Chapter
3
Seifuku
Date, Quest darurat
Musim dingin mulai terasa sepenuhnya.
Saat aku menyembunyikan dagu ke dalam syal, napasku berubah menjadi putih seperti awan, dan angin yang membelai pipiku serta membuat rambutku berdiri terasa sedingin es. Juga, keluar dari selimut di pagi hari menjadi sesuatu yang sungguh, benar-benar, tak tertahankan…
Tapi bukan hanya dari cuaca aku bisa merasakan musim ini. Iluminasi yang menghiasi pepohonan di jalan, poster dan bendera promosi untuk perang dagang Natal, dan begitu masuk ke pusat perbelanjaan, musik latar toko-toko yang dipenuhi lagu-lagu Natal yang sudah akrab di telinga.
Begitu keluar ke kota, ada perasaan hangat yang membuat hati berbunga-bunga. Perasaan berdebar itu tidak berubah sejak aku masih kecil. Namun, untuk pertama kalinya, aku menghabiskan musim dingin bersama seseorang yang kusukai—seseorang yang kusadari aku menyukainya. Itu membuat ada perasaan aneh di perutku, semacam kegugupan yang istimewa.
Hari itu, aku dan Toiro pergi ke pusat perbelanjaan dekat stasiun sepulang sekolah. Kami sudah berjanji untuk pergi ke toko buku, karena hari itu adalah hari perilisan volume terbaru dari light novel yang sedang kukoleksi. Sekalian, kami juga berencana mampir ke toko-toko lain dan bersenang-senang.
"Masaichi, ini kencan sepulang sekolah ya!"
"Ah, ya, bisa dibilang begitu."
"Jadi ini… kencan sepulang sekolah, ya!"
"Kenapa kamu mengatakannya dengan nada penuh perasaan begitu?"
Toiro terdengar sangat terharu.
"Soalnya, ini pertama kalinya kita pergi berdua untuk bermain sepulang sekolah, kan?"
"Hmm, ya, mungkin juga."
Memang, kami sering mampir ke taman atau minimarket, tapi rasanya ini pertama kalinya kami berjalan-jalan sejauh ini sampai ke daerah sekitar stasiun.
"Jadi ini yang disebut ‘Seifuku Date' ya!"
TLN : Kencan yang dimana kostumnya pake seragam sekolah, ada hubungannya ama Houkago Date juga (Kencan sepulang sekolah) cmiiw
Toiro berkata dengan suara penuh semangat, matanya berbinar.
Kencan, huh? Ini pertama kalinya aku benar-benar menyadari kata itu. Berbeda dari kencan yang dilakukan pasangan kekasih pada umumnya. Bahkan saat kami ikut dalam Double Date bersama Sarugaya dan yang lainnya, saat itu kami masih berpura-pura sebagai pasangan. Tapi hari ini, kata itu terasa punya makna yang sedikit berbeda.
—Jadi, aku akan berkencan sekarang? Ini pertama kalinya aku sadar akan hal itu.
Apakah ini bisa disebut kencan pertama kami? Tapi kami belum benar-benar berpacaran, jadi apakah ini bisa disebut kencan?
Memang, kami adalah pasangan sementara, tapi… sebenarnya apa definisi kencan? Kalau saja saat itu kami tidak menjadi pasangan sementara, kata "kencan" mungkin tidak akan muncul di antara kami.
Tapi sebentar lagi, mungkin aku bisa benar-benar menyebut waktu ini sebagai kencan…
Aku harus segera menanyakan rencana Toiro untuk Natal. Tidak, tidak ada gunanya menunda-nunda. Bukan "segera", tapi aku harus menanyakannya hari ini. Biasanya, urusan main seperti ini selalu Toiro yang mengajakku duluan, tapi kali ini aku sendiri yang harus…
Aku ingin menanyakannya dengan santai, tanpa terasa terlalu formal.
Saat aku masih memikirkan hal itu sambil berjalan di belakang Toiro, tiba-tiba—
"Yosh, sampai!"
Entah sejak kapan, kami sudah tiba di arcade.
…Hah? Arcade?
"Bukannya kita mau ke toko buku?"
"Tentu saja, tapi pertama-tama harus ke sini dulu!"
"Ya, aku setuju sih. Tapi kalau dibilang kencan, ini sama saja seperti jalur biasa kita, ya…"
"Nggak apa-apa! Kita punya gaya kencan kita sendiri!"
Toiro tersenyum, mengangkat satu tangan sambil berkata, "Ayo masuk!", lalu melangkah ke dalam arcade. Kencan kita sendiri—kencan kita… Entah kenapa, kata-kata itu terasa begitu alami. Aku pun mulai merasa bersemangat dan mengikuti Toiro masuk ke dalam ruangan yang dipenuhi suara musik riang.
"Tapi karena ini spesial, bagaimana kalau kita main sesuatu yang berbeda dari biasanya?"
"Ah, ide bagus. Tapi main apa?"
Toiro mulai menoleh ke sekeliling, mencari-cari permainan. Aku pun ikut mengedarkan pandanganku ke dalam arcade yang penuh dengan dekorasi warna-warni.
Kami berada di luar zona UFO catcher. Di bagian dalamnya, ada area permainan medal. Di pojok kiri belakang, ada mesin game tembak-tembakan dengan tirai, meja air hockey, dan bahkan wahana berbentuk kereta shinkansen untuk anak-anak yang terlihat di kejauhan.
"Oh, yang ini?"
Toiro menunjuk ke arah sebuah game musik. Permainan yang mengharuskan pemain mengikuti irama dan menabuh gendang sesuai dengan not yang mengalir di layar. Hampir di setiap arcade pasti ada game ini. Aku juga sudah pernah memainkannya beberapa kali, termasuk versi konsolnya.
"Ah, boleh juga sesekali."
"Tuh, kan? Ayo kita bertanding!"
Meski kami sering bermain game, kami tidak pernah terlalu serius memainkan game musik. Karena sama-sama pemula, seharusnya pertarungan ini bisa berlangsung cukup seimbang.
Aku mengeluarkan beberapa koin dan memasukkannya ke dalam mesin. Sementara itu, Toiro mengambil stik pemukul dan mulai menavigasi layar pengaturan. Saat layar pemilihan tingkat kesulitan muncul, dia dengan cepat mengetuk pinggiran gendang dan hendak memilih mode "Hard".
"Tunggu, mau bunuh diri?"
Aku buru-buru menyela.
"Eh, kan ini pertandingan? Memang aku nggak pilih yang paling susah, tapi kalau terlalu mudah juga kurang seru, kan?"
"Tidak. Dalam game musik, memilih tingkat kesulitan yang sedikit lebih tinggi bisa berakhir tragis."
Dulu, aku pernah mengalami kejadian pahit. Waktu itu pertama kalinya aku memainkan game ini, di rumah saudara, menggunakan kontroler versi konsolnya. Aku berpikir bahwa meskipun pemula, aku tetap gamer sejati, jadi aku memilih tingkat kesulitan yang sulit.
Hasilnya? Sama sekali tidak bisa mengikuti ritme. Not yang terus mengalir di layar terlalu cepat untuk kuikuti. Begitu aku kehilangan momentum, kembali ke irama yang benar pun menjadi mustahil.
Berbeda dengan game balapan atau game aksi yang masih memberi ruang untuk pemula, dalam game musik, jika kau kehilangan ritme, maka tamat sudah. Perasaan kosong dan tak berdaya saat itu masih membekas. Dan sekarang, Toiro hampir jatuh ke dalam lubang yang sama.
"Kau tidak terlalu sering main game musik, kan? Setidaknya pilih yang tingkat biasa saja."
"Eh... ya udah deh. Karena kamu maksa, aku kasih keringanan. Haa, ya ampun, terpaksa deh."
"Kenapa malah bersikap sok superior..."
Padahal aku yang menyelamatkannya. Tapi, yang penting, sekarang aku berhasil mencegah bencana. Kami akhirnya memilih tingkat kesulitan "biasa" bersama.
"Tunggu, lagu ini ada juga?!"
Toiro berseru saat melihat salah satu lagu pembuka anime yang sedang populer di layar pemilihan lagu.
"Wah, keren juga. Mereka sampai update lagu baru seperti ini."
"Tunggu, lagu penutupnya juga ada! Lagu ini bikin nangis, loh!"
"...Tunggu, bukannya kita baru nonton episode pertama?"
Minggu lalu, kami sepakat untuk menonton anime ini bersama. Seharusnya saat ini baru sampai episode ketiga, tapi di episode pertama, lagu pembuka aslinya baru diputar di akhir cerita, jadi kami belum sempat mendengar lagu penutupnya.
Toiro langsung memasang ekspresi kaget dan melirikku dengan wajah bersalah. Lalu, dengan gerakan mencurigakan, dia mengalihkan pandangan ke samping seolah mencari alasan.
"Kamu udah nonton episode kedua duluan, ya?"
"A-ah... eeh, kebetulan aja pas nyalain TV, lagi tayang. Terus karena penasaran, tanganku reflek berhenti menekan remote... A-aku nggak akan spoiler kok! Kita tetap bisa nonton bareng nanti!"
"Ya, aku ngerti sih perasaan itu."
Jujur saja, kalau aku yang ada di posisi Toiro, mungkin aku juga bakal nonton duluan. Aku tidak marah, hanya saja sekarang aku jadi semakin ingin menonton kelanjutannya.
"Jadi, kita pilih lagu pembukanya?"
"Ya. Oh, dan sepulangnya nanti, kita harus nonton episode kedua."
"Setuju!"
Akhirnya, pertandingan dimulai. Toiro melepas syalnya dengan gesit, sementara aku buru-buru menyingsingkan lengan bajuku.
Saat intro piano yang lembut mulai mengalun, not pertama muncul dengan jeda yang cukup lebar. Warna merah untuk menabuh bagian tengah gendang, dan biru untuk pinggirannya. Perlahan, ritmenya mulai meningkat, dan not-not mulai berlipat ganda. Aku menabuhnya dengan mengikuti irama—kadang meleset, kadang berhasil menyusun kombo kecil.
Di layar, ada bar yang menunjukkan siapa yang unggul. Namun...
"Tu,tutututu,nggu!"
"…Kau."
"Kya, tu, dondon ka, dondon ka!"
Mendengar jeritan panik dari sebelah, sudah jelas siapa yang sedang unggul dalam permainan ini.
Toiro memukul taiko dengan panik, tetapi semuanya selalu terlambat satu ketukan. Not-not yang seharusnya bersinar cerah jika dipukul dengan benar malah semakin banyak yang menghitam dan mati.
Jadi Toiro… ternyata seburuk ini dalam game ritme? Satu-satunya saat dia bisa menyambung kombo hanyalah di bagian intro saja.
"Tunggu, gawat, tanganku mulai kusut!"
"Kau baik-baik saja? Sebentar lagi masuk bagian reff!"
Musiknya semakin memuncak. Sepertinya Toiro tidak mau menyerah dan tetap berusaha memukul taiko sebisanya. Lalu, tepat pada saat lagu memasuki bagian reff—
Sebuah pola not panjang dengan delapan ketukan bertumpuk muncul, sesuatu yang terasa tidak wajar untuk tingkat kesulitan 'Normal'.
"Eh, ma, wawawawawa!"
Setelah teriakan paniknya terdengar…
"……"
Tiba-tiba suasana menjadi hening. Suara taiko tidak terdengar lagi.
Saat aku melirik ke arahnya—aku melihat dia masih menggenggam stik taiko, tetapi justru mulai menggerakkan tubuhnya mengikuti irama musik, seperti sedang melakukan tarian Bon Odori.
"A-apaan yang kau lakukan?"
"Ehehehe… yah, kepalaku tiba-tiba jadi kosong. Aku nyerah."
Sepertinya dia panik total.
"Menari tidak akan menambah skor, tahu."
"Saat aku sadar kalau nggak akan bisa mengejar pukulannya, tubuhku malah mencari gerakan pengganti dengan sendirinya…"
"Situasi macam apa itu?!"
Sementara aku masih berusaha menyambung kombo pendek meski beberapa kali meleset, gauge milik Toiro semakin berkurang drastis.
Lagu akhirnya ditutup dengan melodi piano yang rumit, dan permainan pun berakhir.
"Ya, yaah… tapi lagunya bagus banget ya."
"Kau masih sempat menikmati lagunya? …Atau lebih tepatnya, kau memang nggak punya pilihan selain menikmati lagunya, ya?"
"Kalau memang mau menikmati, mending dengerin di rumah sambil santai…"
"Nah, akhirnya keluar juga isi hatimu… Nanti kita dengarkan di rumah, ya."
Begitulah, pertandingan game ritme pertama kami berakhir dengan kemenanganku. Juga, aku baru menyadari betapa buruknya sense ritme Toiro. Dia sedikit menggembungkan salah satu pipinya dan bergumam pelan, "Sepertinya aku harus latihan sedikit…"
Melihatnya seperti itu, aku tanpa sadar tertawa kecil. Hal seperti ini mungkin sepele, tapi aku merasa senang bisa mencoba sesuatu yang baru bersama Toiro, atau mengetahui sesuatu yang sebelumnya tidak kuketahui tentangnya.
Aku ingin pergi ke lebih banyak tempat bersamanya, mencoba lebih banyak hal yang belum pernah kami lakukan sebelumnya. Karena selama kami berdua melakukannya bersama, pasti akan selalu menyenangkan—.
*
Setelah naik ke lantai dua, kami berhenti di depan peta gedung yang terletak tepat di dekat eskalator.
"Oh, tempat ini! Sebagai pasangan, kita harus ke sana setidaknya sekali!"
Begitu kata Toiro sambil menunjuk ke arah peta.
"Hm? Toko pakaian tradisional?"
"Bukan, bukan. Sedikit lebih ke atas, bagian yang ada 'hewan'-nya."
"Ah, pet shop… Eh, kenapa penyebutannya jadi seperti toko kimono?"
Aku tetap menanggapi ucapannya, dan Toiro hanya tertawa, "Ahaha."
"Ayo, ayo!"
Kami pun mengikuti ajakannya. Begitu sampai, memang ada banyak hewan kecil yang berjajar dalam etalase kaca.
"Waaah!"
Toiro langsung berseru kegirangan dan berlari mendekat.
"Lihat, ini lucu banget!"
"Ah, ya… lumayan."
"Kyaa! Matanya bulat banget, bulunya lembut! Kakinya pendek! Lidahnya menjulur, lucunya!"
Ya, para gadis memang sepertinya suka anjing dan kucing. Jujur saja, aku tidak terlalu tertarik. Tapi kalau ditanya apakah hewan-hewan ini lucu atau tidak, ya, memang masuk kategori lucu.
"Gawat, ini terlalu lucu! Aku bilang anjing itu lucu bukan karena mau dibilang imut, tapi murni karena memang lucu!"
"Aku juga nggak menuduhmu begitu."
"Ahahaha."
Toiro tertawa ceria.
Memang mungkin ada orang yang sengaja mengatakan sesuatu itu lucu agar dirinya terlihat manis. Tapi Toiro bukan tipe yang sengaja melakukan hal seperti itu.
…Atau, kalau memang dia mengatakan itu karena ingin terlihat imut di mataku, ya… justru itu malah menggemaskan.
"Jadi, mau beli yang mana?"
"Cepat sekali kau ambil keputusan!"
"Sebagai pasangan, kupikir kita harus membicarakan anjing yang akan kita pelihara di masa depan."
"Jadi ini semacam aksi ala pasangan?"
Tapi, meskipun ingin ikut dalam pembicaraan ini, aku tidak tahu banyak soal ras anjing, jadi aku juga tidak punya preferensi tertentu.
Kalau dipaksakan, mungkin aku lebih suka anjing besar yang bisa disebut anjing penjaga—sesuatu yang terasa keren, seperti familiar yang setia mengikuti tuannya. Tapi kalau dipikir realistis, merawatnya pasti tidak mudah. Saat aku sedang memikirkan itu—
"Selamat datang! Kalau mau, kalian bisa mencoba menggendong anjingnya, lho!"
Seorang pegawai wanita dari pet shop itu berbicara dari belakang kami. Saat aku menoleh, dia sudah menggendong seekor anjing berbulu cokelat yang menggemaskan.
"Eh, boleh?"
Mata Toiro langsung berbinar.
"Tentu! Silakan ke sini."
Kami pun diarahkan ke sofa kecil di dekat etalase. B-benarkah ini? Padahal kami tidak berniat membeli…
"Ini anjing ras Toy Poodle?"
"Ya, ini Toy Poodle betina. Silakan letakkan di pangkuanmu, biar tidak jatuh, ya."
Sambil berkata begitu, pegawai itu meletakkan anjing kecil itu di pangkuan Toiro.
"D-dia naik ke pangkuanku!"
"Oi, jangan terlalu heboh, nanti dia kaget."
Anjing kecil itu berdiri dengan empat kakinya di atas pangkuan Toiro, tubuhnya sedikit gemetar. Perlahan, Toiro menyentuh punggungnya dengan hati-hati, lalu mulai membelai bulunya dengan lembut.
Saat itu juga, anjing itu mengeluarkan suara pelan, "Kuung," lalu tubuhnya bergerak lebih dekat ke perut Toiro.
"Kuun-kuun."
Anjing itu mengeluarkan suara kecil sambil menatap Toiro dengan mata bulatnya.
"Aduh, ini terlalu menggemaskan!"
"Akhirnya keluar juga ‘kyun’-nya."
"Aku benar-benar dibuat leleh! Ini terlalu imut! Coba kau elus juga, Masaichi!"
Aku pun mengulurkan tangan dan membelai kepala anjing itu. Saat itu, ia menengadahkan kepalanya ke arahku. Kupikir dia akan menggigitku—tapi ternyata tidak ada rasa sakit. Yang ada hanya
sensasi hangat dan lembut. Dia sedang menjilat ujung jariku.
"I, imu…"
"Whoa! Kau akhirnya bilang ‘imut’ juga!"
"T-terpeleset keluar begitu saja…"
Sebenarnya, tidak ada salahnya bilang sesuatu itu imut. Tapi rasanya bukan gayaku, jadi agak memalukan. Tapi… memang benar-benar imut.
Sepertinya anjing itu mulai terbiasa. Ia berdiri dengan dua kaki di atas dada Toiro, lalu mengendus-endus wajahnya.
"Hahaha, geli!"
Toiro tertawa, tapi tiba-tiba ekspresinya menjadi serius.
"Aku sudah memutuskan! Aku akan membawa anak ini pulang!"
Dia mengatakan sesuatu yang cukup mengejutkan.
"Tunggu, jangan gegabah! Memelihara anjing tidak semudah itu!"
"Tapi… Se-chan suka anjing, kan?"
"Oh, oh, kau mulai menyusun rencana dengan mantap, ya. Dan tunggu, kau berencana memeliharanya di rumahku?"
"Kalau kita memelihara bersama, bukankah lebih masuk akal kalau ditaruh di rumahmu, tempat aku sering datang?"
"Kau benar-benar bakal merawatnya dengan baik, kan…?"
Tunggu, ini tidak bagus. Kenapa pembicaraan ini mulai mengarah ke keputusan untuk benar-benar memelihara anjing ini? Pertama-tama, berapa harga anjing ini? Melihat aku yang menyipitkan mata, pegawai toko tampaknya sadar dan mengambil label harga dari bawah etalase. Label itu menampilkan foto Toy Poodle ini beserta harganya.
"Eh…"
Aku terdiam. E-enam ratus empat puluh ribu…!?
"A-anjing ini harganya segini…?"
"Benar sekali~"
Melihat ekspresi terkejut Toiro, pegawai itu tersenyum sedikit dengan ekspresi seolah merasa tidak enak.
"Ah… ini karena ada sertifikat trahnya?"
"Tentu saja ada. Tapi lebih dari itu, ini karena wajahnya yang sangat lucu. Dia adalah anjing maskot di toko kami sekarang."
"K-karena wajahnya lucu…?"
Serius? Harga anjing ditentukan dari wajahnya? Tapi ya… memang lucu, sih. Aku baru sadar kalau di dunia anjing pun ada sistem kasta berdasarkan penampilan…
"Selain itu, untuk Toy Poodle berwarna cokelat, intensitas warna bulunya juga mempengaruhi harga. Seiring pertumbuhannya, warna bulunya akan sedikit memudar. Jadi, anak anjing dengan warna bulu yang pekat lebih banyak dicari. Kalau diperhatikan, warna bulunya lebih ke arah kemerahan, bukan? Dia benar-benar anjing yang cantik. Anjing secantik ini jarang sekali ada, lho~"
Pegawai itu terus menggoda dengan rayuan yang makin menusuk. Tapi… harga anjing ini sama sekali tidak imut.
"Hhh… Suatu hari nanti, kalau aku sudah jadi orang besar, aku pasti akan datang menjemputmu!"
Toiro mengucapkannya sambil menggesekkan pipinya ke perut anjing itu.
"Tapi saat itu, kemungkinan dia sudah dibeli orang lain."
"Jangan hancurkan impianku begitu saja!"
Toiro mengeluh sambil memeluk anjing itu dengan erat, seolah enggan berpisah.
"…Jadi, kau memang suka binatang, ya, Toiro?"
"Iya! Aku belum pernah memelihara sebelumnya, tapi aku selalu ingin mencobanya!"
"Oh, begitu ya…"
Ini pertama kalinya aku mendengar hal itu. Tapi dari sikapnya, aku bisa melihat betapa besar rasa sukanya. Tatapan lembutnya saat membelai anjing yang memeluk dadanya, matanya yang sedikit menyipit penuh kasih sayang—
Tanpa sadar, aku terpaku menatapnya.
Mungkin suatu hari nanti, aku akan melihatnya di rumah, sedang bermain dengan anjing kesayangannya. Tapi kalau aku ingin masa depan seperti itu terwujud… Aku harus mempersiapkan diri mulai sekarang. Itulah yang aku pikirkan saat itu.
*
Kami mampir ke toko barang serba ada untuk mencari sesuatu yang bisa kami pakai bersama, lalu mencoba mengambil sebanyak mungkin camilan di toko yang menawarkan sistem isi sesukanya dalam cup, berusaha mendapatkan keuntungan maksimal. Setelah berbagai persinggahan, akhirnya kami tiba di tujuan utama hari ini—toko buku.
"Yah, aku sempat khawatir kalau stoknya belum masuk."
Toiro menghela napas lega sambil mengambil light novel yang dia incar.
"Benar juga. Kalau hanya belum masuk sih masih mending, tapi kalau ternyata toko ini tidak menyediakan stoknya sama sekali, itu bakal menyakitkan."
Begitu masuk toko, kami sempat butuh waktu untuk menemukan bagian light novel. Tata letak toko sudah berubah sejak terakhir kami datang. Sekarang, rak light novel hanya tersisa satu di sudut belakang bagian manga, menyusut jauh dari sebelumnya. Bagi pencinta light novel, rasanya ini agak menyedihkan…
Aku juga memutuskan untuk membeli satu manga yang menarik perhatianku, lalu kami melanjutkan ke bagian sastra. Toiro bilang ingin melihat majalah fashion, jadi kami beranjak ke rak majalah.
Saat itu, mataku tiba-tiba tertarik pada seseorang yang berdiri di sana.
"Ah…"
Sosok ramping dengan postur tegap. Rambut pirang bergelombang yang familiar. Mata sipit yang tajam dan penuh keteguhan. Saat dia menundukkan kepala menatap majalah, dia tampaknya menyadari kehadiran kami yang tiba-tiba berhenti. Dia melirik ke arah kami—Lalu, matanya membelalak.
"T-Toiro!?"
"Eh, U-Urara-chan!"
Toiro, yang terkejut dengan pertemuan tak terduga ini, buru-buru menyembunyikan light novel yang belum dibayar di belakang punggungnya. Sementara itu, Nakasone juga dengan panik memasukkan kembali majalah yang dia baca ke rak.
Toiro memang masih merahasiakan sisi otakunya, jadi wajar kalau dia menyembunyikan light novel itu. Tapi, kenapa Nakasone juga terlihat begitu panik?
"Urara-chan! Kau ada di sini juga? Kenapa tidak bilang? Sendirian?"
"Kalian sedang kencan, kan? Kalau aku bilang, malah bakal mengganggu."
"T-tapi kalau aku tahu, kita bisa datang bersama di hari lain, kan?"
"Kalau begitu, bilang saja lain kali. Ayo datang bersama. Kita juga bisa kencan!"
"Iya! Ayo, ayo!"
Sementara aku diam-diam menerima kembali light novel Toiro di belakang punggungnya, aku melirik rak tempat Nakasone barusan mengembalikan majalahnya. Sepertinya itu majalah musik. Aku sempat melihat kata DJ di sana.
"Ngomong-ngomong, kau lagi apa di sini? Membaca majalah?"
Toiro melirik majalah musik itu sambil bertanya.
"Iya. Aku ada urusan setelah ini, jadi mampir sebentar untuk menghabiskan waktu."
"Oh, begitu ya? Eh, Urara-chan baca majalah musik juga, ya!"
Toiro tampak terkejut. Dia bertanya dengan antusias.
"Ah… yah, begitulah."
Nakasone mengalihkan pandangan dengan sedikit canggung, menggaruk pipinya. Tiba-tiba, Toiro berseru "Ah!" dengan nada terkejut.
"Oh iya! Urara-chan, waktu festival sekolah, di booth DJ—"
Nakasone langsung membelalakkan mata.
"K-Kau melihatnya!?"
"Iya. Aku tidak menyapamu karena kau terlihat sangat fokus, tapi…"
Hah? Ada apa ini? Aku sama sekali tidak paham apa yang mereka bicarakan. Tapi melihat wajah Nakasone yang semakin memerah, tampaknya ini masalah yang cukup serius baginya.
"Jadi… kau melihatnya, ya…"
Nakasone bergumam pelan, lalu tampak berpikir sejenak sebelum akhirnya menatap Toiro.
"…Hei, kau ada waktu setelah ini? Aku butuh bantuan, dan ini hanya bisa dilakukan hari ini."
Toiro menoleh padaku, meminta pendapat.
Tujuan utama kami hari ini sudah tercapai—membeli buku yang kami incar. Selain itu, hubungan pertemanan Toiro juga penting. Jika Nakasone sampai meminta bantuan di tengah kencan kami, berarti ini adalah hal yang cukup mendesak baginya. Yah… aku bisa pulang dan membaca buku yang kubeli nanti. Aku mengangguk, dan Toiro tersenyum kecil padaku.
"Terima kasih."
"Jadi, apa yang harus kulakukan? Katakan saja!"
"Serius, makasih! Tapi kita harus pindah tempat sebentar."
"Oke. Oh, bagaimana dengan Masaichi?"
"Dia boleh ikut kalau mau."
—Hah? Aku juga? Aku terkejut dan menatap dua gadis itu.
"Katanya boleh, jadi ayo ikut."
Dengan senyum cerah, Toiro menggenggam pergelangan tanganku dan menarikku pelan.
Di dalam pikiranku, aku bisa mendengar suara rencana santai baca light novel di rumah yang baru saja kususun, hancur berkeping-keping.
…Serius, nih?
*
Tanpa diduga, aku ikut serta dalam sebuah quest darurat yang tiba-tiba muncul. Dan yang lebih mengejutkan lagi adalah tujuan dari quest ini.
Di sebuah ruang bawah tanah, musik barat berdentum begitu kencang hingga mengguncang udara. Dalam kegelapan, lampu berwarna-warni bersinar seperti langit berbintang, sinarnya menyapu wajah kami. Musik yang sebelumnya fade out tiba-tiba meledak, dan seketika orang-orang di depan kami melompat mengikuti iramanya. Aku terkejut dan refleks menegang.
"Ini… dunia lain?"
Tempat ini terasa begitu asing bagiku.
"Ini sarang para paripi," gumam Toiro, gelisah sambil melirik ke sekeliling.
Nightclub, dance club… aku nggak tahu bedanya, tapi intinya ini klub. Habitat asli para party people. Dan kini, seorang otaku tersesat di dalamnya.
Kata Nakasone, klub ini punya aturan unik—pukul 17.00 hingga 21.00 dikhususkan untuk anak di bawah 18 tahun, lalu setelah itu berubah menjadi klub malam biasa. Itu sebabnya ada cukup banyak anak seumuran kami di sini. Bahkan, ada beberapa yang masih mengenakan seragam sekolah.
"Kita ambil minum dulu," kata Nakasone, mengajak kami yang masih celingukan dengan canggung. Ia berjalan lurus menuju bar dengan percaya diri, seakan tempat ini sudah jadi bagian dari hidupnya.
"Se-sesuai dugaan dari Urara-chan," ucap Toiro kagum.
"Nakasone sering ke tempat kayak gini?"
Suara musik menggema keras di dalam ruangan, jadi kami harus saling mendekat agar bisa mendengar satu sama lain.
"Eh, aku juga baru tahu, sih. Tapi kalau dipikir-pikir, dia kayaknya cocok sama tempat kayak gini. Rambutnya aja kayak gyaru,"
"Gyaru, ya…"
Aku selalu merasa nggak punya hubungan dengan kaum itu. Tapi ternyata, salah satu dari mereka ada di dekatku selama ini.
"Yup. Tapi kalau ditanya, Urara-chan pasti bakal bilang kalau dia bukan gyaru,"
"Oh, jadi dia bukan gyaru?"
"Eh, nggak, dia gyaru. Cuma anehnya, ada beberapa gyaru yang kalau dibilang gyaru malah nolak. 'Aku tuh bukan gyaru, tau!' gitu,"
"Apa-apaan itu,"
Ternyata gyaru itu makhluk yang kompleks.
"Tapi bukannya gyaru biasanya selalu bareng teman-temannya? Kalau gitu, karena Toiro sering bareng Nakasone, berarti kamu juga gyaru, dong? Rambutmu mirip, soalnya."
"Nggak, aku bukan gyaru,"
"Jadi kalau gitu, kamu gyaru?"
"A-aku sungguh-sungguh bukan gyaru!"
"Mana yang benar, nih…"
Dunia gyaru memang penuh misteri. Sambil mengobrol seperti itu, kami akhirnya sampai di bar tempat Nakasone menunggu.
"Ini menunya. Minuman pertama bisa ditukar pakai tiket yang kita dapet di pintu masuk,"
Aku melihat menu yang tertempel di bawah counter bar. Tapi… aku nggak ngerti sama sekali. Nama minumannya aneh-aneh. Ada yang pakai kata "Summer" atau "Pussy" entah apa.
Setelah menyapu pandangan, akhirnya aku menemukan satu-satunya nama yang familier: Cola. Aku pun memesan itu.
Seorang bartender langsung mengambil botol cola dari kulkas kaca di belakangnya, membuka tutupnya, dan menyerahkannya padaku. Di sebelahku, Toiro bertanya pada Nakasone, "Urara-chan, ini apa?" sambil menunjuk salah satu nama di menu.
"Oh, itu koktail non-alkohol. Yang paling enak tuh—"
"Eh, kelihatannya enak! Aku pilih itu!"
Toiro dengan teliti bertanya pada Nakasone tentang detail minuman sebelum memilih pesanannya. Ia akhirnya memilih minuman berbasis kelapa dengan sirup citrus, lalu berdecak kagum saat melihat bartender mengocok shaker.
Setelah itu, kami berpindah ke ruang kosong di lantai dansa. Di bagian dalam, ada DJ booth tempat seorang pria berambut hitam membentangkan tangannya, membakar semangat para pengunjung.
Di depan booth itu, beberapa perempuan naik ke platform kecil, melompat-lompat mengikuti irama musik sambil mengangkat tangan. Karena ruangan penuh dan orang-orang terus bergerak, suasana di dalam menjadi panas dan sesak.
"Panas juga ya,"
Toiro mengangguk cepat.
"Aku mau taruh blazer di loker dulu."
Saat masuk tadi, kami sudah menitipkan barang dan syal di loker berkunci yang ada di pintu masuk.
Begitu aku mengulurkan tangan, Toiro pun ikut melepas blazernya dan menyerahkannya padaku. Sekilas aku melirik ke arah Nakasone, tapi dia hanya menjawab singkat tanpa mengalihkan pandangannya dari DJ booth.
"Aku nggak perlu."
Sambil melepas blazer sendiri, aku berjalan menuju loker. Begitu suara musik mulai meredup di kejauhan, aku menghela napas panjang.
Kenapa aku bisa ada di tempat ini…? Tapi, kalau dipikir-pikir, aku punya petunjuk. Waktu di toko buku, Toiro dan Nakasone sempat membicarakan sesuatu tentang DJ.
Dan sekarang, kami malah ada di sini.
Tapi kenapa mereka membawaku juga…? Aku tetap memikirkan itu sambil memasukkan blazer ke dalam loker dan menguncinya. Lalu, aku berjalan kembali ke lantai dansa. Namun, saat kembali ke tempatku tadi, aku melihat dua pria asing sudah berdiri di sana.
Salah satunya memakai celana kamuflase dan berambut spike, sementara yang lain mengenakan cardigan panjang dengan potongan rambut mash.
"Hm?"
Aku memperhatikan lebih saksama—Toiro sedang didekati.
"Kamu dari Meihoku? Sendirian?"
"Oh, kalau dari Meihoku, aku kenal senior di sana. Kamu tahu Yoshimura?"
"Ayo ke depan bareng, yuk?"
"Eh, kamu manis banget, lho. Kasih kontak dong. Boleh kan?"
Mereka terus melontarkan kata-kata tanpa memberi Toiro kesempatan menjawab. Ia hanya bisa tersenyum canggung, tampak kebingungan. Aku buru-buru mendekat.
"U-uhm… ada apa ya?"
Seandainya aku cukup berani, mungkin aku sudah bilang, Jangan sentuh pacarku! atau semacamnya. Tapi nyaliku nggak cukup besar untuk itu.
"Oh… ada pacarnya, ya?"
"Maaf ya, ganggu."
Untungnya, mereka langsung mundur tanpa membuat keributan. Aku diam-diam menghela napas lega, lalu menoleh ke Toiro.
"Kamu nggak apa-apa?"
"Astaga, aku kaget! Makasih ya, Masaichi!"
"Kamu sendirian?"
"Iya, Urara-chan ke toilet tadi."
"Oh…"
Ya, wajar saja kalau perempuan sendirian di tempat seperti ini langsung jadi target.
"Jangan jauh-jauh dari aku," ucapku tanpa sadar.
Begitu kata-kata itu keluar, aku langsung merasa malu. Apa nggak terlalu sok jago gitu? Aku menggaruk pipiku dengan canggung.
"T-tentu saja," jawab Toiro pelan.
Lalu, ia tiba-tiba mencubit sedikit bagian ujung lenganku dengan jarinya.
"Kamu nggak perlu nempel gitu juga…"
"Ini demi keamanan."
Toiro terkikik kecil.
"Kamu bakal susah gerak, tahu?"
"Oh? Jadi Masaichi-kun nggak keberatan kalau pacarnya yang imut dibawa pergi pria lain?"
"Itu…"
Tentu saja aku keberatan. Dulu, aku pasti bakal menanggapinya dengan candaan seperti, Dia cuma pacar pura-pura! atau semacamnya. Tapi sekarang, aku bahkan nggak kepikiran buat bilang begitu. Saat aku masih diam, Toiro tersenyum lebar.
"Jaga aku, ya?"
"…Iya."
Aku mengangguk, dan Toiro tampak senang. Ia mengayun-ayunkan sedikit jemarinya yang masih mencubit bajuku. Saat itu juga—
"Kalian kelihatan asik sendiri, ya."
Aku menoleh. Nakasone sudah kembali dari toilet, menatap kami dengan tatapan menyipit curiga.
"Urara-chan lama banget! Jangan tinggalkan dua pemula begini!" protes Toiro.
"Hm? Ah, iya, maaf, maaf… Tapi kalian habis ngapain?"
"Baru aja aku kena godain orang, terus Masaichi nolongin aku,"
“Hee...Heee—“
Setelah "Hee" yang terkejut, menyusul "Hee" yang terdengar tak disangka-sangka, lalu Nakasone menatap ke arahku.
"Seperti yang diharapkan dari seorang pacar. Bagus juga."
"Bukan apa-apa…"
Sungguh, aku tidak melakukan sesuatu yang layak dipuji. Malah, aku sempat merasa panik dan ketakutan. Tapi Nakasone mengangguk dengan wajah puas seolah-olah aku benar-benar melakukan sesuatu yang hebat.
"Terus seperti itu, ya. Kalau ada apa-apa, bantu dia. Tempat ini penuh dengan serigala yang berkeliaran."
"O-oh. Tapi bukankah kau juga ada di sini?"
Ini pertama kalinya aku datang ke klub. Rasanya jauh lebih nyaman kalau ada orang yang mengenal tempat ini di dekatku.
Sepertinya Toiro juga berpikiran sama, karena dia menatap Nakasone seolah meminta bantuan—tapi saat itu, lagu barat yang mengisi lantai dansa mencapai bagian akhirnya. Berbeda dari sebelumnya, musik perlahan menghilang dengan efek suara yang menggema seperti suara angin luar angkasa. Dan pada saat yang sama, suara beat rendah mulai berdentum.
Sepertinya ini waktu pergantian DJ. Pria yang sedang memainkan musik tadi melambaikan tangan ke arah penonton sambil turun dari panggung. Kemudian, seorang pria yang sudah menunggu di sisi panggung naik dengan kedua tangan terentang.
"Ah!" seru Nakasone.
Suara sorak-sorai membahana, bersamaan dengan beat yang meledak dan intro lagu up-tempo yang mulai mengalir.
"Maaf, aku mau ke sana sebentar."
Setelah berkata begitu, Nakasone meninggalkan kami dan menuju ke arah panggung.
"Tunggu—!"
Pada akhirnya, aku dan Toiro kembali hanya berdua.
Sementara aku panik, di sebelahku Toiro menatap DJ yang baru naik ke panggung dan bergumam,
"Orang itu…"
"Kau mengenalnya?"
"Ya! Sepertinya dia itu kakak kelas di tahun ketiga. Waktu festival sekolah, dia pernah jadi DJ di taman tengah, dan waktu itu, Urara-chan menatapnya sendirian terus-menerus."
"Ah, jadi dia yang itu…"
Bisa dibilang, "orang itu."
Alasan kami datang ke sini hari ini, pasti berkaitan dengan dia.
Aku menatap Nakasone yang sedang melompat-lompat mengikuti musik sambil berpikir. Kurasa, Nakasone menyukai orang itu—
Rambutnya cokelat bergelombang, tertata dengan rapi. Dari DJ booth, terlihat jelas kalau dia bertubuh tinggi. Tapi yang paling mencolok adalah wajahnya—rahang yang kecil dan tegas, hidungnya lurus, serta mata besar yang indah. Wajahnya tampak sempurna, seperti seorang idola.
Kalau orang seperti itu tidak populer, siapa lagi yang bisa populer?
Buktinya, penonton makin heboh, dan tiba-tiba saja banyak gadis berkerumun di sekitar panggung. Padahal beberapa menit lalu mereka belum ada di sana. Nakasone sepertinya benar-benar memilih jalan yang penuh tantangan.
…Lalu, alasan kami dipanggil ke sini sebenarnya apa?
Aku dan Toiro hanya bisa menyesap minuman sambil mengamati DJ itu bermain.
"Hei, mau menari?"
"Kau bisa menari?"
"Cukup pakai feeling saja, kan?"
Setelah mengatakan itu, Toiro melangkah ringan ke lantai dansa, mengangkat tangan dan bergoyang-goyang mengikuti dentuman musik elektronik.
"Hei, berhenti dengan tarian bon odori psychedelic itu."
Aku sudah melihat gerakan yang sama saat dia bermain taiko tadi.
"Hahaha!"
Mungkin merasa malu, Toiro melirik ke sekelilingnya dengan canggung sebelum segera berlari kembali ke arahku. Apa yang dia lakukan…
Saat kami masih berusaha menyesuaikan diri sebagai pemula di klub ini, dua lagu berlalu dan Nakasone akhirnya kembali ke tempat kami.
"Maaf, maaf, padahal kita datang bersama."
"Tidak apa-apa, sungguh," kata Toiro sambil menggeleng.
Mendengar itu, Nakasone tampak lega dan tersenyum.
"DJ yang sedang main itu adalah orang yang kita incar, ya?"
"Ya. Namanya Ayabe-senpai."
"Kau bukan sekadar penggemar, kan? Apa kalian saling kenal?"
"Iya. Begitulah."
"Eh? Aku baru dengar ini! Aku ingin tahu tentang kisah cinta Urara-chan lebih cepat!"
"…Bukan, dia bukan seperti itu—"
Sambil berkata begitu, Nakasone mengarahkan pandangannya ke arah Ayabe-senpai. Cahaya yang berpendar di lantai dansa berkilauan saat memantul di matanya yang menatap terpukau ke arahnya.
"Kalau boleh, aku ingin mendengarnya. Tentang Ayabe-senpai."
Mendengar perkataan Toiro, Nakasone mengangguk pelan tanpa mengalihkan pandangannya.
"…Waktu SMP, aku pindah ke sini, kan? Jujur saja, awalnya aku nggak terlalu bisa berbaur dengan orang-orang di sekitarku. Sejak bertemu Toiro, hari-hariku jadi lebih menyenangkan… Tapi, teman yang benar-benar bisa aku percaya? Teman yang bisa membuatku merasa nyaman saat bersama mereka? Itu hanya sedikit. Sekarang mungkin hanya Toiro, Kaede, dan Mayuko."
"Trio geng terkuat yang biasa, ya?"
"Iya. Jadi yah, aku cukup sering merasa bosan setelah pulang sekolah. Soalnya, kalian semua sibuk, kan? Kaede selalu lengket sama Kasukabe, Mayuko sibuk terus dengan kerja part-time, dan begitu masuk SMA, Toiro juga mulai pacaran."
"Aah, maaf ya! Aku tentu saja tetap ingin bermain sama Urara-chan!"
"Nggak, nggak perlu minta maaf. Wajar kalau kau lebih memprioritaskan pacarmu. Tapi, yah, kita tetap sering main bareng juga, kan?"
Nakasone mengusap kepala Toiro yang memeluknya erat.
"Jadi, yah, sebelum liburan musim panas, aku masih sempat main sama teman-teman dari SMP dulu yang kadang-kadang ngumpul bareng. Tapi, lama-lama aku mulai merasa bosan. Dan di saat itulah, tepat sebelum aku mulai kerja paruh waktu di warung pantai, aku bertemu dengan dia."
"Oh, jadi sebelum kerja part-time…"
Toiro mengulang perkataan Nakasone.
"Iya. Waktu itu, aku lagi di kota, terus dia nyapa aku, kayaknya sih awalnya semacam modus gitu. Tapi, karena aku juga lagi bosan, aku tetap ngobrol dengannya. Lalu, tiba-tiba kami sadar kalau ternyata kami satu sekolah. Dia kelas tiga, dan waktu itu, dia lebih terlihat santai dibanding kami yang masih kelas dua. Entah kenapa, ngobrol dengannya terasa nyaman. Lalu, waktu aku bilang kalau aku sering merasa bosan, dia bilang, ‘Aku bakal bikin harimu jadi seru.’ Dan besoknya, kami ketemu lagi. Dia yang mengenalkanku ke klub ini."
Aku hanya diam mendengarkan. Rasanya aneh kalau aku ikut menanggapi, karena Nakasone sepertinya sedang bercerita khusus untuk Toiro… Ini situasi yang cukup sulit.
"Kalau sering ke sini, aku nggak bakal merasa bosan. Aku jadi kenal banyak orang juga. Tapi lebih dari itu, aku mulai merasa senang karena aku tahu kalau aku bisa bertemu Ayabe-senpai di sini. Sejak saat itu, setiap aku bangun tidur, aku jadi lebih bersemangat."
"Wah! Itu cinta, kan?"
Toiro berseru dengan suara ceria. Nakasone menatapnya dan tersenyum tipis.
"Mungkin ini cinta… Tapi yah, ini cinta satu arah."
"Eh, serius?"
"Iya. Senpai sekarang sedang berusaha mengejar mimpinya."
Nakasone kembali mengarahkan pandangannya ke panggung.
"Mimpinya… DJ?" tanya Toiro.
"Iya. Sejak pertama kali bertemu, dia sudah bekerja keras. Dia suka dunia klub, dan dia punya tujuan untuk membuat semua orang yang datang merasa bahagia. Setelah aku tahu itu, aku mengerti kenapa dia membawaku ke sini. Tapi, melihatnya berusaha keras mengejar mimpinya… aku jadi nggak bisa mengalihkan pandanganku darinya."
Mengejar mimpi, berusaha dengan tekun…
Aku tertegun saat melihat Ayabe-senpai menggerakkan pergelangan tangannya di DJ booth. Di sana, ada seseorang yang sedang berusaha menggapai sesuatu.
Aku pun mulai mengerti. Mengejar mimpi juga adalah bagian dari mengasah diri.
"Jadi, Urara-chan mendukung mimpi itu, ya?"
"Iya. Atau lebih tepatnya, aku nggak mau mengganggunya."
Nakasone berkata sambil menatap senpai dengan pandangan yang jauh, lalu tiba-tiba menepuk tangannya dan menoleh ke kami.
"Tapi tahu nggak? Dia bilang, aku harus tetap ada di dekatnya."
"Eh, tunggu, maksudnya!?"
"Iya! Waktu kami bertemu setelah klub tutup, dia bilang, ‘Aku ingin kau tetap di sampingku dan melihat bagaimana aku meraih mimpiku.’"
"Wah! Itu sih menang, menang telak!"
Toiro menjerit kecil, "Kyaa!", lalu menggenggam tangan Nakasone. Nakasone juga tersenyum senang dan membalas genggaman itu, hingga keduanya membentuk pose seolah-olah saling mengaitkan tangan di depan tubuh mereka.
"Jadi yah, kurang lebih seperti itu ceritanya."
"Begitu, begitu. Aku baru dengar cerita yang luar biasa ini. Serius, ini semua pertama kali kudengar! Kenapa kau nggak pernah cerita?"
"Hmm… Gimana ya. Rasanya ceritaku ini bahkan belum bisa disebut kisah cinta, belum sampai ‘ko’-nya ‘koi bana’ (kisah cinta). Kami cuma sesekali bertemu di klub, nggak seperti kalian yang sering jalan bareng, terus ada perkembangan hubungan yang bikin jantung berdebar… Aku nggak punya cerita semenarik itu."
"Eh, tetap saja, aku ingin mendengarnya!"
"Terima kasih… Tapi, aku itu selalu mengagumimu, Toiro. Aku ingin suatu hari nanti bisa menjalani waktu yang berharga bersama seseorang yang penting bagiku, seperti kau dan Mazono."
"Wah, Urara-chan, kau tiba-tiba ngomong sesuatu yang bikin malu!"
Serius, bahkan aku jadi ikut merasa gugup.
"Tapi tapi, karena aku sudah mendengar ini, aku ingin tahu juga perkembangannya ke depan! Ceritakan lagi nanti di sekolah, ya!"
"Iya. Aku pasti cerita."
"Janji!"
Sepertinya, cerita tentang awal pertemuan Nakasone dan Ayabe-senpai sudah selesai. Percakapan mereka pun mulai menuju penutupan.
Akhirnya, aku merasa mendapat kesempatan untuk menyela.
"Ah, jadi, alasan kita dipanggil ke sini itu…?"
Nakasone menatapku, lalu beralih ke Toiro. Tiba-tiba, matanya membesar seolah baru teringat sesuatu.
Hei, jangan bilang dia terlalu tenggelam dalam kisah cintanya sampai lupa tujuan utama!
"Oh, iya! Jadi, salah satunya, aku memang ingin bercerita tentang senpai ke Toiro. Tapi ada satu lagi yang ingin aku minta tolong…"
"Oke! Kalau aku bisa membantu, bilang saja!"
"Serius, aku sangat menghargainya… Jadi begini, setelah senpai selesai tampil nanti, aku berencana meminta staf yang kukenal untuk membiarkan kita masuk ke ruang ganti. Nah, aku ingin Toiro berpura-pura sebagai penggemar dan mencari kesempatan untuk bertanya pada senpai—tanpa aku di sana—tentang apa yang dia inginkan untuk Natal."
"Oh! Ini semacam kejutan!"
"Iya! Aku ingin membuatnya terkejut, tapi aku benar-benar nggak tahu harus memberikan apa… Dia sepertinya cuma tertarik pada musik."
"Oh, jadi itu alasan kenapa kau kemarin di toko buku sibuk melihat majalah musik?"
"Iya, tepat sekali… Aku mencoba mencari ide hadiah yang bagus."
Nakasone mengerutkan alisnya dengan ekspresi sedikit kesulitan.
"Hmm, baiklah, aku mengerti! Serahkan padaku!" kata Toiro sambil menepuk dadanya dengan penuh percaya diri.
"Terima kasih, Toiro. Aku benar-benar berterima kasih padamu."
Nakasone membuat gestur seperti sedang berdoa, sementara Toiro tertawa. Pemandangan ini sering kulihat di kelas—mereka memang pasangan sahabat yang akrab.
Malam ini, aku diajak ke klub ini, dan banyak hal yang akhirnya terungkap. Kisah cinta Nakasone, kegelisahannya saat ini… Dan setelah mendengar semuanya, aku mulai berpikir.
—Kayaknya aku nggak ada gunanya ikut ke sini, ya…?
*
"Hmm, kalau dibilang yang paling aku mau… rasanya sih baju, ya. Soalnya, uang hasil kerja part-time lebih banyak kupakai buat peralatan DJ dan persiapan lagu, jadi urusan fashion agak terabaikan. Tapi ya, sebenarnya, perhatian saja sudah cukup, kok. Ini sudah yang terbaik. Makasih!"
—Begitulah informasi yang berhasil didapat dari Ayabe-senpai, yang kini disampaikan oleh Toiro kepada Nakasone dengan suara tiruan yang sangat mirip.
"Wah, ini benar-benar terdengar seperti Senpai."
Nakasone mendengarkan dengan ekspresi terkejut, seolah baru saja mendapatkan pencerahan.
"Baju, ya… Aku sama sekali nggak kepikiran itu…"
Dia menundukkan pandangan, mencubit dagunya dengan jari, tampak berpikir keras. Setelah beberapa saat dalam posisi itu, tiba-tiba dia mengangkat wajah dan menatap kami.
"Ah, maaf, maaf. Terima kasih banyak untuk hari ini! Serius, kalian benar-benar membantuku. Kalau sendirian, aku nggak bakal kepikiran. Aku pasti bakal terus-terusan ngebolak-balik majalah musik tanpa hasil."
"Nggak masalah, yang penting sekarang kamu sudah tahu. Sekarang tinggal usaha pilih bajunya, ya!"
"Itu gampang! Begitu kupikirkan sebentar, ada banyak outfit yang ingin kulihat dia pakai. Malah bisa dibilang ini keberuntungan!"
"Kalau begitu, aku ikut lega."
Mereka berdua tertawa dan bertepuk tangan dalam high five. Dengan ini, quest darurat yang diberikan Nakasone akhirnya terselesaikan dengan sukses.
Dalam perjalanan pulang.
Setelah berpisah dengan Nakasone, yang memutuskan untuk tetap menunggu Senpai, aku dan Toiro berjalan berdua melewati kompleks perumahan yang sudah gelap.
Di halaman sebuah rumah yang kami lewati, ada pot pohon Goldcrest yang dihiasi lampu-lampu berwarna-warni, berkedip terang dalam kegelapan malam. Melihat itu, Toiro berkomentar tanpa sadar.
"Oh, sudah mau Natal, ya…"
—Ini dia, kesempatan yang kutunggu!
Sudah sejak tadi aku mencari waktu yang pas, dan ini adalah momen terbaik. Aku menelan ludah, berusaha menenangkan diri. Langkah pertama menuju hari spesial yang bisa kuhabiskan bersama Toiro.
"Ah… ngomong-ngomong, Toiro, tanggal 24 atau 25 nanti kamu ada waktu senggang?"
Begitu aku bertanya, Toiro langsung menoleh ke arahku dengan ekspresi terkejut.
"Hmm… Hmm! Tentu saja aku kosong!"
"Bagus. Kalau begitu, aku—"
"Aku nggak sabar!"
"Aku belum selesai ngomong, tahu…?"
24 Desember, malam Natal.
Aku akhirnya berhasil mengajak Toiro.
Masih ada banyak hal yang harus kupersiapkan sebelum hari itu tiba. Tapi apa pun yang terjadi, aku harus memastikan semuanya berjalan dengan baik. Dalam hati, aku berjanji pada diri sendiri untuk melakukan yang terbaik.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.