Epilog
12 November. Hari jadi
pernikahan aku dan Ritsuka.
Dan aku... bangun
siang. Ada banyak rencana, tapi semuanya kubatalkan. Alasannya, aku sudah babak
belur. Tubuhku penuh luka memar dan sakit semua, aku juga lemas karena
kelelahan. Lagipula, hal pertama yang kulakukan setelah pulang ke rumah kemarin
adalah memperbaiki pintu yang rusak (pasti aku akan dimarahi habis-habisan oleh
pengelola) dan jendela yang pecah (dengan menempelkan kardus).
Sekarang, aku dan
Ritsuka berjanji akan menghajar Kengo beberapa kali kalau bertemu dengannya
lagi.
"Maaf... Padahal
ada banyak hal yang ingin kita lakukan..."
"Tidak apa-apa...
Aku juga sakit semua sampai tidak bisa bergerak..."
Seperti percakapan
kakek-nenek. Kami berdua terbaring lemas di sofa. Nyan-kichi juga sepertinya
kelelahan, dia tertidur sambil berjemur di bawah sinar matahari.
"Bagaimana dengan
makan siang?"
"Bosan juga kalau
hanya diam di rumah, ayo kita ke minimarket."
"Setuju~"
Akhirnya, kami berdua
pergi ke minimarket terdekat.
"Selamat
datang..."
Saat kami masuk,
seorang pegawai bertubuh besar dengan suara pelan menyambut kami.
...Ternyata itu Kengo.
"K-kau!
Kenapa!?"
"Orang gede! Ganti
rugi! Ganti rugi!"
"........."
Mungkin dia malu. Kengo
dengan jelas menghindari tatapan kami.
Sekarang dia sedang
menjaga kasir, dan di sebelahnya ada seorang pegawai senior berambut pirang
yang mengawasinya.
"Uhm... pamanku
menyuruhku bekerja di sini... Hari ini aku tiba-tiba harus ikut
pelatihan..."
"Tidak boleh,
Shishikura-san. Tidak boleh mengobrol dengan pelanggan saat bekerja."
"Maaf, Tencho..."
(Jadi dia
Tencho-nya...)
Note:
"Tencho" dalam bahasa Jepang berarti kepala bagian.
Padahal dia terlihat
jauh lebih muda dariku dan Kengo... Aku belum pernah mengalaminya, tapi punya
atasan yang lebih muda pasti terasa canggung.
Tapi, manajer memang
sangat cepat bertindak. Ini kan baru sehari setelah kejadian kemarin.
Saat aku sedang menatap
Kengo dengan pandangan tertarik, Ritsuka memasukkan banyak barang ke keranjang,
lalu meletakkannya di depan Kengo.
"Aku mau bakpao
isi daging, pizza, dan kacang merah. Dan ayam goreng rasa red pepper."
"Uhm..."
"Ah, bakpao
pizzanya diganti dengan bakpao isi daging bawang asin, bakpao kacang merahnya
dua, ayam goreng red pepper-nya tambah satu lagi rasa black pepper, oh iya, aku
punya kartu poin, jadi potong dulu pakai poin lalu sisanya dibayar pakai uang elektronik."
"Eh, uhm..."
"Bisa cepat
sedikit?"
"Kau benar-benar
jahat..."
Ini bukan perlakuan
yang pantas untuk pegawai baru yang mungkin baru bekerja beberapa jam.
Tapi, mungkin ini cara
Ritsuka "memukulnya beberapa kali". Ya sudahlah.
Kengo yang pucat dan
panik, diajari oleh Tencho dari samping, tapi sepertinya dia tidak fokus.
"Awal-awal memang
kita tidak tahu harus bagaimana. Aku mengerti perasaanmu."
"Tapi itu tidak
ada hubungannya dengan pelanggan."
"Jangan terlalu
berlebihan,《White Demon》...!"
"Tidak boleh,
Shishikura-san. Tidak boleh melotot ke pelanggan. Tersenyumlah."
"Maaf,
Tencho..."
Hampir semua pesanan
diproses oleh Tencho, lalu Ritsuka mengambil kantong belanjaan dan pergi dari
kasir. Karena Ritsuka sudah membeli semua yang dibutuhkan, aku hanya mengambil
sekaleng kopi dan mengantre di kasir.
"Kau pasti sudah
menderita?"
"...Aku memang
menderita..."
"Shishikura-san.
"Maaf, Tencho." Tidak boleh. Tidak cukup hanya minta maaf, kau harus
berubah. Aku disuruh bersikap tegas, jadi aku akan tegas padamu."
"Baik..."
Memikirkan Kengo,
sepertinya aku tidak boleh berlama-lama di sini. Aku membayar dengan uang pas,
lalu melambaikan tangan pada Kengo.
"Lain kali, ayo
kita makan bersama lagi. Aku tahu tempat yang bagus. ...Semangat."
Mungkin dia sudah
belajar dari kesalahannya, Kengo hanya membalas dengan hormat. Tapi dia malah
dimarahi lagi... sepertinya dia memang sengaja dikerjai. Apa ini ulah manajer?
"Dia terlihat
baik-baik saja. Padahal dihajar habis-habisan oleh Rou-kun."
"Memang dari dulu
dia kuat."
Mungkin mentalnya tidak
sekuat itu. Tapi, aku juga sama saja.
Minimarket ini cukup
dekat dengan rumah, aku jadi ingin mengganggunya sesekali.
"Permisi. Ada
paket, tapi karena ukurannya cukup besar──"
"Ah, iya.
Kebetulan pintunya bisa dilepas."
"Eh? Eh?"
Sore harinya, ada paket
datang. Paketnya sangat besar, dan Ritsuka kebingungan. Untung atau tidak,
pintu rumah kami sedang rusak parah, jadi aku melepas pintunya lagi dan
membiarkan kurir membawanya ke kamar kosong.
"Tu-tunggu,
Rou-kun. Ini apa...?"
"Eh? Tempat tidur
double."
"Tempat tidur
double!? Kenapa aku tidak tahu!?"
"Karena aku tidak
bilang."
Beberapa hari yang lalu──saat
aku dan Ritsuka pergi ke toko perkakas. Saat Ritsuka sedang memilih gorden, aku
membeli tempat tidur double ini. Tentu saja tanpa meminta pendapat Ritsuka.
Rencanaku yang sudah
lama kupikirkan... "Operasi (suatu saat nanti) mendekati Ritsuka selangkah
demi selangkah (untuk melepas keperjakaan)" akhirnya mencapai puncaknya
dengan datangnya tempat tidur ini.
"Ritsuka. Mulai
malam ini, kita tidur bersama."
"...Puf?"
Aku langsung
mengatakannya tanpa basa-basi. Mungkin ini sedikit berlebihan, tapi ya
sudahlah.
Aku sudah membersihkan
kamar kosong yang jadi gudang untuk ini.
Supaya bisa dipakai
sebagai kamar tidur kami berdua, bukan gudang.
"Tu-tunggu dulu.
Kalau begitu, kasur yang kita pakai sekarang...?"
"Ya tetap bisa
dipakai. Bisa untuk tamu, misalnya kalau kakak datang."
"Lagipula, aku
belum bilang 'iya'..."
"Tapi kan aku
sudah membelinya."
"...Kamu sudah
menyiapkan ini sejak lama?"
"Iya."
Aku menjawab tanpa ragu
sedikit pun. Ritsuka terlihat kaget, seperti berpikir "Serius, nih
orang?" ...tapi aku menatapnya dengan mata polos. Bisa dibilang aku sedang
mengerahkan jiwa kekanak-kanakanku.
"Haa... Hari ini
kan hari jadi pernikahan kita..."
"Artinya──"
"Kalau mulai
besok... boleh. Hari ini aku butuh waktu untuk mempersiapkan diri..."
"Tidak masalah!
Sungguh! Yes!!"
Aku sampai mengepalkan
tanganku. Ritsuka malah semakin geli melihatku.
"Kamu sangat ingin
tidur bersamaku ya... Maaf..."
"Tidak, tidak
apa-apa. Ah, sepertinya lukaku jadi sembuh semua."
"Tidak
mungkin."
Jadi, meskipun hari ini
hari jadi pernikahan kami, tidak ada yang istimewa.
Tapi bagiku, ini adalah
hari di mana langkah besar dijanjikan.
Dengan gembira, aku
mulai memasang tempat tidur double itu──
***
"Semua rencanamu
itu ditolak. Ulangi lagi."
"──Ba-baik."
"Eh..."
Keesokan harinya, aku
langsung dipanggil ke ruangan lain begitu sampai di kantor, dan kakak iparku
mengatakan itu dengan nada marah. Manajer yang ada di sampingnya juga terlihat
pasrah.
"Normalnya, kau
pasti akan dihukum karena meninggalkan rapat dan pergi menemui istrimu, kan?
Kau bisa masuk kantor seperti biasa ini karena aku meminta keringanan hukuman,
Adik Ipar!"
"Ada juga orang
penting yang meninggalkan rapat dan pergi menemui adiknya. Jadi, tidak adil
kalau hanya Saigawa yang disalahkan."
"Kau berani sekali
padaku, botak!!"
"Saya tidak
botak."
"Hahaha..."
Fakta bahwa semua
rencanaku ditolak terasa sangat berat sampai aku hanya bisa tertawa getir. Aku
jadi iri pada orang-orang yang bisa seenaknya. Mereka pasti tidak memikirkan
orang lain sama sekali...
Kakak iparku tertawa
terbahak-bahak mendengar sindiran manajer, lalu menegakkan tubuhnya.
"──Tapi,
secara pribadi, ini di luar dugaanku. Kupikir, kau tidak akan mengerjakan apa
pun dan membiarkan orang lain yang melakukannya. Perusahaan normal pasti
begitu. Artinya, perusahaan ini bodoh. Memberikan tanggung jawab besar pada
karyawan rendahan tanpa prestasi apa pun."
"Kau keterlaluan
sekali. Saigawa, balas dia."
Manajer mengisyaratkan
aku dengan dagunya ke arah kakak ipar dan yang lainnya. Aku bingung harus
berkata apa, tapi kepalaku sudah dipenuhi dengan pekerjaan. Kalau begitu, hanya
ada satu hal yang bisa kukatakan.
"Ini adalah──pertarunganku."
"Hah? Apa-apaan
kau bicara seperti anak SMP yang menyedihkan?"
"Seharusnya kau
bilang 'Saya akan berusaha keras' di sini."
"Eh...! Kalian
jahat! Saya boleh kembali bekerja!?"
Aku cukup suka kalimat
itu, lho. Mungkin agak berlebihan, tapi bagiku sekarang, pertarungan terpenting
adalah proyek ini. Melihat reaksiku, mereka berdua tertawa kecil.
"Ah, lucu. Kalau
begitu, aku pamit dulu. Aku masih punya pekerjaan lain."
"Ya, terima kasih
sudah datang. Jangan datang lagi selain di hari rapat."
"Orang tua ini
benar-benar pedas! Aku suka!"
Kakak iparku hendak
keluar ruangan. Saat berpapasan, dia menepuk pundakku.
"──Semangatlah.
Aku lebih suka orang bodoh."
"...Baik!"
"Ah, benar juga.
Kalau kau berani macam-macam dengan keluargaku, kuhancurkan perusahaan kelas
tiga ini! Sampai jumpa!"
Terakhir, dia
mengatakan sesuatu yang sangat mengerikan, lalu pergi. Karena dia benar-benar
bisa menghancurkan perusahaan kami secara fisik maupun pekerjaan, sepertinya
itu bukan ancaman kosong.
"Tapi, perusahaan
ini tidak mungkin macam-macam dengan Ritsuka..."
"Apa yang kau
bicarakan? Itu pasti ditujukan padamu, Roushi."
"Eh? Kenapa saya?"
"Ya ampun... Ya
sudahlah. Roushi, ada yang ingin kubicarakan soal Kengo sebelum kau kembali
bekerja."
"Benar, saya juga
ingin bicara soal itu. Dia bekerja paruh waktu di minimarket."
"Kau melihatnya?
Kalau begitu, tidak perlu berbasa-basi. Apa kau mau terus berteman dengannya?
Tentu saja, aku tidak memaksa──"
"Ya."
"Jawabanmu cepat
sekali..."
Manajer sedikit
kebingungan. Kalau hanya dilihat dari kerugian yang kami alami, Kengo memang
berandal yang menghancurkan rumah kami, menculik Ritsuka, dan melukaiku.
Pertemuan setelah sepuluh tahun yang cukup brutal. Mungkin manajer mengira aku
tidak akan memaafkannya.
"Dia teman saya.
Tidak perlu diminta."
"...Begitu ya.
Kalian benar-benar berubah. Kau dan Kengo."
"Ah, memang Kengo
sangat berbeda dari dulu. Saya tidak tahu apa yang terjadi selama sepuluh tahun
ini."
"Kengo jadi mirip
denganmu, dan kau jadi mirip dengan Kengo. Dari sudut pandangku,
begitulah."
"Tidak, tidak,
mata manajer memang rabun."
"Berisik. Sudah
cukup, kembali bekerja, Roushi──waktunya
bertarung."
"Baik!"
Saat aku kembali ke
mejaku, ada kopi di atasnya. Aku tidak perlu berpikir untuk tahu siapa yang
membuatnya.
"Terima kasih,
Ikoma-san."
"Uhm, Senpai. Tadi
itu... soal rapat kemarin? Maafkan aku! Aku sudah berusaha sebaik mungkin, tapi
ternyata masih banyak kekuranganku──"
"Ah, bukan itu.
Yah, memang ada sedikit hubungannya, tapi intinya tidak apa-apa."
Ikoma-san menundukkan
kepalanya dengan ekspresi menyesal. Tapi, seharusnya aku yang menunduk padanya.
Aku sedikit mendengar cerita dari manajer, tapi Ikoma-san memimpin rapat dengan
sangat baik meskipun dia hanya pengganti. Kalau tidak ada dia, posisiku pasti
akan lebih buruk lagi.
"Aku sangat
terbantu. Syukurlah kamu ada di sini."
"Ah... Iya. Uhm,
aku senang."
"Aku tidak
apa-apa, jadi ayo kita bekerja sama lagi mulai hari ini. Kebetulan, semua
rencanaku baru saja ditolak..."
"Hah?
Benarkah?"
"Sayangnya,
benar."
Apa dia kira setidaknya
ada satu yang akan diterima? Ikoma-san juga terlihat syok. Tapi, kakak iparku
sendiri yang menolaknya. Kami tidak bisa protes, dan hanya bisa mengulang lagi
dari awal.
"Senpai, apa kamu
terluka? Kalau sakit, bilang saja."
"Eh, kelihatan
ya?"
"Iya. Gerakanmu
berbeda dari biasanya."
"Oh ya...? Aku
cuma agak... jatuh..."
Tubuhku memang masih
sakit, tapi tidak sampai mengganggu aktivitasku.
Karena lukaku tidak
terlihat saat memakai jas, aku mencoba bersikap biasa saja, tapi sepertinya
Ikoma-san punya pengamatan yang lebih tajam dari dugaanku.
Karena aku sudah bilang
aku ada urusan keluarga, aku tidak mau dia bertanya lebih jauh soal lukaku.
Karena itu, aku mencoba
mengalihkan pembicaraan.
"Oh iya. Aku ingin
berterima kasih padamu, apa yang kamu inginkan? Aku akan mengabulkannya sebisa
mungkin."
"Hmm, kalau
begitu, aku mau emas, perak, dan permata!"
"Hei."
"Aku bercanda.
Uhm, apa saja boleh?"
"Tidak juga, tapi
selama masih masuk akal, apa saja boleh. Misalnya, aku bisa membelikanmu kue
dari toko yang antreannya panjang──"
"Kalau begitu,
Senpai, bisakah kita makan bersama?"
Ikoma-san tersenyum dan
berkata begitu.
Entah kenapa.
Seharusnya ini percakapan biasa, tapi aku sedikit merinding. Saat bertarung,
aku pernah merasakan hal serupa saat merasakan serangan lawan akan datang...
"Makan ya. Kalau
begitu, aku traktir. Bagaimana kalau makan siang ini?"
"Tidak, aku mau
makan malam saja."
"Eh? Malam?"
"Iya. Kita
minum-minum."
"Ah, begitu. Kalau
begitu, Ootaka dan yang lainnya──"
"Kamu kan mau berterima
kasih padaku? Kalau begitu, seharusnya kita pergi berdua saja?"
Ikoma-san tersenyum
kecil. Ritsuka juga pernah melakukan hal serupa. Tekanan dalam bentuk senyuman,
bukan kata-kata. Aku tidak bisa menolak dan hanya bisa menyetujuinya.
(Hanya berterima kasih
saja, tidak masalah mau siang atau malam... kan?)
"Oke, aku jadi
bersemangat! Ayo kita bekerja keras, Senpai!"
"I-iya. Ayo kita
bekerja keras──"
Memang benar aku hanya
ingin berterima kasih──tapi entah kenapa, dari
senyumannya, aku merasakan firasat akan datangnya masalah.
***
Setelah sampai di
rumah, kami makan malam bersama, menonton TV, mandi, menyiapkan keperluan untuk
besok... dan akhirnya, saatnya tiba.
"Nyan-kichi.
Jangan naik ke tempat tidur."
‘Ini yang namanya
"kode", nya?’
"Bukan. Hari ini
saja tidak boleh."
‘Terserah aku mau tidur
di mana, nya. Tapi... aku kan kucing pintar yang tahu situasi? Hari ini aku
akan mengalah, nya.’
"Kau memang
pintar, tapi soal tahu situasi... ya sudahlah. Lain kali aku kasih makanan kucing
kaleng lagi secara diam-diam."
Faktor ketidakpastian
berupa gangguan dari Nyan-kichi sudah disingkirkan.
Sekarang, benar-benar
hanya ada aku dan Ritsuka di kamar tidur. Aku minum segelas air, lalu pergi ke
kamar. Ritsuka sudah menunggu di sana.
"Pe-permisi..."
"Ah,
silakan..."
Kami berdua jadi sangat
canggung. Ah, bantal Ritsuka dan bantalku bersebelahan. Apa itu boleh? Tentu
saja boleh. Ini kan tempat tidur double. Senangnya.
Ruangan itu
remang-remang, hanya diterangi lampu tidur. Ritsuka duduk di pinggir tempat
tidur, matanya melihat ke sana kemari dengan gelisah. Sebagai suami, seharusnya
aku bersikap tenang.
"Ritsu──"
"A-anu! Aku mau
bicara sesuatu dulu."
"Ah, baik."
Aku duduk di samping
Ritsuka. Dia menggenggam tanganku.
Ini dia... Apa akhirnya
akan terjadi?
"Aneh, ya. Aku
selalu menghindari ini. Padahal kita sudah menikah... Maaf."
"Aku sudah bilang,
aku tidak masalah. Sekarang kita bisa tidur di tempat tidur yang sama. Lalu,
apa yang ingin kamu bicarakan?"
"Uhm... itu,
Rou-kun. Apa kamu tahu... punyaku?"
"Eh?"
Aku tidak mendengarnya
dengan jelas. Ritsuka bergumam pelan. Aku tidak bisa melihatnya dengan jelas
karena lampu tidur, tapi mungkin telinganya juga memerah.
"Jadi, itu...
tempatnya."
"Tempat?"
"Ah, tempat tahi lalatku!
Apa kamu tahu!? Pasti tidak tahu, kan!? Karena aku tidak pernah
memberitahumu!!"
"Tahi lalat...《Breath of Blessing》mu?"
Ritsuka dan《Blessing Recipient》lainnya
punya tanda lahir berbentuk bulu di suatu tempat di tubuh mereka sebagai bukti.
Aku tahu itu, tapi
seperti yang Ritsuka katakan, aku tidak tahu di mana tanda lahirnya berada.
Kalau kakak iparku di lengan, kalau begitu Ritsuka juga di lengan──tidak
mungkin.
Dari pakaian yang biasa
dia pakai, tanda lahir itu pasti tidak ada di bagian tubuh yang biasanya
terbuka.
"Pusar..."
"Pusar? Ah, jadi
tahi lalatnya ada di pusar."
Begitu ya. Misteri
terpecahkan. Dia malu memperlihatkannya.
"Aku tidak
masalah, di mana pun tahi lalatnya──"
"Di
bawahnya..."
"Nn...?"
"Agak di atas... selangkanganku..."
"........."
Di situ, bagaimana ya──area
yang cukup sensitif. Tapi, Ritsuka sudah mengakuinya dengan susah payah. Kalau
begitu, aku juga harus membuang rasa maluku.
"Aku mau
lihat."
"Eh?"
"Aku mau lihat
tahi lalatnya."
"Eh, eh! Itu
memalukan! Makanya aku tidak mau, uhm, memperlihatkan tubuhku padamu! Aku
minder, tahu!?"
Ritsuka memukul wajahku
dengan bantalnya. Wanginya enak sekali. Kenapa bantal milikku berbau seperti
sel-sel yang membusuk?
Meskipun bagiku ini hal
sepele, tapi bagi Ritsuka, ini adalah salah satu kekurangan tubuhnya. Aku
memang ingin melihatnya, tapi aku tidak boleh memaksanya.
"Terima kasih
sudah memberitahuku, Ritsuka."
"I-iya. Uhm, itu,
mungkin dalam waktu dekat, aku akan... memperlihatkannya padamu."
"Aku tidak
sabar."
"Ja-jangan bicara
seperti itu! Dasar mesum!"
"Memangnya aku
semesum itu?"
Kurasa itu tergantung
orangnya. Mungkin tergantung gender.
Wajah Ritsuka masih
semerah kepiting rebus, tapi dia memberitahuku satu rahasia lagi.
"Dan, satu lagi...
ada yang belum kukatakan padamu."
"Aku akan
mendengarkan apa pun. Asal tentang dirimu."
"Terima kasih.
Uhm, itu... soal, hal-hal mesum."
"........."
Aku duduk dengan tegap
di tempat tidur. Aku tidak akan melewatkan satu kata pun.
Ritsuka mengerutkan
keningnya, tapi melihat ekspresiku yang serius, dia tidak jadi bicara.
"Kamu tahu kan...
kalau aku tidak suka hal-hal seperti itu?"
"Ah. Iya."
"Alasannya...
itu..."
"Iya?"
"Du-dulu. Waktu
aku baru masuk SMP. Malam-malam, aku tidak sengaja pergi ke kamar kakak,
lalu... kakak sedang, menontonnya. Video mesum... dengan orang telanjang."
".........Seperti
apa?"
"Tidak akan
kubilang... Tapi, kata Yoshino, 'itu lumayan parah'."
"Oh..."
"Itu... jadi
traumaku... Makanya, aku selalu menolak──"
"Maaf, Ritsuka.
Tunggu sebentar."
Begitu ya. Misteri
terpecahkan. Penyebab trauma Ritsuka... begitu.
Aku keluar kamar dan
menelepon kakak iparku.
"Ada apa?
Malam-malam begini──"
"Kubunuh anda."
TLN:
akwaokwkoakwoak anying
"Ada apa ad- oh."
Aku menutup telepon dan
mematikannya. Aku sudah meluapkan semua amarahku. Aku tidak mau tahu video
seperti apa yang ditonton oleh manusia-tanah-liat-cabul itu, tapi kalau sampai
itu membuat Ritsuka trauma, tidak akan kumaafkan. Sialan, ternyata semua ini
salah kakak iparku. Bukannya dia bilang "tidak mengerti sama sekali"
kenapa Ritsuka jadi seperti itu? Sialan....
Aku akan meluapkan
amarah ini pada kakak iparku di kantor nanti, sekarang aku kembali ke kamar.
"Maaf, sudah
menunggu lama."
"Kamu marah pada
kakak..."
"Tidak sama
sekali."
"Ya sudahlah...
Jadi, karena hal konyol seperti itu, selama ini aku──"
"Itu bukan hal
konyol. Kamu sudah memberitahuku, dan kamu mau berubah."
Jika rahasia dan masa
lalu seperti itu membentuk Ritsuka yang sekarang. Aku bisa menerimanya, tapi
tidak bisa menolaknya.
Aku berbaring di tempat
tidur dan sedikit meregangkan tubuhku. Setiap orang punya langkahnya
masing-masing. Kalau Ritsuka pelan, aku juga akan berjalan pelan. Sampai aku
bisa menikmati ritme itu.
"...Nee,
Rou-kun."
"Hm?"
"Ada satu lagi...
tapi aku akan memberitahumu besok pagi saja. Kalau sekarang, agak, gimana gitu...
Kalau kamu tahu soal kakak, kamu mungkin akan mengerti..."
"Begitu ya. Tidak
apa-apa, katakan saja saat kamu mau. Aku tidak tahu apa itu."
"Maaf, aku istri
yang penuh rahasia..."
"Tidak banyak,
kok. Aku juga punya rahasia yang belum kukatakan padamu."
"Eh? Apa? Beri
tahu aku."
"...Lain kali
saja."
"Eh! Curang!
...Ish!"
Ritsuka ikut berbaring,
dan kami berdua menatap langit-langit. Di dalam selimut, kami mencari tangan
masing-masing, lalu menggenggamnya. Hanya ini saja sudah terasa nyaman.
"Selamat tidur,
Rou-kun. Sampai jumpa besok."
"Ya. Selamat
tidur, Ritsuka. Sampai jumpa besok."
Hari ini, besok, dan
seterusnya.
Aku akan terus
mengucapkan "selamat pagi" dan "selamat tidur" bersama
Ritsuka.
Selamanya, sampai kami
tua dan maut memisahkan kami.
Kisah suami istri,
tidak pernah berakhir.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.