Soshiki no Shukuteki to Kekkon Shitara Mecha Amai V3 chap 6

N-Chan
0

Episode 6

 

(POV Roushi)

 

“Lihat! Ini adalah mainan baru yang kukembangkan—mainan yang kuberi nama ‘Si Ulat Gemoy’!!”

 

Whirr whirr whirr whirr whirr whirr whirr whirr…

 

Sebuah benda panjang berwarna merah muda seperti ulat raksasa menggeliat dan bergetar di atas meja sambil mengeluarkan suara motor dari depan, belakang, kiri, dan kanan. Benda itu menggeliat, bahkan berguling-guling.

 

Seperti ulat yang sudah tidak berdaya karena terkena serangan dan hampir mati….

 

“Hmm. Ini untuk usia 18 tahun ke atas, hanya bisa dijual di bagian khusus dewasa, yang biasa disebut sebagai barang dewasa, atau singkatnya ‘alat bantu seks’, kan?”

 

“Intinya vibrator, pasti…”

 

“Hei, jangan main-main!! Kenapa aku harus mengembangkan benda seperti itu!?”

 

“Aku tidak tahu.”

 

Kami, aku dan manajer, dipanggil lagi ke ruang kepala bagian produksi, yang kusebut sebagai sarang Hitomi-san.

 

Dan begitu sampai, kami langsung diperlihatkan benda aneh yang tidak bisa dimengerti.

 

Pemicunya adalah, ehm… ‘Si Ulat Anu’, ya?

 

“Manajer. Kita pernah membuat mainan seperti ini?”

 

“Tidak pernah, dan tidak akan pernah, tapi mungkin Hitomi-san punya pendapat lain.”

 

“Sudah kubilang, ini bukan benda seperti itu!! Hei!! Lucu, kan!?”

 

“’Si Ulat Menggeliat’ itu? Tidak, sama sekali tidak.”

 

“Bukan itu, Manajer. ‘Si Ulat Bersemangat’.”

 

“Itu ‘Si Ulat Gemoy’, dasar bodoh!!”

 

Sama saja… Bahkan, sebutan kami lebih enak didengar, kan?

 

Hitomi-san terlihat kesal karena kami sama sekali tidak mau mengakui benda cabul seperti ulat ini.

 

“Ini mainan untuk anak-anak! Anak-anak suka ulat, tapi kalau dibuat seperti aslinya, orang tua akan merasa jijik, jadi aku sengaja mewarnainya dengan warna pink yang tidak alami!

 

Ia membuatnya sangat panjang dan tebal agar terlihat seperti mainan! Ini juga untuk mencegah anak-anak menelannya! Dan karena ini ulat, dia bisa bergerak sendiri dengan meniru gerakan peristaltik!

 

Selain itu, seluruh tubuhnya dilapisi silikon yang lembut untuk mencegah cedera saat diayunkan atau dilempar! Dengan bahan ini, dia bisa melewati medan yang tidak rata! Dan lagi, lihat! Karena dia bisa bergerak, aku memprogramnya agar bisa mendekat saat dipanggil dengan merespons gelombang suara tertentu!

 

Awalnya dia akan mendekat saat mendengar tepukan tangan! Ini akan memberinya kesan ‘jinak’ dan membuatnya semakin disayangi!

 

Lagipula, gelombang suara yang memicunya bisa diubah dan ditambah nanti! Kita bisa membuatnya merespons panggilan atau nama, seperti hewan peliharaan! Bagaimana!?”

 

“Jadi, vibrator yang bisa dipanggil…”

 

“Kubunuh kau!!”

 

Setelah mendengar penjelasan tentang konsep, keamanan, dan fungsinya, itulah kesimpulan yang kudapatkan.

 

Setahuku, belum ada alat bantu seks seperti ‘vibrator yang bisa dipanggil’… Aku tidak terlalu tahu, sih, tapi karena tidak ada gunanya memanggil vibrator, mungkin memang belum ada.

 

Mungkin ini inovatif. Yah, meskipun ini bukan vibrator….

 

“Dan dengan semua fungsi canggih ini, dia hanya butuh satu baterai kancing! Sangat hemat energi, kan!?”

 

“Bukannya itu salah satu jenis baterai yang sulit ditemukan?”

 

“Lebih baik pakai baterai AA saja.”

 

“Tch!! Dasar kalian!!”

 

(Dulu dia bilang ‘dasar bodoh’…)

 

Aku jadi banyak membantah Hitomi-san, tapi aku tidak bermaksud jahat. Malah, aku akhirnya bisa mengatakan apa yang ingin kukatakan sejak awal.

 

“Sebenarnya—kami tidak pernah mengusulkan mainan seperti itu.”

 

Alur kerja kami di Divisi Perencanaan dan Pengembangan adalah membuat rencana mainan baru, membuat berbagai dokumen perencanaan, dan jika disetujui, bagian produksi yang dipimpin Hitomi-san akan memeriksa apakah mainan itu bisa diwujudkan dengan teknologi perusahaan kami, berapa biayanya, apakah cocok untuk diproduksi massal, dan lain-lain.

 

Kalau mereka menyetujuinya, dan rapat para petinggi juga menyetujuinya, barulah produk baru itu punya kemungkinan untuk dirilis. Kubilang ‘kemungkinan’ karena masih ada komunikasi dengan divisi penjualan dan humas. Intinya, untuk mendistribusikan satu mainan baru saja, dibutuhkan banyak tenaga dan waktu di dalam perusahaan.

 

Dan, tidak ada di antara kami yang pernah mengajukan rencana mainan seperti Si Ulat Besar ini.

 

“Aku tahu. Apa kau belum dengar dari manajer? Aku punya wewenang untuk mengembangkan mainan secara mandiri di perusahaan ini. Kali ini, aku hanya mencoba mempertimbangkan pendapat kalian sebagai bagian dari itu.”

 

“Baru dengar… Benarkah, Manajer?”

 

“Iya. Tapi, seperti yang kau duga, mainan-mainan itu tidak pernah sampai ke pasaran. Semua mainan yang dibuat Hitomi-san terlantar begitu saja di gudang perusahaan.”

 

“Jangan matikan mereka!! Biarkan mereka hidup!! “Tidak, mereka harus mati.” “Tidak!! Aku ingin hidup!!”

 

“Kalau sampai ketahuan, citra perusahaan kita akan hancur…”

 

Intinya, Hitomi-san bisa melakukan tugas divisi perencanaan dan produksi sendirian. Bahkan sambil mengabaikan alur kerja.

 

Dia memang mendapat perlakuan khusus, tapi itu pasti karena kemampuannya yang luar biasa.

 

Yah, karena tidak ada satupun karyanya yang diterima, sepertinya perusahaan kami punya selera yang cukup bagus.

 

“Ya sudahlah. Aku punya banyak ide lain. Akan kupanggil kalian lagi kalau sudah selesai.”

 

“Aku sibuk, jadi jangan panggil aku lagi.”

 

“Sama seperti si bodoh itu, saya juga sibuk.”

 

“Hmph! Dasar bodoh! Kau selalu bersama manajer!”

 

“Apa yang kalian bicarakan?”

 

Semua itu terasa seperti sandiwara konyol. Manajer “Claires” atau biasa disebut manajer “Coise” tersenyum, lalu mengambil ulat erotis yang tergeletak tak berdaya di atas meja.

 

“Bagaimana cara kita memusnahkan hama ini?”

 

“Akan kupatahkan dengan lututku, seperti ranting.”

 

“Jangan bunuh anak di depan orang tuanya!!”

 

Begitu kata induk hama itu, membuat sang manajer mengangkat bahu. Lalu, dia menaruh mainan itu di tanganku.

 

“Baiklah, begini saja. Saigawa, bawa ini pulang.”

 

“Hah!? Kenapa!? Kenapa tidak kita selesaikan di sini!?”

 

“Oh, ide bagus. Bukannya Saigawa-kun punya istri muda? Aku mau mendengar pendapat wanita dari luar perusahaan—kurasa kita akan mendapat pendapat yang positif, berbeda dengan kalian.”

 

“Nah iya. Terserah kau saja. Bukannya aku tidak mau repot-repot mengurus prosedur pemusnahan atau penyimpanan mainan ini di gudang. Camkan itu.”

 

“Jujur sekali…”

 

Aku ingin sekali memukulnya dengan ulat ini, tapi kupikir aku hanya akan dihajar balik, jadi aku urungkan. Orang ini memang kuat sejak dulu. Mungkin aku masih belum bisa mengalahkannya.

 

“Kirimkan laporan kesan dan pesanmu lewat email. Kalau tidak kuterima dalam tiga hari, aku akan mengusulkan pemotongan gajimu.”

 

(Sialan…!!)

 

Jadi, aku tidak punya pilihan selain menurut—dan setelah kembali ke divisi, aku langsung menyembunyikan ulat cabul ini di dalam tasku.

 

*

 

“Kalau begitu, Ikoma-san, ayo kita berangkat.”

 

“Baik!”

 

Siang itu, aku dan Ikoma-san selesai bersiap untuk kunjungan lapangan dan menuju ke tempat parkir bawah tanah. Kami tidak pulang cepat, tapi pergi untuk menyapa klien dan melakukan survei pasar.

 

Divisi Perencanaan dan Pengembangan tidak hanya bekerja dengan mengurung diri di kantor dan mencari ide.

 

Sebagai bagian dari kebijakan, semua anggota divisi perencanaan harus terjun langsung ke lapangan—yaitu, melihat langsung bagaimana produk dipajang di toko ritel, produk apa yang sedang laris, apa yang dipikirkan oleh para pegawai toko, dan sebagainya. Jadi, kami harus keluar kantor secara berkala seperti ini.

Tentu saja, kami juga harus menyapa staf toko dan berusaha agar mereka mau memajang lebih banyak produk kami.

 

“Sebagai pengingat, setelah kita mengunjungi semua toko yang ditargetkan, kita boleh langsung pulang. Laporan kunjungannya dikumpulkan besok. Dan aku yang menyimpan mobil kantornya, nanti aku yang akan mengembalikannya.”

 

“Oke! Senangnya bisa langsung pulang setelah kunjungan lapangan~”

 

“Akhir-akhir ini, perusahaan cerewet soal lembur, jadi mungkin mereka secara tidak langsung mau kita cepat pulang.”

 

“Kalau begitu, kurangi saja beban kerjanya.”

 

“Benar sekali. Padahal kita juga punya ‘Si Ulat Anu’.”

 

Biasanya, kunjungan lapangan dilakukan sendiri-sendiri, tapi karena kali ini kami akan mengunjungi beberapa toko yang belum pernah dikunjungi Ikoma-san, aku menemaninya sebagai penunjuk jalan. Aku memang bukan lagi mentornya, tapi karena divisi kami kecil, pada akhirnya aku sering bekerja sama dengannya sebagai bawahan langsung.

 

Yah, terlepas dari keluhan tentang beban kerja, ayo kita selesaikan kunjungan lapangan ini dan pulang cepat.

 

“Tapi, apa tidak apa-apa kalau aku yang menyetir? Aku tidak terlalu mahir…”

 

“Justru karena itu. Kamu harus membiasakan diri menyetir. Pulangnya biar aku yang menyetir.”

 

“Oh, begitu. Kalau begitu, aku akan berusaha!”

 

“Hati-hati di jalan.”

 

“Oke!”

 

Hari kerja musim dingin yang biasa, dengan suasana akhir tahun yang semakin terasa.

 

Kami hanya menyelesaikan pekerjaan kami dan pulang ke rumah--…seharusnya begitu.

 

 

 

 

“Aku pulang, Ritsuka.”

 

“Selamat datang, Rou-kun.”

 

Kami bertukar salam dengan sedikit canggung. Aku dan Ritsuka sama-sama merasa tegang.

 

Alasan utamanya adalah—

 

“Wah, jadi ini rumah Senpai…”

 

--Entah bagaimana, Ikoma-san mengikutiku sampai ke rumah.

 

(Bagaimana bisa begini…)

 

Seingatku, kami mengunjungi toko-toko dan menyelesaikan pekerjaan dengan lancar. Kami mengobrol di dalam mobil, membicarakan tentang Nyan-kichi, tentang masakan Ritsuka yang enak, lalu toko terakhir yang kami kunjungi kebetulan dekat dengan rumahku, dan entah bagaimana, Ikoma-san akhirnya ikut ke rumah dan makan malam bersama kami. Dia juga bilang ingin sekali melihat Nyan-kichi.

 

(Kukira Ritsuka akan menolak…)

 

Jujur saja, aku tidak terlalu senang dia datang. Kalau mau mengundang tamu, aku ingin mempersiapkannya dulu, ini juga mendadak, meskipun aku tidak melarangnya datang, bukankah lebih baik di hari lain?

 

Jadi, aku bilang ke Ikoma-san, ‘Kalau istriku tidak mengizinkan, ya tidak bisa’, lalu aku menghubungi Ritsuka dan bertanya apakah dia mengizinkan tamu datang, dan dia hanya menjawab ‘Tidak apa-apa’.

 

Sebelumnya, Ritsuka pernah salah paham dan mengira aku ada hubungan spesial dengan Ikoma-san—tentu saja itu tidak benar, kami hanya rekan kerja—dan kami bertengkar.

 

Kupikir dia agak membenci Ikoma-san, tapi karena mereka belum pernah bertemu langsung, tidak ada alasan untuk membencinya. Mungkin dia berbaik hati dan mengizinkannya datang karena menganggap ini urusan pekerjaan. Bagaimanapun juga, dia istriku tercinta.

 

“Ikoma-san, ini istriku, Ritsuka. Sepertinya kamu sudah tahu namanya.”

 

“Senang bertemu dengan Anda. Terima kasih sudah selalu membantu suami saya. Saya Ritsuka, istrinya.”

 

(Eh… Ritsuka bisa juga memberi salam seperti itu…)

 

“Senang bertemu dengan Anda. Saya Ikoma Touko, bawahan Senpai. Saya sudah sering mendengar tentang Anda dari Senpai. Seperti yang digosipkan, Anda sangat cantik.”

 

(Eh… Ada yang aneh dengan kalimatnya, ya? Apa aku salah dengar…)

 

“Ufufu. Anda bisa saja. Silakan masuk. Maaf, rumah kami berantakan.”

 

“Terima kasih. Rumah kalian sangat rapi dan indah.”

 

“Terima kasih.”

“Sama-sama.”

 

“”……””

 

Agak menyeramkan, ya?

 

Apa Cuma aku? Apa Cuma aku yang merasakan ketegangan ini? Suasana seperti perang dingin…

 

Jangan-jangan, mereka berdua tidak cocok…?

 

Tidak, tunggu, terlalu cepat untuk menyimpulkan seperti itu. Ritsuka tidak punya sifat agresif, dan meskipun dia agak buruk dalam hal sopan santun bisnis, pada dasarnya dia ramah. Ikoma-san juga sopan, dan etiket bisnisnya hampir sempurna. Saat kunjungan lapangan tadi, dia bisa melakukan semuanya dengan baik tanpa perlu kuberi tahu. Dia tidak akan bersikap defensif kepada orang yang baru dia kenal.

 

Pasti itu Cuma Ritsuka dan Ikoma-san. Pasti aku saja yang terlalu khawatir.

 

“Kalau begitu, Ikoma-san, tunggu di sini saja. Aku mau meletakkan tasku dulu.”

 

“Baik! Silakan!”

 

Setelah mempersilakan Ikoma-san duduk di sofa, aku kembali ke kamarku. Tadinya aku ingin ganti baju, tapi entah kenapa aku merasa lebih baik tetap pakai setelan daripada baju rumah. Kuputuskan untuk melepas mantel dan jaket saja.

 

“Eh, kamu tidak ganti baju?”

 

“Ritsuka. Yah, dia kan rekan kerja.”

 

“Hmm…”

 

Ritsuka datang ke kamarku. Dia menatapku dengan tajam. Pasti ada yang ingin dia katakan.

 

“Apa dia mengganggumu? Maaf, tiba-tiba.”

 

“Tidak, tidak sama sekali. Lagipula, aku sudah menduga kita akan bertemu suatu saat nanti.”

 

“Eh? Apa maksudmu?”

 

“Itu urusanku. Rou-kun bersikap biasa saja. Jangan melakukan hal yang memalukan.”

 

“Tidak akan.”

 

Sepertinya Ritsuka tidak marah atau merasa tidak nyaman. Dia malah terlihat seperti prajurit yang akan bertarung. Kenapa…?

 

Ritsuka pergi ke dapur untuk menyiapkan makan malam. Aku pun kembali ke ruang tamu.

 

“Ikoma-san, kamu mau kopi hangat atau teh hangat?”

 

“Aku ikut rekomendasi Senpai saja!”

 

“Kalau begitu, air putih.”

 

“Eh~”

 

Baiklah, teh hangat saja. Biasanya dia minum kopi, jadi sesekali teh tidak masalah.

 

Aku membuat teh di dapur. Ritsuka, yang sedang memasak, bergumam dari belakang.

 

“…Kalian akrab, ya.”

 

“Kurasa kami cukup akrab… Nee, Ritsuka, serius, aku dan Ikoma-san itu—”

 

“Aku tahu. Tidak seperti itu~”

 

“Lalu seperti apa…”

 

Aku tidak mengerti maksudnya. Atau mungkin aku tidak seharusnya mengerti.

 

Maksudku… aku tidak seharusnya ikut campur dalam pikiran Ritsuka sekarang…

 

Sambil memikirkan hal itu, aku kembali ke tempat Ikoma-san dengan the.

 

“Ini, silakan. Susu dan gulanya di sini.”

 

“Terima kasih! Sebenarnya aku suka teh!”

 

“Tapi di kantor kamu selalu minum kopi?”

 

“Itu karena aku membuatkannya sekalian dengan milik Senpai~”

 

“Ah, jadi salahku…”

 

Karena Ikoma-san selalu membawakanku kopi setiap pagi, aku jadi terbiasa. Jadi dia menyesuaikan denganku karena aku suka kopi.

 

“Tapi, kamu jarang ngasih kopi ke manajer atau Ootaka-san?”

 

“Karena aku cuman bisa membawa dua cangkir pakai kedua tanganku. Satu untukku, satu untuk Senpai, sudah penuh. Aku membuatkan kopi untuk senpai sekalian sama punyaku.”

 

“Oh, begitu.”

 

Di zaman sekarang, tidak ada perusahaan yang punya petugas khusus untuk membuatkan minuman. Memberi perintah seperti ‘buatkan aku kopi’ itu jelas tidak boleh. Jadi, ‘sekalian membuatkan’ seperti yang Ikoma-san lakukan itu sudah maksimal.

 

(Eh? Kalau begitu, aku bisa membuatkan teh…)

 

“Enak~”

 

‘……’

 

Sebuah bayangan hitam mendekat ke kaki Ikoma-san yang sedang menikmati tehnya. Nyan-kichi diam-diam mendekat, entah dari mana asalnya. “Ah,” Ikoma-san menyadarinya.

 

“Ini dia Nyan-kichi-chan yang terkenal itu! Wah, lucu sekali~!”

 

“Penampilannya saja… Kalau sifatnya, seperti kucing liar yang tinggal di rumah.”

 

“Begitu ya? Tapi, dulu dia pernah datang ke kantor, kan? Kurasa kucing tidak akan melakukan itu kalau tidak menyukai Senpai.”

 

“Waktu itu, yah…”

 

Karena itu keadaan darurat. Bulan lalu, Nyan-kichi datang jauh-jauh ke kantor untuk memberi tahuku tentang Ritsuka yang sedang dalam bahaya. Jadi, Ikoma-san pernah melihat Nyan-kichi dari kejauhan, tapi ini pertama kalinya dia melihatnya dari dekat dan berinteraksi dengannya.

 

“Sini, sini~”

 

‘…Manusia betina ini…’

 

“Eh.”

 

Nyan-kichi waspada dan tidak mendekati Ikoma-san yang mengulurkan tangannya. Benar juga, jarang ada tamu yang datang ke rumah, jadi aku tidak tahu bagaimana reaksi Nyan-kichi terhadap orang lain…

 

“Ikoma-san? Ada apa? Kenapa kamu mengeluarkan suara aneh…?”

 

“Ah, tidak. Tidak apa-apa, tidak apa-apa.”

 

Aku punya firasat buruk. Ikoma-san menggerakkan lehernya, menutup matanya, dan memijat dahinya.

 

Kenapa dia tiba-tiba melakukan itu? Hanya ada satu jawaban. Dia mungkin bisa mendengarnya.

 

(Nyan-kichi! Jangan bicara! Berpura-puralah jadi kucing! Kau kan kucing!!)

 

Tidak apa-apa kalau Kengo dan Iba tahu kalau Nyan-kichi bisa bicara.

 

Tentu saja karena Kengo memang sudah tahu, dan Iba juga sepertinya memang yankee, jadi tidak akan jadi masalah kalau orang seperti mereka tahu tentang Nyan-kichi.

 

Tapi, kalau Ikoma-san juga bisa mendengar suara Nyan-kichi, itu lain cerita.

 

Dia orang biasa, dan tidak tahu apa-apa tentang dunia bawah. Kalau dia tahu ada kucing yang bisa bicara, dia pasti akan bingung, dan dalam kasus terburuk, dia mungkin mengira dirinya sakit.

 

Jadi, aku menatap mata Nyan-kichi yang bulat dan berharap dia mengerti.

 

‘Ya ampun~. Aku bisa berpura-pura jadi kucing! Aku tidak percaya diri, hahaha.’

 

(Dasar kau!!)

“…Anu, Senpai. Aku rasa aku sangat lelah. Sampai rasanya harus ke rumah sakit…”

 

“Be-begitu? Kalau begitu, jangan dipaksakan!”

 

‘Baiklah, akan kucoba. Nyaa~ (tertawa)’

 

“Senpai… Aku akan mengatakan hal yang sangat aneh, jadi jangan menertawakanku.”

 

“Aku akan berusaha sebisa mungkin…”

 

Ikoma-san tidak memenuhi syarat untuk bisa mendengar suara Nyan-kichi. Tidak mungkin dia punya kesamaan dengan aku, Kengo, dan Ibaba. Jadi, apa ada syarat lain yang belum kami ketahui? Tidak ada gunanya memikirkannya sekarang, sih.

 

“Aku, aku bisa mendengar suara Nyan-kichi-chan—”

 

“Kamu Cuma salah dengar.”

 

“Kenapa kamu langsung menyangkalnya?”

 

“Kucing ini sangat cerewet~. Dia selalu mengeong, sangat berisik. Jadi, wajar kalau kamu salah dengar. Aku juga kadang-kadang begitu~”

 

“Senpai juga kadang-kadang begitu?”

 

“Iya, iya! Salah mengira ‘nyaa nyaa’ sebagai ‘aku lapar’—”

 

“Jadi, aku tidak salah dengar.”

 

“Uhh?”

 

Meskipun aku sudah mencoba meyakinkannya kalau dia hanya salah dengar, Ikoma-san malah semakin yakin.

 

Saat aku sedang berpikir bagaimana cara menjelaskannya, Ikoma-san mulai bicara.

 

“Waktu Nyan-kichi-chan datang ke kantor dulu, aku bisa mendengarnya. Dia seperti sedang berbicara dengan Senpai. Dia benar-benar bilang ‘Ritsuka’. Waktu itu kupikir aku salah dengar, tapi ternyata tidak.”

 

“Ah…”

 

“Senpai. Jujur saja. Kucing ini bisa bicara, kan?”

 

Begitu ya. Waktu Nyan-kichi datang ke kantor, aku memang berbicara dengannya. Kalau Ikoma-san bisa mendengarnya, wajar kalau dia mendengar percakapan kami. Waktu itu dia menganggapnya sebagai salah dengar, tapi kalau sampai terjadi lagi hari ini… itu bukan lagi kebetulan, tapi sudah pasti.

 

Mungkin aku tidak bisa menyembunyikannya lagi. Dia cerdas. Kalau aku menyembunyikannya dengan buruk, dia akan berusaha mencari tahu sendiri. Itu pasti lebih berbahaya. Aku pun menggendong Nyan-kichi.

 

“Iya, dia bisa bicara… Seperti ini.”

 

‘Nyaa~ (tertawa)’

 

“Aku tidak akan mengatakan apapun.”

 

“Dasar orang ini…!!”

 

“Tapi, aku rasa, tidak banyak orang yang bisa mendengar suaranya.”

 

“…Apa alasanmu?”

 

“Kalau dia bisa berbicara seperti manusia, bukan Cuma mengeong, pasti lebih banyak orang yang akan bereaksi waktu dia datang ke kantor. Tapi kenyataannya tidak. Hanya aku. Lagipula, meskipun kita menyebutnya ‘bicara’, mungkin yang benar adalah ‘mengeongnya bisa dimengerti sebagai bahasa manusia’. Bagi yang tidak bisa mendengarnya, mungkin dia hanya terdengar mengeong biasa.”

 

…Dia berbahaya. Kalau dia musuh, aku pasti sudah melenyapkannya.

 

Dia menyusun hipotesis dari sedikit petunjuk dan pengalamannya sendiri, lalu menyimpulkan detail kemampuannya. Itu yang biasa kulakukan saat menghadapi pengguna kekuatan supernatural.

 

Karena dia bisa melakukannya secara alami, mungkin dia bisa menjadi petarung yang hebat kalau dilatih dengan baik. Dia adalah orang berbakat yang harus direkrut oleh Shishima jika organisasi itu masih ada.

 

“Kamu benar. Aku tidak bisa menjelaskan prinsipnya karena aku juga tidak tahu.”

 

“Begitu ya. Fantastis…”

 

“Bagaimana? Mau ikut aku ke rumah sakit?”

 

“Boleh juga, tapi kurasa tidak perlu. Ada juga burung yang bisa bicara, kan? Kalau kita menganggapnya sama, kucing yang bisa bicara juga bisa diterima. Yah, dengan asumsi Senpai memang selalu bisa mendengar suara Nyan-kichi-chan.”

 

(Dia sangat fleksibel dalam menerima hal baru.)

 

Dia tidak menggunakan bias normalitas, tapi meyakinkan dirinya sendiri dengan berpegang pada reaksiku sebagai pemiliknya.

 

Ikoma-san berpikir sejenak, lalu bergumam.

 

“…Apa istri senpai tahu?”

 

 

“Ah, Ritsuka tidak bisa mendengarnya. Dia sudah sering melihatku berbicara sama Nyan-kichi, tapi dia menganggapnya sebagai ‘pemandangan yang lucu’. Dia berpikir kalau aku cuman menerjemahkan ucapan Nyan-kichi di kepalaku sendiri. Dia sangat manis, kan? Aku suka.”

 

“Ada-ada saja… Yah, memang banyak pemilik yang berbicara dengan hewan peliharaannya. Kalau begitu, ini—”

 

Ikoma-san tersenyum nakal. Lalu, dia berbisik di telingaku.

 

“—Ini rahasia kita berdua, ya?”

 

“…Tidak masalah kalau kamu memberi tahu orang lain.”

 

“Fufu. Aku tidak akan memberi tahu siapa pun. Kalau orang yang dicintai saja tidak percaya, tidak mungkin orang lain akan percaya. Kecuali aku. Benar, kan?”

 

“…Ya.”

 

‘Nyaa~ (tertawa)’

 

Suasana menjadi canggung. Sepertinya Ikoma-san yang mengendalikan situasi.

 

“Makan malamnya hampir siap~. Rou-kun, tolong siapkan semuanya!”

 

Ritsuka memanggil kami. Sepertinya makan malam akan segera siap.

 

Aku menjauh dari Ikoma-san. Aku merasa kalau kami terus membicarakan Nyan-kichi, kami tidak akan bisa kembali lagi. Aku dan Ikoma-san.



 

“Terima kasih atas makanannya! Sangat enak! Istrimu sangat pandai memasak! Senpai pernah cerita, tapi sekarang saya mengerti setelah mencobanya sendiri!”

 

“Fufu, terima kasih. Aku jarang dipuji orang lain selain Rou-ku... suamiku, jadi aku sangat senang. Ini jadi penyemangat.”

 

“A-aku akan membuatkan kopi sama teh.”

 

“Senpai, aku iri, bisa makan masakan istrimu setiap hari! Aku rela membayar biar bisa makan masakan seenak ini. Enak sekali~”

 

“Ah, kamu terlalu memuji. Lagipula, aku tidak memasak setiap hari. Kadang-kadang... Suamiku yang memasak, jadi aku bisa istirahat. Kami sudah memutuskan untuk berbagi tugas rumah tangga saat menikah dulu.”

 

“Aku mau kopi, kalian berdua teh? Boleh, kan? Boleh!”

 

“Jadi, kamu memutuskan untuk berbagi tugas rumah tangga waktu menikah, ya~. Tapi, biasanya suami yang lebih sering menyuruh istrinya, kan?”

 

“Tidak mungkin suamiku melakukan itu.”

 

“Hee~. Senpai memang hebat. Dia sangat menyayangi istrinya.”

 

“Aku juga akan bawakan camilan.”

 

Ini gawat, kan?

 

Aku langsung berlari ke dapur. Ada yang tidak beres. Aku tidak bisa menjelaskan apa yang salah. Itulah yang membuatnya gawat. Ritsuka tersenyum, Ikoma-san juga tersenyum.

Kalau kutanya ‘apa kalian sedang bertengkar?’, mereka pasti akan menjawab ‘memangnya kenapa?’ Tapi ada yang aneh.

 

Pertama, Ikoma-san. Dia tidak pernah memanggil Ritsuka dengan namanya. Dia juga tidak memanggilnya ‘Nyonya’ atau semacamnya. Dia hanya memanggilnya ‘istri’. Memangnya ada orang yang memanggil seperti itu?

 

Di sisi lain, sikap Ritsuka juga berbeda dari biasanya, tapi tidak terlalu kentara. Jujur saja, kecerobohannya adalah bagian yang imut dari Ritsuka, tapi sekarang dia seperti memakai topeng. Kenapa...?

 

Rasanya seperti mereka sedang saling mengancam dengan pisau tak terlihat, siap untuk saling menusuk kapan saja, tapi aku tidak bisa melihatnya dengan jelas. Ada, tapi tidak ada. Tidak ada, tapi ada. Apa itu? Tabungan kita!!

 

Saat aku sedang mencoba melupakan kenyataan dengan bercanda, Nyan-kichi mendekat.

 

‘Di sini, aku punya teka-teki... Manusia betina dari kantor yang kau bawa pulang dan manusia betina yang sudah kau bawa pulang. Apakah persamaannya?’

 

“...Tidak cocok?”

 

‘Jawabannya adalah ‘keduanya kotoran’, nya...’

 

“Kalau kau tidak mau bikin teka-teki, diam saja.”

 

Itu bukan teka-teki, tapi bola meriam. Hanya menembakkan saja.

 

Aku berjongkok dan memanggil Nyan-kichi. Dia mengeong dengan angkuh.

 

“Hei. Sepertinya Ikoma-san bisa mendengar suaramu. Apa kau tahu kenapa?”

‘Tidak tahu, nya. Tapi, manusia betina itu tidak normal, nya.’

 

“Tidak normal? Apa maksudmu?”

 

‘Dadanya besar, nya... Aku ingin meremasnya, nya...’

 

“Aku salah bertanya padamu.”

 

Meskipun dia bilang begitu, Nyan-kichi tidak mendekati Ikoma-san. Dia memang kucing yang moody dan tidak selalu ramah, bahkan padaku dan Ritsuka, tapi apa dia lebih waspada terhadap orang asing?

 

Aku meletakkan kopi dan teh di nampan dan kembali ke tempat yang tidak ingin kukunjungi. Tempat yang terasa seperti medan perang meskipun tidak ada perang...

 

“Ini, tehnya. Dan ini camilannya.”

 

“Terima kasih, Rou-kun.”

 

“Terima kasih! Tadi, aku lagi bertanya tentang warna rambut ke istrimu! Warnanya perak alami yang sangat indah, jadi aku penasaran di salon mana dia mewarnainya.”

 

“Sudah kubilang, ini warna asliku.”

 

“...Katanya begitu, tapi benarkah?”

 

“Benar.”

 

“Hee. Apa dia blasteran?”

 

Rambut perak Ritsuka berubah warna karena pengaruhBreath of Blessingdan. Setahuku, hanya Ritsuka yang mengalami fenomena seperti ini, jadi aku tidak tahu apakah itu benar-benar karenaBreath of Blessing.

Ikoma-san tampak ragu. Yah, memang ini bukan warna rambut asli orang Jepang.

 

“Ngomong-ngomong, kalian berdua pacaran sejak kuliah, kan? Bagaimana kalian bertemu? Aku sudah tanya Senpai, tapi dia tidak mau cerita.”

 

(Dia tidak suka bilang kalau kami bertemu di kencan buta...)

 

“Iya. Aku bertemu suamiku waktu kuliah. Di... presentasi bersama.”

 

“”Mencari pekerjaan!?”

 

Kenapa kalian heboh? Malah, itu bukan pencapaian. Malah mungkin memalukan.

 

Aku dan Ritsuka berbeda dua tahun, jadi kalau kami bertemu di presentasi saat cari kerja, berarti aku harus cuti kuliah selama dua tahun. Benar-benar memalukan. Karierku jadi ternoda.

 

“Tapi, waktu istrimu mencari kerja, bukannya Senpai sudah bekerja di Handai? Seingatku, Senpai bilang dia dua tahun lebih tua.”

 

“Aku tidak bisa menjawabnya.”

 

“Jangan mengelak begitu... Ah, aku agak malu mengatakannya karena itu agak norak. Aku dan Ritsuka bertemu di kencan buta. Waktu aku kelas tiga dan Ritsuka kelas satu.”

 

“Hee, kencan buta. Senpai ternyata agresif juga, ya!”

 

“Itu dulu...”

 

Ikoma-san tersenyum sedikit. Ritsuka yang duduk di sebelahku menyikut pinggangku. Cukup keras. Kenapa? Biasanya kami tidak malu bilang kalau kami bertemu di kencan buta. Aku tidak mengerti jalan pikiran Ritsuka...

Sebenarnya, lebih tepatnya, aku dan Ritsuka ‘bertemu lagi’ di kencan buta. Tapi, aku tidak boleh memberi tahu Ikoma-san tentang itu. Ritsuka tampaknya setuju denganku, dan dia berdeham pelan untuk mencairkan suasana.

 

“Aku dan suamiku terikat oleh takdir, seperti benang merah. Di mana pun kami bertemu, dia adalah satu-satunya pria yang harus kucintai.”

 

“Pria...”

 

“...Satu-satunya pria yang harus kucintai. Suamiku adalah satu-satunya pria yang pernah kupacari, dan aku merasa itu sudah cukup. Inilah takdir.”

 

“Hee, jarang ya, ada wanita yang berpikir seperti itu di zaman sekarang.”

 

“Apa ada masalah?”

 

“Tidak, tidak, aku Cuma kagum karena kamu punya pemikiran yang kuno! Kamu sangat sopan! Hebat~”

 

“Terima kasih. Aku juga, Ritsuka adalah satu-satunya wanita yang pernah kupacari. Kami adalah cinta pertama satu sama lain.”

 

“Eh, Senpai juga? Tidak kusangka... Kukira Senpai playboy.”

 

“Jangan sembarangan... Aku tidak seperti itu. Aku tidak populer.”

 

Waktu kuliah, aku memang mewarnai rambutku dan bertingkah seperti playboy, tapi aku lebih sering main dengan Kayama dan Gori-san. Aku tidak punya pacar, jadi setelah berpacaran dengan Ritsuka, aku hanya mencintainya. Lagipula, aku memang tidak suka main-main.

 

“Apa kamu... punya orang yang disukai?”

 

(Mungkin dia mau bilang ‘berhubungan dekat’, tapi aku tidak akan membahasnya.)

 

“Sekarang tidak ada. Aku pernah punya pacar, tapi tidak ada yang bertahan lama. Ahaha, kamu pasti berpikir aku wanita menyedihkan, kan? Tapi, begitulah. Di zaman sekarang, pacaran itu harus trial and error. Setelah error, baru ketemu yang cocok.”

 

“Begitu ya. Tidak buruk juga?”

 

“Jadi, kamu tidak percaya pada takdir, ya?”

 

Ritsuka tersenyum dengan tenang. Aku dan Ritsuka percaya pada takdir. Alasannya sederhana, karena kami memang ditakdirkan. Meskipun begitu, tidak ada yang bisa menyangkalnya.

 

Tapi, Ikoma-san minum tehnya sedikit, lalu menjawab dengan ekspresi bingung.

 

“Eh? Aku percaya, kok?”

 

“...? Tapi tadi kamu bilang soal trial and error.”

 

“Ah, itu... Itu kan beda. Aku ini juga wanita, lho? Kalau cinta pertamaku berhasil, itu adalah takdir terbaik. Aku juga pernah merasakan cinta pertama. Kalian berdua yang merupakan kasus langka karena cinta pertama kalian berhasil~”

 

“Mungkin begitu. Memang jarang ada yang seperti itu.”

 

“—Karena itu, takdir itu ada. Kamu mengerti?”

 

“...Ya, mungkin.”

 

“Haa? Apa maksudmu?”

 

Entah sejak kapan, Ritsuka dan Ikoma-san sudah sepakat. Apa salah satu dari kalian menghentikan waktu?

 

Karena mereka berdua terlihat setuju, aku tidak bisa bertanya lebih lanjut. Ritsuka dan Ikoma-san saling menatap selama beberapa detik, lalu Ikoma-san mengalihkan pandangannya. Jangan bertengkar.

 

“Ngomong-ngomong, aku penasaran dari tadi~. Boleh aku tanya?”

 

“Tanya apa?”

 

“Silakan, asalkan masih dalam batas wajar.”

 

“Tulisan tangan di kalender dinding itu. ‘Hari Peringatan Mengucapkan Anu Berulang Kali’ itu, apa sebenarnya?”

 

“”......””

 

Aku dan Ritsuka melihat ke arah kalender. Ada satu kalimat yang tertulis di sana.

 

--‘Hari Peringatan Mengucapkan Penis Berulang Kali’..!!

 

“──────!!”

 

“I-itu, Rou-kun yang menulisnya sambil bercanda! Dia memang suka iseng! Tidak ada maksud aneh, kok! Nanti aku hapus!”

 

“Kalau ini tidak ada maksud aneh, aku tidak tahu apa lagi namanya. Senpai, ternyata kamu suka bercanda juga. Memang benar, di kantor dan di rumah itu berbeda.”

 

“Yah, sedikit... Lagipula, kami kan suami istri...”

 

“Aku mengerti kalau ‘hari berbahaya’ dan ‘hari aman’, tapi ‘hari peringatan mengulang’ itu... Pfft. Kalian pasangan yang luar biasa.”

 

“Ja-jangan tertawa! Kalau mau tertawa, tertawakan Rou-kun saja!”

 

“Eh? Kamu mau mengkhianatiku?”

 

Memang aku yang menulisnya sambil bercanda, dan Ritsuka cemberut, sih. Dia memang pandai membereskan barang, tapi dia tidak akan menghapus tulisan di kalender. Kalau sampai Ikoma-san melihat hal memalukan seperti itu... mungkin besok dia akan memanggilku dengan nama saja. Yah, tidak masalah sih.

 

“Istrimu juga ternyata seperti itu. Tidak apa-apa, begini saja. Tidak perlu sungkan padaku. Lagipula, aku lebih muda.”

 

“Guh... Ini semua gara-gara Rou-kun...!”

 

“Tidak, aku setuju kalau kamu bersikap biasa saja...”

 

“Ada alasannya! Rou-kun tidak akan mengerti!”

 

“Hiii.”

 

Entah kenapa Ritsuka mencubit pipiku. Apa aku sudah merusak keseimbangan kekuatan?

 

Tidak, memang ada keseimbangan kekuatan macam apa? Aku tidak mengerti apa yang sedang mereka pikirkan, seperti sedang bertarung di bawah air, bahkan di dasar laut. Jangan-jangan, mereka sebenarnya sudah saling kenal...?

 

‘Nyaa~ (tertawa)’

 

“Ah, Nyan-kichi-chan! Sini, sini~. Biarkan aku mengelusmu sekali saja~♡”

 

(Tertawa)

 

(Reaksi macam apa itu?)

Nyan-kichi tetap tidak mendekati Ikoma-san. Apa dia pemalu?

 

Ikoma-san yang tidak sabar berjongkok dan bertepuk tangan ke arah Nyan-kichi.

 

“Sini, sini! Ayo main!”

 

“Nyan-kichi itu moody. Kalau dia tidak mau, dia tidak akan datang apa pun yang kamu lakukan.”

 

“Harusnya kau ramah sedikit pada tamu—“

 

Whirr whirr whirr whirr whirr whirr whirr whirr...

 

Suara aneh terdengar di dalam rumah. Seperti suara motor, atau memang suara motor. Suara itu semakin keras, seperti mendekat ke arah kami. Suara itu datang dari ujung lorong—

 

Whirr whirr whirr whirr whirr whirr whirr whirr...

 

--Bukannya itu vibrator yang bisa dipanggil!! (lupa namanya)

 

‘Jijik.’

 

“Kyaaaaaaa!! A-apa itu!? Ulat besar!?”

 

Ulat vibrator itu bergerak seperti ulat jengkal dengan tubuhnya yang berwarna pink, mendekati Ikoma-san sambil bergetar. Menjijikkan sekali. Ikoma-san tanpa sadar mundur.

 

--Awalnya dia akan mendekat saat mendengar tepukan tangan! Ini akan memberinya kesan ‘jinak’ dan membuatnya semakin disayangi!

 

Aku teringat penjelasan Hitomi-san. Jadi, dia bereaksi terhadap tepukan tangan Ikoma-san dan merangkak keluar dari tasku. Sensornya terlalu sensitif.

 

Dasar nenek loli sialan, seenaknya menambahkan fungsi seperti itu...

 

“Tu-tunggu, Senpai, itu apa sebenarnya!? Apa kamu juga memelihara serangga!?”

 

“Tidak, itu, bagaimana ya—“

 

*

 

“Tidak... tidakkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkkk Seranggaaaaa─────────!!!”

 

Brak! Bunyi benda keras pecah, serangga vibrator itu seketika membeku. Seluruh tubuhnya tertutup es, fungsinya berhenti total. Bisa dibilang serangga itu sedang hibernasi paksa.

 

“Hah!?”

 

“Aku tidak mau! Tidak mau... tidak mau tidak mau! Tidak─────────!”

 

“Tenanglah, Ritsuka! Itu bukan serangga!”

 

Salah satu hal yang paling dibenci Ritsuka adalah semua jenis serangga. Sebenarnya, lebih banyak wanita yang takut serangga daripada yang menyukainya. Setiap kali melihat serangga, baik dalam toples atau kotak, Ritsuka akan bereaksi seperti ini. Bahkan dia sampai menggunakan sihir ‘berkah’ untuk membekukannya. Sepertinya dia merasa terancam hidupnya.

 

“Itu jelas serangga! Cacing besar! Ambil itu!”

 

“Iya, iya”

 

Jadi setiap kali ada serangga, aku selalu yang mengatasinya. Aku juga tidak suka serangga, tapi tidak separah dia. Aku bisa membunuhnya dengan tenang.

Oh ya, pernah sekali Ritsuka meneleponku saat bekerja karena ada kecoa di rumahnya. Saat itu aku benar-benar tidak bisa berbuat apa-apa. Akhirnya dia harus menunggu di kafe sampai aku pulang.

Benar-benar menakutkan ya, serangga itu.

 

“Eh, serangga yang tadi, sekarang jadi seperti es...”

 

“Iya, mungkin karena supercooling. Jangan khawatir.”

 

“Hah... Supercooling itu seperti itu ya...”

 

“Aku tidak mau... Aku akan mimpi buruk... menyebalkan...”

 

Nanti setelah esnya mencair, aku akan mematahkan serangga vibrator itu dan membuangnya ke tempat sampah non-organik.

 

Aku melempar serangga itu ke sudut kamar. Jangan sampai hidup lagi.

 

*

 

“Terima kasih banyak hari ini! Sangat menyenangkan! Aku banyak belajar hal baru, dan aku juga sudah akrab dengan Nyan-kichi!”

 

‘Nyaaa (tertawa)’

 

Beberapa saat kemudian, sudah larut malam, saatnya Ikoma-san pulang.

 

Di depan pintu, aku menanyakannya sekali lagi.

 

“Aku antar ke stasiun, atau bahkan sampai ke rumahmu, tapi apa kamu yakin tidak apa-apa?”

 

“Terima kasih! Sudah merepotkan kamu karena menjamu makan malam, jadi rasanya tidak enak kalau kamu mengantarku sampai rumah. Selain itu, aku juga mau berjalan-jalan malam ini!”

“Ya, baiklah. Tapi hati-hati di jalan ya.”

 

“... Hati-hati.”

 

“Sampai jumpa! Istri Ritsuka! Terima kasih atas makanannya!”

 

“... Sekali dalam 70 tahun saja.”

 

“Seperti komet Halley...”

 

Begitulah, Ikoma-san akhirnya pulang. Aku baru sadar bahwa kesan yang kuberikan padanya sebagai atasan di kantor hanyalah sebagian kecil dari diriku. Manusia memang makhluk yang multifaset.

 

Setelah pintu tertutup, kami berdua terdiam sejenak.

 

Lalu, Ritsuka langsung lemas dan duduk di lantai.

 

“Aku lelah... Aku terlalu memaksakan diri...”

 

“Kerja keras. Terima kasih hari ini. Aku sangat terbantu.”

 

Postur tubuhnya sebagai istri bos perusahaan itu pasti sangat melelahkan baginya.

 

Selain itu, dia juga yang menyiapkan semua makanan dan membersihkan rumah. Dia pasti lebih lelah dariku karena dia juga bekerja seharian.

 

Aku memeluk Ritsuka dari belakang. Posisi seperti menggendong pengantin.

 

“Ayo, aku akan membawamu ke sofa. Aku yang membereskan semuanya, jadi kamu istirahat saja.”

 

“Hmm.”

 

Ritsuka menggosokkan wajahnya ke dadaku seperti kucing.

 

“Dia anak yang baik, ya. Aku mengerti kenapa Rou-kun menyukainya.”

 

“Dia sangat pintar dan kompeten. Kalau saja dia hidup di zaman yang berbeda, dia pasti akan menjadi orang yang hebat.”

 

“Begitu ya... Tapi ya sudahlah. Mungkin itulah takdir.”

 

“Takdir? Kenapa tiba-tiba?”

 

“Tidak apa-apa. Aku tidak mengerti juga. Mungkin nanti akan mengerti.”

 

“Hmm... Aku juga tidak terlalu mengerti. Tapi, yang ku tahu hanya ini.”

 

Aku perlahan menurunkan Ritsuka ke sofa dan mencium bibirnya.

 

Dia tidak menolak, malah menyambut ciuman itu. Matanya menunjukkan keinginan yang sama.

 

“......Bodoh”

 

“Apa sebaiknya tidak melakukannya?”

 

“... Aku iri sama Rou-kun yang tidak tahu apa-apa!”

 

“Hah? Karena aku tidak takut serangga?”

 

“Bukan itu maksudku! Jangan ingatkan aku tentang itu! Dan jelaskan semua padaku!”

 

“Ah”

 

Setelah membereskan semuanya, aku akhirnya dihardik oleh Ritsuka. Akhirnya, kami memutuskan untuk melakukan pengendalian hama secara menyeluruh di rumah kami akhir pekan ini...














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !