Bab 1
Golden Week yang Penuh Kesabaran
Awalnya, Umi yang lebih antusias
dengan rencana liburan ini, namun seiring dengan pembicaraan yang terus
berlanjut, aku juga semakin merasa kalau aku benar-benar ingin pergi.
Taman hiburan, pemandian air panas,
tempat-tempat wisata terkenal──meskipun anggaran kami tidak memungkinkan untuk
pergi terlalu jauh, jika hanya untuk perjalanan dua hari satu malam, gajiku
dari pekerjaan paruh waktu bisa dihabiskan untuk itu.
Setelah berdiskusi, kami sepakat
untuk merencanakan perjalanan sekitar dua bulan ke depan, tepatnya di akhir
bulan Juni.
Kebetulan, pada waktu itu sekolah
kami akan merayakan ulang tahunnya, yang artinya kami akan mendapatkan libur
tambahan pada hari Jumat, sehingga bisa menikmati akhir pekan yang panjang.
Waktu yang sempurna untuk liburan singkat, pikirku.
“Sebenarnya, lebih baik kita
merencanakan liburan di masa libur musim panas, ya?”
“Itu dia. Tapi sekolah kita sangat
sibuk di musim panas. Terutama tahun ini, kan ada acara pekan olahraga.”
Di sekolah kami, festival budaya dan
pekan olahraga diadakan bergantian setiap tahun. Namun, tidak seperti festival
budaya yang biasanya berlangsung di musim gugur, pekan olahraga justru selalu
diadakan pada awal September, tepat setelah libur musim panas berakhir.
Meski libur musim panas berlangsung
sekitar satu setengah bulan, sebagian besar waktu di bulan Agustus akan
dihabiskan untuk persiapan dan latihan menjelang pekan olahraga.
Itu bagi siswa biasa, sementara untuk
siswa yang menjadi panitia pelaksana atau anggota OSIS, mereka bahkan harus
datang ke sekolah hampir setiap hari, kecuali beberapa hari selama libur Obon.
Entah mengapa, rasanya sekolah kami
memiliki dendam terhadap liburan musim panas.
Namun, apa yang sudah ditetapkan
tidak bisa diubah, jadi kami hanya bisa mengatur rencana sebisanya.
Seperti yang disebutkan sebelumnya,
waktu liburan musim panas sudah penuh. Dan setelah itu, kami juga harus mulai
memikirkan persiapan ujian masuk universitas di tahun berikutnya. Jadi, bagi
kami, inilah waktu yang paling tepat.
“...Maki, soal liburan ini, kamu
sudah membicarakannya dengan Bibi Masaki?”
“Belum. Tapi hari ini sepertinya dia
akan pulang lebih awal, jadi aku rencananya akan meminta izin saat dia sampai
di rumah. Kalau begitu, kamu juga belum membicarakannya dengan Sora-san, kan?”
“...Hehehe.”
Sepertinya Umi juga belum sempat
meminta izin. Meski bagi pasangan kekasih, bepergian bersama adalah hal yang
wajar, kami masih siswa SMA kelas dua──dengan kata lain, kami masih dianggap
anak-anak. Apa pun yang kami lakukan, baik itu membeli ponsel, membuka rekening
bank untuk menerima gaji dari pekerjaan paruh waktu, semuanya memerlukan izin
dari orang tua.
Untuk liburan ini, sebenarnya tidak
ada aturan yang melarang, dan ada orang dewasa yang mungkin berkata, “Kalian masih
muda. Jadi pergi saja sana. Oh, dan sekalian ‘itu’ juga.” (Catatan: Yumi-senpai).
Tapi tetap saja, normalnya, meminta izin dari orang tua sangatlah penting,
mengingat kemungkinan adanya kejadian tak terduga selama perjalanan. Ini
berbeda dengan hanya pergi bermain ke pusat perbelanjaan atau taman hiburan.
“Jadi, kita memang harus segera
memberitahu soal rencana liburan ini. Menurutmu, kira-kira Sora-san akan
mengizinkan?”
“Sejujurnya, rasanya agak sulit.
Bagaimana dengan ibumu?”
“Mungkin, sama saja.”
Meski aku dan Umi belum secara
langsung meminta izin untuk pergi berlibur berdua, kami sudah mencoba mencari
tahu secara tidak langsung. Namun, reaksi dari ibuku (dan mungkin juga Sora-san
serta Daichi-san) tidak begitu baik. Mereka mungkin tidak terlalu khawatir soal
liburan kelulusan atau apa pun setelahnya, tetapi sebagai orang tua, tentu saja
ada banyak hal yang mereka khawatirkan.
Meskipun aku bisa memahami
kekhawatiran mereka, waktu yang tersisa untuk kami bersenang-senang semakin
sedikit. Masa SMA yang hanya sekali dalam seumur hidup ini sudah hampir
berjalan setengah.
Aku yakin hubungan kami akan terus
berlanjut setelah lulus (setidaknya aku berharap begitu), tetapi ada kenangan
yang hanya bisa kami ciptakan sekarang, di masa-masa seperti ini.
Meskipun kemungkinan besar permintaan
kami akan ditolak, perasaan kami tetap harus disampaikan dengan jelas.
“Umi, bagaimana kalau sepulang
sekolah nanti, aku ikut mampir ke rumahmu? Aku ingin meminta izin langsung pada
Sora-san.”
“Kamu yakin? Kalau kamu ikut, aku
juga akan lebih mudah untuk meyakinkannya... Baiklah, aku akan memberitahu
ibuku. Oh, sekalian saja, kita makan malam bersama, ya?”
Dengan izin dari Sora-san, makan
malam bersama pun direncanakan secara mendadak. Tapi aku harus bersiap-siap
untuk mendapatkan ceramah yang mungkin akan cukup panjang. Bagaimanapun, ketika
berbicara tentang perjalanan berdua, ada hal-hal lain di luar sekadar liburan
yang perlu dipertimbangkan.
Mungkin ini hanya masalah pribadi
bagiku, tetapi selain rencana perjalanan dengan Umi, ada satu hal lain yang
terus terpikirkan dalam benakku, yaitu mengenai hubungan kami.
Meski aku menyebutkan tentang
hubungan kami, sebenarnya tidak ada masalah apa pun. Hubungan kami sejauh ini
berjalan dengan sangat baik. Mulai dari perayaan Natal, Tahun Baru, Hari
Valentine, White Day, ulang tahun Umi yang pertama sejak kami resmi berpacaran,
hingga pertandingan antar-kelas baru-baru ini, setiap momen bersama semakin
mempererat ikatan kami. Bahkan, kami sudah menjadi pasangan yang sering disebut
“bucin” oleh teman-teman dan keluarga.
Setelah kami menjadi sepasang
kekasih, rasanya cinta dan kasih sayangku terhadap Umi justru semakin dalam.
Sejujurnya, aku merasa ingin semakin dekat dengannya, semakin erat.
Jika perjalanan kami pada akhir Juni
nanti benar-benar terwujud, pada saat itu tepat enam bulan sejak kami mulai
berpacaran. Enam bulan berpacaran... kurasa sudah waktunya bagi kami berdua
untuk mengambil langkah lebih jauh dalam hubungan ini, lebih dari sekadar
pasangan biasa.
“Eh, Maki, masih lama kan sebelum
makan malam? Ayo, sambil menunggu kita nonton film yang aku sewa. Duduk sini,
di sebelahku,”
“Oh, baiklah. Kalau begitu, permisi,”
jawabku sambil meletakkan camilan dan minuman yang tadi kami beli dari
minimarket di atas meja. Aku kemudian duduk di sofa di sebelah Umi.
Sofa itu sebenarnya cukup lebar untuk
kami duduk dengan nyaman, tetapi kami lebih suka duduk berdekatan, saling
merapatkan tubuh, bahkan menggenggam tangan dengan erat. Ini adalah kebiasaan
kami setiap kali bersama.
“Fyuhh, beberapa waktu yang lalu,
cuaca masih terasa dingin, tapi sekarang sudah mulai masuk Mei, jadi lumayan
panas ya. Maki, boleh tidak aku lepas blazerku? Sedikit tidak sopan sih,
tapi...”
“Ya, tentu. Di rel tirai ada
gantungan, kamu bisa pakai itu,”
“Terima kasih,” kata Umi sambil
tersenyum.
Biasanya, Umi selalu berpakaian rapi
dengan seragamnya. Namun, saat sedang di sini, ia sedikit lebih santai.
Setelah melepas blazer dan melepaskan
dasi pita, ia membuka kancing pertama dan kedua pada blusnya, memperlihatkan
kulit putihnya yang biasanya tertutupi. Aku pun refleks mengalihkan pandangan.
“Hehe... Maki, ada apa? Wajahmu merah
sekali,”
“Ah, tidak ada apa-apa kok... mungkin
karena cuaca panas hari ini,”
“Hmm, begitu ya? Baiklah kalau
begitu~,” ucapnya dengan nada menggoda, lalu dengan manja ia semakin mendekatkan
tubuhnya dan menyandarkan kepalanya di lenganku.
Akhir-akhir ini, tanpa bisa kucegah,
aku sering memandang Umi dengan perasaan yang berbeda, perasaan yang lebih
mendalam. Aku sadar, mungkin ini adalah bagian dari hubungan yang lebih dewasa,
tetapi tidak bisa ku pungkiri kalau perasaan ini semakin kuat.
Ada belahan dada yang terlihat
melalui celah blus, dan paha yang tidak bisa disembunyikan hanya dengan rok
seragam.
Sejujurnya, saat kami pertama kali berpacaran,
aku tidak terlalu memikirkannya setiap hari.
Aku merasa puas hanya dengan berada
di sampingnya dan bersentuhan kulit dengannya, tetapi seiring berjalannya waktu
dan hubungan kami semakin santai, aku tiba-tiba merasakan keinginan untuk
melihat dan menyentuhnya di tempat yang lebih ekstrem.
Meskipun aku biasanya pendiam di
sekolah, begitu aku mengupas kulit ku, aku adalah salah satu anak laki-laki SMA
yang paling normal yang tertarik pada masalah seksual.
Ada seorang gadis di depanku yang
sangat imut, sangat bergaya dan dengan bangga ‘mencintai’ aku,
jika boleh jujur.
......Tidak heran aku memiliki keinginan untuk
melakukannya.
‘”Oh, bukankah adegan ini cukup mengesankan?
Lumayan kalau kualitas ini terus berlanjut sepanjang film, kan?”
“Uh, ya.…Yah, menurutku ini seperti situasi
orang dewasa.”
Sungguh menyenangkan menonton film
dengan kami berdua ngobrol tentang hal-hal seperti ini, tapi dalam situasi yang
aku hadapi saat ini, aku tidak bisa berkonsentrasi bahkan setengahnya.
Hiu menyerang manusia ketika mereka
terdampar di pantai dari perairan dangkal.
Sensasi lembut Umi di lengan aku.
Kulit putih yang mulus.
Para pria paduan suara yang sedang
dikumpulkan.
Aroma manis dari Umi yang bercampur
dengan keringat.
Sesuatu yang menggelitik telinga ku,
suara nafas lembut dari Umi.
......Setengah, atau lebih tepatnya, 70-80%
dari waktuku menonton film, hanya terfokus pada gadis di sebelah ku.
Meskipun cuaca mulai hangat setelah
melewati musim dingin, mungkin itu juga berpengaruh, tetapi pikiran ku hari ini
cenderung sangat tidak terkontrol.
Waktu bahagia bersama berdua ini
sangat menyenangkan, tetapi aku sedikit berharap, hanya sedikit, agar waktu
berlalu lebih cepat.
Hanya pada saat-saat seperti inilah, waktu
film terasa lebih lama dari biasanya.
Dan kemudian...
“...... Maki, ada celah.”
“Ugh....., Umi, jangan tiba-tiba
mencolekku dari samping. Meskipun aku sudah mulai terbiasa, aku masih sensitif
kalau tiba-tiba.”
“Hehe.
Karena Maki tampak melamun, jadi aku isengin.”
“Yah, ini adalah gaya menonton aku
biasanya.”
Benarkah? Hmm, tidak yakin.
Uri-uri!"
“Ah...! Sudah kubilang, tolong
berhenti.”
Sensasi sentuhan Umi terasa lebih banyak
dari biasanya. Meskipun dikelilingi oleh berbagai rangsangan dari penglihatan,
sentuhan, dan penciuman, aku berhasil bertahan sepanjang film dengan sedikit
ketenangan.
“...Hmm, awalnya aku ragu, tapi
setelah selesai, ternyata cukup menarik. Maki, pilihanmu tidak buruk. Aku akan
memberikan pujian untukmu.”
“Terima kasih untuk itu.”
Saat film berakhir dan credit scene muncul,
Umi meregangkan tubuhnya seperti busur. Seketika, tanpa sadar pandanganku
tertuju pada blouse Laut yang ketat saat dia meregangkan tubuhnya... Aku
berhasil menahan diri untuk tidak melihatnya.
Aku menyadari kalau aku adalah orang
yang cukup penasaran, tetapi hari ini, rasa penasaranku terhadap gadis ini
lebih dari biasanya.
“Ah, ibu mengirim pesan. …Hm, apa
ini? ‘Hari ini ibu membeli sushi, jadi bawa Maki lebih cepat.’ Sepertinya hari
ini akan ada hidangan spesial.”
“Maaf jika selalu merepotkan... tapi
terima kasih.”
Meskipun
sedikit lebih awal dari waktu yang dijanjikan, aku tidak ingin menunggu makanan
yang lezat terlalu lama. Kami segera bersiap dan meninggalkan rumah Maehara.
Walaupun
pikiranku penuh dengan godaan, tujuan hari ini tetaplah untuk mendapatkan izin
untuk perjalanan. Jika aku bisa mendapatkan izin dari Sora-san, akan lebih muda
untuk meyakinkan ibuku, jadi aku berharap bisa meminta persetujuan darinya
terlebih dahulu.
Kami
berdiskusi tentang bagaimana meyakinkan Sora-san saat menuju ke rumah Asanagi
yang sudah sangat familiar. Begitu kami memasuki rumah, aroma bunga yang segar
menyambut kami, mungkin karena hobi Sora-san berkebun dan bertani.
Dulu, saat
aku diundang kesana ketika kami masih berteman, aku sangatlah gugup. Namun,
setelah beberapa kali makan bersama setiap satu atau dua bulan, dan beberapa
kali menginap karena sakit, aku jadi terbiasa.
Langkah kaki cepat Sora-san terdengar
dari ruang tamu, menandakan dia menyadari kepulangan Umi.
“Ibu, aku pulang. Aku sudah membawa
Maki,” kata Umi sambil membuka pintu.
“Aku pulang, Sora-san,” sapaku dengan
sopan.
“Fufu, selamat datang kalian berdua.
Sushi-nya sudah sampai, jadi cepatlah ke sini. Tapi, pastikan kalian cuci
tangan dulu, ya,” jawabnya dengan senyum hangat.
Akhir-akhir ini, Sora-san selalu
menyambutku dengan ucapan “selamat datang” setiap kali aku datang ke rumah ini.
Meskipun aku bukan bagian dari keluarga Asanagi, rasanya agak aneh tapi
menyenangkan.
Bagiku, rumah ini sudah seperti rumah
kedua. Tentu saja, aku tetap menjaga sopan santun agar tidak bersikap kurang
ajar.
Setelah mencuci tangan bersama Umi di
kamar mandi, kami masuk ke ruang tamu. Di sana, seperti biasa, meja dipenuhi
dengan hidangan yang terlihat sangat lezat. Di tengah meja terdapat baskom
sushi yang diantar, dikelilingi oleh berbagai hidangan lainnya seperti salad
dengan sayuran berwarna-warni, buah-buahan segar, ayam goreng sayap, nikujaga
yang penuh dengan daging sapi, serta semangkuk besar sup miso yang masih
mengepul. Semua ini adalah hidangan khas Jepang yang membuat meja hampir penuh.
“Aku memasak terlalu banyak lagi,
jadi nanti sisanya kamu bawa pulang ya, Maki-kun. Oh, ngomong-ngomong, aku
dapat kabar dari Masaki-san. Katanya, selama liburan ini dia masih sibuk, ya?”
“Yah... meskipun libur panjang, di
rumah kami tidak banyak yang berubah,”
Keluarga Asanagi memang sangat baik
pada keluargaku, terutama pada ibuku. Sejak berteman dengan Sora-san yang
seumuran, ibuku mulai menemukan kembali keceriaan yang sempat hilang setelah
kami hanya hidup bertiga. Dalam banyak hal, kehadiran mereka benar-benar
membantu.
Hari ini, suasana makan malam semakin
istimewa dengan kehadiran tamu yang jarang hadir.
“─Yo,” tiba-tiba terdengar suara dari
arah lain.
“Ah, Riku-san... te-terima kasih
sudah mengizinkan aku datang,”
“Gee? Kakak... kenapa kamu di sini?”
Biasanya, Riku-san, kakak Umi, jarang
terlihat ketika aku berkunjung. Sebagian besar waktu, dia selalu berada di
lantai atas, di kamarnya. Bahkan jika terlihat, itu hanya sekilas saat dia
keluar untuk ke kamar mandi.
Namun, hari ini berbeda. Dia
mengenakan pakaian rapi berupa kemeja musim semi dan celana jeans, bukannya
pakaian rumah yang biasa dia pakai. Sejujurnya, butuh beberapa detik untuk
mengenalinya.
“Kenapa kamu ada di sini? Cuaca hari
ini tidak sedang bersalju, kan?”
“Yah, ini rumahku, jadi jelas aku di
sini. Bodoh. Kamu mengolok-olok kakakmu yang sudah lebih dari sepuluh tahun
jadi seniormu?”
“Hah? Setidaknya aku tidak seperti
seseorang yang terus-terusan murung dan terkurung di kamar,”
“Apa?”
“Apa?!”
Kakak beradik Asanagi, meski
sebenarnya tidak pernah bertengkar serius, selalu saja saling melemparkan
ledekan ringan saat aku berada di sini. Meski aku ingin berpihak pada Umi, kali
ini jelas-jelas dia yang memulai, jadi agak sulit untuk membelanya.
“Hei, kalian berdua hentikan
sekarang. Maki-kun mungkin sudah terbiasa, tapi tetap saja kalian membuat
suasana tidak nyaman di depan tamu,” tegur Sora-san sambil memberi keduanya jentikan
kecil di dahi.
“Ow...”
“Aduh!”
Teguran kecil dari Sora-san langsung
meredakan ketegangan antara mereka berdua.
“Maafkan mereka, ya, Maki-kun.
Gara-gara dua anak bodohku ini, suasana makan malam jadi kacau,” kata Sora-san
sambil tersenyum padaku.
“Oh, tidak apa-apa. Tolong jangan
khawatirkan aku,”
Meskipun Umi dan Riku-san sudah cukup
dewasa, tampaknya jentikan jari Sora-san cukup menyakitkan, karena keduanya
tampak menahan sakit dengan memegang dahi masing-masing. Itu membuatku
khawatir, jika nanti pembicaraan kami soal liburan tidak berjalan baik, mungkin
aku juga akan mendapatkan hukuman yang serupa.
Setelah suasana kembali tenang, kami
pun memulai makan malam dengan suasana yang lebih hangat dan nyaman.
Meskipun sushi pesanannya enak, bagi ku,
masakan yang dibuat oleh Sora-san tetap yang paling lezat. Saat aku menyantap
karaage dan nikujaga dengan bumbu yang sedikit lebih kuat, disesuaikan dengan
selera kami bertiga yang lebih muda—aku, Umi, dan Riku-san—meskipun sedang
makan sushi, tubuhku tanpa sadar menginginkan nasi putih yang baru matang.
“Eh? Maki, kamu makan daging lagi...
Kalau kamu tidak makan sayur, tubuhmu akan cepat kembali tidak sehat. Nih, biar
aku ambilkan, serahkan piringmu.”
“Ah... maaf,”
“Serius, kalau aku tidak menjagamu,
kamu jadi ceroboh... Nah, ini, makanlah,” kata Umi sambil menyerahkan sayur
padaku.
“Terima kasih, Umi.”
“Yah, setidaknya aku bisa melakukan
ini... Kenapa, Bu? Kok Ibu memandang kami begitu sambil senyum-senyum?”
“Haha, soalnya, dalam waktu singkat
saat aku tidak melihat, kamu sudah seperti istri Maki-kun saja. Tapi kalau kamu
benar-benar ingin menjaga kesehatan pacarmu seperti itu, sudah waktunya kamu
belajar memasak dengan serius, ya?” goda Sora-san sambil tertawa kecil.
“Y-ya... aku akan berusaha,”
Setelah Valentine, Umi tampaknya
tidak hanya berusaha dalam membuat cokelat. Bahkan, gateau au chocolat
yang dia buat sebelumnya sudah berhasil, jadi kalau dia terus berlatih, aku
yakin Umi bisa memasak dengan baik. Entah kapan itu terjadi, tapi aku
menantikan saat bisa menikmati masakan atau bekal buatan Umi.
...Tentu saja, jika nanti ada masakan
yang gagal, aku akan dengan senang hati menerimanya, bahkan jika itu berupa
“arang” yang dinamai kue kering.
“Ngomong-ngomong, Kak, aku tidak
sempat bertanya, kenapa kamu berpakaian seperti itu? Untuk pergi ke konbini,
rasanya kamu terlalu bersemangat deh,”
“Oh, soal itu... Eh, dengar, Umi,
hari ini Riku-san tiba-tiba jadi semangat, dia—” Sora-san mulai bercerita.
“Tunggu, Bu, jangan bilang ke dia!”
sergah Riku-san dengan cepat.
“Apa salahnya? Dia kan adikmu,
pastinya khawatir denganmu. Benar, Umi?”
“Eh? Yah, sebenarnya... aku sih
rencananya mau keluar rumah setelah lulus SMA, jadi aku tidak terlalu—”
“Khawatir, kan?” tekan Sora-san
dengan nada serius.
“Uh, iya. Benar juga,” jawab Umi,
terpaksa.
Sora-san memang bisa menunjukkan sisi
tegasnya, dan Umi tampak sedikit terkejut dengan tekanan itu. Namun, soal Riku-san,
bahkan aku yang tidak terlalu dekat dengannya merasa sedikit penasaran.
Aku tahu cukup banyak tentang Umi,
Sora-san, dan bahkan Daichi-san dari percakapan-percakapan kami sebelumnya,
tapi Riku-san masih seperti teka-teki bagiku. Usianya mungkin sudah mendekati
tiga puluhan, dan dia tidak bekerja serta menghabiskan waktu sehari-harinya di
rumah... Ada sesuatu yang membuatnya memilih kehidupan seperti ini, tapi
kelihatannya ada perubahan di dalam dirinya belakangan ini.
Sebenarnya, aku punya firasat tentang
apa yang terjadi pada Riku-san hari ini.
“Maaf, Riku-san... mungkin ini bukan
urusan aku, tapi apakah Kamu tadi pergi ke kantor tenaga kerja? Soalnya, saat
kami tiba, aku sempat melihat Kamu seperti menyembunyikan dokumen semacam itu.”
“Eh? Serius, Kakak? Kakak pergi ke
sana?” tanya Umi, terkejut.
“Iya, memang. Kenapa? Ada masalah?”
jawab Riku-san dengan nada datar.
“Tidak, justru itu hal yang bagus.
Tapi... kenapa tiba-tiba?”
“Sama, aku juga penasaran. Apa yang
membuatmu tiba-tiba berubah, Riku-san?”
“Astaga, ibu dan anak ini benar-benar
menekanku... Memang, aku akui ini cukup mendadak,”
Ternyata dugaanku benar. Sementara
aku dan Umi asyik menonton film tentang hiu, Riku-san tampaknya memutuskan
untuk mengambil langkah baru dalam hidupnya. Sora-san dan Daichi-san
jelas-jelas sudah lama khawatir tentang dia, jadi aku bisa mengerti kenapa
Sora-san tampak begitu senang sekarang.
Apapun alasannya, Riku-san mengambil
langkah berani ini, dan itu pasti hal yang baik. Meski begitu, ada sesuatu di
wajahnya yang membuatku merasa masih ada hal lain yang dia pikirkan.
Mungkin Riku-san merasa lelah setelah
sekian lama tidak mencari pekerjaan. Meskipun ada banyak makanan di depannya,
dia tampak tidak terlalu bersemangat untuk makan.
“Sudahlah, tidak perlu membicarakan
aku terus. Memang benar aku pergi ke kantor tenaga kerja, tapi tidak ada hasil
yang berarti.”
“Kenapa tidak coba kerja paruh waktu
saja? Di tempat kerja paruh waktu nya Maki, mereka masih mencari pegawai, kan?”
“Iya, katanya salah satu bagian
delivery baru saja berhenti. Kalau ada yang punya SIM, manajer bilang mereka
butuh segera...”
Tapi meskipun ada lowongan, syaratnya
tidak terlalu bagus. Bagi siswa sepertiku atau pekerja paruh waktu mungkin
masih cocok, tapi tidak untuk Riku-san yang usianya lebih matang.
“Ngomong-ngomong, Maki, kamu sendiri
punya sesuatu yang ingin dibicarakan, kan? Aku lihat kamu membawa tote bag
dengan sesuatu yang aneh, seperti majalah atau sejenisnya.”
“Hah? Kamu ngintip barang pacar
orang? Itu benar-benar keterlaluan,” keluh Umi dengan nada marah.
“Sudahlah, Umi, dia hanya bercanda.
Lagipula, akulah yang pertama kali memulai,”
Karena biasanya aku datang dengan
tangan kosong, pasti tidak hanya Riku-san yang merasa aneh melihatku membawa
tas. Mungkin Sora-san juga penasaran. Tas ini berisi majalah perjalanan yang
sudah aku siapkan bersama Umi untuk merencanakan sebuah perjalanan sebagai
bahan pembicaraan nanti.
“Baiklah, aku mengerti. Tapi kita
bicarakan ini setelah makan, ya. Besok kalian libur, jadi tidak masalah jika
pembicaraan ini berlangsung lebih lama. Maki-kun, menginaplah di sini malam
ini. Baju ganti yang kamu pakai sebelumnya masih ada,” kata Sora-san sambil
tersenyum.
“Baik, terima kasih. Aku akan
menerima tawaran itu,”
Malam ini sepertinya akan sedikit
lebih panjang, entah hasil pembicaraan kami akan berjalan lancar atau tidak.
Setelah menghabiskan sebanyak mungkin
makanan yang disiapkan, sisa karaage dan nikujaga dimasukkan ke dalam wadah.
Lalu aku, Umi, dan Sora-san pindah ke ruang tamu. Di sana, bau khas dari tatami
menguar, mengingatkanku pada tempat biasa yang digunakan saat aku menginap di
rumah ini. Tapi kali ini, suasananya terasa sedikit berbeda dengan Sora-san
yang duduk di seberang meja.
“Jadi, kalian berdua, ada apa?
Jangan-jangan kalian sudah melakukan sesuatu yang keterlaluan karena terbawa
suasana?”
“T-tidak mungkin! Kami belum
melakukan hal semacam itu!”
“Oh? Belum, ya?”
“Aku tidak bilang apa-apa! Sudahlah,
ibu jangan bercanda terus.”
“Tapi kalian memang sangat dekat,
lho. Lihat saja, kalian terus menempel satu sama lain.”
“Yah, apa salahnya? Kami ini
pasangan, kan,” jawab Umi, masih dengan pipi yang memerah, tapi tetap saja dia
tidak melepaskan tangannya dariku.
Aku merasa inilah saat yang tepat
untuk memulai pembicaraan.
“Sora-san, apakah Kamu tahu kalau di
sekolah kami, pada akhir Juni nanti ada hari libur memperingati hari jadi
sekolah? Di kalender, jatuh pada hari Senin terakhir,”
“Ya, aku tahu. Karena berdekatan
dengan akhir pekan, kalian jadi punya libur tiga hari. Kalau untuk kencan,
kalian bebas saja melakukannya,”
“Bu, kalau hanya kencan sehari, kami
tidak perlu berbuat seperti ini,”
“Itu benar. Tapi bukannya sudah pasti
kalian ingin kencan biasa. Kalau ada rencana lebih dari itu, kalian harus
menyampaikan dengan jelas, kan? Kalian yang meminta, kami yang dimintai izin.
Paham?”
“Mmm... iya, mengerti...” Umi tampak
kesal, diam-diam mencubit pinggangku sebagai bentuk protes.
Dia benar-benar menggemaskan saat
menunjukkan sisi manisnya yang biasa tidak terlihat di sekolah, meski aku harus
menahan sakit akibat cubitannya.
Sambil menenangkan Umi yang tampak
merajuk, aku kembali fokus pada topik utama.
“Sora-san, aku ingin meminta izin.
Selama libur tiga hari tersebut, aku ingin mengajak Umi pergi berlibur.”
“Berdua saja?”
“Iya,” jawab kami serempak.
Sepertinya kami harus bersabar
sebelum membuka majalah dan dokumen yang sudah kami siapkan. Momentumnya belum
tepat.
Namun, sebelum aku sempat
melanjutkan, Sora-san menatap kami berdua dengan mata yang serius, tetapi
kemudian, dengan nada yang santai, dia mengucapkan kata-kata yang tak terduga.
“Hmm... baiklah, kalian boleh pergi.”
“Eh?”
“Hah?”
Jawaban itu membuat aku dan Umi
terdiam, kebingungan. Kami benar-benar tidak menyangka akan mendapatkan izin
dengan begitu mudahnya.
“Kenapa? Apakah ada yang aneh dengan
apa yang aku katakan?” tanya Sora-san dengan ekspresi tenang.
“Tidak, bukan begitu... hanya saja,
kan?” jawabku sambil melirik ke arah Umi, yang mengangguk setuju.
Aku dan Umi telah mempersiapkan
segala sesuatunya dengan sangat hati-hati, mengira kalau mendapatkan izin akan
jauh lebih sulit. Karena itulah, kami agak kebingungan saat permintaan kami
langsung diterima begitu saja.
“Yah, setelah mendengar Umi mengeluh
setiap hari sejak bulan April, aku merasa dia pantas mendapatkan sedikit
kebebasan. Lagipula, aku juga pernah muda dan mengalami hal yang sama. Aku tidak
berada dalam posisi untuk terlalu ketat,”
Keluhan Umi tentang perubahan kelas
di awal semester memang sering kali terdengar, meskipun ia tidak pernah secara
langsung mengeluh kepada ibunya, jelas semuanya sudah sampai ke telinga
Sora-san.
“Jadi, sejauh mana kalian telah
merencanakan ini? Kalian berdua sangat teliti, pasti semuanya sudah dipikirkan
dengan baik, bukan?” tanya Sora-san, sambil melirik kami dengan pandangan
penasaran.
“Ah, ya. Ini dia...”
Dengan dorongan dari Umi, aku
mengeluarkan majalah perjalanan dan beberapa lembar cetakan dari situs web yang
telah kami persiapkan dari dalam tote bag.
Di dalamnya terdapat beberapa opsi
destinasi, tempat menginap, alat transportasi, serta anggaran yang telah kami
hitung secara rinci.
Rasanya seperti kami sedang
mengajukan proposal bisnis, tetapi ini memang gaya kami berdua. Terlalu serius,
namun di balik semua itu, kami hanya pasangan yang terlalu mencintai satu sama
lain, sampai terkadang tindakan kami terasa berlebihan.
“Begitu, ya. Destinasinya tidak
terlalu jauh, dan mengingat waktunya, sepertinya tidak akan terlalu ramai. Resiko
masalah pun kecil,” ujar Sora-san sambil mengangguk memahami.
“Ya. Jika terjadi sesuatu, kami akan
segera memberi kabar. Lagi pula, akses transportasi cukup baik, jadi jika harus
pulang di hari yang sama, kami tetap bisa melakukannya.”
“Jadi, jika aku tiba-tiba berubah
pikiran dan melarang kalian menginap, kalian bisa segera kembali?”
“Umm... yah, meskipun mungkin aku
akan sedikit kecewa, kalau Ayah dan Ibu benar-benar khawatir, aku akan menurut,”
jawab Umi, setengah menggoda, setengah serius.
Jika akhirnya hanya menjadi
perjalanan pulang-pergi, maka itu tidak akan sepenuhnya dianggap sebagai
“perjalanan” dan lebih seperti “pergi sejenak.” Tentu saja, menginap akan lebih
menyenangkan, tetapi jika itu satu-satunya cara untuk mendapatkan izin, kami
harus siap berkompromi.
“Hmm, kalian sudah memikirkannya
dengan cukup matang. Kalau begitu, aku akan lebih mudah meyakinkan Ayahmu,”
kata Sora-san sambil menatap dokumen yang kami berikan.
“Ya, itu harapan kami. Kami berharap
Ibu bisa membantu menyampaikan ini kepada Ayah,”
“Tolong, Bu. Ini kesempatan
satu-satunya untuk kami, mengingat rencana ke depan,”
Kini, setelah menyampaikan niat kami,
keputusan terakhir ada di tangan Sora-san. Meski dia sudah mengizinkan kami
sebelumnya, kami tahu kalau keputusan akhir tidak sepenuhnya ada padanya. Untuk
meyakinkan Daichi-san, ayah Umi, dan ibuku, kami membutuhkan dukungan Sora-san
di pihak kami.
Saat kami menunggu respons dari
Sora-san, tiba-tiba suara dering telepon terdengar dari balik pintu geser.
“Hm? Siapa yang menelepon malam-malam
begini... Kalian tunggu sebentar, ya,” ujar Sora-san sambil keluar dari ruang
tamu untuk mengangkat telepon.
Begitu dia pergi, suasana tegang yang
tadi menyelimuti ruangan pun mulai mereda sedikit.
“Sepertinya, semuanya akan baik-baik
saja,” bisik Umi dengan senyum lega.
“Ya. Kalau tidak diizinkan, kita bisa
gunakan anggarannya untuk perjalanan kelulusan nanti,”
“Saat itu, kita harus merayakannya
lebih besar lagi. Kita bisa ajak Yuu dan Nina... juga,”
“Jangan lupa masukkan Nozomi juga.
Setelah lulus, kita mungkin akan jarang bertemu lagi.”
Meski ini masih rencana jangka
panjang, aku berharap bisa melakukan perjalanan kelulusan bersama lima sahabat
kami. Mereka, setelah Umi, adalah orang-orang terdekat dalam hidupku, dan
kesempatan seperti ini mungkin hanya tersisa sekitar dua tahun lagi.
Namun, sebelum aku sempat
melanjutkan, Sora-san kembali dan berkata, “Maaf membuat kalian menunggu. Ayo,
kita lanjutkan pembicaraannya.” Dia tampak sedikit lebih lelah daripada saat
keluar tadi, seolah ada sesuatu yang membuatnya kesal. Meski hanya beberapa
menit, ekspresinya terlihat lebih tegang, mengingatkanku pada wajah Umi saat
sedang kesal.
“Siapa yang menelepon, Bu?”
“Ibunya Daichi.”
“Nenek Mizore, maksudnya?”
“Ya, hanya menyampaikan beberapa hal
dengan singkat sebelum langsung menutup telepon, seperti biasa.”
“Memang seperti itu, ya... Kapan
kalian berdua akan berdamai?”
“Umi, Ibu selalu berusaha bersikap
baik, kok. Hanya saja, Nenekmu terlalu keras kepala.”
“Dengar-dengar, butuh waktu lama
sebelum hubungan kalian mencair, ya,” ujar Umi sambil tersenyum kecil.
Sepertinya telepon tadi datang dari
ibu mertuanya, yaitu ibu dari Daichi-san, ayah Umi.
“Umi, nenek Mizore itu...”
“Ya, dia ibu dari ayahku. Katanya,
sebelum aku lahir, mereka sempat tinggal bersama. Tapi entah kenapa, hubungan
mereka tidak begitu baik.”
“Umi, jangan terlalu banyak bicara
yang tidak-tidak ke Maki-kun,” Sora-san menegur.
“Aku hanya menyampaikan apa adanya,”
Meskipun aku sudah tahu kalau
hubungan antara Sora-san dan mertuanya tidak terlalu baik, aku merasa lebih
bijak untuk tidak ikut campur dalam hal ini. Apalagi, melihat bagaimana
beberapa menit saja bisa membuat Sora-san yang biasanya ramah tampak begitu
lelah, sepertinya nenek Umi memang cukup sulit dihadapi.
Namun, kembali ke topik utama—izin
untuk pergi liburan.
“Seperti yang sudah kukatakan
sebelumnya, secara pribadi aku tidak masalah jika kalian berdua ingin pergi.
Dari apa yang kalian tunjukkan, kelihatannya kalian sudah memikirkan semuanya
dengan matang,”
“Jadi, aku dan Maki bisa pergi
liburan bersama?”
“Hei, jangan terburu-buru
menyimpulkan segalanya. Sama seperti ayahmu, aku juga harus mempertimbangkan
banyak hal.”
“Jadi, maksudnya, meskipun secara
pribadi Sora-san setuju, tetap saja kalian belum bisa memberi izin, ya?”
Sora-san tersenyum lelah dan mengembalikan
dokumen yang kami berikan. “Iya, kira-kira seperti itu,” jawabnya.
Meskipun pada awalnya ia mengatakan
“boleh,” kami sudah menduga kalau keputusan akhirnya akan lebih rumit.
“Sebenarnya, aku percaya pada kalian.
Aku selalu mendengar cerita dari Umi setiap hari, dan Maki-kun, setiap kali
kamu datang, kamu selalu melaporkan dengan sopan. Bahkan suamiku dan Riku-san
pun menghargai sikapmu. Meskipun kalian terkadang terlalu mesra, aku tahu
kalian menjaga hubungan ini dengan baik. Jadi, sejujurnya, jika hanya
perjalanan singkat, aku tidak keberatan.”
“Namun, tetap saja, karena aku
putrimu, kamu khawatir kalau terjadi sesuatu, begitu?”
“Benar. Dan itu juga berlaku untuk Maki-kun,”
Sepertinya ibuku juga akan sampai
pada kesimpulan yang sama. Meski kami bisa pergi keluar rumah untuk sekolah
atau sekadar bermain di sekitar kota, risiko kejadian tak terduga selalu ada.
Namun, liburan menginap di luar kota menambah kekhawatiran karena kami masih
dianggap anak-anak meskipun sudah SMA.
“Seperti yang mungkin sudah kalian
rasakan, dalam hidup, ada yang namanya ‘kepantasan’. Meski aku ingin
mengizinkan kalian pergi, jika terjadi sesuatu, dampaknya akan besar. Ingat
waktu kalian pulang larut malam sebelum kalian mulai berpacaran? Jika aku terlambat
mendapat kabar dari Masaki-san, mungkin aku sudah melapor ke polisi.”
“.....”
Mendengar itu, aku dan Umi langsung
terdiam. Kejadian itu memang sempat menimbulkan kekhawatiran besar, dan jika
bukan karena ibuku yang cepat bertindak, situasinya mungkin akan menjadi lebih
parah.
Selalu harus memperhatikan pandangan
orang lain memang terasa menyusahkan, tapi aku yakin hal itulah yang membuat
kami bisa menjalani kehidupan yang aman saat ini.
“Jadi, kesimpulannya adalah, dengan
kondisi sekarang, aku masih belum bisa menyetujuinya. Jika kalian benar-benar
ingin pergi, kalian harus terlebih dahulu lulus ujian masuk universitas dan
lulus dari SMA,”
“...Sepertinya perjalanan sehari saja
juga tidak diperbolehkan, ya?”
“Aku ragu, tapi rasanya tetap lebih
baik jika ada satu orang dewasa yang menemani. Itu akan mengubah banyak hal.”
Jadi, maksudnya adalah harus ada
seorang pendamping (atau pengawas?) yang ikut, namun saat ini, tidak banyak
orang yang bisa diandalkan selain keluarga kami. Aku berpikir mungkin Yumi-senpai
bisa membantu, tetapi dia juga punya jadwal dan aku tidak ingin merepotkannya.
Selain itu, Umi juga tidak terlalu nyaman dengan Yumi-senpai.
“Mou... Padahal kami sudah memikirkan
segala sesuatunya dengan matang. Ibu ini sangat menyebalkan,”
“Tapi aku juga mengerti perasaan
Sora-san, jadi ini tidak bisa dihindari. Karena belum sepenuhnya ditolak, jadi
mari kita coba lagi nanti.”
“Ya, benar, Umi. Meskipun sekarang
tidak bisa, mungkin ada perubahan di masa depan.”
“Sepertinya tidak ada peluang seperti
itu... Tapi, seperti yang dikatakan Maki, kita mundur untuk hari ini,”
“Fufu. Ternyata, jika Maki-kun ada di
sampingmu, lebih mudah untuk meyakinkanmu. Biasanya, kamu sangat keras kepala
setelah keputusan dibuat,” ujar Sora-san sambil tersenyum.
“Hah!? Aku ini selalu fleksibel
seperti marshmallow... Maki, tadi kamu tersenyum, kan? Aku lihat itu!”
Umi mencubit pinggangku dengan keras,
dan meskipun Umi terlihat menggemaskan saat marah, aku berharap dia tidak
menyasar tempat yang baru saja memerah.
Jadi, aku dan Umi menyadari kalau
kami berdua kesulitan meyakinkan Sora-san. Meskipun kami tidak berada dalam
suasana tegang, pada akhirnya kami yang harus diyakinkan.
“Baiklah, pembicaraan kita sudah
berakhir dan waktunya sudah pas. Kalian berdua sebaiknya mandi sekarang. Oh,
tentu saja, masing-masing di kamar mandi yang berbeda, ya?”
“Bu, kalau terlalu menggoda, aku akan
marah meskipun ada Maki di sini,” ancam Umi.
“Oh, menakutkan sekali. Maki-kun,
anakku ini terus menggodaku. Tolong bantu aku,” kata Sora-san sambil bercanda.
“Uh, mengenai itu... sepertinya lebih
baik kalau itu diselesaikan dengan pembicaraan antara orang tua dan anak,”
jawabku, berusaha menghindar.
Sebagai tamu, aku mendapatkan giliran
pertama mandi, dan setelah selesai, aku mengenakan piyama yang disiapkan oleh
Sora-san. Meskipun ukurannya sedikit besar karena dulunya milik Riku-san yang
lebih tinggi, piyama yang agak longgar ini malah terasa nyaman.
Ketika aku kembali ke ruang tamu, Umi
menyambutku dengan penuh perhatian. Sepertinya pembicaraan tentang izin liburan
sudah selesai.
“Maki, bagaimana dengan suhu airnya?
Ini, teh barley dingin yang sangat segar untukmu,” kata Umi sambil memberikan
minuman.
“Terima kasih, Umi. Maaf, atas makan
malam dan izin menginapnya juga.”
“Tak masalah. Aku sudah bilang
berkali-kali, ini semua hanya karena keinginanku. Maki harus merasa
diperlakukan dengan baik. Eh, Maki, sekarang kamu bau shampoo rumah kami,” ujar
Umi sambil tersenyum senang.
Umi menempelkan wajahnya pada dadaku,
menghirup aroma shampo dengan lembut. Saat ini, hanya ada kami berdua di ruang
tamu karena Sora-san masih mandi, tapi aku merasa tidak nyaman karena
seolah-olah ada yang mengamati kami, meskipun sebenarnya tidak ada.
“Ah... Rasanya aku jadi mengantuk.
Aku malas, tapi mungkin aku akan tidur di sini malam ini. Bersama Maki,” kata
Umi dengan nada manja.
“Tidak boleh. Sora-san juga sudah
bilang, kita harus tidur di kamar masing-masing malam ini,”
“Ah, padahal waktu aku merawat Maki
dulu tidak masalah...” Umi mengeluh.
Aku mengerti perasaan Umi, tapi saat
itu adalah keadaan istimewa, dan sejak saat itu, Sora-san telah mengatur agar
kami tidur di kamar masing-masing.
Meski ada contoh sebelumnya, baik aku
maupun Umi kali ini dalam keadaan sehat dan bugar. Pasangan yang saling
mencintai dan semakin dekat seiring berjalannya waktu, berbagi satu kamar untuk
semalam. Meskipun sebelumnya kami hanya terhalang oleh penyakit, kali ini kami
tidak bisa memastikan apakah kami bisa menahan diri.
Aku membayangkan suasana malam yang
gelap dan tenang, di mana salah satu dari kami akan menyelinap ke dalam selimut
yang lain, tidur dalam keadaan sangat dekat. Bayangkan jika dalam suasana
seperti itu, Umi mengizinkanku dengan berkata, “…silahkan saja.”
Sora-san tentu saja mempertimbangkan
kemungkinan terjadinya kesalahan seperti itu.
Aku penasaran bagaimana perasaan Umi
tentang hubungan kami saat ini. Meskipun ini adalah masalah yang sensitif, aku
merasa perlu untuk membicarakannya.
Meskipun tidak cocok untuk dibahas di
rumahnya, jika aku melewatkan waktunya, bisa jadi masalah ini menjadi tidak
jelas.
“Umi… bisa bicara sebentar?”
“…Ya, apa?”
Sebelum memulai percakapan, aku
memastikan terlebih dahulu kalau tidak ada orang lain di sekitar kami. Riku-san
berada di kamarnya, dan Sora-san belum juga keluar dari kamar mandi… Jadi,
sekarang aman untuk membicarakannya.
Setelah pindah ke ruang tamu, aku
mulai berbicara lagi.
“Jujur saja, berbicara langsung
seperti ini cukup memalukan… tapi… Aku bertanya-tanya tentang, ───.”
“…H-hm.”
Kurasa Umi entah bagaimana bisa
merasakan suasana hatiku, tapi saat aku mengucapkan kata-kata itu, wajahnya
memerah saat aku menyebutkan hal tersebut. Dia tampak malu, tetapi tampaknya
siap untuk membicarakannya.
“Aku sudah tahu kok, Sungguh.
Terutama minggu ini, Maki memperhatikanku dengan cara yang cukup mesum, kan?
Aku tahu semuanya.”
“…Aku benar-benar minta maaf.”
“Yah… Aku juga sadar kalau tindakanku
sebelumnya adalah untuk mengujimu. Jadi, aku juga minta maaf jika tindakan itu
membuatmu merasa tidak nyaman.”
Tampaknya, Skinship dengan Umi hari
ini memang disengaja, tetapi sepertinya keputusan untuk tidak menindih Umi
karena dorongan hasrat adalah langkah yang benar. Meskipun Umi adalah orang
yang sangat lembut dan sangat manis padaku, jika itu terjadi, dia mungkin akan
memaafkanku.
“Maki, aku juga ingin menanyakan
sesuatu… um, apakah kamu ingin… melakukannya denganku?”
“…Ya.”
“Tujuan sebenarnya dari perjalanan
kali ini adalah itu, kan?”
“Karena kita akan menginap, jadi
kalau suasananya baik, mungkin... bisa saja, ya.”
“Kamu terlalu jujur, Maki bodoh.
Mesum. Bejat.”
“Ya.”
Sebagai pelajar, kita seharusnya memiliki
hubungan yang sehat—aku memahami hal ini secara teori, tetapi sulit untuk
menolak daya tarik Umi di depan mata. Tentu saja, dengan waktu dan persiapan
yang matang dari kedua belah pihak, jika ini adalah kamarku sendiri dan tidak
ada halangan, secara emosional, aku siap untuk itu kapan saja.
“Bagaimana orang lain menangani hal
ini? Ini semua adalah pengalaman pertamaku, jadi aku tidak tahu harus berbuat
apa.”
“Itu juga pertanyaanku. …Nah, hanya
orang yang bersangkutan yang bisa menjawab. Ada orang seperti Nina yang
langsung melakukannya setelah pacaran, dan ada juga yang memilih menunggu
sampai lulus.”
“Benar. …Apakah kamu baru saja
mengatakan sesuatu yang luar biasa?”
“Bagaimana dengan Nina? Dia sering
membesar-besarkan cerita sesuai suasana, jadi mungkin tidak semuanya benar,
tetapi tampaknya dia serius. Sepertinya dia tidak menganggapnya sebagai
kenangan yang baik.”
Aku tahu kalau Nitta-san memiliki
mantan pacar dari kejadian di restoran keluarga sebelumnya, tetapi ada
kemungkinan kalau itu bisa menjadi masa lalu yang dianggap gagal oleh sebagian
orang.
Meskipun mungkin baik pada saat itu,
ada risiko masalah yang tidak dapat diperbaiki atau mengganggu orang lain di
kemudian hari—tentang Nitta-san aku baru mendengarnya, tetapi aku sudah tahu
tentang Sora-san dan Daichi-san sebelumnya.
“Mungkin ibuku tidak melarang kita
melakukan hal seperti itu. Selama kita memperhatikan waktu dan situasi, dan
juga mengambil tindakan pencegahan yang tepat... lalu?”
“Oh, yah... sepertinya memang
begitu.”
Baik Sora-san maupun ibuku hanya
mengatakan ‘selama masih dalam batas wajar,’ tapi selama kami berdua menjaga
diri dan memastikan tidak terjadi hal yang tidak diinginkan, mereka sepertinya
akan diam-diam memaklumi kami.
Jadi, apakah aku akan mengambil
langkah lebih jauh atau tidak, semuanya tergantung pada momen yang tepat.
Jika liburan yang kami rencanakan
benar-benar terlaksana, itu akan menjadi waktu yang tepat menurutku, dan aku
punya harapan besar untuk itu. Meski peluang masih ada, sepertinya aku harus
bersabar sedikit lebih lama.
“Intinya, itulah perasaanku yang
sebenarnya saat ini. Aku tahu ini penuh dengan keinginan duniawi, tapi... aku
harap kau mengerti betapa aku sangat mencintai Umi.”
“Baiklah. Hmm, sepertinya aku juga
harus jujur tentang perasaanku sekarang, ya? Kau sudah berani terbuka, jadi
rasanya akan adil kalau aku juga mengungkapkannya.”
“Aku tentu saja senang jika kau mau
berbagi perasaanmu, tapi... kurasa aku akan menahan diri.”
“Benarkah?”
“Ya. Membuatmu bicara soal ini
rasanya sedikit tidak adil.”
Meski kami selalu berusaha berada
dalam hubungan yang setara, dalam hal yang sensitif seperti ini, aku merasa
biarlah hanya aku yang merasa malu. Yang kubutuhkan hanyalah Umi, dengan
senyuman jahil dan sentuhan nakalnya, seperti biasa.
Saat percakapan kami mencapai titik
yang cukup baik, tiba-tiba Sora-san, yang baru saja selesai mandi, menyembulkan
kepalanya dari celah pintu geser.
“Oh, kalian berdua asyik berbincang
diam-diam tanpa ibu, ya? Ibu mau ikut, dong.”
“Itu sama sekali bukan urusan ibu... Maki,
aku mau mandi sekarang, jadi tunggu sebentar. Jangan sampai kamu tidur duluan
seperti waktu itu, ya?”
“Tenang saja. Kali ini aku pasti akan
menunggu.”
“Hmm... kalau sampai aku keluar dari
kamar mandi lalu melihatmu beneran ketiduran, aku akan membelah keningmu dengan
kekuatan penuh.”
“Tak bisakah kita hanya bilang ‘akan
kupukul sedikit’ saja?”
Aku teringat saat menginap di hari
Valentine, ketika aku tertidur sebelum Umi selesai mandi karena tidak bisa
menunggunya lebih lama. Pagi harinya, Umi yang kesal harus kubujuk dengan penuh
kasih sayang.
Dan sekarang, kalau dipikir-pikir,
betapa bodohnya diriku melewatkan kesempatan langka itu.
Melihat Umi setelah mandi, ditambah
dia dalam pakaian tidur... sesuatu yang bahkan dalam hubungan kami jarang bisa
kulihat.
Kadang aku tak terlalu tertarik, tapi
ada kalanya seperti sekarang, di mana pikiranku tak bisa lepas dari Umi. Aku
tahu dari awal kalau aku memang sedikit aneh.
Meskipun begitu, aku sangat bersyukur
karena Umi tetap sabar dan perhatian terhadapku. Keberuntungan ini, tidak akan
pernah aku lepaskan.
Setelah berjanji untuk mengobrol
dengan Umi hingga aku mengantuk, aku mulai mempersiapkan tempat tidur. Dulu, Sora-san
yang selalu membantuku, tapi sekarang aku sudah terbiasa dengan tata cara di
rumah keluarga Asanagi, sehingga aku bisa melakukannya sendiri.
Tanpa sadar, aku bahkan menyiapkan
tempat tidur untuk dua orang, termasuk milik Umi, yang kemudian kutertawakan
sendiri.
Saat aku baru selesai menyiapkan satu
kasur di sisi kiri kamar tamu yang berukuran enam tatami, Sora-san memanggilku
dari ruang tamu.
“──Maki-kun, boleh bicara
sebentar?”
“Eh? Tentu saja, Sora-san. Ada apa
ya?”
Sepertinya percakapan sebelumnya
tidak terdengar olehnya, dan tidak ada kesan kalau aku akan dimarahi. Namun,
karena jarang berbicara empat mata dengan Sora-san tanpa Umi, aku merasa
sedikit gugup.
“Fufu. Tidak usah tegang begitu, aku
tidak akan melakukan hal yang menyakitkan, kok. Santai saja.”
“Kalau Sora-san bilang begitu,
rasanya justru membuatku takut kalau Sora-san akan melakukan hal lain selain
yang menyakitkan...”
“Tenang saja. Ayo, duduk di sini di
sampingku, jangan sungkan.”
Sora-san menepuk-nepuk kursi sofa di
sebelahnya, menyuruhku duduk.
Seperti biasa, aku menurutinya.
Tetapi, aku bertanya-tanya, apakah kebiasaan memanggil orang untuk duduk di
sebelah mereka saat berbicara adalah ciri khas keluarga Asanagi?
Aku bersyukur kalau Sora-san begitu
peduli padaku, seperti keluarganya sendiri. Tapi, rasanya kedekatan ini mirip
sekali dengan Umi, yang juga selalu menjaga jarak dengan orang-orang yang ia
percayai.
Ketika aku duduk di ujung sofa karena
merasa sedikit canggung, Sora-san mendekatkan wajahnya ke arahku.
“Sudah lama ya sejak terakhir kali aku
melihat wajahmu dengan jelas, Maki-kun. Kau kelihatan semakin dewasa
dibandingkan saat pertama kali kita bertemu. Wajahmu memang mirip sekali dengan
ibumu, Masaki-san, tapi matamu mungkin lebih mirip ayahmu.”
“Benarkah? Mungkinkah Sora-san tahu
soal ayah dari cerita Ibuku?”
“Iya. Setiap kali aku dan ibumu
berbicara, biasanya disertai dengan minuman. Jadi, kami sering membicarakan
masa lalu, keluhan, dan hal-hal semacam itu. Kalau dipikir-pikir, sekarang aku
bisa mengerti kenapa Maki-kun begitu populer. Umi bilang, sebagian besar
teman-temanmu adalah perempuan, bukan?”
Tanpa disadari, setelah memasuki
tahun kedua, orang-orang yang mendekatiku, seperti Nakamura-san atau Arae-san,
memang sebagian besar adalah perempuan. Untuk teman laki-laki, aku hanya bisa
mengandalkan Nozomu. Namun, dia sibuk dengan kegiatan klub setiap hari, dan
karena dia sering menjaga jarak dari orang-orang yang mendekati Amami-san, aku
harus berusaha sendiri jika ingin memperluas lingkaran pertemanan dengan
laki-laki.
Sejak naik kelas, memang tidak pernah
ada kejadian di mana aku sama sekali tidak berbicara dengan teman sekelas.
Mungkin ada beberapa orang yang ingin
berteman denganku. Namun, di sekitarku ada banyak orang yang menonjol, seperti
Umi, Amami-san, Nitta-san, Nozomu, dan bahkan Nakamura-san dari kelas 2-11.
Sepertinya ada kesan kalau orang-orang merasa segan untuk mendekat.
Akan sangat menyenangkan jika ada
orang yang tidak terlalu peduli dengan hal tersebut, baik dari kalangan senior
maupun junior.
“Jadi, apa yang ingin Sora-san
bicarakan? Aku sangat menghargai pujian dari Sora-san, tapi rasanya tidak perlu
sampai memintaku duduk di samping Sora-san hanya untuk mengatakan itu.”
“Oh, tidak, aku tidak berpikir
begitu. Menurutku, Maki-kun memang menggemaskan, dan berbeda dengan anak-anakku,
kau mau meluangkan waktu untuk berbicara. Tapi, mari kita simpan percakapan ini
untuk nanti. Sebenarnya, tadi aku sudah berbicara dengan suamiku soal hari
ini.”
“Maaf, tapi mendadak aku teringat ada
urusan penting. Mungkin aku harus segera pulang.”
“Hei, jangan kabur begitu!”
Begitu nama suaminya, Daichi-san,
disebut, aku langsung mencoba meninggalkan tempat itu. Namun, Sora-san dengan
cepat menangkap kerah bajuku.
Meskipun memang tidak ada hal
menyakitkan yang terjadi, mendengar nama Daichi-san membuatku merasa
tertekan.
Aku masih belum mengucapkan terima
kasih atas apa yang terjadi saat Natal, dan aku tahu seharusnya aku bertemu
dengannya untuk mengucapkan terima kasih secara langsung, tapi aku belum cukup
siap untuk itu.
“Jadi, jangan takut begitu. Aku sudah
mendapatkan izin untuk kau menginap, dan suamiku juga mengerti soal rencana
perjalanan kalian. Yang ingin aku bicarakan hanyalah sebuah ‘usulan’
kecil.”
“Usulan?”
Penjelasan lebih lengkap akan
diberikan ketika Umi selesai mandi, tapi dari nada suara Sora-san, tampaknya
usulannya bukan sesuatu yang buruk.
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧ ◆
Meski rencanaku untuk liburan Golden
Week adalah bersantai, sepertinya akan ada sedikit perubahan yang membuatnya
lebih sibuk dari yang aku kira.
Setelah libur panjang di paruh
pertama Golden Week selesai, tibalah hari kerja di antara dua periode libur.
Karena Amami-san sedang mengunjungi rumah neneknya, kami berempat yang tersisa
berkumpul seperti biasa dan makan siang di kantin sekolah.
Tanpa kehadiran Amami-san, suasana
memang terasa sedikit kurang ceria, tapi terkadang atmosfer yang tenang seperti
ini juga tidak buruk.
“Aduh, libur yang terpotong-potong
ini melelahkan sekali. Aku juga ingin pergi ke luar negeri seperti Yuu-chin dan
melupakan semua soal pelajaran. Hei, Ketua, ayo ajak aku pergi juga!”
“Kau harus menabung sendiri untuk
itu... Yah, aku bisa mengerti perasaanmu, apalagi foto-foto yang dikirimkan
Yuu-chin setiap hari.”
Meskipun Amami-san tidak bersama
kami, dia terus mengirim pesan berfoto ke grup kami berlima setiap hari.
Aku tidak tahu secara pasti negara
mana yang ia kunjungi, tapi melihat kastil dan pemandangan yang seperti dunia
fantasi, makanan yang lezat, dan arsitektur kota yang indah, jelas kalau
Amami-san menikmati waktunya di sana.
“Oh, lihat, foto ini... siapa gadis
yang ada di samping Yuu-chin? Cantik sekali, sama cantiknya dengan Yuu-chin.
Asanagi, kau tahu siapa dia?”
“Hm? Hmm... aku juga tidak tahu.
Mungkin sepupunya? Rambut peraknya sangat indah, ya. Wajahnya juga sedikit
mirip dengan Yuu.”
Di antara beberapa foto yang dikirim,
ada satu foto yang menampilkan seorang gadis berambut pendek perak yang cantik,
berdiri di samping Amami-san.
Amami-san tersenyum lebar dengan
penuh semangat, sementara gadis itu tampak tanpa ekspresi. Namun, mereka
berpose dengan pipi yang saling menempel dan sama-sama menunjukkan tanda
perdamaian (peace sign), jadi tampaknya dia tidak merasa terganggu dengan situasi
tersebut.
Menurut pesan yang menyertainya,
gadis itu bernama “Monica.” Amami-san dengan mudah berteman dengannya. Dari
foto-foto yang dikirim, terlihat jelas kalau Amami-san sangat menikmati
liburannya, dan sebagai teman, aku merasa senang melihatnya begitu
bahagia.
“Jadi, di saat yang sama, ketua
kelompok kita yang terhormat, yang merupakan pemimpin dari empat orang yang
tersisa, sedang benar-benar tegang karena akan bertemu langsung dengan ayah
dari pacar manisnya, ya? Benar-benar kasihan, terutama di tengah-tengah liburan
panjang yang seharusnya tenang,”
“Nitta-san, kau bicara seolah-olah
itu urusan orang lain, tapi jelas kau menikmatinya, kan?”
Aku ingin membalas perkataannya, tapi
kenyataannya adalah aku memang sangat gugup, jadi aku tidak punya tenaga lebih
untuk berdebat. Tak kusangka, sejak awal liburan Golden Week bagian kedua, ada
acara seperti ini yang menanti.
“Maki, kau ini selalu ketakutan kalau
soal ayahku... Yah, meskipun kali ini selain makan malam, ada hal lain yang
ingin dibicarakan, jadi aku juga penasaran.”
Saat aku menginap di rumah keluarga
Asanagi beberapa waktu lalu, Sora-san menyampaikan kalau Daichi-san, ayah Umi,
telah berhasil mengambil cuti tepat saat liburan ini dan mengajak kami untuk
makan malam bersama.
Selain itu, Daichi-san juga ingin
membahas rencana perjalanan kami berdua. Namun, detailnya baru akan dijelaskan
saat kami bertemu langsung, dan sejak hari itu aku terus memikirkannya.
“Yah, selama Maki dan Asanagi tidak
melakukan hal yang salah, kau bisa lebih santai. Kalian tidak punya alasan
untuk dimarahi, kan?” ujar Nozomu dengan tenang.
“Serius, Seki-kun? Kau benar-benar
tidak peka. Kalau ketua setegang ini, jelas ada sesuatu yang terjadi... Benar
kan, Asanagi-chan?” kata Nitta sambil tersenyum licik.
“Nina, kalau kau terus bertingkah
seperti itu, aku bisa membuatmu terbang,” balas Umi, mengancam sambil melotot
ke arah Nitta.
Sejujurnya, meskipun kami belum
melakukan hal yang bisa dianggap kesalahan, ada beberapa rencana yang kami
rahasiakan. Jadi, sulit bagiku untuk menyangkal sepenuhnya.
“Pokoknya, kita bertemu di rumah
Asanagi besok sore jam enam. Maki, kau sudah memberi tahu tempat kerjamu,
kan?”
“Iya, aku sudah bilang. Tapi, kalau
pekerjaannya sedang ramai, mungkin aku akan terlambat. Kalau itu terjadi, aku
akan segera mengabarimu.”
“Baiklah. Ayahku juga penasaran soal
itu, jadi pastikan kau datang tepat waktu.”
Sudah hampir lima bulan sejak
terakhir kali aku berbicara dengan Daichi-san, jadi wajar jika aku merasa
gugup. Namun, nasihat yang dia berikan saat aku sedang menghadapi masalah
keluarga sangat membantu, dan sebagian besar dari kehidupanku yang tenang saat
ini adalah hasil dari nasihat tersebut.
Karena itu, aku ingin menunjukkan
padanya kalau aku telah berubah dan meyakinkan Daichi-san kalau aku berada di
jalur yang benar.
Memikirkan semua itu, tiba-tiba saja
aku merasa sedikit menantikan hari esok.
◆ ✧ ₊ ✦ ₊ ✧ ◆
Keesokan harinya, seperti yang
direncanakan, aku menyelesaikan pekerjaan paruh waktuku satu jam sebelum waktu
yang dijanjikan dan segera kembali ke rumah untuk mempersiapkan diri.
Setelah memastikan semuanya siap, aku
bergegas menuju rumah keluarga Asanagi.
Menurut pesan dari Umi, Daichi-san,
ayahnya, sudah pulang sejak tadi, dan sekarang mereka hanya menunggu masakan
yang sudah disiapkan Sora-san tersaji di meja dan kedatanganku. Umi juga
menambahkan kalau aku bisa datang lebih awal jika mau, tidak ada masalah.
Saat jarum jam hampir menunjukkan
pukul enam sore, aku dengan perlahan menekan bel pintu. Namun, kali ini, bukan
suara Sora-san yang biasanya menyambut, melainkan suara yang rendah dan
terdengar sedikit berat serta penuh wibawa.
“──Ya.”
“Ini Maehara. Uhm... Daichi-san,
senang bertemu lagi setelah sekian lama.”
“Ah, Maehara-kun. Kami sudah
menunggumu. Umi akan membuka pintunya, jadi cepatlah masuk.”
“Baik, terima kasih.”
Aku disambut oleh Umi di depan pintu
dan bersama-sama kami menuju ruang tamu.
“…Umi, tolong bantu aku ya,” bisikku
dengan gugup.
“Y-ya, tentu saja.”
Aku sempat berpikir apakah aku harus
bersikap seperti biasa di depan Daichi-san. Namun, sepertinya Sora-san sudah
melaporkan semua tentang kami, jadi aku memutuskan untuk tetap bersikap biasa
saja. Kami pun tetap berdekatan, seperti biasanya.
Melihat kami yang terlihat akrab,
Daichi-san hanya menghela napas kecil.
“…Umi, aku tahu kau sangat menyayangi
Maehara-kun, tapi bukankah ini terlalu manja?”
“Tak apa, kan? Beginilah biasanya
kami. Jadi jangan terlalu banyak mengomentari caraku bersikap. Benar, kan, Maki?”
“Ya, kurasa begitu... Oh, dan senang
bertemu lagi, Daichi-san.”
“Senang bertemu lagi. Sekarang,
duduklah. Umi, aku ingin bicara berdua dengan Maehara-kun, jadi bisa tinggalkan
kami sebentar?”
“Baiklah~”
Seperti yang diminta, aku duduk di
sofa berhadapan dengannya. Meskipun aku tahu ini bukan sesi teguran, tapi sifat
serius dan teratur dari Daichi-san membuat suasananya tetap terasa tegang.
“Aku sudah mendengar tentang Natal
tahun lalu dari Sora dan Umi... Sepertinya kau sudah menemukan jawaban yang
memuaskan bagi dirimu sendiri.”
“Ya. Dengan bantuan Umi, Sora-san,
dan teman-temanku... aku akhirnya bisa melaluinya. Begini, aku punya sesuatu
untuk ditunjukkan.”
Aku mengeluarkan ponselku dan
menunjukkan foto keluarga yang kami ambil saat Natal. Foto itu selalu aku
simpan dengan hati-hati sebagai kenangan berharga.
Saat aku menyerahkan ponsel itu, aku
baru sadar ada foto purikura yang aku dan Umi ambil bersama terpasang di sana,
namun untungnya, Daichi-san tidak mempermasalahkannya. Aku merasa lega karena
foto saat aku mencium pipi Umi tidak ikut terlampir di sana.
“…Bagus. Lanjutkan dengan baik, ya.”
“Ya, terima kasih.”
Dari dapur, terdengar suara Sora-san
dan Umi yang tampaknya sedikit geli melihat betapa formalnya suasana di antara
kami. Namun, ini adalah cara Daichi-san yang agak canggung dalam menyampaikan
perasaannya, dan mereka tampaknya memahami hal itu, membiarkan kami berbicara
dengan tenang.
“Maehara-kun, sekarang soal rencana
perjalanan kalian berdua...”
“Y-ya, maafkan aku karena tiba-tiba
mengajukan permintaan yang aneh seperti itu.”
“Ah, tidak apa-apa. Aku tidak akan
menyalahkanmu karena hal itu. Meskipun aku tampak seperti ini, aku juga pernah
mengalami masa-masa seperti itu di masa mudaku.”
“Oh? Sayang, maksudmu ‘masa-masa’
seperti apa, ya?” Sora-san tiba-tiba menyela dengan nada menggoda.
“...Sora, mari kita simpan cerita itu
untuk nanti.”
Meskipun aku penasaran dengan
kenakalan masa muda Daichi-san, untuk saat ini aku harus fokus pada pembicaraan
yang lebih penting.
Meskipun perjalanan berdua aku dengan
Umi saat ini masih ditolak, ada kemungkinan perjalanan itu bisa terjadi jika
syarat tertentu terpenuhi. Dan itulah alasan utama mengapa aku dipanggil ke
rumah Asanagi hari ini.
“Jadi, dari mana sebaiknya aku
mulai... Kau tahu kan alasan aku ada di rumah hari ini?”
“Ya, Umi memberitahuku... kalau
jadwal liburmu berubah mendadak karena pekerjaan.”
Perubahan jadwal libur Daichi-san
terjadi setelah makan malam bersama, saat Sora-san melaporkan tentang rencana
liburanku dan Umi.
Menurut rencana awal, Daichi-san
seharusnya mendapatkan libur bulan depan. Namun, karena ada acara pernikahan
seorang kolega, ia harus mengubah jadwalnya, dan akhirnya bisa pulang untuk
libur panjang Golden Week.
Hal semacam ini tentu saja bisa
terjadi pada siapa pun yang bekerja di sebuah perusahaan. Namun, dalam kasus
keluarga Asanagi, hal itu tampaknya menimbulkan sedikit masalah.
“Bukan masalah besar, sebenarnya.
Bulan depan, ada urusan kecil di kampung halaman kami. Ibuku sudah sering
memintaku untuk memperlihatkan wajah cucunya, jadi aku memutuskan untuk
mengambil libur sesuai dengan acara tersebut.”
“Betul sekali. Maehara-kun, kau ingat
panggilan telepon yang kuterima saat kita bertiga sedang mengobrol akhir pekan
lalu? Itu terkait hal ini.”
“Oh, ya, aku ingat…”
Tampaknya hal ini berkaitan dengan
Asanagi Mizore, yang mungkin adalah “musuh alami” bagi Sora-san.
“Daichi-san, bolehkah aku bertanya,
kapan sebenarnya jadwal liburan yang direncanakan?”
“Pada akhir Juni... Tepatnya, itu
akan jatuh pada Sabtu dan Minggu keempat.”
“Baiklah... Umi, apakah kau sudah
tahu tentang hal ini?”
“Belum. Mereka akan memberi tahu
setelah memastikan jadwalnya.”
Sepertinya, aku mulai mengerti arah
pembicaraan ini.
“Aku langsung menelepon ibuku begitu
jadwalnya berubah, tapi... katanya, ‘Asalkan bisa melihat cucuku, itu sudah
cukup.’ Maksudnya, Daichi-san tidak perlu datang. Maehara-kun, bagaimana
menurutmu? Bahkan sebelum aku sempat memberi tanggapan, teleponnya langsung
ditutup. Bukankah itu sangat sewenang-wenang?”
“Ibu, aku mengerti perasaanmu, tapi
jangan membuat Maehara-kun bingung...”
Tampaknya, bahkan di keluarga Asanagi
yang terlihat damai ini, masih ada ketegangan di dalamnya. Jika dalam keluarga
saja bisa terjadi hal seperti ini, membangun hubungan yang harmonis dengan
orang lain tentu sangatlah sulit.
Mungkin, inilah titik di mana
pembicaraan mengenai “rencana liburan” kami mulai berkaitan. Meski perjalanan
berdua mungkin sulit dilakukan, ada kemungkinan “sesuatu” yang bisa
menggantikan rencana tersebut.
“Maehara-kun, kebetulan di kampung
halaman kami ada kota kecil yang terkenal dengan pemandian air panas. Meskipun
ini tidak sepenuhnya menggantikan rencana perjalanan kalian, bagaimana kalau kamu
pergi ke sana bersama Umi?”
Aku belum bisa memastikan apakah ini
baik atau buruk, tetapi fakta kalau dua hal ini terjadi bersamaan sepertinya
bukanlah kebetulan. Mungkin memang ada takdir yang mempertemukan semua
ini.
Keputusan ini akan kubicarakan dengan
Umi secara mendalam setelahnya, tapi... sepertinya, ini bukanlah tawaran yang
buruk.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.