Episode
6
(POV Roushi)
“Lihat! Ini adalah
mainan baru yang kukembangkan—mainan yang kuberi nama ‘Si Ulat Gemoy’!!”
Whirr whirr whirr whirr
whirr whirr whirr whirr…
Sebuah benda panjang
berwarna merah muda seperti ulat raksasa menggeliat dan bergetar di atas meja
sambil mengeluarkan suara motor dari depan, belakang, kiri, dan kanan. Benda
itu menggeliat, bahkan berguling-guling.
Seperti ulat yang sudah
tidak berdaya karena terkena serangan dan hampir mati….
“Hmm. Ini untuk usia 18
tahun ke atas, hanya bisa dijual di bagian khusus dewasa, yang biasa disebut
sebagai barang dewasa, atau singkatnya ‘alat bantu seks’, kan?”
“Intinya vibrator, pasti…”
“Hei, jangan
main-main!! Kenapa aku harus mengembangkan benda seperti itu!?”
“Aku tidak tahu.”
Kami, aku dan manajer,
dipanggil lagi ke ruang kepala bagian produksi, yang kusebut sebagai sarang
Hitomi-san.
Dan begitu sampai, kami
langsung diperlihatkan benda aneh yang tidak bisa dimengerti.
Pemicunya adalah, ehm…
‘Si Ulat Anu’, ya?
“Manajer. Kita pernah
membuat mainan seperti ini?”
“Tidak pernah, dan
tidak akan pernah, tapi mungkin Hitomi-san punya pendapat lain.”
“Sudah kubilang, ini
bukan benda seperti itu!! Hei!! Lucu, kan!?”
“’Si Ulat Menggeliat’
itu? Tidak, sama sekali tidak.”
“Bukan itu, Manajer.
‘Si Ulat Bersemangat’.”
“Itu ‘Si Ulat Gemoy’,
dasar bodoh!!”
Sama saja… Bahkan,
sebutan kami lebih enak didengar, kan?
Hitomi-san terlihat
kesal karena kami sama sekali tidak mau mengakui benda cabul seperti ulat ini.
“Ini mainan untuk
anak-anak! Anak-anak suka ulat, tapi kalau dibuat seperti aslinya, orang tua
akan merasa jijik, jadi aku sengaja mewarnainya dengan warna pink yang tidak
alami!
Ia membuatnya sangat
panjang dan tebal agar terlihat seperti mainan! Ini juga untuk mencegah
anak-anak menelannya! Dan karena ini ulat, dia bisa bergerak sendiri dengan
meniru gerakan peristaltik!
Selain itu, seluruh
tubuhnya dilapisi silikon yang lembut untuk mencegah cedera saat diayunkan atau
dilempar! Dengan bahan ini, dia bisa melewati medan yang tidak rata! Dan lagi,
lihat! Karena dia bisa bergerak, aku memprogramnya agar bisa mendekat saat
dipanggil dengan merespons gelombang suara tertentu!
Awalnya dia akan
mendekat saat mendengar tepukan tangan! Ini akan memberinya kesan ‘jinak’ dan
membuatnya semakin disayangi!
Lagipula, gelombang
suara yang memicunya bisa diubah dan ditambah nanti! Kita bisa membuatnya
merespons panggilan atau nama, seperti hewan peliharaan! Bagaimana!?”
“Jadi, vibrator yang
bisa dipanggil…”
“Kubunuh kau!!”
Setelah mendengar
penjelasan tentang konsep, keamanan, dan fungsinya, itulah kesimpulan yang
kudapatkan.
Setahuku, belum ada
alat bantu seks seperti ‘vibrator yang bisa dipanggil’… Aku tidak terlalu tahu,
sih, tapi karena tidak ada gunanya memanggil vibrator, mungkin memang belum
ada.
Mungkin ini inovatif.
Yah, meskipun ini bukan vibrator….
“Dan dengan semua
fungsi canggih ini, dia hanya butuh satu baterai kancing! Sangat hemat energi,
kan!?”
“Bukannya itu salah
satu jenis baterai yang sulit ditemukan?”
“Lebih baik pakai
baterai AA saja.”
“Tch!! Dasar kalian!!”
(Dulu dia bilang ‘dasar
bodoh’…)
Aku jadi banyak
membantah Hitomi-san, tapi aku tidak bermaksud jahat. Malah, aku akhirnya bisa
mengatakan apa yang ingin kukatakan sejak awal.
“Sebenarnya—kami tidak
pernah mengusulkan mainan seperti itu.”
Alur kerja kami di
Divisi Perencanaan dan Pengembangan adalah membuat rencana mainan baru, membuat
berbagai dokumen perencanaan, dan jika disetujui, bagian produksi yang dipimpin
Hitomi-san akan memeriksa apakah mainan itu bisa diwujudkan dengan teknologi
perusahaan kami, berapa biayanya, apakah cocok untuk diproduksi massal, dan
lain-lain.
Kalau mereka
menyetujuinya, dan rapat para petinggi juga menyetujuinya, barulah produk baru
itu punya kemungkinan untuk dirilis. Kubilang ‘kemungkinan’ karena masih ada
komunikasi dengan divisi penjualan dan humas. Intinya, untuk mendistribusikan
satu mainan baru saja, dibutuhkan banyak tenaga dan waktu di dalam perusahaan.
Dan, tidak ada di
antara kami yang pernah mengajukan rencana mainan seperti Si Ulat Besar ini.
“Aku tahu. Apa kau
belum dengar dari manajer? Aku punya wewenang untuk mengembangkan mainan secara
mandiri di perusahaan ini. Kali ini, aku hanya mencoba mempertimbangkan
pendapat kalian sebagai bagian dari itu.”
“Baru dengar… Benarkah,
Manajer?”
“Iya. Tapi, seperti
yang kau duga, mainan-mainan itu tidak pernah sampai ke pasaran. Semua mainan
yang dibuat Hitomi-san terlantar begitu saja di gudang perusahaan.”
“Jangan matikan
mereka!! Biarkan mereka hidup!! “Tidak, mereka harus mati.” “Tidak!! Aku ingin
hidup!!”
“Kalau sampai ketahuan,
citra perusahaan kita akan hancur…”
Intinya, Hitomi-san
bisa melakukan tugas divisi perencanaan dan produksi sendirian. Bahkan sambil
mengabaikan alur kerja.
Dia memang mendapat
perlakuan khusus, tapi itu pasti karena kemampuannya yang luar biasa.
Yah, karena tidak ada
satupun karyanya yang diterima, sepertinya perusahaan kami punya selera yang
cukup bagus.
“Ya sudahlah. Aku punya
banyak ide lain. Akan kupanggil kalian lagi kalau sudah selesai.”
“Aku sibuk, jadi jangan
panggil aku lagi.”
“Sama seperti si bodoh
itu, saya juga sibuk.”
“Hmph! Dasar bodoh! Kau
selalu bersama manajer!”
“Apa yang kalian
bicarakan?”
Semua itu terasa
seperti sandiwara konyol. Manajer “Claires” atau biasa disebut manajer “Coise”
tersenyum, lalu mengambil ulat erotis yang tergeletak tak berdaya di atas meja.
“Bagaimana cara kita
memusnahkan hama ini?”
“Akan kupatahkan dengan
lututku, seperti ranting.”
“Jangan bunuh anak di
depan orang tuanya!!”
Begitu kata induk hama
itu, membuat sang manajer mengangkat bahu. Lalu, dia menaruh mainan itu di
tanganku.
“Baiklah, begini saja.
Saigawa, bawa ini pulang.”
“Hah!? Kenapa!? Kenapa
tidak kita selesaikan di sini!?”
“Oh, ide bagus. Bukannya
Saigawa-kun punya istri muda? Aku mau mendengar pendapat wanita dari luar
perusahaan—kurasa kita akan mendapat pendapat yang positif, berbeda dengan
kalian.”
“Nah iya. Terserah kau
saja. Bukannya aku tidak mau repot-repot mengurus prosedur pemusnahan atau
penyimpanan mainan ini di gudang. Camkan itu.”
“Jujur sekali…”
Aku ingin sekali
memukulnya dengan ulat ini, tapi kupikir aku hanya akan dihajar balik, jadi aku
urungkan. Orang ini memang kuat sejak dulu. Mungkin aku masih belum bisa
mengalahkannya.
“Kirimkan laporan kesan
dan pesanmu lewat email. Kalau tidak kuterima dalam tiga hari, aku akan
mengusulkan pemotongan gajimu.”
(Sialan…!!)
Jadi, aku tidak punya
pilihan selain menurut—dan setelah kembali ke divisi, aku langsung
menyembunyikan ulat cabul ini di dalam tasku.
*
“Kalau begitu,
Ikoma-san, ayo kita berangkat.”
“Baik!”
Siang itu, aku dan
Ikoma-san selesai bersiap untuk kunjungan lapangan dan menuju ke tempat parkir
bawah tanah. Kami tidak pulang cepat, tapi pergi untuk menyapa klien dan
melakukan survei pasar.
Divisi Perencanaan dan
Pengembangan tidak hanya bekerja dengan mengurung diri di kantor dan mencari
ide.
Sebagai bagian dari
kebijakan, semua anggota divisi perencanaan harus terjun langsung ke
lapangan—yaitu, melihat langsung bagaimana produk dipajang di toko ritel,
produk apa yang sedang laris, apa yang dipikirkan oleh para pegawai toko, dan
sebagainya. Jadi, kami harus keluar kantor secara berkala seperti ini.
Tentu saja, kami juga
harus menyapa staf toko dan berusaha agar mereka mau memajang lebih banyak
produk kami.
“Sebagai pengingat,
setelah kita mengunjungi semua toko yang ditargetkan, kita boleh langsung
pulang. Laporan kunjungannya dikumpulkan besok. Dan aku yang menyimpan mobil
kantornya, nanti aku yang akan mengembalikannya.”
“Oke! Senangnya bisa
langsung pulang setelah kunjungan lapangan~”
“Akhir-akhir ini,
perusahaan cerewet soal lembur, jadi mungkin mereka secara tidak langsung mau
kita cepat pulang.”
“Kalau begitu, kurangi
saja beban kerjanya.”
“Benar sekali. Padahal
kita juga punya ‘Si Ulat Anu’.”
Biasanya, kunjungan
lapangan dilakukan sendiri-sendiri, tapi karena kali ini kami akan mengunjungi
beberapa toko yang belum pernah dikunjungi Ikoma-san, aku menemaninya sebagai
penunjuk jalan. Aku memang bukan lagi mentornya, tapi karena divisi kami kecil,
pada akhirnya aku sering bekerja sama dengannya sebagai bawahan langsung.
Yah, terlepas dari
keluhan tentang beban kerja, ayo kita selesaikan kunjungan lapangan ini dan
pulang cepat.
“Tapi, apa tidak
apa-apa kalau aku yang menyetir? Aku tidak terlalu mahir…”
“Justru karena itu. Kamu
harus membiasakan diri menyetir. Pulangnya biar aku yang menyetir.”
“Oh, begitu. Kalau
begitu, aku akan berusaha!”
“Hati-hati di jalan.”
“Oke!”
Hari kerja musim dingin
yang biasa, dengan suasana akhir tahun yang semakin terasa.
Kami hanya
menyelesaikan pekerjaan kami dan pulang ke rumah--…seharusnya begitu.
*
“Aku pulang, Ritsuka.”
“Selamat datang,
Rou-kun.”
Kami bertukar salam
dengan sedikit canggung. Aku dan Ritsuka sama-sama merasa tegang.
Alasan utamanya adalah—
“Wah, jadi ini rumah
Senpai…”
--Entah bagaimana,
Ikoma-san mengikutiku sampai ke rumah.
(Bagaimana bisa
begini…)
Seingatku, kami
mengunjungi toko-toko dan menyelesaikan pekerjaan dengan lancar. Kami mengobrol
di dalam mobil, membicarakan tentang Nyan-kichi, tentang masakan Ritsuka yang
enak, lalu toko terakhir yang kami kunjungi kebetulan dekat dengan rumahku, dan
entah bagaimana, Ikoma-san akhirnya ikut ke rumah dan makan malam bersama kami.
Dia juga bilang ingin sekali melihat Nyan-kichi.
(Kukira Ritsuka akan
menolak…)
Jujur saja, aku tidak
terlalu senang dia datang. Kalau mau mengundang tamu, aku ingin
mempersiapkannya dulu, ini juga mendadak, meskipun aku tidak melarangnya
datang, bukankah lebih baik di hari lain?
Jadi, aku bilang ke
Ikoma-san, ‘Kalau istriku tidak mengizinkan, ya tidak bisa’, lalu aku
menghubungi Ritsuka dan bertanya apakah dia mengizinkan tamu datang, dan dia
hanya menjawab ‘Tidak apa-apa’.
Sebelumnya, Ritsuka
pernah salah paham dan mengira aku ada hubungan spesial dengan Ikoma-san—tentu
saja itu tidak benar, kami hanya rekan kerja—dan kami bertengkar.
Kupikir dia agak
membenci Ikoma-san, tapi karena mereka belum pernah bertemu langsung, tidak ada
alasan untuk membencinya. Mungkin dia berbaik hati dan mengizinkannya datang
karena menganggap ini urusan pekerjaan. Bagaimanapun juga, dia istriku
tercinta.
“Ikoma-san, ini
istriku, Ritsuka. Sepertinya kamu sudah tahu namanya.”
“Senang bertemu dengan
Anda. Terima kasih sudah selalu membantu suami saya. Saya Ritsuka, istrinya.”
(Eh… Ritsuka bisa juga
memberi salam seperti itu…)
“Senang bertemu dengan
Anda. Saya Ikoma Touko, bawahan Senpai. Saya sudah sering mendengar tentang
Anda dari Senpai. Seperti yang digosipkan, Anda sangat cantik.”
(Eh… Ada yang aneh
dengan kalimatnya, ya? Apa aku salah dengar…)
“Ufufu. Anda bisa saja.
Silakan masuk. Maaf, rumah kami berantakan.”
“Terima kasih. Rumah
kalian sangat rapi dan indah.”
“Terima kasih.”
“Sama-sama.”
“”……””
Agak menyeramkan, ya?
Apa Cuma aku? Apa Cuma
aku yang merasakan ketegangan ini? Suasana seperti perang dingin…
Jangan-jangan, mereka
berdua tidak cocok…?
Tidak, tunggu, terlalu
cepat untuk menyimpulkan seperti itu. Ritsuka tidak punya sifat agresif, dan
meskipun dia agak buruk dalam hal sopan santun bisnis, pada dasarnya dia ramah.
Ikoma-san juga sopan, dan etiket bisnisnya hampir sempurna. Saat kunjungan
lapangan tadi, dia bisa melakukan semuanya dengan baik tanpa perlu kuberi tahu.
Dia tidak akan bersikap defensif kepada orang yang baru dia kenal.
Pasti itu Cuma Ritsuka
dan Ikoma-san. Pasti aku saja yang terlalu khawatir.
“Kalau begitu,
Ikoma-san, tunggu di sini saja. Aku mau meletakkan tasku dulu.”
“Baik! Silakan!”
Setelah mempersilakan
Ikoma-san duduk di sofa, aku kembali ke kamarku. Tadinya aku ingin ganti baju,
tapi entah kenapa aku merasa lebih baik tetap pakai setelan daripada baju
rumah. Kuputuskan untuk melepas mantel dan jaket saja.
“Eh, kamu tidak ganti
baju?”
“Ritsuka. Yah, dia kan
rekan kerja.”
“Hmm…”
Ritsuka datang ke
kamarku. Dia menatapku dengan tajam. Pasti ada yang ingin dia katakan.
“Apa dia mengganggumu?
Maaf, tiba-tiba.”
“Tidak, tidak sama
sekali. Lagipula, aku sudah menduga kita akan bertemu suatu saat nanti.”
“Eh? Apa maksudmu?”
“Itu urusanku. Rou-kun
bersikap biasa saja. Jangan melakukan hal yang memalukan.”
“Tidak akan.”
Sepertinya Ritsuka
tidak marah atau merasa tidak nyaman. Dia malah terlihat seperti prajurit yang
akan bertarung. Kenapa…?
Ritsuka pergi ke dapur
untuk menyiapkan makan malam. Aku pun kembali ke ruang tamu.
“Ikoma-san, kamu mau
kopi hangat atau teh hangat?”
“Aku ikut rekomendasi
Senpai saja!”
“Kalau begitu, air
putih.”
“Eh~”
Baiklah, teh hangat
saja. Biasanya dia minum kopi, jadi sesekali teh tidak masalah.
Aku membuat teh di
dapur. Ritsuka, yang sedang memasak, bergumam dari belakang.
“…Kalian akrab, ya.”
“Kurasa kami cukup
akrab… Nee, Ritsuka, serius, aku dan Ikoma-san itu—”
“Aku tahu. Tidak
seperti itu~”
“Lalu seperti apa…”
Aku tidak mengerti
maksudnya. Atau mungkin aku tidak seharusnya mengerti.
Maksudku… aku tidak
seharusnya ikut campur dalam pikiran Ritsuka sekarang…
Sambil memikirkan hal
itu, aku kembali ke tempat Ikoma-san dengan the.
“Ini, silakan. Susu dan
gulanya di sini.”
“Terima kasih!
Sebenarnya aku suka teh!”
“Tapi di kantor kamu
selalu minum kopi?”
“Itu karena aku
membuatkannya sekalian dengan milik Senpai~”
“Ah, jadi salahku…”
Karena Ikoma-san selalu
membawakanku kopi setiap pagi, aku jadi terbiasa. Jadi dia menyesuaikan
denganku karena aku suka kopi.
“Tapi, kamu jarang ngasih
kopi ke manajer atau Ootaka-san?”
“Karena aku cuman bisa
membawa dua cangkir pakai kedua tanganku. Satu untukku, satu untuk Senpai,
sudah penuh. Aku membuatkan kopi untuk senpai sekalian sama punyaku.”
“Oh, begitu.”
Di zaman sekarang,
tidak ada perusahaan yang punya petugas khusus untuk membuatkan minuman.
Memberi perintah seperti ‘buatkan aku kopi’ itu jelas tidak boleh. Jadi,
‘sekalian membuatkan’ seperti yang Ikoma-san lakukan itu sudah maksimal.
(Eh? Kalau begitu, aku
bisa membuatkan teh…)
“Enak~”
‘……’
Sebuah bayangan hitam
mendekat ke kaki Ikoma-san yang sedang menikmati tehnya. Nyan-kichi diam-diam
mendekat, entah dari mana asalnya. “Ah,” Ikoma-san menyadarinya.
“Ini dia Nyan-kichi-chan
yang terkenal itu! Wah, lucu sekali~!”
“Penampilannya saja…
Kalau sifatnya, seperti kucing liar yang tinggal di rumah.”
“Begitu ya? Tapi, dulu
dia pernah datang ke kantor, kan? Kurasa kucing tidak akan melakukan itu kalau
tidak menyukai Senpai.”
“Waktu itu, yah…”
Karena itu keadaan
darurat. Bulan lalu, Nyan-kichi datang jauh-jauh ke kantor untuk memberi tahuku
tentang Ritsuka yang sedang dalam bahaya. Jadi, Ikoma-san pernah melihat Nyan-kichi
dari kejauhan, tapi ini pertama kalinya dia melihatnya dari dekat dan
berinteraksi dengannya.
“Sini, sini~”
‘…Manusia betina ini…’
“Eh.”
Nyan-kichi waspada dan
tidak mendekati Ikoma-san yang mengulurkan tangannya. Benar juga, jarang ada
tamu yang datang ke rumah, jadi aku tidak tahu bagaimana reaksi Nyan-kichi
terhadap orang lain…
“Ikoma-san? Ada apa?
Kenapa kamu mengeluarkan suara aneh…?”
“Ah, tidak. Tidak
apa-apa, tidak apa-apa.”
Aku punya firasat
buruk. Ikoma-san menggerakkan lehernya, menutup matanya, dan memijat dahinya.
Kenapa dia tiba-tiba
melakukan itu? Hanya ada satu jawaban. Dia mungkin bisa mendengarnya.
(Nyan-kichi! Jangan
bicara! Berpura-puralah jadi kucing! Kau kan kucing!!)
Tidak apa-apa kalau
Kengo dan Iba tahu kalau Nyan-kichi bisa bicara.
Tentu saja karena Kengo
memang sudah tahu, dan Iba juga sepertinya memang yankee, jadi tidak akan jadi
masalah kalau orang seperti mereka tahu tentang Nyan-kichi.
Tapi, kalau Ikoma-san
juga bisa mendengar suara Nyan-kichi, itu lain cerita.
Dia orang biasa, dan
tidak tahu apa-apa tentang dunia bawah. Kalau dia tahu ada kucing yang bisa
bicara, dia pasti akan bingung, dan dalam kasus terburuk, dia mungkin mengira
dirinya sakit.
Jadi, aku menatap mata Nyan-kichi
yang bulat dan berharap dia mengerti.
‘Ya ampun~. Aku bisa
berpura-pura jadi kucing! Aku tidak percaya diri, hahaha.’
(Dasar kau!!)
“…Anu, Senpai. Aku rasa
aku sangat lelah. Sampai rasanya harus ke rumah sakit…”
“Be-begitu? Kalau
begitu, jangan dipaksakan!”
‘Baiklah, akan kucoba. Nyaa~
(tertawa)’
“Senpai… Aku akan
mengatakan hal yang sangat aneh, jadi jangan menertawakanku.”
“Aku akan berusaha
sebisa mungkin…”
Ikoma-san tidak
memenuhi syarat untuk bisa mendengar suara Nyan-kichi. Tidak mungkin dia punya
kesamaan dengan aku, Kengo, dan Ibaba. Jadi, apa ada syarat lain yang belum
kami ketahui? Tidak ada gunanya memikirkannya sekarang, sih.
“Aku, aku bisa
mendengar suara Nyan-kichi-chan—”
“Kamu Cuma salah dengar.”
“Kenapa kamu langsung
menyangkalnya?”
“Kucing ini sangat
cerewet~. Dia selalu mengeong, sangat berisik. Jadi, wajar kalau kamu salah
dengar. Aku juga kadang-kadang begitu~”
“Senpai juga
kadang-kadang begitu?”
“Iya, iya! Salah
mengira ‘nyaa nyaa’ sebagai ‘aku lapar’—”
“Jadi, aku tidak salah
dengar.”
“Uhh?”
Meskipun aku sudah
mencoba meyakinkannya kalau dia hanya salah dengar, Ikoma-san malah semakin
yakin.
Saat aku sedang
berpikir bagaimana cara menjelaskannya, Ikoma-san mulai bicara.
“Waktu Nyan-kichi-chan
datang ke kantor dulu, aku bisa mendengarnya. Dia seperti sedang berbicara
dengan Senpai. Dia benar-benar bilang ‘Ritsuka’. Waktu itu kupikir aku salah
dengar, tapi ternyata tidak.”
“Ah…”
“Senpai. Jujur saja.
Kucing ini bisa bicara, kan?”
Begitu ya. Waktu
Nyan-kichi datang ke kantor, aku memang berbicara dengannya. Kalau Ikoma-san
bisa mendengarnya, wajar kalau dia mendengar percakapan kami. Waktu itu dia
menganggapnya sebagai salah dengar, tapi kalau sampai terjadi lagi hari ini…
itu bukan lagi kebetulan, tapi sudah pasti.
