Soshiki no Shukuteki to Kekkon Shitara Mecha Epilog

Ndrii
0

Epilog




12 November. Hari jadi pernikahan aku dan Ritsuka.

 

Dan aku... bangun siang. Ada banyak rencana, tapi semuanya kubatalkan. Alasannya, aku sudah babak belur. Tubuhku penuh luka memar dan sakit semua, aku juga lemas karena kelelahan. Lagipula, hal pertama yang kulakukan setelah pulang ke rumah kemarin adalah memperbaiki pintu yang rusak (pasti aku akan dimarahi habis-habisan oleh pengelola) dan jendela yang pecah (dengan menempelkan kardus).

 

Sekarang, aku dan Ritsuka berjanji akan menghajar Kengo beberapa kali kalau bertemu dengannya lagi.

 

"Maaf... Padahal ada banyak hal yang ingin kita lakukan..."

 

"Tidak apa-apa... Aku juga sakit semua sampai tidak bisa bergerak..."

 

Seperti percakapan kakek-nenek. Kami berdua terbaring lemas di sofa. Nyan-kichi juga sepertinya kelelahan, dia tertidur sambil berjemur di bawah sinar matahari.

 

"Bagaimana dengan makan siang?"

 

"Bosan juga kalau hanya diam di rumah, ayo kita ke minimarket."

 

"Setuju~"

 

Akhirnya, kami berdua pergi ke minimarket terdekat.

 

"Selamat datang..."

 

Saat kami masuk, seorang pegawai bertubuh besar dengan suara pelan menyambut kami.

 

...Ternyata itu Kengo.

 

"K-kau! Kenapa!?"

 

"Orang gede! Ganti rugi! Ganti rugi!"

 

"........."

 

Mungkin dia malu. Kengo dengan jelas menghindari tatapan kami.

 

Sekarang dia sedang menjaga kasir, dan di sebelahnya ada seorang pegawai senior berambut pirang yang mengawasinya.

 

"Uhm... pamanku menyuruhku bekerja di sini... Hari ini aku tiba-tiba harus ikut pelatihan..."

 

"Tidak boleh, Shishikura-san. Tidak boleh mengobrol dengan pelanggan saat bekerja."

 

"Maaf, Tencho..."

 

(Jadi dia Tencho-nya...)

Note: "Tencho" dalam bahasa Jepang berarti kepala bagian.

 

Padahal dia terlihat jauh lebih muda dariku dan Kengo... Aku belum pernah mengalaminya, tapi punya atasan yang lebih muda pasti terasa canggung.

 

Tapi, manajer memang sangat cepat bertindak. Ini kan baru sehari setelah kejadian kemarin.

 

Saat aku sedang menatap Kengo dengan pandangan tertarik, Ritsuka memasukkan banyak barang ke keranjang, lalu meletakkannya di depan Kengo.

 

"Aku mau bakpao isi daging, pizza, dan kacang merah. Dan ayam goreng rasa red pepper."

 

"Uhm..."

"Ah, bakpao pizzanya diganti dengan bakpao isi daging bawang asin, bakpao kacang merahnya dua, ayam goreng red pepper-nya tambah satu lagi rasa black pepper, oh iya, aku punya kartu poin, jadi potong dulu pakai poin lalu sisanya dibayar pakai uang elektronik."

 

"Eh, uhm..."

 

"Bisa cepat sedikit?"

 

"Kau benar-benar jahat..."

 

Ini bukan perlakuan yang pantas untuk pegawai baru yang mungkin baru bekerja beberapa jam.

 

Tapi, mungkin ini cara Ritsuka "memukulnya beberapa kali". Ya sudahlah.

 

Kengo yang pucat dan panik, diajari oleh Tencho dari samping, tapi sepertinya dia tidak fokus.

 

"Awal-awal memang kita tidak tahu harus bagaimana. Aku mengerti perasaanmu."

 

"Tapi itu tidak ada hubungannya dengan pelanggan."

 

"Jangan terlalu berlebihan,White Demon...!"

 

"Tidak boleh, Shishikura-san. Tidak boleh melotot ke pelanggan. Tersenyumlah."

 

"Maaf, Tencho..."

 

Hampir semua pesanan diproses oleh Tencho, lalu Ritsuka mengambil kantong belanjaan dan pergi dari kasir. Karena Ritsuka sudah membeli semua yang dibutuhkan, aku hanya mengambil sekaleng kopi dan mengantre di kasir.

 

"Kau pasti sudah menderita?"

 

"...Aku memang menderita..."

 

"Shishikura-san. "Maaf, Tencho." Tidak boleh. Tidak cukup hanya minta maaf, kau harus berubah. Aku disuruh bersikap tegas, jadi aku akan tegas padamu."

 

"Baik..."

 

Memikirkan Kengo, sepertinya aku tidak boleh berlama-lama di sini. Aku membayar dengan uang pas, lalu melambaikan tangan pada Kengo.

 

"Lain kali, ayo kita makan bersama lagi. Aku tahu tempat yang bagus. ...Semangat."

 

Mungkin dia sudah belajar dari kesalahannya, Kengo hanya membalas dengan hormat. Tapi dia malah dimarahi lagi... sepertinya dia memang sengaja dikerjai. Apa ini ulah manajer?

 

"Dia terlihat baik-baik saja. Padahal dihajar habis-habisan oleh Rou-kun."

 

"Memang dari dulu dia kuat."

 

Mungkin mentalnya tidak sekuat itu. Tapi, aku juga sama saja.

 

Minimarket ini cukup dekat dengan rumah, aku jadi ingin mengganggunya sesekali.

 

"Permisi. Ada paket, tapi karena ukurannya cukup besar──"

 

"Ah, iya. Kebetulan pintunya bisa dilepas."

 

"Eh? Eh?"

 

Sore harinya, ada paket datang. Paketnya sangat besar, dan Ritsuka kebingungan. Untung atau tidak, pintu rumah kami sedang rusak parah, jadi aku melepas pintunya lagi dan membiarkan kurir membawanya ke kamar kosong.

 

"Tu-tunggu, Rou-kun. Ini apa...?"

 

"Eh? Tempat tidur double."

 

"Tempat tidur double!? Kenapa aku tidak tahu!?"

 

"Karena aku tidak bilang."

 

Beberapa hari yang lalu──saat aku dan Ritsuka pergi ke toko perkakas. Saat Ritsuka sedang memilih gorden, aku membeli tempat tidur double ini. Tentu saja tanpa meminta pendapat Ritsuka.

 

Rencanaku yang sudah lama kupikirkan... "Operasi (suatu saat nanti) mendekati Ritsuka selangkah demi selangkah (untuk melepas keperjakaan)" akhirnya mencapai puncaknya dengan datangnya tempat tidur ini.

 

"Ritsuka. Mulai malam ini, kita tidur bersama."

 

"...Puf?"

 

Aku langsung mengatakannya tanpa basa-basi. Mungkin ini sedikit berlebihan, tapi ya sudahlah.

 

Aku sudah membersihkan kamar kosong yang jadi gudang untuk ini.

 

Supaya bisa dipakai sebagai kamar tidur kami berdua, bukan gudang.

 

"Tu-tunggu dulu. Kalau begitu, kasur yang kita pakai sekarang...?"

 

"Ya tetap bisa dipakai. Bisa untuk tamu, misalnya kalau kakak datang."

 

"Lagipula, aku belum bilang 'iya'..."

 

"Tapi kan aku sudah membelinya."

 

"...Kamu sudah menyiapkan ini sejak lama?"

 

"Iya."

Aku menjawab tanpa ragu sedikit pun. Ritsuka terlihat kaget, seperti berpikir "Serius, nih orang?" ...tapi aku menatapnya dengan mata polos. Bisa dibilang aku sedang mengerahkan jiwa kekanak-kanakanku.

 

"Haa... Hari ini kan hari jadi pernikahan kita..."

 

"Artinya──"

 

"Kalau mulai besok... boleh. Hari ini aku butuh waktu untuk mempersiapkan diri..."

 

"Tidak masalah! Sungguh! Yes!!"

 

Aku sampai mengepalkan tanganku. Ritsuka malah semakin geli melihatku.

 

"Kamu sangat ingin tidur bersamaku ya... Maaf..."

 

"Tidak, tidak apa-apa. Ah, sepertinya lukaku jadi sembuh semua."

 

"Tidak mungkin."

 

Jadi, meskipun hari ini hari jadi pernikahan kami, tidak ada yang istimewa.

 

Tapi bagiku, ini adalah hari di mana langkah besar dijanjikan.

 

Dengan gembira, aku mulai memasang tempat tidur double itu──

 

 

***

 

 

"Semua rencanamu itu ditolak. Ulangi lagi."

 

"──Ba-baik."

 

"Eh..."

 

Keesokan harinya, aku langsung dipanggil ke ruangan lain begitu sampai di kantor, dan kakak iparku mengatakan itu dengan nada marah. Manajer yang ada di sampingnya juga terlihat pasrah.

 

"Normalnya, kau pasti akan dihukum karena meninggalkan rapat dan pergi menemui istrimu, kan? Kau bisa masuk kantor seperti biasa ini karena aku meminta keringanan hukuman, Adik Ipar!"

 

"Ada juga orang penting yang meninggalkan rapat dan pergi menemui adiknya. Jadi, tidak adil kalau hanya Saigawa yang disalahkan."

 

"Kau berani sekali padaku, botak!!"

 

"Saya tidak botak."

 

"Hahaha..."

 

Fakta bahwa semua rencanaku ditolak terasa sangat berat sampai aku hanya bisa tertawa getir. Aku jadi iri pada orang-orang yang bisa seenaknya. Mereka pasti tidak memikirkan orang lain sama sekali...

 

Kakak iparku tertawa terbahak-bahak mendengar sindiran manajer, lalu menegakkan tubuhnya.

 

"──Tapi, secara pribadi, ini di luar dugaanku. Kupikir, kau tidak akan mengerjakan apa pun dan membiarkan orang lain yang melakukannya. Perusahaan normal pasti begitu. Artinya, perusahaan ini bodoh. Memberikan tanggung jawab besar pada karyawan rendahan tanpa prestasi apa pun."

 

"Kau keterlaluan sekali. Saigawa, balas dia."

 

Manajer mengisyaratkan aku dengan dagunya ke arah kakak ipar dan yang lainnya. Aku bingung harus berkata apa, tapi kepalaku sudah dipenuhi dengan pekerjaan. Kalau begitu, hanya ada satu hal yang bisa kukatakan.

 

"Ini adalah──pertarunganku."

 

"Hah? Apa-apaan kau bicara seperti anak SMP yang menyedihkan?"

 

"Seharusnya kau bilang 'Saya akan berusaha keras' di sini."

 

"Eh...! Kalian jahat! Saya boleh kembali bekerja!?"

 

Aku cukup suka kalimat itu, lho. Mungkin agak berlebihan, tapi bagiku sekarang, pertarungan terpenting adalah proyek ini. Melihat reaksiku, mereka berdua tertawa kecil.

 

"Ah, lucu. Kalau begitu, aku pamit dulu. Aku masih punya pekerjaan lain."

 

"Ya, terima kasih sudah datang. Jangan datang lagi selain di hari rapat."

 

"Orang tua ini benar-benar pedas! Aku suka!"

 

Kakak iparku hendak keluar ruangan. Saat berpapasan, dia menepuk pundakku.

 

"──Semangatlah. Aku lebih suka orang bodoh."

 

"...Baik!"

 

"Ah, benar juga. Kalau kau berani macam-macam dengan keluargaku, kuhancurkan perusahaan kelas tiga ini! Sampai jumpa!"

 

Terakhir, dia mengatakan sesuatu yang sangat mengerikan, lalu pergi. Karena dia benar-benar bisa menghancurkan perusahaan kami secara fisik maupun pekerjaan, sepertinya itu bukan ancaman kosong.

 

"Tapi, perusahaan ini tidak mungkin macam-macam dengan Ritsuka..."

 

"Apa yang kau bicarakan? Itu pasti ditujukan padamu, Roushi."

 

"Eh? Kenapa saya?"

 

"Ya ampun... Ya sudahlah. Roushi, ada yang ingin kubicarakan soal Kengo sebelum kau kembali bekerja."

 

"Benar, saya juga ingin bicara soal itu. Dia bekerja paruh waktu di minimarket."

 

"Kau melihatnya? Kalau begitu, tidak perlu berbasa-basi. Apa kau mau terus berteman dengannya? Tentu saja, aku tidak memaksa──"

 

"Ya."

 

"Jawabanmu cepat sekali..."

 

Manajer sedikit kebingungan. Kalau hanya dilihat dari kerugian yang kami alami, Kengo memang berandal yang menghancurkan rumah kami, menculik Ritsuka, dan melukaiku. Pertemuan setelah sepuluh tahun yang cukup brutal. Mungkin manajer mengira aku tidak akan memaafkannya.

 

"Dia teman saya. Tidak perlu diminta."

 

"...Begitu ya. Kalian benar-benar berubah. Kau dan Kengo."

 

"Ah, memang Kengo sangat berbeda dari dulu. Saya tidak tahu apa yang terjadi selama sepuluh tahun ini."

 

"Kengo jadi mirip denganmu, dan kau jadi mirip dengan Kengo. Dari sudut pandangku, begitulah."

 

"Tidak, tidak, mata manajer memang rabun."

 

"Berisik. Sudah cukup, kembali bekerja, Roushi──waktunya bertarung."

 

"Baik!"

 

Saat aku kembali ke mejaku, ada kopi di atasnya. Aku tidak perlu berpikir untuk tahu siapa yang membuatnya.

 

"Terima kasih, Ikoma-san."

"Uhm, Senpai. Tadi itu... soal rapat kemarin? Maafkan aku! Aku sudah berusaha sebaik mungkin, tapi ternyata masih banyak kekuranganku──"

 

"Ah, bukan itu. Yah, memang ada sedikit hubungannya, tapi intinya tidak apa-apa."

 

Ikoma-san menundukkan kepalanya dengan ekspresi menyesal. Tapi, seharusnya aku yang menunduk padanya. Aku sedikit mendengar cerita dari manajer, tapi Ikoma-san memimpin rapat dengan sangat baik meskipun dia hanya pengganti. Kalau tidak ada dia, posisiku pasti akan lebih buruk lagi.

 

"Aku sangat terbantu. Syukurlah kamu ada di sini."

 

"Ah... Iya. Uhm, aku senang."

 

"Aku tidak apa-apa, jadi ayo kita bekerja sama lagi mulai hari ini. Kebetulan, semua rencanaku baru saja ditolak..."

 

"Hah? Benarkah?"

 

"Sayangnya, benar."

 

Apa dia kira setidaknya ada satu yang akan diterima? Ikoma-san juga terlihat syok. Tapi, kakak iparku sendiri yang menolaknya. Kami tidak bisa protes, dan hanya bisa mengulang lagi dari awal.

 

"Senpai, apa kamu terluka? Kalau sakit, bilang saja."

 

"Eh, kelihatan ya?"

 

"Iya. Gerakanmu berbeda dari biasanya."

 

"Oh ya...? Aku cuma agak... jatuh..."

 

Tubuhku memang masih sakit, tapi tidak sampai mengganggu aktivitasku.

Karena lukaku tidak terlihat saat memakai jas, aku mencoba bersikap biasa saja, tapi sepertinya Ikoma-san punya pengamatan yang lebih tajam dari dugaanku.

 

Karena aku sudah bilang aku ada urusan keluarga, aku tidak mau dia bertanya lebih jauh soal lukaku.

 

Karena itu, aku mencoba mengalihkan pembicaraan.

 

"Oh iya. Aku ingin berterima kasih padamu, apa yang kamu inginkan? Aku akan mengabulkannya sebisa mungkin."

 

"Hmm, kalau begitu, aku mau emas, perak, dan permata!"

 

"Hei."

 

"Aku bercanda. Uhm, apa saja boleh?"

 

"Tidak juga, tapi selama masih masuk akal, apa saja boleh. Misalnya, aku bisa membelikanmu kue dari toko yang antreannya panjang──"

 

"Kalau begitu, Senpai, bisakah kita makan bersama?"

 

Ikoma-san tersenyum dan berkata begitu.

 

Entah kenapa. Seharusnya ini percakapan biasa, tapi aku sedikit merinding. Saat bertarung, aku pernah merasakan hal serupa saat merasakan serangan lawan akan datang...

 

"Makan ya. Kalau begitu, aku traktir. Bagaimana kalau makan siang ini?"

 

"Tidak, aku mau makan malam saja."

 

"Eh? Malam?"

 

"Iya. Kita minum-minum."

 

"Ah, begitu. Kalau begitu, Ootaka dan yang lainnya──"

"Kamu kan mau berterima kasih padaku? Kalau begitu, seharusnya kita pergi berdua saja?"

 

Ikoma-san tersenyum kecil. Ritsuka juga pernah melakukan hal serupa. Tekanan dalam bentuk senyuman, bukan kata-kata. Aku tidak bisa menolak dan hanya bisa menyetujuinya.

 

(Hanya berterima kasih saja, tidak masalah mau siang atau malam... kan?)

 

"Oke, aku jadi bersemangat! Ayo kita bekerja keras, Senpai!"

 

"I-iya. Ayo kita bekerja keras──"

 

Memang benar aku hanya ingin berterima kasih──tapi entah kenapa, dari senyumannya, aku merasakan firasat akan datangnya masalah.

 

 

***

 

 

Setelah sampai di rumah, kami makan malam bersama, menonton TV, mandi, menyiapkan keperluan untuk besok... dan akhirnya, saatnya tiba.

 

"Nyan-kichi. Jangan naik ke tempat tidur."

 

‘Ini yang namanya "kode", nya?’

 

"Bukan. Hari ini saja tidak boleh."

 

‘Terserah aku mau tidur di mana, nya. Tapi... aku kan kucing pintar yang tahu situasi? Hari ini aku akan mengalah, nya.’

 

"Kau memang pintar, tapi soal tahu situasi... ya sudahlah. Lain kali aku kasih makanan kucing kaleng lagi secara diam-diam."

 

Faktor ketidakpastian berupa gangguan dari Nyan-kichi sudah disingkirkan.

Sekarang, benar-benar hanya ada aku dan Ritsuka di kamar tidur. Aku minum segelas air, lalu pergi ke kamar. Ritsuka sudah menunggu di sana.

 

"Pe-permisi..."

 

"Ah, silakan..."

 

Kami berdua jadi sangat canggung. Ah, bantal Ritsuka dan bantalku bersebelahan. Apa itu boleh? Tentu saja boleh. Ini kan tempat tidur double. Senangnya.

 

Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi lampu tidur. Ritsuka duduk di pinggir tempat tidur, matanya melihat ke sana kemari dengan gelisah. Sebagai suami, seharusnya aku bersikap tenang.

 

"Ritsu──"

 

"A-anu! Aku mau bicara sesuatu dulu."

 

"Ah, baik."

 

Aku duduk di samping Ritsuka. Dia menggenggam tanganku.

 

Ini dia... Apa akhirnya akan terjadi?

 

"Aneh, ya. Aku selalu menghindari ini. Padahal kita sudah menikah... Maaf."

 

"Aku sudah bilang, aku tidak masalah. Sekarang kita bisa tidur di tempat tidur yang sama. Lalu, apa yang ingin kamu bicarakan?"

 

"Uhm... itu, Rou-kun. Apa kamu tahu... punyaku?"

 

"Eh?"

 

Aku tidak mendengarnya dengan jelas. Ritsuka bergumam pelan. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas karena lampu tidur, tapi mungkin telinganya juga memerah.

"Jadi, itu... tempatnya."

 

"Tempat?"

 

"Ah, tempat tahi lalatku! Apa kamu tahu!? Pasti tidak tahu, kan!? Karena aku tidak pernah memberitahumu!!"

 

"Tahi lalat...Breath of Blessingmu?"

 

Ritsuka danBlessing Recipientlainnya punya tanda lahir berbentuk bulu di suatu tempat di tubuh mereka sebagai bukti.

 

Aku tahu itu, tapi seperti yang Ritsuka katakan, aku tidak tahu di mana tanda lahirnya berada. Kalau kakak iparku di lengan, kalau begitu Ritsuka juga di lengan──tidak mungkin.

 

Dari pakaian yang biasa dia pakai, tanda lahir itu pasti tidak ada di bagian tubuh yang biasanya terbuka.

 

"Pusar..."

 

"Pusar? Ah, jadi tahi lalatnya ada di pusar."

 

Begitu ya. Misteri terpecahkan. Dia malu memperlihatkannya.

 

"Aku tidak masalah, di mana pun tahi lalatnya──"

 

"Di bawahnya..."

 

"Nn...?"

 

"Agak di atas... selangkanganku..."

 

"........."

 

Di situ, bagaimana ya──area yang cukup sensitif. Tapi, Ritsuka sudah mengakuinya dengan susah payah. Kalau begitu, aku juga harus membuang rasa maluku.

 

"Aku mau lihat."

 

"Eh?"

 

"Aku mau lihat tahi lalatnya."

 

"Eh, eh! Itu memalukan! Makanya aku tidak mau, uhm, memperlihatkan tubuhku padamu! Aku minder, tahu!?"

 

Ritsuka memukul wajahku dengan bantalnya. Wanginya enak sekali. Kenapa bantal milikku berbau seperti sel-sel yang membusuk?

 

Meskipun bagiku ini hal sepele, tapi bagi Ritsuka, ini adalah salah satu kekurangan tubuhnya. Aku memang ingin melihatnya, tapi aku tidak boleh memaksanya.

 

"Terima kasih sudah memberitahuku, Ritsuka."

 

"I-iya. Uhm, itu, mungkin dalam waktu dekat, aku akan... memperlihatkannya padamu."

 

"Aku tidak sabar."

 

"Ja-jangan bicara seperti itu! Dasar mesum!"

 

"Memangnya aku semesum itu?"

 

Kurasa itu tergantung orangnya. Mungkin tergantung gender.

 

Wajah Ritsuka masih semerah kepiting rebus, tapi dia memberitahuku satu rahasia lagi.

 

"Dan, satu lagi... ada yang belum kukatakan padamu."

 

"Aku akan mendengarkan apa pun. Asal tentang dirimu."

 

"Terima kasih. Uhm, itu... soal, hal-hal mesum."

 

"........."

Aku duduk dengan tegap di tempat tidur. Aku tidak akan melewatkan satu kata pun.

 

Ritsuka mengerutkan keningnya, tapi melihat ekspresiku yang serius, dia tidak jadi bicara.

 

"Kamu tahu kan... kalau aku tidak suka hal-hal seperti itu?"

 

"Ah. Iya."

 

"Alasannya... itu..."

 

"Iya?"

 

"Du-dulu. Waktu aku baru masuk SMP. Malam-malam, aku tidak sengaja pergi ke kamar kakak, lalu... kakak sedang, menontonnya. Video mesum... dengan orang telanjang."

 

".........Seperti apa?"

 

"Tidak akan kubilang... Tapi, kata Yoshino, 'itu lumayan parah'."

 

"Oh..."

 

"Itu... jadi traumaku... Makanya, aku selalu menolak──"

 

"Maaf, Ritsuka. Tunggu sebentar."

 

Begitu ya. Misteri terpecahkan. Penyebab trauma Ritsuka... begitu.

 

Aku keluar kamar dan menelepon kakak iparku.

 

"Ada apa? Malam-malam begini──"

 

"Kubunuh anda."

TLN: akwaokwkoakwoak anying

 

"Ada apa ad- oh."

 

Aku menutup telepon dan mematikannya. Aku sudah meluapkan semua amarahku. Aku tidak mau tahu video seperti apa yang ditonton oleh manusia-tanah-liat-cabul itu, tapi kalau sampai itu membuat Ritsuka trauma, tidak akan kumaafkan. Sialan, ternyata semua ini salah kakak iparku. Bukannya dia bilang "tidak mengerti sama sekali" kenapa Ritsuka jadi seperti itu? Sialan....

 

Aku akan meluapkan amarah ini pada kakak iparku di kantor nanti, sekarang aku kembali ke kamar.

 

"Maaf, sudah menunggu lama."

 

"Kamu marah pada kakak..."

 

"Tidak sama sekali."

 

"Ya sudahlah... Jadi, karena hal konyol seperti itu, selama ini aku──"

 

"Itu bukan hal konyol. Kamu sudah memberitahuku, dan kamu mau berubah."

 

Jika rahasia dan masa lalu seperti itu membentuk Ritsuka yang sekarang. Aku bisa menerimanya, tapi tidak bisa menolaknya.

 

Aku berbaring di tempat tidur dan sedikit meregangkan tubuhku. Setiap orang punya langkahnya masing-masing. Kalau Ritsuka pelan, aku juga akan berjalan pelan. Sampai aku bisa menikmati ritme itu.

 

"...Nee, Rou-kun."

 

"Hm?"

 

"Ada satu lagi... tapi aku akan memberitahumu besok pagi saja. Kalau sekarang, agak, gimana gitu... Kalau kamu tahu soal kakak, kamu mungkin akan mengerti..."

 

"Begitu ya. Tidak apa-apa, katakan saja saat kamu mau. Aku tidak tahu apa itu."

 

"Maaf, aku istri yang penuh rahasia..."

 

"Tidak banyak, kok. Aku juga punya rahasia yang belum kukatakan padamu."

 

"Eh? Apa? Beri tahu aku."



"...Lain kali saja."

 

"Eh! Curang! ...Ish!"

 

Ritsuka ikut berbaring, dan kami berdua menatap langit-langit. Di dalam selimut, kami mencari tangan masing-masing, lalu menggenggamnya. Hanya ini saja sudah terasa nyaman.

 

"Selamat tidur, Rou-kun. Sampai jumpa besok."

 

"Ya. Selamat tidur, Ritsuka. Sampai jumpa besok."

 

Hari ini, besok, dan seterusnya.

 

Aku akan terus mengucapkan "selamat pagi" dan "selamat tidur" bersama Ritsuka.

 

Selamanya, sampai kami tua dan maut memisahkan kami.

 

 

 

Kisah suami istri, tidak pernah berakhir.














Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !