil menarik buku teks Bahasa Inggris dan buku catatan dari tasnya. Lalu, dia meletakkan beberapa lembar kerja di atas meja.

 

Tidak lama kemudian, suara pena bergerak di atas kertas terdengar.

 

Aku menundukkan pandangan ke buku teks matematika. Melihat buku teks yang diisi dengan angka, huruf alfabet, dan simbol membuatku pusing. Ada orang yang merasakan keindahan dalam rumus matematika, tapi bagi aku, itu hanya tampak seperti sandi yang tidak bisa aku pecahkan. Namun, aku harus menyelesaikan masalah ini agar PR bisa selesai, jadi aku mulai mencari rumus di kepala. Tapi, rumus yang seharusnya sudah aku pelajari itu susah ditemukan.

 

Aku melirik Sendai-san sebentar.

 

Dia sedang menulis alfabet dengan tulisan yang indah.

 

Suara pena yang meluncur di atas kertas terdengar lancar, seolah Sendai-san tidak memiliki masalah yang tidak bisa dia selesaikan, yang bikin aku iri.

 

Aku melanjutkan perjuangan dengan rumus matematika yang sempat terhenti.

 

Sambil sesekali menghentikan tangan, aku perlahan-lahan menyelesaikan masalah itu. PR-ku tidak berjalan secepat yang kubayangkan. Di dalam ruangan yang hening, hanya waktu yang terus berlalu. Saat mataku mulai berkedip-kedip mengejar angka, sebuah pena tergelincir dari seberang. Ketika aku mengangkat kepala, Sendai-san sedang menatapku.

 

"Sudah selesai?"

 

"Belum."

 

Aku menjawabnya dengan nada datar dan mengembalikan pena tersebut. Aku menundukkan pandangan ke buku teks lagi dan tiba-tiba kepala ku ditepuk.

 

"Sakit. Sendai-san, jangan gangguin aku."

 

"Aku bantu ajarin gimana?"

 

Aku lebih baik memikirkannya sendiri.

 

Sebelum aku sempat menolak, Sendai-san sudah pindah duduk di sebelahku.

 

"Enggak usah ngajarin aku."

 

"Tapi aku lagi nggak ada kerjaan nih."

 

Sambil berkata begitu, dia mengintip ke dalam buku catatanku, jadi aku mendorong bahunya untuk memberi jarak.

 

"Kamu kan bisa baca manga seperti yang biasa kamu lakukan."

 

"Sudah hampir semua aku baca."

 

"Aku beli yang baru, baca itu aja.”

 

Dalam seminggu, aku membeli dua buku komik. Aku pikir dua buku itu cukup untuk membunuh waktu, tapi Sendai-san malah merebut buku catatanku dan menunjuk bagian tengahnya.

 

"Ini salah loh."

 

"Eh?"

 

"Kamu salah hitung di sini. Dan juga di sini."

 

Sendai-san mengambil penanya sendiri. Tanpa diminta, dia mulai memperbaiki bagian yang tampaknya salah sambil menjelaskan.

 

Penjelasannya mudah dimengerti.

 

Dia mengajari dengan cara yang bisa aku pahami.

 

Cuma, jaraknya aneh.

 

"Sendai-san, ke dekat nih."

 

Walaupun seharusnya sudah ada jarak antara kita, Sendai-san sangat dekat hingga seragam kami hampir bersentuhan.

 

"Oh ya?"

 

"Belakangan ini kamu terlalu familiar sih. Ganggu aja, jadi tolong agak menjauh."

 

Aku mendorong lengan Sendai-san dan membuat dia mundur ke ujung meja.

 

"Kata-kata 'ganggu' itu terlalu kasar kan?"

 

"Enggak kasar. Lagipula kalau terlalu dekat jadi panas."

 

Padahal bulan Mei baru lewat setengah, tapi hari-harinya sudah panas seperti musim panas. Cuaca ini bukan tipe yang membuat seseorang ingin berdekatan dengan orang lain, bahkan jika itu bukan Sendai-san.

 

"Alasan kamu nggak mau aku dekat, cuma itu?"

 

"Itu aja. Lagian aku bisa sendiri, jadi kamu pergi ke sana aja."

 

Aku menunjuk ke rak buku.

 

Sambil itu, aku juga memberitahu judul komik yang baru kubeli dan tanpa sadar aku mendekati buku teks dan buku catatan milik Sendai-san untuk mengambilnya kembali. Tapi, Sendai-san tidak bergerak untuk mengambil buku tersebut. Malah, dia mempersempit jarak yang sudah aku buat dan menarik buku teks dan buku catatan ke arahnya.

 

"Kan udah bilang panas."

 

"Aku nggak panas sih."

 

"Bohong terus. Sendai-san kan tipe yang gampang kepanasan."

 

Selama musim dingin, karena dia selalu menyetel pemanas ruangan dengan suhu yang tinggi, Sendai-san selalu melepas blazernya.

 

Apa yang terasa pas untukku dan apa yang terasa pas untuknya itu berbeda.

 

Di ruangan yang bagi aku sudah terasa panas, tidak mungkin Sendai-san tidak merasa panas.

 

"Kalau gini kan jadi lebih sejuk."

 

Dari ujung meja, Sendai-san mengambil remote AC dan menyalakannya.

 

"Jangan semena-mena nyalain AC dong."

 

Aku merebut remote itu dan mematikan AC.

 

Apa-apaan sih ini?

 

Sendai-san malah lebih mengganggu daripada sebelumnya.

 

"Hey, Miyagi."

 

Aku nggak bisa menanggapi dia.

 

Aku mengabaikan Sendai-san dan melihat ke buku teks. Aku mengambil pena dan mencoba menyelesaikan masalah yang belum selesai, tapi Sendai-san mengabaikan keinginanku untuk melanjutkan PR.

 

"Di sini."

 

Ujung jarinya menyentuh leherku. Tanpa sadar aku mengangkat wajahku dan tangannya menempel di leherku.

 

"Kamu tahu kan kenapa aku menyentuhmu?"

 

Sendai-san berkata dengan tenang dan melanjutkan kata-katanya.

 

"Kenapa kamu mencium di sini waktu aku tidur?"

 

Tangannya sekali lagi mengelus leherku.

 

"Kalau kamu sadar, seharusnya kamu tanya di tempat itu. Kenapa sekarang baru nanya?"

 

"Jawab pertanyaanku dulu, baru kamu tanya."

 

Dia tidak terlihat marah. Tapi, suaranya juga tidak terdengar lembut.

 

Aku pikir Sendai-san punya hak untuk bertanya.

 

Dan, setelah memikirkan apa yang telah aku lakukan, seharusnya aku menjawab pertanyaannya, tapi meskipun dia bertanya "mengapa?" aku juga tidak punya jawaban.



"Miyagi, jawab dong."

 

Dengan tenang aku mendesaknya, lalu melepaskan tangannya yang menempel di leherku.

 

"Hanya tersentuh sedikit, bukan ciuman kok."

 

"Kalau lagi normal, gak mungkin deh mulut bisa tersentuh ke bagian itu."

 

"Kamu kan tahu jawabannya. Karena kita gak normal tadi itu."

 

Sendai-san bener banget.

 

Kalau berperilaku normal, gak mungkin deh bibir bisa menyentuh leher seseorang yang lagi tidur.

 

Aku yang sengaja menyentuhnya di sana.

 

Aku ingat betul itu. Tapi, aku gak bisa menjelaskan tindakanku sendiri. Gak ada alasan khusus kenapa aku melakukannya, dan kalau pun ada, itu pasti di luar kesadaran aku.

 

Aku menutup buku pelajaranku, seolah-olah ingin menghindari tatapan Sendai-san.

 

Kalau aku bilang sekarang, "Jangan tanya lagi," aku bisa memaksa situasi canggung ini berakhir. Tapi kalau aku melakukannya, dia pasti akan terus

membawa-bawa topik ini tiap ada kesempatan.

 

Itu bakal merepotkan banget.

 

"Gak ada yang lebih dari itu kok, santai aja. Kamu udah puas dengan jawabanku?"

 

Aku menambahkan itu tanpa melihat Sendai-san, seolah-olah aku sedang memberi alasan pada guru. Tapi, dia menarik lengan blusku. Meski aku gak ingin melihatnya, aku terpaksa menatapnya, dan dia berkata dengan wajah serius.

 

"Sekarang gimana? Kamu mau menyentuh?"

 

Gak ngerti kenapa dia nanya begitu.


Dan aku juga gak tahu apakah dia puas dengan jawaban yang aku berikan tadi.

 

Dia yang selalu aneh soal jarak personal itu masih di dekatku, memegang lengan blusku. Aku ingin menjauh sedikit, tapi aku merasa kalau gak menjawab, dia gak akan melepaskan blusku.

 

"Itu perintah untuk aku jawab?"

 

"Yang biasanya perintah-perintah itu Miyagi kan. Ini cuma tanya doang."

 

"Kalau aku bilang mau menyentuh, kamu bakal biarin?"

 

"Kamu mau menyentuh di mana?"

 

"Jawab pertanyaanku dulu baru tanya, siapa tadi yang bilang itu?"

 

"Jawaban Miyagi yang nentuin."

 

Suara tenangnya masuk ke telingaku.


Tergantung di mana, dia mungkin akan membiarkanku menyentuh.


Itulah arti kata-katanya, sepertinya.

 

Tapi, kenapa sih?


Sendai-san yang biasanya gak akan ngomong begitu, sekarang malah bikin aku bingung.

 

Kalau aku bilang di mana aku mau menyentuh.

 

Mungkin dia cuma becanda.

 

Sebenarnya sekarang ini, aku mau menyentuh Sendai-san atau tidak?


Bermacam pikiran muncul dan hilang di kepalaku seperti gelembung soda. Bersama dengan itu, kenangan yang pecah juga, dari Sendai-san yang sedang tidur di tempat tidur.

 

Hari itu, aku juga menyentuh bibir Sendai-san.


Sebelum menyentuh lehernya, bibir yang aku ikuti dengan ujung jariku itu lembut seperti marshmallow.

 

Jika boleh menyentuh, aku ingin menyentuh di sana.

 

Aku meraih ke arah Sendai-san. Meski gak menjawab pertanyaannya, mungkin dia mengerti maksudku karena dia tidak menghindar. Lengan blus yang ditangkapnya itu terlepas, dan ujung jariku menyentuh bibirnya tanpa halangan.

 

Memang lembut.

 

Ketika aku menekan sedikit, Sendai-san menjilat jariku dan aku cepat-cepat menarik tanganku.

 

"Perintah aku dong."

 

Sendai-san berkata dengan suara yang sedikit lebih rendah.


Tapi, kapan dan apa yang harus aku perintahkan, itu keputusan aku.


Bukan Sendai-san yang menentukan.

 

"Miyagi."

 

Ketika namaku dipanggil dengan tegas, seolah-olah mendorongku untuk memberikan perintah.


Merasa diganggu karena disuruh memberikan perintah, dan lagi pula aneh rasanya jika Sendai-san memerintahku untuk memberikan perintah. Walaupun begitu, aku tidak bisa menahan diri untuk tidak berkata.

 

"...Mata, tutup."

 

"Oke.”

 

Sendai-san itu salah.

 

Kalau dia mengerti arti perintah, seharusnya dia protes. Tapi, dia malah menutup matanya. Dia pasti tahu apa yang akan terjadi selanjutnya, tapi

 

dia tetap menuruti perintah itu.

 

Aku menyentuh pipinya dengan ujung jari.

 

Dia punya hidung, mata, dan mulut.

 

Hanya saja susunan fitur wajahnya sedikit lebih bagus dari orang kebanyakan. Sendai-san, yang wajahnya cukup rapi meski tidak selevel model atau idol, bisa dibilang cantik.

 

Sebelum aku memberinya lima ribu yen di toko buku, kita nggak punya hubungan apa-apa.

 

Sebenarnya, Sendai-san nggak akan pernah datang ke rumahku, nggak akan pernah mendengar perintah dariku. Kalau kita terpisah kelas seperti sekarang, aku mungkin akan dilupakan dan bahkan nggak akan tersisa dalam ingatannya.

 

Makanya, situasi ini seharusnya nggak boleh terjadi.

 

Aku nggak ngerti kenapa Sendai-san menutup matanya.

 

Kalau aku mendekat, mungkin dia akan membuka matanya dan tertawa, mengira aku serius. Aku kira dia bukan tipe orang yang akan melakukan itu, tapi aku nggak bisa mengikuti situasi yang nggak masuk akal ini. Meskipun begitu, tubuhku terus mendekat ke arah Sendai-san.

 

Sebelum aku sadar, jarak antara bibir kita tinggal lima senti.

 

Hatiku sakit.

 

Aku nggak bisa bernapas dengan baik.

 

Sepertinya aku lupa cara bernapas.

 

Dengan ibu jari yang ku letakkan di pipi, aku menyentuh ujung bibirnya.


Sendai-san nggak bergerak.

 

Aku mendekat sedikit lagi, dan menutup mataku juga.

 

Ini gampang.

 

Dia nggak akan melawan perintah. Jarak yang kurang dari lima senti bisa ditempuh dalam sekejap, dan nggak masalah kalau mataku nggak tertutup.


Aku sedikit mencondongkan wajahku.


──Aku jadi nggak yakin, apakah aku benar-benar boleh menyentuhnya.


Kalau aku menciumnya, mungkin Sendai-san nggak akan mau datang ke kamar ini lagi, pikiran seperti itu muncul di kepalaku, dan aku mendorong bahunya.

 

"Maaf, kamu pulang aja hari ini."

 

"Hah?"


Sendai-san membuka matanya.

 

"Miyagi?"

 

Aku menarik tangannya yang terkejut itu, membuatnya berdiri, dan mengumpulkan barang-barangnya untuk dimasukkan ke dalam tas. Aku membuka pintu kamar dan mendorong punggungnya.

 

Sekarang aku nggak tahu apa yang seharusnya aku lakukan, dan nggak bisa berpikir. Ada cara yang lebih baik daripada menyuruhnya pulang, tapi aku nggak punya waktu untuk menemukannya. Dan, aku nggak mau Sendai-san melihat wajahku.


Aku nggak ingin dia menoleh, hanya ingin dia pulang.

 

"Tunggu sebentar."

 

Sendai-san sepertinya nggak mau pulang tanpa bicara, tapi aku paksa dia dari kamar menuju pintu depan.

 

"Maaf. Aku akan hubungi kamu lagi nanti."

 

Dia berusaha bertanya kenapa, atau bilang ada yang ingin dia bicarakan.


Tapi, aku nggak bisa memproses itu. Aku hanya memastikan dia memakai sepatunya dan mengusirnya dari pintu depan.

 

"Miyagi, bukain dong."


Aku mendengar suara ketukan di pintu.


Aku nggak berencana membukanya.

 

Kalau aku membuka pintu, pasti aku akan dimarahi. Biasanya aku akan mengantarnya sampai lantai bawah, tapi hari ini aku nggak bisa.

 

"Miyagi, ayo dong."


Di seberang pintu, Sendai-san memanggilku.


Kenapa aku hampir menciumnya.

 

Kenapa aku nggak jadi menciumnya.

 

Aku sudah bingung dan nggak jelas lagi, bersandar di pintu.

 

Dari belakang, terdengar suara ketukan yang berat.


Oh iya, aku jadi ingat, aku lupa nanya soal penghapus.


Dan sekarang, aku baru teringat hal sepele seperti itu.



Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !