Story About Buying My Classmate chap 7 V5

Ndrii
0

Chapter 7

Miyagi yang Tak Kuketahui




-"Salam kenal." 


Setelah sapaan biasa berlalu sekitar tiga puluh menit, tubuhku yang tadinya tegang seperti beton mulai sedikit rileks. Senior bilang jadi guru les itu nggak sesulit yang aku bayangkan, tapi melakukan sesuatu untuk pertama kalinya memang selalu bikin gugup. 


Pekerjaan part-time sebagai guru les yang dimulai sesuai rencana setelah liburan berakhir ternyata nggak semudah saat aku dulu mengajarkan pelajaran ke Miyagi. Aku nggak tahu seberapa jauh aku boleh ngobrol di luar pelajaran atau seberapa dekat aku bisa bersikap. Senior menyarankan supaya aku terlihat "seperti guru", tapi aku sendiri belum punya gambaran jelas soal "guru" itu seperti apa, jadi begitulah aku sampai di sini hari ini. 


Aku memperkenalkan diri sebagai Sendai, dan murid pertamaku adalah seorang siswi kelas tiga SMP yang sekarang sedang fokus memandangi buku latihan di depannya seperti ingin melubangi halaman-halamannya. 


Aku meneguk segelas teh barley yang disiapkan oleh ibunya. Rasanya familiar. 


Dulu, setiap habis sekolah, Miyagi juga sering menyiapkan teh barley untukku. 


"Sensei,"  


Hanamaki, nama muridku, mengangkat wajahnya dan memanggilku. 


Kata "sensei" yang baru kali ini ditujukan untukku terasa asing sekaligus aneh. Aku nggak terbiasa. 


"Ada yang nggak dimengerti?"  


Aku mengalihkan pandanganku ke buku catatan di depannya. Tulisan tangannya rapi dan buku itu sudah terisi penuh selama tiga puluh menit ini. Dari sini saja aku bisa lihat kalau Hanamaki cukup pintar. Rasanya dia bahkan nggak butuh guru les. Ibunya hanya memintaku membantu persiapan ujian masuk SMA, tapi sepertinya aku nggak perlu terlalu khawatir. 


"Nggak ada sih. Tapi, Sensei, kenapa pilih jadi guru les?"  


Dia menatap mataku langsung. 


Hanamaki terlihat seperti tipe anak yang aktif dengan potongan rambut pendeknya, tapi suaranya lembut dan tenang. Rambutnya diselipkan ke belakang telinga, beda dengan Miyagi. Meski begitu, seragamnya yang rapi menunjukkan kalau dia juga patuh pada aturan sekolah, mirip seperti Miyagi dulu. 


"Hmm..." 


Aku bergumam pelan, mencoba memikirkan jawaban. 


Kalau aku jawab "karena uang", rasanya terlalu jujur, dan nggak pantas sebagai guru. 


"Karena aku suka mengajarkan sesuatu ke orang lain, mungkin."  


"Jadi Sensei sering ngajarin orang lain, ya?"  


"Ke teman-teman, sih."  


Aku memilih kata "teman" untuk menggantikan Miyagi. Rasanya nggak pas untuk menceritakan semuanya di tempat kerja. Dengan jawaban yang seadanya itu, aku buru-buru beralih bertanya supaya dia nggak bertanya lebih lanjut tentang "teman" itu.  


"Kamu biasanya lebih suka ngajarin orang lain atau diajarin?"  


"Aku lebih suka diajarin. Biasanya kakakku yang ngajarin."  


Seketika, kata-kata yang sebenarnya nggak ingin kudengar muncul. Aku pun meneguk teh barley untuk menyembunyikan perasaanku. 


Kakakku yang pintar dan aku yang... ya, begitulah.  


Waktu kecil, kami berdua sama-sama disayang orang tua. Tapi, begitu perbedaanku dengan kakak terlihat, perhatian orang tua mulai condong ke dia. Hubungan kami pun jadi renggang. Sampai sekarang jarak itu masih ada. 


Tapi ya, sekarang aku merasa semuanya ada hikmahnya juga.  


Kalau keluargaku tetap seperti dulu, aku mungkin nggak akan tinggal serumah dengan Miyagi sekarang.  


Aku memegang gelas tehku, membiarkan kenangan tentang keluarga mengalir masuk bersama teh barley yang kuminum. 


"Jadi sekarang nggak diajarin kakakmu lagi?"  


"Dia masuk SMA lewat jalur atlet dan tinggal di asrama."  


"Oh, gitu."  


Aku meletakkan gelas kosong di atas meja. 


Meskipun Hanamaki terlihat ceria, aku nggak bisa membayangkan kakaknya yang katanya seorang atlet. Tapi itu nggak penting. Yang penting, suasana ruangan ini mulai terasa lebih santai. 


Rasa tegang nggak selalu buruk, tapi kalau terlalu lama, itu melelahkan. 


Selisih umur kami nggak terlalu jauh, tapi aku nggak tahu sejauh mana kami bisa menemukan kesamaan. Jadi, kami mengobrol pelan-pelan, membicarakan hal-hal ringan sambil terus belajar. 


Dua kali seminggu, sembilan puluh menit per sesi. 


Aku merasa butuh waktu untuk terbiasa dengan pekerjaan ini. Tapi hari ini, setelah sembilan puluh menit berlalu, aku merasa sedikit lebih akrab dengannya. 


Setelah berpamitan dengan ibunya, aku menuju pintu keluar.  


Saat aku memakai sepatu, Hanamaki yang tingginya hampir sama denganku menunduk dan berkata, "Terima kasih banyak," sambil tersenyum lebar. 


Aku jadi teringat, setelah tinggal bersama, rasanya aku belum pernah melihat Miyagi tersenyum. Dia memang jarang senyum di depanku, tapi waktu SMA aku sesekali melihat dia tertawa di sekolah. Karena sekarang kami kuliah di tempat berbeda, aku nggak punya kesempatan seperti itu lagi. Kadang aku berharap dia bisa sesantai Hanamaki, tersenyum di depanku lebih sering. 


Dengan pikiran itu, aku menempuh perjalanan pulang. Rasa tegang yang menyelimuti tadi pagi perlahan menghilang. 


Hanamaki itu pintar dan nggak menyulitkan. Benar-benar kebalikan Miyagi yang susah didekati. 


Tapi ya, Miyagi yang terlalu penurut juga bakal terasa aneh. 


Dalam perjalanan pulang dengan kereta yang biasanya nggak aku naiki, aku malah memikirkan hal-hal konyol seperti itu. 


Setelah melewati jalanan yang familiar, aku sampai di apartemen.  


Aku naik ke lantai tiga, membuka pintu, dan melihat sepatu Miyagi ada di depan pintu. Tapi dia nggak ada di ruang tengah. 


Perutku berbunyi pelan. 


Karena aku sudah bilang bakal pulang telat, mungkin dia sudah makan duluan. Tapi aku tetap mengetuk pintu kamarnya untuk memastikan. 


Satu, dua, tiga kali.  


Pintu kamarnya terbuka sedikit, tapi langsung tertutup lagi sebelum aku sempat mengintip ke dalam. 


"Kamu udah makan?"  


Sebelum dia sempat bicara, aku langsung bertanya.  


"Udah."  


"Makan apa?"  


"Mie instan."  


Suaranya terdengar nggak senang. 


"Kamu harusnya masak makanan bener, dong."  


"Makan mie instan juga nggak apa-apa. Aku makan sendirian, kok. Itu aja yang mau kamu tanya?"  


"Aku mau bikin teh, mau temenin aku minum nggak?"  


Padahal bukan itu niat awalnya, tapi aku mengubah rencanaku jadi seperti itu. Kalau dia belum makan, aku bisa ngajak makan bareng. Tapi karena dia sudah makan, aku cuma bisa cari alasan lain.  


"Kalau gitu, kamu gimana? Udah makan?"  


"Nanti aja. Kamu minum teh duluan aja."  


"Kalau gitu, kamu temenin aku."  


Aku menarik lengan Miyagi yang hendak kembali ke kamarnya, memaksanya duduk di kursi. Sementara air di dalam ketel listrik mulai mendidih, aku membuka kulkas.


Jujur saja, rasanya malas kalau harus masak makanan hanya untuk diri sendiri.


Aku memutuskan untuk memanaskan sup krim instan di panci, lalu menuangkannya di atas sepiring nasi. Walaupun menurutku nasi dan sup krim seharusnya disajikan terpisah, kali ini aku ingin mengurangi cucian piring. Hari ini cukup melelahkan setelah pertama kali bekerja sebagai guru les, jadi aku memilih cara praktis, seperti yang pernah dilakukan Miyagi sebelumnya.


Setelah menyajikan sup krim di meja, aku duduk, siap untuk menikmati makan malam. Namun tiba-tiba Miyagi berkata santai, “Hei,” lalu melanjutkan, “... bagaimana murid di lesmu tadi?”


“Anaknya baik banget. Kelihatannya dia rajin belajar, sopan juga,” jawabku.


“Hmm,” gumam Miyagi tanpa menunjukkan minat yang besar.


“Dia juga jujur, nggak seperti kamu,” sindirku sambil menyendok sup krim. Sambil menelan makananku, aku menatap Miyagi yang duduk di seberang meja. Dia mengetuk meja pelan dengan jarinya.


“Nggak ada alasan buat aku jujur di depanmu,” balas Miyagi santai.


“Oh ya? Kalau begitu, siapa yang layak menerima kejujuranmu?” tanyaku.


“Semua orang, kecuali kamu.”


“Pasti kamu bakal bilang gitu,” jawabku sambil terkekeh kecil.


Sebenarnya, Miyagi yang jujur mungkin akan terasa aneh, tapi aku tetap ingin melihat sisi dirinya yang seperti itu. Misalnya, kalau aku memintanya untuk menunjukkan telinganya, dia melakukannya tanpa banyak protes.


Berbeda dengan Hanamaki—murid lesku hari ini—Miyagi selalu menyembunyikan telinganya. Rambut panjangnya menghalangi pandangan, bahkan untuk melihat anting-anting yang katanya dia pakai untukku. Aku yakin dia juga menutupinya di kampus. Tapi entah kenapa aku merasa, jika Utusnomiya—teman Miyagi—memintanya menunjukkan telinga, dia pasti melakukannya tanpa banyak drama.


Aku menghela napas kecil, membuang pikiran-pikiran itu bersama sesuap sup krim.


“Dengar, Miyagi,” ucapku sambil melanjutkan makan. “Kalau kamu udah pakai anting, kenapa nggak sekalian aja tunjukin telingamu?”


Miyagi mengernyitkan alisnya, seolah menimbang-nimbang. Lalu, tanpa banyak kata, dia menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. 


Aku hampir menjatuhkan sendok dari tanganku, tapi segera meletakkannya di piring.


“Miyagi, kita buat janji yuk,” katanya tiba-tiba, mendekat ke arahku.


“Janji apa?” tanyaku, sedikit bingung.


“Besok, kamu masakin makan malam lagi,” jawabnya.


“... Oke. Kamu mau makan apa?”


Tanpa berpikir panjang, aku meraih antingnya. Alih-alih menjawab permintaan Miyagi dengan anggukan, aku memilih menyentuh anting itu. Aku ingin mencium telinganya, tapi entah kenapa aku merasa Miyagi hari ini sedikit berbeda dari yang aku kenal.


“Masak apa aja yang kamu suka,” balas Miyagi dengan ringan.


Aku berpikir sejenak tentang menu yang bisa aku buat untuknya. Lalu aku menjawab, “Oke.”


---


Menepati janji Miyagi tidak sulit sama sekali. Membuat makan malam itu bukan hal besar. Tapi, yang jadi masalah adalah menentukan menu. 


Di supermarket, aku terus berputar-putar mencari inspirasi. 


Miyagi bilang, “Masak aja yang kamu suka.” Tapi, anehnya, tidak ada satu pun makanan favorit yang terlintas di pikiranku.


“Hmm, gimana ya,” gumamku sambil berdiri di depan deretan daging di bagian penjulan. Ada ayam, sapi, dan babi, tapi aku tidak tahu harus pilih yang mana.


Meski Miyagi bilang “masak apa aja,” aku tidak mau sembarangan. Kalau sampai makanan yang aku buat tidak dia suka, semuanya jadi sia-sia. Walaupun kami sudah cukup lama tinggal bersama, aku masih tidak sepenuhnya paham apa yang Miyagi suka atau tidak suka.


Aku mengingat kembali waktu pertama kali memasak di rumah Miyagi. Menu yang aku buat waktu itu adalah ayam goreng. Saat itu, aku bahkan tidak memikirkan seleranya, jadi memilih menunya pun gampang. 


“Hmm, ayam goreng, ya...” pikirku. Itu pilihan aman karena Miyagi pernah bilang dia suka ayam goreng buatanku.


Tapi, aku terus menggali ingatan. Waktu itu, aku memintanya memotong kubis, lalu dia malah melukai jarinya. Aku akhirnya harus menjilat darah dari jarinya. Aneh banget, memang cuma Miyagi yang bikin aku melakukan hal seperti itu.


Aku menghela napas, mencoba fokus kembali ke menu malam ini.


Aku teringat Miyagi beberapa kali menyajikan hamburger instan untukku. Kalau dia sering memakannya, mungkin dia cukup suka dengan itu. Jadi, aku memutuskan untuk membuat hamburger dari awal.


Aku memasukkan daging cincang campuran ke keranjang belanja, lalu mencari bawang bombay dan tepung panir. Setelah itu, aku melihat resep di ponselku untuk memastikan bahan lainnya. Ternyata masih ada yang kurang, jadi aku menambahkan susu dan pala bubuk ke daftar belanja. Telur sudah ada di rumah, jadi aku langsung menuju kasir.


Sesampainya di rumah, aku melihat sepatu Miyagi di depan pintu. Tapi dia tidak ada di ruang tengah, jadi aku menyampaikan rencanaku memasak hamburger lewat pintu kamarnya. Dia menjawab dengan, “Selamat datang,” tapi tidak keluar.


Aku mulai memasak dengan memotong bawang bombay kecil-kecil dan menumisnya. Lalu, aku mencampur daging cincang dengan garam, merica, dan pala. Aku menambahkan bawang bombay yang sudah matang, susu, panir, dan telur, lalu mengaduk semuanya. Proses ini terasa melelahkan karena aku harus terus menguleni campuran daging hingga kalis. 


Setelah membentuk adonan menjadi bulatan-bulatan, aku memanaskannya di penggorengan. Sambil menunggu hamburger matang, aku membuat salad sederhana. 


Ketika semuanya siap, aku memanggil Miyagi. Dia keluar dari kamarnya dan, tanpa berkata apa-apa, langsung menyiapkan piring dan nasi. 


Hamburger ini mungkin hanya janji kecil, tapi aku merasa ada sesuatu yang lebih dalam dari permintaannya semalam. Aku tidak tahu apa yang ada di pikirannya.


Saat aku menyajikan hamburger di atas piring, Miyagi bertanya, “Sausnya mana?”


“Masih dibuat,” jawabku sambil menuangkan saus tomat dan saus tiram ke penggorengan bekas hamburger, lalu memanaskannya sebentar.


Setelah semuanya siap, aku duduk di meja bersama Miyagi. Kami mulai makan malam dengan ucapan sederhana. 


“Itadakimasu.” 


Aku dan Miyagi mengucapkan “Itadakimasu” bersamaan.


Karena tidak ada pisau, aku memotong hamburger dengan sumpit. Hamburger yang empuk dan lembut ini mengeluarkan banyak jus daging saat dipotong, menandakan kalau hasilnya jauh lebih baik dari yang aku kira. Saat kumasukkan ke mulut, rasanya enak banget, sampai aku merasa ingin memuji diriku sendiri. Tapi Miyagi tetap diam saja.


“Enak nggak sih?” tanyaku pada Miyagi yang duduk di seberang, sibuk makan hamburgernya dengan tenang.


“Enak. Suka hamburger, ya?” balasnya tanpa ekspresi.


“Hmm, biasa aja, sih.” 


Kalau ditanya suka atau nggak, ya aku suka. Tapi bukan karena aku suka banget makanya aku masak hamburger ini, jadi jawabanku agak ragu-ragu.


“Kenapa jawabnya kayak nggak yakin? Masak hamburger karena kamu suka kan?” tanya Miyagi lagi.


“Ya, mungkin. Kamu sendiri suka hamburger nggak?” tanyaku balik, sambil berpikir kalau mungkin sekarang aku bakal masukin hamburger ke daftar makanan favoritku.


“Hmm, biasa aja.”


Jawaban Miyagi samar, dan aku nggak bisa nebak apakah dia serius atau cuma bercanda. Sementara itu, dia terus makan hamburgernya. Aku pun lanjut makan dengan tenang.


Setelah itu, suasana jadi hening. Kami makan dalam diam. Hamburger yang butuh waktu lama untuk dimasak habis dalam waktu singkat, bahkan nggak sampai setengah waktu yang dibutuhkan buat masaknya.


“Miyagi, habis ini mau ngapain?” tanyaku setelah selesai makan, melihat dia meletakkan sumpitnya.


“Ke kamar kamu,” jawabnya santai, sambil tetap nggak melihatku.


“Aku kan bilang mau belajar buat persiapan bimbingan les,” kataku mengingatkan.


“Boleh nggak?” tanyanya, kali ini sambil melihat ke arahku.


Aku tahu ini bakal mengganggu belajarku, tapi nggak tahu kenapa, aku nggak bisa bilang nggak. 


“Ya, boleh,” jawabku akhirnya, meskipun di dalam hati merasa bingung sendiri.


Miyagi berdiri dan membereskan piring-piring bekas makan kami. Aku hanya duduk diam, mendengarkan suara piring yang dicuci di dapur. Seharusnya aku menawarkan bantuan, tapi aku malah terdiam. Suara piring yang saling beradu terdengar agak keras, menandakan kalau Miyagi sedang nggak dalam suasana hati yang baik.


“Nggak apa-apa aku ke kamar kamu, kan?” tanyanya lagi setelah selesai.


“Kalau kamu memang mau, ya silakan,” jawabku singkat.


Setelah kembali ke kamarku, Miyagi duduk di sebelahku. Biasanya dia nggak pernah segan untuk ngobrol, tapi kali ini dia malah diam dan terlihat sedang melamun, membolak-balik halaman kamus yang ada di meja.


“Kenapa sih kamu diem aja? Kalau ada apa-apa, bilang aja,” tanyaku sambil menatapnya.


“Nggak ada apa-apa,” jawabnya singkat. 


Aku tahu dia bohong. Miyagi ini kadang keras kepala, apalagi kalau sedang bad mood. Tapi sekarang, dia benar-benar bikin aku bingung. Kalau memang mau datang ke kamarku, kenapa nggak berusaha bikin suasana lebih enak?


“Kamu kenapa sih? Kalau lagi bad mood, minimal coba senyum dikit, dong,” protesku.


“Senyum tuh aku cuma pas di kampus,” jawabnya sambil tetap menatap ke bawah.


Kalimatnya itu langsung bikin aku ingat. Di kampus, dia sering senyum dan tertawa, terutama di depan orang lain. Dulu, waktu di SMA, aku juga sering lihat dia senyum kalau lagi bareng temannya, terutama Utsunomiya. Sekarang pun aku yakin dia masih sering ketawa bareng orang lain, tapi nggak pernah di depanku. 


“Kenapa sih? Di sini juga bisa senyum, nggak harus di kampus doang,” kataku, mencoba mengajaknya untuk lebih terbuka.


Miyagi diam sebentar, lalu akhirnya tersenyum kecil. Bukan senyum yang besar, tapi cukup untuk membuat suasana sedikit lebih hangat. Meskipun aku tahu, ada sesuatu di balik senyumnya itu yang masih dia sembunyikan.


Aku dan Miyagi kuliah di universitas yang berbeda.


Kalau dia nggak mau tersenyum di sini, aku mungkin nggak akan pernah lagi melihat wajahnya yang tersenyum seperti dulu. Kalau bisa memilih, aku jelas lebih suka melihat Miyagi yang sedang dalam suasana hati bagus, dan kalau bisa, dia tersenyum.


“Aku nggak bisa senyum kalau nggak ada hal yang lucu,” katanya datar.


“Kalau cuma senyum tipis doang, gampang, kok. Nih, coba angkat sudut bibir kamu,” balasku sambil menekan ujung bibirnya dengan jari, memaksanya tersenyum.


Tiba-tiba, *brak*, kamus yang tadi ada di pangkuannya jatuh ke lantai. 


Sepertinya suasana hatinya bakal makin buruk, tapi aku nggak peduli. Miyagi sudah jelas bad mood, jadi aku pikir nggak ada salahnya mencoba sesuatu yang berbeda. Aku tetap memaksa sudut bibirnya untuk terangkat, meskipun hasilnya bukan senyum, melainkan ekspresi lucu yang diiringi alis yang berkerut. 


Miyagi akhirnya menangkap pergelangan tanganku dan menggigit jariku.  


Gigitan itu keras, sampai aku bisa merasakan tekanan giginya pada tulang. Refleks, aku mencoba menarik jariku, tapi Miyagi malah menggigitnya lebih keras lagi.


“Miyagi, sakit tahu!” protesku sambil membeku karena rasa sakit yang tak kuduga. Rasanya dia benar-benar mencoba menghancurkan tulang jariku. Sampai ke pelipisku terasa berdenyut-denyut karena gigitan itu.


“Lepasin, sakit!” 


Aku memukul bahunya, tapi dia tetap tidak melepaskan jariku. Saking sakitnya, aku bahkan berpikir untuk mencabut antingnya sebagai balasan, tapi akhirnya aku hanya menariknya pelan. Kupingnya yang lembut tertarik, dan gigitan itu pun perlahan mengendur. Aku langsung menarik jariku, akhirnya terbebas.


“Jangan makan jari orang lain, dong! Hamburger tadi kurang, ya?”


Aku melihat jariku yang bekas gigitannya terlihat jelas, lengkap dengan nyeri yang masih terasa seperti habis dikerjain. 


“Kalau mau makan, makan sesuatu yang lebih enak,” balas Miyagi dingin, sambil mengambil tisu dan mengelap jariku dengan kasar.


“Kalau mau aku senyum, ya bikin sesuatu yang lucu, gitu,” ujarnya setelah mengembalikan kamus ke meja.


“Kayaknya, kamu nggak bakal ketawa meskipun aku ngelawak, jadi mending aku nggak usah coba,” jawabku sambil mengusap jariku yang masih terasa berdenyut.


“Kalau gitu, nggak usah aneh-aneh dari awal,” Miyagi membalas tajam.


“Kayaknya aku emang salah, ya. Cuma orang bodoh yang coba bikin kamu ketawa kalau kamu nggak mau,” sahutku, sedikit kesal.


“Kalau kamu sadar, ya sekarang kamu aja yang senyum,” katanya sambil memaksakan bibirku tersenyum dengan jarinya, meniru apa yang aku lakukan padanya tadi. Sentuhannya kasar, jadi aku langsung menepis tangannya.


“Denger ya, aku minta maaf kalau maksa kamu tadi. Tapi, nggak cukup gigit jari, kamu malah balas begini juga. Beneran ngeselin,” protesku.


“Belum cukup,” katanya sambil menatap jariku.


Dia meraih jariku yang bekas gigitannya tadi, dan aku mencoba menariknya, tapi terlambat. Dia menggenggam jariku dengan kuat, seolah nggak mau membiarkannya pergi.


“Lepasin, sakit tahu!” aku menarik tanganku, tapi dia malah menarikku lebih dekat. Rasanya sakit, tapi aku nggak punya pilihan selain mendekat.


“Apa sih maunya kamu?” tanyaku dengan suara tegas, sambil menatapnya. 


Tapi dia nggak menjawab. Miyagi malah menarik kerah blusku, mendekatkan wajahnya ke arahku. Napasnya terasa di wajahku, berhenti di jarak yang sangat dekat. Dia nggak bicara, hanya menatapku sebentar sebelum mengalihkan pandangannya.


Aku merasa dia sedang memikirkan sesuatu. 


“Kalau memang ada sesuatu yang kamu mau, bilang aja,” ujarku akhirnya.


Dia melepaskan kerahku, tapi aku meraih lengannya, nggak mau dia pergi begitu saja. 


“Terusannya mana?” tanyaku.


“Nggak ada,” balasnya singkat, sambil menjauh dariku.


“Kalau nggak ada, ya bikin ada,” tantangku.


Miyagi terdiam sejenak. “Kalau memang ada sesuatu yang kamu mau, minta aja. Aku mungkin bakal melakukannya,” katanya akhirnya.


Tanganku yang tadi sakit mulai terasa lebih baik. Aku menggenggam tangannya, dan dia nggak menarik diri, meski masih menghindari tatapanku. 


“Kalau gitu, aku mau kamu cium aku,” kataku pelan, memberanikan diri.


“Itu bukan permintaan,” balasnya sambil menatapku.


“Kalau gitu, tolong cium aku. Begitu cukup?”


“Iya, itu cukup.”


Miyagi mendekat ke arahku setelah mendengar permintaanku. 


Tapi, sebelum bibir kami bersentuhan, dia berhenti. Tangannya yang menggenggam milikku perlahan mulai melemah, seolah ingin menarik diri.


Dalam situasi seperti ini, Miyagi selalu nggak percaya diri. Dia nggak ragu melakukan hal-hal yang nggak penting, tapi kalau sudah sampai pada saat yang krusial, dia malah takut. 


“Kamu sendiri yang bilang bakal melakukan kalau aku minta. Jadi, lakuin aja yang benar,” aku menegaskan, memastikan dia nggak akan kabur sebelum menepati ucapannya, lalu memejamkan mata.


Aku merasakan Miyagi mendekat lagi. 


Tangannya menggenggam erat jemariku, dan bibirnya menyentuh bibirku. 


Singkat. Begitu ringan sampai aku bahkan nggak sempat merasakan hangatnya.


Miyagi mundur setelah itu. 


Ketika aku membuka mata, dia sudah menjauh sedikit, dengan ekspresi seperti sedang waspada. Reaksi itu membuatku kesal. Aku nggak mau dia menganggap hal itu sebagai “janji yang sudah ditepati.”


“Hanya segitu?” tanyaku.


“Udah,” balasnya dingin.


“Lakukan sekali lagi.”


“Nggak mau. Aku yakin kamu lagi mikirin hal aneh sekarang,” jawabnya sambil melepaskan genggamannya pada tanganku. Meski begitu, dia nggak pergi. Dia tetap duduk di sebelahku, hanya menjaga jarak sedikit.


Sikap Miyagi hari ini terasa beda. Biasanya dia seperti kucing liar yang selalu berjaga-jaga dan nggak membiarkanku mendekat. 


“…Gimana kabar Utsunomiya?” tanyaku akhirnya, mencoba membuka pembicaraan agar dia nggak memutuskan untuk pergi.


“Baik, kok,” jawabnya singkat.


“Bawa dia ke sini, dong.”


“Kenapa aku harus bawa Maika ke sini?”


“Kan temanmu. Undang aja.”


“Ogah.”


Seperti yang kuduga, percakapan kami langsung berakhir begitu saja.


Sebenarnya, aku nggak benar-benar ingin Utsunomiya datang. Aku cuma penasaran dengan Miyagi di kampusnya. Mungkin Utsunomiya tahu sisi Miyagi yang aku nggak tahu. Sama seperti aku tahu sisi Miyagi yang mungkin nggak diketahui Utsunomiya. Tapi aku nggak yakin mana yang hanya aku yang tahu.


“Miyagi,” panggilku, menoleh ke arahnya, mencoba memulai obrolan lagi. 


“Kamu pernah ciuman sama Utsunomiya?” tanyaku.


Dia langsung menatapku dengan ekspresi bingung.


Aku beneran penasaran. Apakah Utsunomiya tahu bagaimana rasanya kelembutan bibir Miyagi?


“Kamu sendiri biasa ciuman sama teman?” dia balik bertanya.


“Enggak.”


“Aku juga enggak.”


Jawabannya cukup menenangkan. Kalau dia nggak ciuman sama teman, berarti dia baru saja menciumku bukan karena aku temannya. Aku memang bukan temannya. Nggak pernah, dan aku senang akan hal itu. 


Aku menyentuh pipinya, mendekat sedikit. Dia nggak menghindar. 


Dia nggak mau memejamkan mata, jadi aku yang memejamkan mata duluan dan mencium bibirnya lagi.


Kali ini lebih lama, mengganti ciuman singkat tadi. Aku mendalami ciuman itu, menyentuh bibirnya dengan lidahku, mencoba mengenalnya lebih jauh. Miyagi nggak menolak. Panas tubuhnya bercampur dengan milikku, dan ketika lidah kami bersentuhan, aku yakin dia nggak keberatan. 


Saat aku mencoba menyandarkan tubuhku padanya, hampir mendorongnya hingga terbaring, dia menahan bahuku dengan kuat dan mendorongku menjauh.


“Sendai,” panggilnya, dengan nada datar yang sulit ditebak. 


“Apa?” tanyaku.


“…Berhenti kerja, dong.”


Aku terkejut mendengar permintaannya yang aneh, terutama setelah ciuman tadi. Dia menggenggam jariku yang pernah dia gigit dengan erat, hingga sakit lagi.


“Kenapa?”


Aku nggak merasa punya alasan untuk berhenti kerja. Aku nggak mengganggu dia, dan aku juga nggak berniat melakukannya.


Dia terdiam, wajahnya terlihat rumit.


“Kalau aku berhenti sekarang, orang-orang bakal kerepotan. Lagi pula, aku suka kerjaanku. Jadi, enggak mungkin,” jawabku tegas.


Aku memang lebih suka pekerjaan sebagai tutor dibandingkan pekerjaan paruh waktu di restoran atau minimarket. Selain cocok, bayarannya juga lebih bagus. Jadi aku punya lebih banyak waktu di rumah.


“Aku tahu,” gumamnya sambil melepaskan genggamannya pada jariku.


“Kalau tahu, kenapa kamu nyuruh aku berhenti?”


“Nggak tahu. Aku cuma kepikiran aja,” jawabnya pelan.


Dia kembali menggenggam tanganku, kali ini lebih lembut.


Sikapnya benar-benar aneh. 


Aku ingin tahu alasan sebenarnya dia memintaku berhenti kerja. Tapi aku tahu, kalau aku memaksanya menjawab, dia pasti akan pergi ke kamarnya. Jadi, aku memilih diam, menggenggam tangannya erat, dan menikmati momen kecil ini.


















Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !