Bab 5
Tersebarnya Reputasi (Buruk?)
Agustus berlalu, dan September pun datang. Tibalah waktunya menyambut semester baru.
Sampai bulan lalu, kalender yang tergantung di rumah penuh dengan gambar-gambar yang mengingatkan pada musim panas seperti sinar matahari, semangka, dan bunga matahari.
Namun, begitu lembaran itu dibalik, muncul gambar bulan purnama di langit malam dan rumput ilalang yang melambangkan musim gugur.
Di luar, panas masih terasa menyengat, sehingga belum ada tanda-tanda perubahan musim yang bisa dirasakan.
“Sudah setahun berlalu sejak saat itu...”
Pagi itu, ketika bangkit dari tempat tidur dan mempersiapkan sarapan, aku bergumam pada diriku sendiri dengan kepala yang masih belum sepenuhnya terjaga.
Musim telah berputar sejak tahun lalu, dan kini adalah musim gugur kedua dalam kehidupanku sebagai siswa SMA.
“Maukah kamu berteman denganku?”
Setahun yang lalu, pertanyaan seorang gadis dari kelasku menjadi awal dari perubahan besar dalam hidupku. Selama setahun ini, hubungan di sekitarku berubah total. Dari yang tadinya hanya menyendiri dan menutup diri, kini satu per satu orang mulai memanggil namaku dan melambaikan tangan padaku.
Dulu, aku tak mengerti perasaan siswa yang mengatakan bahwa sekolah itu menyenangkan.
Namun kini, menyambut pagi yang baru rasanya menjadi sedikit lebih menyenangkan… mungkin.
“Maki, selamat pagi. Mulai hari ini kita kembali belajar lagi. Sudah kerjakan tugasmu?”
“Tentu saja. Gimana denganmu, Umi?”
“…Kemarin aku seharian berada di rumah Yuu. Ngomong-ngomong, entah kenapa Nina juga ada di sana.”
“Seperti yang diharapkan dari Umi. Baiklah, selamat berjuang.”
Kebiasaan siswa yang mengalami kesibukan besar di hari terakhir liburan musim panas tampaknya juga telah dirasakan oleh Umi.
Dari senyum pahitnya, aku bisa membayangkan betapa sibuknya suasana di rumah keluarga Amami kemarin, jadi aku mengusap kepalanya dengan lembut sebagai tanda apresiasi.
“Ehehe… Maki, akhir-akhir ini kamu semakin pandai mengusap kepala, ya. Rasanya sangat nyaman kalau seperti ini.”
“Benarkah? Syukurlah, kalau begitu.”
Sejak musim panas berlalu, kontak fisikku dengan Umi semakin bertambah. Sedikit demi sedikit, aku mulai mengerti tentang tubuhnya seperti bagian yang sensitif, area yang tegang, dan tempat-tempat yang membuatnya merasa nyaman saat kusentuh. Rahasia tentang dirinya yang tidak diketahui teman-teman seperti Amami-san atau Nitta-san, hanya aku yang tahu sebagai pacarnya.
Dan, Umi pun tahu hampir segalanya tentang diriku.
“Ngomong-ngomong, mulai hari ini kamu pakai blazer juga ya, Umi. Tidak panas?”
“Tentu saja panas. Tapi ini sudah musim gugur… Tak terasa, sudah setahun berlalu.”
“Iya, benar.”
“Bagaimana, Maki? Bagimu, setahun ini terasa cepat?”
“Setengah-setengah, kurasa. Enam bulan pertama terasa panjang seperti neraka, dan enam bulan berikutnya seakan dipenuhi cahaya.”
“Haha, benar-benar setengah-setengah, ya. Lalu, bagaimana sekarang?”
“Sekarang, aku selalu berada dalam cahaya.”
“Begitu, ya. Aku juga.”
Sudah hampir setahun sejak kami berteman, dan kira-kira sembilan bulan sejak kami berpacaran… Hari-hariku bersama Umi terasa cepat berlalu jika aku lengah.
Begitupun sekarang. Kukira kami hanya berbicara sebentar sebagai pasangan, tetapi ketika melihat jam, aku tersadar bahwa sudah waktunya berangkat ke sekolah.
Satu jam waktu sebenarnya terasa hanya lima atau sepuluh menit saja… kadang aku jadi ragu apakah waktu benar-benar mengalir secara adil.
“Baiklah, waktunya sudah tiba, ayo kita berangkat ke sekolah?”
“Ya.”
Dengan alami kami berpegangan tangan dan keluar rumah bersama.
Awalnya, ketika baru mulai berpacaran, kami merasa malu untuk menunjukkan hal ini di depan umum.
Namun setelah terbiasa, kini kami tak peduli pada pandangan orang lain dan dengan percaya diri menggenggam erat tangan satu sama lain. Umi adalah pacarku. Jadi tidak ada yang perlu disembunyikan.
Meskipun ini adalah hari pertama sekolah setelah liburan musim panas, aku tidak merasakan efek “liburan” karena sejak liburan Obon, kami hampir setiap hari datang ke sekolah untuk berlatih untuk festival olahraga. Akan tetapi, kami baru benar-benar memasuki suasana semester kedua setelah acara utama festival olahraga yang akan berlangsung akhir pekan ini selesai.
“Selamat pagi untuk kalian berdua…”
“Selamat pagi, Yuu. Aku sudah pulang sebelum tengah malam kemarin. Bagaimana kabarmu setelah itu?”
“Aku baru selesai, sepertinya baru saja.”
“Baiklah, kamu memang hebat banget, sahabatku. Terimakasih sudah bekerja keras.”
“Hehe, puji aku lebih lagi, dong~”
Kedua sahabat ini memang masih seperti setahun yang lalu, tetapi perjalanan mereka tidak selalu berjalan mulus. Mereka pernah berdebat dengan penuh emosi, bahkan sempat muncul celah di antara mereka. Namun, meskipun begitu, kini mereka tetap bisa tersenyum dan berbagi keakraban seperti ini.
Aku tidak berniat mengatakan bahwa “semua akan baik-baik saja jika berakhir dengan baik” atau semacamnya. Tapi, aku merasa inilah yang terbaik untuk saat ini.
“Oh, pemandangan yang biasa. Melihat ini membuatku merasa bahwa sekolah memang sudah dimulai lagi.”
“Yo, Maki, dan juga Asanagi-san juga Amami-san.”
“Eh? Nina-chan dan Seki-kun? Selamat pagi. Wah, kalian pasangan yang cukup langka... Jangan-jangan selama ini aku tidak tahu kalau kalian...!”
“Mustahil, serius,” seru mereka berdua serempak menyangkal.
Namun, aku merasa mereka terlihat cukup cocok. Mungkin hanya cocok sebagai teman, dan belum tentu cocok sebagai pasangan.
Setahun ini banyak hal yang kupelajari, tetapi memahami dinamika hubungan antar manusia ternyata sangatlah sulit.
“Baiklah, aku harus pergi dulu karena tim pemandi sorak ada latihan pagi hari ini. Maaf harus meninggalkan kalian berempat, tapi aku serius tidak akan membiarkan kami kalah.”
“Kalah besar dalam urusan asmara, ya?”
“Ugh.”
“No-Nozomi...! Nitta-san, itu tidak perlu diucapkan, kan?”
“Ups, maaf.”
“...Nina, kamu benar-benar butuh dijentik lagi.”
“Iya, iya. Nah, sana, cepat pergi latihan.”
Percakapan yang telah menjadi kebiasaan di antara kami berlima ini membuatku merasa benar-benar memulai semester baru.
Dengan perasaan baru, bersama teman-teman baru... meskipun sedikit malu menyebut mereka demikian, aku berharap bisa menikmati tahun ini bersama mereka.
Namun, di tengah suasana sehari-hari yang biasa itu, tiba-tiba terdengar bisikan yang mengusik.
── Lihat itu, orang di sana.
── Benar. Wah, tampangnya biasa gitu, tapi ternyata cukup populer.
── Satunya pacarnya, dan yang dua lagi temannya, ya?
── Duh, itu agak keterlaluan, sih.
Umi, Amami-san, dan Nitta-san berusaha untuk tetap seperti biasa agar orang lain tidak memperhatikan, tapi dari raut wajah mereka terlihat agak kesal.
“Dulu suasana sudah sempat tenang... tapi tiba-tiba aku juga masuk ke dalam ‘harem ketua’ katanya. Ketua, apa kamu tahu sesuatu?”
“Aku... Tidak ingat ada melakukan hal yang bisa menarik perhatian. Benar kan, Umi?”
“Benar. Aku dan Maki memang pacaran, jadi aku tidak masalah kalau orang membicarakan hal itu… Tapi, apa mungkin ada rumor aneh yang tersebar? Yuu, kamu pernah dengar sesuatu dari anak-anak kelas satu atau kakak kelas?”
“Eh? U-uh... sepertinya tidak ada... Anak-anak di kelompokku semuanya baik, jadi rasanya tidak ada yang aneh…”
Sejauh ini, tidak ada yang bisa kami pikirkan sebagai penyebabnya. Aku memang satu-satunya laki-laki yang sering bersama dengan tiga gadis (Umi, Amami-san, dan Nitta-san), jadi mungkin mereka hanya menyebarkan hal-hal yang konyol tentang itu.
Meski terasa menjengkelkan, mungkin itu hanya omong kosong yang bisa diabaikan.
Dulu juga, rumor semacam ini sempat terdengar saat kami masih di kelas satu, tapi kali ini sepertinya lebih besar karena ada kaitannya dengan festival olahraga. Bahkan rumor ini sampai terdengar ke kelas lain. Kami sempat merasa lega setelah bisa meredam hal ini, namun tampaknya masih saja berlanjut.
“Biasanya, ini bisa diabaikan aja… tapi Nitta-san, bisakah kamu mencari tahu sedikit tentang ini?”
“Tentu. Karena aku belum dengar dari teman-teman seangkatan, mungkin asalnya bukan dari mereka. Nanti aku coba tanya secara halus pada anak-anak yang punya hubungan dengan adik kelas.”
“Kalau begitu, aku juga akan coba tanya Takizawa-kun dan anak-anak lain di OSIS. Mereka anak-anak yang serius, jadi kurasa mereka tidak tahu tentang rumor-rumor yang tidak menyenangkan ini.”
Ini bukan mencari siapa yang salah, tapi jika kami tahu penyebabnya, akan lebih mudah untuk mengambil tindakan.
Di saat-saat seperti ini, ketika festival olahraga sudah di depan mata, adanya gangguan semacam ini benar-benar bikin ribet.
“Sementara ini... Umi dan Nina-chan yang sudah berusaha, aku akan tetap santai saja seperti biasa. Tidak mau membuat Nagi-chan atau Yama-chan khawatir.”
“Benar. Dalam situasi seperti ini, Amami-san memang akan jadi pusat perhatian.”
Amami-san akan menjalani hari-harinya seperti biasa, sementara aku dan yang lainnya akan mencari tahu dari mana asal rumor ini—pembagian tugas memang penting di saat-saat seperti ini.
Tentu saja, entah kenapa aku, yang sepertinya menjadi “tokoh utama” dari rumor buruk ini.
Setelah memastikan apa yang harus dilakukan dan berpisah, aku berjalan bersama Amami-san menuju kelas kami.
…Dilihat-lihat, teman sekelas tampak seperti biasa. Meski mereka sempat melirikku dan Amami-san yang masuk bersamaan, setelah setengah tahun, ini sudah jadi hal yang cukup biasa di kelas ini. Jadi, mungkin hanya berpikir, “Ah, itu Maehara lagi.”
Hal yang biasa ini membuatku merasa tenang.
“Ah, pagi, Amami-chan. Kamu kelihatan lelah. Jangan-jangan begadang ngerjain tugas ya?”
“Eh? Ah, iya, hehe... soalnya liburan musim panas terlalu menyenangkan, jadi aku malas mengerjakan tugasnya. Nagi-chan juga kan?”
“Jangan samakan aku denganmu. Aku udah nyelesain semuanya dari bulan Juli.”
“Hah, serius? ...Arae-san ini, biasanya kelihatan santai, tapi sebenarnya kamu rajin ya. Tipe ‘Gyaru rajin’?”
“Yama, diamlah sebentar.”
Melihat mereka dari jauh membuatku sedikit tegang, tapi setidaknya masih dalam “kondisi seperti biasa”.
Di situasi seperti ini, aku jadi penasaran bagaimana Arae-san akan bereaksi... meskipun kurasa dia tidak peduli pada kami. Jadi, kalau dia tahu pun, mungkin dia akan membiarkannya saja.
“Oh, iya. Oi, Maehara─”
“Hm! ...Eh, a-ada apa?”
“Sudah kubilang, jangan memasang muka seperti itu. ...Setelah upacara pembukaan selesai, temui aku sebentar. Jangan coba-coba kabur, atau aku hajar kau.”
“Mau kabur atau tidak, rasanya aku bakalan tetap dihajar...”
“Hah?”
“Tidak, tidak ada apa-apa.”
Teman-teman sekelas pun mulai bergumam setelah panggilan tiba-tiba dari Arae-san.
Akhirnya, Maehara akan dipukulin─atau jangan-jangan ini malah sebaliknya─
Mereka tampak berpikir demikian hingga akhirnya tatapan tajam dari Arae-san mengembalikan keheningan dalam sekejap.
Ia sudah jadi semacam ketua bayangan di kelas 2-10 ini.
“Di belakang gedung olahraga. Kau tahu kan, datang sendirian.”
“………”
“Sudah kubilang, tenang aaja. Ini bukan hal besar. Aku hanya tidak suka sama orang itu.”
“...Kalau begitu, baiklah.”
Selama itu bukan rahasia, aku hanya perlu memberitahu Umi nanti.
Walaupun ini bukan “hal besar”, jika sampai Arae-san perlu berbicara denganku, kemungkinan besar itu bukan hal yang baik.
“Nah, sampai nanti.”
Setelah berkata demikian dan kembali ke tempat duduknya, Yamashita-san dan Amami-san, yang menyaksikan kejadian itu, tampak hendak menanyakan sesuatu, namun terlihat ragu karena Arae-san menunjukkan ekspresi yang jarang terlihat.
“Um, Nagi-chan... kamu dan Maki-kun, sedang membicarakan hal apa──”
“Tidak ada hubungannya sama kamu... yah, kalau kamu penasaran, tanyakan ke Maehara nanti. Aku tidak mau tahu.”
Sepertinya, ini juga ada hubungannya dengan Amami-san.
Pembicaraan tiba-tiba yang diajukan oleh Arae-san... membuatku penasaran, tapi di saat bersamaan, ada perasaan ingin berpura-pura seolah ini tidak terjadi.
Setelah jam pelajaran selesai, upacara pembukaan semester dua pun berjalan lancar di aula. Tidak ada yang berbeda dari biasanya, jadi tidak ada yang perlu dibicarakan.
Namun, karena kejadian tadi, pikiranku melayang-layang saat mendengar pengumuman penghargaan klub maupun informasi tentang festival olahraga, membuatku tidak bisa mendengarnya dengan baik.
Begitu upacara selesai, saat para siswa kembali ke kelas masing-masing, aku diam-diam keluar dari barisan kelas dan menuju tempat yang dijanjikan, yaitu ke belakang gedung olahraga.
Menunggu sebentar di tempat teduh yang sepi, Arae-san yang sudah lebih dulu keluar dari barisan menemukanku dan berjalan mendekat.
“...Yo.”
“Ha-halo. Jadi, soal yang ingin kamu bicarakan...”
“Iya. Waktu kita tidak banyak, jadi langsung saja ke intinya.”
Arae-san menyodorkan ponselnya ke arahku.
“...Foto ini, Kau tahu sesuatu tentang ini?”
“Eh! Ini...
Di layar ponsel yang Arae-san tunjukkan, terpampang foto diriku yang sedang mengenakan seragam sekolah bersama Amami-san, yang memakai baju olahraga dan ikat kepala biru.
Meskipun gambar itu agak buram karena diambil dengan tergesa-gesa dan sedikit buram, tetap mudah dikenali siapa yang ada di dalamnya.
Tidak diragukan lagi, itu aku dan Amami-san.
Dan masalahnya dimulai dari sini.
“Arae-san, dari siapa kamu dapat gambar ini?”
“Dari seorang adik kelas perempuan yang mulai berbicara denganku saat latihan festival olahraga. Sepertinya foto ini mulai menyebar di kalangan murid perempuan kelas satu kelompok biru... katanya, Amami-senpai terlihat berciuman dengan cowok yang sudah punya pacar waktu sepulang sekolah.”
“...Itu rumor yang kejam.”
Pagi ini, Arae-san memilih untuk menutupinya dari Amami-san, dan ini alasannya.
Saat ini, Nitta-san dan Umi juga sedang menyelidiki masalah ini, jadi cepat atau lambat, Amami-san pasti akan mengetahuinya.
Aku ingin mengatakan, bagaimana mungkin muncul rumor yang tidak berdasar ini... namun, karena foto yang tersebar ini dijadikan bukti, rumor tersebut pun menyebar dengan cepat.
Dalam foto itu, meskipun aku dan Amami-san tampak seperti sedang berciuman… sebenarnya tidak bisa dipastikan seperti itu, tetapi dari sudut pengambilan foto, bisa membuat salah paham orang-orang yang melihatnya.
“Maehara... aku hanya ingin memastikan saja. Kau dan Amami... kalian tidak benar-benar melakukan itu, kan?”
“Tidak, kami tidak melakukannya. Dan lagi, foto ini sebenarnya sudah di-edit.”
“Hm! ...Benarkah?”
“Kurasa begitu. Lihat baik-baik, bagian latarnya tidak sepenuhnya menyatu, kan? Lihat area perbatasan antara aku dan Amami-san.”
“Ah… iya, benar juga.”
Mungkin gambar aslinya sudah dimanipulasi dengan aplikasi smartphone agar terlihat seperti itu. Namun, editannya sedikit kasar, membuat ada beberapa cacat kecil yang bisa terlihat jika diperhatikan dengan seksama.
Karena resolusi foto yang agak rendah, sekilas tampaknya kami benar-benar berciuman... sebuah trik yang membuat kami terlihat seperti itu.
Mungkin ini hanyalah kebetulan, tetapi tetap saja ini adalah perbuatan yang licik.
Dan kemungkinan besar, foto ini diambil saat aku membantu menyelesaikan hiasan di papan belakang beberapa waktu lalu. Saat itu, aku tidak sadar ada orang lain di sekitar kami.
Saat aku dan Amami-san berada dalam jarak dekat hanya untuk beberapa detik... ternyata, momen singkat itu bisa berdampak besar.
Namun, sekarang aku sudah tahu penyebabnya. Tinggal membicarakan hal ini dengan Amami-san dan memutuskan langkah selanjutnya.
“Yah, hanya itu saja yang ingin kubicarakan. Maaf kalau jadi menyita waktumu.”
“Tidak apa-apa. Kebetulan kami juga sedang bingung. Terima kasih, Arae-san, sudah mengkhawatirkan kami.”
“Bukan begitu. Akhir-akhir ini gara-gara Amami, situasinya malah semakin berisik dan mengganggu… apa, Maehara, kenapa kau tertawa?”
“Maaf. Tapi, Arae-san ini terlalu tsundere──”
“Hah?”
“Itu… kamu tetap menakutkan seperti biasa…”
Sebelum aku benar-benar dipukul, aku menahan diri. Arae-san memang orang yang baik dan peduli pada teman-temannya.
Tidak banyak orang yang akan bertindak sejauh ini demi Amami-san.
…Hanya saja, sisi tsundere-nya sedikit terlalu tajam.
“Kalau begitu, sampai ketemu nanti.”
“Iya, sampai nanti.”
Setelah berpisah dengan Arae-san, aku segera mengirim pesan, menyertakan foto yang tadi ia berikan.
Kalau ini terjadi tahun lalu, aku mungkin harus menahannya sendirian, tapi sekarang aku punya pacar dan teman-teman yang siap mendengarkan. Bahkan, ada adik kelas yang bisa diandalkan.
Tidak perlu memikul ini sendirian. Aku akan meminta pendapat semua orang yang terpikirkan, dan bersama-sama kami akan menghadapi ini.
Setelah menyelesaikan latihan pagi setelah upacara pembukaan, tiba saatnya jam istirahat siang. Di meja khusus OSIS di kantin, kami berlima berkumpul bersama ketua OSIS yang baru, Nakamura-san, dan wakil ketua, Takizawa, berjumlah tujuh orang di meja.
Topiknya, tentu saja, adalah foto yang Arae-san temukan dan asal-usulnya.
“Maaf, semuanya... padahal akhir pekan ini kita ada festival olahraga, tapi karena keteledoranku──”
“Yuu, kita sudah sepakat untuk jangan saling menyalahkan, bukan? Mungkin memang kalian berdua terlalu lengah, tapi tetap saja yang salah adalah orang yang menyebarkan foto ini.”
Jika dirangkum dari informasi yang didapatkan oleh Nitta-san dan Umi, memang benar bahwa rumor buruk tentangku kali ini dimulai dari keberadaan foto ini. Jika kami mengikuti jejaknya, kami mungkin akan menemukan sumber rumor ini—orang yang mengambil foto asli dan mengeditnya. Namun, ini bukan tugas yang mudah.
“Yuu-chi, seingatmu saja, apakah ada sesuatu yang mencurigakan? Misalnya, kamu pernah ditolak seseorang saat liburan musim panas?”
“Tidak ada. Selama di sekolah, aku hampir selalu bersama Nagi-chan dan Yama-chan, atau dengan anak-anak yang membantu membuat papan latar. Tidak pernah ada yang memanggilku secara khusus.”
“Ya kan... Bagaimana dengan ketua?”
“Hmm... aku tidak bisa bilang tidak ada, tapi juga tidak bisa bilang ada.”
Bisikan dan sindiran semacam “Kenapa orang seperti dia...” sudah cukup sering terdengar sejak festival budaya tahun lalu. Namun, itu semua hanya obrolan internal kelas yang tidak berarti banyak jika dibiarkan saja.
“Aku mengerti, biasanya kita bisa abaikan hal seperti ini, tapi kalau dibiarkan, imej buruk tentang Maehara-ku tidak akan hilang. Berteman dengan orang populer itu ternyata tidak mudah. Apalagi kalau itu lawan jenis... aku juga harus lebih berhati-hati, ya? Ya kan, Souji?”
“Kalau itu sih, Mio-senpai mungkin malah senang dan akan dengan antusias mencari pelakunya. Tentu saja aku akan membantu semaksimal mungkin.”
“Ini juga pertama kalinya aku dengar dari Maki hari ini... aku tidak mengerti sama sekali, apa yang menyenangkan dari melakukan hal seperti ini? Merendahkan Maki, dan membuat Amami-san merasa tidak nyaman. Aku tidak tahu alasan di balik semua ini, tapi... ini benar-benar keterlaluan.”
Semua orang di ruangan itu mengangguk mendengar kalimat sederhana yang keluar dari mulut Nozomi.
Sebagai manusia, perasaan cemburu pasti pernah dialami oleh semua orang. Soal belajar, olahraga, pertemanan, pacar, masalah keuangan... bahkan aku juga pernah merasakannya.
Namun, itu bukan alasan untuk melampiaskan kecemburuan dengan cara yang merugikan, baik secara langsung maupun tidak langsung. Begitu kecemburuan tidak bisa lagi disembunyikan, maka orang itu sudah kalah.
Terlebih lagi, yang paling buruk kali ini adalah menyebarkan foto palsu dan informasi yang salah, untuk menanamkan kesan buruk tentangku dan Amami-san di benak banyak orang yang tidak tahu kejadian sebenarnya. Ini satu hal yang benar-benar tidak bisa dimaafkan.
“Lalu, apa yang akan kita lakukan? Kalau mau mencari pelakunya, aku siap membantu... tapi, Maki, apa yang ingin kamu lakukan?”
“Hmm... kalau dibiarkan begitu saja, mungkin akan sulit untuk diperbaiki, jadi aku ingin mencari penyebabnya dari akarnya. Tapi, karena rumor ini sudah menyebar begitu luas, melacak asal-usulnya mungkin bakal sulit.”
Foto itu baru saja diambil belum lama ini, namun fakta bahwa kami sudah menerima informasi dari berbagai sumber menunjukkan bahwa foto itu kemungkinan besar sudah tersebar di berbagai tempat. Selain itu, mengingat sifat rumor ini, kami tidak bisa yakin apakah orang-orang akan jujur ketika kami bertanya, yang mungkin membuat informasi menjadi simpang siur dan sulit untuk memastikan pelakunya.
“Membiarkan saja bisa memberi efek sebaliknya, tapi menanggapi secara langsung juga bisa memberi kesan bahwa kita memperhatikan pelakunya... ada ide bagus, Nina?”
“Kalau itu... aku juga tidak tahu sih...”
Percakapan kami terhenti, dan suasana sunyi yang tegang mulai meliputi meja yang kami kelilingi.
Mungkin kami harus bertahan seperti biasa, tidak peduli apapun yang terjadi, dan perlahan-lahan membangun kembali reputasi kami seperti saat latihan lari dua orang tempo hari... tapi jika melakukannya, seolah kami membenarkan rumor yang sebenarnya salah.
Apa yang seharusnya kami lakukan…
Saat setiap orang tenggelam dalam pikiran masing-masing, tiba-tiba ada suara yang memecah kesunyian.
“—Maehara-senpai.”
“Eh! Takizawa, ada apa?”
“Bisakah aku yang menangani masalah ini?”
“Hah?”
Yang memecah kesunyian adalah Takizawa, yang seharusnya hanya menjadi penonton dalam pertemuan ini. Tangan terangkatnya yang tegas dan tatapannya yang serius ke arahku menunjukkan bahwa ia berencana melakukan sesuatu.
Nakamura-san yang duduk di sebelahnya tampak terkejut dan berkedip beberapa kali, mungkin tak menyangka dengan sikap Takizawa.
“Maaf, bisa kamu ulangi lagi?”
“Bisakah aku yang mencari tahu siapa pelakunya?”
“Kamu yang akan melakukannya? Maksudmu, kamu ingin mengurus ini sendirian? Kami tidak perlu ikut membantu?”
“Iya. Aku lebih leluasa kalau bergerak sendirian... atau lebih tepatnya, kalau kalian ikut juga, justru akan menyulitkan. Jadi kalau bisa, aku ingin kalian fokus saja ke festival olahraga yang ada di depan mata.”
Sepertinya Takizawa punya rencana sendiri, namun menyerahkan sepenuhnya pada seorang junior yang nyaris tidak terlibat dalam masalah ini membuatku merasa tidak enak sebagai senior.
Saat aku bingung harus menjawab bagaimana, Nakamura-san tiba-tiba membungkuk ke arah kami untuk memperkuat permintaan itu.
“Maehara-kun, bolehkah aku juga memohon? Aku sendiri tidak tahu apa yang akan dia lakukan, tapi dia tampaknya sangat ingin membantu kalian... Bukankah begitu, Souji?”
“Iya. Selama ini, kalian semua sudah sangat baik padaku, jadi aku ingin membalas kebaikan itu walaupun sedikit. Kalian semua orang baik, dan sebagai junior, aku tidak bisa menerima kalian direndahkan oleh kebohongan yang tidak berarti ini. Sudah lama sekali, tapi aku benar-benar merasa marah kali ini.”
Junior yang biasanya selalu tenang dan bersikap lembut, untuk pertama kalinya menunjukkan emosinya dan menggigit bibirnya dengan kesal di depan kami. Mungkin, dia juga pernah mengalami pengalaman serupa di masa lalu.
“Souji-kun sudah bilang seperti itu... bagaimana menurut kalian?”
“Menurutku, aku akan menghormati keputusan Maki. Kita punya dua pilihan antara melakukan ini bersama-sama atau mempercayai Souji-kun. Keduanya punya keuntungan dan kerugian masing-masing. Bagaimana denganmu, Yuu?”
“...Aku juga, aku rasa lebih baik menyerahkannya pada Maki-kun. Lagipula, ini semua juga karena salahku, jadi aku tidak berada di posisi untuk bicara banyak.”
“Bagiku terserah saja... tapi, kalau boleh pilih, aku ingin kesalahpahaman ini cepat-cepat diselesaikan.”
“Kalau Takizawa mau melakukannya, kenapa tidak? Aku tahu dia sangat berbakat dari pekerjaannya yang belakangan ini, jadi aku yakin dia bisa melakukannya dengan baik.”
Satu-satunya dukungan tegas untuk Takizawa datang dari Nozomi, sementara yang lain menyerahkan keputusan padaku. Jadi, pada akhirnya, keputusan ini bergantung padaku.
...Ini bukan keputusan yang mudah.
“Baiklah, Takizawa, maaf merepotkanmu, tapi bolehkah aku meminta bantuanmu?”
“Dimengerti. Tentu saja, aku akan terus memberikan laporan tentang perkembangannya, jadi tenang saja.”
Aku penasaran seperti apa cara yang akan dia gunakan untuk mencari pelakunya, tapi mungkin lebih baik tidak menanyakan lebih lanjut dan biarkan itu menjadi sebuah kejutan.
Yang penting sekarang adalah mengikuti instruksi junior yang bisa diandalkan ini, fokus pada latihan menjelang festival olahraga, dan menikmati momen ini semaksimal mungkin dalam satu-satunya kesempatan di masa SMA.
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧ ◆
Masa latihan yang berlangsung sejak liburan musim panas pun berakhir, dan di akhir pekan pertama bulan September, festival olahraga akhirnya tiba.
Karena kami telah mendirikan panggung tanpa henti sejak hari Sabtu, semuanya sudah siap untuk menyambut penonton dan tamu undangan.
Waktu menunjukkan pukul tujuh pagi, dan meskipun masih sangat awal, lapangan sudah dipenuhi oleh banyak siswa yang sedang mengawasi persiapan terakhir oleh para pekerja profesional.
Di belakang tribun yang dipenuhi siswa-siswi dari tim Merah, Biru, Kuning, dan Putih, para pekerja sedang sibuk memasang papan latar.
Begitu karya lukisan para siswa dipasang hingga detik terakhir menjelang hari H, sorakan terdengar dari siswa-siswi di setiap tim.
“Jadi, timnya Nozomi memakai tema Oni Merah ya? Gayanya klasik seperti lukisan di gulungan kuno…”
“Sekolah punya cukup banyak referensi, jadi desainnya diambil dari situ. Mereka kesulitan karena tidak ada anggota yang dari klub budaya, tapi mereka melakukan yang terbaik.”
Meskipun ada kesulitan menemukan sumber daya yang baik karena pembagian kelompok, tim Kuning dan Putih juga terlihat menghasilkan karya berkualitas. Bahkan jika hasilnya tidak begitu bagus, selama itu adalah hasil kerja bersama, tidak ada yang dikeluhkan.
Setelah tim Merah, Kuning, dan Putih, akhirnya giliran kami dari tim Biru. Waktu aku melihatnya terakhir kali, karya itu sudah hampir selesai, tapi Amami-san meminta anggota lainnya untuk terus memperbaikinya sampai saat-saat terakhir, jadi aku penasaran seperti apa wujud Naga Biru itu sekarang.
“Wah…”
Begitu papan latar tim Biru selesai dipasang, aku hanya bisa berdecak kagum. Seperti yang dikatakan Amami-san, karya itu jauh lebih baik dibandingkan dengan yang kulihat sebelumnya. Sisik-sisiknya bersinar indah, namun tidak hanya terlihat cantik; taring dan cakarnya juga memiliki kesan liar yang cocok untuk seekor naga.
...Dengan hanya dua warna, biru dan putih.
“Bagaimana menurut kalian? Jujur saja, aku sedikit khawatir karena waktu pengerjaannya tidak cukup.”
“Hah? Masih bisa lebih bagus dari ini? Yuu-chi, itu keterlaluan tahu. Lihat, peserta dari tim lain sampai terdiam kagum.”
Seperti yang dikatakan oleh Nitta-san, saat papan latar tim Biru ditampilkan untuk pertama kalinya, para penonton hanya bisa terdiam dan menatap hasil karya yang luar biasa ini. Tim lain juga menghasilkan karya yang tidak kalah hebat, namun lukisan Amami-san, dengan detail yang begitu diperhatikan, berhasil menonjol dan menjadi yang terbaik.
“Umi, bagaimana? Aku sudah berusaha keras, lho.”
“Ya, lebih dari sekadar berusaha keras. Kamu terlalu bekerja keras... Tapi, sungguh luar biasa, Yuu. Kamu berhasil bertahan selama satu bulan ini, mulai dari liburan musim panas.”
“Hmm, terima kasih, Umi… hehe.”
Wajah Amami-san yang sebelumnya terlihat cemas kini menunjukkan ekspresi lega saat Umi membelai kepalanya.
Melakukan pekerjaan pertama, menggunakan bahan yang tidak biasa, dengan ukuran lukisan yang besar, pasti bukan hal mudah. Jadi, aku benar-benar senang melihat kerja kerasnya terbayarkan.
“Oh iya, Maki-kun, walaupun hanya sedikit, terima kasih atas bantuanmu. Lihat, bagian percikan air yang kamu buat itu, para anggota lainnya bilang itu luar biasa!”
“Padahal aku hanya mengerjakan bagian kecil, bahkan tidak cukup untuk satu panel… Tapi, kalau itu bisa membantu, itu membuatku senang.”
“…semua…”
“Hah?”
“Ah, tidak apa-apa. Hehe, kalau Maki-kun senang, aku juga merasa senang.”
Sepertinya Amami-san sempat bergumam sesuatu, tapi perhatianku teralihkan ke papan latar, sehingga aku tak sempat menangkap kata-katanya. Meski dia tampak berusaha bersikap biasa saja, mungkin dalam hati dia masih merasa terganggu dengan rumor tentang foto ciuman palsu itu.
Saat-saat seperti ini, memang sulit untuk benar-benar bisa bersikap seperti biasa.
“Pokoknya! Persiapan sudah selesai, jadi sekarang kita nikmati festival olahraga ini! Dan, kalau kita ikut, kita harus menang! Ayo, kumpul semua, kita bentuk lingkaran dan bersorak bersama!”
“Kita berempat saja? Kalau itu kemauan Yuu, aku tak keberatan… Maki, cepat ikut juga.”
“Ya ampun, aku dipaksa ikut, ya… Tapi, kalau Umi yang bilang, baiklah.”
“Semangat dari pagi gini rasanya agak memalukan… Tapi, kapan lagi ada momen kayak gini, kan? Sekali-sekali bolehlah. Oi Seki, kamu ikut sekalian.”
“Walaupun hari ini kita musuh, ya… Kalau untuk menghormati lima pejuang kita, kenapa tidak?”
Kami pun meletakkan tangan satu per satu di atas tangan Amami-san dan membentuk lingkaran kecil. Meskipun masalah gambar ciuman palsu dan rumor buruk lainnya masih belum terselesaikan, saat-saat seperti ini, kami harus bersatu.
“Maki-kun, kamu yang memimpin sorakannya, ya!”
“Hah? Aku? Rasanya ini lebih cocok kalau Amami-san yang melakukannya, jadi aku tidak siap sama sekali…”
“Gampang aja. Cukup teriak ‘Ayo semangat!’ atau ‘Ayo maju!’ Sesimpel itu. Iya kan, Umi?”
“Yup. Lagipula, kamu adalah pemimpin kita. Kalau Yuu yang memimpin, rasanya kurang pas.”
“Benar juga. Ah, Ketua, kalau sampai salah, kamu traktir kami semua minum, ya.”
“Nitta, jangan bikin dia semakin gugup… Maki, kalau kamu tidak mau, aku bisa menggantikanmu memimpin. Aku sudah terbiasa dengan hal-hal seperti ini.”
“Terima kasih, Nozomi. Tapi, kali ini aku yang akan melakukannya.”
Awalnya, saat kami berlima berkumpul, aku, Maehara Maki, merasa hanya menjadi pelengkap bagi Umi, pacarku.
Namun, semakin sering kami bersama, aku sadar bahwa mereka semua datang karena menyukaiku.
Umi, Amami-san, Nitta-san, bahkan Nozomi, mereka semua selalu mendengarkan dan menghargai pendapatku. Walaupun terkadang mereka menggoda atau heran denganku, pada dasarnya mereka selalu mendukungku.
Aku tidak yakin apakah aku benar-benar pemimpin di sini, tapi dalam hati kecilku, aku berharap bisa menjadi orang yang diandalkan.
“Kalau begitu… tak peduli hasilnya nanti, kita harus berusaha semaksimal mungkin. O… Oke!”
““““...hahaha!””””
“Kenapa kalian malah tertawa? Aku tahu ini bukan gayaku, tapi paling tidak, ikutlah berusaha sedikit!”
“Maaf, maaf. Tapi, kamu terlihat imut saat serius, Maki, jadi kami tidak bisa menahan tawa.”
“Haha, Ketua, kamu terlalu tegang hanya untuk teriakan penyemangat. Sungguh lucu!”
“Maki-kun, tidak perlu malu, aku di sini akan terus mendukungmu sampai akhir.”
“Maaf, Maki. Tapi, menurutku itu juga tidak buruk.”
Karena aku sedikit malu, suasananya malah jadi kurang tegas, tapi mungkin justru itulah gaya kita.
“Sungguh… Yah, pokoknya, semangat semuanya. Tapi jangan terlalu memaksakan diri dan hati-hati supaya tidak cedera.”
““““Siap!””””
Dengan suasana yang penuh kehangatan, festival olahraga pertama dan terakhir dalam kehidupan SMA kami pun akan segera dimulai.
“Kami berjanji akan mengeluarkan semua kemampuan hasil latihan kami untuk menyemarakkan festival olahraga dua tahunan sekolah ini,” demikian pidato pembukaan oleh ketua OSIS yang baru, Nakamura-san, lalu acara pun dimulai.
Bagian pagi diisi dengan lomba seperti lari dua orang tiga kaki, lomba seribu kaki, lomba halang rintang, lomba mengambil barang, dan sejenisnya… artinya, giliran kami segera tiba.
“Para peserta lomba dua orang tiga kaki, harap berbaris di tenda peserta lomba. Diulangi sekali lagi…”
Begitu terdengar panggilan dari bagian penyiaran di tenda utama, aku merasakan tepukan di punggung. Di belakangku, ada Amami-san dan Nitta-san.
“Maki-kun, semangat ya!”
“Ketua, jangan sampai jatuh dengan gaya memalukan ya~”
“Aku tidak tahu bakal menang atau tidak, tapi akan kucoba semampuku.”
Setelah mendapat dorongan dari mereka, aku turun dari tribun dan bergegas ke arah tempat di mana Umi sudah menungguku.
“Maki, kamu tidak apa-apa? Kakimu tidak sakit, atau kamu tidak enak badan?”
“Ya. Sedikit gugup, tapi semuanya baik-baik saja. Sudah ke toilet juga, kok.”
“Oke. Eh… mau pegangan tangan?”
“…Ya.”
Berjalan beriringan menuju tenda peserta lomba, aku dan Umi saling menggenggam erat tangan kami, menguatkan tekad untuk lomba yang akan segera dimulai.
Tangan kami sempat sedikit bergetar karena gugup, tapi saat kami bisa merasakan hangatnya tangan satu sama lain, kegugupan itu perlahan hilang. Sepertinya, kami bisa mengeluarkan performa seperti saat latihan.
“Maehara-kun, Asanagi-chan, sudah siap? Hehe, kalian memang tidak berubah ya, selalu mesra meskipun di tempat umum. Aku iri nih.”
“Selamat pagi, Maehara-senpai, Asanagi-senpai!”
“Pagi kalian berdua, semangat, ya.”
Lalu, teman satu tim kami dari OSIS juga datang sedikit terlambat. Ini adalah acara resmi besar pertama bagi mereka sebagai anggota OSIS baru, jadi bisa dimaklumi kalau mereka tampak sedikit terburu-buru.
“Nakamura-san, beneran tidak apa-apa aku tidak bantu hari ini? Kita kan sudah sepakat kalau sampai festival selesai, kamu bisa memanfaatkanku sepenuhnya.”
“Jujur, ini memang terasa berat, tapi kalau aku merepotkanmu, kamu tidak bisa bersenang-senang, kan? Ini kan festival olahraga pertama dan terakhir kamu bersama Maehara-kun, jadi lebih baik habiskan waktu dengannya.”
“Begitu ya? Tapi, kalau ada apa-apa, jangan ragu untuk panggil aku ya. Aku dan Maki siap bantu… iya kan?”
“Tentu saja.”
Meski pertemanan kami masih baru, Nakamura-san dan Takizawa adalah orang yang penting bagi kami, jadi jika ada kesulitan, kami akan saling membantu. Terutama Takizawa yang sedang mengerjakan sesuatu untukku.
Aku pun mendekat secara diam-diam dan berbicara pelan pada Takizawa.
“Ngomong-ngomong, Takizawa, soal urusan itu…”
Takizawa tidak mengatakan apa pun, tapi dia mengangguk ke arahku. Sepertinya dia sudah mengambil tindakan. Aku hanya sempat mengatakan “terima kasih” padanya, lalu kembali ke barisan tempat Umi menungguku.
“Lomba lari dua orang tiga kaki antar tim akan segera dimulai. Para peserta, silakan memasuki arena!”
Dengan pengumuman dari penyiar, para peserta pun mulai mengambil posisi masing-masing.
Urutan berlari dan lawan yang dihadapi sama seperti saat latihan sebelumnya, tapi karena semua tim telah berlatih sejak saat itu, kami tak bisa lengah begitu saja. Begitu pula aku dan Umi yang terus berlatih sampai sekarang.
Saat ini, tim merah memimpin di urutan pertama, sedangkan tiga tim lainnya bersaing ketat di bawahnya. Jadi, untuk tidak tertinggal, kami harus mendapatkan posisi sebaik mungkin.
Dengan tali stocking, aku dan Umi mengikat erat pergelangan kaki kami bersama dan berdiri.
“Maki, bagaimanapun hasilnya, ayo kita nikmati ini.”
“Iya, kita nikmati sambil berusaha menang.”
“Itu dia. Ayo, berangkat!”
Kami melepaskan genggaman tangan, lalu merangkul erat bahu masing-masing, dan berdiri di garis start.
Perlombaan sudah dimulai, dan akibat kesalahan kecil di awal, tim biru kami berada di posisi terakhir. Namun, jaraknya tidak terlalu jauh, jadi semuanya tergantung pada usaha kami.
“Maehara-senpai, Asanagi-senpai, semangat! Jika bisa memperkecil jarak walau hanya satu detik, aku dan senpai yang lain akan berusaha semampu kami!”
Aku mengangguk tegas pada adik kelas yang bisa diandalkan itu dan menerima estafet dari pasangan pelari sebelumnya.
“Umi!”
“Ya!”
Tanpa aba-aba, kami langsung berlari. Start yang sudah terlatih pun berhasil, dan kami langsung menyalip tim di posisi ketiga.
“Hebat, pasangan bodoh ini!”
“Ayo, Umi! Maki-kun!”
Di antara suara sorak-sorai yang bercampur di lapangan, suara dukungan dari Nitta-san dan Amami-san terdengar jelas, mendorong kami hingga mencapai kecepatan penuh. Dengan langkah yang serasi, kami memberikan tekanan pada tim di depan.
Kami hampir menyusul posisi kedua, tapi garis finish sudah di depan mata.
“Maehara-kun, Asanagi-chan, ayo semangat!”
Menyambut kibasan tangan Nakamura-san di garis start, aku dan Umi berlari sekuat tenaga. Hanya dalam waktu belasan detik setelah mulai berlari, kami sampai di garis finish.
“Nakamura-san, tolong lanjutkan!”
“Serahkan padaku! Biar aku yang urus sisanya!”
Kami memang tak berhasil meraih posisi pertama, tapi estafet kami berakhir di posisi kedua bersama dengan tim sebelah. Kami sudah melakukan yang terbaik, sekarang tinggal melihat usaha teman-teman yang lain.
“Maki, bagus sekali. Latihan kita terbayarkan.”
“Yah, aku bisa bertahan dengan menu latihanmu yang berat.”
Sebelumnya aku sempat tegang, tapi setelah selesai, rasanya lega sekali. Suara sorak-sorai penuh semangat menggema di lapangan, dipadu sorakan dari penonton dan komentar dari penyiar yang semakin menyemarakkan perlombaan.
Dari tribun, para siswa bersorak dalam empat warna tim yang berbeda. Aku sampai menyesal karena sebelumnya tidak pernah terlalu serius mengikuti acara sekolah seperti ini, karena pemandangan yang menakjubkan ini terbentang di hadapanku.
“Umi…”
“Apa? Kalau soal hadiah, nanti akan kuberikan.”
“Oh, bukan soal itu… walaupun hadiah juga tetap menyenangkan.”
“...Ya?”
“Terima kasih, Umi. Kamu membuatku bisa melihat pemandangan ini.”
“Sama-sama. Bagaimana? Pemandangan ini bisa masuk dalam album kita, kan?”
“Sudah pasti.”
Sepertinya Sora-san di bangku orang tua akan mengabadikan momen ini, jadi setelah ini, kami bisa mengenang lagi bersama foto dari liburan musim panas dan ulang tahunku.
“...Selanjutnya adalah pertandingan penentu! Apakah tim merah akan tetap memimpin, atau tim biru akan melakukan comeback?”
Komentar dari penyiar semakin menyemangati para penonton.
“Takizawa-kun, selanjutnya kami serahkan padamu!”
Wakil ketua yang mengangkat tinju kanannya menerima sorak-sorai menggema dari bagian tribun tim biru.
Raut wajah serius yang ditunjukkan Takizawa mengingatkanku pada saat Amami-san beraksi di suatu waktu.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.