Chapter 2:
Pergi Ke Sekolah
Dengan Gadis Cantik Pemurung
Gemetar.
Getaran yang menyenangkan membangunkanku dari tidurku.
Sinar matahari yang menyinari mataku dari atas kelopak mataku, sangat menyilaukan.
Meskipun aku masih setengah tertidur, aku perlahan membuka kelopak mataku. Lalu, meski sudah biasa melihatnya, wajah yang tertata rapih memenuhi pandanganku. Aku hampir berhenti bernapas begitu aku bangun.
"……Udah bangun?"
Aku mengangguk pada mata gelap yang tampak mengantuk. Itu adalah wajah yang terlalu buruk bagi hatiku untuk dilihat di pagi hari. Kumohon jangan terlalu kuat.
Rupanya, Sajo-san mengguncang bahuku dan membangunkanku yang tertidur di tempat tidur. Dia berlutut di samping tempat tidur, mengintip ke kasur, menutupi pandanganku.
“Apa-apaam itu? Kamu seperti anak kecil.”
Aku ditertawakan, seolah-olah dia mencoba mengolok-olokku.
Aku belum bisa malu karena otakku belum bangun.
Angkat tubuh bagian atas dan duduk bersila. Aku menguap.
"...Huahh"
Kleyengan. Meskipun pikiranku tidak bekerja, di penglihatanku tercermin Sajo-san. Seperti biasa, matanya terlihat mati dan wajahnya terlalu cantik.
Cantiknya.... Walaupun kesanku bertele-tele, tapi aku merasa ada yang tidak beres.
Aku tidak tahu persis apa yang ada di kepalaku yang mengantuk. Namun, saat aku melihat wajahnya, lalu menurunkan pandanganku untuk melihat payudaranya yang besar, tiba-tiba aku mengerti. Aku memiringkan kepalaku.
"...Mengapa Sajo-san ada di kamar apartemenku?"
“────Hah?”
Menanggapi pertanyaan yang keluar dari mulutku, yang lupa aku tutup, Sajo-san mengeluarkan suara dingin. Aku takut.
Suara rendah yang keluar dari tenggorokan. Rasa dingin menjalari diriku.
Matanya yang hitam pekat menunjukkan sedikit kekecewaan, seolah aku benar-benar tidak mengerti.
Bibirnya diikat menjadi satu, dan wajahnya menunjukkan ke tidak senangannya.
Hah? Apakah terjadi sesuatu. Alasan mengapa Sajo-san ada di rumahku...?
Kepalaku, yang setengah tertidur, entah bagaimana berputar dan aku mendapat sebuah pemikiran. Genggam kedua tangannya.
“Ah, ciuman pagi?”
"..."
Keheningan itu menyakitkan. Apakah ada yang salah? Aku memikirkannya, tapi aku tidak begitu tahu apa jawaban yang benar atau salah.
Entah mengapa rasanya agak canggung. Saat aku bertanya-tanya apa yang membuat suasana ini, Sajo-san mendengus dan bibirnya membentuk seringai.
"...Jika aku mengatakan itu, apa yang akan kamu lakukan?"
"Eh?"
Berpikir.
Jika melakukan ciuman pagi, berarti aku melakukan itu dengan Sajo-san di malam hari. Kalau begitu aku harus tanggung jawab...bertanggung jawab?
………? …………………………………!?
"Tidak...bukan!? Maaf...!"
Aku langsung sadar sepenuhnya. Apa sih yang aku katakan?
Wajahku panas. Aku merasa tubuhku terbakar karena malu. Pengen mati aja. Bukankah aku memang pantas mati?
Setelah mengoceh pada diri sendiri, aku menutupi wajahku dan terdiam.
"……Selamat pagi."
"Selamat pagi."
Aku ingin menganggao kejadian barusan tidak pernah terjadi, jadi aku memulai ulang dengan sapaan, Sajo-san membalas sapaanku dengan benar. Dia sungguh baik.
"Apakah kamu bermimpi indah?"
……Aku tarik kembali ucapanku. Dia iblis.
Hari ini adalah pertama kalinya aku menyimpan dendam terhadap seseorang yang sangat lemah sehingga aku tidak bisa berkata apa-apa dengan kuat karena akulah yang memulainya.
Aku berpikir untuk bangun sekuat tenaga lain kali, tapi kuperhatikan sepertinya Sajo-san meremehkanku.
“Apakah kamu senang menendang mayat?”
"...? Aku tidak akan menendang mayat."
Sepertinya maksudnya tidak tersampaikan. Kukira itu istilah umum, tapi kalau dipikir-pikir lagi, apakah awalnya itu istilah game pertarungan?
Aku terjatuh ke tempat tidur seperti mayat. Rasa kantukku sudah benar-benar hilang, tapi mungkin karena aku bangun dengan sangat terkejut, aku tidak bisa memberikan kekuatan apa pun ke dalam tubuhku. Aku merasa lemah dan perut aku tenggelam.
"Apakah kamu ingat mengapa aku di sini?"
...Apakah kamu masih menendang?
Aku merasa tidak berdaya, malahan aku sudah tidak peduli lagi, tapi nada suaranya sangat serius. Mungkin aku harus sedikit khawatir.
Dibutuhkan ratusan juta jam untuk mengeluarkan suara. Namun, tidak baik membuat orang khawatir jika tidak perlu, jadi aku akan menjawabnya dengan benar.
"...Oh iya kamu menginap."
Dan juga, akulah yang menyarankannya.
■■
Ini pertama kalinya kepala kali kepalaku akan meledak saat melihat kamar mandi. “Gah!” sebuah suara tidak senang keluar dari tenggorokanku.
Kebiasaan tidur yang buruk. Sarang burung walet masih lebih tertata dan indah. Sebaliknya, kepalaku menyerupai coretan balita.
Aku merasa malu ada yang melihat kepalaku yang seperti ini.
Aku mengelus rambutku dengan tangan basah. Sisir dengan kuas.
Namun, kebiasaan tidur hari ini cukup keras kepala, dan tidak peduli berapa kali aku mengelusnya, itu terus berdiri ke arah yang salah.
"Dasar..."
"……Apa sih yang kamu lakukan."
Setelah Itu. Sebuah tangan terulur dari belakang dan mengambil kuas itu.
"Diam dan lihat saja."
Aku bisa merasakan jarinya di rambutku. Saat jarinya melangkah di kepalaku, tubuhku bergetar dengan sensasi yang tak terlukiskan. Tanpa sadar, punggungku tegak.
"Tidak...Sajo-san?"
"Apakah kamu tidak dengar kalau aku menyuruhmu untuk diam dan lihat saja?"
Aku bisa mendengarnya, tapi keinginannya terlalu kuat sehingga aku tidak bisa berbuat apa-apa.
Mengapa Sajo-san menyisir rambutku? Aku mempunyai keraguan. Namun, Sajo-san sepertinya tidak ingin berhenti, dia berulang kali menggerakan kuas dari atas ke bawah.
Setiap kali kuas itu menyisir rambutku, suhu tubuhku meningkat. Jika ini terus berlanjut, mataku mungkin akan berputar karena demam tinggi saat semuanya selesai.
Saat aku terbawa oleh demam yang meningkat, tangan Sajo-san berhenti. Di cermin, aku, sarang burung itu terlihat lebih baik.
"...Huh, sungguh keras kepala. Ini sedikit seperti Licht, memiliki kepribadian yang menyimpang."
"Sedikit?"
Ketika aku mencoba berbalik untuk melihat apa yang dia maksud, sebuah lengan terulur dari belakangku. Tubuhnya ditekan dekat dengannya dan dia menjadi kaku. Aku bahkan tidak bisa bersuara saat merasakan sentuhan lembut di punggungku.
"...!?"
Eh, apa? Situasi macam apa ini?
Aku terkejut sehingga tidak bisa melakukan apapun, aku mendengar suara benturan. Tangan Sajo-san mengalihkan aliran air ke mode pancuran dan mengeluarkan kepala keran. Suara air yang mengenai wastafel, menyebar ke seluruh ruangan.
"Tundukkan kepalamu. Nanti kamu basah."
Sepertinya kepalaku yang kepanasan dipaksa menjadi dingin.
■■
Sarapannya adalah telur mata sapi yang terlalu di goreng. Ada bagian yang gosong, tapi bukan berarti tidak bisa di makan. Oleskan margarin pada roti panggang dan makanlah dengan selada sisa salad kemarin.
Sudah lama sekali sejak aku bangun dan sarapan sudah tersedia, aku menjadi sedikit terharu. Akhir-akhir ini, aku bahkan belum bisa makan apa pun di pagi hari. Paling tidak, setara sebutir jagung.
“…Yang gosong itu, kamu tidak perlu memaksakan diri untuk memakannya.”
“ahanya?”
Suara roti yang dikunyah di mulutku terdengar nyaring di telingaku, sehingga aku tidak bisa mendengarnya dengan jelas. Ketika aku memiringkan kepala ke samping dengan sepotong roti di mulut, aku diberitahu,
“...jangan bicara sambil makan. Itu perilaku yang buruk.”
Berkat Sajo-san yang membangunkanku, pagi ini terasa berkelas. Aku punya banyak waktu.
Aku dengan santai mengganti seragamku dan menggendong tas sekolahku di bahuku. Kapan terakhir kali aku berangkat tanpa terdesak waktu? Entah sejak kapan dia menyerah untuk membangunkanku, dan dia bahkan tidak tahu aku akan terlambat.
"Udah mau berangkat?"
Saat aku keluar kamar, aku disambut oleh Sajo-san yang sepertinya sudah menungguku.
“Benar,” jawabku sambil melirik ke arah Sajo-san.
Hoodie hitam dan celana gelap.
Aku pernah mengalami hal itu, ada bagian tubuhnya yang tidak muat di pakaianku. “Karena aku meminjamnya jadi aku tidak akan protes,” itulah yang di katakan dirinya tapi, sulit untuk tidak melihat penampilannya yang resleting hoddienya tidak tertutup dan bagian dadanya hampir terlihat. Itu tidak baik untuk kesehatan mentalku. Aku tidak akan mengatakan apakah aku bahagia atau tidak.
Jadi, saat ini Sajo-san mengenakan pakaiannya sendiri. Dia telah mengenakan pakaian yang berasal dari rumahnya, jadi dia bisa mengambil pakaian ganti. Itu tidak terlalu feminin, tapi itu simple dan cocok untuknya...
"Apa?"
"Tidak, um."
Bolehkah aku mengatakannya? Aku bingung.
Namun, mungkin karena caraku menatapnya terlihat menyedihkan, mata Sajo-san menyipit. Eh, mungkin dia kesal.
Aku harus cepat-cepat mengatakan apa yang aku pikirkan.
"Jika kamu tidak keberatan, mau bareng? Ke sekolah."
Aku mencoba bertanya. Namun, reaksinya tidak positif.
Mata gelapnya menatapku seolah mencari niatku yang sebenarnya, aku merasa sedikit tidak nyaman.
SMA yang sama, kelas yang sama. Seharusnya begitu, tapi aku merasa tidak nyaman meninggalkan rumah sendirian, tapi sepertinya aku bertindak terlalu jauh.
"Oh, tidak. Maaf, tidak usah di pedulikan---"
"Baiklah."
"……Eh?"
Aku mengedipkan kelopak mataku berulang kali.
Berbeda denganku, yang membeku karena terkejut, Sajo-san mengambil keputusan dan bertindak cepat, langsung menuju pintu depan. Kupikir dia akan msngambil seragam dari rumahnya.
“A-apakah kamu yakin?”
Jika dia tidak mau aku akan menarik diriku. Jadi aku memastikannya lagi, tetapi Sajo-san tidak mengubah kata-katanya. Pintu depan sedikit terbuka. Kurasa dia tersenyum sedikit ketika dia berbalik, diterangi oleh cahaya yang bersinar melalui celah.
"...Jika bersama licht, aku tidak keberatan."
(Tln: licht panggilan Sajo ke hinata(MC))
Apa arti dari ucapannya itu? Tanpa bisa bertanya lagi, Sajo-san berlari keluar pintu depan, dan pintunya tertutup dengan suara yang keras.
Ditinggal sendirian di lorong, menjatuhkan tas sekolah yang kubawa di bahuku ke lantai. Sampai dia kembali, aku hanya menatap pintu depan tanpa makna.
■■
“Apa ada yang kelupaan?”
“Tidak….Ah, kunci.”
Setelah Sajo-san kembali dari siap-siap untuk berangkat ke sekolah, kami meninggalkan rumah bersama.
Sedikit kelupaan. Sajo-san menatapku dengan alis diturunkan dan merendahkanku, tapi tidak ada masalah.
Aku bergegas mengambil kunci kamar.
Aku tidak membuang waktu untuk membungkuk di pintu depan, aku langsung meremukkan tumitku ke dalam sepatu olahragaku, dan berlari keluar pintu lagi.
"Ada ada."
“…Setidaknya pakai sepatu dengan benar.”
"Tunggu sebentar ya."
Segera setelah aku kembali, aku menerima omelan dari Sajo-san, yang alisnya berkerut.
Kupikir dia seperti ibuku, tapi kupikir aku akan ditendang jika mengatakannya dengan lantang, jadi aku menyimpannya sendiri. Aku belajar dari masa lalu.
Mengetuk lantai dengan jari kakiku, aku memasukkan kunci yang kupegang dan menutup pintu.
Berdiri dengan satu kaki, aku mengangkat tumitku dan memasukkan jariku ke dalamnya, mengangkat tumit yang remuk. Yang lainnya juga.
“Jangan asal pakai.”
"Maafkan aku."
Aku meminta maaf, tapi Sajo-san semakin menyipitkan matanya, karena aku tidak kuat menahannya, aku memalingkan wajahku. Saat aku menggumamkan “Maaf,” dengan suara kecil, dia menghela nafas.
Sajo-san meraih kenop pintu dan memeriksa apakah sudah terkunci.
Jika dilihat dari sini, jika melakukan ini, ada nuansa kehidupan yang tidak terduga.
Meskipun aku merasa sudah melayang, kakiku masih menyentuh tanah... Ya, aku tahu itu.
Beberapa langkah dari sana. Dia berjalan lurus melewati pintu depan rumah dengan kunci rantai di sebelah dan menuju lift.
Setiap pagi aku menunggu lift sendirian. Namun, hari ini ada Sajo-san yang berseragam berdiri di sampingku.
Rutinitas sehari-hari yang biasa. Hanya karena ada Sajo-san, aku merasa bingung dengan cerita dunia ini, seolah ini dunia yang berbeda.
Faktanya, hal tersebut mungkin saja terjadi. Karena sejak aku di rumah, aku selalu melihatnya, yang tidak pernah ada di duniaku, tercermin dalam penglihatanku.
Rambut hitam yang berantakan. Mata yang terlihat seperti kegelapan, kurang cahaya.
Bahkan saat mengenakan seragam, tonjolan ganda yang membentuk lengkungan besar masih tetap mengesankan, dan mau tak mau aku menatapnya. Aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari Sajo-san.
Entah kenapa, bagian dalam dadaku terasa gugup.
Apakah aku benar-benar akan pergi ke sekolah berdampingan dengan seorang gadis cantik.
Meskipun aku sendiri yang menyarankannya, aku merasa mulai merasa takut sekarang. Ini adalah pertama kalinya aku berangkat sekolah dengan seorang gadis sejak aku SD ketika aku berangkat bersama rombongan. Aku bingung apakah aku harus mempertimbangkan hal itu atau tidak. Aku hanya punya sedikit pengalaman.
“Mari kita hentikan berangkat bersama-sama ini,” jika aku mengatakan itu, itu akan menjadi omong kosong dan memalukan.
Aku menggigit bibir atasku untuk menahan suara lemah yang mengancam akan keluar.
Pintu lift terbuka. Masuk.
Entah mengapa, terasa menakutkan, terasa bahagia. Aku menatap punggung Sajo-san dengan perasaan aneh, dan saat dia berbalik, mata kami bertemu.
"……Apa?"
Tidak ada apa-apa. Aku menggelengkan kepalaku.
Aku ingin tahu apa itu sebenarnya. Aku sendiri tidak mempunyai jawaban atas pertanyaannya.
■■
Langit biru cerah dan cuaca penuh warna. Samar-samar aku bertanya-tanya apakah ini yang disebut langit Gunjo.
(Tln: Gunjo itu warna biru laut yang jernih yang biasa di pake di lukisan dan seni jepang lainnya)
Akhir bulan Juni. Walaupun masih berada di tengah musim hujan, namun ada kalanya cuaca sangat cerah sehingga terasa seperti musim panas. Prakiraan cuaca menggunakan berbagai kata untuk menjelaskan cuaca yang tidak normal ini, tetapi mereka mengatakan cuaca tidak normal setiap tahunnya, sehingga tidak normal menjadi hal yang biasa. Menakutkan untuk membiasakan diri, pikirku acuh tak acuh.
Namun, betapapun panasnya cuaca, tidak ada satu pun jangkrik yang berkicau, seolah-olah ini belum puncak musim panas. Sepertinya musim panas akan segera tiba, dan aku mulai merasa tertekan.
Menjelang musim panas. Aku pergi ke sekolah dengan seorang gadis cantik di musim hari yang cerah.
Jika anak laki-laki mendengar ini mungkin yang di bayangkannya adalah, ini yang namanya masa muda. Sebuah peristiwa yang aku impikan. Biru musim semi.
(Tln: di “biru musim panas” tulisan di rawnya adalah “Aoharu” yang mana menggambarkan perasaan masa muda)
Meski begitu bukan berarti akan terjadi peristiwa pahit dan manis.
"..."
"..."
Tidak ada percakapan, hanya berjalan menyusuri pagar putih yang memisahkan trotoar dengan jalan raya.
Selain itu, meskipun kami berjaln bersama...posisi Sajo-san dan aku tidak sama.
Aku berjalan di depan, dan dia berada tiga langkah di belakangku.
Dia terlihat seperti wanita idaman di zaman dahulu, atau lebih tepatnya yamato nadeshiko. Tapi yah, Sajo-san tidak ada hubungannya dengan itu. Aku rasa dia akan marah jika aku mengatakan itu, sudah pasti dia akan marah, jadi aku tidak akan mengatakannya.
Apa yang harus kutanyakan, aku tidak bisa menemukan jawabannya. Sejujurnya aku tidak tahu.
Sudah sekitar sepuluh hari sejak aku memungut Sajo-san. Kesanku terhadapnya adalah tetangga dengan wajah cantik yang tidak terlalu aku kenal.
"Sajo-san. Bukankah itu agak jauh?"
"...Tidak jauh. Ini normal."
Balasan yang cuek. Apanya yang normal?
“Mau berjalan bersama?” itulah yang kumaksud, tapi sepertinya itu tidak tersampaikan. Jika dia mengerti dan menolak, aku akan mengalami kerusakan mental. Humu. Reaksinya sangat dingin.
Namun, bukan berarti suasananya buruk.
Mungkin, tapi menurutku alasan dia menjaga jarak seperti ini... Tapi aku tidak punya bukti apa pun.
Tiga langkah senilai langkah. Mungkin alasannya berpencar adalah karena tidak ingin ada rumor bahwa dia berpacaran denganku, bantalmu akan lengket semua malam ini. Tapi bukan. Bukan tidak ingin di salahpahami anak laki-laki atau bersikap sok kuat.
(Tln: untuk kalimat pertama itu kalimat ungkapan “歩数にして三歩分”, untuk yang kalimat bantal itu ungkapan “今晩枕はべっちょべちょになる” maknannya cari sendiri karena kalo gw tulis tar kepanjangan)
Soalnya Sajo-san tidak mempedulikan reputasinya di mata orang lain. Dia secara sadar datang ke sekolah hanya untuk mengantarkan bento untukku.
■■
Begitu gerbang sekolah terlihat, kerumunan anak laki-laki dan perempuan berseragam sekolah yang sama mulai memadati. Itu ramai dengan kebisingan dan hiruk pikuk siswa.
Dari kejauhan aku melihat sekelompok siswa laki-laki berjalan bersama, tubuh mereka meringkuk seperti dango.
Padahal cuacanya panas tapi mereka tetap melakukannya. Sungguh bodoh.
Tapi mungkin alasanku sedikit ingin terlibat dengan mereka, karena aku adalah salah satu dari murid SMA itu. Di usia ini, melakukan sesuatu bersama-sama itu menyenangkan, tetapi apa yang kami lakukan tidak ada artinya. Sebenarnya, permainan tak berarti itulah yang membuatku bersemangat... Ah, guru memarahinya.
Adegan khas siswa pergi ke sekolah yang bisa dilihat di mana saja.
Namun, di tengah hiruk pikuk tersebut, terjadilah gebrakan, atau lebih tepatnya aku menerima kesan yang berbeda dari biasanya.
Menjadi pusat perhatian. Mata orwng-orang terfokus padaku...atau lebih tepatnya, ke arah Sajo-san. Meskipun aku hanya berjalan sedikit di depannya, semua mata tertuju padaku seolah-olah mengikutiku, dan aku bisa merasakan tekanan diam dari orang-orang di sekitarku.
Hampir menyakitkan. Anehnya aku merasa gugup.
Ini adalah pertama kalinya aku mengalami hal seperti ini, aku sedikit bingung, tetapi keraguan aku segera hilang.
Yah, itu wajar karena dia adalah Sajo-san.
Mereka penasaran dengan gadis yang tidak bisa mereka lihat. Terlebih lagi payudaranya yang besar. Itu dapat terlihat meskipun di dalam pakaian.
Aku bisa mengerti perasaan yang di rasakan remaja laki-laki yang meregangkan area bawah hidungnya. Ya, itu besar.
Tidak hanya siswa laki-laki, bahkan siswa perempuan pun memandangnya dan bergosip tentangnya sambil tersenyum bergairah, pesona Sajo-san sangat bagus.
Meskipun orangnya sendiri tidak menyadarinya.
Meskipun dia menjadi pusat perhatian, dia tidak terpengaruh.
Dunia Sajo-san. Sisi dalam dan sisi luar.
Begitulah kesadarannya, tidak peduli seberapa banyak perhatian yang dia terima, dia tidak pernah peduli terhadap apa yang ada di luar dunianya.
Hebatnya. Aku merasakan sedikit kekaguman. Dan juga, aku lega.
Sudah lama sejak aku bersekolah, ini baru pertama kali terjadi di kehidupan SMA-ku, jadi aku berpikir apakah ini akan baik-baik saja.
Akulah yang memintanya untuk pergi ke sekolah.
Aku tidak bermaksud jahat, aku hanya berpikir mungkin akan bagus jika kami berangkat bersama. Tapi, aku tidak ingin Sajo-san merasakan perasaan tidak enak karena itu. Persiapan masa depan, aku serahkan pada guru.
Ya. Jadi, itu bagus... tapi... kan? Ada satu hal yang terus mengganggu pikiranku.
Terutama tatapan laki-laki. Fakta bahwa mereka semua tertuju pada dadanya yang besar.
Sajo-san tampaknya tidak menyadari tatapan mesum itu. Atau mungkin dia menyadarinya tapi dia tidak peduli... entah kenapa itu membuatku kesal dan jengkel...
Aku berhenti berjalan dan mundur selangkah.
"...Apa? Aku jadi sulit berjalan."
"Tidak apa-apa."
Tetap seperti ini untuk saat ini.
Aku berjalan di samping Sajo-san, seperti tembok untuk menghalangi pandangan laki-laki.
Kami tidak berpacaran, dan aku tidak bermaksud untuk menyatakan kalau Sajo-san adalah milikku. Tapi tubuhku bergerak secara alami, jadi tidak apa-apa.
Dia menyipitkan matanya ke arahku dengan ekspresi bingung, tapi dia tidak membentakku atau menanyaiku, syukurlah. Aku sendiri tidak mengerti mengapa aku melakukan ini.
Aku tidak perlu melakukan ini hanya karena aku kesal dengan reaksi orang-orang di sekitar. Ini akan membuatku menonjol. Aku tidak suka itu. Jadi mengapa aku terbawa oleh emosi sesaat seperti ini...? Sungguh, mengapa?
Aku mengerutkan wajah dan mendesah dalam hati.
Kami bahkan belum sampai di sekolah. Apa yang akan terjadi jika kami tiba di kelas?
Aku tiba-tiba merasa cemas.
Seolah-olah firasat seekor binatang yang merasakan bencana, firasat itu menjadi kenyataan saat aku memasuki kelas.
"MEREKA DATANG KERJA BERSAMA──!?"
Kami disambut oleh paduan suara teman sekelas yang ribut dan melengking.
Berisik sekali. Dan lagi, kami datang bukan untuk bekerja, tapi datang untuk sekolah.
Tapi keluhanku tidak terdengar oleh siapa pun.
Aku merasa seperti panda di kandang pertunjukan, dan aku merasa sedih dengan nasib yang tidak terhindarkan yang akan segera terjadi.
Aku tahu ini akan terjadi, tapi aku masih merasa kesal saat merasakannya langsung. Pelipisku berdenyut-denyut.
Baru juga bangun pagi tapi aku sudah merasa lelah, aku segera dikelilingi oleh teman-teman sekelasku, dipimpin oleh seorang gadis.
"Jadi kalian benar-benar memiliki hubungan yang seperti itu...!?"
"Terlebih lagi, kalian datang bersama-sama di pagi hari... jadi itu artinya... Seperti itu, kan?"
"Berhentilah bersikap vulgar."
"Tapi kamu penasaran kan?"
"Apa kalian bersenang-senang tadi malam?"
"Apa apa? Kamuau bilang mereka berhubungan seks, abis itu ngobrol sambil minum kopi, dan kemudian memutuskan untuk berangkat bersama?"
"Hey, berhenti bodoh, itu terlalu terang-terangan! Begini, itu harus di bungkus dulu dengan hati-hati..."
"Melalui celah, lalu 'plak', masuk dengan 'jlep', dan 'crott~?'"
"Bukankah itu terlalu vulgar?!"
Benar-benar badjingan. Meskipun memiliki minat pada hal-hal seperti itu, apakah ini merupakan percakapan yang rasional bagi seorang siswa SMA yang hampir dewasa?
Ini terlalu seperti anak sekolah dasar. Semuanya hanya pengetahuan yang dimasukkan ke kepala, dan pertumbuhan mental sepertinya terhenti.
Mendengar percakapan cabul seperti ini sejak pagi, sungguh kotor untuk didengar.
"Kalau begitu, apa kalian pacaran?"
"Bukankah itu memiliki makna yang berbeda?"
Ini... agak sulit dijelaskan dengan kata-kata, tetapi aku merasa ada perbedaan nuansa.
Bukan hanya karena perbedaan nuansa... tapi ada kesan tidak pantas yang sulit diungkapkan.
Untuk saat ini, aku akan menjawab dengan aman bahwa dia hanyalah "tetangga". Itu tidak salah.
Itu seharusnya begitu, tapi...
"Aduh!? ...Eh, apa?"
Seseorang menyikut punggungku.
Ketika aku berbalik, Sajo-san sudah berjalan lurus ke kursinya seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Eh... apaan yang barusan?
Seharusnya dilakukan oleh Sajo-san, tetapi dia duduk di kursinya seolah-olah tidak terlibat sama sekali. Aku tidak mengerti alasannya, tapi aku hanya bisa menatapnya, dia menekan siku kemeja sambil menatap keluar jendela.
...Apa maksudnya?
Aku tidak bisa memahami niatnya. Hanya pertanyaan yang tersisa di hatiku, seperti luka yang mengganggu.
Sementara itu, aku sedikit mendorong penonton yang semakin ramai dengan sedikit amarah. Berisik, pergi sana. Hus hus.
Kelas diubah dari suara-suaranya seperti suara kuda menjadi suara babi sambil masing-masing kembali ke "kandang" mereka.
Meskipun sedikit keras kepala, mereka tahu kapan harus berhenti. Mungkin mereka benar-benar baru bisa membaca situasi sampai aku benar-benar merasa tidak suka. Meskipun kasar.
Dalam satu meter sekitarku, tidak ada orang lagi. Aku menghela nafas. Kelopak mata setengah tertutup.
Tubuhku sudah mulai merasakan kelelahan karena situasi yang tidak biasa.
Aku melepas tas sekolah yang terasa begitu berat dari bahuku dan menahan bagian pegangannya dengan telapak tangan.
Dengan langkah yang lambat, aku menuju kursiku. Daripada berjalan, aku hanya menggesekan kakiku di tanah. Mengangkat kaki terasa terlalu merepotkan.
Meskipun bergerak, mataku tetap terpaku pada Sajo-san yang memandang keluar jendela.
Angin yang hangat dengan nuansa musim panas masuk dari jendela yang terbuka.
Tirai bergoyang dan berayun seiring angin.
Meskipun duduk di pojok kelas, Sajo-san seolah-olah menjadi pusat, seperti lukisan yang langsung menarik perhatian. Fokus pada dirinya, dengan latar belakang yang sedikit kabur, dia seolah-olah melayang sendirian.
Ini bukan karena ini adalah kali pertama dia datang ke kelas.
Ini terasa seperti keberadaannya sendiri adalah sesuatu yang berbeda. Seperti bulan yang bersinar di langit malam di antara bintang-bintang yang bersinar terang.
...Sangat indah.
Itu yang terlintas di benakku. Namun, itu bukan perasaan terhadap lawan jenis.
Itu lebih mirip seperti kekaguman yang dirasakan semua orang ketika melihat sesuatu yang indah, seperti bulan purnama yang mengambang di langit yang tak berawan.
Hanya saja, tampaknya hanya aku yang merasakannya.
Teman-teman sekelas yang lain tidak hanya tertarik pada Sajo-san yang datang ke sekolah untuk pertama kalinya, dan yah, sudah pasti dadanya. Entah dari mana asalnya “Buset tobrut..." terdengar dari suara yang kudengar. Oi.
Karena aku tidak sabar, aku menempuh jarak yang cukup jauh dengan langkah yang singkat tetapi lambat, akhirnya aku sampai di tempat dudukku dan merasa sedikit lebih baik.
Timingnya pas, suara bel sekolah bergema... Tapi sepertinya itu tidak berbunyi.
Ternyata, volume-nya diatur ke nol, tapi masih terdengar di seluruh sekolah, termasuk di dalam kelas. Hal yang biasa terjadi.
Bersamaan dengan bel, langkah-langkah keras dari koridor yang sunyi mulai terdengar. Siswa-siswa bereaksi terhadap suara itu dengan cepat, berhamburan kembali ke tempat duduk mereka seperti semut yang terburu-buru mencari tempat persembunyian.
"Baik, duduk di tempat kalian, aku akan mengambil absen."
Guru masuk sambil membuka pintu geser dengan ringan. Ketika dia masuk, seolah-olah kegaduhan sebelumnya adalah kebohongan, semua teman sekelas duduk dengan sikap yang baik dan tegap.
Melihat itu, guru itu hanya menggelengkan kepala dengan ekspresi keheranan dan berkata, "kalian semua sangat pandai menyembunyikan sesuatu," dengan nada yang jelas bahwa dia tahu semuanya. Sepertinya memang terlihat sangat jelas.
Sambil menuju ke podium, dengan sekilas, menaikan volume speaker di dinding dekat pintu masuk, lalu memperhatikan sekeliling kelas - dan tiba-tiba berhenti. Mata guru membulat. Ekspresi kosong dan mulutnya yang tercengang tampak begitu pas, hampir seperti kehilangan pikiran. Di ujung mata guru yang fokus, ada Sajo-san yang tetap menatap keluar jendela dengan siku menopang dagu. Sambil tetap memperhatikan Sajo-san, seperti memutar waktu mundur, dia keluar kelas seolah mengulang waktu.
Suasana hening yang sulit dijelaskan menyelimuti kelas. Tirai hanya bergerak-gelisah dihembus angin tanpa peduli.
Dengan suara berderit, pintu dibuka sedikit, dia memperhatikan kelas. Dengan gerakan seperti ayam, dia menperhatikan sekeliling kelas.
"Aku tidak salah kelas, kan? Iya kan?"
Pada bulan April ini. Sama sepertinya guru baru yang baru pertama kali memasuki kelas, dia memasuki kelas yang dia pegang tanggung jawabnya dengan gugup dan kebingungan.
Kedatangan Sajo-san ke sekolah tampaknya menjadi peristiwa aneh bahkan bagi guru. Apakah memang perlu sekaget itu, tapi kalau di pikir-pikir sejak awal masuk sekolah, anak yang selalu absen tiba-tiba duduk di meja tanpa sepatah kata pun memang mengejutkan, bahkan akan menimbulkan kecurigaan apakah itu memang dirinya atau bukan.
Dalam kekacauan itu, Sajo-san masih bertindak seolah-olah tidak menyadari apa pun. Atau mungkin memang tidak menyadarinya, dia hanya melambaikan poni yang terkena angin dengan tenang.
Dia menyadari pandanganku dan matanya yang hitam bergerak ke samping.
"Apa?"
"Tidak, tidak ada apa-apa."
Dia benar-benar mengesankan.
Aku sekali lagi terkesan dengan sikapnya yang tenang.
■■
Ada pasang surut. Tapi di sisi lain, itu saja.
Ombaknya lebih tinggi dari biasanya, namun cukup tenang untuk disebut badai. Itu hanyalah perpanjangan dari kehidupan sehari-hari.
Itu hanya sekedar rumor, tapi tidak bisa disebut sebagai masalah.... Namun, bagi perahu kecil sepertiku, bahkan ombak sedikit tinggi bisa membuatnya terbalik.
Tiba-tiba, terasa seperti ada yang memperhatikanku. Dari sebelah. Meskipun tidak terlihat di sudut pandangku, aku bisa merasakannya menusuk kulitku.
Selama pelajaran.
Untuk pertama kalinya sejak masuk SMA, mata yang cukup kurang ajar ditujukan padaku dari kursi di sebelah yang sebelumnya kosong.
Itu seperti lubang terbuka. Tetap saja. Mengawasiku seperti itu, mengapa?
Aku merasa tidak nyaman. Tidak mungkin mendengarkan pelajaran, bahkan itu tidak masuk ke telingaku, melainkan cuman lewat dari kuping kanan ke kuping kiri kiri, tidak pernah masuk. Mengapa? Aku ingin bertanya. Tetapi sekarang adalah jam pelajaran. Setelah menjadi pusat perhatian sejak pagi, aku tidak ingin menarik perhatian guru lebih jauh.
Aku memiringkan punggung ke belakang kursi, memastikan Sajo-san berada di sudut pandanganku. Di atas mejanya, buku pelajaran bahasa Jepang yang belum pernah dibuka tergeletak. Tidak ada niat untuk belajar, bahkan untuk mengikuti pelajaran.
Wali kelas yang juga guru bahasa Jepang, pasti memperhatikannya dengan penuh kebingungan.
Kehadiran tiba-tiba siswa yang selalu absen. Memboikot pelajaran.
Untuk seorang guru baru, itu adalah masalah yang cukup berat. Aku merasa bersalah telah membujuknya untuk datang. Tetapi setidaknya lebih baik daripada tidak datang sama sekali. Aku berdoa dalam hati. Maafkan aku.
Pandangannya tidak pernah lepas dari Sajo-san.
Wali kelas keheranan.
Ini membuatku gelisah. Membuatku tidak nyaman untuk duduk di kursi ini.
Aku menarik kursi sekali lagi dengan gemerincing. Tetap saja, rasanya tidak enak.
Apakah aku bisa bertahan satu jam dengan ini?
Keringat menetes dari dahi dan jatuh ke catatanku. Pulpen gemetar merobek kertas basah.
Ini tidak akan berhasil. Ada kerugian nyata. Aku harus bertanya.
Akhirnya, aku tidak bisa menahan pandangan Sajo-san. Tetapi, aku tidak ingin dimarahi oleh guru, jadi aku menulis dengan cepat di sudut catatanku. Aku memotongnya agar guru yang terlihat pucat tidak melihatnya, dan diam-diam memberikannya.
Sajo-san yang menerima catatan itu menatapku dengan tajam. Tetapi dia menerimanya.
Dia melirik potongan kertas sebentar, dan merenggangkan bibirnya.
Sajo-san yang menerima kertas itu menatapku dengan tajam seolah bertanya “Apa?”. Tapi, dia tetap menerimanya.
Dia melirik sekilas ke potongan kertas itu, lalu pelipisnya berkedut sedikit.
Kemudian, telapak tangannya terulur seolah meminta sesuatu.
Kenapa? Ketika aku bertanya dengan mataku, jari telunjuknya yang panjang menunjuk ke pena yang kugenggam.
Sepertinya dia minta dipinjami alat tulis. Dia bahkan tidak punya alat tulis sendiri. Benar-benar, dia hanya pergi ke sekolah bersama saja ya.
Setengah kagum dengan keberaniannya, aku menyerahkan pena.
Sajo-san yang menerimanya mulai menulis sesuatu dengan lancar di potongan kertas tadi. Lalu dia mengembalikannya bersama pena.
Aku menerimanya.
“Biasa saja”
Hanya dua kata itu yang ditambahkan.
Baik bicara atau menulis, tetap saja dingin.
Tapi, tulisannya bulat dan imut. Hanya dari bentuk tulisannya saja sudah terlihat kalau ditulis oleh seorang gadis. Perbedaannya dengan kepribadiannya malah membuatnya semakin imut, membuatku sedikit geli.
Saat aku tersenyum melihat potongan kertas itu, alis Sajo-san berkerut kesal.
Dia terlihat tidak senang, seolah bertanya apa yang kutertawakan.
Aku melambaikan tangan mengatakan bukan apa-apa, lalu mulai bersemangat memikirkan apa yang akan kutulis selanjutnya.
Kenakalan khas pelajar ini terasa menyenangkan, tanpa sadar perasaanku menjadi bersemangat. Ini benar-benar terbalik, tujuan dan cara bertukar tempat.
Mungkin karena itulah. Aku terlalu asyik. Itu adalah penyesalanku hari ini.
“Ah.”
Bukan dengan potongan kertas, bukan pula dengan tatapan mata.
Sajo-san mengeluarkan suara yang menggetarkan udara.
Ada apa? Saat aku mengangkat wajah, guru sedang lewat di antara aku dan Sajo-san sambil membaca buku pelajaran.
Aku menarik nafas tipis. Seperti saat jet coaster akan jatuh. Perutku terasa melayang.
Ketahuan?
Jantungku berdebar kencang.
Tapi, guru tidak menoleh ke arah kami atau menegur, dia kembali ke podium dan melanjutkan pelajaran.
Syukurlah. Tidak ketahuan.
Aku menghela nafas lega. Pengalaman yang cukup menegangkan.
Yah, kenakalan di kelas memang menyenangkan termasuk hal-hal seperti ini.
Baiklah, mari kita lanjutkan. Saat aku memegang pena kembali untuk memikirkan apa yang akan kutulis, tiba-tiba kaki kursiku ditendang.
Ada apa lagi, saat aku menoleh ke Sajo-san, matanya menyipit.
Dia menunjuk-nunjuk mejaku.
Saat aku mengikuti arah jarinya, ada selembar potongan kertas yang tadinya tidak ada di sana. Berbeda dengan yang kubuat.
Mungkin Sajo-san yang meletakkannya. Dengan heran, aku membuka kertas yang dilipat rapi itu, dan pipiku berkedut kaget.
“Sepertinya menyenangkan. Bolehkah sensei ikut bergabung?”
Komentar yang cukup sarkastis.
Aku tidak suka ditegur dengan lantang di depan seluruh kelas, tapi ternyata kalau mengalaminya sendiri, hal seperti ini cukup mengesankan.
Dengan enggan aku mengarahkan pandangan ke podium. Guru sedang membuka buku pelajaran dan menjelaskan tentang perasaan penulisnya.
Mata kami bertemu. Dia meletakkan jari telunjuk di bibir, memberi isyarat untuk diam. Sepertinya dia menyuruh kami menghentikan kenakalan ini.
Balasan yang cukup jenaka. Meski guru baru, kita tidak boleh meremehkannya. Lain kali aku harus lebih hati-hati. Entah akan ada lain kali atau tidak.
Yah, mau bagaimana lagi.
Tidak mungkin melanjutkannya, jadi aku memutuskan untuk serius mengikuti pelajaran.
...Masalah yang membuat situasi jadi begini sama sekali belum terselesaikan, tapi itu... Sabar saja. Aku akan menanyakannya saat istirahat di antara pelajaran.
Aku menghela nafas. ...Jadi, sekarang sampai mana?
Aku tidak tahu halaman buku pelajaran yang mana. Halaman yang tadi kubuka sudah selesai, dan saat aku membalik halaman, tidak cocok dengan tulisan di papan tulis.
Kenapa sih pelajaran kadang-kadang tidak sesuai urutan buku, dan langsung melompat halaman? Aku benar-benar kebingungan sekarang.
Kalau ini hukuman bagi murid yang tidak memperhatikan pelajaran, aku mengerti. Efektif sekali. Mau tidak mau harus kuterima, tapi sepertinya bukan itu alasannya.
Saat aku mengerutkan alis menatap buku pelajaran, tiba-tiba sebuah tangan putih muncul dari samping. Aku terkejut, dan tangan itu mulai membalik halaman bukuku. Dia membalik beberapa halaman, lalu berhenti.
Halaman yang terbuka cocok dengan tulisan di papan dan penjelasan sensei.
Saat aku mengikuti arah tangan yang ditarik kembali, mataku bertemu dengan mata hitam pekat. Aku mengangguk canggung.
“(Terima kasih)”
Saat aku mengucapkan terima kasih dengan pelan, dia langsung memalingkan wajah.
Tetap saja dia tidak jujur seperti biasa.
Tapi, hebat juga ya bisa tahu halaman buku pelajaran padahal sepertinya tidak berniat mengikuti pelajaran. Entah dia mendengarkan atau tidak. Mungkin saja dia hanya menangkap dengan telinganya, tapi membayangkan kemungkinan itu membuatku merasa aneh.
Jangan-jangan dia lebih pintar dariku...?
Aku memang tidak terlalu rajin belajar. Atau lebih tepatnya, aku tidak suka. Kalau bisa, aku tidak mau melakukannya. Tapi, kalah dari orang yang belum pernah mengikuti pelajaran sama sekali rasanya seperti dibilang bodoh, bahkan sebelum membahas pintar atau tidaknya. Rasanya tidak bisa kuterima. Atau lebih tepatnya, aku merasa terluka.
Kalau sampai nilainya lebih tinggi dariku saat ujian akhir semester...
Hmm. Mungkin aku harus lebih serius mengikuti pelajaran.
Hari ini, sedikit semangat untuk belajar mulai tumbuh dalam diriku.
...Tapi.
“Tolong jangan lakukan hal seperti itu lagi saat pelajaran ya?”
“...Baik.”
Setelah pelajaran. Aku dipanggil guru ke sudut lorong, dan meski tidak sampai diceramahi, tapi tetap saja ditegur. Rasanya semangat belajarku langsung dipadamkan.
Ngomong-ngomong, kenapa cuman aku yang dimarahi? Bagaimana dengan Sajo-san?
Mungkin karena aku memasang wajah tidak puas. Guru mengerutkan alis dengan ekspresi bingung. Lalu dengan rasa bersalah dia berkata,
“Tolong peringatkan Sajo-san juga ya?”
Apa-apaan itu, sensei.
Aku ingin menolak mentah-mentah dan menyuruhnya bicara sendiri, tapi sulit membalas karena aku sedang ditegur. Lagi pula, aku tidak yakin Sajo-san dan sensei bisa berbicara dengan normal, jadi aku menelan kekesalanku bersama ludah.
■■
Istirahat makan siang tiba setelah pelajaran yang tidak serius namun entah bagaimana terasa seperti murid SMA pada umumnya. Biasanya aku akan menikmati waktu bebas tanpa belajar, tapi hari ini aku merasa sedikit murung.
Pasti aku akan diserang pertanyaan. Helaan nafas keluar dari mulutku.
Meski pagi tadi aku berhasil kabur, tapi tidak mungkin di istirahat siang. Satu jam. Tepat satu putaran jarum jam. Waktu yang cukup bagi mereka untuk memakan umpan bernama rasa ingin tahu.
Entah aku bisa memberikan topik yang memuaskan rasa penasaran mereka atau tidak. Tapi, di luar dugaan, teman-teman sekelas yang biasanya suka ikut campur tidak mendekat dengan bernafsu. Padahal sebelum istirahat aku merasakan tatapan mereka, bahkan sayup-sayup terdengar bisikan seperti “Sajo-san...” atau “Hinata-kun...”.
Teman-teman sekelas yang biasanya seperti kuda liar yang tidak terkendali, kali ini ditahan oleh tidak lain dan tidak bukan adalah Sajo-san.
Begitu bel tanda pelajaran berakhir berbunyi, dia langsung mendekatkan mejanya ke mejaku.
Lebih cepat dari anak-anak yang matanya berkilat penasaran, lebih cepat dari guru bahasa Inggris yang mengumumkan akhir pelajaran. Dan bahkan lebih cepat dari aku yang sedang membereskan buku dan catatan di atas meja.
...Tidak, ini terlalu cepat. Hampir seperti mencuri start.
Tapi, di sini tidak ada wasit yang bisa menghentikan Sajo-san yang mencuri start. Guru bahasa Inggris pun hanya terkejut sejenak sebelum meninggalkan kelas seolah tidak terjadi apa-apa.
Keringat yang mengalir di pipiku entah karena terkejut atau takut.
Sebelum aku bisa memutuskan, di atas meja kami sudah tersusun dua kotak bekal berwarna hitam dan putih.
Isi kotak itu tentu saja bekal makan siang.
Berbeda dengan saat hanya diantarkan, duduk bersebelahan dan makan bersama Sajo-san membuat tengkukku terasa panas, sensasi aneh yang membuatku bingung.
“Te-terima kasih...”
“Ini pinjaman.”
(Tln : di raw nya emang begini)
Ketika aku berterima kasih, dia menjawab dengan nada dingin.
Aku tidak bisa menentukan apakah ‘pinjaman’ yang dimaksud Sajo-san adalah sesuatu yang harus kukembalikan padanya, atau sesuatu yang dia pinjamkan padaku. Hanya dari kata-kata dan suaranya saja, aku tidak bisa memutuskan.
Tapi, meski terlihat sama sekali tidak tertarik, begitu istirahat makan siang dimulai dia langsung mulai membuka bekalnya. Mungkinkah sebenarnya dia sangat menantikan ini? Aku jadi berpikir begitu.
Tidak ada alasan khusus. Tapi aku berharap begitu, dan tindakannya lebih mudah dipahami daripada penampilannya.
Entah dia tahu atau tidak apa yang kupikirkan, dengan wajah acuh tak acuh seolah tidak tertarik dia mengatupkan kedua tangan dan berkata “Itadakimasu”. Sangat sopan. Aku pun mengikuti Sajo-san, mengatupkan tangan dan mengucapkan salam sebelum makan. Meski kemarin malam juga, tapi sebelumnya aku tidak pernah mengucapkan salam seperti ini sebelum makan bersama Sajo-san.
Sejak berpisah dengan orang tuaku, atau lebih tepatnya sejak keluargaku pergi karena ayah dinas ke luar kota, aku berhenti mengucapkan salam seperti ini. Bukan karena tata kramaku memburuk, tapi karena aku tidak menemukan alasan untuk melakukannya sendirian.
Aku tahu ini bukan sesuatu yang dilakukan untuk dipuji orang lain. Tapi, banyak hal yang menjadi merepotkan jika tidak ada yang melihat.
Salam sebelum makan hanyalah salah satunya.
Jadi, yah.
Mungkin ini perubahan baik yang terjadi sejak aku mulai berhubungan dengan Sajo-san.
Meskipun hanya kembali dari minus ke nol.
Sambil memikirkan hal itu, aku membuka kotak bekalku. Tidak ada embun di bagian dalam tutupnya. Hmm.
“Terima kasih atas perhatiannya.”
“...Hah?”
Jawaban yang tidak berminat. Agak menyedihkan.
Sepertinya dia menutup kotak bekal setelah makanannya dingin agar tidak ada embun di tutupnya.
Katanya dia baru saja mempelajari ini, untuk mencegah keracunan makanan. Ketika aku bertanya saat melihat kotak bekal yang dibiarkan terbuka di atas meja dapur, begitulah jawabannya.
Terutama di musim panas, bahan makanan cepat rusak. Mengingat es pendingin yang dimasukkan bersama dalam tas bekal sudah hampir mencair, itu masuk akal.
Awalnya dia tidak melakukannya... Tapi setelah lebih dari seminggu Sajo-san membuatkan bekal untukku, sepertinya dia sedikit demi sedikit berkembang.
Di dalam kotak bekal ada karaage dan salad yang tersisa dari makan malam kemarin, serta tamagoyaki dan sosis gurita yang dibuat baru tadi pagi.
Aku mengambil sepotong karaage.
Hmm. “Enak.”
Ketika penilaian jujur itu keluar dari mulutku, mata Sajo-san yang gelap seperti kegelapan sekilas melirik ke arahku.
“Jangan terus-terusan mengucapkan basa-basi seperti itu.”
“Ini bukan basa-basi. Hal-hal seperti ini harus disampaikan dengan benar.”
Aku yang hanya menerima bekal setiap hari. Setidaknya aku ingin menyampaikan perasaanku.
Atau lebih tepatnya, hanya itu yang bisa kuberikan sebagai balasan. Tentu saja selain uang makan yang kupaksakan pada Sajo-san yang awalnya enggan menerimanya tadi malam. Aku tidak ingin menjadi suami yang sombong yang memperlakukan istrinya seperti pembantu rumah tangga—menganggap wajar dibuatkan makanan. Berpikir bahwa perasaan akan tersampaikan tanpa diucapkan adalah pemikiran yang malas dan arogan.
Jadi, aku berniat mengutarakan apa yang kupikirkan sesuai kata hatiku.
Aku mengangkat tamagoyaki dengan sumpit dan tersenyum lebar.
“Terutama aku suka tamagoyaki manis yang sesuai seleraku.”
“...Syukurlah. Hari ini tidak kumasukkan gula.”
“Wah, sayang sekali.”
Aku memakannya. Memang tidak manis.
“Tapi rasanya ringan dan enak.”
“...Kamu asal bicara terus.”
Dia berpaling ke arah jendela seolah merajuk.
Ekspresinya tidak berubah dari biasanya, tapi sikapnya itu sangat jelas.
Manis sekali, pikirku sambil tersenyum. Sampai di sini adalah waktu makan siang pertama bersama Sajo-san yang menyenangkan dan sedikit membuat deg-degan.
Meski bekal masih tersisa banyak, sayangnya waktu ini harus berakhir.
Karena teman-teman yang penasaran tidak mungkin terus menahan diri di hadapan “hidangan” seperti ini.
“...Aaaah! Aku sudah tidak tahan lagi!”
Begitu seorang teman perempuan melompat maju dengan tidak sabar, yang lain pun mengikuti seperti longsoran salju. Menghadapi serangan kuda-kuda liar yang bersemangat itu, kebahagiaan yang tadinya ada seolah menghilang dari mulutku.
Dalam sekejap, mereka mengelilingi aku dan Sajo-san, masing-masing berteriak seenaknya seperti anak burung yang meminta makan pada induknya.
“Kalian pacaran kan?” “Kalian saling memanggil apa?” “Sudah ciuman?” “Rasanya gimana?” “Sajo-san ternyata bisa masak ya—“ “Buatan sendiri? Hebat!” “Iri” “Kenapa cuman Hinata sih” “Kapan mulai pacaran?” “Bagaimana awal ceritanya?” “Tidak bisa kumaafkan” “Siapa yang nembak duluan?” “Pakai celana dalam hitam?” “Pas pertama kali rasanya sakit ya?” “Keluar darah?”
Mungkin karena sudah menahan diri terlalu lama, mereka juga tidak segan-segan melontarkan pertanyaan pada Sajo-san. Padahal waktu Sajo-san mengantarkan bekal, mereka bilang sulit untuk menyapanya karena suasananya...
Aku sendiri ingin mereka berhenti karena Sajo-san sepertinya tidak suka hal-hal seperti ini. Ketika aku diam-diam mengecek, wah... Cahaya yang memang tidak ada di mata Sajo-san semakin menghilang, kegelapannya semakin dalam...
Tentu saja, dia sepertinya tidak berniat menjawab dan hanya diam dengan wajah cemberut. Dia terus makan bekalnya perlahan seolah keributan di sekitarnya tidak ada. Mentalnya terlalu kuat.
Teman-teman sekelas juga tidak menyerah dan terus berusaha, tapi Sajo-san tetap konsisten mengabaikan mereka. Namun, mungkin karena dia menggenggam sumpitnya terlalu kuat, tangan kirinya mulai gemetar. Dia sangat kesal. Sepertinya sebentar lagi akan meledak. Sumbu telah tersulut.
Aku mendengar ilusi suara sumbu terbakar yang terhubung ke bom, dan berpikir bahwa aku harus menghentikan ini sebelum terlambat. Tapi, sebelum aku bertindak, sepertinya para siswi yang berkumpul juga menyadari bahwa Sajo-san tidak akan bicara. Mereka mulai menjauh dari Sajo-san dengan bahu terjatuh, menyerah.
Aku lega. Meski nyaris, tapi tidak memaksa adalah sisi baik dari teman-teman sekelas ini. Meski aku juga berpikir mereka harus mengendalikan rasa ingin tahu mereka yang terlalu menggebu-gebu, tapi mungkin itu terlalu kejam untuk remaja SMA yang sedang masa puber.
Kelegaanku hanya sesaat. Karena kebencian Sajo-san menurun, berarti... Target selanjutnya tentu saja aku. Semua mata yang berkilat-kilat itu serentak mengarah padaku, membuatku bergidik.
Dalam situasi ini, aku ingin kabur, tapi aku tidak bisa meninggalkan Sajo-san. Aku merasa seperti wortel yang dilemparkan ke kawanan kuda. Aku bahkan tidak bisa makan dengan tenang.
“Hei, hei, ceritakan dong Hinata-kun~”
“Eeh, tidak mau~”
Teman perempuan bertanya dengan suara manja seperti kucing, tapi aku bukan pria yang mudah tergoda oleh rayuan sederhana seperti itu.
Setelah menginap bersama gadis cantik seperti Sajo-san, kekebalan terhadap gadis-gadis lain pun meningkat.
Kalau sebelum bertemu dengannya... Mungkin aku akan tergoda. Mau bagaimana lagi. Laki-laki memang sederhana. Kami lemah terhadap gadis yang bermanja-manja. Meski tahu itu hanya perhitungan, tetap saja terjerat.
Tapi, sekarang berbeda.
Meskipun dikelilingi oleh siswi SMA, aku bertahan dengan mental yang sudah terlatih. Wahaha. Ketika aku berpikir ini terlalu mudah, tiba-tiba kursi ditendang. Ada apa ini?
“......”
Saat aku melihat Sajo-san, dia menopang pipinya dengan tangan dan tidak mau bertatapan denganku, padahal bekalnya masih tersisa.
Eh?
“A-ada apa?”
“Bu-kan, a-pa-apa...”
Nada bicaranya kuat. Apa aku membuatnya marah?
Jujur, aku tidak mengerti.
Sajo-san sering mengucapkan “bukan apa-apa”, tapi kali ini aku tidak bisa membedakan makna dan emosi yang terkandung dalam kata-katanya.
Apakah pertanyaan-pertanyaan dari para penonton itu yang membuatnya tidak nyaman?
Tapi itu bukan sesuatu yang bisa kukendalikan. Lagi pula , bukan aku penyebabnya.
Dia mengatupkan bibirnya erat dan mengerutkan dahi. Terlihat jelas dia seperti mengatakan “Aku sedang bad mood”. Jika ini gadis lain, mungkin ini isyarat “Hibur aku”, tapi tidak mungkin Sajo-san melakukan hal seperti itu... Aku tidak mengerti.
“Wah... Sajo-san yang sedang ngambek imut banget.”
“Iya kan? Padahal tipe cool, tapi reaksinya begitu, aku jadi naksir...”
“Maaf ya? Kami tidak bermaksud begitu. Maafkan kami oke?”
Mungkin karena sesama perempuan.
Para gadis yang berkumpul di sekitar sepertinya menyadari alasan Sajo-san marah, mereka meminta maaf sambil berteriak “Imut!” dan “Keren!” lalu pergi. Sedangkan para siswa laki-laki, yang pemahamannya tidak jauh berbeda denganku, malah berteriak seperti anak kecil “Hei! Kamu dimarahi!” dan mendekatiku sambil tertawa mengejek.
Hati wanita memang sulit dipahami laki-laki. Memikirkan bahwa pemahamanku sama dengan mereka membuatku merasa tertekan.
Namun, melihat mereka diusir oleh para siswi yang menendang pantat mereka sambil berkata “Jangan ganggu mereka, kalian para cowok!”, aku merasa sedikit lega. Hahaha, rasakan itu.
Ngomong-ngomong, sebagai tambahan, sejak hari itu teman-teman sekelas perempuan tidak pernah lagi menyinggung topik ini.
Para siswa laki-laki masih saja mengganggu, tapi setiap kali mereka melakukannya, para siswi akan menendang dan mengusir mereka. Karena itu, lambat laun mereka juga belajar membaca situasi dan berhenti membahas topik tentang Sajo-san.
Penasaran, aku bertanya pada teman sekelas perempuan “Kenapa?”
“Karena kami tidak ingin dibenci Sajo-san, dan kami pikir yang terbaik adalah mengawasi secara diam-diam.”
Dia memberitahuku sambil membuat kipas bertuliskan “I♡Hitori Kyunshite”.
Aku sama sekali tidak mengerti, jadi untuk sementara kusita kipasnya. Dia terlihat sangat kecewa “Aah...”.
■■
Secara keseluruhan, bagaimana hari pertama sekolah bersama Sajo-san? Sejujurnya... Aku lelah. Dalam berbagai hal.
Ada hal-hal yang bisa kuduga, ada juga yang tidak. Kelelahan terus menumpuk.
Yah, kurasa besok dan seterusnya akan lebih tenang.
Kami keluar dari gerbang sekolah, berjalan kembali melalui jalan yang kami lalui pagi tadi.
Di sampingku berjalan Sajo-san dalam seragam sekolahnya. Meskipun aku sudah terbiasa melihat seragam itu, tapi saat Sajo-san yang memakainya terasa segar dan entah kenapa membuatku sedikit gugup.
Ekspresi di wajahnya tetap sama seperti biasa, terlihat kosong seolah mengantuk. Wajahnya yang terbakar sinar matahari sore tidak pernah membuatku bosan memandangnya. Aku terus menatapnya, seolah ingin membakar gambarnya ke dalam mataku. Mungkin aku tidak akan pernah bosan melihatnya seumur hidup.
Apakah itu karena Sajo-san terlalu cantik, atau karena aku yang merasakannya demikian? Jika begitu, dari mana asal perasaan ini?
Meski aku menepuk dadaku pelan, tidak ada jawaban. Tentu saja. Yang kembali hanyalah detak jantung yang sedikit lebih cepat.
Tiba-tiba mata hitam Sajo-san menatapku. Kegelapan seperti lubang tak berdasar. Sejenak, aku merasa seperti tersedot dan jatuh ke dalamnya.
“...Apa?”
Ada apa ya? Aku tidak tahu.
Tapi ada sesuatu yang mengganggu pikiranku, jadi kurasa ini saat yang tepat untuk bertanya.
“...Apa kamu memaksakan diri?”
Sejujurnya, kurasa aku memaksanya.
Dia berusaha menyesuaikan diri denganku, berangkat sekolah bersama. Ini pasti bukan sesuatu yang dia inginkan. Dia hanya meresponsku karena aku yang mengajaknya pergi bersama.
Jika ternyata saranku hanya membuatnya lelah tanpa arti. Memikirkan hal itu membuatku merasa seperti menelan peluru timah di perutku.
Namun, aku tidak berpikir dia adalah wanita yang bisa melakukan pertimbangan seperti itu. Maaf kalau tidak sopan.
Bukan berarti dia tidak peduli pada orang lain, tapi lebih karena dia tidak punya energi lebih untuk memikirkan orang lain. Jika mengenal kesopanannya, mungkin akan memahami bahwa pada dasarnya dia adalah wanita yang baik.
Tapi, sejak pertama kali bertemu. Sajo-san selalu kewalahan dengan dirinya sendiri, tidak punya ruang untuk memperhatikan sekitarnya. Hatinya sangat tidak stabil sampai-sampai dia bisa menangis tiba-tiba.
Karena Sajo-san yang seperti itu, yang pada akhirnya tidak bisa mempertimbangkan orang lain, menilai ini “baik”, mungkin kekhawatiranku berlebihan...
Reaksinya terlalu halus untuk dikatakan menyenangkan, membuat hati bergetar. Seperti air yang bergelombang dalam gelas karena getaran, bergoyang-goyang.
Didorong oleh kecemasan, aku balas menatap mata gelapnya. Namun, dia tidak menjawab pertanyaanku. Dia hanya terus memandang ke depan.
Bagaimana ya. Ada sesuatu yang mengganjal di dadaku. Ingin rasanya menggaruk dan menghilangkannya seperti keropeng, tapi kecemasan hati tidak bisa dihilangkan dengan kuku.
Pergi ke sekolah atau tidak. Yang memilih hanyalah Sajo-san, tapi aku merasa kecewa karena berpikir akan pergi ke sekolah sendirian lagi.
"Besok aku tidak akan menambahkan gula ke tamagoyaki."
Topik yang tiba-tiba. Aku memiringkan kepala sambil bergumam "eh" karena tidak bisa memahami maksudnya.
Arah pandanganku. Pipi Sajo-san memerah. Itu bukan karena matahari yang tenggelam di cakrawala, tapi aku merasa itu benar-benar karena panas yang muncul dari emosinya.
Sajo-san menggigit bibir bawahnya seolah menahan sesuatu. Bibirnya yang gemetar perlahan terbuka sedikit.
"... A-aku lebih suka yang ada daun bawang karena rasanya segar."
Hanya itu, katanya.
Dia berjalan cepat ke depan.
Aku menatap punggung gadis berambut hitam yang mengecil saat dia kabur dengan cepat, mulutku terbuka sejenak karena terkejut. Namun, segera setelah itu senyum mengembang di wajahku.
Aku sangat memahami arti kata-katanya.
Hanya saja, caranya sangat berbelit-belit dan berliku-liku.
Dia benar-benar tidak jujur.
Tapi, perasaan yang kurasakan bukanlah kebingungan.
Meskipun matahari akan segera terbenam, dadaku terasa hangat seolah diterangi oleh matahari musim panas yang bersinar terang. Meskipun masih di tengah musim hujan, langit berwarna merah delima tanpa awan, benar-benar cerah. Dengan gelisah, aku berlari ke sampingnya yang melarikan diri.
Aku membungkuk dan mendongak untuk melihat wajahnya dari bawah, tapi dia memalingkan wajahnya seolah berkata "jangan lihat".
Namun, aku tidak bisa mengalihkan pandanganku dari wajah sampingnya yang cantik dan lehernya yang tidak bisa disembunyikan, perasaanku bergejolak melihat kulitnya yang memerah.
Sama seperti bekal, dia mencoba menyampaikan perasaannya dengan jujur. Tapi, kali ini saja aku akan mengikuti caranya.
"Aku juga suka tamagoyaki dengan daun bawang yang rasanya segar lho?"
"... Aku tidak tahu."
"Oh, tidak tahu ya. Begitu ya."
"Apa-apaan itu... Menyebalkak."
Kata-kata yang pedas.
Namun entah mengapa, bahkan itu pun terasa menggemaskan.
Selama kami berjalan bersama kembali ke apartemen, aku tidak bisa menghilangkan senyum lebar di wajahku.
■■
"Ngomong-ngomong, apa itu kipas?"
"... Kyun?"
"... (Menatap dengan mata dingin seolah melihat serangga)"
Anda memiliki 1 pesan suara
Piiii──
"Ah, Onii-san.
Aloha~. Apa kabar?
Ini suara adik perempuanmu yang super imut lho.
Bagaimana? Senang? ──Bilang senang dong?
Yah, aku tidak punya banyak waktu jadi lupakan saja.
Aku hanya ingin memberitahu bahwa batas waktu pindahan sudah hampir tiba.
Sudah siap-siap?
Ibu menyuruhku menanyakan ini padamu. Adikmu yang cantik ini sama sekali tidak berniat membantu, jadi berjuanglah ya.
Aku akan menelepon lagi nanti, jadi pastikan kamu mengangkatnya ya?
Ini dari adik perempuanmu yang paling imut di dunia. Dah~."
──Piiii
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.