bab 4
Aku Tahu Kalau Miyagi Itu
Tidak Enak
“Aku sudah pulang”
Aku baru saja pulang ke rumah. Sebagai ritual, aku memanggil
ke ruang tamu. Dari ruangan yang terang, terdengar tawa, tapi hanya itu. Sudah
terlalu biasa tidak mendapat balasan ketika pulang, jadi aku tidak punya
keluhan tentang itu.
Lagipula, jika tiba-tiba dijawab "selamat datang"
hari ini, aku malah akan bingung, jadi lebih baik tidak ada balasan. Itu lebih
alami.
Aku tidak lapar karena sudah makan bento yang tidak terlalu
sehat di rumah Miyagi, jadi aku tidak perlu mampir ke ruang tamu. Tanpa alasan
untuk berada di sana, aku menuju ke kamarku sendiri.
Di kamar yang cukup dilengkapi dengan apa yang aku butuhkan,
aku melepas seragam dan berganti ke pakaian rumah. PR sudah selesai di rumah
Miyagi, jadi tidak ada lagi yang harus aku lakukan hari ini. Aku mengeluarkan
dompet dari tas dan mengambil uang lima ribu yen yang diberikan Miyagi.
Kemudian, aku menjejalkannya ke dalam celengan yang katanya jika penuh dengan
koin lima ratus yen, akan menjadi satu juta yen.
Berapa banyak yang sudah ada di dalamnya?
Setiap minggu, atau dua kali seminggu, aku menerima lima ribu
yen dari Miyagi. Aku tidak ingat berapa lembar lima ribu yen yang sudah aku
masukkan, tapi hubungan seperti ini sudah berlangsung sejak Juli tahun lalu,
jadi pasti sudah cukup banyak.
Aku tidak berniat membukanya hanya untuk memeriksa, dan tidak
ada rencana untuk menggunakannya, tapi aku penasaran berapa banyak waktu yang
sudah aku habiskan dengan Miyagi telah terkumpul di sana.
Ketika aku mengguncangnya, terdengar suara koin berdering. Itu
mungkin suara dari koin lima ratus yen yang aku masukkan sebelum mulai
menyimpan uang lima ribu yen, jadi bukan petunjuk yang bisa memberitahuku
tentang waktu yang telah terkumpul.
Aku meletakkan celengan itu kembali di atas lemari.
Miyagi membayar lima ribu yen hanya untuk perintah kecil. Bagi
siswa SMA, itu jumlah besar, dan seharusnya tidak sembarangan diberikan, tapi
dia selalu memberikannya setiap kali. Dia bilang dia tidak kekurangan uang,
tapi memikirkan tentang lima ribu yen di celengan membuatku sedikit tertekan.
Jika isi perintahnya sepadan dengan jumlahnya, mungkin aku tidak perlu
memikirkan uang lima ribu yen yang diterima.
Dengan pemikiran itu, mungkin kata-kata Miyagi hari ini saat
dia memasukkan pena ke mulutku dan memperlihatkan emosiku, "Buatlah wajah
seperti itu," mungkin memang sepadan dengan lima ribu yen.
Saat itu Miyagi terlihat paling senang dari sebelumnya.
Tapi, jika itu yang harus dibeli dengan lima ribu yen, itu
bukan sesuatu yang bisa aku sambut dengan senang. Kata-kata yang aku ucapkan
padanya, "Kamu memang aneh, Miyagi," tidak salah, dan aku bukan tipe
orang yang melakukan hal yang aku tidak suka.
Lebih baik diperintah menjadi patuh seperti anjing daripada
ini.
Menginginkan wajah yang tidak suka, Miyagi tidak bisa
dikatakan apa-apa selain sakit.
"Apa yang aku pikirkan sih."
Aku bergumam tanpa alasan dan membuka ikatan rambutku,
smartphoneku memberitahu ada pesan masuk. Ketika aku melihat layar, itu dari
Homina dengan pesan, "Kamu sudah lihat?"
Oh ya, hari ini adalah hari tayang drama yang Homina suka.
Aku menyalakan TV dan dramanya sudah di akhir, jadi aku
membalas, "Aku baru saja mandi. Aku akan menontonnya"
Jika aku akan menonton dramanya sekarang, bahkan jika aku
melewatkan iklan, itu akan menghabiskan hampir lima puluh menit.
Tanpa perlu banyak berpikir, itu terasa merepotkan. Drama yang
harus aku tonton adalah tentang cinta, dan meskipun aku tidak membenci genre
itu, drama yang Homina suka tidak sesuai dengan selera ku. Aku tidak akan
menyebutnya sebagai pemborosan waktu, tapi jika harus memilih, aku lebih suka
melakukan hal lain daripada menonton drama yang membosankan.
Karena jarang dipanggil Miyagi, kemungkinan besar aku akan
pergi bersama Homina dan yang lain setelah sekolah besok. Itu adalah sore yang
biasa, dan aku tidak membenci menghabiskan waktu dengan mereka, tapi
langkah-langkah yang harus aku ambil untuk membuat waktu itu menyenangkan
sedikit merepotkan.
Besok, pasti akan ada pembicaraan tentang drama itu.
"Jika kubilang aku tidak melihatnya, suasana hatinya
mungkin sedang buruk."
Kalau lawan bicaranya Miyagi, aku tidak perlu repot-repot
menonton dramanya.
Aku berbaring di tempat tidur dan meregangkan tangan.
Aku menaikkan tangan ke cahaya kamar dan melihat jari
telunjukku.
Bekas gigitan Miyagi pada Hari Valentine sudah hilang.
Yah, meskipun itu masih ada, itu akan merepotkan.
Pada hari itu, aku terkejut dengan Miyagi yang tiba-tiba
menggigit jari orang tanpa ragu, tapi tidak ada bekas gigitan yang tersisa
hingga keesokan harinya.
Melakukan sesuatu yang bisa membuat hubungan kami terbongkar
adalah pelanggaran kontrak.
Jika bekas gigitan itu tertinggal dan Homina dan yang lain
mulai menanyakan, itu berarti Miyagi tidak mematuhi aturan. Jadi, mungkin
Miyagi telah mengontrol dirinya. Mungkin bekas gigitan tidak selalu
meninggalkan jejak yang berarti, tapi karena aku tidak pernah digigit
sebelumnya, aku tidak tahu apakah itu karena pertimbangan Miyagi atau hanya
kebetulan.
Aku menyentuh tempat bekas gigitan itu.
Tidak ada rasa sakit.
Aku menyentuhnya dengan bibirku, seolah melacak bekas yang
tidak terlihat.
Tidak ada perasaan khusus.
Memang begitu.
Dari ruas kedua sampai ke pangkal jari.
Itu menjijikkan ketika Miyagi menjilatnya. Namun, pada saat
yang sama, ada sensasi aneh dari lidah yang lembut menyentuh sarafku.
Aku menjilati dan menggigit kaki Miyagi.
Aku ingat wajahnya saat itu.
Jika aku juga membuat wajah seperti itu...
Aku menghela nafas kecil dan bangkit.
Yah, lebih baik aku nonton dramanya.
Aku memutuskan untuk mempercepat kecepatan pemutaran untuk
menghemat waktu, dan menekan tombol play pada remote.
Aku tidak suka kesakitan.
Aku juga tidak suka diperlakukan semena-mena.
Namun, kamar Miyagi lebih nyaman dari pada di rumahku sendiri.
Mungkin aku juga sudah teracuni.
Meskipun tidak ada arti yang dalam, mungkin karena kami saling
menjilat kulit satu sama lain, perasaan jarak antara kami menjadi aneh. Tapi,
aku tidak berniat untuk mengubah itu sekarang, dan Miyagi juga tidak akan
merubah arah kegilaannya.
Aku menaikkan volume TV.
Suara aktor tampan yang Homina sukai menjadi lebih keras.
Aku mengarahkan perhatianku pada drama yang tidak terlalu
menarik itu.
Aku ingin punya pacar.
Yang ganteng, dan tidak selingkuh.
Pacar, pacar, pacar.
Di ruang karaoke setelah sekolah, Homina seperti robot yang
hanya bisa mengucapkan kata "pacar" berulang-ulang.
Hasilnya, setelah diketahui bahwa salah satu dari kelompok
biasa kami mendapatkan pacar, Homina menjadi seperti mesin yang terus menerus
mengatakan ingin punya pacar karena dia baru saja diputus oleh kekasihnya di
akhir Januari. Homina seperti ini bisa jadi merepotkan. Walaupun aku sudah
menonton drama yang membosankan itu, sepertinya hari ini tidak akan banyak
membantu.
"Enak ya, Hazuki kan populer," kata Homina sambil
memanggil namaku. Aku tersenyum.
Populer.
Itu bukan masalah apakah kata itu benar atau tidak. Jawaban
yang harus diucapkan sudah ditentukan dari awal, tidak terlalu menolak tapi
juga tidak mengiyakan, harus membawa pembicaraan ke arah "Homina yang
lebih populer."
Meskipun gadis-gadis dihiasi seperti kue yang di atasnya
dipenuhi dengan krim dan berbagai macam buah warna-warni, tidak berarti isi
mereka juga manis seperti kue. Kadang, ketika kamu mencobanya karena terlihat
lezat, itu bisa jadi beracun. Jadi, sambil menepis kata-kata populer secara
tidak menyakitkan, aku harus mengangkat Homina.
Namun, Homina yang sedang sangat tidak bersemangat tidak bisa
dipuaskan.
"Valentine kemarin, kamu pulang lebih awal kan, Hazuki.
Pasti kamu pergi bertemu seseorang, kan? Iida? Atau Sasaki? Atau mungkin
laki-laki yang tidak aku kenal?"
"Aku sudah bilang sebelumnya, bukan itu. Aku hanya
dipanggil orang tua ku. Kalau aku punya pacar, pasti aku bilang ke Homina
duluan."
Karena aku dipanggil Miyagi dan pulang lebih awal pada hari
Valentine, keesokan harinya, Homina dan yang lainnya mencurigai aku pergi
bertemu dengan pacar. Seharusnya mereka sudah mengerti kesalahpahaman itu, tapi
sepertinya itu diangkat lagi sebagai sasaran luapan emosi.
Homina bukan anak yang buruk.
Dia akan khawatir jika aku sedih, dan juga akan memberikan
semangat. Hanya saja, dia memiliki fluktuasi emosi yang lebih kuat dari orang
lain.
Tapi, terus mengurus suasana hati Homina itu melelahkan.
Sangat merepotkan.
Di saat seperti ini, aku berharap Miyagi akan menghubungi.
Aku bisa mencari alasan yang tepat untuk meninggalkan tempat
ini, tapi lebih mudah jika ada keperluan yang jelas. Namun, seperti kebiasaan
di masa lalu yang tidak sering dipanggil Miyagi, tidak ada kontak darinya.
Pada akhirnya, aku dipanggil oleh Miyagi minggu berikutnya,
dan kami makan malam bersama yang terlihat tidak baik untuk kesehatan. Kali
berikutnya juga dia menyajikan makanan yang tampak tidak sehat. Miyagi tidak
pernah memintaku untuk memasak makan malam.
Jadi, hari ini, ketika aku melihat pesan panggilan dari Miyagi
di toko buku, aku mampir ke supermarket untuk membeli ayam, lalu menuju ke
rumah Miyagi.
Bento dan lauk pauk.
Aku berpikir makan terus menerus makanan seperti mi instan
atau makanan beku untuk makan malam bukanlah ide yang baik.
Dan, saat aku melakukan sesuatu yang tidak diperintahkan, aku
ingin melihat ekspresi wajah Miyagi. Aku tidak perlu memikirkan perasaan Miyagi
yang ingin melihat wajahku yang tidak senang. Karena memasak di rumah atau di
rumah Miyagi itu sama saja, aku membawa bahan makan malam ke kamar Miyagi.
"Kamu bertemu dengan teman-teman Ibaraki?" tanya
Miyagi sambil memberikanku lima ribu yen, seolah mencari alasan mengapa aku
terlambat kesini
“Tidak, hari ini beda. Simpan ini di kulkas,” jawabku sambil
menerima lima ribu yen itu dan mendorong tas belanjaan ke Miyagi.
"Apa ini?"
"Bahan untuk membuat karaage."
"Kenapa kamu bawa ini?"
"Aku akan masak makan malam di sini."
"Aku tidak menyuruhmu melakukan itu.”
Miyagi membuat wajah yang jelas tidak senang. Aku mematuhi
perintahnya. Memang begitulah kesepakatannya, tapi tidak ada peraturan yang
mengatakan aku tidak boleh memasak malam di rumah ini. Karena aku bebas
melakukan apa saja sampai diberi perintah, aku pikir tidak ada yang salah
dengan aku yang memasak malam ini.
Mungkin Miyagi sendiri juga tahu itu, karena dia tidak bilang
untuk tidak memasak malam. Dia hanya merengut dengan alis yang bertaut.
Aku tidak pernah ingin melihat orang membuat wajah kesal, tapi
melihat Miyagi yang tampak tidak senang ketika aku hendak melakukan sesuatu
yang tidak diperintahkan itu agak menghibur.
"Tidak diperintahkan sih, tapi ini sebagai balas budi karena selalu diberi makan malam. Lagipula, kadang-kadang aku juga ingin makan yang layak," sambil memberikan alasan yang mungkin membuatnya tidak bisa menolak, dan mencoba memberikan tas belanja itu lagi kepada tuan rumah, tapi Miyagi tidak mau menerimanya.
"Masukin sendiri," katanya singkat, lalu
meninggalkan ruangan yang dipanaskan hingga hangat oleh pemanas dan menuju ke
dapur. Aku melepas jaket dan blazerku, lalu mengikutinya. Dengan masih membawa
tas belanja, aku masuk ke dapur dan membuka kulkas yang ukurannya seakan
menanyakan untuk berapa orang keluarga, yang tampak besar dari luar tapi hampir
kosong di dalam.
"Kulkasnya hampir kosong dong. Cuma ada jus, gak
parah?"
"Tidak parah," jawabnya dengan suara rendah yang
seolah mengatakan itu sudah cukup.
Yah, nggak ada gunanya juga sih ngeluh soal kulkas orang lain.
Aku diam-diam memasukkan bahan makan malam ke dalam kulkas.
Tas belanja hampir kosong, dan saat aku mengeluarkan tepung terigu dan tepung
kanji yang pastinya tidak ada di rumah ini, aku bertanya kepada Miyagi.
"Apa perintah hari ini?"
"Beberapa saja tidak masalah?"
"Kalau boleh nanti, aku pikir mau mulai bikin karaage
dulu."
"Belum ada yang ditetapkan, suka-suka kamu saja,"
katanya dengan nada acuh tak acuh dan hendak meninggalkan dapur.
"Tunggu. Ada yang perlu dipotong," kataku sambil
mengeluarkan kubis dari kulkas dan memberikannya kepada Miyagi.
"Aku yang harus memotong?"
"Selain Miyagi, siapa lagi di sini?"
"Kan kamu yang bilang mau masak, lakukan semuanya sendiri
dong."
"Jangan-jangan, kamu tidak bisa memotong kubis dengan
benar?"
Sambil mencuci talenan dan pisau, aku bertanya dan mendengar
suara yang rendah dan kecil.
"...... akan kulakukan."
Apakah dia bisa memotong kubis dengan benar atau tidak, aku
tidak yakin. Tapi, Miyagi meletakkan kubis di atas talenan.
Sementara itu, aku menggosok jahe dan memasukkannya ke dalam
campuran kecap dan sake. Aku tidak memasukkan bawang putih karena aku tidak
terlalu menyukainya. Aku memijat-mijat daging ayam yang sudah dipotong seukuran
pas untuk karaage ke dalam bumbu yang sudah dicampur.
Tiba-tiba aku jadi khawatir akan Miyagi dan menoleh ke
samping, dan tampaknya dia hampir saja memotong jarinya, bukan kubisnya. Itu
terdengar berlebihan, tapi aku sadar bahwa aku telah memberikan pisau kepada
seseorang yang seharusnya tidak memegang pisau.
"Miyagi, tunggu sebentar. Itu tidak bahaya?"
"Apanya?"
"Jari tanganmu, jari tanganmu! Pegang seperti tangan
kucing."
"Tangan kucing itu apa?"
"Tidak pernah diajarkan di kelas memasak?"
Tangan kiri seharusnya dibulatkan dan menahan benda yang akan
dipotong.
Itulah yang seharusnya diajarkan. Namun, Miyagi menahan kubis
dengan ujung jarinya, dan itu menakutkan.
"Tidak ingat."
Miyagi berkata tegas dan menurunkan pisau. Lalu, kubis yang
seharusnya diiris tipis malah terpotong kasar dan berserakan di talenan.
"Cara memotongmu itu, kamu akan memotong tanganmu, bukan
kubis. Kamu juga mengangkat pisau terlalu tinggi."
Memang terlalu berlebihan jika dikatakan seperti memotong
dengan keras, tapi dia benar-benar menurunkan pisau dari tinggi yang cukup.
"Sendai-san, jangan ganggu dari samping."
"Ah sudahlah. Miyagi, kamu pergi ke sana."
Hanya dengan melihatnya saja sudah membuatku merinding.
Lebih baik aku melakukan semuanya sendiri. Namun, dia tidak
mau mundur.
"Aku akan melakukannya, biarkan saja."
Pisau memotong kubis, dan suara talenan yang keras terdengar.
Permintaanku itu, sepertinya salah.
Tidak peduli seberapa banyak aku menyesal, aku tidak bisa
kembali sebelum meminta dia untuk mengiris kubis. Pada akhirnya, aku hanya bisa
melanjutkan membalurkan campuran tepung terigu dan tepung kanji pada daging
ayam dengan perasaan cemas.
Dun.
Dun.
Suara yang tidak terdengar seperti memotong kubis terdengar
beberapa kali sebelum aku mendengar suara Miyagi merintih kecil.
"Ada apa?”
Tidak ada jawaban.
"Miyagi?"
Ketika aku menatap ke arah tangannya, aku bisa melihat warna
merah bercampur dengan hijau kubis.
"Hei, Miyagi. Kamu berdarah. Kalau kamu terluka,
seharusnya bilang dari tadi."
Aku mencuci tepung yang menempel di tanganku, lalu memegang
pergelangan tangan Miyagi. Saat aku hendak mendekatkan tangannya ke keran yang
airnya masih mengalir, dia mematikan airnya.
"Kan biasanya kalau terluka, orang menjilat lukanya,
bukan?"
"Kamu kebanyakan baca manga.. Menjilat luka itu nggak
bakal bikin sembuh, lebih baik dicuci bersih dan ditempel plester."
"Bagaimana dengan disinfektan?"
"Katanya kalau pakai disinfektan malah bikin lukanya lama
sembuh. Jadi, plesternya di mana? Kalau nggak ada, aku ambilkan punya aku
ya?"
Lukanya tampak tidak terlalu dalam.
Namun, darah masih menetes cukup banyak dari jari telunjuknya.
Setelah mencuci dengan air mengalir dan menempelkan plester,
aku seharusnya bisa dengan mudah mengusir Miyagi dari dapur.
Namun, entah kenapa Miyagi tidak membiarkan aku melakukan
semuanya itu.
"Ayo, jilat dan disinfektan dengan cara itu."
Dia berkata sambil mengulurkan jari yang terluka ke arahku.
"Kamu berdarah, menjilat bukan cara untuk
mendisinfeksi."
"Tapi ini perintah."
"Kamu sengaja melukai dirimu sendiri?"
"Tentu tidak."
Jari Miyagi masih terulur di hadapanku, seolah menyampaikan
bahwa perintahnya adalah mutlak.
Darah yang merah, mengalir dan mewarnai jari.
Hanya dengan melihat, rasa besi yang berkarat seolah menyebar
di mulutku.
"Sendai-san, cepatlah."
Aku pernah menjilat darahku sendiri, tapi belum pernah
menjilat darah orang lain.
Apakah darah orang lain akan terasa sama dengan darahku
sendiri?
Aku segera mengetahui jawabannya.
Rasa darah yang aku jilat dari jari yang terulur itu, tentu
saja, bisa ditebak.
Tidak ada darah yang rasanya enak.
Darah Miyagi juga, sama seperti ketika aku menjilat darahku
sendiri, rasanya mirip dengan besi yang berkarat. Aku sebenarnya tidak pernah
menjilat besi yang berkarat, jadi aku tidak tahu apakah itu benar, tapi yang
pasti rasanya tidak enak. Rasanya aku lebih suka rasa soda yang biasanya tidak
aku sukai.
"Ayo, jilat dengan lebih baik lagi.”
Bersama dengan kata-kata itu, jari itu ditekan kepadaku, dan
cairan yang meluap dari tubuhnya membasahi bibirku. Secara refleks aku menutup
mulutku. Namun, seolah memaksa membuka gigi yang tertutup, jari Miyagi memasuki
mulutku.
Ketika jari itu menyentuh lidahku, aku merasakan rasa darah
itu lebih jelas dari sebelumnya.
Apakah golongan darah A, atau B?
Atau mungkin golongan darah yang lain?
Aku tidak tahu golongan darah Miyagi, tapi tidak peduli
golongan darah apa, itu bukan sesuatu yang aku ingin jilat dengan suka rela.
Namun, seakan perasaanku tidak ada hubungannya, jari itu tidak ditarik keluar,
dan ketika aku menekan lidahku ke luka itu, rasa darahnya menjadi lebih pekat.
Rasa darah yang lebih jelas daripada darah yang pernah aku
jilat di masa lalu, tentu saja tidak enak.
Aku pikir aku hanya akan melakukan ini untuk Miyagi saja.
Jika di masa depan aku memiliki kekasih, dan orang itu
terluka, aku tidak akan menjilat darahnya. Itu sebegitu tidak enak dan tidak
higienis. Hal seperti ini, aku lakukan hanya untuk Miyagi, pertama dan terakhir
kali.
Aku menelan darah yang menyebar di mulutku.
Perasaan cairan tubuh orang lain melalui tenggorokanku dan
turun ke perutku tidak menyenangkan. Sebagai protes, aku menekan lidahku dengan
kuat ke luka itu, dan napas kesakitan Miyagi bocor keluar.
Dan sekali lagi, cairan yang mirip rasa besi berkarat kotori
lidahku, dan aku menelan darah itu.
Darah yang mengalir dari luka itu tidak berhenti.
Karena aku tidak melakukan penahanan darah, itu adalah hal
yang wajar.
Setiap kali darah itu menyebar, rasanya seperti bagian dalam
mulutku dan tubuhku terinvasi oleh Miyagi, dan itu membuatku merinding.
Ini tidak baik.
Perintah itu tidak sehat.
Mungkin saja kenyataan bahwa ada orang yang memberi perintah
dan orang yang mengikutinya itu sendiri tidak sehat, tapi aku tahu bahwa apa
yang aku lakukan sekarang ini tidak baik.
Sambil berpikir demikian, aku menggigit luka itu dengan kuat.
Mulutku terwarnai rasa darah.
Meskipun aku tidak ingin menelannya, darah Miyagi melalui
tenggorokanku.
"Buka mulutmu,"
Miyagi berkata dengan suara yang menahan emosi.
Saat aku tidak mengikuti kata-kata yang seharusnya kudengar,
jari itu secara paksa ditarik keluar dan dia bertanya.
"Apakah darah orang itu enak?"
Rasa darah masih tertinggal di mulutku.
Rasa yang lebih tidak enak daripada soda dan cairan yang tidak
nyaman itu seolah-olah melapisi mulutku.
"Mungkin enak bagi vampir, tapi aku manusia, jadi tidak
enak,"
"Suplemen zat besi, kan?"
Miyagi berkata tanpa tanggung jawab sambil tertawa.
Aku tidak punya hobi mengisi zat besi dengan darah orang. Jika
itu akan menjadi bagian dari tubuhku, aku lebih baik makan hati meskipun tidak
suka.
Darah Miyagi yang masuk ke dalamku akan menjadi bagian dari
tubuhku.
Pikiranku itu membuat perutku terasa berat.
"Aku pinjam gelas,"
Aku membuka lemari lebih cepat daripada Miyagi menjawab. Aku
mengambil gelas yang biasa aku gunakan untuk minum soda dan mengisinya setengah
dengan air.
Gulp.
Aku minum air itu seperti untuk mengalirkan darah yang masih
ada di mulutku.
Setelah gelas itu kosong, aku menatap Miyagi, darahnya masih
mengalir.
"Tunjukkan tangannya,”
Aku tidak berniat untuk mendengar jawaban apa pun. Tanpa
bicara banyak, aku memegang pergelangan tangan Miyagi dan mencuci bersih
jari-jarinya yang kotor dengan darah. Kali ini, Miyagi tidak melawan. Ia dengan
tenang membiarkan jarinya dibersihkan oleh air mengalir.
"Aku akan ambil plester ya, jadi biarkan itu dulu."
Miyagi pasti tidak akan memberitahu di mana plesternya, jadi
lebih cepat jika aku membawa punyaku sendiri.
Aku kembali ke kamar Miyagi dan mengeluarkan plester yang
katanya bisa menyembuhkan luka dengan cepat dari dalam tas. Sambil berdecit
suara sandalku, aku kembali ke dapur dimana Miyagi sedang memandangi lukanya.
"Nih."
Aku menyodorkan plester yang kubawa.
"Enggak mau nempelin sendiri?"
"Itu artinya kamu mau aku yang nempelin?"
Sebagai gantinya jawaban, ia menunjuk jarinya kepadaku.
Kalau terlalu dimanjakan, enggak akan jadi orang yang baik.
Ya, jadi orang yang enggak berguna seperti Miyagi.
Sudah jadi siswa SMA tapi masih manja sampai enggak bisa
nempel plester sendiri.
Tapi, mungkin ini bagian dari perintahnya.
Jadi, dengan perasaan yang seperti itu, aku menempelkan
plester di lukanya.
"Udah masak nasi belum hari ini?"
Sambil membuang sampah dari plester yang tidak terlalu keren
itu, aku bertanya pada Miyagi.
"Sudah."
"Kalau begitu, duduk di sana aja."
"Kubisnya?"
"Aku yang akan potong, jadi enggak usah."
Aku enggak terburu-buru, tapi enggak mau ribet potong kubis
atau nanti jari terluka lagi.
Aku mengusir Miyagi dari dapur, dan mulai menggoreng ayam
sambil memotong kubis.
Tanpa diminta aku mengeluarkan piring dan menata makanannya.
Di atas meja makan, aku
meletakkan piring bersama nasi. Kami mulai makan bersamaan, dan Miyagi tampak
kesal menggigit ayam gorengnya.
Sekali, dua kali.
Ekspresinya tidak berubah.
"Enggak enak?"
Begitu kutanya, jawabannya langsung kembali.
"Enak kok."
Senang rasanya mendengar makanan yang kubuat dikatakan enak.
Tapi, ini pertama kalinya aku melihat seseorang yang makan
sesuatu yang enak dengan muka yang enggak enak.
"Sendai-san,"
"Hm?"
"Apa sebenarnya alasan kamu melakukan ini?"
"Seperti yang tadi aku bilang, ini untuk mengucapkan
terima kasih atas makan malam yang selama ini."
"Enggak usah."
Miyagi berkata dengan suara dingin meski tadi bilang enak.
"Benci ayam goreng?"
"Enggak peduli suka atau benci, kamu enggak perlu
repot-repot masak."
Miyagi di sekolah tampaknya bukan tipe yang menunjukkan emosi
negatif. Sesekali aku melihatnya, ia tampak asyik berbicara atau tertawa dengan
teman-temannya. Sangat berbeda saat berbicara denganku. Apakah karena di
rumahnya sendiri atau karena bersamaku, Miyagi tampak sangat tidak stabil.
Tapi itu bukan berarti dia nyaman denganku.
Mencoba memahami apa yang dipikirkan oleh seseorang yang tidak
bisa dimengerti hanya akan membuat lelah. Lagipula, aku cukup mengambil hati
hominah saja.
"Miyagi, kamu enggak suka masak ya?"
Aku mencoba mengalihkan pembicaraan untuk merubah suasana yang
mulai kaku.
"Enggak perlu bisa juga enggak apa-apa."
"Mau aku ajarin masak?"
"Enggak mau masak, jadi enggak usah."
"Ya sudah deh.”
Ya, aku pikir kamu akan bilang begitu.
Aku enggak memaksa untuk mengajari masak, jadi biarlah
pembicaraan itu berakhir di situ saja sambil aku menggigit ayam gorengku yang,
harus aku akui, ini enak..
Miyagi diam saja, makan malam yang tersaji di atas meja dengan
cepat masuk ke perutnya. Makanan yang habis dalam waktu singkat dibandingkan
dengan waktu yang dihabiskan untuk membuatnya. Setelah makan, aku pergi ke
kamar Miyagi dan seperti mendapat gangguan, aku disuruh membacakan novel. Aku
membaca kalimat demi kalimat yang panjang dengan suara keras.
Bertahan puluhan menit.
Tentu saja, aku tidak bisa membaca sampai akhir. Setelah
menghabiskan sekitar tiga jam di rumah Miyagi, termasuk waktu makan malam, aku
pun meninggalkan apartemennya.
Beberapa hari kemudian, aku dipanggil lagi oleh Miyagi, tapi
tidak ada permintaan untuk membuat masakan, dan aku pun tidak menawarkan untuk
membuatnya. Kita hanya makan bersama. Setelah White Day, kita makan malam
bersama lagi, tapi tidak ada balasan.
Hari ini juga, aku dipanggil oleh Miyagi, menghabiskan waktu
yang sama, dan kembali ke rumah tanpa ada yang menyambut, lalu memasukkan
lembaran lima ribu yen ke dalam celengan.
Apa yang aku harapkan dari Miyagi?
Aku mengangkat celengan yang diletakkan di atas chest, dan itu
tidak terasa berat atau ringan.
Dibandingkan dengan musim dingin, suhu pemanas ruangan diatur
lebih rendah.
Meskipun begitu, kamar Miyagi tetap terasa panas.
Besok sudah mulai liburan musim semi, jadi seharusnya sudah
bisa dibilang musim semi, dan kalau dipikir-pikir, suhu pemanas seharusnya bisa
diatur lebih rendah lagi. Tapi, Miyagi masih membaca manga tanpa melepas
blazernya.
Terlalu takut kedinginan ya.
Kalau dua orang dengan preferensi suhu yang sangat berbeda
berada di ruangan yang sama, salah satu dari mereka harus berkompromi.
Biasanya, sebagai tamu, seharusnya aku yang diprioritaskan,
tapi sepertinya aku bukan tamu di sini, dan selalu saja preferensi Miyagi yang
didahulukan.
Itu tidak masalah.
Namun, aku sudah melepas blazerku dan tidak ada lagi yang bisa
aku lepas. Kancing atas blusku sudah kulepas sebelum aku datang ke sini. Aku
turun dari tempat tidur dan mengambil soda. Di atas meja, juga ada kantong
popcorn.
Biasanya aku hanya minum soda, tapi ini cukup jarang terjadi.
Melembabkan tenggorokanku dengan minuman bersoda yang tidak aku sukai, aku
melepas satu lagi kancing blusku. Lalu, aku mengambil dua gumpalan putih dari
dalam kantong popcorn dan melemparkannya ke dalam mulutku.
"Kamu ada rencana untuk liburan musim semi ini?" Aku
bertanya sambil duduk di sebelah Miyagi yang sedang membaca manga, tapi tidak
mendapat jawaban.
Sejak aku datang ke sini, Miyagi sepertinya sedang tidak
bersemangat. Lebih tepatnya, belakangan ini dia selalu seperti itu. Sebenarnya,
dia mulai berperilaku seperti itu sejak hari aku membuat ayam goreng. Jika itu
penyebabnya, aku pikir Miyagi terlalu sempit hati. Lebih sempit dari dahi
seekor tikus.
Aku merebut manga dari tangan Miyagi dan membuka sampulnya
yang menggambarkan seorang anak laki-laki dengan pedang. Setelah membaca
beberapa halaman, aku mendengar suara tajam dari sebelahku.
"Rencana Sendai-san gimana?"
"Hmm, mungkin aku akan pergi dengan Homina dan yang
lainnya. Sisanya, aku akan ke bimbel."
"Kamu tidak pergi ke bimbel selama liburan musim
dingin?"
"Aku pergi."
Bulan April akan tiba dan aku akan naik ke kelas tiga, menjadi
siswa yang akan menghadapi ujian masuk universitas. Jalanku sudah ditentukan.
Mengikuti jejak kakak perempuanku yang cerdas.
Tapi, aku tidak yakin
aku bisa melakukan itu. Kakakku, yang dua tahun lebih tua, bersekolah di
universitas yang hanya bisa dijangkau oleh orang-orang yang sangat pintar.
Apa yang diinginkan orang tua kami adalah agar aku pergi ke
universitas dengan level yang sama dengannya, dan sebenarnya, bahkan sekarang
aku seharusnya pergi ke bimbel atau les. Jika aku menghindar dari itu, aku
harus menerima setidaknya pergi ke bimbel selama liburan panjang, atau aku
mungkin akan diusir dari rumah.
"Sendai-san suka belajar, kan?"
"Aku tidak terlalu suka."
Aku tidak tahu bagaimana Miyagi melihatku, tapi apa yang aku
katakan adalah fakta. Dulu aku suka belajar, tapi sejak orang tua mulai
menggunakan aku sebagai alat perbandingan dengan kakakku, aku tidak terlalu
menyukainya lagi.
"Miyagi tidak pergi kemana-mana?"
"Aku akan pergi dengan teman-teman."
"Utsunomiya?"
Aku menyebut nama teman sekelasnya yang selalu bersama Miyagi.
Utsunomiya, dengan rambut yang lebih panjang dari Miyagi yang
diikat ke belakang, tampaknya baik dan menyatu dengan teman-teman sekelasnya di
kelas tanpa menonjol. Jika aku tidak datang ke ruangan ini pada hari aku
bertemu Miyagi di toko buku, mungkin aku tidak akan menyebut nama Utsunomiya.
"Ya."
Miyagi menjawab singkat dan merebut kembali manga dari
tanganku, lalu membukanya di halaman yang sudah setengah lebih terbaca.
Percakapan selesai.
Tidak perlu dikatakan dengan kata-kata, tapi aku bisa melihat
dari Miyagi yang tidak mengangkat wajahnya dari manga. Dengan tidak ada yang
bisa dilakukan, aku memakan popcorn satu per satu.
Butter atau karamel.
Jika makan popcorn, rasa-rasa seperti itu yang lebih enak,
tapi yang ada di ruangan ini hanya rasa garam biasa. Itu sangat Miyagi, tapi
kurang memuaskan. Namun, untuk menghabiskan waktu, aku memegang satu lagi
popcorn dan tiba-tiba Miyagi menangkap pergelangan tanganku.
"Apa?"
"Aku akan memberimu makan."
Mulai deh.
Bahkan tanpa dikatakan "perintah", aku bisa tahu
dari senyum Miyagi bahwa "permainan perintah" telah dimulai, tapi aku
tidak merasakan firasat baik tentang apa yang akan terjadi selanjutnya. Miyagi
mengambil kantong popcorn dan menuangkan isinya ke telapak tangannya.
"Ayo, lihat ke sini," katanya sambil menyodorkan
tangan kirinya yang penuh dengan popcorn.
Entah kenapa.
Aku bisa menebak apa yang diinginkannya. Tapi, aku menghapus
dugaan itu dari pikiranku, dan memilih untuk menghadapinya, mengambil satu
popcorn dan melemparkannya ke dalam mulutku.
"Makanlah seperti anjing tanpa menggunakan tangan,"
perintahnya jelas sebelum aku sempat mengunyah.
Ya, ternyata begitu.
Itu sebabnya ada camilan yang biasanya tidak ada di sini. Aku
pernah berpikir lebih baik disuruh menjadi patuh seperti anjing daripada
diperlakukan seperti ini, tapi tidak merasa baik ketika benar-benar disuruh
menjadi anjing. Namun, perintah adalah perintah, dan aku dengan patuh melakukan
apa yang dikatakan.
Aku menghadap ke arahnya, mendekatkan wajah ke telapak
tangannya dan mengambil popcorn dengan bibirku.
Satu per satu tanpa menggunakan tangan.
Memasukkannya ke dalam mulut dan mulai makan.
Ketika aku benar-benar makan popcorn dari tangan Miyagi, aku
merasa seperti menjadi merpati bukan anjing. Ketika aku mengangkat wajah untuk
melihat apakah dia menikmati ini, Miyagi juga tampak memiliki ekspresi aneh di
wajahnya.
"Makan semuanya," katanya.
Sepertinya dia tidak berniat berhenti meskipun perintahnya
terdengar membosankan. Sama seperti merpati yang memakan remah-remah dari
tangan seseorang, aku terus mematuk popcorn. Sesekali, tangan Miyagi mengelus
kepalaku seolah mengingatkanku bahwa aku adalah anjing, bukan merpati. Meskipun
terasa sangat konyol, aku tetap makan popcorn yang tersisa sampai habis.
Lalu menjilat telapak tangannya.
Tangannya bergetar, dan Miyagi mencoba menarik tangannya
kembali. Dia yang memintaku untuk menjilat seperti anjing.
Aku menahan tangannya yang mencoba melarikan diri dan sekali
lagi menekan lidahku dengan kuat. Aku menjilat dari pangkal jari hingga tengah
telapak tangan dengan perlahan, dan rasanya sama dengan popcorn.
"Kali ini aku ingin yang rasa karamel," aku meminta
setelah menjilat tangannya seperti anjing, sesuai keinginannya.
"Tidak ada untuk kali ini," jawab Miyagi sambil
mengambil tisu putih dari kotak tisu dengan sampul buaya dan membersihkan
telapak tangannya. Tisu yang sudah menjadi remah-remah itu digulung dan
dilempar ke tempat sampah. Kemudian, tanpa peringatan, dia meraih dasiku.
Aku bersiap untuk apa yang akan dilakukan selanjutnya, tetapi
Miyagi dengan cepat melepas dasiku. Tanpa ragu, dia juga melepas satu kancing
blusku, dan aku reflex menepis tangannya.
"Eh, ini melanggar aturan. Aku tidak berniat untuk
memiliki hubungan seperti itu dengan Miyagi,"
Karena sudah melepas dua kancing blus, dada kujadi terbuka
gara-gara Miyagi. Meskipun tidak ada yang berkurang hanya dengan dilihat, bukan
berarti kami cukup dekat untuk melepas kancing ketiga.
"Kamu terlalu berpikir jauh hanya karena dasi yang
dilepas," kata Miyagi dengan nada yang menunjukkan dia tidak memiliki niat
sedikit pun seperti itu. Namun, bagiku yang sudah dilepas dasinya dan
kancingnya, aku tidak bisa tidak memikirkan bahwa dia memang memiliki niat
seperti itu.
"Jadi, apa yang akan kamu lakukan?"
Jawaban untuk pertanyaanku lebih kasar dari yang aku duga.
Miyagi membuka ikatan rambutku, lalu mendorong bahu dengan
kasar.
Dia hidup tanpa mengenal kata menyesuaikan kekuatan.
Ketika dia menggigit jari, dia menggigit dengan kekuatan yang
mengejutkan.
Sekarang juga, aku didorong dengan cukup kuat sampai aku
kehilangan keseimbangan dan jatuh ke lantai.
"Itu sakit!"
Seandainya itu di tempat tidur mungkin tidak masalah, tapi aku
terdorong hingga jatuh ke lantai yang keras dan tidak ada bantal, sehingga
tangan dan punggungku terasa sakit. Di atas itu semua, Miyagi naik ke atas
sehingga aku tidak bisa bangun.
"Ini memang niatanmu kan?"
Aku mencoba untuk mendorongnya pergi.
"Tidak, itu bukan itu.”
Melihat Miyagi dengan suara yang terdengar sangat dingin, dia
tidak menunjukkan wajah yang penuh nafsu atau kebingungan.
Kalau begitu, apa yang akan dia lakukan pada saya sekarang?
Kalau harus dijelaskan, Miyagi dengan wajah yang tenang itu
meraih sesuatu di meja.
Eh?
Yang diambil Miyagi ternyata adalah kantong popcorn...
Dan di saat berikutnya, sesuatu yang putih berjatuhan di
wajahku.
Singkat cerita, aku dilempari popcorn.
"Hey, Miyagi!"
Wajahku, rambutku, dan blusku, semuanya berantakan karena
popcorn.
Apa-apaan ini, apa-apaan ini, apa-apaan ini.
"Ini nggak lucu tau."
Aku menarik dasi Miyagi.
Aku memang menghabiskan waktu yang cukup untuk rambutku. Aku
menggunakan perawatan yang tidak murah, dan pengering rambut yang bagus dengan
ion negatif.
Kalau yang jatuh itu hanya popcorn yang berbentuk itu saja, mungkin masih oke. Tapi yang seperti serpihan kecil atau debu itu sungguh tidak bisa diterima. Bercampur dengan rambut saya dan terasa sangat menjengkelkan, aku jadi kesal.
"Ini bukan main-main. Aku cuma pengin kasih kamu makan
popcorn lagi."
Tanpa mengubah ekspresinya, Miyagi meraih satu popcorn yang
berceceran dan memaksanya ke mulutku. Aku menggigit dengan kesal, termasuk
jari-jarinya yang masuk ke dalam mulut, mengunyah popcorn itu, lalu Miyagi
mengambil gelas dari atas meja.
"...Kamu becanda kan?"
Aku melihat cider bergoyang di atas wajahku.
Miyagi tersenyum tipis.
Gelas itu miring, dan tanpa kusadari menutup mata dan
melepaskan dasi yang aku pegang. Ketika aku menutupi wajah, punggung tanganku
basah karena tetesan cider. Ketika saya membuka mata dan melihat gelas
tersebut, itu sudah kosong.
"Ini kelewatan banget."
Suara saya secara alami menjadi rendah.
"Ternyata Sendai-san bisa marah juga ya."
Aku juga manusia.
Aku tidak marah biasanya karena aku menahannya.
"Harusnya marah, dengan hal seperti ini."
"Aku pikir kamu itu baik loh."
"Bagian mana dari ini yang baik?"
"Blazer, dasi, dan rok kamu semua aman kok. Blusnya juga
mudah dicuci. Lagipula, mulai besok kan libur musim semi, jadi kamu nggak akan
kesulitan."
"...Jadi kamu memang sudah berencana untuk melakukan ini
dari awal?"
Tanpa menjawab, Miyagi berdiri.
Tanpa beban, aku bangun dan menepis popcorn dari badanku.
Memang benar, yang basah hanya blusku. Tapi itu tidak berarti
aku bisa membiarkan orang lain melempar popcorn atau cider ke aku. Aku punya
seratus alasan untuk komplain. Tapi, sebelum aku bisa berkata apa-apa, sebuah
handuk dan kaos lengan panjang dilemparkan ke arah saya.
"Pakai ini, aku kasih. Kamu nggak perlu ngembaliin."
Setelah berkata begitu, Miyagi keluar dari ruangan.
Kehilangan seseorang untuk dikomplain, aku melepas blusku dan
mengeringkan tangan dan rambutku yang basah dengan handuk. Melihat ke pakaian
yang dilemparkan, itu tampaknya sesuai untuk saya yang sedikit lebih besar dari
Miyagi.
Aku nggak mau memakainya.
Aku berpikir demikian ketika mengingat apa yang telah Miyagi
lakukan, tapi aku nggak bisa memakai blus yang basah itu lagi. Dengan terpaksa
aku memakai pakaian milik Miyagi, lalu pintu terbuka.
"Aku antar kamu pulang."
Miyagi, yang dengan semena-mena memutuskan bahwa aku akan
pulang, membawa tas plastik untuk blus basah saya dan berkata demikian.
Meskipun dalam situasi seperti ini, aku nggak bisa nggak
mempertanyakan niat Miyagi yang tetap ingin mengantarku pulang. Tapi, sejak
awal Miyagi memang orang yang aneh. Dia nggak normal, sudah terbukti dari
diajaknya teman sekelas bermain permainan perintah-perintahan, jadi aku
harusnya menerima bahwa Miyagi memang orang seperti itu.
Toh, meskipun aku komplain, dia bakalan tetap melakukan apa
yang dia mau dan nggak ada harapan buat perbaikan.
Bukan, ini bukan sesuatu yang seharusnya diharapkan untuk
diperbaiki.
Yang memberi perintah dan yang diperintah.
Karena ada uang lima ribu yen yang terlibat, hari seperti ini
juga ada. Lebih baik aku terima saja supaya bisa lebih tenang. Tapi, perasaan
nggak puas itu tetap ada.
"Sendai-san,"
Miyagi berkata seolah mendesak, dan aku pun mengenakan coat.
Lalu, seperti biasa, kami berdua keluar dari rumah Miyagi, naik lift, dan
berjalan menuju pintu masuk.
"Selamat tinggal”
Sebelum aku bisa menyapa dengan 'sampai jumpa', Miyagi sudah
mengucapkannya dan berbalik pergi.
"Ini, aku akan kembalikan dengan benar,"
Aku berteriak ke arah punggung Miyagi.
Blusku kotor karena Miyagi. Meski dia bilang 'aku kasih', aku
nggak mau menerima pakaian hanya karena itu. Barang yang harus dikembalikan,
harus dikembalikan.
Besok sudah libur musim semi, dan aku baru akan bertemu Miyagi
lagi di bulan April.
Ketika aku menengadah ke langit, aku bisa melihat banyak
bintang.
Tidak ada angin dan untuk bulan Maret ini terasa hangat.
Kalau aku menghubungkan bintang-bintang itu, aku bisa
menemukan konstelasi.
Kalau tidak ada apa-apa, ini bisa menjadi malam yang indah.
Tapi, ketika aku mengingat apa yang terjadi hari ini, ini
hanya bisa terasa seperti malam yang terburuk.
Dan ketika aku sampai di rumah, aku menemukan sebuah brosur di
atas meja. Itu adalah brosur untuk kursus persiapan yang harus aku ikuti untuk
waktu yang lama, mulai dari April sampai ujian berakhir, bukan hanya untuk
musim panas atau musim dingin, dan itu membuat perasaanku tenggelam.
Aku nggak mau pergi ke sana.
Aku menghela napas panjang.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.