Nee, Mou Isso Tsukiacchau? Osananajimi Chap 1 V3

Ndrii
0

Chapter 1

Permainan Aksi Pasangan yang Menghabiskan Energi




Suatu hari saat pulang sekolah, semuanya dimulai dari ucapanku yang tanpa sengaja.


"Rasanya, kita udah cukup sering ngelakuin aksi pasangan deh."


"Apa?!"


Toiro, yang berjalan di sebelahku, langsung menoleh ke arahku. Bulan Oktober sudah tiba, dan mulai hari ini dia mengenakan rompi sekolah di atas blus lengan panjangnya. Meski siang hari masih panas, sore ini sudah ada angin sejuk yang bertiup.


"Soalnya, sekarang aja kita pulang bareng, kan? Dulu kita pernah ngobrol tentang earphone-lah, atau panggilan sayang-lah. …Ya, bukan masalah sih. Cuma terpikir aja."


Saat aku bilang begitu, Toiro mengerucutkan bibirnya, seakan tidak puas. Namun, tiba-tiba dia terlihat seperti menyadari sesuatu.


"Masih banyak kok! Aksi pasangan."

Dia mulai bicara begitu.


"Eh, masih ada?"


"Tentu saja! Masih banyak hal yang bisa kulakukan sama Masaichi."


Sepertinya dia masih punya stok ide. Yah, kalau begitu ya bagus juga, sih—


"Kita udah mau sampai rumah, jadi hari ini kita bakal melakukan Aksi pasangan sampai tuntas di kamar! Kita akan memulai pergerakan baru dengan Aksi pasangan!"


Entah kenapa, sepertinya Toiro tiba-tiba semangat sekali.


Aksi Pasangan di kamar… seperti apa itu, ya…?


Toiro mulai berjalan cepat dengan semangat yang membara, dan aku pun bergegas mengejarnya dari belakang.



Begitu masuk ke kamar, biasanya Toiro akan langsung melompat ke atas kasur. Tapi hari ini, dengan langka, dia duduk di lantai sambil bersimpuh. Aku pun duduk di depannya, dan kini kami saling berhadapan.

Dengan napas pelan, Toiro mulai bicara.


"Baiklah, mari kita mulai."


"Kenapa serius begini…?"


"Dengar, Masaichi. Sekarang aku akan mengajarimu satu hal: Aksi pasangan itu tidak ada batasnya."


Dengan senyum sedikit licik, Toiro mengeluarkan ponselnya dari tas. Dia melirik layarnya, tampak sedang membuka aplikasi catatan. "Hmm…," gumamnya pelan, memastikan sesuatu.


Jadi, dia menyimpan catatan tentang Aksi pasangan di situ, ya…


"Tapi, ngapain juga kita latihan aksi pasangan di kamar? Kan nggak ada yang lihat."


"Non-non, bukan begitu. Ini latihan. Biar kalau sewaktu-waktu kita harus melakukan aksi pasangan di luar, kita siap. Pasangan palsu seperti kita harus selalu berlatih!"


"Jangan ngomong ‘palsu’ kayak kesannya keren banget."


Aku menyela, dan Toiro tertawa riang.


"Baiklah. Sekarang, aku akan mengumumkan aksi pertama."


"Pertama? Berarti ada berapa banyak?"


"Perilaku pasangan itu tak terbatas. Oke, untuk yang pertama adalah—"


Toiro mengangkat wajahnya dari layar ponsel dan mengumumkan tantangan sambil menatapku.


"‘Aishiteru Game.’ Inilah tantangannya!"


"Aishiteru Game?"


Aksi pasangan, tapi pakai permainan…?


Aku mengernyitkan dahi.


"Iya. Kamu nggak tahu? Permainan ini sempat populer."


"Dari namanya aja udah jelas ini nggak ada hubungannya sama aku, kan?"


"Aaah… Oke, aku akan jelaskan aturannya!"


Hey, kasih tanggapan dong. Aku nggak masalah kok soal nggak punya pengalaman kencan. Lagipula, Toiro kan tahu situasinya.


"Pertama, salah satu dari kita harus bilang ‘Aku cinta kamu’ ke yang lain. Yang mendengarnya harus menjawab, ‘Sekali lagi.’ Jadi, ‘Aku cinta kamu,’ ‘Sekali lagi,’ diulangi terus sampai ada yang malu. Sesederhana itu, kan? Aturannya sendiri udah seperti gerakan pacar."


“Begitu ya, aku ngerti… untuk sementara.”


Jadi, harus bilang ‘Aku cinta kamu’ terus ke orang di depan kita. Meskipun ini cuma permainan, apakah mungkin tetap terasa malu?


“Siapa yang mulai duluan?”


"Yang mulai adalah yang bilang ‘Aku cinta kamu.’ Kamu pilih yang mana, Masaichi?"


“…Pihak yang bertahan.”


Karena cuma perlu bilang ‘Sekali lagi’ tanpa rasa, kurasa jadi pihak bertahan lebih menguntungkan. Lagipula, namanya permainan, harus menang, kan?


“Kalau begitu, siap-siap, ya! Terimalah cintaku!”

Toiro mengatakannya dengan mantap, lalu menggelengkan kepalanya, dan tiba-tiba menunjukkan wajah serius. Aku pun menelan ludah.


Toiro mengambil napas dalam-dalam, dan berkata,  

“Aku cinta kamu!”


Dengan wajah yang benar-benar serius.


“Sekali lagi.”


Begitu aku menjawab, Toiro memalingkan wajahnya sejenak, menarik napas, lalu berkata lagi,  

“Aku cinta kamu!”  


Kali ini, dia mengucapkannya sambil menatap langsung padaku dengan sebuah kedipan.


“Se-sekali lagi.”


“Huu… Aku cinta kamu!”


Sekarang, dia menyatukan kedua jari membentuk tanda hati dan mengarahkannya padaku.


“Se-se-sekali lagi… Tunggu, kamu sengaja mau bikin aku ketawa, ya?”

“Nggak, aku nggak berniat bikin kamu ketawa! Aku serius!”


“Nggak mungkin! Ekspresi dan gerakanmu itu terlalu dibuat-buat!”


“Aha, jadi, kamu sebenarnya sengaja menghentikan karena malu, ya?”


Bukan soal malu, tapi aku benar-benar harus menahan tawa melihat kedipan dan tanda hati yang ditunjukkannya. Apakah ini termasuk dalam aturan?


Namun, dianggap sengaja menghentikan juga bukan hal yang kuinginkan. Aku menarik napas pelan, merapikan posisi duduk, dan menatap ke arah Toiro. Dia pun berdeham, meluruskan punggungnya, lalu mengangkat wajah menatapku.


Dan untuk pertama kalinya dalam permainan ini, kami benar-benar bertatapan langsung.


Tatapan kami bertemu.


“Ah…”


Aku mendengar suara kecil yang keluar dari Toiro. Kami saling menatap beberapa saat…


“Ng-nggak mulai, nih?”

“I-iya, mulai lagi.”


Toiro menggenggam tangannya di atas lututnya, lalu menggerakkan bibirnya.


“---Aku cinta kamu.”


“Sekali lagi.”


“A-aku cinta kamu.”


“Sekali lagi.”


“A-aku… cinta kamu.”


…Pasti dia malu.


Saling menatap dan melakukan permainan ini, sejujurnya membuatku juga sedikit malu. Namun, wajah Toiro yang duduk di depanku jelas-jelas semakin merah.


“Kamu malu, ya?”


Aku menunjuknya, dan Toiro langsung menutupi wajahnya dengan kedua tangan sambil bergumam, “Aduh…”

“Soalnya, kita kan jarang banget tatap-tatapan serius gini. Rasanya malu, aneh juga. Tapi bukan karena malu, bukan, lho…”


“…Sekali lagi.”


“A-a… aku… cinta…”


“Tadi kamu gagap, kan?! Mukamu juga kelihatan banget goyahnya. Ayo ngaku aja kalau kamu udah malu!”


Mendengar perkataanku, Toiro hanya bisa mengeluarkan suara kesal, “Ugh…”


“Kalau begitu, coba sekarang Masaichi yang mulai duluan, deh.”


“Aku, ya?”


“Kayaknya yang mulai itu sebenarnya kurang menguntungkan.”


Sambil mengutarakan pendapatnya itu, Toiro kembali menatap lurus ke arahku. Kalau memang ada keuntungan atau kerugian di antara giliran menyerang dan bertahan, rasanya kurang adil jika permainan ini diputuskan hanya dalam satu kali giliran. Mau tidak mau, aku kembali menatap Toiro.


Jangan terlalu dipikirin. Kalau terlalu tegang, malah nggak bisa. 

Tenangkan pikiran, tanpa tekanan. Berusaha se-santai mungkin.


Sambil mencoba memenuhi pikiranku dengan hal-hal itu, aku mengatakannya dengan sesantai mungkin.


“…Toiro, aku mencintaimu.”


“Eh—”


Di depanku, wajah Toiro kembali memerah seketika.


“Tunggu, kenapa pakai nama segala?”


“Oh, ya, saking santainya, aku nggak sengaja.”


“Hei, nggak boleh begitu! Itu udah keterlaluan!”


“Kamu malu, kan? Aku menang.”


“Tunggu, nggak kok, itu cuma bikin aku kaget aja.”


“Nggak mungkin, mukamu nggak bakal merah cuma karena kaget.”


Sambil mengomel dengan berbagai alasan, Toiro terus berusaha 

mengelak, tapi aku hanya menanggapinya dengan, 


“Iya, iya.”


Aku ingin mengakhiri permainan ini sebelum makin lama.


Aku sendiri juga sudah mulai merasakan pipiku memanas pelan-pelan. Begitulah akhirnya, “Aishiteru Game” ini berakhir dengan kemenanganku.



Waktu menunjukkan pukul lima sore.


“Oke, sekarang lanjut ke aksi berikutnya!”


“Habis aksi pertama aja rasanya udah capek banget…”


Sama seperti tadi, Toiro kembali melihat memo di ponselnya. Nampaknya dia sudah memilih permainan berikutnya, lalu dia menatapku dan berkata,


“Selanjutnya, yang klasik: ‘Pocky’ Game! Ini aja!”


“Pocky Game…”

“Aha… jangan-jangan kamu nggak tahu juga, ya?”


“Jangan bercanda. Aku tahu yang ini.”


Justru karena tahu, aku merasa permainan ini bakal melelahkan secara mental. Lagi-lagi Toiro memilih sesuatu yang bikin capek, ya.


“Permainan ini tuh benar-benar Pasangan banget, kan? Aturannya sama kayak permainan tadi, yang malu atau mundur dia kalah, yang menggigit Pocky sampai putus juga kalah.”


“Baiklah, tapi… kamu bawa Pocky-nya?”


“Tentu aja!”


Toiro tersenyum puas, lalu mengeluarkan kotak Pocky yang tutupnya sudah terbuka dari dalam tas yang ada di sebelahnya. Sepertinya dia sempat ngemil ini saat waktu istirahat di sekolah. Dasar pecinta camilan…


Dia mengambil sebatang Pocky dan menggoyangkannya sedikit ke arahku.


“Nah, yuk, suit!”


“Suit?”

Aku menatapnya dengan bingung. Suit buat nentuin apa, nih?


“Di permainan Pocky ada giliran duluan atau penyerang-bertahan, ya?”


“Apa sih. Ini buat nentuin siapa yang dapet bagian cokelat, dong.”


“Oh… ya, bener juga…”


Aku bahkan nggak kepikiran. …Hmm, sejujurnya, nggak terlalu peduli, sih.


“Aku kasih bagian cokelatnya ke kamu aja, deh.”


“Apa?! Masaichi, kamu nggak mau makan cokelat?”


“Ah, bukan gitu. Aku rasa bagian yang nggak ada cokelatnya lebih gampang digigit.”


“Keparat, aku diremehkan, ya. Padahal bagian lapisan coklat tipis di Pocky itu yang paling enak... tapi aku pasti akan membalaskan kehormatan Pocky ini!”  


“Oh, kelihatannya suasana mulai berubah.”  


Kumohon jangan salah paham. Aku juga sangat tahu kelezatan Pocky. 

Hanya saja, dalam permainan Pocky, mungkin aku tidak akan punya kesempatan untuk menikmatinya.  


“Baiklah, mari mulai.”  


Setelah mengatakan itu, Toiro menggigit sisi coklat Pocky. Duduk bersila menghadapku, dia mengangkat ujung Pocky yang satunya ke arahku sambil bergumam, 


“Hm.”  


Aku menarik napas dalam, dengan hati-hati mendekatkan mulutku ke ujung itu. Begitu kugigit, aku merasa terlalu tegang, dan getaran halus terasa pada batang Pocky yang tipis itu, membuatku sedikit tersentak.  


“Hyaa, jangan gemetaran begitu, dong.”  


Kurasa dia berkata, “Ayo mulai.” Dengan Pocky di mulutnya, Toiro memberiku isyarat, dan aku membalas dengan anggukan kecil.  


“Yosh, mulai!”  


Lalu, pertandingan pun dimulai. Langkah pertama, aku langsung menggigit sekitar tiga sentimeter Pocky. Rencanaku adalah menyerang dengan penuh semangat untuk memberinya tekanan.  

Namun, sepertinya Toiro juga berpikir sama. Dia menggigit seukuran yang sama dengan cepat. Wajah kami mendadak jadi lebih dekat. Tatapanku tak sengaja bertemu dengan mata besarnya yang bercahaya, membuatku refleks memalingkan pandanganku.  


―Wah, kalau aku malu, aku pasti kalah!  


Segera setelah menatap ke depan lagi, pandangan Toiro juga kembali ke arahku. Apa dia juga merasa malu? Aku tidak tahu.  


Tatapan kami bertemu lagi. Kali ini aku tidak akan mengalihkan pandangan. Dengan tekad itu, aku melihat matanya menyipit penuh percaya diri.  


“Kalau cuma begini tidak seru, jadi bagaimana kalau kita semakin mendekat perlahan... dan kita berdua tidak boleh memejamkan mata?”  


―Apa-apaan ini.  


Jadi tidak cukup menarik kalau cuma mendekat pelan-pelan, dan kita berdua harus membuka mata?  


Di tengah situasi ini, dia malah menaikkan tingkat kesulitannya. Aku mencoba untuk protes, tapi―  


“Karena ini juga aksi pasangan.”  

Setelah mengatakannya, Toiro lebih dulu memejamkan matanya.  


Karena ini juga aksi pasangan, begitu?  


Eh, tunggu, kenapa aku malah mengerti semua yang dia katakan dari tadi? Padahal suara Toiro hanya terdengar samar dan tak jelas di telingaku, tapi... mungkin karena kami sudah cukup lama bersama, aku jadi bisa menebak apa yang dia maksud.  


Toiro memejamkan mata sambil sedikit memajukan bibirnya, lalu menggigit Pocky. Pipi yang memerah seperti ada cahaya kecil yang menyala di dalamnya. Dia juga merasa malu, bukan?  


“Terserah kamu, tapi kalau terjadi sesuatu, jangan salahkan aku.”  


Dengan kata-kataku itu, alis Toiro sedikit berkedut sebelum dia mengangguk kecil.  


Tidak ada pilihan lain, akhirnya aku pun memejamkan mata, dan permainan berlanjut. Tak lama setelah itu, batang Pocky bergetar berulang kali. Toiro terus menggigitnya sedikit demi sedikit.  


―Sepertinya tadi dia menggigit cukup banyak. Berapa dekat jaraknya sekarang?  


Di tengah pemikiranku, Pocky kembali bergetar. 

Serangan gencar ini benar-benar terasa. Aku merasakan helaan napas Toiro yang sedikit lebih cepat menyentuh wajahku.  


Sensasi menggigil perlahan menyusuri punggungku, sementara jantungku berdetak makin cepat.  


Bayangan terakhir yang kulihat sebelum memejamkan mata adalah ekspresi Toiro dengan Pocky di bibirnya, seperti wajah siap mencium, tergambar jelas di pikiranku.  


―Sekarang wajah itu ada di depanku...?  


Saat aku memikirkannya, Toiro semakin menggigit Pocky, mendekat ke arahku. Aku hanya bisa terpaku di tempat.



Gawat, jantungku berdebar kencang.


Kalau terlihat aku sedang malu, itu tandanya aku kalah.


Tapi, kalau sudah sampai sini, rasanya aku tidak mungkin bisa menyerang balik――.


Aku sempat berpikir.


Dalam permainan Pocky, kalau malu berarti kalah. Dengan pemikiran itu, aku memulai permainan ini sambil membayangkan akhir yang seperti itu… tapi, bagaimana kalau tidak ada yang merasa malu?


Misalnya, kalau pasangan sungguhan yang memainkan game ini, mungkin kejadian malu sampai menghentikan permainan justru jarang terjadi…?


Dari Pocky yang tipis ini, aku bisa merasakan kekuatan yang ditransmisikan lagi. Kali ini, tanpa ragu, hembusan napas Toiro mengenai wajahku, dan tanpa sadar aku membuka mataku.


"――tsu."


Nyaris saja.


Jarak hidung kami hanya tinggal sedikit lagi sebelum bersentuhan.

Dengan suara "pokk," aku reflek menggigit dan mematahkan Pocky-nya.


Toiro membuka matanya dengan kaget, lalu tersenyum sambil memandang wajahku.


"Tadi, Masaichi yang mematahkan Pocky-nya, kan? Aku menang!"


Sampai detak jantungku yang berdegup kencang mereda, hanya bagian biskuit Pocky yang hambar tersisa di mulutku.



――Fufufu, ini adalah kemenangan strategi.


Setelah permainan selesai, Masaichi terlihat seperti melamun dengan Pocky masih di mulutnya. Di depan dia yang seperti itu, aku dalam hati menunjukkan ekspresi kemenangan.


Kami berdua menutup mata, sengaja menaikkan tingkat kesulitannya. Itulah strategi milikku. Lalu, dengan nekat, aku melancarkan serangan. Dalam kondisi seperti itu, kalau serangan berujung pada ciuman, itu dianggap sebagai kecelakaan.


Teknik yang tidak mungkin dilakukan kalau mata terbuka.


Dan juga, seandainya tidak sengaja berciuman akibat kecelakaan, yah itu pun――.


Saat aku memikirkan sejauh itu, aku menggelengkan kepala kuat-kuat.


Tidak, tidak, aku jadi kepedean.


Apa yang membuatku jadi sok senang? Kami bahkan belum benar-benar berpacaran――.


Padahal, hanya jarak wajah kami tadi saja sudah membuatku sangat malu.


Sambil menempelkan kedua tangan ke pipiku yang panas, aku sibuk dengan pikiranku sendiri ketika Masaichi tersadar dan mulai bergerak. Dia segera menelan Pocky yang pendek dan membuka mulut.


"…Jadi, aku kalah dalam permainan Pocky, ya?"


"Ah, iya, aku yang menang. Fufufu, menang telak!"


"Tch, memang ya, kalau soal permainan, rasanya selalu kesal saat kalah."


Sungguh komentar yang khas Masaichi. Mungkin saja dia sudah mulai memikirkan strategi kemenangan untuk percobaan berikutnya.

Eh, bukannya jadi momen romantis, malah berubah jadi seperti persaingan antar teman masa kecil――.


Sebenarnya aku ingin mencoba berbagai permainan yang biasanya dilakukan pasangan di dalam kamar, jadi aku menganggap ini sebagai kesempatan dan menawarkannya… tapi.


Masaichi menghela napas panjang, lalu bersandar pada tempat tidur sambil duduk di lantai.


"Tapi entah kenapa rasanya lelah sekali. Bagaimana kalau kita istirahat dulu sebelum lanjut ke permainan ketiga dari game pacar-pacaran ini?"


"Ah, iya, sudah lumayan malam juga, ya. Kalau begini terus, waktunya malah habis buat main. Bagaimana kalau permainan ketiga kita lanjutkan lain kali saja?"


Duh, Masaichi ini. Momen romantis kita malah disebut game pacar-pacaran…


Meskipun berpikir begitu, aku setuju dengan pendapat Masaichi.


"Ya, setuju! Lagipula, awalnya kita memang berniat main game yang baru kita beli, kan?"


Masaichi langsung bangkit dan mulai mempersiapkan permainan untuk dimainkan berdua.


Meskipun Masaichi yang mengusulkannya, sebenarnya aku juga ingin memberi jeda sebelum melanjutkan momen romantis berikutnya.


Sejak tadi, tubuhku terasa menghangat dari dalam, dan kalau ini terus berlanjut, rasanya hatiku akan melayang seperti balon udara yang terbang tinggi.


Aku perlahan menutupi kedua pipiku dengan tangan di tempat yang tidak terlihat oleh Masaichi. Aduh, wajahku panas sekali.


Aku jadi sangat sadar pada perasaan ini karena aku menyadarinya. Karena aku mulai ingin hubungan ini menjadi nyata――.


"Apa yang kamu lakukan? Aku sudah siap," suara Masaichi menyambar di telingaku, membuatku buru-buru melepaskan tanganku dari wajah.


Masaichi kembali duduk dengan bersandar pada tempat tidur, lalu menepuk-nepuk bantal yang diletakkan di sampingnya sambil melihat ke arahku.


Oh iya, sedari tadi aku duduk dengan posisi seiza.


Aku pun berpindah ke samping Masaichi dan duduk di atas bantal.

"…………"


Posisi yang selalu sama, di mana jika aku sedikit bergerak saja, pundakku akan bersentuhan dengan Masaichi. Tapi hari ini, entah kenapa jantungku berdetak lebih kencang dari biasanya.


Padahal kami tidak benar-benar berpacaran, tapi rasanya jarak kami seperti pasangan sungguhan.


Inilah hubungan spesial yang kami miliki.


Saat Masaichi mengubah posisinya untuk duduk lebih nyaman, tubuh kami tanpa sengaja bersentuhan.


"Ah…"


"Hm? Ada apa?"


"T-tidak, maaf, tidak apa-apa! Ayo, ayo, langsung mulai game-nya!" 


Aku tanpa sadar jadi bicara terlalu ceria. Masaichi sempat menatapku dengan ekspresi "Hah?" sejenak, tapi kemudian dia segera mengalihkan pandangannya kembali ke layar TV.


Aku mencuri pandang ke wajah sampingnya yang bersinar ketika melihat game baru di layar.

Dari jarak sedekat ini, aku bisa melihat matanya yang berbinar-binar, dan itu semua karena hubungan ini yang memungkinkan kami untuk sedekat ini.


Kami adalah pasangan palsu, sebuah cinta yang sementara.


Hubungan yang tidak dimiliki oleh pasangan lain.


――Kalau begitu, bolehkah aku sedikit memanfaatkan hubungan spesial ini?


Sambil menggenggam controller, aku menggeser sedikit tubuhku di atas bantal, mendekat ke arah Masaichi.















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !