Chapter 0
Hari ini aku berhasil
melewati berbagai kelas yang membuatku bosan. Setiap murid, termasuk aku, tak
sabar menantikan bel pulang.
Ada yang lari ke rumah, ada
yang main ke ruang klub bersama kawan-kawannya, dan ada juga yang masih bertanya-tanya
kepada guru tentang pelajaran yang belum mereka mengerti. Masing-masing dari
kami memiliki cara sendiri untuk menghabiskan waktu setelah sekolah.
Kami bertiga tidak ikut klub
manapun dan tidak ada agenda khusus setelah sekolah, jadi kami pulang dengan
santai.
"Hey, katanya sih ada
toko kue prasmanan yang lagi hits dekat sini."
"Benarkah? Aku ingin
mencobanya. Dari mana kamu tahu?"
"Itu tayang di TV
kemarin."
"Aha! Kau ini selalu
update dari TV ya?"
"Tidak masalah dong, toh
toko itu sudah terkenal bagus."
"Aku agak tertarik sih.
Tapi mikirin kalori dari kue-kue itu bikin ragu."
"Lho, kenapa?"
"Begini, kalorinya itu
lho yang mengkhawatirkan."
"Ah, tidak usah
khawatir, kamu kan langsing! Makan kue sepuasnya pasti enak. Yuk, kita pergi
kesana akhir pekan ini!"
Gadis berambut cokelat pendek
itu berbicara sambil memeluk temannya yang berambut hitam panjang. Si berambut
panjang itu menerima pelukannya dan mengelus kepala si rambut pendek dengan wajah yang berkata,
"Baiklah kalau begitu."
Aku hanya bisa memperhatikan
mereka dari samping. Mereka sering berkontak fisik seperti pelukan itu.
Akhir-akhir ini, terutama saat kami pulang bersama, adegan seperti ini sering
terjadi.
Mereka tidak bisa pulang
dengan berpelukan terus, jadi mereka pun berjalan dengan bergandengan tangan.
Aku tidak mengerti kenapa para gadis suka berjalan sembari bergandengan tangan
atau merangkul. Sambil berpikir tentang hal-hal yang sebenarnya tidak terlalu
penting itu, aku pun ikut berjalan bersama mereka.
Tidak lama kemudian, kami
sampai di sebuah persimpangan di mana ada taman kecil. Aku harus belok kiri di
sini untuk pulang ke rumahku, jadi ini saatnya aku berpisah dengan mereka.
"Ya sudah, sampai jumpa
besok ya."
"Iya, sampai
besok."
"Yey, akhirnya kami bisa
berduaan! Cepat pergi sana."
Si berambut cokelat menggoda
si berambut hitam sampai akhir, lalu mereka pun berjalan menjauh dan aku
menonton mereka dari kejauhan sebelum aku belok di persimpangan dan masuk ke
taman terdekat. Aku duduk di bangku seperti biasa.
Tempat itu disinari matahari
dengan baik dan terasa nyenyak, cocok untuk bersantai sejenak.
“Andai saja sinar ultraviolet
ini bisa menghilangkan segala yang buruk dari diriku.”
Begitu pikirku, namun aku
sadar itu mustahil karena kenyataannya aku masih di sini.
Setelah beberapa waktu,
seseorang datang menghampiri tempatku duduk. Ini tempat yang cerah, tempat kami
sering bertemu. Rambut cokelat gadis itu berkilau terkena sinar matahari sore,
hingga hampir membuatku ingin memalingkan pandangan.
"Ayo, sekarang kita ke
rumahku."
"Baik," jawabku,
dan aku berdiri lalu berjalan
bersamanya keluar dari taman. Tadi kami berjalan bertiga, kini hanya berdua
saja, kami menapaki jalan kota menuju rumah gadis ini.
Sepanjang jalan, kami nyaris
tidak berbicara. Bukan karena ada aturan khusus, tapi suasana saja yang membuat
kami memilih untuk tidak banyak bicara.
Namun, keheningan tersebut
tidak membuat kami merasa canggung. Suasana kota yang ramai, langkah kaki kami,
dan napas gadis di sampingku terdengar nyaman di telinga.
Kami berjalan cukup lama dari
taman hingga memasuki kota lain dan sudah sampai di rumah gadis itu.
Rumah yang terlihat biasa
saja. Gadis itu mengeluarkan kunci dari tasnya dan membuka pintu, lalu
mengajakku masuk. Aku mengikutinya dan dengan biasa, aku melepas sepatuku dan
masuk ke dalam rumah.
Aku naik ke lantai dua dan
masuk ke kamar gadis itu. Di salah satu bagian rak buku yang penuh dengan
manga, ada foto pemilik kamar yang mengenakan seragam, diletakkan bersama
dengan trofi dan perisai yang memuji prestasi cemerlangnya.
Berjalan sampai ke tengah
kamar, aku meletakkan tas bawaanku yang berat di tempat biasanya. Mengangkat
beban dari bahu dan dengan tarikan napas panjang, aku beristirahat sejenak.
“Hei,” kata gadis itu, yang
telah menaruh tasnya juga, dan mengulurkan kedua tangannya ke arahku.
“Ayo kita bergandengan
tangan.”
“Bergandengan tangan?
Biasanya kan Cuma satu tangan?”
“Ayo, cepat. Pegang
tanganku.”
Aku tidak begitu mengerti
maksudnya, tapi aku menarik kedua tangannya.
Tangan-tangannya yang satu
atau dua ukuran lebih kecil dari tanganku terasa lembut dan sedikit kenyal.
Sangat menawan saat aku menyentuhnya.
“Kamu boleh menyentuhnya
lebih erat,” ujarnya.
“Emm, aku masih bingung.
Seperti ini?”
Dari yang semula hanya
memegang, kini aku mulai mengusap gentar telapak tangannya dan menggenggam
tangan secara keseluruhan.
Kemudian, dari mulutnya
terdengar suara yang memikat, “Hmm.”
Aku berhenti sejenak, tapi
dia tidak mengatakan apa-apa jadi aku melanjutkan.
“Ahh... Bagaimana?
Tangan-tangan ini sudah banyak menyentuh rambutnya, perutnya. Apakah kamu bisa
merasakan sensasinya?”
“Yah, pasti tidak terasa
melalui berjabat tangan.”
Saat ini, aku hanya menikmati
sensasi menyentuh tangan gadis yang ada di depanku. Masih seperti biasa, halus
dan nyaman.
Setelah sedikit lama, gadis
itu berkata dengan suara yang halus,
“Ayo, lanjut.”
Dan dia membuka kedua
tangannya dan membisu.
Dia tidak mengatakan apa-apa
dengan rinci, tapi aku mengerti apa yang harus aku lakukan dan aku pun
bertindak.
Aku mendekatinya dan dengan
hati-hati memeluk tubuhnya. Lalu dia pun membalas dengan melingkarkan tangannya
di punggungku dan menarikku lebih erat.
Mungkin sudah sepuluh detik
berlalu begitu. Kemudian dia berkata, “Salah, salah,” dan mendorong bahu ku
dengan tangannya.
Dan dia berkata,
“Ke sini.”
Dia meletakkan tangannya di
bagian belakang kepalaku dan menuntun wajahku ke arah dadanya.
“Hmm,”
Ketika hidungku menyentuh
dadanya, suara dan hembusan napasnya terdengar.
Aku bisa merasakan sesuatu
yang bergolak di dalam diriku.
“Lihat. Bagaimana menurutmu?
Hari ini kita sudah banyak pelukan. Bahkan saat kita baru saja berpisah. Apakah
aroma dari gadis itu masih ada padaku?”
Aku mencium dan menangkap dua
aroma: citrus dan bau bunga. Aroma yang terakhir adalah miliknya, aku bisa
mengenali.
“Iya. Masih ada.”
“Harum?”
“Ya.”
“....Oh, baiklah. Aku akan
biarkan kamu mencium lebih banyak lagi.”
Dia kemudian melingkarkan
kedua tangannya di belakang kepalaku dan menekan wajahku ke dadanya dengan
lebih kuat.
Sedikit sesak napas dan sulit
untuk menikmati aroma, tapi aku menerima hal itu. Aku mencium bau yang lebih
dalam.
Setelah beberapa saat, gadis
itu tampak puas dan melepaskan tangannya dari kepalaku. Saat aku mundur, kedua
tangannya turun dan menarikku ke belakangnya dan kemudian dengan penuh tenaga
memelukku.
“Ada apa?”
“....Tidak, tidak ada
apa-apa.”
Dia menjawab dengan suara
kecil dan melepaskan diri dari pelukanku.
Melihat wajahnya yang sedikit
mendung, aku merasa ingin memeluknya lagi. Ingin menggali perasaan sebenarnya
dan memberi penghiburan.
Tapi, aku tidak melakukannya.
Atau lebih tepatnya, aku tidak bisa.
Kami tidak berada dalam
hubungan seperti itu.
Di depan mataku, gadis itu
mulai melepaskan seragam sekolah yang kami kenakan.
Pita merah jatuh ke lantai,
dan dia membuka baju hingga kancing ketiga, lalu beranjak ke tempat tidur.
Dia duduk di ranjang lalu
berbaring di atasnya.
Kemudian dia mengulurkan
kedua tangannya ke arahku dan berkata,
“Datanglah. Seperti biasa,
luapkan segalanya denganku hari ini juga”
Tergoda oleh ajakannya, aku
patuh pada keinginanku hari ini juga.
Tidak boleh adanya spoiler, hormati user lainya. Gunakan komentar dengan bijak sebagai tempat berdiskusi.