Chapter 3:
Gadis Cantik Pemurung Memungut Kucing Hitam
Apa penemuan terhebat umat manusia?
Jika ditanya demikian, saat ini aku akan menjawab telepon.
Sebaliknya, jika ditanya apa penemuan terburuk umat manusia, aku juga akan menjawab telepon.
Kamu bisa berbicara dengan siapa pun di mana pun di dunia.
Itu adalah hal yang sangat luar biasa, tidak lain adalah menghancurkan batas-batas dunia.
Namun pada saat yang sama, justru karena bisa terhubung dengan siapa pun, kamu juga bisa dengan mudah menghubungi orang yang tidak kamu sukai, dan di mana pun kamu berada, sulit untuk memutuskan hubungan──
■■
Hari ketika kami tidak sengaja bertemu di supermarket. Apakah karena aku membiarkannya menginap di rumahku? Atau mungkin lebih awal dari itu. Apakah ini sudah ditakdirkan sejak aku menyapanya di hari hujan itu?
Tanpa disadari, Sajo-san mulai sering berkunjung ke rumahku. ...Bahkan menginap.
Awalnya aku merasa aneh. Bukankah agak janggal bagi seorang gadis sebayq untuk sering mengunjungi rumah seorang pria yang tinggal sendiri? Tapi pemikiran itu hanya ada di awal.
Aku tidak keberatan Sajo-san datang, dan aku juga tidak tega mengusirnya mengingat keadaan keluarganya.
Dia membangunkanku di pagi hari, memasak untukku, bahkan mencuci dan membersihkan rumah...
Tanpa kusadari, keberadaan Sajo-san telah menjadi bagian dari keseharianku.
....... Ya, begitulah.
Awalnya aku merasa tidak enak, tapi dia bersikeras ingin "membalas budi".
Bagiku juga mudah dan membantu, jadi aku tidak bisa menghentikannya... Ta-tapi aku juga membantu, lho? Meskipun rasanya aneh mengatakan "membantu" di rumahku sendiri.
Juli setelah musim hujan berakhir. Selama sebulan di puncak musim panas, aku menghabiskan hampir seluruh waktu bersama Sajo-san.
Sekolah juga memasuki liburan musim panas, dan tanpa terasa sudah mendekati bulan Agustus. Mengeluh bosan karena tidak ada yang bisa dilakukan, sementara PR yang belum disentuh menumpuk di atas meja belajar - itu hal yang wajar bagi siswa SMA, bukan? Tidak apa-apa, tidak apa-apa. Masih ada sebulan lagi (red flag).
Nah, dalam sebulan ini. Perubahan besar yang terjadi adalah aku dan Sajo-san menjadi seperti tinggal bersama, dan satu hal lagi. Perubahan itu saja sudah lebih dari cukup, tapi hubungan kami juga sedikit berubah.
Hubungan, atau mungkin lebih tepatnya jarak di antara kami.
"...Kenapa ya bisa jadi begini?"
"Jangan bergerak."
"Baik."
Hari terakhir bulan Juli.
Rasa bahagia dan kenyang dari masakan yang menjadi semakin lezat dengan cepat dalam sebulan ini. Saat aku menikmati kebahagiaan kecil itu, aku berada di antara kedua lutut Sajo-san, dipeluk dari belakang.
Tekanan dadanya yang mendorong punggungku sangat terasa.
Ngomong-ngomong, ini bukan yang pertama kali terjadi hari ini, tapi sudah menjadi rutinitas setiap hari belakangan ini. Kenapa ya.
Aku tidak tahu alasannya. Benar-benar tiba-tiba, tahu-tahu lenganku ditangkap, lalu aku dipeluk seperti sedang dimangsa.
Seperti boneka besar.
Tentu saja aku panik dan malu saat pertama kali diperlakukan seperti ini, tapi karena kelembutan dan kenyamanannya yang luar biasa, aku berhenti memikirkannya dan menyerah.
Kadang-kadang, saat aku benar-benar santai, posisi kepalaku turun dan menjadi bantal dada. Bantal alami yang empuk. Tidak ada cara untuk melawan mimpi yang kulihat saat terbangun. Aku laki-laki, jadi tidak bisa dihindari.
Menurut Sajo-san, ini adalah "hadiah", tapi aku tidak tahu hadiah untuk apa. Seperti masalah bekal itu, aku merasa hanya aku yang diuntungkan.
Sambil membenamkan belakang kepalaku di dadanya dalam posisi yang sangat tidak pantas ini, aku membayangkan kucing liar yang tiba-tiba menjadi jinak. ...Meskipun terlalu besar untuk ukuran kucing, pikirku sambil merasakan bantal empuk yang meresponku.
"......"
"...Sajo-san?"
Tanpa berkata apa-apa, Sajo-san mulai menelusuri lenganku dengan ujung jarinya. Perlahan dari bahu hingga punggung tanganku. Sentuhan ringan kukunya membuat tulang punggungku bergetar. Lalu, dia menggenggam tanganku dari atas, seolah tidak ingin melepaskannya. Kekuatan pelukannya juga bertambah, membuat tubuh kami semakin rapat.
Bukan hanya hari ini. Sedikit demi sedikit, sentuhan kami semakin banyak dan semakin intens.
Awalnya hanya ujung jari. Lalu tangan. Menyentuh bahu, mengelus punggung. Perlahan memegang rambut.
Tindakan itu seperti anak kecil yang manja, tapi kadang terasa menggoda.
Terasa seperti foreplay, dan setiap kali disentuh, jantungku berdebar kencang seperti akan meledak, tapi kami belum pernah benar-benar melakukan hal-hal seperti itu.
Mungkin karena ekspresi Sajo-san saat menyentuhku terlihat lega, jauh dari urusan laki-laki dan perempuan.
Aku pernah berfantasi, bagaimana jika Sajo-san menginginkanku... tapi itu hanya khayalan yang tidak berarti.
Mungkin dia hanya mencari kehangatan tubuh manusia, pikirku. Aku bisa merasakan langsung di kulitku ketika dia merasa aman dan tubuhnya rileks.
Aku seperti selimut keamanan yang tidak akan dilepaskan oleh bayi.
Cinta, kasih sayang, nafsu...
Aku tahu perasaan-perasaan seperti itu tidak ada.
Hanya saat ini saja, aku menyesali tidak dilahirkan sebagai perempuan. Karena jika kami berdua perempuan, sentuhan seperti ini hanyalah candaan sederhana, dan tidak akan mencari makna lebih dari itu.
Hahh, desahan panas keluar bersama dengan rasa frustrasi.
“...Apa? Kenapa kamu menghela napas?”
“Aku hanya berpikir betapa bahagianya.”
“......”
Entah mengapa, genggaman tangan Sajo-san di tanganku menguat. Hei, tunggu? Itu sakit, tahu?
Tapi aku juga berpikir.
Meskipun aku senang dia menjadi dekat seperti ini, ini hanyalah jarak fisik yang berkurang.
Aku hampir tidak tahu apa-apa tentang dirinya.
Aku hanya merasakan bahwa mungkin dia memiliki hubungan yang buruk dengan ibunya. Tapi hanya sebatas itu.
Aku hanya menyentuh permukaan, tidak pernah mencapai intinya.
Tapi bukan berarti aku ingin menggali lebih dalam ke urusan pribadinya.
Mungkin bisa disebut kenyamanan seperti berendam dalam air hangat, menutup telinga dari hal-hal yang tidak menyenangkan.
Hubungan yang ambigu seperti ini terasa nyaman. Aku tidak ingin merusaknya.
Bukan berarti aku hidup hanya untuk saat ini, tapi masa lalu dan masa depan Sajo-san tidak penting. Yang penting adalah aku bersama Sajo-san di sini sekarang. Itu saja sudah cukup, dan entah bagaimana aku mulai berharap hubungan ini akan terus berlanjut.
Tidak memikirkan keadaan masing-masing. Kebahagiaan dalam dunia tertutup tanpa perubahan. Mungkin ada orang yang akan mengatakan itu salah.
Tapi pada akhirnya, jangkauan tindakan manusia terbatas, dan jika dunia setiap individu tertutup seperti taman miniatur, maka tidak ada yang salah dengan mencari kebahagiaan dalam dunia tertutup itu.
Tenggelam dalam kebahagiaan yang malas, berusaha tidak merusak situasi yang ambigu ini.
Hubungan kami juga begitu.
Teman sekelas? Teman? Sahabat? Kekasih? Suami istri? Atau hanya tetangga?
Tidak ada kata yang tepat untuk menggambarkan hubungan kami, dan aku tidak ingin memasukkannya ke dalam kerangka yang dibuat orang lain.
Membiarkannya tetap tidak jelas,
“Akan lebih baik jika hari-hari seperti ini terus berlanjut...”
Kata-kata itu tiba-tiba keluar dari mulutku. Meskipun aku tidak mencari jawaban, Sajo-san tidak mengatakan apa-apa. Sebagai gantinya, dia melingkarkan tangannya di tubuhku dan memelukku erat.
Tenggelam. Terbenam. Terjebak.
Waktu yang kupikir akan berlangsung selamanya ini terhenti karena getaran di sakuku. Kesadaranku yang seperti mengambang di permukaan kolam ditarik kembali ke realitas.
Ponsel dalam mode senyap kukeluarkan dari saku.
Ah, menyebalkan. Dengan enggan aku membuka mata sedikit untuk memeriksa siapa yang mengganggu waktu bahagiaku ini──
“Ugh.”
Suara hatiku keluar begitu saja.
“...Siapa?”
“Ah... um, yah.”
Suara berbisik di telingaku membuat tulang punggungku bergetar sesaat.
Suaranya dingin dan datar daripada manis, tapi merasakan napasnya dekat di telingaku hampir membuatku mengeluarkan suara aneh. Bukan orang yang perlu kurahasiakan. Aku mencoba menjelaskan secara singkat, tapi ponsel-ku terus bergetar meminta untuk segera diangkat, jadi aku terpaksa mengangkat kepalaku dari bantal empuk itu.
“Maaf, aku harus menjawab telepon sebentar.”
Aku meminta maaf dan langsung berdiri.
Meskipun ini musim panas, tubuhku yang terpisah dari Sajo-san terasa sangat dingin.
“...Aku tanya siapa?”
Suara yang tidak puas. Ketika aku melihat, matanya yang hitam menyipit dengan sudut mata terangkat.
“Ah...”
Aku menggaruk kepalaku.
Berpikir akan mengganggu jika aku menjawab telepon di ruangan yang sama, aku membuka jendela yang mengarah ke balkon sambil memberitahukan hubunganku dengan si penelepon secara singkat.
“Adik perempuan.”
Aku membacakan nama yang terdaftar di layar ponsel, lalu menyentuh tombol hijau untuk menjawab panggilan dan melangkah ke balkon.
■■
[Aloha~ Apa kabar, Nii-san?]
Aku mengerutkan dahi mendengar suara ceria yang terdengar bodoh dan tidak cocok untuk malam hari.
Mungkin karena ini malam hari meskipun musim panas. Begitu keluar ke balkon, aku merasakan angin dingin yang membelai kulitku.
Aku merasa ada tatapan tajam dari dalam ruangan melalui jendela kaca transparan, tapi aku menganggapnya hanya perasaanku saja.
Sambil berusaha untuk tidak berbalik, aku bersandar di dinding balkon dan terpaksa menjawab suara menyebalkan yang bergema dari speaker.
“Kedengaran kok. Dan juga, apa itu Aloha? Aku ingat kamu sedang dalam perjalanan bisnis ke Hokkaido, kan? Dari mana kata itu kamu dapatkan?”
[Terserah lah. Karena Hokkaido. Aku jadi kangen tempat yang hangat. Yah, walau saat ini aku sedang makan Hagen dengan AC menyala.”
“Oi.”
Ahaha, aku mendengar tawa gemetar dari ujung telepon yang lain.
Seperti biasa, sikapnya yang tidak menganggapku sebagai kakak membuatku kesal. Aku merasa frustasi dan pelipisku mulai sakit.
Meskipun sudah lebih dari setengah tahun tidak bertemu, tapi kedekatan kami seperti masih tinggal bersama. Seperti menelepon dari tempat wisata.
Belasan tahun sejak lahir. Mungkin tinggal di bawah atap yang sama selama itu membuat setengah tahun tidak cukup untuk berubah. Padahal waktu segitu cukup untuk menjadi jauh dengan teman yang sering mengobrol di SMP.
Tubuhku gemetar karena angin malam. Aku tidak ingin berbicara lama-lama. Baik untuk si penelepon maupun putri yang tidak senang yang menunggu di balik kaca.
"Jadi, ada perlu apa?"
[Wah, reaksi yang dingin sekali. Ini percakapan kakak-adik setelah sekian lama lho? Sayangilah adikmu sedikit!]
"Iya, iya, kamu imut, imut."
[Hahaha! Benar-benar asal-asalan!]
Meskipun aku memperlakukannya dengan cuek, entah kenapa dia terhibur. Aku heran dengan adik yang asal-asalan ini.
Aku ingin cepat-cepat mendengar urusannya dan menutup telepon.
Tapi, ah. Aku teringat sesuatu dan melihat ke atas sambil berpikir.
Langit malam yang gelap. Oh iya, ada yang harus kukatakan pada adikku.
Merepotkan sekali. Meskipun berpikir begitu, aku tidak bisa tidak meminta izin, jadi dengan terpaksa aku memulai pembicaraan.
"Umm, begini. Aku juga ada yang ingin dibicarakan."
[Eh, apa apa? Mau memberi uang tahun baru? Asik, dapat Yukichi!]
(Tln : Yukichi itu tokoh yang ada di uang 10.000 yen)
"Kenapa begitu?"
Terlalu tidak nyambung sampai aku tidak mengerti. Jangan langsung menentukan jumlahnya.
[Uang tidak pernah cukup. Barang yang ingin dibeli sebanyak bintang di langit... iya kan, Onii-chan?]
"Menjijikkan."
Suara manja seperti kucing membuatku merinding.
"Jangan pikir rayuan seperti itu akan berhasil pada kakak kandungmu."
[Iya ya. Aku tahu kok.]
Berbicara dengannya membuat topik terus melenceng ke arah yang aneh.
Percakapan bodoh tanpa isi bisa berlanjut tanpa batas, mungkin ini juga karena kami kakak-adik.
Tapi...
Aku berpikir mungkin perlu memberinya uang saku untuk menyenangkan hatinya.
Karena apa yang akan kukatakan mungkin tidak akan dimaafkan tanpa melakukan itu.
Jadi, sambil mengamati reaksinya, aku berkata dengan hati-hati.
"Bukan itu... um, begini."
[Ya, ya?]
"......... Sekarang, aku sedang meminjamkan kamar."
Begitu aku mengatakannya, percakapan langsung terhenti.
Ada atmosfer dingin yang aneh. Apa ini benar-benar buruk?
Dengan cemas, aku menunggu jawaban adikku.
Setelah terdengar suara berisik dari speaker seolah sinyal buruk sejenak, adikku bertanya dengan suara yang sangat serius.
[...Apa? Kamu tertarik dengan pakaian dalam adikmu? Mungkin wajar sebagai kakak, tapi sebagai manusia itu tidak boleh, jadi hentikan oke?]
"Aku tidak tertarik dan tidak akan melakukannya!?"
Jangan bicara seolah itu normal untuk seorang kakak. Itu kakak yang benar-benar berbahaya. Putuskan saja hubungan darahnya.
[Lalu, kenapa?]
Ketika ditanya begitu, aku terdiam.
Aku merasa malu dan mengalihkan pandangan meskipun wajahku tidak terlihat. Tapi aku tidak bisa tidak mengatakannya, jadi aku mengaku sambil siap dimarahi.
"Aku membiarkan... te-teman? menginap di kamarmu."
Teman. Kata yang keluar spontan itu sedikit mengganjal.
Hening sejenak.
[Kalau laki-laki, aku akan membunuhmu.]
Itu murni niat membunuh.
Rasanya seperti ada pisau yang ditodongkan ke telingaku.
"Perempuan kok."
Tanpa sadar aku menggunakan bahasa sopan. Aku takut.
Rasanya seperti hawa dingin menyebar ke seluruh tubuh dari hati yang gemetar dan dingin, berbeda dari dinginnya angin malam.
[Oh.]
Dia menghilangkan niat membunuh yang tadi terasa dan berkata dengan nada ringan. Aku dimaafkan. Aku merasa sangat lega.
Punggungku lurus basah oleh keringat. Setiap kali angin bertiup, aku merasakan dingin yang membuatku gemetar.
Ini... Bagaimana jadinya kalau benar-benar laki-laki...
Aku memikirkannya dan menggelengkan kepala. Sebaiknya tidak usah dipikirkan. Yang pasti hasilnya tidak akan baik.
[Yah. Anggap saja bagus kakak yang tidak pernah dekat dengan perempuan sekarang punya keberanian membawa perempuan ke rumah.]
"Memangnya kamu siapa?"
[Aku yang membesarkan Nii-san,] katanya sambil tertawa.
"Pantas saja sifatku jadi menyimpang begini," aku ikut bercanda. !Berkat aku, berterima kasihlah,] dia berkata bangga meskipun hanya bercanda.
Aku bisa membayangkan dia membusung dadanya yang rata, tidak seperti Sajo-san. Dasar rata.
[Kalau begitu, dadah~]
"Tunggu, tunggu, tunggu, tunggu!"
Aku buru-buru menghentikannya saat dia hampir menutup telepon.
“Untuk apa kamu menelepon? Jangan bilang kamu hanya penasaran apakah kakakmu melakukan hal-hal mesum dengan seorang gadis?”
“Hm?” Dia bersuara bingung, lalu “Ah” seolah baru ingat sesuatu.
[Maaf, maaf. Aku puas setelah menanyakan kehidupan seks Nii-san dan lupa.]
“Aku tidak pernah menceritakan kehidupan seksku padamu!”
Kenapa aku harus menceritakan hal seperti itu pada adik kandungku?
Itu benar-benar tidak normal.
Tapi dia terkejut dan berkata “Eh?” seolah tidak menyangka.
Hei, apa maksud reaksi itu. Jangan-jangan...
!Aku bisa login ke akun pornhub yang Nii-san gunakan lho?]
“──── Jadi, apa urusanmu? Sudah mulai dingin, jadi cepatlah.”
Serius, dingin sekali. Entah kenapa aku merasa merinding. Mungkin flu.
Entah kenapa, aku memutuskan untuk segera mengganti password. Lagipula aku masih di bawah umur jadi tidak punya akun situs porno, dan hanya menggunakan situs sehat dari perusahaan yang sama, jadi ini sama sekali tidak ada hubungannya!
]Pertanyaan pertama, jelaskan alasan banyak gadis berambut hitam tobrut pemurung.]
(Tln : mungkin “banyak” yang di maksud di sini itu, artis bokep yang dia tonton² rata² modelan kayak begitu)
“Berisik diam aku akan memblokir panggilanmu tolong tutup mulutmu aku akan melakukan apa saja asal kamu diam!!!!!!!!?”
Aku tidak peduli lagi soal malam hari atau mengganggu tetangga. Aku ingin melompati dinding balkon ini dan pergi ke dunia tanpa ikatan apapun.
[Pertanyaan kedua, alasan tidak adanya konten tentang adik──]
“Tolong diam saja.”
Hatiku hancur lebur, lebih buruk dari lap pel usang.
Meskipun ini sama sekali tidak ada hubungannya denganku, kenapa aku sampai hampir menangis karena terlalu memproyeksikan diri? Serius, ini tidak ada hubungannya... Tapi tunggu, bagaimana kamu bisa tahu akun itu?!
“Jadi, apa urusanmu? Cepat katakan.”
[Kamu jadi murung. Lucu.]
Adik yang paling buruk.
Saat aku terduduk lemas di dinding, dia berkata, [Yah, Nii-san juga sudah tahu sih...]
[Karena sudah masuk liburan musim panas, aku ingin memastikan apakah Nii-san sudah mulai bersiap-siap pindah?]
......... Ah.
Waktu seperti berhenti. Tidak, mungkin hanya nafasku yang berhenti.
Tiba-tiba aku merasa seperti berpindah dari balkon rumah ke puncak gunung, merasakan tipisnya udara. Perubahan tekanan udara yang mendadak membuat jantungku terasa seperti balon yang akan meledak.
Aku tidak ingat apa yang kubicarakan dengan adikku setelah itu.
Aku hanya menjawab seadanya dan menutup telepon. Lalu kembali ke ruang tamu, tersenyum pada Sajo-san yang entah kenapa khawatir dan mengatakan aku baik-baik saja, lalu kembali ke kamar.
Aku menjatuhkan diri ke tempat tidur. Tenggelam. Jatuh. Hari ini saja, aku tidak ingin memikirkan apapun.
■■
Sejak menerima telepon dari adikku tadi malam, aku sama sekali tidak bisa tidur.
Yang ada di pikiranku hanyalah soal pindah rumah.
Aku tahu adikku tidak bermaksud buruk. Aku juga salah karena lupa kalau kami akan pindah saat liburan musim panas.
“Tapi, aku benar-benar tidak ingin mendengarnya sekarang.”
Sungguh. Aku tidak ingin mendengarnya.
Di balkon yang masih remang-remang karena matahari belum sepenuhnya terbit, aku duduk melamun di kursi outdoor. Tapi bukan berarti pikiranku kosong, malah kepalaku penuh dengan berbagai pikiran yang berputar-putar.
Kalau ini terjadi sebelum bertemu Sajo-san, aku tidak perlu bingung seperti ini.
Meskipun merepotkan, aku hanya akan berpikir “Oh, kita akan pindah ya” tanpa memikirkannya lebih jauh.
Tapi sejak menghabiskan waktu bersama dia, pilihanku bertambah. Pilihan untuk tinggal sendiri di sini.
Timbangan mulai miring. Beratnya bertambah. Tapi tidak cukup untuk memutuskan pilihan.
Karena itulah aku bingung. Karena tidak ada yang menjadi penentu.
“Mungkin... Aku akan diizinkan untuk tinggal.”
Ibu terlihat khawatir, tapi kalau aku menjelaskan dengan baik, dia pasti akan mengerti. Untungnya, apartemen ini milik sendiri, jadi tidak perlu membayar sewa tambahan.
Jadi, tidak masalah jika aku tinggal, tapi...
Di sisi lain timbangan dari Sajo-san ada keluargaku. Timbangan terus bergoyang tidak stabil tanpa condong ke salah satu sisi.
Aku masih kelas 1 SMA. Jika aku memutuskan untuk tinggal di sini... Bersama Sajo-san, kesempatanku bertemu keluarga pasti akan sangat berkurang. Mungkin kami tidak akan tinggal bersama lagi.
Lulus SMA, masuk universitas. Mungkin untuk kuliah, aku akan benar-benar pindah dan tinggal sendiri, bukan hanya seperti sekarang.
Selama ini aku tidak pernah memikirkannya karena terlalu biasa, tapi sekarang aku sadar bahwa waktu tinggal bersama keluarga sebenarnya tidak sebanyak yang kukira.
Dan sekarang, jika aku memilih untuk tidak tinggal dengan keluarga, waktu itu akan mendekati nol.
“Ah... Kepalaku sakit.”
Aku bersandar ke kursi. Matahari belum terbit.
Aku mendongak melihat langit-langit, tapi jawabannya tidak tertulis di sana. Hanya dinding putih yang sedikit kotor.
Tapi aku juga berpikir begitu.
Aku masih punya perasaan yang tersisa. Aku khawatir meninggalkan Sajo-san sendirian. Yang terpenting, menghabiskan waktu bersamanya adalah yang paling mudah dalam hidupku selama ini.
Tidak ada hal khusus yang kami bicarakan setiap hari, tapi kami tidak merasa canggung saat diam bersama. Namun, entah kenapa rasanya nyaman saat bersama. Cukup dengan berada bersama saja sudah baik.
Kurasa aku adalah siswa SMA laki-laki yang biasa saja. Baik dalam belajar maupun bergaul dengan teman. Tidak terlalu jauh dari rata-rata.
Aku punya teman di sekolah. Teman untuk mengobrol hal-hal konyol dan bercanda. Tapi itu hanya hubungan yang dangkal, yang bisa putus begitu saja saat kelas berubah, apalagi setelah lulus SMA.
Lagipula, aku tidak mencari hal itu. Hubungan yang dalam dengan seseorang.
Aku hanya tersenyum ramah dan ikut dalam percakapan tak bermakna.
Terus menerus bertahan dalam situasi itu, lelah, terkikis, lalu tersenyum lagi.
Aku suka sendirian, tidak ada hal baru, hanya memulihkan hati yang lelah dengan bermain game retro yang sudah kumainkan berkali-kali. Aku hanya tertarik pada hal-hal yang kutahu menarik. Aku takut gagal.
Hubungan antar manusia adalah hal yang paling menakutkan, rasanya seperti berjalan di atas ranjau setiap saat.
Mungkin karena itulah aku merasa nyaman dengan Sajo-san yang selalu bersamaku tanpa melakukan apa-apa. Kupikir dia yang bergantung padaku, tapi mungkin sebenarnya akulah yang bergantung padanya. Aku jadi sedikit tertawa.
Selain itu, bahkan jika kami berpisah, aku tetap khawatir meninggalkan Sajou-san.
“...Tak ada yang terselesaikan ya.”
Sejak hari hujan itu, tak ada yang berubah.
Sajo-san yang basah kuyup, memeluk lututnya di depan pintu masuk. Meskipun dia mulai tersenyum, esensinya tidak berubah sama sekali.
Aku tahu. Dia menginap di rumahku sebagai bentuk pelarian. Mengalihkan pandangan dari kenyataan, berpura-pura tidak melihatnya. Rumahku hanyalah tempat pelariannya.
Aku memahami itu, tapi aku membiarkannya karena itu yang Sajo-san inginkan, dan kami tidak pernah membahas masalah keluarga masing-masing secara mendalam.
Ada rasa peduli terhadap satu sama lain. Tapi sebenarnya, aku hanya tidak ingin merusak hubungan yang nyaman ini. Dengan dekaden dan malas. Berharap hari-hari seperti ini akan terus berlanjut.
Tapi, tidak ada yang abadi. Dan kita tidak bisa terus stagnan selamanya. Begitu ada pemicu untuk bergerak, kita harus menghadapi kenyataan lagi.
Aku tidak tahu tentang keadaan keluarga Sajo-san. Aku tidak berusaha untuk tahu. Karena itu, aku tidak bisa membayangkan apa yang akan terjadi padanya saat dia kehilangan tempat pelariannya karena aku pindah.
Mungkin saja. Aku berpikir bahwa kami mungkin tidak akan pernah bertemu lagi. Aku tidak bisa menyangkal bahwa Sajo-san terasa seperti akan menghilang begitu saja.
“Tidak bisa, tidak bisa, tidak bisaaa.”
Aku menggaruk kepalaku. Aku tidak bisa memutuskan.
Aku berdiri dari kursi. Meskipun aku tidak mengantuk, aku ingin berguling di tempat tidur. Aku ingin mengosongkan pikiranku.
“Dengan keadaan seperti ini, menjelaskan pada Sajo-san juga...”
“Aku kenapa?”
Suara yang tak terduga membuatku mengeluarkan suara aneh. Saat aku mengangkat wajah, Sajo-san sedang melihat ke arahku dari jendela yang terhubung ke ruang tamu, satu tingkat lebih tinggi.
“Oh, kamu sudah bangun.”
“Aku ingin menyiapkan sarapan.”
“Te-terima kasih atas kerja kerasmu,” aku membungkuk. ...Keheningan ini menyakitkan.
Aku ingin kabur, tapi jalan menuju ruang tamu terhalang oleh Sajo-san... Entah kenapa aku merasa dia selalu menghalangi jalan pelarianku.
“Jadi, aku kenapa?”
Dia bahkan mendesakku. Sepertinya aku tidak bisa menghindar.
Aku ingin mengatakan ini saat pikiranku sudah lebih teratur, di situasi yang lebih tepat. Aku benar-benar muak dengan timingku yang buruk.
Meskipun begitu, jika aku bersikeras untuk tidak mengatakannya, kurasa Sajo-san akan mengalah dengan enggan. Tapi... kurasa tidak ada gunanya menyembunyikannya lagi.
Aku menundukkan bahuku. Sambil mengusap belakang leherku, aku memutuskan untuk menjelaskan situasinya.
Bahwa keluargaku tinggal di tempat lain karena pekerjaan ayahku.
Bahwa kehidupan sendiriku saat ini hanya sampai liburan musim panas.
Bahwa awalnya aku berencana untuk pindah, tapi sekarang aku bingung apakah akan tetap tinggal atau tidak.
Aku bahkan bisa merasakan kebingunganku sendiri, jadi aku tidak yakin apakah penjelasanku cukup jelas. Tapi kurasa aku sudah menyampaikan semua informasi yang perlu kusampaikan.
Selama aku menjelaskan, Sajo-san tetap diam, dan aku tidak bisa membaca apa yang dia pikirkan dari ekspresinya.
Setelah aku selesai berbicara, dia hanya berkata, “Begitu...”
Dia tidak terlihat terguncang. Di satu sisi aku berpikir mungkin memang begitu, tapi di sisi lain aku merasa sedikit kecewa, berpikir mungkin seharusnya ada reaksi yang lebih.
Tapi itu juga egoisku, aku mengingatkan diriku sendiri.
Namun, bukan berarti tidak ada perubahan sama sekali.
"......"
"......"
Sarapan. Meja makan yang kami kelilingi tanpa menyalakan TV terasa sangat canggung.
Mungkin hanya aku yang merasa tidak enak, tapi suasana yang tidak nyaman ini membuat makanan sulit untuk ditelan. Entah kenapa, aku merasa ragu untuk memulai percakapan.
"...Um, etto, Sajo-san?"
"...Apa?"
"Heh? Ah, tidak... Maaf."
Aku meminta maaf tanpa alasan. Entah kenapa, rasanya seperti sedang bersama orang asing yang belum pernah kuajak bicara. Padahal biasanya, bahkan tanpa berbicara sepatah kata pun, suasananya tidak pernah seperti ini.
Suasana berat ini tidak hanya berlangsung saat sarapan, tapi terus berlanjut hingga siang dan malam.
Terutama setelah mandi.
Akhir-akhir ini, sudah menjadi kebiasaan baginya untuk menangkapku dan memelukku seperti boneka, tapi dia tidak melakukannya. Tentu saja aku tidak bisa bertanya, "Kenapa kamu tidak memelukku?" Dan ditambah dengan masalah kepindahan, perasaan tidak nyaman terus menumpuk di dadaku.
Apakah dia membenciku? Atau dia hanya memikirkan masalah kepindahan?
Bagaimanapun juga.
Meskipun awalnya aku yang memulai, aku hanya bisa menghela nafas seperti kucing yang ingin diperhatikan, merasa kesepian karena jarak yang tiba-tiba tercipta.
■■
Sejak aku memberitahu tentang kepindahan, suasana canggung mengalir di antara aku dan Sajo-san.
Memang, bahkan saat kami tinggal bersama, kami bukan tipe yang banyak berbicara, tapi jumlah percakapan kami berkurang drastis.
"......"
"......"
Waktu tanpa kata-kata terasa panjang.
Hanya suara TV yang terdengar sia-sia, bergema dengan sangat berisik di dalam ruangan.
Meskipun aku tidak suka suasana yang berat ini, aku sendiri belum bisa menjawab masalah dasarnya, jadi aku tidak tahu harus berkata apa.
Jika aku membuka mulut untuk mengatakan apapun, kata-kata dingin dan tajam seperti es, "Apa...?" akan menusuk dadaku.
Kurasa dia tidak marah atau semacamnya... Mungkin.
Namun, kata-kata yang terasa menjauh itu membuatku tidak bisa berkata apa-apa. Aku hanya bisa mengangkat kedua tanganku sedikit, mengalihkan pandanganku, dan kemudian keberanianku mengempis seperti balon saat aku berkata, "Tidak ada apa-apa."
Aku menghela nafas sendirian karena frustrasi.
Begitulah, tanpa ada kemajuan, hanya jarum jam yang terus bergerak, dan tanpa sadar kita sudah memasuki bulan Agustus.
Sementara batas waktu semakin mendekat, kecanggungan di dalam ruangan hanya semakin bertambah.
Bersama dengan Sajo-san.
Bahkan tanpa berbicara apa-apa, biasanya ada suasana yang nyaman dan rileks yang mengalir.
Sekarang rasanya sesak dan tubuhku terasa berat.
Aku tidak bisa tenang di rumah, dan meskipun aku berusaha untuk tidak muncul dalam pandangannya sebisa mungkin, perhatianku tetap tertuju pada Sajo-san.
Sepertinya Sajo-san juga merasakan hal yang sama.
Atau lebih tepatnya, meskipun ekspresinya tetap datar. Dalam beberapa hari terakhir, dalam arti tertentu, perubahannya bahkan lebih jelas daripada aku.
"Ah..."
Dengan suara yang terdengar lesu, dia memecahkan piring. Atau saat dia memeluk lututnya di kursi, tiba-tiba dia mengangkat kepalanya seperti kucing dan bergegas ke kamar mandi, lalu mesin cuci mulai berputar dengan sia-sia. Aku baru ingat kalau tadi pagi dia sudah menyalakan mesin cuci tapi belum menjemur cuciannya.
Selain itu, dia juga lupa mematikan kompor, atau menyalakan pemanas air bak mandi tanpa menutup lubang pembuangannya.
Untuk Sajo-san yang biasanya sangat teliti, banyak kesalahan yang tidak biasa terjadi.
"Maaf..." katanya sambil mengusap lengan atasnya dan menunduk, terlihat sangat kecil. Meskipun tinggi kami hampir sama, dia terlihat seperti anak kecil yang dimarahi orang tuanya. Tapi karena aku bukan orang tuanya, aku tidak bisa memarahi Sajo-san yang sedang sedih, dan aku hanya bisa mengatakan kata-kata yang tidak menenangkan seperti, "Ah... tidak apa-apa, jangan dipikirkan."
Meskipun aku tahu bahwa dengan kata-kata seperti itu, dia tidak mungkin benar-benar tidak memikirkannya.
"...Aku pergi dulu."
Di pintu masuk, aku melihat Sajo-san yang mengenakan hoodie hitamnya seperti biasa dan berkata, "Hati-hati di jalan."
Waktu sudah lewat jam 3 sore.
Pada jam itu di musim panas, di luar masih terang dan matahari masih bersinar cerah, tapi sebenarnya tidak ada alasan bagiku untuk mengantar kepergiannya untuk berbelanja.
Jadi, aku mencoba menawarkan untuk pergi bersamanya, tapi dia menolak dengan berkata, "Tidak apa-apa," dan aku merasa sedikit terluka, "O-oh, begitu."
Setelah memastikan Sajo-san pergi, aku kembali ke ruang tamu dengan hati yang terluka dan jatuh terduduk di kursi.
Akhirnya dia bahkan tidak mau ditemani berbelanja, aku menundukkan kepala seolah ingin melipat tubuhku.
"Entah kenapa, ini seperti pasangan yang tinggal bersama sebelum berpisah..."
Begitu aku mengatakannya, entah kenapa terasa sangat nyata.
Bukan seperti itu. Meskipun bukan seperti itu.
“Arghh,” aku mengerang sambil meregangkan tubuh bagian atas seperti udang.
Gelisah.
Seperti diuapi oleh kelembaban musim panas, aku merasa lesu.
Aku tidak bisa fokus melakukan apapun, duduk lalu berdiri lalu berguling-guling, jika ada yang melihat, mungkin mereka akan merasa terganggu dengan tingkahku.
Selama itu berlangsung, jarum pendek jam berputar dua kali.
“Kok lama ya...”
Saat aku melihat keluar jendela, meskipun ini musim panas dan hari masih panjang, langit tertutup awan hitam pekat dan mulai gelap.
Mungkin akan turun hujan.
Mungkin karena aku berpikir begitu.
Tetes-tetes hujan mulai turun perlahan seperti berlari kecil.
Saat aku memperhatikan, suara hujan yang menghantam tanah semakin bertumpuk, menciptakan latar belakang musik yang menyejukkan.
Bersamaan dengan itu, aku semakin gelisah.
Tubuhku bergerak-gerak seolah merengek.
“Apa Sajo-san baik-baik saja ya?”
Pulang terlambat, dan sekarang hujan turun, kekhawatiranku mencapai puncaknya.
Entah sejak kapan aku tidak bisa duduk diam, berpikir apakah aku harus menjemputnya, mondar-mandir di lorong antara ruang tamu dan pintu masuk.
“Tidak... aku akan pergi.”
Aku akan pergi. Iya, aku akan melakukannya.
Waktu yang kubutuhkan untuk memutuskan adalah sepuluh menit. Aku tahu aku sangat ragu-ragu, tapi aku tidak tahan lagi karena khawatir.
Di pintu masuk, aku memakai sepatu kets seperti sandal, dan mengambil dua payung plastik dari lemari.
Saat aku hendak berlari keluar, suara kunci yang berputar membuatku terlonjak kaget.
Saat aku terdiam, pintu masuk terbuka dengan ragu-ragu, dan Sajo-san yang basah kuyup masuk dari balik pintu.
“...!”
Mungkin dia tidak menyangka aku ada di sini, dia membuka matanya lebar, sedikit mengangkat bulu matanya yang basah oleh tetesan air.
Namun, ketika pandangannya beralih ke payung plastik yang kupegang di tangan, seolah menyadari situasinya, dia bergumam dengan suara serak, “Kamu... Mengkhawatirkanku ya.”
“Ah, yah...”
Karena pertemuan yang tak terduga ini, aku tidak bisa mengeluarkan suara yang berarti.
Mungkin seharusnya aku menjawab dengan jujur bahwa aku memang khawatir, tapi entah kenapa itu memalukan, jadi yang keluar dari tenggorokanku hanya erangan panjang seperti “Aaa” atau “Uuu”.
“Licht—“
“A-Aku akan mengambil handuk.”
Aku memotong kata-kata Sajo-san yang hendak mengatakan sesuatu, dan berbalik seolah melarikan diri.
Aku harus tenang dulu.
Saat aku hendak mengusap dahiku, aku menyadari bahwa gagang payung masih tergantung di lenganku.
Aku benar-benar tidak becus. Dengan bahu terkulai, aku berbalik untuk meletakkan payung, lalu—
“Nyaa”
“...? Nyaa?”
Aku mendengar suara yang mirip kucing mengeong, dan berhenti dalam posisi berbalik.
Mungkinkah Sajo-san meniru suara kucing? Saat aku mengangkat wajah, seolah menyadari arti tatapanku, dia perlahan menggelengkan kepala.
Sebagai gantinya, aku menurunkan pandanganku ke arah dadanya.
Saat kuperhatikan, ada kantong belanjaan tergantung di lengannya. Kupikir hanya itu, tapi kemudian aku menyadari bahwa dia seperti memeluk sesuatu.
Posisinya terlalu tinggi untuk menopang dadanya yang besar yang mendorong hoodie hitamnya ke atas.
Saat aku memperhatikan dengan seksama, aku bertemu pandang dengan sepasang mata emas dan terkejut.
Dan kemudian, kali ini dengan jelas.
Aku melihat mulut kecil terbuka dan mengeluarkan suara “Nyaa”, dan aku menyadari ada kucing hitam yang seperti bertengger di dada Sajo-san.
Bukan iri... tapi.
“Kucing?”
Saat aku bergumam, Sajo-san memalingkan wajahnya seolah merasa bersalah. Saat itu, tetesan air beterbangan dari rambutnya yang basah.
“...Ya,” dia mengiyakan dengan pelan, “Aku menemukannya di bawah bangku taman...” dia menjelaskan dengan terbata-bata.
Meskipun penjelasannya kurang lengkap, aku mengerti bahwa dia membawanya pulang karena kasihan saat hujan turun.
Namun, aku mengerutkan dahi mendengar kata ‘taman’.
Jadi itu alasan dia pulang terlambat.
Perasaan sepi melintas di dadaku seperti angin yang masuk melalui celah. Tapi, tidak ada gunanya menegurnya sekarang.
“Bolehkah dia tinggal... Setidaknya sampai hujan reda?”
Permintaan yang disampaikan dengan takut-takut ini mengingatkanku pada anak yang memohon kepada orang tuanya.
Aku ingin dia lebih percaya padaku.
Aku hendak mengatakannya, tapi kututup mulutku. Mungkin akan terdengar sombong jika aku meminta kepercayaan sementara aku membuatnya cemas dengan masalah kepindahan.
"Yah, apartemen kita tidak melarang hewan peliharaan, jadi satu hari saja tidak apa-apa."
Aku menyetujui permintaannya dengan sedikit berbelit-belit.
Sepertinya dia lega, sudut matanya sedikit turun. Sambil berpikir betapa sulit ekspresinya terbaca, aku membelai dagu kucing hitam yang dengan mewahnya bersantai di bantal ternyaman.
Entah karena sudah terbiasa dengan manusia atau apa, kucing itu tidak menunjukkan tanda-tanda tidak suka dan malah menyipitkan mata dengan nyaman.
Aku mengulurkan jari untuk memeriksa tag perak yang tergantung di kalung biru tuanya. Di bagian belakangnya terukir nama "ROCO" dalam katakana dan serangkaian angka yang tampaknya nomor telepon.
"Untuk saat ini, kita harus menghubungi pemiliknya ya."
Lonceng berbunyi 'chiring'.
■■
"—Ya. Tidak, tidak apa-apa. Kalau begitu, kami akan menjaganya."
Aku menjauhkan ponsel dari telinga dan menekan tombol merah untuk mengakhiri panggilan.
Ketika aku menelepon nomor yang terukir di tag, aku disambut oleh suara serak dan lembut yang mudah dibayangkan sebagai "nenek yang baik hati".
Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatku waspada. Ketika aku memberitahu bahwa kami telah menemukan kucing hitam bernama "Roco", helaan napas yang seperti campuran kelegaan dan rasa bersalah terdengar melalui speaker.
Fukui-san, pemilik kucing hitam itu, terus-menerus meminta maaf sampai-sampai aku merasa tidak enak.
"...Bagaimana?"
"Hmm. Karena cuaca seperti ini, dia bilang akan sangat terbantu jika kita bisa menjaganya sampai besok."
Sambil menjelaskan kepada Sajo-san yang gelisah di kursi selama aku menelepon—mungkin karena dia yang membawa kucing itu pulang—aku melihat ke luar jendela.
Cuaca khas musim panas, bisa dibilang. Berbeda dengan cuaca siang tadi, sekarang hujan deras di luar. Jendela bergetar karena angin, dan meskipun masih jauh, suara guntur juga terdengar. Dengan cuaca seperti ini, sulit bagi mereka untuk datang menjemput. Meskipun aku yang mengusulkan dan membuat mereka semakin tidak enak hati, tapi situasinya memang tidak bisa dihindari.
"Roco."
Saat kupanggil, dia mengangkat wajah dan mendekat ke kakiku.
Benar-benar ramah ya.
Aku berjongkok dan menepuk-nepuk kepalanya.
"Meskipun hanya satu hari, apa yang harus kita lakukan ya?"
Jangankan kucing, aku bahkan belum pernah memelihara hewan apapun.
Aku memang punya adik perempuan yang suka berubah-ubah seperti kucing dan berjiwa bebas, tapi tentu saja itu bukan pengalaman yang bisa dijadikan acuan.
"Sajo-san, apa kamu pernah memelihara hewan?"
Saat kutanya, dia terdiam sejenak, lalu menggelengkan kepala ke kiri dan kanan.
Yah, aku sudah menduganya jadi aku tidak kecewa, tapi masalah 'apa yang harus kita lakukan' masih belum terjawab.
Kita tidak bisa membiarkannya begitu saja sampai besok.
Saat aku sedang bingung apa yang harus dilakukan, Roco melompat dari tanganku ke pangkuan Sajo-san.
"......"
Mereka saling bertatapan.
Pakaian hitam dan bulu hitam. Saat aku berpikir apakah sesama yang berwarna hitam saling tertarik, terdengar suara bersin "Achoo!".
Sajo-san menundukkan wajahnya. Seolah meniru, Roco juga menundukkan kepalanya.
Hmm. Entah siapa yang bersin tadi.
"Untuk saat ini, mungkin sebaiknya mandi dulu."
Menanggapi saranku untuk menghangatkan tubuh sebelum masuk angin, mereka berdua hanya menunduk.
Padahal tidak perlu malu. Tapi memang manis sih. Selagi Sajo-san dan Roco si kucing hitam mandi bersama, aku mencari tahu sedikit tentang cara merawat kucing di ponsel.
Meskipun bukan untuk memelihara, tapi kita akan menjaga anggota keluarga yang berharga.
Setidaknya kita harus tahu hal-hal yang perlu diperhatikan.
Aku mencoba mencari dengan kata kunci seperti "cara merawat kucing" dan sebagainya, tapi terlalu banyak informasi yang membuatku bingung.
Ada juga cara menyambut kucing baru, tapi informasi dasar seperti itu tidak berguna untuk situasi kita.
Aku bersandar di kursi dan mengerang "Hmm...".
"Seharusnya aku tanya saat telepon tadi ya."
Mengingat pertukaran permintaan maaf dan rasa sungkan, aku berpikir ulang bahwa memang tidak ada kesempatan untuk itu.
Meskipun menyesal, tapi internet selalu bisa memberikan informasi. Dengan menelusuri hasil pencarian, aku akhirnya menemukan apa yang ingin kuketahui.
"Hmm. Kebanyakan kucing tidak suka mandi."
......Oh?
Jadi apa yang akan terjadi? Saat aku mulai membayangkan, terdengar suara gaduh dari kamar mandi. Samar-samar terdengar juga jeritan dan suara kucing mengeong.
"Jangan memberontak...!"
Tidak biasanya Sajo-san yang biasanya tenang terdengar panik. Bahkan terdengar suara langkah kaki yang ringan dan cepat.
"Wah..."
Aku membayangkan kekacauan di kamar mandi dan merasa lesu.
Saat aku berbalik, sesuatu yang hitam keluar dari celah pintu geser ruang ganti dan melesat melewati pandanganku. Lalu bersembunyi di balik tirai dengan suara "zuboo".
Sepertinya dia benar-benar tidak suka ya. Saat aku berpikir begitu,
"Tunggu...!"
Tampaknya Sajo-san mengejarnya.
Saat aku mengalihkan pandangan dari tirai tempat Roco bersembunyi ke arah suara, aku kehilangan kata-kata.
Sajo-san melompat keluar dari ruang ganti, meneteskan air ke lorong.
Namun, dia dalam keadaan telanjang bulat, memamerkan tubuh rampingnya yang juga berisi di beberapa bagian tertentu.
“......”
Mata kami bertemu. Waktu seolah berhenti.
Tak ada kata-kata di antara kami, hanya suara tetesan air dari tubuhnya yang memecah keheningan ruangan.
Kepalaku kosong karena situasi yang tiba-tiba ini.
Tapi, penglihatanku berfungsi dengan baik.
Kulitnya yang hangat dan lembab. Rambutnya yang menempel di pipi, terlihat menggoda.
Terutama, dadanya yang biasanya tidak terlihat dalam keseharian—
“...!”
BRAK!
Dengan ekspresi yang tak berubah dan tenang, tapi dengan kekuatan yang luar biasa, dia menutup pintu geser ruang ganti.
Suara keras itu memaksa informasi visual terhenti. Seberapa jelas aku bisa mengingatnya, yah, lebih baik tidak dikatakan.
Merasa bahaya telah berlalu, Roco yang entah sejak kapan keluar dari balik tirai, melompat ke pangkuanku sambil mengeong “Nyaa” tanpa rasa bersalah.
Tentu saja, karena dia kabur di tengah-tengah mandi, tubuhnya masih basah, dan kelembaban mulai meresap ke lututku.
Mata emasnya yang menatapku tidak menunjukkan niat jahat.
“...Yah, pertama-tama, kita keringkan dulu ya.”
Tanpa berniat memarahinya, aku menepuk punggungnya yang masih hangat dengan perasaan yang sulit diungkapkan.
Sajo-san yang baru keluar dari kamar mandi, menutupi kepalanya dengan handuk dan duduk di kursi biasanya dengan rambut masih basah.
Dia tidak berkata apa-apa, hanya memeluk lututnya. Ekspresinya tersembunyi di balik handuk.
Suasana canggung mengalir di antara aku dan Sajo-san karena alasan yang berbeda dari tadi pagi, membuatku sulit untuk memulai percakapan.
Tidak ada yang lebih baik, keduanya sama-sama neraka dengan cara yang berbeda.
“Nyaa.”
Roco melingkar di pangkuanku.
Entah dia tidak punya rasa waspada atau memang merindukan kehangatan manusia.
Sambil berpikir bahwa dia mirip sekali dengan seseorang, baik dalam penampilan maupun tingkah laku, aku mengelus tubuhnya yang berbulu halus untuk mengalihkan suasana berat ini.
“Lembut sekali.”
Sebenarnya, ini pertama kalinya aku menyentuh kucing.
Aku sering melihat kucing liar, tapi mereka selalu lari saat aku mendekati. Hewan yang dekat tapi terasa jauh.
Saat aku berpikir dia seperti idol dan terus mengelusnya, dia menempelkan hidungnya ke ujung jariku, membuatku tersenyum.
“Lucunyaaa.”
Umumnya, kucing akan waspada di tempat asing dengan orang asing, tapi anak ini tidak menunjukkan tanda-tanda seperti itu.
Aku berpikir apakah kucing peliharaan memang kehilangan naluri liarnya seperti ini, tapi aku tidak tahu kebenarannya.
Tapi saat dia mendengkur dan menggosok-gosokkan tubuhnya padaku, aku jadi tidak peduli lagi dengan situasi kucing pada umumnya.
“Jadi ingin memelihara kucing ya.”
“Nyaa.”
Saat aku mengelusnya, tiba-tiba ada tangan yang terulur dari samping, membuatku terkejut.
Lalu Roco diangkat dan dipindahkan.
Kulihat Sajo-san sedikit menekuk lututnya dan memeluk Roco di dadanya.
Dia naik ke sana ya.
Aku lebih terkejut dengan fakta itu daripada fakta bahwa Roco diambil dariku.
Kupikir dia pasti merasa nyaman, tapi entah tidak suka atau apa, Roco meluncur keluar dari tangan Sajo-san seperti belut dan kembali ke bawahku dengan langkah kecil.
Dia mendengkur... lucunya.
“Kenapa? Apa dia sudah akrab denganku?”
“...Tidak lucu.”
Dia menyembunyikan wajahnya di antara lututnya seolah merajuk.
“Iri?”
Sedikit rasa bangga.
“...Bukan begitu.”
Suara yang kaku. Apa dia sedang keras kepala?
Sikapnya yang keras kepala itu terlihat kekanakan dan membuatku tersenyum, tapi tiba-tiba perutku berbunyi menandakan rasa lapar.
Ah ya, sejak menemukan kucing ini, kita jadi sibuk dan belum makan apa-apa.
Sepertinya itu hanya hujan sebentar, hujan yang tadinya deras sudah berhenti. Awan hitam telah digantikan oleh tirai malam.
Matahari sudah lama terbenam, pantas saja aku lapar.
Sajo-san yang handuknya telah merosot dari kepala, melirik jam dan hendak berdiri.
“Aku akan menyiapkan makan malam.”
“Ah, ya. Tolong ya.”
Saat aku memintanya, Sajo-san berhenti dalam posisi setengah berdiri. Dalam posisi itu, aku bisa melihat isi bajunya yang longgar dari kerah, membuatku bingung.
Ingatan yang hidup dan menggoda.
Untuk menghindari kejadian seperti tadi, aku mengalihkan pandanganku dengan ragu-ragu, lalu Sajo-san bertanya.
“Kita harus beri anak ini makan apa?”
“...Makanan kucing kalengan?”
Aku mengatakannya, tapi tentu saja rumahku yang tidak memelihara kucing tidak menyimpan barang seperti itu—
“Yah, sudah kuduga.”
Akhirnya, aku pergi sendirian ke minimarket terdekat untuk membeli makanan.
Di dalam toko, tidak ada pelanggan bahkan tidak ada kasir yang terlihat.
Sambil berpikir mungkin mereka ada di belakang, aku mencari makanan yang disarankan oleh pemilik kucing di rak.
“Yang mana ya...”
Aku tidak pernah membeli makanan kucing jadi aku tidak tahu. Mataku terus bergerak.
Sambil menyipitkan mata dan memperhatikan nama makanan satu per satu, aku tiba-tiba menyadari alasan reaksi Sajo-san tadi.
“...Apa dia merajuk bukan karena kucing itu tidak akrab dengannya, tapi karena aku terlalu memperhatikan kucing itu?”
Setelah mengucapkannya, aku mempertimbangkannya.
Kalau dipikir begitu, alasan dia tiba-tiba mengambil kucing hitam itu juga masuk akal.
Kalau begitu,
“Aku sedikit senang... Ah, ketemu.”
Aku mengambil makanan kucing yang kucari dari rak.
■■
“Aku pulang~”
Aku memanggil saat kembali ke rumah, tapi tidak ada jawaban.
Aku menjadi sedih karena akhirnya dia bahkan tidak membalas salamku ketika aku pulang, tetapi terdengar suara kucing "nyaa-nyaa" dari arah dapur dan air mata yang hampir menetes pun tertahan.
"Hmm."
Aku mengelus dagu dan berjalan di lorong dengan langkah pelan.
Perlahan kubuka pintu yang menghubungkan ke ruang tamu, lalu mengintip ke dapur dengan hati-hati.
"Nyaa."
Yang mengeong itu adalah Roco.
"...Nyaa."
Dan satu kucing lagi... Ah bukan, Sajo-san sedang berjongkok mengenakan celemek, memberikan air dalam piring kecil kepada Roco sambil bermain-main dengannya.
Dengan wajah tanpa ekspresi. Jari-jari kecilnya bergerak seperti metronom, menerima pukulan-pukulan kecil dari Roko.
Entah dia sedang memanjakan kucing itu atau hanya mengisi waktu luang.
Ekspresinya tidak bisa ditebak, tapi melihatnya seperti itu membuatku tersenyum.
"...? ...!"
Sajo-san yang akhirnya menyadari kehadiranku, mengangkat wajahnya dan tersentak kaget.
Kami saling bertatapan tanpa kata.
Hanya Roco yang mengeong "nyaa" seolah meminta perhatian lebih, membuat suasana terasa tidak masuk akal (surreal).
(Tln : singkatnya begitu, kalo masih kurang ya cari infonya sendiri :v)
"...Sebentar lagi selesai. Lap saja meja dan tunggu di sana."
Dia berdiri tegak dan kembali ke dapur seolah tidak terjadi apa-apa.
Namun, di kakinya Roco yang tadi bermain sepuasnya, kini menyelinap di antara kaki Sajo-san dan menempel padanya.
"Kalian sudah akrab ya."
"...Biasa saja."
Jawaban yang dingin. Dia bahkan tidak mau menatapku.
Tapi, tubuhnya lebih jujur daripada kata-katanya. Meski waktu telah berlalu dan panas air mandi pasti sudah hilang, telinganya yang terlihat di antara rambutnya masih memerah.
Terlebih lagi, langkahnya yang hati-hati agar tidak menginjak Roco jelas menunjukkan kepeduliannya pada hewan kecil di kakinya.
"Sepertinya Sajo-san akan dicuri dariku."
Aku tertawa, dan pipinya sedikit menggembung sambil berkata "Bukan begitu."
Keesokan harinya.
Siang hari, pemilik Roco, seorang nenek, datang untuk menjemputnya.
Suaranya persis seperti yang kudengar di telepon.
Nenek dengan wajah ramah itu terus mengucapkan "Terima kasih" dan "Maaf."
Dia mencoba memberikan uang untuk biaya makanan kucing dan sebagai ucapan terima kasih, tapi aku menolak dengan sopan karena aku melakukannya dengan senang hati.
Nenek itu terus merasa tidak enak, tapi seolah merasakan kehadiran pemiliknya, Roco datang dari dalam rumah dengan lonceng yang berbunyi.
Melihat kucingnya baik-baik saja, wajah nenek itu melembut, dan kerutan di matanya semakin dalam saat menyambut Roco yang mendekat.
"Terima kasih banyak."
Nenek itu terus membungkuk sampai akhir, lalu memasukkan Roco ke dalam tas pembawa dan membawanya pulang.
Saat mereka pergi, aku bisa melihat mata emas Roco dari celah tas, dan aku melambai kecil sambil berkata "Bye-bye."
Pertemuan yang tiba-tiba dan tak terduga.
Meski hanya satu hari, ternyata kita bisa merasa terikat, pikirku sambil menyipitkan mata, lalu Sajo-san bertanya "Merasa kesepian?"
"...Memang kesepian, tapi keluarganya adalah yang terpenting."
Secara tidak langsung aku mengatakan bahwa aku tidak bisa menahannya.
Jujur saja, aku ingin memeliharanya sampai merasa berat berpisah, tapi memelihara hewan tidak bisa diputuskan dengan mudah. Apalagi dalam situasiku sekarang yang mungkin akan pindah.
"Apakah... kamu tidak ingin melepaskannya?"
"...Yah, begitulah."
Bagaimana aku harus menjawabnya?
Aku bingung dan berpikir.
Jawaban atas perasaan yang berkecamuk di dadaku, aku masih belum bisa menemukannya.
"Mungkin tergantung perasaan yang bersangkutan."
Kata-kata yang keluar hanyalah jawaban yang aman.
"Begitu..."
Sajo-san bergumam seolah tak ada apa-apa.
Dia keluar ke pintu depan, melipat tangannya dan menyandarkan wajahnya ke dinding.
Entah dia bisa melihat nenek dan Roco dari sana atau tidak.
Aku berpikir bahwa sampai akhir dia tidak mengucapkan selamat tinggal.
Melihat punggungnya yang terlihat sedikit kesepian.
■■
Kucing hitam yang tak disangka-sangka dipungut oleh Sajo-san.
Meski sering dianggap sebagai simbol kesialan, sepertinya bagiku dia membawa keberuntungan.
Suasana canggung yang terasa berat mulai mereda sejak hari-hari yang dihabiskan bersama kucing hitam itu.
Percakapan yang kaku kembali menjadi tenang seperti dulu, dan aku tidak lagi berkeringat dingin saat berada di ruang tamu bersamanya.
Semua ini berkat Roco si kucing hitam, meski tidak semuanya kembali seperti semula.
Dia tetap tidak membangunkanku di pagi hari, dan masih menghindari kontak fisik bahkan hanya ujung jari.
Yang paling mengganggu pikiranku adalah Sajo-san yang semakin sering meninggalkan rumah.
Ketika kutanya, jawabannya tetap dingin "Bukan apa-apa."
Meski Roco telah membawa banyak keberuntungan, sepertinya tidak ada yang akan terselesaikan jika aku tidak mengambil tindakan.
“Sepertinya aku harus segera memberi jawaban soal pindah rumah...”
Aku bergumam sambil membuka pintu depan sepulang dari minimarket.
Di tanganku ada kantong plastik penuh dengan makanan ringan berkalori tinggi dan minuman bersoda.
Biasanya, Sajo-san akan menyitanya karena tidak baik untuk kesehatan, sehingga kesempatanku memakannya berkurang. Tapi hari ini pun Sajo-san sedang pergi entah ke mana.
Meski aku khawatir, apakah tidak sopan memanfaatkan kesempatan ini untuk membawa masuk barang-barang terlarang?
Namun, hubungan dengan Sajo-san yang belum sepenuhnya pulih dan terasa seperti perang dingin ini memberiku stres lebih dari yang kubayangkan.
Dengan dalih bahwa pelepasan stres itu perlu—
“Selamat datang.”
Aku disambut dan seketika keringat dingin keluar dari seluruh tubuhku.
“Sa-Sajo-san... kamu sudah pulang.”
“Baru saja.”
Ketika kuangkat wajahku, kulihat Sajo-san berpakaian modis dengan kemeja putih dan hot pants.
Aku terkejut melihat kakinya yang putih terekspos, karena meski di musim panas pun dia biasanya memilih pakaian yang sedikit mengekspos kulitnya.
Mungkin merasa diperhatikan, dia sedikit menarik kakinya ke belakang. Dia memegang lengannya yang ramping yang terlihat karena lengan bajunya digulung, dan mulai mengelusnya dengan gelisah. Entah kenapa aku juga jadi merasa tidak tenang.
“...Kamu pergi ke minimarket ya.”
“Ah, iya... Begitulah.”
Pandangan Sajo-san turun ke kantong plastik berisi makanan ringan dan minuman bersoda.
Matanya tertuju pada kantong berisi barang-barang terlarang itu.
Aku menelan ludah, merasa tegang seperti tertangkap di pos pemeriksaan. Aku menyembunyikan kantong plastik itu di belakang punggungku, khawatir akan dimarahi.
Sejenak, matanya menyipit tajam dan membuatku terkejut.
Namun, dia tidak menegurku, dan entah kenapa malah Sajo-san yang menghindari kontak mata seolah ingin melarikan diri.
Aku malah kebingungan dengan reaksi yang tak terduga ini.
“Ada apa?”
“Tidak...”
Entah kenapa responnya lambat.
Lebih dari sekedar canggung, aku mendapat kesan bahwa pikirannya sedang tidak di sini.
Saat aku berpikir mungkin telah terjadi sesuatu, Sajo-san mulai mengusap lengan atasnya seolah memeluk dirinya sendiri.
Meski di depan pintu masuk sangat panas sampai keringatku tidak berhenti, dia bereaksi seolah-olah sangat kedinginan.
Dia berdiri dengan satu kaki, kakinya saling bersilangan.
Sambil mengayunkan tubuhnya perlahan, pipi Sajo-san memerah.
Lalu, dengan alis berkerut seolah cemas, dia sedikit membungkuk dan menatapku dengan pandangan memohon seperti gadis seusianya yang sedang meminta sesuatu.
“...Lusa, maukah kamu pergi kencan denganku?”
Terdengar suara sesuatu runtuh di dalam kantong plastik.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.