Nee, Mou Isso Tsukiacchau? Osananajimi Chap 8 V2

Ndrii
0

Chapter 8

Para Pejuang Pekerja Paruh Waktu




Memasuki hari ketiga bekerja, aku mulai sedikit terbiasa dengan pekerjaan ini, membuatku merasa lebih rileks. Sebelum jam sibuk makan siang tiba, aku menyadari bahwa sabun cair di tempat cuci tangan dekat pintu masuk hampir habis. Sambil mengisinya kembali, aku memperhatikan suasana di pantai.


Cuaca bagus hari ini. Para pria dan wanita berbikini bersenang-senang, bercanda dan tertawa di sana. Waktu hari pertama, aku berpikir kalau di pantai ini banyak yang berpakaian minim. Namun, hari ini aku mengamati lebih tenang dan menyadari kalau selain kulit yang terpapar, area cokelat juga cukup mendominasi.


Kenapa ada begitu banyak pria berotot di pantai? Orang-orang yang menghabiskan waktu untuk membentuk otot seperti ini jarang terlihat di kota. Apakah mungkin tipe orang seperti mereka hanya hidup di pesisir?


Saat aku berpikir seperti itu, seorang pria berotot yang kukenal datang menghampiriku. Dia juga cukup terlatih, lho.


“Tuan Masaichi, apa yang kau lihat dari tadi pagi?” tanyanya.


“...Otot-otot mereka. Apakah kau bakal aneh kalau aku bilang begitu?”


“Eh, ah... tidak, tidak masalah, kurasa. Aku bisa menerima Masaichi yang seperti itu.”


“Maaf, aku cuma bercanda! Jangan salah paham!”


Aku baru sadar bahwa itu bukan candaan yang tepat untuk disampaikan kepada pria berotot. Bahkan jika diterima dengan baik oleh Sarugaya, tetap saja merepotkan.


“Jadi itu cuma bercanda, ya? Syukurlah. Tapi kalau melihat pemandangan, tetap saja bikini gadis-gadis lebih menarik. Hanya saja...”


“Hanya saja?”


Ucapannya tiba-tiba terputus, dan aku melihat wajah Sarugaya. Ada kesan murung yang tidak biasa terlihat di wajahnya.


“Hanya saja, pasangan kekasih di sini cukup banyak. Meski ada gadis-gadis manis, jika mereka sudah punya pasangan, aku tidak akan mendekati. Aku memang orang yang patuh pada etika. Paling hanya sapa saja, tidak sampai mengganggu. Tapi hanya bisa melihat tanpa mendekat itu cukup menyedihkan.”


“Entah etika seperti apa yang ada dalam merayu... Tapi iya, pasangan di sini memang banyak.”


Sebenarnya, aku tidak terlalu mempermasalahkan mereka yang sedang bermain di pantai. Tapi kalau sudah sampai bermesraan di balik bangunan dekat toko, itu cukup mengganggu. Kemarin, aku secara tak sengaja menemui pasangan yang seperti itu, dan sungguh situasi yang sangat canggung. Kenapa mereka sampai bergelut begitu? Seperti earphone saja yang sering kusut.


Yah, kalau dipikir-pikir, mungkin kemarin sore aku dan ‘pacarku’ juga dilihat orang lain seperti itu. Jadi aku tidak bisa mengeluh terlalu keras.


“Aku ingin punya pacar saat jadi mahasiswa nanti, lalu bisa mengajak dia jalan-jalan sepanjang pantai,” kata Sarugaya sambil menatap ke arah laut.


“Sebagai mahasiswa... apa itu mungkin?”


Aku mulai memikirkan hal-hal realistis.


“Kita bisa dapat SIM saat sudah 18 tahun. Mobilnya bisa sewa saja. Dan yang penting, aku harap punya pacar yang pengertian.”


“Bukan itu masalahnya. Yang aku pikirkan adalah apa kau bisa punya pacar... atau mau sewa pacar juga?”


“Tuan Masaichi!? Tidak, aku akan berusaha dapatkan yang asli!”


Sebenarnya aku ingin mengatakan, "Sifat mesummu itu perlu diperbaiki dulu." Tapi aku memilih untuk tidak mengatakannya. Aku tidak dalam posisi untuk mengomentari hal itu. Kalau aku terlalu keras, mungkin orang akan berpikir aku cuma sok-sokan karena punya ‘pacar sementara’ seperti Toiro.


“Yah... semoga berhasil,” kataku. Sarugaya tampak bingung mendengar jawabanku.


Meskipun aku mulai terbiasa dengan pekerjaan ini, aku masih jauh dari bisa diandalkan. Aku memang melakukan pekerjaanku, tetapi belum bisa menunjukkan kinerja yang baik.


Yang paling cekatan adalah Mayuko. Dengan senyum alami dan suara yang jelas, ia melayani pelanggan. Saat membawa pesanan di atas nampan, kecepatannya tidak berkurang sama sekali. Begitu selesai mengambil pesanan, dia langsung menyadari pelanggan baru dan segera mengantar mereka. Pekerjaan yang kami lakukan sebenarnya sama, tapi setiap gerakan Mayuko terlihat lebih terampil dan rapi.


Lalu, ada Nakasone, yang juga tak kalah cekatan. Ia tampak selalu bergerak mencari pekerjaan yang perlu diselesaikan di dalam toko. Suaranya pun cukup keras dan terdengar jelas, menyapa pelanggan dan berkomunikasi dengan staf lain. Hal ini menambah suasana hidup di toko. Rasanya ia sudah menjadi sosok yang tak tergantikan di tempat ini. Sarugaya pun sudah berkembang menjadi tenaga serbaguna, aktif baik di ruang makan maupun di dapur sebagai pencuci piring.

Masalahnya, justru ada pada aku dan Toiro. Kami berdua adalah tipe orang rumahan sejati, jadi tenaga fisik kami cukup terbatas.


"Hei Masaichi, aku udah kelelahan banget nih. Hari ini ramai sekali!”


Seketika setelah tengah hari, saat aku sedang membersihkan meja yang baru ditinggalkan pelanggan, Toiro mendekat untuk membantu. Dengan rambut diikat ekor kuda dan lengan bajunya digulung sampai bahu, ia tampak penuh semangat, meski tetap saja keluar keluh kesah dari mulutnya, 


“Aku hampir tumbang, nih.”


"Kakiku benar-benar terasa berat. Betisku tegang, hampir kram, dan telapak kaki juga terasa sakit terus,” balasku.


“Astaga, kita masih kerja sampai sore nanti. Kamu bakal kuat? Pura-pura istirahat sambil minum aja, deh”.


“Aku sudah beberapa kali duduk sebentar untuk memulihkan tenaga. Kamu juga jangan memaksakan diri, ya?”


Mendengar itu, Toiro tersenyum kecil, "Haha, kayaknya kita emang nggak cocok jadi pekerja ritel, ya?"


"Iya, mungkin bagus juga kita sadar akan hal ini lewat pekerjaan paruh waktu singkat ini,” jawabku.

“Sebenarnya, berdiri lama saja udah cukup susah buatku. Gaya hidup malas kita sehari-hari bikin kaget.”


Toiro, yang sadar dirinya pemalas, memang luar biasa. Kalau ada kontes untuk orang malas, dia pasti juara dan bisa pakai uang hadiahnya buat bersantai lagi di rumah.


Sambil terus berbincang, kami tak menghentikan pekerjaan dan aku membersihkan meja sampai sudut-sudutnya. Meski kami tahu pekerjaan ini tidak cocok untuk kami, karena kami digaji, kami tetap harus melakukan tugas ini dengan baik. Saat aku menoleh ke pintu masuk, beberapa pelanggan baru datang. Aku pun bergegas ke arah mereka dan mengantar mereka ke meja yang baru saja selesai dibersihkan.


Setelah mencatat pesanan dan mengirimkannya ke dapur, aku menarik napas lega. Namun, ketenangan sesaat itu tak berlangsung lama sebelum terjadi kejadian tak terduga.


“Hei! Pelayan, coba lihat ini!”


Teriakan seorang pelanggan wanita terdengar keras memenuhi toko. Wanita itu mengenakan hoodie putih di atas bikini dan kacamata hitam yang bertengger di kepalanya. Rambut pirangnya menunjukkan dia mungkin sudah memasuki usia 30-an.


Target teriakan tersebut adalah Toiro yang kebetulan sedang berjalan di dekatnya.

“Ada yang bisa saya bantu?” Toiro mendekati meja wanita itu dengan hati-hati. Aku yang juga penasaran, bergerak mendekat. Jika suasananya semakin buruk, aku harus segera melerai. Meski aku tak tahu pasti bagaimana caranya, setidaknya aku bisa mencoba.


Wanita tersebut menyodorkan gelas yang dipegangnya kepada Toiro dengan nada tajam.


“Lihat ini! Tepi gelas ini ada yang pecah, dan dari sana ada retakan yang menjalar!”


Aku langsung paham alasan kemarahannya.


Di Kurage-tei, resto pantai kami, minuman untuk pelanggan takeout diberikan dalam gelas sekali pakai. Tapi untuk yang makan di dalam, kami menyajikan air minum di gelas kaca sebelum mereka memesan makanan. Sepertinya kami tak sengaja memberikan gelas dengan retak pada pelanggan ini.


Masalah ini serius; kami harus meminta maaf.


Aku bergegas maju untuk ikut menundukkan kepala dan meminta maaf, tapi sebelum aku sempat, Toiro sudah lebih dulu bertanya dengan nada cemas,


“A-anda baik-baik saja? Apa Anda terluka? Jika bibir Anda sampai tergores, itu akan sangat berbahaya.”

Wanita itu sedikit terkejut, lalu menjawab, 


“Eh, iya. Untungnya aku sadar sebelum sempat minum.”


"Syukurlah! Kami sangat meminta maaf atas kelalaian kami. Saya akan segera memanggil pemilik toko!" kata Toiro tergesa-gesa sambil berbalik menuju dapur.


Saat itulah, Koharu-san, pemilik toko yang mendengar kegaduhan ini, muncul dari balik tirai.


Ketika Toiro berlari untuk melaporkan situasi, Koharu-san mengangguk beberapa kali dan berjalan langsung menuju perempuan tersebut sambil menundukkan kepalanya. Dalam percakapan singkat, Koharu-san meminta maaf berkali-kali, dan untungnya, pelanggan itu tidak kembali berteriak seperti sebelumnya.


Saat aku mengamati dari sudut toko, Toiro yang sudah bebas setelah menyerahkan penanganan kepada manajer, mendekat ke arahku.  


“Kerja bagus, ya. Pasti sulit tadi,” kataku untuk menyemangatinya.  


“Iyaaa, aku kaget banget. Deg-degan juga. Koharu-san, kira-kira dia baik-baik aja, ya…”  


Sambil menyunggingkan senyum kecil, Toiro berbisik dengan suara pelan, mengingat ada pelanggan di sekitar kami.

“Yah, sekarang kita serahkan pada pemilik saja... Jadi ini yang namanya ‘keluhan’, ya?”  


“Hmm, iya ya. Tapi apa ini disebut ‘keluhan’?” jawab Toiro sambil menyentuh bibirnya, seperti sedang berpikir.  


"Entah kenapa, kata 'keluhan' itu terdengar sulit dipahami ya. Saat kita bilang 'pelanggan mengajukan keluhan,' rasanya seperti pihak toko yang jadi korban. Padahal, selama keluhan itu tidak keterlaluan, sebenarnya yang jadi korban adalah pelanggan."


“Oh iya, itu benar juga. Jadi begitu alasannya kamu merasa kata ‘keluhan’ agak kurang pas,” jawabku sambil terkesan dengan cara pandangnya.  


“Mungkin kalau pelanggan yang pakai kata itu sih nggak apa-apa, tapi kalau kita yang kerja di sini, kita harus lebih hati-hati dalam menggunakannya.”


Di saat aku mengangguk mengerti dan mencoba mengingatnya, Koharu-san datang menghampiri kami.  


“Toiro-chan, terima kasih banyak, ya, tadi.”  


Perkataannya membuat Toiro menoleh, terkejut.


“Eh, terima kasih? Kok bisa?”  

Matanya berkedip-kedip bingung. Wajar saja dia heran, wanita yang tadinya marah-marah itu malah mengucapkan terima kasih?  


“Ya, dia senang karena Toiro-chan khawatir dengan keselamatannya lebih dulu, bukan sekadar minta maaf. Biasanya orang hanya langsung minta maaf saja tanpa benar-benar peduli. Jarang sekali ada yang seperti ini. Aku sangat menghargai tindakanmu, terima kasih,” Koharu-san menambahkan sambil tersenyum.


Aku tidak bisa menahan diri untuk berbisik kagum.  


Benar juga, di tengah situasi di mana kita disalahkan, menunjukkan perhatian pada keadaan orang lain memang tidak mudah. Kalau aku, mungkin akan sibuk meminta maaf saja demi menghindari masalah.


“Yah, aku cuma pikir kalau sampai ada yang terluka, itu berbahaya banget…”  


Ketika Toiro berkata begitu, Koharu-san mengangguk sambil tersenyum.


“Benar sekali. Itu adalah bentuk pelayanan yang tulus pada pelanggan. Pelayanan yang seperti itu bagus sekali. Di penginapan juga aku selalu menekankan hal ini pada para karyawan. Nanti aku akan minta staf dapur untuk memeriksa peralatan makan lebih teliti,” katanya, sebelum kembali ke dapur setelah melayani pelanggan lainnya.


Toiro menarik napas dalam-dalam.  


“Huh, syukurlah… Ini pertama kalinya aku mengalami hal seperti ini, dan aku sempat khawatir, tapi syukurlah…” ujarnya dengan senyum malu-malu.  


Melihatnya, aku benar-benar kagum.  


Setiap orang mungkin memiliki pekerjaan yang cocok atau tidak cocok untuk mereka. Namun, dengan sikap asli dan kepedulian yang tulus seperti yang dimiliki Toiro, aku yakin dia bisa beradaptasi dan melakukan pekerjaannya dengan baik di mana saja.



Hari itu, ada satu masalah lain—atau lebih tepatnya sebuah insiden—yang muncul gangguan pelanggan yang mengganggu staf perempuan dengan menggoda mereka. Sepertinya banyak turis yang menginap di dekat pantai ini, dan setelah tahu ada perempuan yang cantik bekerja di sini, mereka kembali lagi keesokan harinya hanya untuk mencoba menggoda.


“Cantik banget, punya pacar nggak, Nona?”

“Wah, cantik banget! Foto bareng, yuk?”

“Kerja di sini terus ya? Besok aku balik lagi buat ketemu!”

“Eh, gimana kalau kerja pakai baju renang aja? Coba deh minta izin ke manajer, pasti penjualannya makin naik!”

Begitulah, sejak pagi sampai sore, mereka terus-menerus mencoba mengajak ngobrol. Ada juga beberapa yang agak aneh dan menyeramkan:

“Wah, Nona cantik sekali... Ehm, boleh nggak, saya yang ngecek harga beli pakaian dalam Mbak? Kalau Mbak mau, tentu saja...”


Suaranya yang aneh membuatku curiga itu adalah Sarugaya, tapi ternyata dia sedang bekerja membersihkan meja di dekat sana. Kulihat seorang pria gemuk berkacamata yang memakai kemeja di pantai dan memegang kamera, yang langsung berbalik ketakutan saat mendapat tatapan tajam dari Nakasone. Ternyata, pria-pria aneh seperti itu pun ikut berdatangan. Sepertinya pantai benar-benar membuat orang jadi lebih lepas.


“Wah, kamu tipe aku banget nih. Nona, kamu selesai kerja jam berapa?”


Seorang pria berambut pirang dengan anting, yang terlihat seperti mahasiswa, mulai mengganggu Toiro lagi.


“Yahaha, terima kasih, ya,” Toiro tertawa masam, berusaha mengabaikannya dan pergi menjauh.


“Tolong deh, kasih tahu nomor kontak kamu, dong? Aku merasa nggak akan pernah ketemu cewek secantik kamu lagi!”


“Maaf, ya!” Toiro berkata sambil terus berjalan ke arahku, tanpa menoleh ke belakang.

Tapi kemudian, terdengar kalimat mengejutkan yang langsung membuatnya menoleh dengan cepat.


“Duh, ya udah, kalau gitu yang ini aja, deh. Cantik banget, Nona! Boleh minta kontaknya—”


Apa? Toiro terkejut saat menyadari pria itu mulai menggoda Nakasone hanya beberapa detik setelah dirinya menolak. Rasanya ingin sekali ikut menimpali: “Eh, jadi sebenarnya siapa aja yang penting cewek, ya?”


Toiro yang kembali ke sisiku terlihat sedikit kesal, pipinya menggembung.


“Kenapa, ya? Aku merasa... ada yang nggak adil di sini.”


“Oh, iya, ya…”


“Walau dalam hati aku sedikit senang dipuji cantik, tapi kok jadi jengkel sendiri…”


“Apa, ya? Mungkin yang bisa aku katakan adalah... selamat bertugas, deh,” jawabku, berusaha mencari kata-kata penghibur yang tepat. Toiro melirik ke arahku dan berkata.


“Kamu tadi ngelihat, kan? Sedikit khawatir juga, nggak?”

Hah? Khawatir? Aku bingung, tapi Toiro melanjutkan sambil tersenyum kecil.


“Tenang aja, aku nggak mungkin pergi sama pria-pria kayak gitu.”


Dengan sedikit menggoda, dia mendongak dan berkata, 


“Karena aku kan sudah punya pacar yang namanya Masaichi.”


Sambil mengedipkan sebelah mata, dia menatapku dengan gaya genit.


“...Oh, iya.”


“Kenapa reaksinya datar banget sih?!”


Tokiiro berlagak seperti akan menangis sambil berkata, 


“Bahkan pacar aku juga cuek…”


Padahal, aku sendiri bingung harus bereaksi bagaimana. Soalnya, aku tahu dia nggak akan tertarik pada pria-pria itu meskipun tidak ada hubungannya dengan punya pacar atau tidak. Aku tidak merasa khawatir. Hanya saja, sedikit kesal dengan pria yang menggodanya tadi—meski aku sendiri bukan pacarnya yang sebenarnya. Jadi, rasanya ada perasaan yang campur aduk.


Pria itu, pada akhirnya, pergi setelah menerima tatapan tajam dari Nakasone. Tak jauh dari situ, Mayuko berseru, 


“Wah, enak banget jadi idola kayak gitu, ya!” sambil tertawa dan ikut menerima tatapan tajam dari Nakasone.


“Yah, Urara-chan memang nggak pandang bulu kalau soal menjaga batas,” kata Sarugaya, yang entah kapan sudah berdiri di sebelahku dengan tangan terlipat.


“Iya, bahkan hampir mirip seperti mengusir mereka dari sini,” jawabku. Sarugaya mengangguk sambil bergumam, 


“Hmm...”


“Apakah itu hal yang baik atau tidak, aku tidak tahu... tapi banyaknya tukang goda yang tidak punya etika adalah masalah.”


Hmm. Alih-alih menyebut "pelanggan yang kurang ajar," ia menyebut "tukang goda yang kurang ajar." Sepertinya dia berpikir menggoda bukan masalah, tapi etika itu yang penting. Kalau dipikir-pikir, pagi ini dia sempat berceramah tentang hal yang mirip.


“Iya kan? Iya kan? Memang ya, Sarugaya-kun paham banget sih!” 


Toiro, yang tadi jadi korban, langsung mengiyakan.

“Kalau gitu, bagaimana cara menggoda yang benar?”


“Ajari kami teknik dari profesional, Sarugaya-kun,”


Rasa penasaran membuatku bertanya, dan Toiro ikut penasaran.


Sarugaya mengangguk anggukan besar, lalu mulai bicara.


“Dengar baik-baik. Dasarnya sederhana, semuanya simpel. Pertama, puji lawan bicara. Kemudian ajak bicara dengan topik santai dan bawa obrolan secara halus. Pastikan keinginan kita jelas dan jangan membiarkan suasana terlalu menggantung. Terakhir, selalu perhatikan kenyamanan lawan bicara.”


Hmm. Dengan gayanya yang percaya diri, Sarugaya terdengar meyakinkan. Tapi caranya agak abstrak. Sebenarnya, aku tetap tidak mengerti bagaimana harus mulai percakapan.


“Tadi, langkah pertama adalah pujian, ya? Kira-kira seperti apa pujiannya?”


Aku bertanya begitu. Bukan berarti ingin mempraktikkan, tapi mendengar penjelasannya tetap membuat penasaran, kan?


“Memuji itu langkah paling gampang. Kita cuma perlu memuji penampilan mereka atau hal menarik yang terlihat. Misalnya, dada besar, dada yang indah, atau ‘payudaranya seksi, nih!’”

“Kamu cuma lihat dadanya doang, kan!” 


Komentar itu langsung keluar dari Toiro.


“Berapa persenkah tingkat keberhasilannya…?”


Aku bertanya dengan ragu.


“Hmmm… Dalam imajinasi, metode ini selalu berhasil. Tapi kebanyakan cewek kabur setelah aku memuji. Apa anak-anak cewek sekarang terlalu pemalu ya?”


…Lalu kenapa tadi bisa terdengar sangat meyakinkan?


Aku mulai berpikir kalau sebaiknya aku tidak melupakan fakta kalau Sarugaya memang seorang mesum.


“Lagipula, orang yang menggoda di tempat umum mana ada yang beretika,” gumam Toiro di sebelah, mencerminkan inti masalah ini.















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !