Sukina ko no shinyu ni hisoka ni semararete iru Chapter 3

Ndrii
0

Bab 3

Cinta Haru Hinata


Pov Haru Hinata

 

Aku mulai ikut klub atletik sejak kelas dua SD. Waktu itu, aku diajak oleh kakak perempuan yang tinggal dekat rumahku yang ikut klub atletik. Klubnya hanya untuk anak SD, jadi aku harus berhenti sejenak, tapi entah kenapa setelah masuk SMP, aku masih terus berlari di klub atletik sekolah.

 

Dari dulu aku memang jago lari. Lebih tepatnya, aku rasa aku punya bakat dalam olahraga. Hasil dari kerja kerasku tampak jelas, aku bisa mendapatkan banyak prestasi. Piala dan medali yang aku dapatkan adalah harta karunku, sampai sekarang masih kusimpan di kamarku.

 

Aku pikir aku pasti akan melanjutkan ini setelah masuk SMA juga. Dan di turnamen terakhir SMP. Aku memulai dengan harapan dari semua orang. -Tepat setelah itu, aku merasa sakit parah di lututku, kehilangan kekuatan, dan aku jatuh ke tanah.

 

Aku dibawa ke rumah sakit dengan ambulans, dan dokter di rumah sakit itu bilang bahwa aku merusak ligamen lutut kananku. Setelah sembuh, jika aku bekerja keras dalam rehabilitasi, aku bisa kembali berlari. Tapi aku tidak akan bisa mengikuti turnamen terakhir SMP.

 

Aku merasa sangat bersalah karena telah mengkhianati harapan semua orang, tetapi semua orang mengasihaniku, “Sangat disayangkan” dan “Semangat rehabilitasinya!”

 

Pada awalnya, aku tidak bisa menjalani kehidupan sehari-hari, dan aku tidak bisa berjalan tanpa menggunakan tongkat. Itu sangat sulit untuk berjalan, dan aku mulai merasa merepotkan untuk bergerak. Tapi tidak melakukan apa-apa itu membosankan, jadi aku berpikir apa yang bisa aku lakukan tanpa harus berlari.

 

“..........Huh?”

 

Tidak ada yang bisa aku lakukan. Aku menyadari bahwa aku telah terjun ke dalam atletik dan mengesampingkan segala sesuatu yang lain. Dan sekarang, setelah atletik diambil dariku, aku menyadari bahwa aku tidak punya apa-apa lagi.

 

Aku memutuskan untuk mengamati apa yang dilakukan orang lain. Teman-temanku yang telah berkeringat bersamaku di klub atletik mulai menumbuhkan rambut mereka setelah pensiun. Bahkan teman sekelas yang selalu terlihat keren, tampaknya menjadi lebih feminin.

 

Itu dia. Aku juga akan melakukan ini. Jika aku akan melanjutkan atletik setelah masuk SMA, aku pikir sekarang adalah satu-satunya waktu untuk menumbuhkan rambutku.

 

Jika rambutku yang selalu dipotong pendek tumbuh panjang, mungkin aku bisa menjadi imut seperti teman-teman sekelas, aku juga berharap seperti itu.

 

Aku tidak memotong rambutku selama liburan musim panas. Dan setelah liburan musim panas. Akhirnya, rambutku telah tumbuh hingga sedikit mencapai bahu. Aku tidak tahu paati, tapi apakah suasananya sudah berubah?

 

Semuanya sibuk dengan les musim panas, dan aku masih belum bisa bergerak bebas, jadi aku menghabiskan liburan musim panas di rumah. Jadi sudah lama sejak aku tidak melihat semua orang.

 

Aku membuka pintu kelas dengan gugup, bertanya-tanya bagaimana reaksi mereka. Teman sekelas yang menoleh karena suara itu, melihatku dan berkata.

 

“Apa yang terjadi dengan rambutmu? Itu tidak seperti Haru-chan.”

 

“Eh, apakah itu berbeda?”

 

“Haru-chan pasti pendek!”

 

Kami semua adalah teman dekat. Jadi aku tahu mereka tidak bermaksud jahat. ...Oleh karena itu, aku sangat terluka.

 

Aku memotong rambutku pendek lagi setelah sekolah hari itu. Aku pikir aku tidak punya hak untuk berdandan. Aku harus terjun ke dalam olahraga, atau olahraga lain, seumur hidupku. Itulah yang diharapkan oleh semua orang dari Haru Hinata, aku merasa dipaksa untuk berpikir seperti itu.

 

Melihat aku seperti itu, ibuku membawa brosur SMA dan berbicara denganku.

 

“Lihatlah, Haru-chan. Seragam sekolah ini lucu, bukan?”

 

“......Ya. Tapi itu tidak cocok denganku.”

 

“Apa yang kamu bicarakan! Haru-chan sangat lucu!”

 

“......Itu tidak benar. Aku...”

 

“Oh, kamu tidak boleh berkata seperti itu. Hei, bagaimana jika kamu mencoba ini? Tidak apa-apa. Semua orang yang pergi ke sekolah ini memakai seragam ini. Cukup percaya diri saja. 'Aku mengenakan seragam ini karena aku pergi ke SMA ini.’”

 

Sejujurnya, aku ingin mencobanya. Tapi, ketika aku membayangkan diriku memakai itu, aku merasa seolah-olah aku bisa mendengar suara orang-orang di sekitarku mengatakan, “Itu tidak cocok”.

 

Bagaimanapun, aku akan mencoba belajar keras. Ibuku berkata begitu, dan karena aku tidak memiliki hal lain untuk dilakukan, aku mulai hanya belajar dan tidak bermain dengan teman-teman.

 

Mungkin berkat itu, hasil simulasi ujian yang aku ambil pada musim dingin memberikan prediksi lulus B di sekolah yang aku inginkan. Ternyata aku tidak hanya jago atletik. Mungkin aku juga pandai belajar, dan saat itu aku merasa senang berpikir begitu.

 

Saat aku keluar dari tempat les sambil memeluk hasil simulasi ujian, aku menyadari bahwa banyak pasangan berjalan di sekitarku. Ternyata hari ini adalah Malam Natal. Sepertinya mulai dari usia ku, ini bukan hari untuk makan makanan enak dengan keluarga, tetapi hari untuk pasangan.

 

Melihat wanita yang berjalan bahagia dengan pacarnya, hatiku merasakan getaran. Bisakah aku, yang tidak bisa berdandan, mendapatkan kebahagiaan seperti itu? Aku tidak bisa membayangkan masa depan seperti itu.

 

Tapi, aku seharusnya sudah sedikit berubah. Aku pandai belajar sekarang. Mungkin aku juga bisa berdandan. Katanya kita yang masih remaja selalu update setiap harinya.

 

Sebelum pulang, aku melalui jalan kecil dan menuju toko aksesoris di pusat perbelanjaan di depan stasiun. Ada banyak aksesori modis di sana, semuanya tampak lucu, dan ada beberapa yang aku suka pada pandangan pertama.

 

...Tapi, ternyata itu tidak cocok untukku. Aku berpikir begitu, dan pada akhirnya aku pulang tanpa membeli apa pun.

 

Dan waktu pun berlalu, dan akhirnya aku menyambut hari ujian masuk SMA. Aku memeriksa tiket ujian dengan teliti.

 

Ibuku menyarankan agar menggunakan pensil buasa karena pensil mekanik sering bermasalah, jadi aku menyiapkan pensil yang sudah lama tidak kupakai sejak SD.

 

Tapi, aku menyadari bahwa tidak ada penutup, dan aku berpikir bahwa kotak pensil akan kotor jika terkena pensil, jadi aku memutuskan untuk menggunakannya dengan mengeluarkan kotak pensil yang aku gunakan dulu.

 

Setibanya di tempat ujian, aku merasa berdebar-debar, berpikir bahwa jika aku lulus, aku bisa bersekolah di gedung sekolah ini mulai musim semi. Aku duduk di kursi yang ditentukan oleh nomor ujian, dan mengeluarkan alat tulis dari kotak pensil ke meja.

 

“......Ah”

Aku menyadari bahwa tidak ada penghapus di dalam kotak pensil. Aku baru menyadari bahwa aku lupa memindahkan penghapus saat mengganti kotak pensil semalam. Sayangnya, pensil yang aku siapkan tidak memiliki penghapus.

 

Apa yang harus aku lakukan. Apa yang harus aku lakukan. Apa yang harus aku lakukan. Apa yang harus aku lakukan. Apa yang harus aku lakukan. Apa yang harus aku lakukan.

 

Aku menjadi cemas karena insiden itu terjadi saat aku sedang stress, dan aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan.

 

Sementara itu, waktu berlalu, dan setelah diberikan instruksi singkat tentang ujian, tanda dimulainya ujian berbunyi.

 

Bagian dari otakku yang masih bisa tetap tenang di tengah panik berbisik, “Mari kita coba menyelesaikan masalahnya untuk saat ini. Jika tidak ada kesalahan, kamu tidak perlu penghapus.”

 

Itu benar. Jika aku tidak membuat kesalahan saat menulis, aku tidak perlu menggunakan penghapus. Aku mulai mengerjakan soal-soal dan... aku membuat kesalahan di soal pertama.

 

Pada akhirnya, aku tidak bisa menyelesaikan masalah dalam keadaan panik. Tentu saja, kemungkinan untuk membuat kesalahan semacam ini juga menjadi lebih tinggi.

 

Aku tamat. Aku tidak mendapat imbalan apapun. Aku merasa putus asa, berpikir bahwa pada akhirnya aku tidak memiliki apa-apa, dan pada saat itu, aku merasa ada sesuatu yang menyentuh kakiku.

 

Tentu saja, aku tidak bisa melihat ke bawah kakiku selama ujian, jadi aku mencoba membayangkan apa itu dengan otakku yang hampir menyerah.

 

Saat aku berpikir seperti itu, pengawas ujian yang sedang melihat-lihat sekitar ruangan berhenti di sebelahku.

 

Eh, mungkinkah aku akan dimarahi?

 

Aku berpikir begitu dan menyiapkan diri, tetapi pengawas ujian itu berjongkok dan berkata, “Maaf,” dan meraih sesuatu di bawah kakiku. Kemudian,

 

“Apakah ini milikmu?”

 

Dia menunjukkan penghapus yang tampaknya pernah dilipat dan bertanya.

Tentu saja, penghapus itu bukan milikku yang lupa membawa penghapus, jadi aku menjawab “tidak” dengan suara kecil.

 

Kemudian dia bertanya kepada siswa laki-laki di belakangku.

 

“Jadi, apakah ini milikmu?”

 

Mungkin milik dia. Bagus dia menemukannya. Saat aku berpikir begitu,

 

 

“Tidak, itu bukan milik saya. Mungkin itu milik gadis di depan tadi. Saya melihat sesuatu jatuh dari sudut mata saya.”

 

Itulah yang terdengar dari belakang. Ternyata itu bukan salah dengar, dan pengawas ujian dengan wajah bingung bertanya lagi padaku.

 

“Apakah itu bukan milikmu?”

 

“Ah, um, saya...”

 

“Hm? Kamu tidak punya penghapus. Mungkin itu benar-benar milikmu. Berhati-hatilah agar tidak menjatuhkannya lagi.”

 

Pengawas ujian meletakkan penghapus itu di atas meja ku dan pergi untuk memeriksa tempat lain. Penghapus ini bukan milikku. Pemilik sebenarnya pasti dalam kesulitan.

 

...Tapi, tidak ada yang mengaku sebagai pemilik penghapus itu.

 

Meski merasa bersalah... aku menggunakan penghapus itu untuk menghapus tulisan ku.

 

Dengan cara ini, aku berhasil lulus tes pertama dan bangkit untuk mencari pemilik sebenarnya dari penghapus ini. Lalu, di atas meja anak laki-laki di belakangku, yang sebelumnya telah mengatakan kepada pengawas ujian bahwa “penghapus itu milik orang di depan,” ada sesuatu yang tampak seperti setengah dari penghapus yang aku pegang sekarang.

 

Apakah dia menyadari pandanganku, anak laki-laki itu melihat ke arahku dan tersenyum malu-malu.

 

“Baguslah kamu punya penghapus.”

 

Dia hanya mengatakan itu dan mengambil buku referensi untuk ujian berikutnya dari tasnya. Karena aku berpikir berbicara dengannya akan mengganggu belajarnya, aku kembali duduk di kursiku.

 

Ini adalah pertemuan pertama ku dengan Rento Seko.

 

✧ ₊ ✦ ₊ ✧

 

Setelah sukses melewati ujian, aku melirik ke belakang, berpikir bahwa aku harus mengembalikan penghapus dan mengucapkan terima kasih. Tapi, sosok anak laki-laki itu sudah tidak ada di sana.

 

Pada akhirnya, aku tidak bisa mengucapkan terima kasih, dan penghapus itu masih tersimpan dengan aman di dalam kotak pensilku. Itu sudah menjadi semacam jimat bagiku.

 

Seminggu setelah ujian, aku mengetahui bahwa aku lulus ke SMA. Aku tidak pergi ke sekolah untuk melihat pengumuman kelulusan karena ternyata jadwalnya bertabrakan dengan kunjungan rutin ke rumah sakit. Aku bisa merubah jadwalnya, tapi aku merasa tidak perlu melakukannya.

 

Sedikit berharap bisa bertemu dengannya, tapi jika salah satu dari kita gagal, suasana tidak akan memungkinkan untuk berbicara. Jika kita berdua lulus, aku bisa berbicara dengannya setelah masuk sekolah, begitulah pikiranku.

 

....Bohong. Sebenarnya, aku hanya belum siap secara mental. Aku hanya tidak punya keberanian.

 

Selama liburan musim semi, aku pergi dengan ibuku untuk mengukur seragam sekolah, dan mencoba mengenakan seragam. Aku merasa seperti aku lebih dipakaikan seragam daripada memakainya. Meskipun ibuku dan penjual bilang itu cocok, aku hanya merasa seperti mereka sedang menggodaku.

 

Kemudian, ibuku menyarankan, "Bagaimana kalau kamu mencoba mewarnai rambutmu?" Dia bilang bahwa sebaiknya aku mencoba mewarnai rambutku karena aku akan masuk sekolah yang membolehkan rambut dicat, dan itu juga bisa mengubah suasana hati.

 

Aku bingung apakah aku seharusnya mewarnai rambutku. Tapi... aku membutuhkan sesuatu untuk memberiku semangat. Jadi, aku mewarnai rambutku dengan warna yang sama dengan ibuku yang sangat aku cintai.

 

Kemudian tibalah upacara penerimaan siswa baru.

 

Aku pergi ke sekolah dengan gugup, menuju kelas yang telah diberitahu sebelumnya, dan bertemu dengan teman sekelas yang akan bersamaku selama setahun.

 

Di antara mereka, ada dia.

 

Namanya Rento Seko. Aku baru sadar bahwa aku tidak tahu namanya sampai sekarang. Aku ingat wajahnya dengan jelas, dan tidak ada yang perlu aku ceritakan tentang dia kepada orang lain, mungkin karena tidak ada situasi yang membuatku bingung.

 

Setelah upacara masuk dan perkenalan diri semua orang, hari itu berakhir dengan penjelasan singkat tentang cara menghabiskan waktu di sekolah dari wali kelas.

 

Karena kita akhirnya berada di kelas yang sama, aku berpikir aku harus segera mengucapkan terima kasih dan bergegas ke tempat duduknya, tapi sekali lagi dia sudah tidak ada di sana. Aku cepat-cepat melihat ke arah koridor dan melihat dia pergi bersama seorang teman perempuan.

 

Aku ingat dia sangat jelas. Misa Yosaki. Rambut hitam panjangnya sangat indah, dan kulitnya putih bersih, seperti boneka. Dia adalah idola ku.

 

Mengapa dia pergi bersama gadis itu? Seingatku, mereka berasal dari SMP yang sama berdasarkan perkenalan diri mereka.

 

Aku merasa tidak tenang. Untuk menenangkan diri, aku memainkan rambutku yang baru saja dicat.

 

....Ternyata, aku tidak punya keberanian untuk memastikannya.

 

Malam setelah aku pulang dengan perasaan hampa, aku tidak bisa berhenti memikirkan apa yang mereka lakukan setelah itu. Jika aku tahu akan menjadi seperti ini, aku seharusnya mengikuti mereka... Tapi, itu akan membuatku seperti penguntit.

 

Keesokan harinya, aku pergi ke sekolah lebih awal. Bukan karena aku bersemangat dengan kehidupan baru, tapi karena aku berencana untuk menunggu di kelas dan berbicara dengannya saat dia tiba.

 

Ketika aku sampai di kelas, beberapa siswa sudah ada di sana, termasuk Misa Yosaki.

 

Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku bertanya kepadanya tentang kemarin? Aku sempat berpikir seperti itu, tapi aku berubah pikiran, berpikir bahwa jika aku bertanya tentang hal tersebut pada pertemuan pertama, dia akan berpikir aku aneh.

 

Yang bisa aku lakukan sekarang adalah menunggu dia.

 

Ketika hampir semua teman sekelas sudah berkumpul di kelas, akhirnya dia muncul.

 

Dia datang! Aku berpikir akan berlari ke arahnya, tapi dia tampak fokus pada satu titik dan langsung menuju ke Misa Yosaki...

 

"Kemarin aku lupa mengatakannya, tapi kamu juga cocok dengan seragam SMA, Yosaki-san! Aku menyukaimu, maukah kau jadi pacarku?"

 

Dia menyatakan perasaan kepadanya.

 

Untuk sekejap, aku tidak mengerti apa yang terjadi. Tapi, seiring dengan keriuhan yang mulai muncul di sekitarku, rasa sakit yang luar biasa menyerang dadaku.

 

Sambil menekan dadaku yang sakit, aku mengamati dua orang itu. Tapi, dia tidak merespon perasaannya, dan terus berbicara seolah-olah tidak ada yang terjadi.

 

....Itu sedikit menggangguku.

 

Aku tidak tahu apa sebenarnya perasaan ini. Tapi, aku juga ingin dia bilang bahwa seragam sekolah cocok denganku. Dorongan seperti itu menyerang seluruh tubuhku.

 

Aku tidak bisa membaca hubungan antara dua orang ini sama sekali. Tapi, aku tahu secara intuitif. Jika aku membiarkan mereka seperti ini, itu akan berbahaya.

 

Jadi, aku menyela di antara mereka berdua, dan berteriak.

 

"Hei, berhentilah melakukan hal seperti itu! Kamu mengganggunya!"

 

✧ ₊ ✦ ₊ ✧

 

Dua minggu telah berlalu sejak itu.

 

Hubungan kami berjalan dengan cara yang aneh. Tapi kami adalah grup teman yang baik.

 

Aku dan Misa akrab seperti biasa. Dia baik, bukan hanya penampilannya, jadi kami bisa menjadi teman dengan cepat. Ada orang yang tidak suka karena dia selalu mengatakan apa adanya, tapi aku suka karena dia selalu jujur dan tidak takut mengemukakan pendapatnya.

 

Tentang Rento, memang terlihat aneh jika dilihat dari luar. Kami berdua bertengkar tentang Misa. Itu tidak aneh jika dilihat seperti itu. Tapi di luar itu, Rento bersikap normal kepadaku. Dia memberiku sebagian kecil dari kebaikannya yang dia berikan kepada Misa. Aku... ingin menjadi lebih akrab dengan Rento. Itulah mengapa hubungan ini berlanjut.

 

Aku belum mengucapkan terima kasih atas yang terjadi waktu itu. Mungkin Rento tidak ingat apa yang terjadi waktu itu, jadi aku tidak bisa membicarakannya.

 

Dan, penghapus dari waktu itu masih ada di kotak pensilku.

 

Kelompok kami seperti ini, kami pergi bersama dan sebagainya. Kami pergi ke kota pada akhir pekan, berbelanja, dan bersenang-senang!

 

Ketika kami pergi bermain ke suatu tempat, Rento selalu mengundangku. Meskipun sebenarnya dia ingin pergi bermain hanya berdua dengan Misa. Aku bertanya-tanya mengapa dia mengundangku, tapi aku tidak bisa bertanya.

 

Apakah dia juga ingin menghabiskan lebih banyak waktu dengan kami berdua? Waktu bersama mereka sangat nyaman. Meski ada alasan untuk mengawasi Rento dan Misa, alasan itu cukup kuat sehingga aku memutuskan untuk tidak bergabung dengan klub.

 

Hari ini, kami memutuskan untuk pergi ke kota terdekat. Tidak ada tempat khusus yang kami ingin kunjungi, jadi kami berencana untuk hanya berkeliling. Bahkan tanpa alasan, kami bertemu dan bermain pada hari libur. Itu sangat menyenangkan.

 

Karena kami berkumpul di tempat, aku naik kereta dari stasiun terdekat. Lalu, Rento ada di gerbong yang sama dengan yang aku naiki. ....Tidak, itu bukan kebetulan. Aku tahu bahwa Rento berada di gerbong ini. Itulah mengapa aku naik gerbong ini.

 

Dia melihatku dan mengangkat tangannya, mengatakan "Yo". Sebagai balasannya, aku berkata "Selamat pagi" secara singkat dan duduk di sebelah Rento.

 

Rento berpakaian tidak terlalu modis . Jika ini adalah kencan dengan Misa, apakah dia akan lebih bersemangat mempersiapkan diri? Bagaimana penampilannya ketika dia pergi berduaan denganku? Ketika aku memikirkan hal itu, dadaku merasa sesak. Tapi aku tidak tahu apa penyebabnya.

 

Karena Misa biasanya diantar oleh orang tuanya ketika pergi bermain, aku dan Rento menjadi berdua sampai kami sampai di tempat.

 

"Misa baru saja keluar rumah," kata Rento.

 

"Eh? Bagaimana kamu tahu itu?"

 

"Misa memberi tahu lewat pesan. Lihat,"

 

kata Rento sambil menunjukkan layar ponselnya. Di sana, layar grup chat kami terbuka, dan memang ada pesan dari Misa yang mengatakan hal tersebut.

 

"Oh, benar. Aku tidak melihatnya karena pagi ini aku sibuk bersiap-siap untuk pergi."

 

"Aku selalu berpikir, kamu sangat keren. Tentu saja kamu akan sibuk sebelum pergi."

 

"....Eh?"

 

Apa yang baru saja dikatakan Rento? Keren? Apa yang keren? Penampilanku?

Apakah "keren" berarti ada pola yang telah ditentukan? Tapi aku selalu datang dengan pakaian yang berbeda, dan jika ada pola dalam penampilanku, itu tidak akan membuatku sibuk di pagi hari. ....Jadi, apakah Rento memuji penampilanku?

Aku tidak pernah berpikir bahwa penampilanku itu modis. Aku hanya mengenakan kombinasi aman hoodie dan celana pendek, dan memakai topi hitam. Aku selalu berpikir bahwa penampilanku tampak seperti tidak ada potongan kecantikan saat melihat diriku sendiri di cermin. Tapi, aku selalu menghabiskan waktu untuk memikirkan pakaianku sendiri.

 

Kenapa ya? Sekarang, bayangan diriku yang terpantul di jendela kereta tampak keren.

 

Aku menatap diriku sendiri dengan bingung. Karena itu, aku terlambat menyadari bahwa ada seorang wanita hamil di dekatku.

 

"Silakan, duduk di sini.”

 

"Eh?"

 

Rento bangkit dari tempat duduknya dan menawarinya kepada wanita hamil itu.

Biasanya, aku akan segera menyadarinya dan memberikan tempat dudukku. Tapi Rento menyadarinya lebih dulu dariku. ....Aku tidak ingin Rento berpikir bahwa aku tidak mau memberikan tempat dudukku kepada wanita hamil.

 

Wanita itu mengucapkan terima kasih kepada Rento dan duduk di sebelahnya. Lalu, dia mendekatkan mulutnya ke telingaku dan berbisik,

 

"Pacarmu, dia orang yang baik ya."

 

Telingaku merah.

 

"Itu, salah! Aku dan Rento tidak seperti itu!"

 

Aku menyangkalnya dengan panik. Tapi melihat reaksiku, wanita itu tersenyum kecil.

 

"Topi itu cocok untukmu. Tapi mungkin lebih baik jika kamu menunjukkan lebih banyak wajahmu, dia mungkin akan menyukaimu. Orang biasanya mulai menyukai sesuatu setelah melihatnya berkali-kali."

 

Wanita itu berbisik sambil mengelus perutnya.

 

Aku merasakan arti di balik gerakannya, dan perkataannya menjadi lebih meyakinkan bagiku.

 

Rento berdiri sedikit menjauh, memegang tali penggantung di depanku. Jika aku menengadah, aku bisa melihat wajahnya.

 

Tapi, aku tidak bisa mengangkat wajahku dan hanya menatap lututku. Bukan karena aku ingin menyangkal kata-kata wanita itu. Aku merasa bahwa aku tidak bisa menunjukkan wajahku sekarang kepada Rento.

 

✧ ₊ ✦ ₊ ✧

 

Aku tiba di stasiun tujuan dan turun dari kereta bersama Rento. Begitu kami melewati pintu tiket, ada seorang gadis cantik berdiri di sana. Itu Misa.

 

Dia selalu berpakaian cantik. Dia juga mengenakan celana sepertiku, tapi ada kecerahan yang berbeda darinya.

 

Kami bertemu dengan Misa dan berjalan-jalan di kota.

 

Di tengah perjalanan, Misa melihat tempat karaoke dan mengatakan bahwa dia ingin mencobanya, jadi kami memutuskan untuk masuk. Misa tampak sangat bersemangat, kelihatannya dia belum pernah mencoba karaoke sebelumnya.

 

Meski ini pertama kalinya dia mencoba karaoke, nyanyiannya sangat bagus. Aku sangat terpesona sehingga aku berusaha sebisa mungkin untuk tidak membuat suara. Setelah dia selesai menyanyi, Rento bertepuk tangan dan memuji suaranya, "Itu luar biasa!"

 

Meski aku juga terkesan, entah mengapa aku merasa sedikit kesal, jadi aku memasukkan lagu favoritku. ....Tapi, tentu saja, jika dibandingkan dengan suara Misa yang baru saja aku dengar, laguku tidak sebanding. Biasanya aku bisa menyanyi dengan senang hati, tapi semangatku mulai menurun.

 

Pada saat itu, suara selain diriku mulai terdengar dari speaker. Aku menoleh dan melihat Rento memegang mikrofon lain dan mulai menyanyi bersamaku.

 

Rento juga menoleh ke arahku, mata kami bertemu. "Bolehkah aku menyanyi bersamamu?" matanya bertanya, jadi aku menjawab dengan senyum.

 

Lagu ini bukanlah lagu duet. Tapi menyanyi bersama Rento sangat menyenangkan.

Setelah lagu selesai, dia meminta maaf karena menyanyi tiba-tiba, tapi aku berhasil mengatakan, "Tidak apa-apa!"

 

Aku melihat Misa dan dia berkata, "Ada cara menyenangkan seperti ini juga," tampaknya terkesan. ....Aku merasa sedikit lega.

 

Setelah itu, kami menghabiskan waktu bersama dengan duet atas permintaan Misa, atau Rento menyanyi bersama saat aku menyanyi.

 

Ngomong-ngomong, suara Rento sendiri lebih buruk dariku. Dia tampaknya menyadari itu dan berkata, "Aku tidak tahu banyak lagu," dan mencoba sebisa mungkin untuk membuat kami berdua menyanyi, gerakan licik itu.

 

Meski begitu, dia menyela saat aku sedang menyanyi, yang membuatku merasa tidak adil.

 

Setelah menikmati karaoke, kami memutuskan untuk makan siang untuk mengisi perut kami. Lagi-lagi atas saran Misa, kami masuk ke toko hamburger yang terkenal. Tampaknya ini juga pertama kalinya dia mencoba toko seperti ini.

 

Misa tampak cantik saat dia bingung memilih pesanan, dan cara Rento dengan lembut mendukungnya sangat mengesankan.

 

Setelah itu, kami pergi berbelanja, tapi setelah beberapa saat, Misa mendapat panggilan di ponselnya. Setelah melihat isi pesan itu, Misa menurunkan alisnya dan berkata,

 

"Maaf. Keluargaku pergi bermain setelah mengantarku ke sini, dan tampaknya mereka akan pulang sekarang dan akan menjemputku di sini di tengah perjalanan."

 

"Ah ... itu benar. Sayang sekali tapi mau bagaimana lagi. Yah, kami tidak punya rencana khusus hari ini, jadi mari kita bermain lagi lain kali!"

 

"Itulah! Walaupun aku tidak suka setuju dengan Rento, hari ini bukan satu-satunya hari kita bisa bermain!"

 

"Apa!"

 

"Apaan."

 

"....Hehe. Ya, benar. Terima kasih kalian berdua. Nah, tampaknya mereka sudah hampir sampai, jadi aku akan pergi sekarang."

 

"Ya. Sampai jumpa di sekolah."

 

"Sampai jumpa, Misa!"

 

Kami mengucapkan selamat tinggal pada Misa yang tampak sedikit sedih, dan sejenak hening.

 

"Kalau begitu, ayo kita pulang."


"....Ya. Sepertinya begitu."

 

Rento memecahkan keheningan dengan kata-kata itu. Aku tidak punya pilihan selain setuju dengannya.

 

Mungkinkah, dia tidak suka bermain hanya berdua denganku. Jadi dia ingin pulang? Ketika aku mulai berpikir seperti itu, aku merasakan sakit di dadaku.

 

"Jika kita terus bermain hanya kita berdua, Yosaki-san mungkin akan merasa ditinggalkan. Kita datang untuk bermain bertiga, kan?"

 

Mungkinkah Seko bisa membaca pikiranku? Itu seolah-olah kata-kata yang aku inginkan keluar dari mulut Seiko.

 

Rasa sakit di dadaku perlahan hilang.

 

Namun, gejala lain muncul di dadaku.

 

Aku merasa tidak baik jika terus bersama Seko. Dengan pikiran itu, aku berkata,

 

"Ah, aku! Aku pikir aku akan melihat toko barang-barang kecil di sana."

 

Aku menunjuk toko barang-barang kecil yang kutemukan secara acak. Itu adalah toko yang aku kunjungi saat pulang dari les pada musim dingin tahun lalu, tapi aku tidak membeli apa-apa.

 

Lalu seko, setelah sedikit mengoperasikan ponselnya, berkata, "Aku juga akan pergi."

 

"Eh, kenapa!? Kenapa Seko juga?"

 

"Sepertinya kereta sedang terlambat, jadi aku pikir aku akan menghabiskan waktu sedikit lebih lama."

 

"Oh, begitu ya."

 

Pada akhirnya, aku tidak bisa meninggalkan Seko dan akhirnya pergi ke toko barang-barang kecil bersamanya. Aku merasa wajahku memanas saat aku membayangkan bagaimana orang lain melihat kami.

 

"......Ah"

 

Sebuah hiasan rambut menarik perhatianku. Itu adalah benda yang sama yang aku lihat tahun lalu. Itu adalah jepit rambut dengan bunga matahari kecil dari kaca. Aku ingat itu menonjol karena tidak sesuai musim, meski musim dingin.

 

Dan, aku pikir desainnya sangat lucu. Aku tidak berpikir itu cocok untukku, jadi aku tidak bisa membelinya.

 

Ketika aku menatapnya, Seko datang ke sebelahku dan mengikuti pandanganku,

 

"Heh, itu bagus. Kamu tidak akan membelinya?"

 

"Kenapa tiba-tiba? Jangan-jangan Seko, kamu suka bunga matahari? Itu mengejutkan."

 

Aku bertanya dengan nada ejekan, dan Seko, sambil menggaruk pipinya dengan malu, menjawab,

 

"Bukan karena aku suka bunga matahari, aku hanya berpikir itu cocok untuk Hinata-san. Itu saja."

 

Dadaku berdebar. Segera setelah itu, tanpa sadar, aku mengambil jepit rambut itu.

 

"Aku suka bunga matahari. Jadi, aku akan membelinya."

 

Ya, aku suka itu.

 

 

Hari ini, saat ini, aku telah jatuh cinta padanya.

 

Bahkan pada hari perjalanan seperti hari ini, Seko masih mengungkapkan perasaannya kepada Misa. Meskipun suasana yang tadinya ceria menurun, saat Seko mengatakan bahwa jepit rambut itu cocok untukku, suasana hatiku kembali seperti semula, bahkan lebih dari itu.

 

Mungkin karena aku sedikit bersemangat. Aku mengambil makanan ringan yang kubawa dari tas ranselku dan memberinya kepada Misa untuk dimakan.

 

Kemudian, aku menawarkannya kepada Seko, yang seharusnya melihat pertukaran kami. Aku berharap dia akan memakannya. Aku berpikir akan bagus jika kami bisa melakukan hal-hal yang sepasang kekasih lakukan, seperti “ah-“.

 

Tapi Seko tidak mengerti maksudku, dan mencoba mengambil makanan ringan itu dengan tangannya. Tanpa berpikir, aku menarik tanganku kembali, tapi kemudian menyerah dan memberikannya.

 

Meskipun sebagian besar adalah kesalahanku. Entah kenapa, aku merasa Seko tidak begitu pandai memahami hati seorang gadis. Tidak, pasti begitu. Seko no baka.

 

Tidak peduli bagaimana perasaanku, bus tetap berjalan sesuai jadwal. Dan berhenti di kaki gunung yang tampaknya sulit dijangkau oleh transportasi. Aku mengerti mengapa kami tidak berkumpul di sana dan malah menggunakan bus kelompok.

 

Meskipun aku sedikit bingung, jika aku bergerak, aku bisa menyegarkan diri. Jadi mendaki gunung adalah hal yang tepat untukku sekarang. Aku terus berjalan menuju puncak.

 

Setelah berjalan sebentar, Ota-kun menyerah, dan kemudian Misa mulai menunjukkan tanda-tanda kelelahan. Lalu Seko pergi ke samping Misa dan mulai menawarkan bantuannya. Hatiku mulai gelisah.

 

Tentu saja, aku juga khawatir tentang Misa, tapi aku tidak ingin meninggalkan Seko dan Misa sendirian, jadi aku bekerja keras untuk mendukung Misa. Berkat itu, Misa bisa mencapai puncak dengan kekuatannya sendiri, dan dia berterima kasih padaku. Aku tersenyum kembali dengan sedikit rasa bersalah.

 

Meskipun aku tidak benar-benar bisa merasa segar dengan berolahraga, makan sesuatu yang enak selalu membuatku merasa lebih baik. Aku bersemangat untuk makan siang di luar yang merupakan rencana berikutnya.

 

Berdasarkan usulan Misa, kami memutuskan untuk membagi tugas menjadi dua. Salah satunya adalah membuat kare, dan yang lainnya adalah menyalakan api dan memasak nasi.

 

Misa, yang pandai memasak, dengan antusias memilih yang pertama. Saat itu, aku bisa melihat ekspresi Seko yang penuh harapan. Aku segera tahu bahwa Seko menantikan masakan Misa.

 

Jadi, aku juga mengajukan diri untuk membuat kare. Meskipun aku tidak bisa memasak. Perasaan ingin berkompetisi dengan Misa,  selain itu keinginan untuk membuat Seko mencoba masakanku juga.

 

Dan aku membuat kesalahan. Jika aku berhati-hati, mungkin aku tidak akan terluka. Tapi, berusaha bersaing dengan Misa yang menunjukkan keahlian memasaknya dengan elegan, aku memotong sayuran dengan cepat saat Seko kembali. Dan yang kupotong adalah jari tengah kiriku.

 

Aku merasa menyedihkan dan malu. Aku menolak kebaikan Misa dan pergi sendiri ke tempat cuci.

 

Aku memutar keran air dan mencuci darah yang mengalir dari jariku. Saat aku memotongnya, itu sangat sakit sehingga aku berteriak, tapi sekarang tidak sakit sama sekali.

 

Lebih dari itu, rasa sakit yang melintasi dadaku lebih kuat. Saat aku menatap air merah yang mengalir, aku merasa seolah-olah ada luka di dadaku.

“Hinata-san”

 

Itu suara Seko. Kesadaranku kembali seketika.

 

“...He? Seko?”

 

“Ya, Seko.”

 

Ketika aku merasa malu karena suaraku yang terkejut ketika dia tiba-tiba memanggilku, Seko datang ke sampingku dan melihat jariku.

 

Sepertinya Seko khawatir dan datang untuk melihat keadaanku. Sambil merasakan hatiku terisi aku menjawab, ``Aku baik-baik saja,’’ mengenai luka di jari ku.  Bertentangan dengan kata-kata itu, perlahan-lahan aku mulai merasakan sakit di jari-jariku.

 

“Sini, ulurkan tanganmu.”

 

“Eh?”

 

“Ini balasan sebelumnya.”

 

Seko menempelkan plester yang aku berikan padanya saat mendaki. Setelah menempelkannya, dia mengusapnya dengan lembut sekali agar tidak terlepas.

 

Kemudian, rasa sakit di jariku tiba-tiba menghilang. Itu aneh. Seko tampak seperti penyihir.

 

Karena cedera, aku pindah dari tugas memasak ke tugas menanak nasi. Untuk memulai tugas itu, Seko pergi untuk mengambil alat yang diperlukan.

 

Melihat dia hendak pergi, secara refleks aku memegang ujung baju Seko. Karena aku merasa sakit itu akan datang kembali. Karena aku ingin berada di sisinya.

 

Setelah pergi bersama Seko untuk mengambil peralatan, aku membantu menyalakan api. Api berhasil dinyalakan dan Seko meminta tos dengan telapak tangannya menghadap kepadaku. Namun, ia segera menarik kembali tangannya karena mengetahui tangan tersebut kotor.

 

Aku… ingin menyentuhnya. Dengan wajah tetap menghadap ke depan, aku perlahan mendekatinya, sehingga bahu kami saling bersandar.

 

“Ini tidak kotor, kan?”

 

Aku merasa takut untuk mengucapkan kata-kata yang tulus, jadi aku mengeluarkan alasan itu.

 

Hangat. Lebih hangat daripada merasakan nyala api yang berkobar di depan mata, seperti ini, hatiku merasa lebih terisi.

 

Lalu, keluhan menetes keluar dari mulutku satu demi satu. Hal-hal yang biasanya aku tahan dalam diriku, mulai keluar satu persatu di depannya.

 

Seko menerima kelemahanku, menghiburku, memuji aku.

 

Setelah berhasil menyalakan api, Seko mengatakan dia akan pergi mengambil rice cooker untuk menanak nasi, dan kali ini aku membiarkannya pergi sendiri.

 

Karena aku tidak ingin Misa melihat wajahku saat ini.

 

Dengan menempatkan tanganku di sisa kehangatan di bahu kananku, aku yakin.

 

Aku sangat menyukai Seko.



Post a Comment

0 Comments

Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.

Post a Comment (0)
Our website uses cookies to enhance your experience. Learn More
Accept !