Chapter 1
Pertemuan Sang Dewi Dengan Grup D
Jika dihadapkan pada pertanyaan “Apa kenangan masa muda kalian?”, apa yang akan dijawab oleh kebanyakan orang?
Cinta?
Prestasi akademik?
Atau mungkin waktu yang dihabiskan dengan sahabat dekat?
Ya, sebagian besar orang mungkin akan menjawab hal-hal klise semacam itu. Tetapi, jawabanku tidak termasuk dalam jawaban umum tersebut.
Cinta... Usia = Masa tidak punya pacar, apakah ada yang salah?
Prestasi akademik... Aku bekerja paruh waktu setiap hari dan hampir tidak naik kelas sejak awal masa SMA?
Sahabat dekat... Ngomong-ngomong, apa itu teman?
Yah, seperti itulah situasiku.
Terutama cinta, hal seperti itu mustahil bagiku. Hubungan tidak pasti dan merepotkan yang didasarkan pada janji... Aku benar-benar tidak menginginkannya.
Ini bukan karena iri, ini adalah apa yang aku rasakan sebenarnya. Perasaan yang jujur.
Jika aku harus menjawab pertanyaan tadi... Jika terpaksa, jawabanku adalah “Masa mudaku adalah bekerja paruh waktu”.
Karena aku tidak menghabiskan waktuku untuk hal lain... Karena itu, tentu saja aku tidak ikut kegiatan seperti ekstrakurikuler yang seharusnya memberikan kenangan masa muda. Yah, aku juga tidak tertarik sih.
Rutinitas harianku adalah pergi bekerja paruh waktu dari pukul 5 sore setelah pulang sekolah. Di hari Sabtu dan Minggu, aku bekerja dari pukul 9 pagi hingga 6 sore... Demikianlah kehidupanku yang berputar terus. Itulah rutinitas tidak berubah dari Tokiwagi Towa. Tetapi,
“Ah, aku melakukan kesalahan hari ini.”
Sambil menunggu lampu merah, aku mendongak ke langit.
Sinar matahari awal musim panas sangat menyilaukan, seolah berusaha mengeringkan dan mengering-keringkanku.
“Haah...”
Aku menghela napas panjang, menghapus keringat yang merembes dengan tanganku.
Ah, ini sia-sia. Hari ini adalah hari terakhir ujian semester, jadi seharusnya aku pulang cepat... Tapi aku lupa memberi tahu kalau aku akan masuk kerja lebih awal. Aku menyesal karena telah mengirimkan jadwal kerjaku dengan sembarangan.
Lampu berubah hijau, aku mengayuh sepedaku perlahan. Mungkin karena sepedanya sudah tua, bunyi logam yang bergesekan terdengar cukup berisik “kiiit kiit”.
Aku menyukai pekerjaanku paruh waktu. Meskipun terkadang tidak masuk akal, tapi aku tetap merasa senang bekerja. Selama aku menghabiskan waktu, aku akan mendapatkan hasil. Aku tidak akan mendapatkan nol dari pekerjaan.
Ah, lebih tepatnya bukan hasil, melainkan imbalan yang setara dengan pekerjaanku – dengan kata lain, hubungan yang saling menguntungkan.
Tapi hubungan kering yang hanya terkait uang justru terasa nyaman bagiku.
Beberapa orang mungkin akan berkata, “Bukannya lebih baik kamu bermain dengan teman-temanmu?” atau “Sayang sekali kamu cuman bekerja paruh waktu dan tidak menikmati masa mudamu.”
Kalau ada yang mengatakan hal seperti itu, aku ingin menjawab “Dasar bodoh!”
Sejak awal, gaya hidup yang kelihatan seperti pelajar hanyalah milik orang-orang dengan status sosial tinggi. Hanya mereka yang bisa menikmati kehidupan dengan riang dan gemerlap setiap harinya.
Orang sepertiku yang berada di kasta sekolah paling bawah, grup C atau D, tidak akan pernah bisa merasakan kehidupan seperti itu.
Tapi bukan berarti aku iri dengan mereka. Aku sama sekali tidak ingin menjadi orang populer seperti yang di impi-impikan masyarakat umum.
Meski begitu, mungkin ada juga beberapa orang introvert yang tetap berusaha keras untuk mencapai posisi itu, dengan tatapan iri kepada mereka yang populer. Aku ingin mengatakan satu hal kepada orang-orang seperti itu:
Menyerahlah.
Itu saja.
Rumput tetangga hanya terlihat lebih hijau, pada akhirnya itu hanya angan-angan kosong. Kita harus puas dengan keadaan kita saat ini.
Ngomong-ngomong, aku puas dengan keadaanku sekarang. Karena itu, tentu saja aku tidak memiliki keinginan untuk naik ke kasta sekolah yang lebih tinggi.
Yah, walaupun mustahil terjadi, tapi seandainya aku masuk ke kelompok A, aku tetap akan memilih kehidupanku yang sekarang.
Aku tidak ingin menjalani kehidupan merepotkan yang harus selalu berhati-hati seperti itu. Ya, ya.
“......Huh?”
Merasakan kejanggalan yang tiba-tiba muncul, aku menoleh dan turun dari sepeda. Seharusnya ini taman sepi yang membosankan seperti biasanya... tapi ada yang berbeda.
Aku melangkah maju perlahan untuk memastikannya. Dan semakin dekat, kejanggalan itu berubah menjadi keyakinan.
“......Wakamiya Rin”
Kulitnya putih bersih, wajahnya begitu sempurna seperti boneka. Rambut pirang panjangnya terurai hingga pinggang, dibelai angin dan berkilau. Sinar matahari yang menembus celah dedaunan menyinarinya di bangku taman, seperti lampu sorot.
Benar-benar mirip sosok ilahi...
Melihat keberadaannya yang gemilang, wajahku langsung tertekuk.
Kenapa makhluk riajuu tingkat dewa itu ada di sini...?
(Tln : "realjuu" (リア充, riajū) adalah slang dalam bahasa Jepang yang digunakan untuk merujuk pada seseorang yang menjalani kehidupan yang memuaskan)
Wakamiya Rin adalah siswi di sekolah yang sama denganku.
Tapi kelas kami berbeda, jadi kami belum pernah bicara sejak masuk sekolah. Satu-satunya kesempatan untuk berbicara dengannya hanyalah saat berpapasan di koridor. Tapi tentu saja aku tidak akan menyapanya duluan, jadi dia pasti tidak mengenalku.
Ah lagipula aku kan Cuma murid introvert yang menyatu dengan lingkungan sekitar, mungkin dia bahkan tidak sadar saat berpapasan denganku.
Tapi aku mengenalnya.
Karena Wakamiya Rin adalah selebriti super terkenal yang diketahui semua orang di sekolah.
Saat upacara penerimaan murid baru, dia berdiri di atas panggung sebagai perwakilan murid baru karena nilai ujiannya sempurna.
Lalu saat bergabung dengan klub olahraga, dia direkrut oleh berbagai klub ekstrakurikuler lain.
Apalagi dengan penampilannya yang menawan dan menggemaskan itu... Dia benar-benar dimanja oleh Tuhan! Semua kelebihan ada padanya.
Berprestasi di bidang akademik dan olahraga.
Rupawan.
Cerdas dan cantik.
Semua pujian itu akan terdengar masuk akal jika ditujukan kepadanya.
Wakamiya Rin adalah riajuu tingkat akhir yang berbeda denganku... Tidak, dia mungkin eksistensi cemerlang di puncak tanpa tandingan.
Dewi di antara para riajuu, sang Riakami.
(Tln : “Riakami” (Real Kami) mungkin bisa di artiin “Dewi di dunia nyata”)
Kenapa selebriti seperti dia ada di tempat sepi begini, jauh dari sekolah...?
Ah, bukan urusanku sih. Dimensi kami terlalu berbeda.
Aku menghela nafas, lalu lewat di depannya—
[Guuuu....]
Aku seperti mendengar suara memelas saat melewatinya. Mungkin hanya khayalanku?
[Guuuuuu.....]
“Hahh.....”
Kali ini terdengar desahan dari sang Riakami. Itu pasti bukan khayalan.
“Kenapa aku bisa melupakannya ya...?”
Lebih baik aku abaikan saja dan pergi. Anggap tidak mendengar apapun. Tapi manusia itu makhluk aneh, sekali penasaran, rasa ingin tahu akan terus mengganggu pikiranmu.
“Ahhh sial! Ya sudahlah...” Aku mengumpat dalam hati.
Aku mengambil makanan yang kubeli di tempat kerjaku dan menyodorkannya ke depan Wakamiya.
“Apa ini...?”
“Kamu bisa lihat sendiri, kan? Ini kentang goreng.”
Wakamiya melirikku sekilas lalu berkata datar, “Tidak usah.”
Ini memang situasi menyedihkan, tapi responnya wajar. Pria asing yang tidak dikenalnya tiba-tiba menawarkan makanan. Sudah sewajarnya jika dia merasa curiga.
“Jangan-jangan ada maksud terselubung?”
“Mungkin kentang ini beracun?” Jika dia berpikiran seperti itu, aku tidak heran.
Dia menatapku dengan pandangan aneh. Tapi setidaknya dia tidak menunjukkan ketidak nyamanan secara terang-terangan, itu sikap yang dewasa.
Mungkin dia sudah terbiasa menghadapi kejadian seperti ini...? Ah, sepertinya ini memang hal biasa bagi seorang dewi riajuu cantik sepertinya.
Aku meletakkan bungkusan kentang goreng di samping tempat Wakamiya duduk.
Lalu, seperti mencium aroma lezat, perut [Wakamiya] berbunyi “guuuu” lagi. Sungguh perut yang jujur.
Wajah Wakamiya memerah, dengan tergesa ia menekan perutnya dan menunduk. Melihat ekspresi menggemaskannya, aku tak dapat menahan senyum masam.
“Biar kukatakan ini dulu, kamu tidak perlu berterima kasih. Aku cuman pengen membantumu sedikit, tidak mau pura-pura tidak melihat. Lagian, ini cuman makanan yang bakalan aku buang... Kebetulan doang... Ya, kebetulan aku mendapatkannya, jadi tidak perlu dipikirkan.”
“Kebetulan...gitu?”
“Ya.”
“Tapi kentangnya masih hangat?”
“Ya, kebetulan yang bagus kan. Sudah, makanlah. Kalau tidak mau, tolong buang aja. Oke, aku pergi dulu.”
“Anu!”
Mengabaikan panggilannya di belakang, aku bergegas pergi dari sana.
Dari awal, kami hidup di dunia yang berbeda.
Tidak ada gunanya terlibat lebih jauh, dan sepertinya tidak akan ada kesempatan lain.
Tapi ya, sekali-kali menolong orang lain juga tidak masalah.
Saat itu, aku hanya menganggap ini sebatas itu saja.
Ya, sebatas itu saja.
◇◇◇
“Kerja bagus untuk hari ini,” gumamku sambil berganti pakaian di ruang ganti setelah kerja paruh waktu.
Dari tubuh dan seragam kerjaku menguar bau minyak khas yang menusuk hidung.
Aku bekerja paruh waktu di salah satu restoran cepat saji biasa. Gajinya memang tidak terlalu tinggi, tapi salah satu keuntungannya adalah mereka mempekerjakan pelajar SMA dengan mudah. Aku tidak ingin melewati banyak wawancara kerja...
“Ayo, pulang...”
Aku memasukkan seragamku ke dalam ransel dan bersiap pulang, lalu membuka pintu belakang.
Yang menyambutku di luar bukan lagi pemandangan sepi yang biasa kulihat, melainkan sesuatu yang berwarna-warni dan gemerlap.
“Aku sudah menunggumu, Tokiwagi-san.”
“...........”
Aku membeku, tidak percaya dengan situasi di depan mataku dan membiarkan mulutku menganga lebar.
Jika ini sekedar menunggu untuk idola, aku bisa mengerti. Tapi dari ucapannya, dia sepertinya menungguku.
Jujur saja, aku ingin bertanya “Apa yang kamu lakukan...?”
Aku sama sekali tidak menyangka akan mengalami situasi ‘ditunggu’ yang tidak pernah kubayangkan akan kualami seumur hidup.
Ternyata ditungguin itu cukup menakutkan.
Seseorang sudah ada di sana begitu membuka pintu, rasanya lumayan mengejutkan.
“Umm, kamu Tokiwagi-san kan? Dari kelas 1-D...”
“Salah orang. Sampai jumpa.”
Meski terkejut dia mengetahui namaku, aku berusaha tidak memperlihatkannya dan berniat melewatinya—
“Kurasa sikapmu itu keterlaluan.”
Tangannya yang putih seperti ikan mendarat di lenganku. Saat aku menoleh, matanya menatapku lurus seolah berkata “Aku tidak akan membiarkanmu pergi!”
Tidak ada pilihan lain...
Aku menghela napas dan menghadap ke arah Wakamiya.
“Kayaknya sekarang kamu sudah mau dengerin aku.”
“Ya, karena kayaknya seseorang tidak akan ngebiarin aku pergi.”
“Syukurlah kamu mengerti.”
“Jadi, ada apa?”
Mungkin sikapku dingin dan datar pada sang dewi cantik ini.
Tapi aku tidak punya pilihan lain.
Aku hampir tidak bisa berdiri di depanmu karena perbedaan aura...
Aku belum pernah melihat ini sebelumnya, tapi...
Ya, Riakami itu mengerikan... Benar-benar sangat imut.
Sejujurnya, sulit untuk melihatnya secara langsung...
"Sebelum itu, bolehkah aku menanyakan namamu lagi? Tadi aku memanggilmu dengan namamu, tapi menurutku tidak sopan jika aku salah menyebut namamu."
Sama seperti saat kami bertemu di sore hari, sebuah suara datar dan tanpa nada terdengar di telingaku.
“Kalau gitu, boleh aku tahu namamu?”
“Tanaka Taro.”
Tentu saja itu nama samaran.
Dalam pikiranku muncul pertanyaan “Kenapa dia ingin tahu namaku?”. Memikirkannya membuatku sedikit merinding.
Jangan-jangan dia ingin menuntutku karena kentang goreng yang kuberikan basi?
Atau tatapanku ke arahnya dianggap pelecehan seksual?
Hanya itu alasan yang terpikir olehku.
Yah, keduanya memang dugaan yang tidak mengenakkan.
“Itu bohong kan.”
Nama samaranku yang dibuat sembarangan langsung disangkal dengan ringan. Seharusnya aku membuat nama samaran yang lebih meyakinkan...
“Menyebut nama orang lain itu bohong, sungguh tidak sopan.”
“Aku percaya diri dengan ingatanku. Aku mengingat semuanya sejak upacara penerimaan siswa baru.”
“......Kamu mengingat semuanya dari kesempatan singkat itu saja?”
Satu-satunya kesempatan Wakamiya melihat seluruh angkatan hanyalah saat pidato perwakilan murid baru...
Kalau dipikir-pikir... Pantas saja dia disebut Riadewa, daya ingatnya memang benar-benar mengerikan.
“Ya, aku bersyukur ada kesempatan itu. Tapi aku juga manusia biasa, jadi wajar kalau aku melakukan kesalahan. Makanya aku pengen memastikan......Dan ternyata memang tidak salah.”
“Tidak, kamu pasti salah orang. Mungkin kita bahkan beda angkatan.”
Aku mengalihkan pandangan.
Aku tidak bisa membohonginya jika menatap matanya yang indah.
Tidak, lebih tepatnya aku merasa dia bisa membaca kebohonganku.
“Hanya orang yang terlibat atau yang menyaksikan aku di atas panggung yang akan menyebut ‘kesempatan singkat itu’. Artinya tidak diragukan lagi bahwa kita seangkatan. Oh iya, tidak ada siswa bernama ‘Tanaka Taro’ di angkatan kita.”
“Ah......”
“Memang kesempatan lain untuk mengetahui nama adalah dari daftar siswa atau tanda tangan siswa baru, tapi itu tidak akan di sebut sebagai ‘kesempatan singkat itu’. Lagian kalau dari daftar saja kita tidak tahu wajahnya.”
“Aku mengerti... Jadi kamu berhasil menangkap kebohonganku dari kata-kataku sendiri ya.”
“Fufufu. Begitulah. Jadi, kamu mengakui kalau kamu Tokiwagi-san?”
“Iya iya, aku Tokiwagi dari grup D rendahan~”
Aku mengangkat kedua tangan, memberi gestur menyerah. Rasanya benar-benar kalah telak...
“Grup D rendahan? Memang benar kamu di kelas D, tapi menyebutnya ‘grup D rendahan’ itu kurang tepat. Kan ada kemungkinan pindah kelas.”
“Ah, itu cuman kiasan. Bagi Riadewa yang serba bisa sepertimu, itu bukan masalah besar.”
“Begitu kah? Oh iya, sebelumnya aku tidak suka dipanggil Riaiami. Tolong panggil aku dengan nama asliku aja.”
“Ah, maaf. Wakamiya-san...”
Tapi rasanya panggilan Riakami memang cocok untuknya.
Dia serba bisa, selalu menjadi pusat perhatian... Lalu apa lagi julukan yang cook selain Riakami?
“Memang ada orang lain yang memanggilku begitu, tapi semua itu berkat hasil usahaku. Tidak ada yang bisa melakukan segala hal tanpa usaha... Tapi dalam hal usaha, aku memang termasuk orang yang ‘benar-benar’ aktif dan bersemangat.”
“Gitu ya.”
Kata-kata Wakamiya tadi di luar dugaanku.
Kupikir dia akan merendah seperti “Ah tidak, bukan begitu.”
Bagi orang yang sepertinya memiliki segalanya, menyanggah dengan “Tidak, itu tidak benar” terdengar tidak meyakinkan.
Bagi orang yang tidak memiliki apa-apa seperti aku, itu terdengar seperti mengejek.
Dengan mengatakan itu, dia seperti mengolok-olok keberadaanku.
Tapi Wakamiya dengan tegas menyebutnya “hasil usaha”, membuatku berpikir “Hebat juga ya”. Mungkin ada perjuangan yang tidak bisa kubayangkan di baliknya.
Tapi bilang “benar-benar aktif dan bersemangat dalam berusaha” itu lucu juga ya.
Aku tersenyum masam sambil menatap wajah Wakamiya.
Wajahnya yang rapi dan cantik, aku merasa malu hanya dengan bertatapan dengannya.
“Jadi, gimana kalau kita langsung bahas ke intinya aja. Sebenarnya ada keperluan apa kamu mencariku?”
“Baiklah, untuk mengatakannya secara langsung—aku ingin membalas kebaikanmu.”
Di kota yang sunyi malam itu.
Suaranya yang jernih bergema di gang sempit yang sepi itu.
“Ingin membalas kebaikan”. Dari kalimatnya, aku bisa merasakan tekadnya.
Matanya menatapku lekat, seolah berkata “Aku tidak akan melewatkan satu gerak gerikpun”.
Matanya yang besar terasa seperti bisa menelanku. Tatapannya membuatku terjerat.
Ditatap dengan sorot mata seperti itu, aku merasa hatiku tergerak.
Namun...
“Tidak, tidak perlu.”
Aku berusaha setenang mungkin. Melihat sikapku, Wakamiya sedikit cemberut dan dengan nada tidak puas berkata, “Tapi aku perlu.”
“Benarkah?”
“Ya. Kebaikan yang diterima harus dibalas. Bikannya itu hal yang wajar?”
“Hmm. Yah, aku mengerti maksudmu.”
Aku mengambil ponselku dan memeriksa waktu.
Sudah lewat dari pukul 22:30.
“Untuk saat ini, gimana kalau kita bicara sambil berjalan aja. Rasanya aneh kalau kita bicara di sini...”
“Kenapa begitu?”
“Coba lihat situasi ini secara objektif...”
Gang yang remang.
Laki-laki dan perempuan yang berhadapan.
Dan waktu sudah malam.
--Pemandangan ini terlihat tidak baik dari sudut pandang apa pun.
Menyadari hal itu, wajah Wakamiya memerah. Kupingnya pun memerah.
“Jadi, kalau dilihat dari luar, ini bisa disalahartikan kan? Itu pasti merepotkanmu juga, Wakamiya-san. Jadi, gimana kalau kita ganti lokasi aj? Lagian sudah malam, mendingan kita bicara sambil jalan pulang aja.”
“Sambil jalan pulang? Tidak perlu mengantarku, aku bisa pulang sendiri.”
Aku tidak merasakan aura waspada atau sinisnya. Dia hanya diam-diam mengamati niatku. Seperti itulah sikapnya.
...Dia memang berhati-hati ya. Tapi,
“Tapi Wakamiya-san, ini sudah cukup malam, berbahaya kalau kamu sendirian kan? Ah iya, sebelum itu, menungguku di tempat sepi seperti ini sampai selarut ini juga tindakan yang cukup berisiko lho...”
“Ukh... A-Aku lupa soal itu... Ini benar-benar kelalaianku...”
“Hahh. Setidaknya hubungi orang tuamu dulu, mereka pasti khawatir.”
“Baik. Aku akan menghubungi mereka.”
Wakamiya mengeluarkan ponselnya dan menghubungi orang tuanya.
Saat dia mulai bicara di telepon, aku sedikit menjauh agar tidak mendengar percakapannya.
Tubuhnya sesekali bergetar... Mungkin dia sedang dimarahi.
“Aku dimarahi...”
“Sudah jelas. Eh, ternyata kamu juga bisa ceroboh ya.”
“Err... Ya..., aku sering di bilang gitu...”
“Ah, maaf.”
Melihat Wakamiya yang tertunduk lesu, aku merasa tidak enak hati. Sikapnya yang tegap dan anggun tadi sudah lenyap tak berbekas.
“...Jadi, ayo kita jalan. Ah, beri tahu aja kalau sudah dekat rumahmu. Aku akan mengantarmu sampai sana.”
Aku tidak mau disangka pria penguntit yang ingin tahu di mana rumahnya.
Makanya aku bilang “sampai dekat rumahmu”. Dengan begitu, Wakamiya mungkin akan merasa sedikit lega.
Pasti berat baginya harus bersama orang yang hampir tidak dikenalnya.
“Tapi aku tidak bisa minta kamu mengantarku sejauh itu. Jaraknya juga cukup jauh dari sini...”
“Terud, kamu berencana pulang dengan cara apa?”
“...Jalan kaki.”
Wakamiya menjawab dengan nada menyesal.
Dari ekspresinya, sepertinya dia benar-benar merasa menyesal.
“Pulang dengan berjalan kaki”. Jika Wakamiya mengatakannya, siapa pun pasti akan menawarkan untuk mengantarnya.
Mungkin karena dia tahu itu, makanya sikapnya jadi canggung.
“Kalau gitu, semakin malam akan semakin merepotkan... Ayo kita berangkat sekarang.”
“Baik...”
Wakamiya mengikutiku dari belakang dengan rasa bersalah.
Jarak kami memang agak jauh, tapi inilah jarak yang wajar untuk orang yang bahkan belum bisa disebut teman.
Dengan petunjuk dari Wakamiya seperti “Belokan kanan selanjutnya” atau “Belokan ke kiri”, kami berjalan untuk beberapa saat.
Lalu tepat di dekat apartemen baru yang baru dibangun musim semi ini, langkah Wakamiya terhenti.
“...Sampai di sini aja tidak apa-apa. Apartemenku ada di dekat sana.”
“Begitu.”
Wakamiya menunjuk ke arah apartemen tingkat tinggi yang baru dibangun itu.
Ah, sebenarnya dia tidak perlu menyebutkan itu adalah apartemennya.
Padahal ini pertama kalinya kami bicara, tapi dia sama sekali tidak waspada...agak terlalu ceroboh.
Tapi, ternyata rumahnya tidak begitu jauh ya.
Ngomong-ngomong, rumahku adalah apartemen bobrok sedikit lebih jauh dari sini, di mana aku tinggal berdua dengan ayahku yang jarang pulang.
Dibandingkan dengan apartemen mewah itu, perbedaan tingkat kehidupan kami seperti bulan dan kotoran anjing...
“Sekali lagi, aku benar-benar berterima kasih untuk hari ini...”
“Ah sudahlah, tidak usah dipikirkan. Kalau aku membiarkanmu kayak tadi, justru aku yang akan merasa tidak enak. Makanya aku melakukannya.”
“Meski begitu, terima kasih banyak.”
Suaranya yang jernih dan indah. Tapi hari ini mungkin terakhir kalinya aku mendengarnya. Dimulai dan berakhir hari ini.
Kalau dipikir-pikir, rasanya agak disayangkan...
“Sekali lagi, izinkan aku berterima ka—“
“Tidak perlu.”
Aku memotong kata-katanya.
“Kalau kamu ingin membalas budi karena merasa berhutang budi, itu salah besar.”
“Eh... Sama sekali tidak seperti itu...”
Mungkin kalimatku tepat sasaran karena dia tersendat. Aku melanjutkan,
“Tidak usah khawatir. Aku sama sekali tidak menganggapnya sebagai hutang budi atau apa pun yang harus dibalas. Dan sama sekali tidak ada niat kayak ‘Mungkin saja...’. Kali ini murni karena aku ingin ikut campur. Cuman buat memuaskan diriku sendiri. Tidak lebih dan tidak kurang dari itu.”
“Begitukah...?”
“Ya, dan soal berterima kasih, aku sudah mendapatkannya lebih dari cukup, jadi tidak perlu lagi. Gimana pun, aku bisa menghabiskan waktu dengan Wakamiya-san, sang dewi sekolah yang terkenal. Bagiku yang dari kelompok rendahan, aku seharusnya membayar biaya tambahan.”
“........”
Dia menunduk sedikit, seperti bingung harus bereaksi bagaimana.
Aku memang tidak begitu mengerti niat sebenarnya dia ingin membalas budi. Tapi mungkin dengan membalas budi, dia berpikir bisa menyelesaikan masalah ini.
Karena jika masih berhutang budi, dia tidak bisa bersikap semena-mena padaku.
Ini memang tergantung orangnya, tapi pasti setidaknya dia merasa sedikit tidak enak.
Mungkin sebelumnya ada orang yang memanfaatkan situasi itu untuk mendekatinya. Mengingat kecantikannya yang mencolok, itu bukan hal yang sulit dibayangkan.
Yah, itu hanya dugaanku saja...
Jadi yang bisa kulakukan adalah berkata dengan percaya diri, “Aku sudah menerima balas budi itu. Tidak perlu lagi. Malah aku sudah menerima terlalu banyak, jadi aku yang seharusnya membayar”, dan membuatnya sendiri yang memutuskan hubungan tersebut.
“Jadi gimana? Perlu membayar biaya tambahan sebagai ucapan terima kasih? Aku tidak tahu harganya, dan bulan ini aku sedang kere, jadi yang bisa kuberikan hanya uang jajan yang kumiliki sekarang.”
“Ti-tidak perlu! Aku tidak butuh itu.”
“Yah, intinya begini. Aku bisa menghabiskan waktu dengan sang dewi, dan Wakamiya-san mendapat makan gratis. Sebenarnya aku yang sudah menerima terlalu banyak... Tapi setidaknya kita bisa menganggapnya win-win. Tidak, biarkan saja begitu. Karena aku tidak bisa menggantinya.”
“Win-win ya... Umm, terima kasih...”
Wakamiya bergumam dengan nada menyesal, lalu membenarkan postur tubuhnya menghadapku.
Dia gadis yang cerdas, jadi kurasa dia mengerti maksudku.
Tapi tidak apa-apa.
Tidak apa-apa.
“Aku sangat berterima kasih padamu”
Lalu, dia membungkuk sopan seolah ingin mengucapkan terima kasih lagi.
Aku tersenyum pahit, memunggungi dia, dan berkata singkat, “Sampai jumpa.” Kemudian mulai berjalan ke arah yang berlawanan dengan apartemennya.
Jangan pernah lihat ke belakang. Palingan ini hanya hubungan untuk hari ini. Kami kebetulan mengobrol, dan kebetulan aku mengantarnya pulang. Itu saja.
Aku yakin lain kali aku akan kembali ke jadi orang asing yang hanya di ajak bicara sebentar.
Jadi aku tidak memiliki kesalahpahaman atau ekspektasi yang aneh.
Aku mengatakan hal ini pada diriku berulang kali dan pulang lebih lama dari biasanya.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.