Mungkin aku tidak bisa
menyembunyikannya lagi. Dia cerdas. Kalau aku menyembunyikannya dengan buruk,
dia akan berusaha mencari tahu sendiri. Itu pasti lebih berbahaya. Aku pun
menggendong Nyan-kichi.
“Iya, dia bisa bicara…
Seperti ini.”
‘Nyaa~ (tertawa)’
“Aku tidak akan mengatakan
apapun.”
“Dasar orang ini…!!”
“Tapi, aku rasa, tidak
banyak orang yang bisa mendengar suaranya.”
“…Apa alasanmu?”
“Kalau dia bisa
berbicara seperti manusia, bukan Cuma mengeong, pasti lebih banyak orang yang
akan bereaksi waktu dia datang ke kantor. Tapi kenyataannya tidak. Hanya aku.
Lagipula, meskipun kita menyebutnya ‘bicara’, mungkin yang benar adalah
‘mengeongnya bisa dimengerti sebagai bahasa manusia’. Bagi yang tidak bisa
mendengarnya, mungkin dia hanya terdengar mengeong biasa.”
…Dia berbahaya. Kalau
dia musuh, aku pasti sudah melenyapkannya.
Dia menyusun hipotesis
dari sedikit petunjuk dan pengalamannya sendiri, lalu menyimpulkan detail
kemampuannya. Itu yang biasa kulakukan saat menghadapi pengguna kekuatan
supernatural.
Karena dia bisa
melakukannya secara alami, mungkin dia bisa menjadi petarung yang hebat kalau
dilatih dengan baik. Dia adalah orang berbakat yang harus direkrut oleh
Shishima jika organisasi itu masih ada.
“Kamu benar. Aku tidak
bisa menjelaskan prinsipnya karena aku juga tidak tahu.”
“Begitu ya. Fantastis…”
“Bagaimana? Mau ikut
aku ke rumah sakit?”
“Boleh juga, tapi
kurasa tidak perlu. Ada juga burung yang bisa bicara, kan? Kalau kita
menganggapnya sama, kucing yang bisa bicara juga bisa diterima. Yah, dengan
asumsi Senpai memang selalu bisa mendengar suara Nyan-kichi-chan.”
(Dia sangat fleksibel
dalam menerima hal baru.)
Dia tidak menggunakan
bias normalitas, tapi meyakinkan dirinya sendiri dengan berpegang pada reaksiku
sebagai pemiliknya.
Ikoma-san berpikir
sejenak, lalu bergumam.
“…Apa istri senpai
tahu?”
“Ah, Ritsuka tidak bisa
mendengarnya. Dia sudah sering melihatku berbicara sama Nyan-kichi, tapi dia
menganggapnya sebagai ‘pemandangan yang lucu’. Dia berpikir kalau aku cuman
menerjemahkan ucapan Nyan-kichi di kepalaku sendiri. Dia sangat manis, kan? Aku
suka.”
“Ada-ada saja… Yah,
memang banyak pemilik yang berbicara dengan hewan peliharaannya. Kalau begitu,
ini—”
Ikoma-san tersenyum
nakal. Lalu, dia berbisik di telingaku.
“—Ini rahasia kita
berdua, ya?”
“…Tidak masalah kalau kamu
memberi tahu orang lain.”
“Fufu. Aku tidak akan
memberi tahu siapa pun. Kalau orang yang dicintai saja tidak percaya, tidak
mungkin orang lain akan percaya. Kecuali aku. Benar, kan?”
“…Ya.”
‘Nyaa~ (tertawa)’
Suasana menjadi
canggung. Sepertinya Ikoma-san yang mengendalikan situasi.
“Makan malamnya hampir
siap~. Rou-kun, tolong siapkan semuanya!”
Ritsuka memanggil kami.
Sepertinya makan malam akan segera siap.
Aku menjauh dari
Ikoma-san. Aku merasa kalau kami terus membicarakan Nyan-kichi, kami tidak akan
bisa kembali lagi. Aku dan Ikoma-san.
*
“Terima kasih atas makanannya! Sangat enak! Istrimu sangat pandai memasak!
Senpai pernah cerita, tapi sekarang saya mengerti setelah mencobanya sendiri!”
“Fufu, terima kasih. Aku jarang dipuji orang lain selain Rou-ku... suamiku,
jadi aku sangat senang. Ini jadi penyemangat.”
“A-aku akan membuatkan kopi sama teh.”
“Senpai, aku iri, bisa makan masakan istrimu setiap hari! Aku rela membayar
biar bisa makan masakan seenak ini. Enak sekali~”
“Ah, kamu terlalu memuji. Lagipula, aku tidak memasak setiap hari.
Kadang-kadang... Suamiku yang memasak, jadi aku bisa istirahat. Kami sudah
memutuskan untuk berbagi tugas rumah tangga saat menikah dulu.”
“Aku mau kopi, kalian berdua teh? Boleh, kan? Boleh!”
“Jadi, kamu memutuskan untuk berbagi tugas rumah tangga waktu menikah, ya~.
Tapi, biasanya suami yang lebih sering menyuruh istrinya, kan?”
“Tidak mungkin suamiku melakukan itu.”
“Hee~. Senpai memang hebat. Dia sangat menyayangi istrinya.”
“Aku juga akan bawakan camilan.”
Ini gawat, kan?
Aku langsung berlari ke dapur. Ada yang tidak beres. Aku tidak bisa
menjelaskan apa yang salah. Itulah yang membuatnya gawat. Ritsuka tersenyum,
Ikoma-san juga tersenyum.
Kalau kutanya ‘apa kalian sedang bertengkar?’, mereka pasti akan menjawab
‘memangnya kenapa?’ Tapi ada yang aneh.
Pertama, Ikoma-san. Dia tidak pernah memanggil Ritsuka dengan namanya. Dia
juga tidak memanggilnya ‘Nyonya’ atau semacamnya. Dia hanya memanggilnya
‘istri’. Memangnya ada orang yang memanggil seperti itu?
Di sisi lain, sikap Ritsuka juga berbeda dari biasanya, tapi tidak terlalu
kentara. Jujur saja, kecerobohannya adalah bagian yang imut dari Ritsuka, tapi
sekarang dia seperti memakai topeng. Kenapa...?
Rasanya seperti mereka sedang saling mengancam dengan pisau tak terlihat,
siap untuk saling menusuk kapan saja, tapi aku tidak bisa melihatnya dengan
jelas. Ada, tapi tidak ada. Tidak ada, tapi ada. Apa itu? Tabungan kita!!
Saat aku sedang mencoba melupakan kenyataan dengan bercanda, Nyan-kichi
mendekat.
‘Di sini, aku punya teka-teki... Manusia betina dari kantor yang kau bawa
pulang dan manusia betina yang sudah kau bawa pulang. Apakah persamaannya?’
“...Tidak cocok?”
‘Jawabannya adalah ‘keduanya kotoran’, nya...’
“Kalau kau tidak mau bikin teka-teki, diam saja.”
Itu bukan teka-teki, tapi bola meriam. Hanya menembakkan saja.
Aku berjongkok dan memanggil Nyan-kichi. Dia mengeong dengan angkuh.
“Hei. Sepertinya Ikoma-san bisa mendengar suaramu. Apa kau tahu kenapa?”
‘Tidak tahu, nya. Tapi, manusia betina itu tidak normal, nya.’
“Tidak normal? Apa maksudmu?”
‘Dadanya besar, nya... Aku ingin meremasnya, nya...’
“Aku salah bertanya padamu.”
Meskipun dia bilang begitu, Nyan-kichi tidak mendekati Ikoma-san. Dia
memang kucing yang moody dan tidak selalu ramah, bahkan padaku dan Ritsuka,
tapi apa dia lebih waspada terhadap orang asing?
Aku meletakkan kopi dan teh di nampan dan kembali ke tempat yang tidak
ingin kukunjungi. Tempat yang terasa seperti medan perang meskipun tidak ada
perang...
“Ini, tehnya. Dan ini camilannya.”
“Terima kasih, Rou-kun.”
“Terima kasih! Tadi, aku lagi bertanya tentang warna rambut ke istrimu!
Warnanya perak alami yang sangat indah, jadi aku penasaran di salon mana dia
mewarnainya.”
“Sudah kubilang, ini warna asliku.”
“...Katanya begitu, tapi benarkah?”
“Benar.”
“Hee. Apa dia blasteran?”
Rambut perak Ritsuka berubah warna karena pengaruh《Breath of Blessing》dan. Setahuku,
hanya Ritsuka yang mengalami fenomena seperti ini, jadi aku tidak tahu apakah
itu benar-benar karena《Breath of Blessing》.
Ikoma-san tampak ragu. Yah, memang ini bukan warna rambut asli orang
Jepang.
“Ngomong-ngomong, kalian berdua pacaran sejak kuliah, kan? Bagaimana kalian
bertemu? Aku sudah tanya Senpai, tapi dia tidak mau cerita.”
(Dia tidak suka bilang kalau kami bertemu di kencan buta...)
“Iya. Aku bertemu suamiku waktu kuliah. Di... presentasi bersama.”
“”Mencari pekerjaan!?”
Kenapa kalian heboh? Malah, itu bukan pencapaian. Malah mungkin memalukan.
Aku dan Ritsuka berbeda dua tahun, jadi kalau kami bertemu di presentasi
saat cari kerja, berarti aku harus cuti kuliah selama dua tahun. Benar-benar
memalukan. Karierku jadi ternoda.
“Tapi, waktu istrimu mencari kerja, bukannya Senpai sudah bekerja di
Handai? Seingatku, Senpai bilang dia dua tahun lebih tua.”
“Aku tidak bisa menjawabnya.”
“Jangan mengelak begitu... Ah, aku agak malu mengatakannya karena itu agak
norak. Aku dan Ritsuka bertemu di kencan buta. Waktu aku kelas tiga dan Ritsuka
kelas satu.”
“Hee, kencan buta. Senpai ternyata agresif juga, ya!”
“Itu dulu...”
Ikoma-san tersenyum sedikit. Ritsuka yang duduk di sebelahku menyikut
pinggangku. Cukup keras. Kenapa? Biasanya kami tidak malu bilang kalau kami
bertemu di kencan buta. Aku tidak mengerti jalan pikiran Ritsuka...
Sebenarnya, lebih tepatnya, aku dan Ritsuka ‘bertemu lagi’ di kencan buta.
Tapi, aku tidak boleh memberi tahu Ikoma-san tentang itu. Ritsuka tampaknya
setuju denganku, dan dia berdeham pelan untuk mencairkan suasana.
“Aku dan suamiku terikat oleh takdir, seperti benang merah. Di mana pun
kami bertemu, dia adalah satu-satunya pria yang harus kucintai.”
“Pria...”
“...Satu-satunya pria yang harus kucintai. Suamiku adalah satu-satunya pria
yang pernah kupacari, dan aku merasa itu sudah cukup. Inilah takdir.”
“Hee, jarang ya, ada wanita yang berpikir seperti itu di zaman sekarang.”
“Apa ada masalah?”
“Tidak, tidak, aku Cuma kagum karena kamu punya pemikiran yang kuno! Kamu
sangat sopan! Hebat~”
“Terima kasih. Aku juga, Ritsuka adalah satu-satunya wanita yang pernah
kupacari. Kami adalah cinta pertama satu sama lain.”
“Eh, Senpai juga? Tidak kusangka... Kukira Senpai playboy.”
“Jangan sembarangan... Aku tidak seperti itu. Aku tidak populer.”
Waktu kuliah, aku memang mewarnai rambutku dan bertingkah seperti playboy,
tapi aku lebih sering main dengan Kayama dan Gori-san. Aku tidak punya pacar,
jadi setelah berpacaran dengan Ritsuka, aku hanya mencintainya. Lagipula, aku
memang tidak suka main-main.
“Apa kamu... punya orang yang disukai?”
(Mungkin dia mau bilang ‘berhubungan dekat’, tapi aku tidak akan
membahasnya.)
“Sekarang tidak ada. Aku pernah punya pacar, tapi tidak ada yang bertahan
lama. Ahaha, kamu pasti berpikir aku wanita menyedihkan, kan? Tapi, begitulah.
Di zaman sekarang, pacaran itu harus trial and error. Setelah error, baru
ketemu yang cocok.”
“Begitu ya. Tidak buruk juga?”
“Jadi, kamu tidak percaya pada takdir, ya?”
Ritsuka tersenyum dengan tenang. Aku dan Ritsuka percaya pada takdir.
Alasannya sederhana, karena kami memang ditakdirkan. Meskipun begitu, tidak ada
yang bisa menyangkalnya.
Tapi, Ikoma-san minum tehnya sedikit, lalu menjawab dengan ekspresi
bingung.
“Eh? Aku percaya, kok?”
“...? Tapi tadi kamu bilang soal trial and error.”
“Ah, itu... Itu kan beda. Aku ini juga wanita, lho? Kalau cinta pertamaku
berhasil, itu adalah takdir terbaik. Aku juga pernah merasakan cinta pertama.
Kalian berdua yang merupakan kasus langka karena cinta pertama kalian
berhasil~”
“Mungkin begitu. Memang jarang ada yang seperti itu.”
“—Karena itu, takdir itu ada. Kamu mengerti?”
“...Ya, mungkin.”
“Haa? Apa maksudmu?”
Entah sejak kapan, Ritsuka dan Ikoma-san sudah sepakat. Apa salah satu dari
kalian menghentikan waktu?
Karena mereka berdua terlihat setuju, aku tidak bisa bertanya lebih lanjut.
Ritsuka dan Ikoma-san saling menatap selama beberapa detik, lalu Ikoma-san
mengalihkan pandangannya. Jangan bertengkar.
“Ngomong-ngomong, aku penasaran dari tadi~. Boleh aku tanya?”
“Tanya apa?”
“Silakan, asalkan masih dalam batas wajar.”
“Tulisan tangan di kalender dinding itu. ‘Hari Peringatan Mengucapkan Anu
Berulang Kali’ itu, apa sebenarnya?”
“”......””
Aku dan Ritsuka melihat ke arah kalender. Ada satu kalimat yang tertulis di
sana.
--‘Hari Peringatan Mengucapkan Penis Berulang Kali’..!!
“──────!!”
“I-itu, Rou-kun yang menulisnya sambil bercanda! Dia memang suka iseng!
Tidak ada maksud aneh, kok! Nanti aku hapus!”
“Kalau ini tidak ada maksud aneh, aku tidak tahu apa lagi namanya. Senpai,
ternyata kamu suka bercanda juga. Memang benar, di kantor dan di rumah itu
berbeda.”
“Yah, sedikit... Lagipula, kami kan suami istri...”
“Aku mengerti kalau ‘hari berbahaya’ dan ‘hari aman’, tapi ‘hari peringatan
mengulang’ itu... Pfft. Kalian pasangan yang luar biasa.”
“Ja-jangan tertawa! Kalau mau tertawa, tertawakan Rou-kun saja!”
“Eh? Kamu mau mengkhianatiku?”
Memang aku yang menulisnya sambil bercanda, dan Ritsuka cemberut, sih. Dia
memang pandai membereskan barang, tapi dia tidak akan menghapus tulisan di
kalender. Kalau sampai Ikoma-san melihat hal memalukan seperti itu... mungkin
besok dia akan memanggilku dengan nama saja. Yah, tidak masalah sih.
“Istrimu juga ternyata seperti itu. Tidak apa-apa, begini saja. Tidak perlu
sungkan padaku. Lagipula, aku lebih muda.”
“Guh... Ini semua gara-gara Rou-kun...!”
“Tidak, aku setuju kalau kamu bersikap biasa saja...”
“Ada alasannya! Rou-kun tidak akan mengerti!”
“Hiii.”
Entah kenapa Ritsuka mencubit pipiku. Apa aku sudah merusak keseimbangan
kekuatan?
Tidak, memang ada keseimbangan kekuatan macam apa? Aku tidak mengerti apa
yang sedang mereka pikirkan, seperti sedang bertarung di bawah air, bahkan di
dasar laut. Jangan-jangan, mereka sebenarnya sudah saling kenal...?
‘Nyaa~ (tertawa)’
“Ah, Nyan-kichi-chan! Sini, sini~. Biarkan aku mengelusmu sekali saja~♡”
(Tertawa)
(Reaksi macam apa itu?)
Nyan-kichi tetap tidak mendekati Ikoma-san. Apa dia pemalu?
Ikoma-san yang tidak sabar berjongkok dan bertepuk tangan ke arah Nyan-kichi.
“Sini, sini! Ayo main!”
“Nyan-kichi itu moody. Kalau dia tidak mau, dia tidak akan datang apa pun
yang kamu lakukan.”
“Harusnya kau ramah sedikit pada tamu—“
Whirr whirr whirr whirr whirr whirr whirr whirr...
Suara aneh terdengar di dalam rumah. Seperti suara motor, atau memang suara
motor. Suara itu semakin keras, seperti mendekat ke arah kami. Suara itu datang
dari ujung lorong—
Whirr whirr whirr whirr whirr whirr whirr whirr...
--Bukannya itu vibrator yang bisa dipanggil!! (lupa namanya)
‘Jijik.’
“Kyaaaaaaa!! A-apa itu!? Ulat besar!?”
Ulat vibrator itu bergerak seperti ulat jengkal dengan tubuhnya yang
berwarna pink, mendekati Ikoma-san sambil bergetar. Menjijikkan sekali.
Ikoma-san tanpa sadar mundur.
--Awalnya dia akan mendekat saat mendengar tepukan tangan! Ini akan
memberinya kesan ‘jinak’ dan membuatnya semakin disayangi!
Aku teringat penjelasan Hitomi-san. Jadi, dia bereaksi terhadap tepukan
tangan Ikoma-san dan merangkak keluar dari tasku. Sensornya terlalu sensitif.
Dasar nenek loli sialan, seenaknya menambahkan fungsi seperti itu...
“Tu-tunggu, Senpai, itu apa sebenarnya!? Apa kamu juga memelihara
serangga!?”
“Tidak, itu, bagaimana ya—“
*
“Tidak... tidakkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk Seranggaaaaa─────────!!!”
Brak! Bunyi benda keras pecah, serangga vibrator itu seketika membeku.
Seluruh tubuhnya tertutup es, fungsinya berhenti total. Bisa dibilang serangga
itu sedang hibernasi paksa.
“Hah!?”
“Aku tidak mau! Tidak mau... tidak mau tidak mau! Tidak─────────!”
“Tenanglah, Ritsuka! Itu bukan serangga!”
Salah satu hal yang paling dibenci Ritsuka adalah semua jenis serangga.
Sebenarnya, lebih banyak wanita yang takut serangga daripada yang menyukainya.
Setiap kali melihat serangga, baik dalam toples atau kotak, Ritsuka akan
bereaksi seperti ini. Bahkan dia sampai menggunakan sihir ‘berkah’ untuk
membekukannya. Sepertinya dia merasa terancam hidupnya.
“Itu jelas serangga! Cacing besar! Ambil itu!”
“Iya, iya”
Jadi setiap kali ada serangga, aku selalu yang mengatasinya. Aku juga tidak
suka serangga, tapi tidak separah dia. Aku bisa membunuhnya dengan tenang.
Oh ya, pernah sekali Ritsuka meneleponku saat bekerja karena ada kecoa di
rumahnya. Saat itu aku benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya dia
harus menunggu di kafe sampai aku pulang.
Benar-benar menakutkan ya, serangga itu.
“Eh, serangga yang tadi, sekarang jadi seperti es...”
“Iya, mungkin karena supercooling. Jangan khawatir.”
“Hah... Supercooling itu seperti itu ya...”
“Aku tidak mau... Aku akan mimpi buruk... menyebalkan...”
Nanti setelah esnya mencair, aku akan mematahkan serangga vibrator itu dan
membuangnya ke tempat sampah non-organik.
Aku melempar serangga itu ke sudut kamar. Jangan sampai hidup lagi.
*
“Terima kasih banyak hari ini! Sangat menyenangkan! Aku banyak belajar hal
baru, dan aku juga sudah akrab dengan Nyan-kichi!”
‘Nyaaa (tertawa)’
Beberapa saat kemudian, sudah larut malam, saatnya Ikoma-san pulang.
Di depan pintu, aku menanyakannya sekali lagi.
“Aku antar ke stasiun, atau bahkan sampai ke rumahmu, tapi apa kamu yakin
tidak apa-apa?”
“Terima kasih! Sudah merepotkan kamu karena menjamu makan malam, jadi
rasanya tidak enak kalau kamu mengantarku sampai rumah. Selain itu, aku juga mau
berjalan-jalan malam ini!”
“Ya, baiklah. Tapi hati-hati di jalan ya.”
“... Hati-hati.”
“Sampai jumpa! Istri Ritsuka! Terima kasih atas makanannya!”
“... Sekali dalam 70 tahun saja.”
“Seperti komet Halley...”
Begitulah, Ikoma-san akhirnya pulang. Aku baru sadar bahwa kesan yang
kuberikan padanya sebagai atasan di kantor hanyalah sebagian kecil dari diriku.
Manusia memang makhluk yang multifaset.
Setelah pintu tertutup, kami berdua terdiam sejenak.
Lalu, Ritsuka langsung lemas dan duduk di lantai.
“Aku lelah... Aku terlalu memaksakan diri...”
“Kerja keras. Terima kasih hari ini. Aku sangat terbantu.”
Postur tubuhnya sebagai istri bos perusahaan itu pasti sangat melelahkan
baginya.
Selain itu, dia juga yang menyiapkan semua makanan dan membersihkan rumah.
Dia pasti lebih lelah dariku karena dia juga bekerja seharian.
Aku memeluk Ritsuka dari belakang. Posisi seperti menggendong pengantin.
“Ayo, aku akan membawamu ke sofa. Aku yang membereskan semuanya, jadi kamu
istirahat saja.”
“Hmm.”
Ritsuka menggosokkan wajahnya ke dadaku seperti kucing.
“Dia anak yang baik, ya. Aku mengerti kenapa Rou-kun menyukainya.”
“Dia sangat pintar dan kompeten. Kalau saja dia hidup di zaman yang
berbeda, dia pasti akan menjadi orang yang hebat.”
“Begitu ya... Tapi ya sudahlah. Mungkin itulah takdir.”
“Takdir? Kenapa tiba-tiba?”
“Tidak apa-apa. Aku tidak mengerti juga. Mungkin nanti akan mengerti.”
“Hmm... Aku juga tidak terlalu mengerti. Tapi, yang ku tahu hanya ini.”
Aku perlahan menurunkan Ritsuka ke sofa dan mencium bibirnya.
Dia tidak menolak, malah menyambut ciuman itu. Matanya menunjukkan
keinginan yang sama.
“......Bodoh”
“Apa sebaiknya tidak melakukannya?”
“... Aku iri sama Rou-kun yang tidak tahu apa-apa!”
“Hah? Karena aku tidak takut serangga?”
“Bukan itu maksudku! Jangan ingatkan aku tentang itu! Dan jelaskan semua
padaku!”
“Ah”
Setelah membereskan semuanya, aku akhirnya dihardik oleh Ritsuka. Akhirnya,
kami memutuskan untuk melakukan pengendalian hama secara menyeluruh di rumah
kami akhir pekan ini...
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.