Chapter
12
Akhir
musim panas dan persiapan yang dimulai
Selama beberapa bulan terakhir, hampir setiap hari aku menghabiskan waktu bersama Toiro. Jadi, begitu hari-hari menjadi sunyi seperti ini, rasanya benar-benar aneh. Bahkan ketika sedang bermain game di kamarku sendiri, suasananya terasa seolah-olah aku berada di tempat yang berbeda.
Toiro sedang liburan bersama keluarganya selama sekitar seminggu. Tapi, sebagai seseorang yang sangat percaya diri dalam menikmati waktu sendirian, aku memanfaatkan momen ini untuk menyelesaikan berbagai hal. Aku mulai merapikan koleksi kartu trade, melanjutkan RPG yang sempat tertunda karena kecanduan game lain, hingga membersihkan rak buku dan rak game. Bahkan, aku sampai terpikir untuk mengeluarkan vacuum cleaner.
Malam-malam panjang seorang otaku yang menikmati liburan musim panas sendirian terasa begitu menyenangkan. Aku berselancar di internet hingga larut malam, bermain game di ponsel, dan menonton episode anime yang tertunda selama periode kerja paruh waktu.
...Ah, musim ini penuh dengan cerita yang mulai mendekati klimaks, dan aku merasa sulit untuk meninggalkannya. Sebenarnya, serial anime yang ringan dan santai justru membuatku sangat terharu. Hanya aku, kah, yang merasa seperti ini?
Tak terasa, tiga hari telah berlalu. Ketika Toiro kembali, semester baru akan segera dimulai. Sambil duduk di atas ranjang, aku mengambil ransel yang terletak di dekatku. Di dalamnya ada uang hasil kerja paruh waktu selama empat hari yang diberikan Koharu-san. Aku memeriksa jumlahnya sekali lagi sebelum memasukkannya kembali.
Untuk satu-satunya acara yang sudah aku rencanakan pada bulan September nanti, aku mulai bersiap-siap.
Pagi itu, aku menelepon Nakasone untuk suatu urusan, namun teleponnya tidak diangkat. Baru di sore hari aku mendapatkan panggilan balik.
"Halo?"
"......"
"Eh... halo?"
"Umm... ini siapa ya?"
Suara Nakasone terdengar sangat curiga.
"Itu... ini aku, aku!"
"Penipuan?"
"Bukan!"
Oh iya, seingatku, aku memang menyimpan kontaknya hanya dengan
inisial di aplikasi pesan. Foto profilku juga masih bawaan awal, jadi masuk akal jika dia tidak tahu siapa yang menelepon.
Dengan sedikit rasa canggung, aku memperkenalkan diri.
"Ini aku, Mazono."
"......Siapa?"
"Apa-apaan sih!"
Walaupun aku mungkin bukan orang yang menonjol, tapi masak dia sudah lupa siapa aku padahal kami baru saja bertemu minggu lalu?
Sepertinya omelanku berpengaruh, karena Nakasone akhirnya terdengar seperti mengingat sesuatu.
"Oh, Mazono, ya. Soalnya waktu itu kita tukeran kontak agak mendadak, jadi nggak nyangka bakal beneran kamu hubungin."
"Iya, ada urusan, nih."
"Urusan? Ini soal Toiro? Maaf ya aku baru telepon balik."
Dari belakang suara Nakasone, terdengar suara bel sekolah.
“Nggak apa-apa. Kamu masih di sekolah?”
“Iya, kenapa?”
“Oh iya, kamu kan ikut klub, ya.”
“Eh, sebenarnya, hari ini aku harusnya ada kelas ta—uhuk.”
Nakasone mencoba mengalihkan dengan batuk yang terdengar jelas. Tapi aku sudah mendengar bahwa dia hampir saja mengatakan "kelas tambahan."
Sepertinya hasil ujiannya di akhir semester kemarin kurang bagus, ya…
"Makasih, lho, sudah kerja keras."
"Apa-apaan sih, jadi nyebelin. Eh, tapi, kamu kok tiba-tiba nelpon? Biasanya kan ngirim pesan dulu, baru telepon."
"Mana kutahu aturan semacam itu," gumamku, merasa kesal. Butuh keberanian besar untuk akhirnya menelepon ini. Selama sekitar tiga puluh menit, aku hanya menatap tombol panggil di layar ponsel, ragu-ragu untuk menekannya.
"...Jadi, ada urusan apa?" Suara Nakasone terdengar setelah ia menghela napas kecil.
Akhirnya, aku mulai ke inti pembicaraan.
"Tanggal sembilan September, kalian ada rencana main bareng nggak?"
Nakasone langsung merespon dengan "Oh," seolah ia sudah memahami semuanya.
"Ah, iya. Sebenarnya kita memang punya rencana main bareng. Tapi belum dipastikan juga. Mau kami undur?"
"Nggak perlu. Kalau gitu, aku rencananya bakal buat acara di malam tanggal delapan."
"Baiklah, sip!"
Itu saja sebenarnya yang ingin kubicarakan. Aku sempat berpikir untuk mengucapkan "Ya sudah" dan menutup telepon, tapi tetap menunggu sejenak, barangkali dia punya hal lain untuk dibicarakan.
"........."
"........."
Sepertinya tidak ada yang ingin ia bicarakan lebih lanjut. Tapi, karena sudah susah payah mengumpulkan keberanian buat menelepon, aku pikir mungkin tak ada salahnya mengobrol sedikit.
"Ngomong-ngomong... menurutmu, maksud dari 'kelihatan nggak seperti pasangan normal' itu apa, sih?"
"'Kelihatan nggak seperti pasangan normal,' ya? Kurasa itu artinya memang nggak terlihat seperti pasangan normal."
"Itu terlalu gamblang!"
"Yah, tapi begitu maksudnya, kan? Dalam artian baik atau buruk, ada sesuatu yang beda dari pasangan pada umumnya—mungkin ada karakteristik unik yang kalian punya."
Kata-katanya membuatku terdiam sebentar, mulutku sedikit terbuka.
"...Makasih. Sepertinya, aku mulai bisa memahami apa yang sebenarnya ingin kusampaikan."
"Baguslah. Tapi, sebaiknya kalian nggak terlalu memikirkan pandangan orang lain. Maksudku... mungkin ini lebih untuk Toiro daripada kamu."
Nakasone tertawa kecil setelah mengatakan itu.
"Kalau ada urusan lain, telepon aja, ya."
Memang sudah kutahu kalau Nakasone orang yang perhatian, tapi bahkan aku saja sampai diperhatikan olehnya seperti ini… Nakasone-san benar-benar jadi seperti sosok pelindung.
Aku mengucapkan terima kasih dan menutup telepon dengan "ibu penjagaku," Nakasone-san.
Semoga saja, dengan rencanaku kali ini, sedikit demi sedikit kekhawatiran Toiro bisa berkurang...
Pikiran itu terlintas sambil kulanjutkan persiapan untuk hari yang akan datang.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.