Epilog 1
Setahun Setelah “Teman”
Setelah selesai dengan perayaan kecil di restoran bersama Amami-san dan yang lainnya, aku dan Umi kembali ke apartemenku saat suasana di luar sudah gelap.
Jika di awal liburan musim panas langit masih terang pada jam ini, namun memasuki September, matahari terbenam lebih awal, dan suhu udara mulai terasa lebih sejuk.
“Aku pulang… Ah, akhirnya bisa istirahat juga.”
“Selamat datang. Terimakasih atas kerja kerasnya. Karena malas menyiapkan makan malam, bagaimana kalau kita pesan makanan saja dari tempat kerjamu?”
“Aku senang kalau kamu bilang begitu… Tapi, Umi, sampai jam berapa kamu bisa di sini hari ini?”
“Aku ingin bilang bisa kapan saja selama kamu inginkan, tapi… Ibu menyuruhku pulang seperti biasa. Sebenarnya, aku ingin menginap… Tapi, kali ini aku tidak membawa barang-barang untuk menginap.”
Walaupun agak kecewa, aku paham bahwa berbeda dengan menginap di rumah keluarga Asanagi, Umi menginap di rumah keluargaku masih jadi hal yang istimewa.
Mungkin wajar juga, karena kalau Umi diizinkan menginap, kami yang terkenal sebagai pasangan kekasih yang tidak terpisahkan ini bisa-bisa mencari alasan untuk selalu bersama. Jadi, mungkin penting juga untuk punya sedikit batasan agar tidak kebablasan.
Masih ada satu setengah tahun lagi sebelum lulus SMA—demi bisa melakukan semuanya bersama-sama dengan Umi kapan saja, sekarang yang bisa kulakukan adalah menjalani hubungan yang sehat dan penuh tanggung jawab. Tentu saja, dalam batas yang diizinkan, kami tetap dekat dan menikmati waktu bersama.
“Ngomong-ngomong, Umi…”
“Tidak boleh.”
“Aku belum ngomong apa-apa.”
“Tapi pasti kamu lagi memikirkan hal yang mesum, kan?”
“Bukan kok… Mungkin memang iya sedikit, tapi maksudku hanya mau manja sedikit.”
“Manja? Maksudnya?”
“... U-um, bantalan paha, mungkin?”
“Kamu benar-benar tahu cara mengambil garis tipis, ya… Yah, karena kamu sudah berjuang keras hari ini, aku akan tambahkan bonus membersihkan telinga.”
“Benarkah? Terima kasih.”
“Kamu terlihat senang sekali. Di pangkuan pacar sambil dibersihkan telinganya memang menyenangkan, ya?”
“Iya… Menyenangkan sekali.”
“Jadi, kalau disuruh pilih, kamu lebih suka di pangkuan paha atau bersandar di dadaku?”
“… Apa aku boleh dua-duanya?”
“Tidak boleh.”
Karena harus memilih, akhirnya aku memilih pangkuan dan membersihkan telinga.
Umi yang sudah duduk di sofa kemudian menepuk ringan pahanya sebagai isyarat untukku.
“Maki, ayo sini.”
“Iya… Boleh aku menghadap ke arah perutmu?”
“Boleh saja, tapi jangan terlalu banyak menghirup aromanya ya.”
“Aku tahu, kok.”
“Benar begitu? Kamu itu kan punya fetish bau badan, ya.”
“Itu kamu juga begitu.”
“Itu beda. Ayo, jangan sungkan.”
Sambil bercanda, aku menaruh kepalaku di paha Umi yang halus dan lembut, sementara dia dengan lembut mengelus rambutku.
Hari ini memang melelahkan, tapi saat Umi memperlakukanku seperti ini, rasanya semua kerja keras ku terbayarkan.
Bagiku, momen ini adalah saat yang paling berharga.
“Maki, aku akan membangunkanmu jika sudah selesai, jadi kalau kamu mengantuk, kamu boleh tidur saja, ya.”
“Terima kasih, Umi…”
Bagian tubuhku yang dulu tak ingin disentuh siapapun, bahkan oleh ibu ku sendiri, kini terasa nyaman saat Umi menyentuhnya.
Baru saja mulai membersihkan telinga, tapi karena kenyamanannya, aku tak mampu menahan kantuk dan menyerahkan diriku di pangkuan Umi.
“Nee, Maki.”
“Ada apa?”
“Sebentar lagi jadi setahun, ya?”
“Sejak kita jadi teman, ya. Memang waktu berlalu begitu cepat.”
“Iya. Dulu kita hanya teman sekelas, tapi sekarang sudah saling mengetahui banyak hal.”
“Kita sama-sama begitu.”
Baik aku maupun Umi memiliki rasa posesif dan sifat manja yang tinggi. Tak pernah kubayangkan bahwa dalam setahun, hubungan kami bisa berkembang sejauh ini, sesuatu yang tak terpikirkan setahun lalu.
Mungkin dulu ada pilihan untuk secara perlahan membangun persahabatan, tapi aku sama sekali tidak menyesal karena memilih untuk menjalin hubungan sebagai kekasih dengan Umi sejak awal.
Saat kami masih berteman dan tertawa bersama karena lelucon-lelucon konyol, itu memang menyenangkan, tetapi bagiku, menghabiskan waktu penuh kemesraan sebagai kekasih Umi jauh lebih membahagiakan, berkali-kali lipat lebih indah.
Sepertinya, aku sudah menjadi seseorang yang tidak akan bisa hidup tanpa gadis bernama Asanagi Umi ini.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.