Nee, Mou Isso Tsukiacchau? Osananajimi Chap 11 V2

Ndrii
0

Chapter 11

Aksi ala pasangan, atau mungkin hanya ungkapan hati yang sebenarnya




Cahaya bulan yang kebiruan menyelimuti pantai dengan lembut. Suara ombak yang memukul terdengar sangat tenang, sesekali angin sejuk berhembus melintasi laut, menyentuh wajah kami.


Saat ini pukul sembilan malam. Di sekeliling, hanya ada beberapa pasangan dan sekelompok anak muda, masing-masing menjaga jarak sehingga suara mereka tidak saling terdengar. Setelah menyelesaikan shift terakhir di penginapan Kurage-tei dan makan malam di sana, kami pergi ke pantai yang ada rumah pantainya untuk merayakan malam ini. Meskipun kami tidak terlalu mengenal para pegawai lain, beberapa dari mereka datang bergantian, dan sebentar lagi kami akan mulai menyalakan kembang api.


Aku duduk di dekat pintu masuk rumah pantai, menyesap teh dalam gelas kertas, sambil memperhatikan keadaan sekitar. Entah mengapa suasana ini mengingatkanku pada perkemahan sekolah di tepi laut yang dulu kuikuti. Kami berkumpul di taman dekat laut pada malam hari, berkumpul di sekitar api unggun, bermain game, dan menari bersama. Aku masih ingat semua itu.


… Iya. Saat itu, aku berada di tengah-tengah mereka, menjadi bagian dari ‘semua orang.’


Api unggun adalah acara yang cukup bersahabat bagi seseorang yang biasa sendirian seperti aku. Ada yang bisa dilakukan, ada tempat untuk berada, sehingga tidak pernah merasa canggung tanpa kegiatan. Perasaan kebersamaan yang sederhana.


Namun, perjalanan sekolah berbeda. Saat SMP, ada waktu bebas di sana.


— Itu luar biasa.


Menghabiskan waktu sendirian di acara sekolah dengan pergi ke cafe manga, menjelajahi tempat-tempat anime yang sedang populer, lalu berkaraoke sendirian. Mereka yang sudah terbiasa sendiri tidak takut sendirian, karena hidup mereka memang dijalani sendiri. Di forum-forum online, sering kulihat orang mengeluh betapa menyedihkannya waktu bebas bagi orang yang tidak punya teman… Namun, bagiku, pulang sendirian setelah sekolah, persiapan untuk festival sendirian, atau makan siang di hari perlombaan olahraga sendirian—semua itu adalah waktu yang berharga dan dapat kunikmati sendiri.


… Kalau sekolah tidak ada kegiatan seperti itu, mungkin justru akan lebih baik.


Jadi, seperti biasanya, aku memilih untuk menghabiskan waktu sendirian di tempat yang agak jauh dari kerumunan malam ini. Meskipun, dari awal aku sudah merasa seseorang akan mendekatiku.


"Capek ya, Masaichi. Ayo, di sana sebentar lagi kembang apinya mulai, lho!"


Ternyata benar, Toiro yang tampaknya sedang sangat menikmati acara ini mendekat padaku.


"Maaf, aku sedang ingin minum sendirian sekarang."


"Minumanmu cuma teh, tapi kata-katamu keren banget!"


Setelah dia mengomentari dengan nada terkejut, dia tertawa pelan dan duduk di sebelahku. Aku sedikit bergeser ke kanan untuk memberinya tempat.


"Capek juga, ya!"


"Iya, kamu juga, Toiro. Capek banget rasanya."


Kami bersulang dengan gelas kertas kami masing-masing sambil berkata seperti itu.


"Ahh! Minum jus setelah kerja selesai memang yang terbaik!" kata Toiro.


"Ah, keluar lagi gaya minum ala alkoholmu!" 


Kami tertawa, kemudian bersama-sama menatap ke arah pantai. Toiro mengenakan kaos putih dengan celana pendek kuning yang santai. Rambutnya yang biasanya diikat saat bekerja, sekarang dibiarkan terurai, dan setiap kali angin berhembus, rambutnya melambai dengan lembut.


"Suasananya mengingatkanku pada acara anak-anak dulu," kata Toiro dengan nada lembut.


"Oh, pesta kembang api itu?"


"Iya, iya! Waktu itu juga cuma kita berdua, kan."


Itu terjadi di acara anak-anak di lingkungan kami saat masih SD. Musim panas, setiap keluarga membawa kembang api sendiri dan berkumpul di balai desa untuk menikmati acara bersama. Saat itu, Toiro masih sering sakit-sakitan, jadi dia belum punya banyak teman seperti sekarang, dan aku, tentu saja, juga sendirian. Meski kami datang ke tempat ramai, akhirnya hanya kami berdua yang menikmati kembang api di sudut ruangan.


Kilauan cahaya kembang api yang seperti bintang bertebaran terlintas kembali dalam ingatanku.


“Aku ikut itu karena apa, ya? Kita biasanya nggak bakal datang ke acara begituan, kan?”


Kalau pun tiba-tiba ingin main kembang api, kami pasti bakal pilih melakukannya berdua saja di taman atau halaman rumah. Memang aku orangnya begitu, dan waktu itu Toiro juga nggak terlalu aktif.


“Oh, itu kan karena orang tua juga harus ikut membantu. Ibuku dan ibunya Masaichi pergi bareng, jadi karena aneh kalau cuma orang tua saja yang datang, akhirnya kamu juga disuruh ikut.”


“Ah, iya, aku jadi ingat.”


Kalau tidak salah, setiap orang tua membawa bahan makanan masing-masing, lalu mereka masak yakisoba dan takoyaki. Kami disuruh datang karena itu bakal jadi makan malam kami.


“Ngomong-ngomong, waktu itu kamu, kayaknya mau nangis gara-gara ada yang ngambilin camilanmu, ya?”


Tiba-tiba aku teringat kejadian itu dan bertanya pada Toiro.


“Oh, itu ya. Itu kejadian yang nggak banget, menghancurkan perasaan polos seorang anak. Mau denger detailnya?”


“Mau.”


Ini adalah misteri yang sudah lama. Waktu itu, mungkin karena Toiro hampir menangis, aku jadi nggak sempat nanya alasannya. Aku cuma sibuk mencoba menghiburnya biar dia tersenyum lagi.

“Hari itu, pas kita sampai di balai warga, ada yang bagiin camilan di pintu masuk, kan? Buat semua orang.”


“Oh, iya, iya. Aku ingat.”


“Aku waktu itu ngambil camilan banyak. Di belakang bangunan balai warga itu ada lubang di pagar, jadi aku kabur lewat situ, terus pura-pura baru datang lagi dari pintu masuk. Aku lakuin itu beberapa kali sampai ketahuan sama orang dewasa licik di sana, dan camilan yang udah kukumpulin semua diambil lagi.”


“Itu namanya kena batunya sendiri!”


Ternyata waktu itu, saat aku bingung kenapa dia sering hilang-hilangan, dia lagi sibuk begitu.


“Padahal aku udah susah payah ngumpulin banyak, lho?”


“Itu namanya curang. Bukan usaha yang sebenarnya.”


Sambil berbicara, ingatan tentang kejadian itu perlahan kembali ke benakku.


“Oh, iya, seingetku waktu itu aku coba nyenengin kamu dengan kasih camilan yang aku dapat di pintu masuk…”


“...Aku terima dengan senang hati, kok.”


Toiro menghindari tatapanku, lalu berusaha memasang wajah cemberut.


“Dasar! Balikin perasaan tulusku waktu itu! Aku khawatir banget, tahu!”


“Haha, maaf, maaf. Maafkan aku, itu cuma sisi usil Toiro kecil saja.”


Waktu itu memang aneh. Kenapa dia nggak pernah cerita alasannya meski udah aku tanyakan berulang kali. Aku kira dia nggak cerita karena mau nangis, tapi ternyata salah. Waktu itu, meskipun camilannya diambil, Toiro malah lanjut mengincar camilan yang kubawa.


Dasar anak yang mengerikan!


“Dari kecil aku memang rakus, ya.”


“Kamu sendiri yang bilang begitu.”


Nada santai Toiro membuatku tak sengaja menghela napas sambil tersenyum kecil.


Kalau dipikir-pikir, dari dulu sampai sekarang, aku selalu saja dibuat 

repot oleh tingkah laku Toiro.


Setelah itu, kami berdua terus mengobrol tentang masa lalu. Setelah cukup lama bernostalgia, obrolan kami pun perlahan terhenti.


Keheningan yang nyaman dan damai menyelimuti kami.


Di tengah keheningan itu,


“Nee, Masaichi.”


Toiro tiba-tiba berbicara dengan tenang.


“Jangan pernah melakukan hal berbahaya seperti tadi lagi, ya.”


“...Kamu ngomongin soal orang-orang tadi?”


Saat kutanya, Toiro mengangguk pelan.


“Itu, aku tadi cuma refleks aja. Tapi setelah itu, semuanya sesuai rencana, kok…”


Aku menjelaskan kepada Toiro tentang pemikiranku saat itu. Awalnya, aku maju tanpa berpikir, lalu mulai memprovokasi para pria itu dengan perhitungan yang didukung oleh Koharu-san. Sebenarnya, Koharu-san itu dulunya kakak kelas Serina yang terkenal sebagai Yankee.


… Bilang "perhitungan" terdengar keren, tapi kenyataannya, aku cuma panik dalam hati sambil berpikir, ‘Cepatlah! Cepat tolong aku!


“Wah, begitu ya. Jadi ada cerita di balik itu,” kata Toiro.


“Betul. Koharu-san, meski kelihatan lembut, dia sebenarnya orang yang cukup berbahaya.”


“Kukira dia sepenuhnya adalah kakak yang baik dan lembut. Yah, tapi kalau begitu, berarti rencananya berhasil, kan?”


Setelah berkata demikian, Toiro merenung sejenak.


“Ya, tapi tetap saja itu bahaya. Jangan dilakukan lagi, ya.”


“...Iya deh. Tapi aku juga deg-degan, tahu. Kamu tiba-tiba ikut campur begitu.”


“Yah, itu juga spontan aja…”


“Kamu juga, ya!” balasku, dan Toiro tertawa, “Yahaha!”


“Gak perlu juga melakukan gerakan layaknya pacar di saat itu,” kataku sambil mengingat kata-kata yang Toiro ucapkan waktu itu di kepalaku, “Orang itu adalah pacarku, jadi jangan meremehkannya!”


Namun, di sampingku, Toiro menggeleng pelan.


“Bukan Pura-pura sih, tapi memang perasaanku yang sebenarnya…”


“Perasaan sebenarnya?”


Saat kutanya, Toiro sedikit merunduk dengan raut wajah malu, lalu menggerakkan bibirnya yang sedikit mengerucut.


“Soalnya, aku kesal Masaichi direndahkan. Aku pikir, siapa mereka berani-beraninya begitu? Tahu-tahu saja aku udah maju.”


“Oh… makasih, ya.”


“Eh, iya… sama-sama…”


Percakapan kami jadi terasa canggung, mungkin karena kami berdua sama-sama malu.


“Oh iya, Masaichi, ternyata kamu bisa spontan maju dalam situasi kayak gitu. Aku gak nyangka, lho?”


“Nggak nyangka, ya?” sebenarnya ada alasan lain di balik aksiku itu. Hanya pada Toiro, aku ingin mengaku.


“Sebenarnya, aku terus mikirin kapan bisa menunjukkan sisi kerenku di depanmu.”


“Sisi keren?”


“Iya. Selama kerja part-time ini, aku ingin dilihat sebagai pacar yang layak oleh orang-orang. Dari hari pertama, aku kesulitan dan terus mikirin cara, pas banget situasi itu datang.”


Aku ingin memanfaatkan kesempatan apapun untuk itu, mungkin itu sebabnya aku bisa masuk di antara Mayuko dan pria berambut hitam itu secara spontan.


“Oh… terima kasih, Masaichi.”


“Ah, tapi ya, pada akhirnya, semuanya kayak diambil alih oleh dia.”


“Ah, maksudmu Sarugaya-kun, ya,” jawab Toiro.


Saat dia menyebut namanya…


“Apa ada yang memanggilku?”


Di belakang Toiro, Sarugaya tiba-tiba muncul, membuat Toiro terkejut dan merapat padaku.


“Kamu mengejutkan saja! Apa-apaan, tiba-tiba muncul begitu,” seruku sambil merasakan Toiro yang kini bersandar sedikit padaku.


“Maaf, maaf. Aku cuma dengar namaku disebut. Aku cuma mampir buat ambil ember tambahan untuk kembang api di dalam toko.”


Ternyata, dia kebetulan lewat. Padahal aku ingin tanya lebih banyak tentang insiden dengan para pria tadi, tapi Sarugaya tampaknya sedang terburu-buru.


Akhirnya, aku melontarkan satu pertanyaan yang sejak tadi mengganjal.


“Kenapa kamu baru bertindak saat itu saja terhadap pria-pria yang coba mengganggu Mayuko? Maksudku, kamu bilang mereka gak sopan, padahal kemarin dan hari sebelumnya juga banyak yang seperti itu. Bahkan yang lebih parah pernah aku lihat.”


Sarugaya memiliki keberanian dan kemampuan untuk menghadapi pria-pria seperti itu, ditambah lagi dengan rasa keadilannya. Lalu, mengapa hanya saat itu saja dia bertindak?


Sarugaya menghentikan langkahnya dan berbalik ke arahku.


“Yah, karena pria-pria itu sudah kelewatan. Sebenarnya aku bisa saja mengusir tamu yang kurang sopan kapan saja, kan? Itu yang ingin kamu tanyakan, ya?” katanya.


“Iya, benar,” aku mengangguk, dan Sarugaya menggaruk rambut di belakang kepalanya sambil berkata,


“Alasannya sederhana. Mereka tetap tamu, kan? Aku sebagai pekerja part-time ragu apakah pantas mengusir mereka. Tapi kali ini Koharu-san sudah lebih dulu bertindak, berarti pemilik toko juga tidak mentoleransi mereka. Jadi, aku juga siap bantu… meskipun terdengar sedikit pengecut, ya.”


Rupanya, di antara kami semua, Sarugaya adalah yang paling tenang mengamati situasi di dalam toko itu. Mendengar penjelasannya, aku menggelengkan kepala.


“Tidak sama sekali. Mungkin ini aneh dari aku, tapi aku jadi makin menghargaimu sebagai sesama pria.” Sarugaya tampak terkejut sejenak, lalu tersenyum lebar.


Begitu dia pergi, Mayuko tiba-tiba muncul, seakan menunggu giliran.


“Toiron dan Mazono-chi, boleh aku mengganggu sebentar?”


“Oh, tentu!” jawab Toiro dengan nada biasa saat bicara dengan teman-temannya, meskipun aku menyadari sedikit ketegangan di 

wajahnya. Dia pasti khawatir Mayuko akan mengomentari hubunganku dengannya lagi. Aku juga menelan ludah.


Namun, Mayuko tampak lebih tenang dari biasanya.


“Aku cuma mau bilang terima kasih. Kalian benar-benar menolongku tadi. Aku jadi panik dan mempermalukan diri sendiri,” kata Mayuko sambil menepuk kepalanya dengan ekspresi malu.


“Dan Mazono-chi, kamu langsung maju dan melindungiku. Sekarang aku paham kenapa Toiron memilihmu. Maaf ya, kalau aku pernah bilang hal yang gak enak… mungkin bahkan sang 'Fabulous-sama' juga punya hari-hari buruk.”


Aku dan Toiro saling pandang, seolah tidak percaya. Pada akhirnya, Mayuko tampaknya menerima hubunganku dengan Toiro. Tapi, rasanya ini terlalu mudah, kan?


Toiro juga tampak curiga, alisnya berkerut. Saat itu, Mayuko mulai celingukan ke sekeliling.


“Omong-omong, di mana Sarugaya? Rasanya dia tadi di sekitar sini. Kembang apinya sudah mau mulai.”


“Oh, Sarugaya-kun? Tadi dia pergi ke dalam toko untuk mengambil ember… Eh, Mayu-chan, kamu mau bermain kembang api bareng Sarugaya-kun?” tanya Toiro, mungkin terkejut melihat kombinasi 

yang tidak biasa ini.


Begitu mendengar pertanyaan itu, Mayuko tampak gugup dan terbata-bata, 


“Bukan, bukan! Aku cuma… ingin bilang terima kasih dengan benar, gitu. Dan dia sempat bilang aku cantik atau semacamnya… Ya, cuma itu!”


Setelah itu, dia cepat-cepat masuk ke toko seolah menghindar.


“Apa maksudnya cuma itu?” gumamku sambil melihatnya pergi.


“Wajahnya memerah tadi,” kata Toiro dengan suara pelan.


Kurasa perasaannya cukup jelas. Lalu, aku bertanya pada Toiro untuk memastikannya.


“Itu… cinta yang baru, ya?”


“Sepertinya begitu. Agak mengejutkan, sih. Tapi kalau dipikir-pikir, mungkin itu alasan kenapa dia berhenti mengusik hubungan kita. Memangnya, mana yang lebih menarik: cinta sendiri atau cinta orang lain?”


“Benar juga. Sekarang dia terlihat seakan terpesona oleh Sarugaya.”

Bagi kami, situasi ini sangat menguntungkan. Benar-benar keberuntungan. Kuharap Mayuko bisa terus bahagia dengan hubungan barunya, jadi kami tak akan lagi menjadi objek kecurigaannya.


“Meski begitu… Sarugaya dengan seorang pacar, ya… Kupikir itu mustahil. Tapi, kalau dia membantu seperti tadi, mungkin dia memang bisa membuat seseorang jatuh cinta…”


“Masih belum pasti kalau mereka akan pacaran, sih,” ujar Toiro, memotong perkataanku sambil tersenyum penuh arti padaku. 


“Tapi kamu juga keren tadi, Masaichi. Cara kamu melindungiku dengan cepat, walau sebenarnya kamu punya rencana di balik itu.”


“Serius, nih?” Rasanya bibirku ingin tersenyum, tapi aku berusaha menahannya. Jangan terlena. Lagi pula, tindakanku tidak sepenuhnya murni, aku sempat berharap akan ada yang membantuku, jadi mungkin tak layak dipuji.


Melihat reaksiku, Toiro bergumam pelan, “Justru, itu yang membuatmu menarik.”


“Hah? Maksudnya apa?” tanyaku.


“Hehe, rahasia,” jawabnya sambil tertawa kecil, lalu meregangkan tubuhnya sambil berkata, 

“Ah, akhirnya selesai juga, ya. Kerja paruh waktu ini.”

Toiro sepertinya mengalihkan pembicaraan, dan aku memilih untuk tidak menekan lebih jauh. Aku pun ikut meregangkan tubuh.


“Bagaimana? Apa kamu menikmati musim panas ini? Meski liburan musim panas sebenarnya masih ada,” tanyaku.


“Hmm, mungkin iya. Tapi sekarang aku lelah, jadi ingin pulang dan bermain game. Kami juga sebentar lagi ada rencana liburan keluarga ke rumah nenek,” jawab Toiro.


“Oh iya, aku sudah menemukan Game lama di lemari, lho—Game of Life. Kita pernah main itu dulu. Kalau nanti sudah lebih santai, ayo main lagi!”


“Wah, seru banget!”


Beberapa orang di sekitar kami mulai menyalakan kembang api tangan. Warna-warni hijau, merah, biru, dan putih menerangi sekitar kami. Untuk sementara, kami tidak bergabung, hanya menikmati cahaya yang menyala beraneka warna sambil terus mengobrol berdua.



“Patung Liberty telah didirikan di pantai!” teriak Mayuko tanpa alasan yang jelas. Saat kami mengikuti arahannya, ternyata Sarugaya hanya mengangkat beberapa kembang api tangan yang sudah dinyalakan, seperti layaknya patung Liberty.

Beberapa detik kemudian, dia berkata, “Panas! Panas!” dan buru-buru menurunkannya. Sungguh aneh.


“Oi, kamu baik-baik saja? Itu bahaya, lho,” kataku.


“Oh, bukankah ini Tuan Masaichi? Rasanya aku mulai menemukan sensasi baru, nih. Mungkin sebenarnya aku seorang masokis. Mungkin aku perlu bereksperimen lebih lanjut,” katanya.


“Batalkan kekhawatiranku, deh,” aku mendesah lelah.


Di sekitar kami, ada sekitar dua puluh staf Kurage-tei, semuanya memegang kembang api dan menikmati waktu dengan cara masing-masing. Meskipun ini pesta perpisahan untuk pekerjaan paruh waktu, kabarnya mereka sering melakukan ini seminggu sekali selama musim panas.


Toiro mulai berbicara dengan Nakasone dan Mayuko setelah bergabung denganku di dekat patung Liberty palsu. Sarugaya, yang sekarang tanpa T-shirt, kembali mencoba berpose seperti patung Liberty. Soal preferensi pribadi, aku memilih tak berkomentar lebih jauh.


Karena momen ini, aku memutuskan untuk ikut merasakan suasana musim panas dan mengambil satu kembang api, menyalakannya dari lilin terdekat.


—Belahlah kegelapan! Kilatan Api Membara!


...Kalau aku sendirian, mungkin aku akan mengucapkannya keras-keras.


Aku berjongkok sambil mengayunkan kembang api dengan tenang, menikmati suasana sederhana ini. Saat itu, tiba-tiba seseorang menepuk pundakku dari belakang.


"Masaichi-kun, boleh bicara sebentar?"


Aku menoleh dan melihat Koharu-san berdiri di sana, tersenyum lembut dengan mata sedikit menyipit. Dia mengenakan kimono aizome (biru nila) dari bahan tenunan Awa-shijira yang tampak sejuk. Sepertinya, dia sedang keluar sejenak dari tugasnya di penginapan untuk melihat para pegawai.


Saat aku berdiri, Koharu-san tersenyum lebih lebar, matanya semakin melengkung.


"Kerja paruh waktu empat hari ini, terima kasih atas kerja kerasnya. Terima kasih sudah membantu kami, dan juga sudah memperkenalkan teman-temanmu."


Dia menundukkan kepala. Melihat rambutnya yang disanggul rapi di depan mataku, entah kenapa aku refleks ikut menundukkan kepala.


"Ah, sama-sama. Malah aku yang harus berterima kasih sudah diizinkan untuk bekerja di sini. Jumlah tenaga kerja ini juga sebagian besar berkat Toiro yang mengumpulkan orang-orang, bahkan ada yang punya pengalaman di restoran. Aku senang kalau bisa membantu."


"Benar, kalian sangat membantu. Mayuko-chan luar biasa sekali, ya. Dari hari pertama sudah terlihat seperti sudah lama bekerja di sini. Yang lainnya juga cepat memahami tugasnya, membuatku berharap mereka mau bekerja di sini selamanya."


"Kalau begitu, silakan ambil saja. Kami bisa tinggal di sini," balasku bercanda, mengikuti gurauan Koharu-san.


Koharu-san menanggapi dengan mengerucutkan bibirnya sedikit. 


"Tapi Masaichi-kun juga harus ikut tinggal di sini, lho."


"Haha, ah, aku sih apa, ya."


Kupikir itu sekadar basa-basi, jadi aku tersenyum sambil merespon seadanya. Namun, Koharu-san malah menatapku dengan wajah serius.


"Tidak, sungguh, kami butuh orang seperti Masaichi-kun."


"Eh?" gumamku, bingung. Aku ini, jujur saja, merasa lebih banyak merepotkan daripada membantu. Kerjaanku seringkali lambat, kurang tenaga, dan belum bisa melayani pelanggan dengan baik.

"Masaichi-kun selama bekerja di sini, kamu aktif dan melakukan banyak hal. Aku melihat, lho. Mengisi ulang sabun di wastafel, mengganti tempat sampah di toilet, menyiapkan kain lap..."


"Yah, paling tidak hal-hal seperti itu harus kulakukan," jawabku. Karena merasa tidak banyak membantu di tempat lain, aku mencoba melakukan tugas-tugas kecil ini, sering kali menanyakan pekerjaan ke pegawai dapur.


Koharu-san tertawa pelan, tampak senang. 


"Sebelumnya, kami sering mengandalkan pekerja kontrak atau pekerja sementara. Tapi, Masaichi-kun adalah orang pertama yang secara sukarela melakukan pekerjaan-pekerjaan kecil itu."


"Serius?"


"Ya, benar. Biasanya, orang tidak mau melakukan hal-hal seperti itu. Tapi, jika ada yang bersedia bergerak melakukan tugas-tugas kecil, maka semuanya akan merasa lebih bertanggung jawab. Biasanya aku yang meminta orang untuk melakukannya, tapi Masaichi-kun sudah melakukannya sendiri. Orang yang secara sukarela membantu hal-hal kecil seperti itu sangat berharga. Kami sangat menghargainya."


Ada rasa hangat yang muncul dari dalam perut, membuat jantungku berdebar lebih cepat. Dipuji seperti ini… pikiranku jadi melayang, dan wajahku terasa panas.


"Te-terima kasih," jawabku.


"Sama-sama. Aku juga bilang pada Toiro bahwa kamu pasti akan jadi suami yang baik."


Apa yang kau lakukan, Koharu-san? Membayangkan bagaimana perasaan Toiro setelah mendengar itu, membuatku sedikit resah.


"Dan aku juga sudah mendapat izin dari Seri-chan untuk mempekerjakan Masaichi-kun di sini secara permanen."


"Hei, apa yang dia lakukan, sih?"


Apakah dia manajerku atau semacamnya? Sebelum dia mencarikan pekerjaan untuk adiknya, bukankah sebaiknya dia lulus kuliah dulu?


Koharu-san mulai bercanda, jadi aku pun mencoba mengikuti suasana obrolan ini.


"Aku juga akan menyampaikan ke Serina, ya. Koharu-san, sepertinya insting dan keterampilan lamamu masih tajam," kataku, sambil mengingat adegan saat Koharu-san memelintir lengan pria yang mencoba merayunya. Dengan gerakan singkat, dia menguasai suasana saat itu.


Namun, mendengar kata-kataku, Koharu-san tiba-tiba menundukkan 

kepala, memeganginya dengan kedua tangan, membuka matanya lebar-lebar, dan menggelengkan kepala berulang kali.


"Jangan. jangan, Masaichi-kun. Aku sudah memutuskan untuk tidak melakukan hal seperti itu lagi, tapi tubuhku malah bergerak sendiri... Jangan bilang pada Seri-chan, ya. Aku ini sudah pensiun karena ingin hidup normal."


"Baik... baiklah..." jawabku pelan. 


Sepertinya aku telah menyentuh topik yang sensitif. Koharu-san tampaknya menekan suatu sisi kekuatan luar biasa dalam dirinya, seperti tokoh yang berkata, ‘Tenanglah, tangan kananku!’ ... Tentu saja, gurauan semacam itu tidak akan cocok dengan suasana hati Koharu-san saat ini.


"Mulai sekarang, aku harus belajar menyelesaikan situasi seperti itu tanpa mengandalkan kekerasan. Latihan pengendalian diri, ya. Ini latihan pengendalian diri! Aku akan cari kuil yang bagus untuk latihan di internet. Oh, Masaichi-kun, terima kasih untuk empat hari ini. Besok, hati-hati pulang, ya."


Setelah meninggalkan pesan itu, Koharu-san melangkah pergi dengan langkah yang agak gontai. Aku membungkuk sekali lagi melihat punggungnya yang menjauh. Banyak hal terjadi, tapi aku merasa senang telah menjalani pekerjaan paruh waktu pertamaku di rumah pantai ini. Aku benar-benar berterima kasih pada Koharu-san. Apakah kami akan bertemu lagi? Mungkin tahun depan, kalau aku datang ke pantai ini lagi… semoga dia belum memutuskan untuk menjadi biksu.

Sepertinya setiap orang memang punya masalah masing-masing.


Aku melihat sekeliling. Sarugaya sedang beraksi setengah telanjang, menarik perhatian. Mayuko memandanginya dengan mata berbinar, yang bercahaya oleh pantulan kembang api, sementara Nakasone menatap mereka dengan wajah kesal.


"Toiro?"


Saat aku menoleh, Nakasone menatapku.


"Dia ke toilet di rumah pantai. Mungkin sebentar lagi dia kembali."


"Ah, oke."


Aku mendekati kerumunan yang mengelilingi Sarugaya. Jika hanya ke toilet, Toiro akan segera kembali.


Aku melirik ke arah rumah pantai yang berada sedikit jauh. Hanya ada satu lampu kecil menyala di pintu masuk, membuat suasana di sekitar itu tampak remang-remang.


...Entah kenapa, aku merasa ingin tahu apa yang dipikirkan Toiro saat berjalan di pantai sendirian.


Saat melangkah perlahan di atas pasir, terdengar bunyi berderak dari kerang kering yang retak di bawah kakiku. Kalau dicari, mungkin banyak kerang yang berserakan di sini.


――Berjalan di pantai, sambil memunguti kerang bersama pacar.


Aku berharap bisa melakukannya bersama Masaichi. Suasana itu terdengar seperti kencan pasangan kekasih. Mungkin pasangan yang baru jadian juga melakukan hal seperti itu――.


Aku meninggalkan kelompok temanku dan mengatakan bahwa aku pergi ke toilet, tapi sebenarnya aku hanya ingin berjalan-jalan sendirian di pantai malam ini.


Apa pun itu, ini adalah perjalanan kerja paruh waktu yang menyenangkan. Aku menikmati waktu bersama Urara-chan dan yang lainnya, bermain-main bersama Masaichi dengan suasana yang berbeda dari biasanya, bahkan bisa menginap di penginapan mewah. Meski melelahkan, pekerjaan ini memberi kepuasan yang berbeda dibanding hanya berada di kamar. Masalah dengan Mayuko-chan yang ada sejak awal juga sudah terselesaikan... aku sangat puas.


Namun, di sisi lain, ada perasaan tidak nyaman yang menyelimutiku.


"Hah, haaah..."


Aku berhenti sejenak, merasakan angin laut malam yang sejuk, dan 

menarik napas dalam-dalam. Meski begitu, sesuatu yang mengganjal di dadaku tidak juga menghilang.


Selama perjalanan kerja paruh waktu ini, ada satu hal yang terus menerus mengusik pikiranku.


“Apa itu ‘pasangan yang biasa, yang polos’ sebenarnya?”


Itu adalah hal yang sering kudengar. Katanya, kami tidak terlihat seperti pasangan biasa, kurang polos, dan malah seperti pasangan yang sudah lama bersama. Mendengarnya terus-menerus, aku jadi bingung sendiri, dan akhirnya semua usahaku terasa sia-sia. Aku mencoba memaksakan ‘aksi pasangan’ dengan Masaichi tanpa arah, mengiriminya pesan yang tidak biasa, bahkan melakukan hal-hal aneh yang malah berujung gagal.


Sebagai teman masa kecil, aku menyukai Masaichi. Aku sangat menyukainya. Tapi, aku tidak tahu seperti apa rasanya ‘suka’ sebagai pasangan. Setiap kali mencoba melakukan aksi pasangan, aku selalu berdiskusi dan berencana dengan Masaichi. Meski menyenangkan, kami terasa lebih seperti dua teman masa kecil yang menjalani misi bersama, bukan pasangan yang berdebar-debar.


Karena itu, aku kadang berpikir, bahkan jika kami menjadi pasangan suatu hari nanti, mungkin kami tidak akan pernah merasakan ‘seperti pasangan biasa’ yang benar-benar menikmati perasaan itu. Mungkin tak ada gunanya berpikir terlalu dalam. Meski kami tidak seperti pasangan biasa, kami sangat dekat dan senang bersama. Mungkin menginginkan perasaan pacaran yang polos itu memang berlebihan.

Namun, meski berusaha menyimpulkan bahwa kami sudah cukup seperti ini, rasa ragu itu tetap tak sepenuhnya hilang.


“Aku ingin cepat main game lagi sama Masaichi…”


Aku ingin bermain bersama tanpa berpikir terlalu banyak. Sayangnya, setelah pulang dari perjalanan ini, dua hari kemudian aku harus pergi ke rumah nenek untuk liburan keluarga. Itu berarti, aku tidak akan bisa bertemu Masichi untuk beberapa waktu.


—Malam ini adalah kesempatan terakhir.


Aku harus mempersiapkan barang-barang untuk pulang, tapi mungkin Masaichi akan mau menemani sedikit lagi setelahnya. Ini adalah malam terakhir perjalanan ini; sayang sekali jika hanya menghabiskannya dengan merenung sendiri! Dengan itu, aku mencoba mengangkat semangatku.


“Toiro!”


Suara Urara memanggil dari kejauhan, membuatku menoleh. Masaichi, yang berdiri di sampingnya, juga melambai padaku.


“Aku datang!”


Aku membalas lambaian mereka, merentangkan tanganku, lalu mulai berjalan lagi di atas pasir, mengukir jejak langkahku menuju mereka.


Esoknya, waktu yang kuhabiskan di kereta ekspres lebih banyak diisi dengan tertidur lelap, dan tahu-tahu, aku sudah sampai di stasiun kota asal. Mungkin ini gara-gara aku bermain game sampai larut malam bersama Toiro. Untungnya, aku terbangun tepat sebelum kereta tiba di stasiun yang seharusnya kami turun, itu sudah termasuk keberuntungan besar.


Aku menepuk bahu Toiro yang masih tertidur di kursi sebelahku.


“Hei, kita sudah sampai! Bangun! Kalau tidak, aku tinggal!”


“...Ugh, lima menit lagi…”


“Jangan! Lima menit itu bisa menentukan hidup dan mati!” kataku setengah bercanda. Kalau dia melewatkan stasiun ini, bisa-bisa dia bangun sendirian di stasiun berikutnya dan terlantar di ujung rute. Tentu saja, skenario seperti itu tidak akan terjadi, tapi tetap saja. Melihatnya tidur seperti di kasur rumahnya, aku akhirnya mengguncang tubuhnya untuk membangunkannya.


“Ah… oh! Pemandangan ini, aku rindu sekali!” katanya sambil menguap dan melihat keluar jendela.


“Padahal kita cuma pergi tiga hari, tapi rasanya sudah lama banget, ya.”

“Benar! Rasanya seperti kita sudah kembali ke rumah!” katanya, mulai mengemasi barang-barangnya dengan bersemangat.


“Nah, sepertinya kalian juga sudah siap,” kata Nakasone, yang selalu perhatian, memeriksa kami sebelum kereta berhenti di stasiun.


Dan begitulah, perjalanan liburan musim panas kami pun berakhir dengan selamat.















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !