“Kenapa kau ada di sini…?!”
Rogue bertanya dengan suara setengah bingung.
Gadis itu adalah Catherine, sang Saintess, seorang penyihir ketiga yang diidentifikasi oleh Dewan Bangsawan. Ia dikenal memiliki sifat kontradiktif seperti tidak bisa menahan diri untuk mengkhianati orang lain, namun di saat yang sama juga ingin menolong orang.
Menurut Miselia, si Boneka Iblis, Catherine telah mendapatkan “hukuman” hingga sejuta kali, namun apakah sifat aslinya benar-benar berubah, itu masih diragukan. Dan meskipun begitu, penyihir seperti dirinya saat ini…
“Karena aku adalah partner Anda,” ujar Catherine seolah membaca pikiran Rogue.
Ucapan itu membuatnya semakin tidak nyaman, karena memang begitulah kenyataannya.
Rogue mendorong pintu lebih lebar dan bertanya,
“…Apa aku pernah memberi tahumu alamatku?”
“Tidak. Aku mendengarnya dari Rico, lalu datang ke sini. Soalnya… penyidik jarang sekali datang ke Divisi Keenam, bukan?”
“Aku tetap bekerja,” jawab Rogue singkat.
Kejahatan yang membutuhkan intervensi Divisi Keenam jarang terjadi. Sebagian besar waktu ia habiskan di markas besar untuk menangani kasus-kasus dengan tingkat ancaman lebih rendah, membuat laporan, atau mendengar keterangan saksi. Setelah menangkap Lifetaker dan menyelesaikan satu kasus lainnya, Rogue sudah hampir dua minggu tidak pergi ke kantor qdivisi.
“Jadi, apa sebenarnya urusanmu sampai harus bertanya ke Rico?”
“Begini, Penyidik. Apakah Anda sedang kesulitan dalam sesuatu?”
“Tidak, sepertinya tidak ada…”
“Apa saja, benar-benar apa saja. Memasak? Mencuci pakaian? ──”
Catherine berhenti, matanya terpaku pada puncak kepala Rogue.
Karena heran, Rogue menyentuh rambutnya dengan tangan kanan dan menyadari ia lupa merapikan rambutnya yang masih kusut. Barulah ia juga sadar bahwa dirinya masih mengenakan pakaian tidur.
Dengan cepat ia mengalihkan pandangannya dan berkata,
“Ah, ya… masuk saja dulu.”
Catherine langsung tersenyum cerah, mengucapkan “Permisi,” dan melangkah masuk, mengembuskan napas putih dari udara dingin luar. Setelah memberikan sandal tamu dan membawanya ke ruang tamu, Catherine berkomentar,
“Jadi ini kamar Anda, ya, Penyidik.”
Rogue merasa sedikit malu. Meski kamarnya teratur karena tidak ada yang bisa berantakan, tetap saja ada rasa canggung yang aneh.
Di atas karpet, hanya ada sofa dan meja rendah. Di depan meja itu, ada monitor yang ditenagai ukiran sihir, meskipun jarang ia gunakan. Remote TV-nya bahkan masih terlihat seperti baru dibeli.
“Apakah Anda sudah sarapan?”
“Belum, aku baru akan memasak,” jawab Rogue.
Catherine terlihat seperti mendapatkan ide bagus.
“Kalau begitu, biar aku bantu memasak!”
“Tidak perlu, aku bisa melakukannya sendiri──”
Tapi sudah terlambat. Catherine sudah masuk ke dapur. Suara telur pecah terdengar, disusul dengan lagu kecil yang ia nyanyikan. Rogue hanya bisa berhenti dan menyerah.
Bagaimanapun, Catherine seharusnya tidak mungkin meracuni makanannya. Rogue memutuskan untuk mempercayakannya sambil mengawasi.
Namun, dalam hitungan detik, terdengar suara panik,
“Ah, jangan kabur! Tunggu sebentar~!”
Sosis, telur dadar, dan bacon melompat-lompat melewati meja dapur. Rogue hanya bisa mematung, melihat Catherine menangkap pancake yang melayang, memadamkan api kecil, dan menyelamatkan piring yang hampir jatuh dengan gaya sliding.
“…”
“Tidak masalah! Aku tidak akan menyerah!”
Di balik meja dapur, pertunjukan akrobatik terus berlangsung. Rogue mulai bertanya-tanya apakah ini semua hanya mimpi.
Setelah beberapa waktu, Catherine muncul membawa nampan ke meja rendah. Di atasnya ada telur dadar yang mengepul, bacon dan sosis yang terlihat renyah, tiga tumpukan pancake, dan segelas susu.
“Silahkan, Penyidik. Makanlah.”
Catherine duduk di depan meja, memberi isyarat agar Rogue duduk di sofa.
Dengan sedikit bingung, Rogue akhirnya duduk dan mulai menyuapkan telur dadar ke mulutnya.
(Hm?)
“Bagaimana rasanya?”
“…Enak.”
Rasanya tak kalah dengan makanan yang disajikan di restoran. Rogue benar-benar tidak mengerti bagaimana makanan ini bisa jadi begitu baik setelah semua kekacauan barusan.
“Memasak adalah salah satu keahlianku,” jawab Catherine sambil tersenyum puas.
Rogue hanya bisa mengisi perut kosongnya, meski pikirannya penuh dengan kebingungan.
Setelah makan selesai, Rogue mencuci piring sendiri, memastikan Catherine tetap duduk diam agar tidak membuat kekacauan lagi. Saat ia kembali ke meja rendah, ia langsung bertanya,
“Jadi, sebenarnya apa tujuanmu ke sini?”
“Tujuan?”
Catherine terlihat bingung.
“Ya, pasti ada alasan kenapa kau datang, kan?”
Namun, Catherine malah tampak kebingungan,
“Umm… sebenarnya tidak ada…”
Wajahnya sama sekali tidak menunjukkan tanda-tanda berbohong. Rogue hanya bisa mendesah.
“Jadi kau benar-benar hanya datang ke sini karena merasa kau partner-ku?”
“Benar sekali.”
Jawabannya cepat dan tanpa ragu.
Rogue terdiam.
(Hanya itu?)
“…Kau pasti punya alasan lain.”
“Tidak, maaf… Saya hanya berpikir, mungkin Saya bisa membantu Anda. Saya sudah hidup lama, jadi saya bisa melakukan banyak hal, dan kupikir itu bisa meringankan pekerjaan Anda… apakah itu salah?”
“Tidak salah sih, tapi…”
Rogue merasa Catherine salah paham tentang apa itu partner. Bagi Rogue, itu hanyalah istilah untuk meningkatkan keamanan selama penyelidikan dengan bekerja berpasangan, tidak lebih.
Namun, ia tidak tahu harus berbuat apa. Memintanya pergi terasa kejam, tetapi membiarkannya di sini juga membuat suasana menjadi aneh.
Saat itu, perangkat komunikasi yang diletakkan di meja rendah bergetar. Ada panggilan masuk. Dalam sekejap, kedua pasang mata langsung tertuju ke layar perangkat tersebut.
“Silahkan angkat saja,” kata Catherine.
Di layar, tertulis nama atasan Rogue. Aura masalah langsung terasa begitu tebal. Hari ini memang sudah terasa aneh sejak pagi.
“...Halo,” jawab Rogue setelah mengambil perangkat itu. Suara lembut yang penuh manis langsung terdengar dari seberang.
“Selamat pagi, Rogue~”
“...Selamat pagi, Direktur.”
“Kok dingin sekali? Cobalah terdengar lebih senang. Kan ini telepon dari Velladonna tercinta~”
“...Hari ini hari libur saya.”
Mendengar jawabannya, suara dari perangkat itu langsung membalas, “Ah, Rogue~ Kamu tahu kan, libur bagi seorang penyidik itu lebih rapuh daripada salju tipis. Kasus tidak akan menunggu, sayang~”
“Saya mengerti...”
Suara tawa kecil terdengar dari perangkat.
“Baiklah, segera datang ke Kantor Divisi keenam. Aku akan menjelaskan detailnya di sana~”
“...Sekarang Anda berada di Divisi keenam?”
“Tentu saja. Jadi cepatlah datang, kalau tidak nanti aku bisa dimakan oleh ‘penyihir’~”
Kalimat itu membuat Rogue hampir saja menanggapi dengan candaan “Anda pasti baik-baik saja,” tetapi ia menahannya. Ia menarik napas dan berkata, “Baiklah. Saya akan berangkat sekarang.”
Namun, suara dari perangkat itu kembali berbicara, “Tentu saja, jangan lupa membawa ‘penyihir’ di sebelahmu~”
Rogue refleks melirik sekeliling ruangan. Tatapannya bertemu dengan Catherine, yang tersenyum canggung. Situasinya benar-benar tidak mendukung.
Dengan nada berat, Rogue bertanya, “...Apakah ini rencana Anda?”
“Mana mungkin? Aku hanya dapat laporan dari Riko. Dia bilang Catherine ada di tempatmu~”
“Baiklah... memang benar begitu.”
“Nah, bagus. Sampai jumpa, Rogue~ Jangan lama-lama ya.”
Panggilan berakhir.
Beban yang sebelumnya sudah berat kini semakin bertambah. Apa pun yang dibawa ke Divisi keenam pasti bukan masalah sepele. Kasus terakhir yang diselesaikannya bersama Catherine pun cukup membuatnya babak belur.
“Umm, Penyidik...” panggil Catherine, suaranya pelan.
“Seperti yang kamu dengar. Maaf, tapi setelah datang ke sini, kamu harus kembali lagi ke Divisi keenam.”
“Ah, tidak apa-apa... Tapi kalau Anda mau berganti pakaian, saya bisa membalikkan badan.”
Catherine mengatakan itu sambil buru-buru berjalan ke sudut ruangan, membelakangi Rogue. Kalimat tak terduga itu membuat Rogue membeku beberapa saat.
※※※
Dari distrik ketiga tempat kompleks perumahan berada, mereka melanjutkan perjalanan ke utara. Daerah itu adalah kawasan perumahan elit, dengan pemandangan indah, dipenuhi kondominium untuk kalangan orang kaya. Di sekitarnya terdapat butik bermerek, museum seni, dan galeri yang menjadi simbol status mereka.
Setelah melewati jalanan yang megah, mereka tiba di bagian luar kota, di mana sebuah gereja tua yang kusam tertutup tanaman merambat berdiri. Gereja ini jarang sekali dikunjungi orang, kecuali oleh Rogue dan rekan-rekannya.
Mobil berhenti di jalan berbatu, dan Rogue membuka pintu gereja. Bagian dalamnya kosong. Tidak ada jemaat yang duduk di bangku. Ia dan Catherine berjalan ke arah mimbar dan menunggu sejenak.
“Identifikasi selesai. Silahkan masuk,” sebuah suara seorang gadis terdengar dari atas.
Pintu di belakang mimbar perlahan terbuka, memperlihatkan lift yang membawa mereka ke bawah tanah. Rogue dan Catherine masuk ke dalamnya. Perasaan melayang karena lift yang meluncur ke bawah selalu membuat Rogue tidak nyaman. Namun, tidak ada pilihan lain. Pintu lift akhirnya terbuka, membawa mereka ke pintu masuk Divisi keenam—penjara bagi para penyihir.
“Selamat datang kembali, Penyidik Rogue,” suara tenang menyapa mereka.
Itu adalah Riko Raina, petugas administrasi Divisi keenam sekaligus pelayan para penyihir. Gadis berkacamata itu selalu menunjukkan ekspresi datar, membuatnya sulit untuk ditebak.
“Riko, di mana Direktur?”
“Di sana,” jawab Riko, menunjuk ke arah lain.
Dari kejauhan, sebuah suara terdengar, “Rogue~ Lama sekali kau~”
Di ujung aula, Direktur Velladonna Villard melambai dari salah satu kursi bundar. Penampilannya provokatif, dengan kemeja yang kancingnya terbuka lebar dan rok mini dengan belahan tinggi.
Meski terlihat tidak pantas dilihat untuk seorang direktur, ia memegang kendali penuh atas posisinya. Tidak ada yang meragukan kecerdasan maupun kelicikannya. Rogue sendiri pernah menjadi korban kelicikannya.
Velladonna melambai dengan antusias. “Cepatlah ke sini. Aku akan menjelaskan segalanya~”
“Sudah cukup cepat saya datang,” balas Rogue sambil duduk bersama Catherine. Sementara itu, Riko berdiri diam di dekat dinding.
Dengan santai menyilangkan kaki, Velladonna bertanya, “Bagaimana pertemuanmu dengan si penyihir?”
“Tidak ada yang istimewa. Atau... ini ulah Anda?”
“Ara~ Apa itu aneh? Dengan si Doll Fiend yang sudah mati, kau butuh membangun kepercayaan dengan pasangan barumu.”
Nama Doll Fiend membuat ekspresi Rogue sedikit berubah.
“Tanpa Anda suruh pun saya akan melakukannya. Itu memang tugas saya,” balasnya.
“Baiklah. Catherine, aku harap kau bisa bekerja sama dengan Rogue~” Velladonna memandang Catherine dengan senyum genit.
“Tentu. Saya akan berusaha,” jawab Catherine dengan sopan, tetap tersenyum.
“Bagus sekali. Kalau semua orang sepertimu, yang ‘patuh’, semuanya akan terasa lebih mudah,” Velladonna tertawa kecil.
Rogue hanya bisa menghela napas. “Saya rasa, tidak ada yang ‘tidak melawan’ karena mereka nyaman. Itu lebih karena... Anda lah orangnya.”
Velladonna hanya tersenyum licik. “Ah, Rogue, ada seni tersendiri dalam memimpin. Kalau kau paham caranya, semuanya akan terasa mudah~”
Rogue berkata dengan hati-hati,
“Setidaknya saya sudah cukup baik. Pendahulu sebelum saya bahkan hanya bertahan tiga puluh menit sebelum kembali.”
“...Apakah mereka kembali dalam keadaan hidup?”
Rogue bertanya, dan Velladonna tertawa.
“Menurut anda?”
“Tak masalah, itu pasti cerita karangan.”
Sambil menghela napas, Rogue berkata dengan nada asal-asalan. Velladonna kemudian menjawab,
“Memang tidak sepenuhnya karangan. Tapi mereka benar-benar kembali dalam waktu singkat. Hanya saja, mereka yang bertahan biasanya berakhir dirawat di rumah sakit selama sebulan, dan setelah itu langsung berhenti. Nah, begini...”
Velladonna berhenti sejenak sebelum melanjutkan,
“Para penyidik di Kantor Divisi Keenam cenderung tidak bertahan lama. Entah mereka melarikan diri atau mati, sehingga selalu berganti orang. Kadang bahkan penyelidikan pun tidak bisa diselesaikan. Tapi sejauh ini, kamu masih bertahan, kan?”
Rogue menjawab,
“Sampai sejauh ini, iya.”
“Benar. Sampai sejauh ini. Tapi tahu tidak, Rogue? Dalam insiden besar di mana satu-satunya korban adalah seorang penyihir yang ditangkap oleh Kantor Divisi Keenam, kamu sudah bertahan selama sebulan.”
Sambil berkata demikian, Velladonna bertepuk tangan.
“Dan karena itu, kamu menerima ucapan selamat dari Dua keluarga bangsawan besar.”
Dua keluarga bangsawan besar. Sebutan untuk gabungan dari keluarga Drakenia dan Rigton. Di antara mereka, keluarga Drakenia memegang kendali penuh atas Biro Investigasi Kejahatan Magis. Ide untuk menggunakan para penyihir dalam penyelidikan juga berasal dari mereka.
Velladonna melanjutkan,
“Rogue Macabesta, atas upayamu menangkap Chronos Drakenia serta keberhasilan dalam mengelola para penyihir dengan korban jiwa yang hanya satu Puppet Demon, kami mengapresiasi pencapaian luar biasa ini dan mengungkapkan rasa terima kasih yang mendalam.”
“...Kaum bangsawan memang selalu menjengkelkan,” komentar Rogue jujur.
Bagi para bangsawan, kehilangan penyihir yang mereka pelihara jauh lebih penting daripada keberhasilan menangkap Chronos. Fakta bahwa mereka dengan sengaja menyebut namanya dalam pesan itu terasa sangat licik.
Velladonna tersenyum lebar dan berkata,
“Aku akan pura-pura tidak mendengar itu. Berterimakasihlah padaku.”
“Maaf...”
“Kalau begitu, bagaimana kalau kita pergi berkencan malam ini?”
Velladonna menyilangkan kaki dan mengulurkan tangan ke arah Rogue. Meski jaraknya terlalu jauh untuk disentuh, gerakan jarinya terasa sangat menggoda.
(Dia memang selalu seperti ini...)
Menurut Velladonna, wajah Rogue adalah tipe yang disukainya. Meski Rogue menerima banyak manfaat dari perhatian Velladonna, dia berharap wanita itu bisa lebih serius dalam bekerja.
Sementara Rogue berusaha menenangkan pikirannya, Catherine membuka mulut.
“Direktur Velladonna, bercanda seperti itu terlihat tidak pantas. Kita sedang bekerja.”
Catherine berdiri dari kursinya, menggelengkan kepala seperti orang tua kepada anak kecil. Velladonna, yang sempat terdiam, kemudian tersenyum lebar dan bertanya,
“Oh? Bercanda seperti apa lebih tepatnya?”
Catherine menjawab tegas sambil membusungkan dada,
“Pernyataan yang melanggar norma kesusilaan. Terkadang Anda keterlaluan.”
(Terkadang, ya?)
Rogue berpikir. Bahkan seorang penyihir yang jarang bertemu Velladonna pun memiliki pendapat seperti ini. Sambil menghela napas, dia memperhatikan keduanya. Velladonna malah tersenyum semakin lebar dan berkata,
“Tapi tahu tidak, Saintess? Dengan logika itu, berarti kalau kita tidak sedang bekerja, itu tidak masalah, ya?”
“Itu... argumen yang mengada-ada!”
Catherine membantah, tetapi Velladonna hanya menempelkan tangan ke pipinya dan memiringkan kepala.
“Kalau ini disebut mengada-ada, aku tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Velladonna ini jadi sedih.”
“Anda bahkan tidak menangis!”
“Hatiku yang menangis.”
Catherine hendak menjawab, tetapi tampaknya kehabisan kata-kata. Dia akhirnya menghela napas berat.
“...Apa yang terjadi dengan Anda yang dulu baik hati?”
“Orang selalu tumbuh dan berubah,” jawab Velladonna sambil menoleh kembali ke Rogue.
“Rogue, ada pertanyaan?”
“Seberapa cepat sikap Anda bisa berubah?”
Rogue berkata dengan nada campur keheranan.
“Itu kelebihanku. Kamu juga harus belajar dariku,” jawab Velladonna sambil menyibakkan rambutnya yang bergelombang. Gerakannya terasa berlebihan dan teatrikal. Rogue yakin tidak akan pernah meniru sikap itu.
“Apa sebenarnya tugas yang harus kami tangani?” tanya Rogue akhirnya.
“Ah, tidak sabaran sekali,” jawab Velladonna santai.
“Tadi malam, sebuah ledakan terjadi di Museum Distrik Tiga. Pelakunya adalah seorang pria yang mengubah dirinya menjadi bom di tengah ruang pameran. Banyak korban berjatuhan. Informasi lengkapnya akan aku kirim nanti.”
“Pelakunya mengubah dirinya menjadi bom?”
“Benar. Kemungkinan sihir Expansion atau Self-Explosion. Identitasnya terungkap melalui rekaman kamera dan ID card. Kalau tidak, tubuhnya terlalu hancur untuk dikenali.”
“ID card? Berarti dia pegawai museum?”
“Seorang petugas keamanan.”
Velladonna memperlihatkan foto wajah pria muda berusia dua puluhan di layar perangkatnya.
“Selidiki kenapa dia menjadi bom. Apakah ini aksi tunggal atau ada motif lain. Jika ini bagian dari serangan teroganisir, kita harus menghentikannya di sini.”
Kemungkinan serangan teroris menggunakan sihir Self-Explosion. Alasan yang cukup kuat untuk melibatkan Kantor Divisi Keenam. Ini adalah kasus besar kedua yang ditangani Rogue sejak bergabung.
“Kau siap, Catherine?”
Catherine, sang Saintess, menjawab dengan tegas,
“Tentu saja. Serahkan padaku. Aku akan membuktikan bahwa aku bisa diandalkan.”
Sambil mengangguk mantap, dia mengepalkan tangan di depan dadanya.
“Semangat yang bagus, kalau begitu, lakukan yang terbaik. Aku akan bersantai di sini sementara kalian bekerja.” kata Velladonna.
“Direktur juga bisa ikut membantu...”
Velladonna menyilangkan kakinya dengan anggun.
“Mana mungkin. Aku punya tugas sendiri. Kalian fokus saja pada peran kalian. Rogue, pimpin para witch dengan baik.”
※※※
30 menit setelah menerima perintah dari Velladonna, mereka akhirnya tiba di lokasi tujuan. Mobil diparkir di tempat parkir kompleks, lalu mereka berjalan menuju pintu depan gedung.
Starilied Museum—museum besar dengan koleksi jutaan karya seni yang tersebar di lantai satu dan dua. Bangunan megah ini memiliki tampilan bak kuil, sehingga banyak orang yang datang hanya untuk mengagumi keindahannya. Namun, saat ini polisi telah memasang garis pembatas, dan tidak ada pengunjung yang diperbolehkan untuk memasuki area museum.
Setibanya di pintu utama, mereka menunjukkan identitas mereka—Penyidik langsung di bawah perintah Kepala Divisi Ileil dan rekan penyelidiknya—yang semakin terasa biasa diucapkan oleh Rogue. Polisi pun mengizinkan mereka masuk.
Mereka melewati aula besar, berjalan lurus menyusuri koridor, lalu berbelok ke kiri memasuki ruang pameran.
Ruangan itu dipenuhi patung-patung yang berjajar. Ada patung seorang pejuang yang gagah, seorang perempuan berkerudung, hingga kepala manusia yang diletakkan di atas alas. Cahaya matahari masuk melalui jendela, dan ruangan yang terbuka ini pasti akan terasa menyenangkan untuk dinikmati di hari-hari biasa. Namun, saat ini, sebagian besar patung di dalam ruangan hancur berantakan, serpihan-serpihannya berserakan di mana-mana. Bahkan, beberapa patung yang masih utuh tampak memiliki sisa-sisa daging yang menempel di permukaannya.
“…Ini mengerikan,” kata Catherine pelan.
Meskipun jenazah para korban telah dibawa ke kamar mayat, suasananya yang mencekam masih terasa di ruangan ini.
(Aku setuju dengan itu.)
Apa yang ada di pikiran pria itu sampai melakukan aksi seperti ini?
Kerusakan terparah terlihat di bagian tengah ruangan. Lantai di sana telah hancur, membentuk lubang besar seperti tanah yang dikeruk. Rogue memeriksa informasi pada perangkatnya.
Waktu kejadian: pukul 20:40.
Karena kejadiannya pada malam sabtu, jam operasional museum diperpanjang hingga malam. Walaupun jumlah pengunjung tidak seramai siang hari, masih ada lebih dari dua puluh orang di aula ini ketika kejadian berlangsung. Di tengah keramaian itu, seorang pria bernama John Brown melompat dari lantai dua. Sesaat kemudian, ledakan besar terjadi, menewaskan sebelas orang di sekitar tempat kejadian. Tubuh-tubuh mereka menjadi semacam “peredam,” memungkinkan beberapa pengunjung lain lolos tanpa cedera sedikit pun.
Sambil membaca data tersebut, Rogue berhenti pada satu bagian.
“…Apa ini?”
“Ada apa, Penyidik?” tanya Catherine.
“Barang-barang yang ditinggalkan pelaku tidak meninggalkan jejak sama sekali,” gumamnya dengan nada heran.
“Itu sesuatu yang luar biasa?” Catherine memiringkan kepalanya.
“Tim forensik di sini terkenal andal. Mustahil mereka tidak menemukan apa pun.”
“Oh, itu karena dia menggunakan sihir bom total pada seluruh tubuhnya,” jawab Catherine sambil mengangguk, seolah-olah memahami situasinya.
“Sihir bom total pada seluruh tubuh?”
(Memang, sihir seperti itu mungkin dilakukan…)
“Tapi, kenapa harus seluruh tubuhnya? Kalau tujuannya hanya membuat ledakan, kenapa tidak cukup dengan salah satu anggota tubuh saja? Atau lebih baik, kenapa tidak menggunakan benda mati? Bukankah lebih praktis?”
“Itu benar, mungkin dia ingin meningkatkan daya ledakannya. Sihir yang mengubah benda menjadi bom akan lebih kuat jika objeknya lebih besar. Tapi tetap saja, seperti yang Anda katakan, ini aneh. Apalagi, tubuh manusia pasti akan merasakan rasa sakit yang luar biasa karena sihir seperti itu.” Catherine meletakkan telunjuk di dagunya.
“Sakit? Maksudmu?”
Rogue menatap Catherine, dan gadis itu menunjukkan ekspresi sedikit terkejut.
“Anda tidak tahu? Menggunakan sihir perubahan bentuk pada tubuh sendiri itu sangat menyakitkan. Bahkan mengubah satu jari kecil saja bisa terasa seperti disiksa. Semua darah dan tulang dalam tubuh Anda diubah menjadi zat lain. Rasanya seperti menuangkan pasir panas ke dalam tubuh.”
Rogue bergidik membayangkan adegan mengerikan itu—tubuh seseorang diisi pasir yang dipanaskan hingga ratusan derajat.
“Jadi, pria ini sengaja memilih metode yang menyakitkan?” tanya Rogue.
“Benar,” jawab Catherine.
Entah karena dia seorang masokis, atau ada alasan kuat yang membuatnya rela menanggung penderitaan seperti itu.
“Ngomong-ngomong, dari mana kamu tahu kalau itu menyakitkan?” tanya Rogue curiga.
Mata Catherine mulai berkedip-kedip gugup.
“A-aku tidak sengaja mencoba menggunakannya pada diriku sendiri… jadi aku tahu rasanya…”
“…”
Rogue hanya bisa menghela napas panjang. Mereka melanjutkan penyelidikan, memeriksa setiap sudut aula, lalu kembali ke pintu keluar.
Masih ada waktu sebelum pertemuan berikutnya. Pekerjaan selesai lebih cepat dari yang diperkirakan. Ketika Rogue berpikir untuk memeriksa ulang, dia melihat patung besar berbentuk elang dengan sayap terbentang di dekat pintu keluar. Patung itu tampak utuh tanpa kerusakan berarti, mungkin karena lokasinya jauh dari pusat ledakan.
Tiba-tiba, suasana di sekitarnya menjadi gelap gulita.
Apa yang terjadi?
Apakah ada masalah dengan sistem kelistrikan?
Tapi tidak, hanya area tempat dia berdiri yang tampak diselimuti bayangan, dan bayangan itu semakin membesar. Sesuatu yang besar jatuh dari atas. Saat Rogue menyadari apa yang terjadi—
“Penyidik!”
Dia didorong ke samping.
Tubuhnya terjatuh ke lantai. Catherine menindihnya untuk melindunginya, dan kemudian terdengar suara gemuruh keras menggema di udara.
Sebuah lubang besar muncul di dinding batu. Patung elang tadi hancur lebur, dan debu mulai memenuhi udara.
Rogue bangkit perlahan, sementara Catherine sudah berdiri tegak, menatap ke arah debu yang beterbangan. Di balik awan debu itu, terlihat siluet seseorang. Dia melirik ke atas, ke arah lantai dua, dan melihat pagar besi yang bengkok.
(Jangan-jangan, orang itu melompat dari sana…)
Tatapannya kembali ke dinding yang hancur. Siluet itu mulai berdiri, dan ketika debu perlahan menghilang, sosoknya jadi terlihat jelas.
Seorang kesatria berzirah.
Tidak ada kata lain yang dapat menggambarkannya.
Kesatria itu mengenakan zirah perak penuh, seperti patung yang biasanya dipajang di museum ini. Helmnya memiliki pelindung wajah yang menutupi seluruh wajahnya, membuat wajahnya tidak terlihat. Tubuhnya tinggi dan besar, dengan lengan dan kaki yang panjang. Namun, hal yang paling menarik perhatian Rogue adalah—
Pedang besar yang dibawa kesatria itu.
Pedang yang ukurannya hampir sebesar tubuh manusia. Ketebalannya membuatnya terlihat lebih cocok untuk menghancurkan daripada memotong. Anehnya, kesatria itu memegangnya dengan mudah menggunakan satu tangan.
(Apa-apaan orang ini…)
Rogue tidak dapat memahami situasinya.
“Penyidik, mundurlah!” seru Catherine dengan nada serius.
“Kau tahu siapa dia?” tanya Rogue.
“Pedang itu…” jawab Catherine dengan suara rendah.
Ketika Catherine hendak menjawab, ksatria berzirah itu mulai bergerak menyerang mereka.
── Cepat.
Meskipun membawa pedang besar yang tampak sangat berat di atas bahunya, ia berlari dengan kecepatan luar biasa ke arah mereka. Tidak ada waktu untuk berpikir. Rogue segera menendang pecahan puing yang ada di dekat kakinya ke arah wajah ksatria itu dengan presisi sempurna.
Namun...
Ksatria itu tidak terpengaruh sama sekali dan terus menerjang ke depan. Dalam sekejap, ia sudah berada begitu dekat, mengayunkan pedang raksasanya ke arah Rogue.
Bayangan besar menyelimuti Rogue.
Dia akan dihancurkan── Menendang puing tadi adalah langkah yang keliru. Tidak mungkin dia bisa menghindar sepenuhnya. Jika beruntung, dia hanya akan kehilangan satu lengan. Jika tidak, tubuhnya akan hancur berkeping-keping.
Namun, pedang besi besar itu tidak pernah sampai ke tubuh Rogue.
Besi itu menghantam Catherine, bukan Rogue.
Lantai di bawah mereka retak seperti dihantam petir. “Catherine──!” suara Rogue tercekat saat melihatnya. Namun, Rogue terkejut ketika melihat Catherine melayang di udara. Dia berhasil menghindar tepat waktu.
“Penyiduk! Jangan bergerak dari sana!” teriak Catherine.
Tangan kanannya bersinar terang, dan sihir mulai diaktifkan.
Kilatan cahaya yang ditarik dengan begitu kuat itu mengarah langsung ke ksatria berzirah yang masih memegang pedangnya. Rogue membayangkan ksatria itu akan roboh. Tidak mungkin dia bisa menghindar tepat waktu. Kilatan sihir itu jauh lebih cepat dan pasti akan menghancurkannya.
Namun, saat itu juga, ksatria itu memutar pedang besarnya ke sisi kiri tubuhnya. Apakah dia berniat menangkis sihir Catherine dengan pedangnya?
“──!”
Yang terkejut justru Rogue.
Kilatan sihir itu, yang mampu menembus apa saja──baik zirah maupun besi tebal──menghilang begitu saja saat menyentuh pedang ksatria itu.
Ksatria itu kemudian menurunkan pedang dari bahunya dan bersiap dengan posisi bertarung. Ujung pedangnya mengarah langsung ke Catherine, Sang Penyihir Suci.
Dari celah kecil pada helmnya, mata merah darah sang ksatria terlihat jelas, menatap lurus ke arah Catherine. Seolah-olah, di dunia ini hanya Catherine yang ada dalam pandangannya. Sama sekali tidak ada perhatian yang diberikan pada Rogue.
Seolah dia tidak menganggap Rogue sebagai ancaman.
Karena merasa diremehkan, Rogue justru melihat itu sebagai sebuah kesempatan.
Dengan cepat, dia menarik napas dan mengarahkan tendangan sekuat tenaga ke belakang lutut ksatria itu.
Namun, saat kakinya mengenai zirah tersebut, Rogue langsung merasa ada yang tidak beres. Tendangannya seolah menghantam pohon raksasa, bukan tubuh manusia biasa. Berat dan kekuatan ksatria itu jelas melampaui batas manusia.
Makhluk apa ini?
Sihir tidak mempan. Serangan fisik mendadak pun tidak berpengaruh.
Bagaimana cara mengalahkannya?
Saat ksatria itu bersiap melangkah maju──
“Berhenti.”
Sebuah suara menghentikan semua pergerakan.
Suara itu berasal dari arah pintu masuk. Ketika Rogue menoleh, dia melihat seorang wanita berdiri di sana. Wanita itu mengenakan setelan gelap dengan rambut hitam yang diikat rapi ke belakang. Meskipun jelas melihat kehancuran ruangan itu, wanita itu hanya menyipitkan mata di balik kacamatanya.
Pada pinggangnya tergantung pedang ramping yang masih tersarung rapi. Setelah berhenti sesaat, wanita itu mulai berjalan mendekat dengan langkah tenang.
“Ya ampun, ini benar-benar kacau, ya, padahal saya sangat menantikan kunjungan ke museum yang megah ini. Sayangnya, semuanya jadi berantakan.” katanya, suaranya terdengar jelas di seluruh ruangan.
Ada sesuatu yang aneh pada wanita itu.
Ksatria berzirah yang sebelumnya sangat agresif kini berdiri diam tanpa bergerak. Dan, meskipun pedang yang dibawa wanita itu berbeda bentuknya, jelas dia juga seorang yang memegang senjata.
Wanita itu berpura-pura mengamati ruangan, lalu berhenti menatap Catherine.
“Oh, saya tidak salah lihat, kan? Seorang penyihir ada di tempat seperti ini. Betapa mengejutkan.”
“───Jangan mendekat!” seru Catherine sambil membalikkan tubuhnya, dengan tangan siap menyerang.
Wanita itu hanya mengangkat bahu.
“Tidak perlu segugup itu. Kalau saya bermaksud menyerang, saya tidak akan repot-repot menyapa kalian, kan? Lagipula, bukankah saya yang menghentikan serangan tadi?”
“Aku tidak mempercayaimu,” jawab Catherine tajam.
Wanita itu hanya menghela napas, lalu menoleh ke ksatria berzirah. Dengan isyarat kecil, ksatria itu mulai bergerak, berjalan lurus ke arah wanita tersebut.
Catherine, yang sebelumnya tampak percaya diri, kini mundur perlahan dengan ekspresi tegang. Rogue, yang menyadari keanehan ini, bertanya pelan...
“Siapa mereka…?”
“Kaum pemburu penyihir yang sudah ada di Kekaisaran selama lebih dari seribu tahun, mereka dikenal sebagai Eksekutor Pemenggal Kepala. Mereka adalah pelayan dua keluarga bangsawan besar, dan tugas mereka adalah memburu penyihir seperti saya.” jawab Catherine, suaranya hampir berbisik.
“Pemburu penyihir? Kenapa aku tidak pernah mendengar tentang mereka?”
“Sama seperti Divisi Keenam, keberadaan mereka dirahasiakan dari publik, hati-hati, Penyidik. Sebagian besar penyihir yang ada di penjara ditangkap oleh mereka.” bisik Catherine, suaranya semakin rendah.
Rogue terdiam. Sebuah organisasi bayangan── Apa yang harus dilakukan untuk menaklukkan penyihir sehebat Catherine?
Wanita itu kemudian berbicara, memecah keheningan.
“Sudah selesai berbicara, kan?”
“...Ya.”
“Kalau begitu, izinkan saya memperkenalkan diri. Nama saya Orlock. Saya adalah pelayan Keluarga Riggton──bagian dari Eksekutor Pemenggal Kepala. Suatu kehormatan bertemu dengan Anda.”
Orlock membungkuk sopan, lalu menunjuk ksatria di sebelahnya.
“Ini adalah asisten saya. Dia tidak memiliki nama, jadi silahkan beri nama sesuka Anda. James, Rick, apa saja. Dia adalah pelayan yang setia, mampu melakukan apa saja mulai dari membersihkan toilet hingga mengurus peliharaan.”
Nada suaranya penuh kepalsuan dan senyumannya terasa licik. Jelas, dia tidak berusaha membangun kepercayaan.
“Aku adalah Kepala Divisi Keenam, Rogue Macabesta, baru saja, penyihirku hampir dibunuh oleh asistenmu. Apa yang akan kau katakan tentang itu?” jawab Rogue tegas.
Orlock menggeleng perlahan.
“Asisten saya sangat membenci penyihir. Melihat collar saja sudah membuatnya kehilangan akal. Tadi, kami terpisah, dan saya tidak menyangka ada penyihir di sini. Ini adalah kecelakaan yang tidak menguntungkan bagi kita semua.”
Melihat tembok yang bolong dan lantai yang retak, Rogue tidak percaya insiden ini disebut sebagai “kecelakaan.”
“Apa jaminannya kalau kalian tidak berbohong?” tanyanya dingin.
“Jaminan?”
“Mereka bilang kalian pemburu penyihir. Apa kalian benar-benar tidak berniat memburu Catherine?”
“Oh, itu adalah kesalahpahaman besar, saya bersumpah atas kehormatan keluarga saya. Jika Anda menginginkannya, saya bahkan bersedia menyerahkan kepala saya sebagai bukti.” jawab Orlock sambil tersenyum tipis.
Dengan nada santai, wanita itu berkata, membuat kesal hingga akhirnya Rogue memijat pelipisnya.
“…Aku sudah punya banyak pekerjaan penyelidikan. Kalau kalian tidak berniat membuat masalah lagi, lebih baik menjauh saja. Jangan ganggu kami.”
“Jangan berkata begitu. Saya pikir kita bisa bekerja sama. Mari kita hadapi kasus besar ini bersama,” ucap wanita itu dengan nada ringan.
Kasus besar. Wanita itu menyebutnya begitu.
—Jadi, dia sudah mengetahui sesuatu tentang kasus ini, dan sengaja ikut campur.
Sambil melirik ke arah Catherine, Rogue pun berkata,
“…Kami hanya perlu menyelidiki tujuan utama pelaku yang meledakkan diri. Bantuan kalian tidak diperlukan.”
“Oh, jadi itu tujuannya, ya!”
Wanita itu tiba-tiba menaikkan suaranya, tampak begitu terhibur, memandang Rogue dengan ekspresi penuh rasa ingin tahu.
“Apa yang lucu?”
“Ah, tidak, tidak. Tampaknya saya terlalu cepat menyimpulkan. Jangan dipikirkan,” jawabnya sambil menutupi mulutnya dengan tangan kanan, namun tawa kecilnya jelas terdengar.
“Memalukan sekali, ya. Maaf, maaf. Tak kusangka kalian baru sampai di tahap itu.”
“Tahap itu…? Apa maksudmu?”
“Maaf, tapi soal itu saya tidak bisa menjelaskan. Ada hal-hal yang bisa kukatakan, dan ada yang tidak.”
Lalu, sambil mengangkat bahu, dia menambahkan, “Namun, jika penyelidikan kalian berlanjut, mungkin kita akan bertemu lagi.”
Wanita itu kemudian berbalik. Ksatria berzirah langsung mengikutinya tanpa mengeluarkan suara.
“Tunggu, ke mana kalian akan pergi?”
“Keluar. Urusan saya di sini sudah selesai.”
Dia terus berjalan lurus ke arah pintu keluar. Rogue, yang hanya bisa terdiam, menyaksikan mereka sampai ke ambang pintu ruangan. Lalu, wanita itu tiba-tiba berhenti dan berkata...
“Oh ya, kami yang akan bertanggungjawab atas kerusakan di ruangan ini. Jadi, jangan khawatirkan soal itu. Sampai jumpa.”
Kali ini, mereka benar-benar menghilang dari ruang pameran, meninggalkan reruntuhan patung dan debu yang berterbangan.
Benar-benar tidak masuk akal.
“…Mereka yang menangkap para penyihir?”
Catherine berbalik menghadap Rogue dan menjelaskan,
“Itu terjadi ratusan tahun yang lalu. Saya tidak tahu apakah beheading unit yang sekarang benar-benar sama seperti dulu. Tapi, setahu saya, di masa lalu mereka terlibat dalam eksperimen tubuh yang disebut ‘ilmu rahasia.’ Mereka memodifikasi tubuh agar tidak merasakan sakit, atau menyematkan senjata rahasia di tangan dan kaki mereka. Akhirnya, puncak dari semua itu adalah terciptanya demonic swords.”
“Demonic swords?”
Rogue mengulangi kata itu.
“Itu senjata sihir yang terdiri dari tujuh puluh dua pedang. Entah bagaimana caranya, mereka ‘menggabungkan’ sihir dengan pedang secara artifisial. Sihir ini sangat mematikan bagi penyihir. Dan sihir itu tertanam di setiap pedang. Faktanya, ada penyihir yang tewas karena lengah terhadap pedang-pedang itu.”
Tewas.
Rogue merasa seperti kepalanya berputar. Jadi, memang ada manusia yang berhasil membunuh penyihir.
“Kau juga pernah melawan mereka?”
“Ya.”
Catherine menjawab sambil melirik ke arah bekas kehancuran di ruang pameran.
Reruntuhan di sekitar mereka benar-benar hancur berantakan. Dengan kekuatan seperti itu, mungkin saja penyihir akan kesulitan bertahan jika terkena serangan langsung.
“Mereka adalah orang-orang yang sama sekali tak peduli pada nyawa manusia. Akan lebih baik jika kita tidak terlibat dengan mereka.”
Catherine berkata serius.
Setelah berbicara sebentar dengan Catherine, Rogue juga menyadari betapa berbahayanya wanita tadi. Wanita itu tampaknya menganggap semua orang selain dirinya hanyalah alat. Entah karena posisinya sebagai pelayan bangsawan besar, atau memang sifat alaminya, Rogue memutuskan bahwa ia tak ingin berurusan lebih jauh dengan orang seperti itu.
Ketika melihat jam, ia sadar waktu pertemuannya dengan direktur museum hampir tiba. Gara-gara ksatria dan wanita itu, Rogue bahkan lupa akan hal ini.
“…Ayo pergi. Direktur sedang menunggu.”
※※※
Di salah satu sudut ruang belakang museum, terdapat deretan monitor dan kursi. Seharusnya, tempat ini dijaga oleh petugas keamanan. Namun saat ini, pria yang duduk dan mengoperasikan perangkat di sana adalah direktur Stralreed Museum sendiri.
Namanya Tom Diaz. Lima tahun yang lalu, ia diangkat sebagai direktur. Rogue sepertinya pernah melihat wajahnya di koran, meskipun samar-samar. Pria paruh baya berbadan kekar itu diketahui gemar berolahraga di gym pada hari libur. Namun kali ini, wajahnya tampak pucat saat mengoperasikan monitor di hadapannya.
“Tak kusangka hal seperti ini terjadi.”
Di layar, terlihat rekaman John Brown sebelum ia meledakkan diri. Saat itu, John mengenakan seragam petugas keamanan, berdiri diam di dekat dinding aula utama lantai satu.
Dalam rekaman yang dipercepat, Rogue dan Catherine mengamati kegiatan John dari saat ia tiba di museum hingga insiden terjadi. Dua jam berlalu, dari pukul tiga hingga lima sore, namun tak ada tindakan mencurigakan. John hanya terlihat berkeliling memantau seperti petugas lain.
“Sepertinya tidak ada yang mencurigakan,” komentar Catherine.
“Apakah ada tanda-tanda aneh pada dirinya sebelum insiden?” tanya Rogue.
Direktur menggeleng.
“Tidak ada, setahuku…”
“Hal sekecil apa pun tidak masalah. Misalnya, bagaimana sikap kerjanya?”
“John pekerja keras. Ia tak pernah terlambat atau bermalas-malasan tanpa izin. Seingatku, ia juga tidak pernah berselisih dengan rekan kerjanya.”
Direktur menjawab dengan yakin.
Hal ini mengesampingkan kemungkinan adanya dendam pribadi di tempat kerja, membuat Rogue semakin yakin bahwa ini mungkin serangan teroris. Ketika ia berpikir keras, direktur menambahkan,
“Oh ya, seminggu lalu dia mengajukan cuti.”
“Cuti?”
“Ya. Tidak lama, hanya dua atau tiga hari.”
“Apakah Anda tahu apa yang dia lakukan selama itu?” tanya Rogue.
“Aku tidak tahu. Tapi mungkin temannya, Dickie, tahu. Mereka sering terlihat bersama.”
“Apakah kita bisa menghubungi temannya itu?”
Direktur tampak sedikit cemas.
“Tentu, tapi… jangan-jangan Dickie juga terlibat?”
“Untuk memastikan itu, kami perlu berbicara dengannya,” jawab Rogue.
“Baiklah. Tunggu sebentar,” ucap direktur sembari berdiri dan menuju perangkat komunikasi di ruangan itu. Suara dering panggilan memenuhi ruangan.
Beberapa saat kemudian, ia kembali.
“Aku berhasil menghubunginya. Dia sedang berada di dekat sini, jadi dia akan segera datang… Oh, ternyata dia sudah hampir sampai.”
Sambil menatap monitor, sang direktur berkata demikian. Rekaman video terus diputar. John Brown, yang sebelumnya berada di lantai satu, kini bergerak ke lantai dua. Waktu yang tercatat di rekaman menunjukkan pukul 20:39—satu menit sebelum ledakan terjadi.
John Brown, manusia bom, berdiri di depan balkon ruangan pameran ketiga. Dari posisi kamera, wajahnya tidak terlihat jelas. Dia tampak bergumam sesuatu. Tepat di bawahnya adalah patung yang sebentar lagi akan hancur berkeping-keping.
Direktur menghela napas sambil berkata dengan nada penuh penyesalan.
“Itu ‘Perempuan di Atas Perahu’. Sungguh menyakitkan harus melihatnya hancur lagi dan lagi.”
Dan kemudian, pada saat jarum jam menunjukkan pukul 20:40 tepat, John Brown memanjat pagar pembatas balkon.
“──kanlah!”
Dia berteriak sesuatu sambil melompat, dan sesaat sebelum tubuhnya menyentuh lantai, ledakan terjadi.
Kilatan cahaya, jeritan, dan pemandangan yang begitu mengerikan hingga membuat siapa pun ingin memalingkan wajah.
“Bisakah diputar ulang ke saat sebelum dia melompat?”
Permintaan Rogue membuat direktur, meskipun dengan wajah pucat pasi, memutar ulang rekaman.
“──Berikanlah!”
Suara itu tidak begitu jelas, seperti terganggu oleh gangguan suara lain. Rogue meminta direktur untuk memutar ulang lagi. Kali ini, kata-kata pria itu terdengar lebih jelas.
“Berikanlah aku kunci keselamatan!”
Itulah yang dia ucapkan.
Sebuah frasa yang sama sekali tidak masuk akal.
(Pesan kepada seseorang... apakah itu maksudnya?)
Rogue memikirkan kata-kata itu sambil menghentikan video.
Jika dihubungkan dengan kata “kunci”, itu mengingatkan pada brankas atau gembok penjara. Tetapi di atas kata “kunci”, ada kata “keselamatan”. Apa arti sebenarnya dari frasa ini? Jika ini adalah tindakan teroris, bisa saja itu merupakan kode untuk membebaskan rekan yang ditahan. Tapi bukankah seharusnya pesan mereka lebih jelas dan langsung?
“Penyidik, lihat ini─”
Catherine menunjuk monitor. Itu adalah rekaman kamera di lantai satu. Dalam rekaman, kepala pria itu sedikit mendongak, sehingga bagian atas wajahnya terlihat.
Wajahnya dipenuhi dengan sesuatu yang menyerupai sumbu peledak. Sumbu itu memenuhi matanya, keningnya, hingga hampir seluruh wajahnya tertutupi sumbu peledak. Ujung-ujung sumbu memercikkan bunga api kecil, membuat wajahnya terlihat semakin jelas.
Sialan.
Apapun motifnya, ini adalah sihir yang tidak masuk akal.
“Apakah semua sihir jenis ini menghasilkan efek seperti ini?”
Tanya Rogue, dan Catherine menjawab.
“Tidak. Sumbu-sumbu ini terbentuk dari sihir pribadi pemiliknya, biasanya hanya satu atau dua yang muncul. Tapi ini... ini pertama kalinya saya melihat sesuatu seperti ini.”
Ada sekitar lima puluh sumbu memenuhi wajah pria itu. Ini jelas tidak normal. Berdasarkan penjelasan Catherine, pria ini memiliki kekuatan sihir yang sangat besar.
Saat Rogue masih memandangi rekaman itu, direktur tiba-tiba berseru.
“Ah, Dickey, sini!”
Rogue memalingkan wajah dari monitor. Di pintu kantor, seorang pria muda berdiri. Wajahnya polos, tetapi ada sesuatu yang aneh.
Dia berdiri kaku di depan pintu, dengan kedua tangan menggantung lemas di sisi tubuhnya.
“Dickey?”
Direktur memanggilnya, tetapi pria itu tidak bergerak. Hanya menatap dengan pandangan kosong dan berkata dengan suara berbisik.
“Berikanlah aku kunci keselamatan. Maka zaman para penyihir akan tiba. Kunci keselamatan... berikanlah.”
──Zaman para penyihir.
Kata-kata yang pernah didengar Rogue sebelumnya. Zaman yang hendak diciptakan kembali oleh pria bangsawan—zaman dongeng di mana para penyihir berkuasa, dan manusia hidup di bawah ancaman mereka.
Mengapa pria ini mengucapkan hal tersebut?
“Apa yang kau ketahui?”
Tanya Rogue, tetapi pria itu tidak menjawab. Sebaliknya, dia menutup wajahnya dengan kedua tangan.
Dari celah-celah tangannya, sesuatu mulai keluar. Seutas tali dengan api kecil di ujungnya—sumbu peledak. Menyadari apa yang akan terjadi, Rogue berteriak.
“──Direktur Diaz, mundur! Dia bom hidup!”
Pria itu mulai berlari ke arah mereka.
Saat dia melepaskan tangannya dari wajahnya, seketika wajahnya yang berubah menjadi menyeramkan terlihat jelas. Sama seperti John Brown di rekaman, wajahnya dipenuhi oleh sumbu peledak. Gerakannya tidak masuk akal, tetapi sangat cepat. Kursi-kursi di lorong ditendanginya hingga terlempar ke mana-mana, sementara dia terus mendekat. Mulutnya, satu-satunya bagian yang tidak tertutup sumbu, terus bergerak.
“Berikan kuncinya! Kunci keselamatan!”
Catherine mengarahkan tangan kanannya sambil berseru,
“Roh penjaga!”
Partikel cahaya menyelimuti tubuh pria itu, tetapi tidak menghentikannya. Malah, sumbu di wajahnya semakin cepat terbakar habis. Catherine tampak terkejut.
“Ti-tidak bisa dinetralkan! Pria ini telah ‘bersatu’ dengan sihir!”
Tubuh pria itu mulai retak, mengeluarkan cahaya yang sangat terang dari dalamnya.
Kilatan cahaya menyilaukan.
Lalu, suara ledakan berat yang menggema, membuat gendang telinga bergetar hebat.
Beberapa detik berlalu. Saat Rogue membuka mata perlahan, dia melihat sebuah dinding transparan di hadapannya. Dinding itu membentang hingga menutup seluruh ruang, melindungi mereka dari ledakan. Ketika Rogue melihat Catherine, dia berkata,
“Untunglah... saya sempat mengaktifkan sihir pelindung.”
Dinding itu menghilang secara perlahan, dan serpihan-serpihan merah yang menempel di permukaannya jatuh ke lantai.
Di sisi lain dinding, Rogue melihat ruangan itu telah hancur berantakan. Meja dan kursi terlempar, sebagian besar dinding dan langit-langit roboh. Kerusakan yang sangat mirip dengan yang terjadi di ruang pameran sebelumnya.
“Astaga... bagaimana bisa begini...”
Direktur terduduk dengan wajah penuh penyesalan.
Terdengar banyak langkah kaki dari lorong.
Itu adalah polisi, yang rupanya mendengar suara ledakan tersebut.
Rogue berjalan menghindari genangan darah dan bau gosong, melangkah ke tengah ruangan yang rusak. Tidak ada tanda-tanda pria itu akan hidup kembali.
※※※
“Bagaimana?”
Suara dari perangkat komunikasi bertanya dengan nada datar.
“Kami bermaksud mewawancarai teman John Brown, tetapi pria itu meledak tepat di depan kami,” jawab Rogue.
Dia melirik Catherine di sampingnya, lalu melanjutkan,
“Tidak ada yang terluka, tetapi dinding dalam kantor, langit-langit, beberapa kursi, meja, dan lampu rusak akibat ledakan itu.”
Sekarang mereka berada di tempat parkir—dalam sebuah mobil. Setelah menjelaskan situasi mereka kepada polisi, menyerahkan kepala museum ke tim medis untuk berjaga-jaga, mereka tiba di sini.
Di sisi lain perangkat komunikasi, Velladonna berkata,
“Itu pasti berat ya. Yang penting tidak ada yang terluka.”
“Jangan bercanda dulu... Lebih baik jawab satu hal. Direktur, Anda tahu sesuatu tentang kasus ini, bukan?”
“Oh, kenapa kamu berpikir begitu?”
“Kami bertemu dengan kelompok yang disebut Executioner Squad di museum. Mereka melayani salah satu dari dua keluarga bangsawan besar, keluarga Riggton. Kenapa mereka ikut campur dalam kasus ini? Dan...”
Rogue melanjutkan,
“Pria yang meledak itu mengatakan sesuatu tentang ‘Era Penyihir.’ Direktur, jangan-jangan Anda menyembunyikan sesuatu lagi dari kami.”
“Kamu ingin mengatakan kalau trik yang sama tidak akan berhasil lagi?” ujar Velladonna. Itu terdengar seperti pengakuan.
“Baiklah. Awalnya aku dilarang berbicara, tapi jika kamu sudah menghentikan bom itu, maka Saint juga pasti sudah tahu. Aku akan memberitahumu. Rogue, pastikan Catherine juga mendengarkan.”
Rogue menjauhkan perangkat dari telinganya, memegangnya di dada, dan Catherine mendekat untuk mendengarkan.
“Seperti yang kamu duga, kasus ini melibatkan dua keluarga bangsawan besar. Kali ini, keluarga Riggton tidak bisa lepas tangan. Mereka bahkan mengerahkan pasukan sendiri untuk mencari seseorang—seorang tahanan yang melarikan diri.”
“Melarikan diri?”
Rogue mulai merasakan firasat buruk.
“Kamu pasti mengenalnya. Tugas sebenarnya adalah menangkap orang itu—seorang tahanan yang melarikan diri dari penjara khusus yang dikelola keluarga Riggton.”
Orang dari dua keluarga bangsawan besar yang Rogue kenal—hanya ada satu orang seperti itu. Seorang pria yang dijuluki Lifetaker, yang telah memanipulasi waktu hidup banyak orang dan membunuh mereka.
“Jangan bilang… Chronos Drakenia?”
“Benar sekali.”
Namun, Rogue sulit menerima kenyataan itu.
“...Anda serius? Bagaimana mungkin seseorang yang sudah tertangkap bisa berada di luar sana lagi?”
“Itulah masalahnya, sayangnya ini benar-benar terjadi.”
Velladonna menjawab dengan tenang.
“Caranya keluar juga sama seperti yang terjadi di museum. Dia menjadikan tiga penjaga penjara sebagai ‘bom’. Oh, dan Catherine, tolong jelaskan kepada Rogue tentang kondisi sihir kali ini.”
Catherine, yang dari tadi duduk tenang, memperbaiki posisi duduknya. Ia tampak tidak terpengaruh oleh penyebutan nama Lifetaker.
“Penyidik, kondisi ‘bom’ itu sudah benar-benar menyatu dengan orang tersebut. Saat saya mencoba menggunakan sihir pelepasan, saya baru menyadarinya. Kalau hanya sihir biasa, bahkan sihir penyihir sekalipun, saya bisa melepaskannya. Tapi kali ini, saya tidak bisa menemukan satu pun celah.”
Velladonna kembali berbicara.
“Itulah masalahnya. Mereka juga mencoba melepaskan sihir itu dari tiga penjaga sebelum mereka meledak, tapi gagal. Untungnya, Chronos dipenjara di sel khusus VIP. Jika bukan hanya dia, tapi tahanan lain juga melarikan diri, situasinya akan jauh lebih buruk.”
“John Brown berteriak, ‘Beri aku kunci keselamatan,’ sebelum meledak. Jika itu sebuah pesan, ini sangat aneh. Apa maksud Chronos dengan semua ini?”
Rogue bertanya, dan Velladonna menjawab,
“Itu tergantung pada tujuan akhirnya. Kenapa dia tidak kabur jauh-jauh setelah melarikan diri, malah terus melakukan kejahatan? Jika dia memberikan petunjuk kepada kita, maka gunakan sebaik-baiknya. Oh, dan Rogue, keluarga bangsawan besar sangat marah atas insiden ini. Mereka ingin dia dibawa kembali hidup-hidup. Jangan sampai gagal, ya.”
Panggilan terputus.
Sambil menggenggam perangkat, Rogue berpikir. Orang itu benar-benar keluar? Bagaimana mungkin hal seperti itu bisa terjadi?
Tiba-tiba, Catherine berkata,
“Jika Miselia ada di sini, dia pasti bisa membatalkan sihir itu.”
Rogue menatap Catherine, terkejut mendengar nama itu. Wajahnya tampak seperti seseorang yang baru saja mendapat ide.
“Sihir itu baru saja menyatu dengan korban. Jika kita menyentuh bagian terdalam dari pikirannya, kita pasti bisa mencabut sihir itu.”
Rogue menjawab dengan hati-hati, mencoba menahan ekspresi wajahnya.
“...Dia sudah mati.”
“Benar juga, maafkan saya.”
Catherine menunduk dengan wajah menyesal.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.